Anda di halaman 1dari 34

BAB IV

KONSEP-KONSEP DASAR

BIDANG KAJIAN PERILAKU MOTORIK

Pembangunan teori atau model-model belajar keterampilan motorik hanya dapat dilakukan
apabila konsep-konsep dasar yang relevan telah dipahami dan disepakatı oleh para anggota
masyarakat ilmiah yang ber- sangkutan. Konsep-konsep dasar itu berlaku bagi semua
keterampilan yang lebih banyak mengandalkan peranan gerak tubuh dan kontrol dari sistem
persyarafan. Meskipun konsep-konsep dasar tersebut bersifat umum, tapi dalam buku ini lebih
banyak ditekankan pada penguasaan ke- trampilan berolahraga.

Dalam Bab IV ini, konsep-konsep dasar tentang perilaku motorik akan dijelaskan. Di antaranya,
konsep belajar keterampilan motorik akan dikupas lebih khusus dan mendalam. Atas dasar
uraian tersebut, pem- baca akan memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang hakikat bela-
jar berbagai ketrampilan pada umumnya, dan pengertian beiajar ketram- pilan dalam olahraga
pada khususnya.

A. Istilah-istilah dalam Lingkup Perilaku Motorik

Setiap disiplin ilmu memiliki perbendaharaan istilah atau konsep se- bagai kristalisasi dari makna
yang tertangkap dari gejala-gejala khusus dalam wilayah studi yang bersangkutan. Berkenaan
dengan gejala perilaku motorik, ada beberapa istilah yang perlu dipahami perngertiannya.

1. Perilaku Motorik (motor behavior) Perilaku motorik adalah suatu istilah generik atau
istilah yang bersifat umum yang mencakup istilah belajar motorik (motor learning),
penam-

pilan (performance), dan kontrol motorik (motor control). Istilah tersebut menghimpun suatu
pengertian yang bulat tentang gejala perilaku nyata yang teramati yang ditampilkan melalui gerakan
otot-otot atau anggota tubuh di bawah kontrol sistem persyarafan. Peranan sistem pernatasan dan
peredaran darah yang terçakup dalam istilah daya tahan umum dan daya tahan khusus
(neuromuscular endurance), termasuk peranan ke- rnampuan kognitif, kurang diperhitungkan,
meskipun tak dapatdiabai- kan.

2. Kontrol motorik (motor control) Kontrol motorik adalah satu wilayah studi yang menitik beratkan
kaj- annya pada faktor-faktor yang mengontrol mekanisme dalam pelaksanaan suatu ketrampilan.
Bidang studi ini menekankan pendekatan fisiologis.

3. Keterampilan (Skill)

Perilaku manusia dapat dibagi menjadi dua kategori pokok, yaitu: (1) perilaku motorik, dan (2)
perilaku kognitif. Pembagian tersebut hanya un- tuk kepentingan analisis secara konseptual. Namun
demikian, kedua macam perilaku itu perlu dibedakan untuk memahami faktor-faktor do- minan yang
mempengaruhi perilaku itu. Untuk kebutuhan praktis, kedua macam perilaku itu dapat dibedakan
dari sudut jenis respons yang terjc- di. Perilaku motorik ditandai dengan respons berupa gerak otot
atau ang- gota tubuh di bawah kontrol sistem persyarafan, sementara faktor pem- buatan keputusan
dan kemampuan kognitif hanya memberikan kontri- busi minimal.

Atas dasar kedua jenis perilaku umum itu, maka dikenal keterampilan motorik dan keterampilan
verbal. Sebagai contoh, kemahiran dalam ber- diskusi tergolong keterampilan verbal, sedangkan
kemahiran seorang pemain bulutangkis tergolong keterampilan motorik.
Istilah keterampilan itu sendiri juga memiliki beberapa pengertian dan telah dipakai dalam beberapa
versi dalam literatur tentang perilaku mo- torik. Yang lazim dipakai ialah, keterampilan dipandang
sebagai satu perbuatan atau tugas, dan lainnya adalah şebagai sebuah indikator dari tingkat
kemahiran. Jika suatu keterampilan dipandang sebagai aksi mo- torik atau pelaksanaarı suatu tugas
(task), keterampilan itu akan terdiri dari sejumlah respons motorik dan persepsi yang diperoleh
melalui belajar.

Sebagai contoh, berenang, menendang bola ke gawang, memukul bola dalam badminton adalah
keterampilan dalam domain motorik d disebut dalam istilah keterampilan motorik.

Keterampilan itu dapat juga dipahami sebagai indikator dari kemahiran atau penguasaan suatu hal
yang memerlukan gerak tubuh. sering tingkat Penguasaan suatu keterampilan motorik merupakan
sebuah proses di mana seseorang mengembangkan seperangkat respons ke dalam suatu pola gerak
yang terkoordinasi, terorganisasi, dan terpadu. Setiap keterampilan motorik membutuhkan
pengorganisasian gerakan otor dalam aspek tempat dan waktu. Pengorganisasian otot menurut tem.
patnya berarti bahwa terdapat sekelompok otot yang terpilih untukn lakukan suatu gerakan;
pengorganisasian otot menurut waktu berarti bahwa otot-otot berkontraksi atau relaksasi harus
terjadi pada waktu yang tepat dan serasi. Sebagai indikator dari tingkat kemahiran makaka trampilan
diartikan sebagai kompetensi yang diperagakan oleh seseorang dalam menjalankan suatu tugas
berkaitan dengan pencapaian suatu tujuan. Semakin mampu seseorang mencapai tujuan yang diha.
rapkan, maka orang itu disebut makin terampil. Seorang pemain bola basket yang mampu
memasukkan bola meskipun dijaga oleh 2-3 pe main lawan secara ketat, akan disebut sebagai
pemain yang terampil.

Secara operasional, definisi terampil biasanya dipergunakan untuk menyatakan respons nyata
terhadap suatu stimulus yang terkontrol. Respons itu dicatat berdasarkan kesalahan, respons yang
betul, fre- kuensi, atau cepat lambatnya reaksi.

Istilah terampil juga dapat dinyatakan untuk menggambarkan tingkat kemahiran seseorang
melaksanakan suatu tugas. Seorang pemula yang baru mengenal bagaimana cara bermain
bulutangkis misalnya, akan memperlihatkan koordinasi gerak yang kaku, pukulannya sering keluar,
atau tak dapat mengontrol bola yang masuk atau keluar dengan cermat. Pemain tersebut dapat
digolongkan kurang terampil. Tentu saja sangat mudah bagi kita untuk membedakan tingkat
kemahirannya dengan per- mainan pemain tingkat dunia, seperti Liem Swie King, Icuk Sugiarto, dan
lain-lain. Pembedaan tingkat kemahiran yang tinggi atau rendah atau rata-rata tergantung pada
tolok ukur yang dipakai.

Persoalan berikutnya ialah, apakah ciri-ciri penampilan gerak yang terampil ? Secara umunm dapat
dijelaskan, seseorang yang disebut teramp atau mahir ditandai oleh kemampuannya untuk
menghasilkan sesuat dalam kualitas yang tinggi (seperti cepat atau cermat) dengan tingkat

keajegan yang cukup mantap. Pemain bulutangkis yang mahir misalnya, akan dapat melakukan
pukulan smaşh yang keras dan terarah secara berulang-ulang ke suatu sasaran. Berbeda dengan
pemula, gerakannya pada umumnya ditandai dengan gerakan yang lambat, kaku, ragu-ragu, ter-
putus-putus. Selain bagaimana kualitas peragaan gerak yang diharap- kan, pembedaan antara
seseorang yang terampil dan yang tidak terampil dapat dilakukan atas dasar haşil kerja. Şeorang
pemain sepakbola seper- ti Maradona misalnya, mampy menggiring bola melewati penjagaan ke- tat
dan menembakkan bola ke arah dekat tiang gawang yang terjauh dari kiper. Gol yang amat sulit
untuk terçipta itų bukan karena faktor kebetul- an, tapi karena penguasaan tehnik yang tinggi.
Sebaliknya, pemain se- pakbola pemain yang baru belajar, meskipun tidak dijaga pada jarak yang
dekat sekalipun, tembakannya keluar.

4. Kemampuan motorik (motor ability) Kemampuan motorik dan keterampilan bukanlah sebagai dua
konsep yang sama pengertiannya. Kemampuan motorik lebih tepat disebut se- bagai kapasitas dari
šeseorang yang berkaitan dengan pelaksanaan dan peragaan suatu ketrampilan yang relatif melekat
setelah masa kanak- kanak. Pengaruh faktor biologis dianggap sebagai kekuatan utama yang
berpengaruh terhadap kemampuan motorik dasar seseorang. Kemam- puan motorik dasar itulah
yang kemudian berperan sebagai landasan ba- gi perkembangan keterampilan. Selain itu,
keterampilan banyak tergan- tung pada kemampuan dasar. Keseimbangan, kecepatan reaksi, fleksi-
bilitaş misalnya adalah contoh-contoh dari kemampuan dasar yang pen- ting untuk melaksanakan
berbagai ketrampilan dalam olahraga. Akhir- nya, untuk kebutuhan analisis lebih lanjut, ketrampilan
dapat diklasifikasi menjadi beberapa kategori.

B. Klasifikasi Respons Motorik

Beberapa klasifikasi tentangketerampilanatau gerak muncul dalam beberapa tulisan dalam rangka
membeda-bedakan tipe-tipe ketrampilan motorik itu. Beberapa tipe kęterampilan akan dipaparkan
sebagai berikut.

1. Keterampilan "kasar (gross skill) dan Keterampilan "halus" (fine skill Dalam literatur Barat,
kita mengenal dua macam keterampilan yang di- sebut gross skill dan fine skill. Dalam buku
ini, kedua istilah tersebut kita
sadur dalam istilah keterampilan yang "kasar" dan keterampilan yane "halus".
Pembedaannya, lebih tepat hanya untuk kebutuhan analisie Kedua keterampilan tersebut
berada dalam sebuah kontinuum, bukan s bagai dikhotomi. Bagaimana membedakannya,
terutama atas dasar ukuran besar otot yang terlibat, jumlah tenaga yang dikerahkan, atau le
barnya ruang yang dipakai untuk melaksanakan gerakannya (Cratty 1973). Gerakan tubuh
seorang atlet pada waktu memukul bola dalam permainan tenis, melempar cakram dalam
atletik, menendang bola da- lam permainan sepakbola misalnya, kesemuanya tergolong
keterampilan kasar yang membutuhkan pengorganisasian otot- otot besar disertai
pengerahan tenaga yang banyak. Sebaliknya, dalam keterampilan halus. yang dipergunakan
ialah sekelompok otot-otot kecil, seperti jari-jari, ta- ngan, lengan, dan sering membutuhkan
kecermatan dan koordinasi ma- ta-tangan. Keterampilan yang dilakukan mencakup
pemanfaatan alat-alat untuk bekerja, obyek yang kecil, atau pengontrolan mesin. Tugas-
tugas seperti mengetik, menjahit, menulis dengan tangan, mengemudikan pesawat,
mengoprasi alat-alat di laboratorium misalnya, tergolong kete- rampilan halus. Kesemua
tugas ini sering disebut keterampilan manual.
2. Keterampilan Diskrit, Serial dan Kontinus Keterampilan diskrit adalah segala keterampilarn
yang dapat dikenal saat permulaannya dan saat berakhir. Keterampilan menendang bóla,
me- lampar lembing, memukul "cock" dalam badminton misalnya, tergo- long keterampilan
diskrit. Analisis dengan mempergunakan garnbar da- lam sebuah film misalnya, akan dengan
mudah memperlihatkan kapan saat gerakan mulai dan berakhir. Penentuan batas mulai dan
berakhir itu terutama atas dasar struktur keterampilan itu sendiri, dan bukan atas da- sar
kapan keterampilan itu diamati. Ciri lainnya ialah, keterampilan diskrit biasanya dilakukan
secara cepat, dan sering membutuhkan dukungan

kemampuan kognitif. Tugas menekankan tombol-tombol pada sebuah mesin misalnya,


membutuhkan keputusan, terutama dalam menentu- kan tombol mana yang harus ditekan
lebih dahulu dan bagaimana rang- kaiannya. Klasifikasi gerak tersebut tadi (lihat Gambar 4-1)
cenderung di- tinjau dari gejala penampilannya.
3. Keterampilan "terbuka" (open skill), dan Keterampilan "tertutup" (closed skill)
Keterampilan juga dapat diklasifikasi atas dasar pelaksanaan gerak dan interaksinya dengan
lingkungan. Karena itu ada istilah keterampil- an terbuka dan tertutup. Dengan kata lain,
penggolongan kedua ke- terampilan itu berdasarkan kenyataan seberapa jauh lingkungan
dapat diprediksi selama peragaan gerak (Poulton, 1957). Yang dimaksud dengan
keterampilanterbuka adalahketerampilan di mana lingkungań selalu berubah-ubah atau
sukar diprediksi, sehingga si pelaku tak dapat merençanakan secara efektif respons yang
serasi (Gambar 4-2). Contoh yang paling mudah kita kenal misalnya pelaksa- naan tehnik
bermain şepakbola. Dalam pelaksanaannya, si pelaku di- pengaruhi oleh beberapa faktor
seperti gerakan atau manouver tem- an seregu, aksi perlawanan lawan, pengaruh faktor
penonton, dan bahkan kondisi lapangan serta keterampilan wasit yang memimpin
pertandingan. Memang mungkin saja, pelatih dan pemain merenca- nakan pelaksanaan
tehnik dan taktik bermain, baik selama waktu ber- latih atau menjelang pertandingan. Tapi
dalam pelaksanaannya, pe- main yang bersangkutan akan terpengaruh oleh beberapa faktor
yang terdapat di lingkungan permainan itu sendiri. Sukses dalam pelaksa- naan ketrampilan
terbuka rupanya ditentukan oleh seberapa jauh se- seorang berhasil untuk mengadaptasikan
perilakunya sesuai dengan perubahan dalam lingkungannya.

Keterampilan tertutup (lihat Gambar 4-2) adalah keterampilan di mana faktor lingkungan
dapat diprediksi. Faktor lingkungan dapat dipredike karena tidak berubah, seperti dalam
olahraga bowling, menermbak dan panahan. Perubahan lingkungan itu memang bisa terjadi,
namu masih dapat diprediksi, sehingga si pelaku dapat melakukan perenca naan respons
yang selaras dengan kondisi lingkungan. Kedua dimen si yang bergerak dalam sebuah garis
continuum itu kadang kala tak dapat dibedakan secara tajam, sehingga ada klasifikasi ketiga
berda sarkan kondisi lingkungan yang masih mungkin diprediksi. Dimensi ini terletak di
tengah-tengah kedua kategori yang tergambar pada ma- sing-masing ujung akhir garis
continuum.
C. Konsep Belajar Motorik
Pengertian istilah belajar motorik tak terlepas dari pengertian istilah belajar pada umumnya.
Karena itu, dalam bagian ini pengungkapan mak- na belajar pada umumnya dan belajar
motorik pada khususnya akan diba- has lebih mendalam.
Mengapa kita perlu mempelajari masalah belajar ? Tak dapat disang- kal, tuntutan yang
semakin meningkat terhadap peningkatan produktivi- tas sekolah atau perkurnpulan
olahraga pada khususnya mendorong kita semua, termasuk para administrator, peneliti,
teoritikus, guru, dan pela- tih olahraga untuk memperhatikan dan mempelajari masalah
belajar. Ju- ga tak dapat disangkal, proses belajar itu sendiri merupakan masalah yang amat
kompleks. Bagaimana prosesnya berlangsung, hingga misal- nya seorang anak kelas I SD,
tiba-tiba pada suatu hari dapat membaca dengan lancar, sungguh merupakan persoalan
yang sebagian di antara- nya masih kurang bisa dipahami. Untuk memahami, hal-hal yang
masih "gelap" itu seperti dibutuhkan teori.
Berbeda halnya dengan orang-orang avwam, atau mereka yang mençanggap proses belajar
sebagai suatu kejadian yang berlangsung dengan sendirinya. Mereka menganggap belajar
merupakan suatu geja- la yang sederhana. Mereka mungkin mengatakan, pengalaman
adalah guru yang terbaik, atau peniruan (imitasi) merupakan cara yang terbaik bagi
seseorang untuk belajar. Di kalangan mereka, tak ada kejnginan un- tuk membangun suatu
teori, karena mereka menganggap.dalam banyak hal teori itu tidak praktis dan hanya cocok
untuk para ilmuan saja,
Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan perbedlaan sikap dan pan- dangan antara kaum
profesional dan nonprofesional terhadap belajar. Karena itu, upaya untuk memahami seluk
beluk belajar terkait langsung dengan sikap seseorang (Oxendine, 1968). Selain itu, persepsi,
atau si- kap seseorang terhadap belajar dapat berubah karena perubahan yang terjadi pada
masyarakat, termasuk perubahan fungsi dan peranan ang- gota masyarakat. Dalam
masyarakat modern, pengadaan sekolah (for- rnal dan non-formal) dan lembaga-lembaga
pembina olahraga sudah me- rupakan kebutuhan. Dalam situasi demikian, pengadaan
tuntunan bela- jar yang dapat dipertanggung jawabkan merupakan keharusan. Meng- apa
demikian ? Barangkali salah satų alasan yang paling tepat ialah, teori itu perlu untuk
meningkatkan efişiensi dan efektivitas program-pro- gram pendidikan. Kita dapat
membayangkan, berapa banyak biaya yang sia-sia karena ketiadaan atau lemahnya teori-
teori yang diterapkan oleh guru-guru atau para pelatih olahraga di lingkungan sekolah atau
klub-klub olahraga.
Berkenaan dengan teori belajar itu sendiri, maka akar perkembang- annya terdapat dalam
disiplin psikologi. Karena itu, para psikolog mem- berikan andil besar dalam pembangunan
teori belajar. Akumulasi dari ke- giatan pénelitian yang mereka laksanakan selama kurun
waktu yang cu- kup panjang, menghasilkan ilmu pengetahuan yang banyak tentang be- lajar
pada khususnya.
Sebelum kita sampai pada perumusan definisi belajar, ada baiknya ki- ta telaah sebentar
persoalan yang muncul terutama tentang hakikat be- lajar itu sendiri. Apakah belajar itu
semata-mata sebagai satu kapasitas yang unik dari manusia sebagai mahluk psiko-bio-socio-
cultural, atau semata-mata mencerminkan kapasitas semua mahluk hidup atau orga- nisme
di mana ia dapat dipelajari sebagai obyek fisik belaka? Untuk me- lengkapi diskusi kita,
sangat menarik untuk dikemukakan kembali suatu contoh tentang perilaku monyet-monyet
di Jepang. Pada suatu ketika, seekor kera betina membasuh pasir dari kentang yang mereka
makan di- tepi pantai. Kemudian, kera-kera lainnya mengikuti perbuatan kera beti- na
tersebut tadi (Passingham, 1982). Masalahnya ialah, apakah perila- ku meniru atau imitasi
semaçam itu tadi dapat disebut sebagai kegiatan belajar? Apakah monyet-monyet yang lebih
tua dengan sengaja meng- alihkan pengetahuan secara sadar atau mengajarkan monyet-
monyet yang lebih muda untuk melestarikan praktek-praktek yang telah lama mereka kenal?
Passingham (1982) mengatakan, bahwa kita memiliki se-
dikit bukti-bukti yang menunjukkan bahwa binatang mengajarkan gene rasi mereka yang
lebih muda. Dalam banyak hal, terdapat gambaran yang masih kabur tentang apa yang
dikerjakan oleh hewań. Atas dan uraian sepintas itu, kita dapat menyimpulkan, perilaku
hewan cenderune lebih banyak dikendalikan oleh naluri, sehingga kegiatan belajar pada
tingkat yang lebih tinggi merupakan bagian integral dari budaya manusia sehingga hanya
manusialah yang memiliki kapasitas belajar. Pernyataan ini cenderung mengatakan
ungkapan yang meremehkan kemampuan binatang untuk belajar, karena bagaimana
keadaan mental binatang tak terungkap oleh para ilmuan. Untuk kebutuhan analisis, kita
dapat me ngatakan, binatang hanya memiliki kapasitas untuk meniru perilaku ter. tentu.
Bagi orang awam, istilah belajar dipahami sebagai pemilikan peng- etahuan atau
keterampilan baru. Definisi ini sudah barang tentu tak me- madai, sehingga perlu dielaborasi
suatu definisi yang agak lebih lengkap. Oxendine (1968) misalnya menggambarkan belajar
sebagai (1) akumulasi pengetahuan; (2) penyempurnaan dalam suatu kegiatan; (3) pemecah-
an suatu masalah; dan (4) penyesuaian dengan situasi yang berubah. Konsep-konsep yang
menjadi kunci dalam deskripsi tersebut adalah "perubahan," "penyesuaian," dan "adaptasi"
Sebagai pegangan, bela- jar didefinisikan sebagai proses di mana perilaku dikembangkan
dengan sengaja melalui latihan. Karena itu, kita tak memasukkan gejala yang ter- dapat pada
belajar yang lebih rendah tingkatannya seperti belajar melalui "mencoba dan salah" atau
belajar melalui refleks bersyarat.
Konsep belajar pada umumnya, dan belajar motorik sebagai belajar perilaku motorik pada
khususnya, telah dirumuskan dalam berbagai defi- nisi oleh para ahli. Sebagai kelanjutan
pembahasan makna belajar yang telah dipaparkan dalam paragraf di atas tadi, abilitas untuk
menghasilkan suatu ketrampilan berbuat. Karena itu, belajar dapat.diartikan semacam
seperangkat peristiwa, kejadian, atau perubahan yang terjadi apabila se- seorang berlatih
yang memungkinkan mereka menjadi semakin trampil dalam melaksanakan suatu kegiatan.
Kedua, belajar adalah hasil lang- sung dari praktek atau pengalaman. Ketiga, belajar tak
dapat diukur seca- ra langsung, karena proses yang mengantarkan pencapaian perubahan
perilaku berlangsung secara internal atau dalam diri manusia sehingga tak dapat diamati
secara langsung, terkecuali ditafsirkan berdasarkan perubahan perilaku itu sendiri. Keempat,
belajar dipandang sebagai pro- ses yang menghasilkan perübahan relatif permanen dalam
keterampilan; perubahan dalam perilaku yang menyebabkan perubahan pada suasana
emosi, motivasi, atau keadaan internal tıdak dianygap sebagai akibat be- lajar. Pandangan ini
memang bertendensi menganut aliran behaviorisme.
Sebagai sintesis dari keempat aspek tersebut, dihasilkan definisi se- bagai berikut: Belajar
Motorik adalah şeperangkat proses yang bertalian dengan latihan atau pengalaman yang
mengantarkan ke arah perubahan permanen dalam perilaku terampil (Schmidt, 1982).
Meskipun tekanan belajar motorik ialah penguasaan keterarmpilan, tidaklah berarti aspek
lain, seperti peranan domain kognitif diabaikan. Hal ini dapat kita ikuti dalam penjelasan
Meinel (1976) yang menggarm- barkan analisis spesifik dari belajar dalam konteks olahraga.
Menurut Meinel, belajar gerak itu terdiri dari tahap penguasaan, penghalusan, dan
penstabilan gerak atau ketrampilan tehnik olahraga. Dia menekankan, in- tegrasi
keterampilan di dalam perkembangan total dari kepribadian se- seorang. Karena itu,
penguașaan keterampilan baru diperoleh melalui pe- nerimaan dan pemilikan pengetahuan,
perkembangan koordinasi dan kondisi fisik sebagai maná halnya kepercayaan, dan semangat
juang. Ditambahkannya, belajar gerak dalam olahraga mencerminkan suatu ke- giatan yang
disadari di mana aktivitas belajar diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan. Sebagai pendukung analisis Meinel tersebut tadi, Schnabel (1983) menjelaskan,
karakteristik yang dominan dari belajar ialah kreativitas ketimbang sikap hanya sekedar
menerima di pihak siswa atau atlet yang belajar. Penjelasan tersebut, menegaskan
pentingnya psiko-fisik sebagai suatu kešatuan untuk merealisasi pening- katan keterampilan.
Untuk kebutuhạn analişis, keempat karakteristik belajar motorik yang dipaparkan oleh
Schmidt (1982) di atas tadi, perlu dikupas lebih lan- jut şeperti berikut ini.
1. Belajar sębagai sebuah Proses
Dalam psikologi kognitif dijelaskan, sebuah proses adalah seperang- kat kejadian atau
peristiwa yang berlangsung bersama, menghasilkan beberapa perilaku tertentu. Sebagai
contoh, dalam membaca, proses di- asosiaşikan dengan gerakan mata, menangkap kode
dan simbol dalam teks, memberikan pengertian sesuai dengan perbendaharaan kata
yang tersimpan dalam ingatan, dan seterusnya. Sama halnya dengan belajar
keterampilan motorik, di dalamnya terlibat suatu proses yang menyum- bang kepada
perubahan dalam. perilaku motorik sebagai hasil dari berla-
tih. Karena itu, fokus dari belajar motorik ialah perubahan yang terjadi dalam organisme
yang memungkinkannya untuk melakukan seuatu yang berbeda dengan sebelum
berlatih.
Penjelasan tersebut amat berbeda dengan definisi belajar yang me- nitik beratkan pada
perubahan perilaku sebagai subjek kajian. Banyak ra ahli yartg memaparkan definisi
belajar sebagai perubahan yang rela permanen dalam perilaku sebagai hasil dari latihan
atau pengalaman salnya, Morgan & King, 1971). Definisi ini dengan gamblang menyataka
bahwa perubahan perilaku adalah belajar. Sepaham dengan Schmidh (1982), kami
berpendapat belajar motorik itu adalah seperangkat proses yang mengantarkan ke arah
perubahan perilaku. Jadi, belajar bukan suatu perubahan perilaku; belajar adalah proses
yang mendukung terja- dinya perubahan semacam itu. Pembedaan kedua makna
tersebut tadi akan lebih jelas apabila diikuti uraian berikut ini.
2. Belajar Motorik adalah Hasil Langsung dari Latihan
Dalam buku ini, perubahan perilaku motorik berupa keterampilan dina- hami sebagai
hasil dari latihan dan pengalaman. Hal ini perlu dipertegas untuk membedakan
perubahan yang terjadi karena faktor kematangan dan perturmbuhan. Faktor-faktor
tersebut juga menyebabkan perubahan perilaku (seperti anak yang lebih tua lebih
trampil melakukan suatu ke- trampilan yang baru daripada anak yang lebih muda),
meskipun dapat di- simpulkan perubahan itu karena belajar. Sama halnya dengan
persoalan tersebut, peningkatan kekuatan, daya tahan, atau kemampuan fisik lain- nya
dapat menyebabkan peningkatan keterampilan seseorang dalam suatu cabang olahraga
(misalnya, sepakbola), sehingga dapat dibuat ke- simpulan yang salah bahwa perubahan
itu karena belajar.
3. Belajar Motorik Tak Teramati Secara Langsung
Seperti dijelaskan di muka, belajar motorik atau ketrampilan olahraga tak teramati
secara langsung. Proses yang terjadi di balik perubahan ke- terampilan itu mungkin
sekali amat kompleks dalam sistem persyarafan, seperti misalnya bagaimana informasi
sensoris diproses, diorganisası, dan kemudian diubah menjadi pola gerak otot- otot.
Perubahan itu se- muany. ak dapat diamati secara langsung, dan karena itu, hanya dapat
ditafsirkan eksistensinya dari perubahan yang terjadi dalam keterampilan atau perilaku
motorik. Penjesalan tersebut menyebabkan kita sukar
mempelajari proses belajar motorik itu sendiri, termasuk penyusunan desain
eksperimen yang memuaskan untuk mengamati perubahan pe- rilaku yang
memungkinkan kita dapat menarik suatu kesimpulan yang lo- gis yang berkaitan dengan
perubahan dalam beberapa kondisi internal dalam jiwa dan raga.
4. Belajar Menghasilkan Kapabilitas untuk Bereaksi (Keblasaan)
Pembahasan belajar motorik juga dapat ditinjau dari munculnya ka- pabilitas untuk
melakukan suatu tugas dengan terampil. Kemampuan ter- sebut dapat dipahami sebagai
suatu perubahan dalam sistem pusat sya- raf. Tujuan latihan ialah untuk "memperkuat"
atau memantapkan "jumlah" perubahan yang terdapat pada kondisi internal. Kondisi
inter- nal ini sering disebut dalam iştilah kebiasaan. Tujuan para peneliti ialah untuk
memprediksi kadar atau kuatnya kebiasaan itu, sementara para pelatih olahraga
bertujuan untuk menciptakan kebiasaan yang langgeng. Perlu disepakati, istilah
kapabilitas di sini penting maknanya karena ber- implikasi pada keadaan sebagai berikut:
jika telah tercipta kebiasaan dan kebiasaan itu "kuat", keterampilan dapat diperagakan
jika terdapat kondi- si yang mendukung; tapi, jika kondisinya tidak mendukung
(misalnya, le- lah), keterampilan yang dimakşud tak akan terjadi.
5. Belajar Motorik Relatif Permanen
Ciri lain dari belajar motorik adalah relatif permanen. Hasil belajar itu relatif bertahan
hingga waktų relatif lama. Misalnya saja, seseorang yang telah bisa mengendarai sepeda,
meskipun selama beberapa tahun dia tidak mengendarai sepeda, namun pada suatu
ketika dia tetap dapat mengendarai sepeda. Dalam kasus lain, perubahan itu terjadi
dalam waktu cepat, meskipun hanya menempuh waktu beberapa menit. Seca- ra
dramatis dapat digambarkan, manakala kita belajar dan berlatih, maka kita tak pernah
sama dengan keadaan sebelumnya. Dan belajar mengha- silkan perubahan yang relatif
permanen. Persoalan berikutnya ialah, seberapa lama ketrampilani itu melekat?
Memang sukar untuk menja- wab, berapa lama hasil belajar itu akan melekat. Meskipun
sukar ditetap- kan secara kuantitatif, apakah selama satu bulan, bertahun-tahun atau
hanya 2-3 hari, untuk kebutuhan analisis kita dapat menegaskan, belajar akan
menghasilkan beberapa efek yang melekat.
6. Belajar Motorik Bisa Menimbulkan Efek Negatif
Kesan umum yang kita peroleh dari uraian terdahulu ialah bahwa be an, atau
penampilan gerak seseorang. Namun demikian, anggapan ini lajar akan menimbulkan
efek positif, yakni penyempurnaan keterampil mengandung persoalan, karena apa yang
disebut kemajuan ata nyempurnaan tak terlepas dari persepsi si pengamat. Perubahan
perila- ku pada seseorang bisa jadi dianggap sebagai peningkatan bagi seorang
pengamat, dan sebagai suatu kemunduran bagi yang lain. Banyak c toh yang dapat kita
kemukakan dari kegiatan olahraga, seperti dalam lon cat indah atau dalam senam, yang
menggambarkan efek negatif dari ke giatan belajar atau latihan. Coba bayangkan,
misalnya seorang pesenam belajar gerakan salto ke belakang. Pada suatu ketika,
lompatannya ku rang tinggi dan putaran badannya terlampau banyak sehingga dia jatuh
tertelentang. Apa yang terjadi kemudian? Dia mengalami rasa takut un- tuk mencoba
kembali gerakan salto ke belakang. Rasa sakit pada bagian punggungnya, menyebabkan
dia tak berani lagi melakukan gerakan itu. Rasa takut itu mungkin berlangsung selama
beberapa lama, sampai ke- mudian keberaniannya mungkin bangkit kembali. Contoh
semacam itu, cukup tepat dipakai sebagai ilustrasi tentang gejala kemunduran suatu
ketrampilan sebagai rangkaian akibat kegiatan belajar pada waktu sebe- lumnya.
Kasus seperti tersebut di atas dapat kita jumpai pada cabang olahra- ga lainnya. Kegiatan
belajar atau berlatih, justru bukan mendorong terja- dinya peningkatan keterampilan,
tapi malah menghambat terjadinya per- ubahan. Pengalaman buruk seperti cidera yang
cukup fatal dapat me- nyebabkan seseorarg meninggalkan kegiatan itu untuk selama-
lama- nya. Dia mungkin berpendapat, kegiatan olahraga yang dipelajarinya ti- dak cocok
dengan bakatnya. Gejala inilah yang kita maksudkan sebagai perubahan negatif dalam
perkembangan keterampilan.
Kesimpulan tersebut di atas memang mengandung peluang untuk didiskusikan lebih
lanjut. Kesan buruk terhadap pengalaman masa lam- pau, kegagalan pahit dalam suatu
kegiatan, atau ketidak berhasilan me- lakukan satu jenis keterampilan dengan
sempurna, justru bukan berakibat negatif, tapi menjadi pendorong ke arah perubahan
yang positif. Peng- alaman semacam itu menjadi cambuk bagi seseorang untuk lebih giat
belajar atau berlatih hingga mencapai hasil yang lebih baik.
7. Kurva Hasll Belajar
Barangkali dapat dikatakan, salah satu persoalan yang paling rumi dalam proses belajar
kętrampilan motorik adalah tentang penggambaran perkembangan hasil belajar dan
kecermatan dalam hal penafsirannya. Persoalan tersebut, agaknya telah menjadi
masalah umum, baik di ka- langan para pemula maupun atlet-atlet yang sudah mencapai
prestasi tinggi.
Apakah yang disebut kurva belajar? Grafik (lihat Gambar 4-3) yang menggambarkan
penguasaan kapabilitas untuk bereaksi (yaitu kebiasaan) dalam satu jenis tugas şetelah
dilakukan berulang-ulang disebut kurva belajar. Grafik tersebut menampilkan
perkembangan penampilan ke- mampuan gerak sebagai cerminan dari proses belajar
internal yang ber- langsung di dalam diri şeşeorang. Tentu saja, pernyataan, bahwa
grafik itu mencerminkan kondişi internal (kebiasaan) adalah berlebih-lebihan. Meskipun
bagaimana telitinya çara menggambarkan kurva belajar, hasil- nya tak akan mampu
mengungkapkan kondisi internal yang sebenarnya.

Meskipun kurva belajar tak mampu sepenuhnya mencerminkan pe- rubahan internal
pada diri seseorang, tapi untuk kebutuhan praktis, atas dasar penampilan nyata itulah
dapat ditafsirkan kemajuan, kemandegan,
atau kemunduran hasil belajar yang dicapai seseorang pada suatu wak- tu.
Perkembangaan yang terjadi dalam keterampilan seseorang dijabarkan ke dalam data
kuantitatif, sehingga menghasilkan beberapa tipe kurva seperti: (1) penurunan jumlah
waktu dalam menyelesaikan suatu tugas; (2) pengukuran kecermatan, sseperti
kemampuan mengarahkan Ss, obyek ke sebuah target; (3) penurunan dalam jumlah
kesalahan ke mempelajari suatu keterampilan; (4) persentase keberhasilan pada setiap
kali mencoba jika dibandingkan dengan hasil yang diharapkan; atau (5 kombinasi dari
dua tipe atau lebih dari tehnik pengukuran tersebut atas (Cratty, 1964). Pendekatan lain
dapat kita pahami dari studi lakukan Ehrlich (1943) tentang kecermatan tusukan dalam
permainan anggar yang dipahami sebagai satu keterampilan motorik yang melibat. kan
kecermatan dan keterampilan gerak seluruh bagian tubuh. Ehrlich mengajukan,
penggambaran kurva harus dibuat atas dasar analisis ter. hadap penampilan seseorang
yang ditinjau dari tiga sudut: (1) keadean pada tahap awal; (2) tempo belajar; dan (3)
perkembangan tahap akhir.
Pembuatan kurva belajar itu atas dasar runtunan hasil belajar. Peng gambarannya dapat
dilakukan secara perorangan atau secara berkelom- pok. Jika secara berkelompok, yang
dilukiskan ialah perkembangan rata-rata kemampuan atau ketrampilan para anggota.
Dengan demikian, kita akan memperoleh gambaran umum perkembangan hasil belajar.
Kegunaan praktis dari kurva belajar bagi guru atau pelatih olahraga ialah untuk
mengenal dan memahami beberapa asep yang terkandung dalam pola umum kurva
belajar, dan beberapa faktor yang berkaitan dengan perubahan perilaku seseorang atau
seluruh anggota kelompok pada umumnya.
Kurva belajar pada setiap cabang olahraga tentu akan berbeda-beda. Demikian pula
dalam hal penyelesaian tugas- tugas lainnya yang mem- butuhkan ketrampilan gerak.
Meskipun demikian, para peneliti telah mencoba untuk mengungkapkan suatu pola
umum perkembangan hasıl belajar. Pada tahap awal, terjadi satu peningkatan yang
cepat dalam ke- terampilan (Cratty, 1964). Melton (1950) menamakan gejala itu dalam
isti- lah "the discovery stage" dari belajar. Dikatakan demikian, karena pada tahap awal,
seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan umum tentang komponen tugas
dan tujuan yang akan dicapainya. Menyusul ta- hap awal ini, yaitu tahap kedua yang
disebut dalam istilah tahap "penam- pilan" di mana peningkatan ketrampilan tak
seberapa cepat, namun cu- kup stabil.
Tahap yang dianggap kritis ialah fluktuasi dalam penampilan. Da- lam kurva belajar,
gejala itu diungkapkan dalam istilah plateay. Istilah ini diartikan sebagai suatu periode di
mana hanya sedikit peningkatan yang terjadi (Cratty, 1964). Gejala plateau dalam
olahraga sering menimbul- kan masalah yang kompleks bagi pembinaan, lebih-lebih jika
para pelatih misalnya, tak mampu memahami faktor-faktor yang berperan di balik ge-
jala itu. Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi plateau ialah kondisi internal
seperti motivasi yang rendah, kelelahan kronis, kurang- nya perhatian atau konsentrasi
terhadap tugas, dan lain-lain faktor yang bersumber pada kondisi eksternal şeperti
metode yang ditrapkan, perio- disasi dan distribusi waktu latihan, atau kondisi fasilitas
untuk belajar dán berlatih.
Menyusul gejala plateau dalam penguasaan keterampilan dan gejala naik turunnya
prestași secara tak teratur ialah penurunan dalam kete- rampilan atau prestași.
Beberapa faktor periyebanya, kadang-kadang bersumber dari kegiatan siswa atay atlet
yang bersangkutan yang men- coba secara berlebih-lebihan, baik secara fisik maupun
psikis, untuk melewati limit preștasi. Dalam latihan olahraga, ikhtiar yang berlebih-
lebihan yang menimbulkan efek negatif dari kegiatan belajar atau berlatih yang disebut
dalam istilah overtraining. Masalah ini sudah kita singgung dalam uraian terdahulu, yakni
kegiatan belajar tak selalu me- nimbulkan efek positif.
Dalam kenyataannya, apa yang kita rekarn dalam kurva tak sepenuh- nya berarti hasil
belajar yang telah melekat yang kita sebut dalam istilah kebiasaan. Data yang
dikumpulkan untuk melukiskan suatu grafik ialah data tentang penampilan seseorang
yang dianggap sebagai hasil dari ke- giatan mençoba melaksanakan suatu tugas.
Alasannya ialah, kebiasa- an itu sukar diukur secara langsung, dan kebiasaan dapat
ditafsirkan se- cara tidak langsung dari perubahan dalam penampilan seseorang. Kare-
na itu, Schmidt (1982) lebih suka memakai istilah kurva penampilan (per- formance
curves) ketimbang istilah kurva belajar. Untuk kebutuhan diskusi kita dalam buku ini,
kedua istilah tersebut dapat kita pakai. Kurva belajar dapat dianggap şebagai istilah
umum yang mencakup perkem- bangan atau perubahan dari kemampuan yang nampak
dan perubahan internal. Untuk kebutuhan praktis, kurva penampilan memang lebih co-
cok, karena yang diutamakan adalah peragaan nyata suatu keterampilan. Bahkan dalam
konteks olahraga prestasi misalnya, kita dapat menerap- kan istilah kurva prestasi, yakni
suatu grafik yang melukiskan perkem- bangan prestasi seseorang atlet pada khususnya
atau suatu tim olahra-
ga pada umurnnya.
Yang menjadi masalah ialah, apakah indikator yang dapat sebagai pertanda bagi
penampilan seseorang? Persoalan ini berkaitan untuk mengukurnya. Sebagai contoh,
penggambaran hasil belajar dan berlatih dalam bulutangkis, mungkin dapat dilakukan
atas dasar penampilan teh- langsung dengan apa data yang harus dikumpulkan, dan apa
alat u nik, dan mungkin pula atas dasar kemampuan bermain secara keselu ruhan. Hal-
hal semacam ini harus dirumuskan secara jelas oleh pelatih olahraga agar terdapat
kesamaan persepsi, paling tidak dalam upaya menilai keberhasilan program latihan itu
kelak. Ketiadaan ru an semacam itu, meriyebabkan masalah yang rumit dalam
pembinaan seperti konflik penilaian di kalangan pembina dan bahkan di kalangan let itu
sendiri. Yang dibutuhkan, tentunya alat-alat vang objektif untuk mongukur kapabilitas
seseorang. Paling tidak, mendekati objektivitas guru atau yang memadai.
Dalam penggambaran kurva belajar atau kurva penampilan gerak ter- dapat beberapa
masalah yang bertalian dengan faktor-faktor yang menyebabkan grafik tersebut bisa
mengalami penafsiran yang keliru. Sumber-sumber yang menyebabkan kurva itu tak
sepenuhnya meng- gambarkar. perkembangan kapabilitas seseorang ialah (1) penilaian
pukul rata dalam satu kelompok; (2) penampilan tak konsisten pada ting- kat individual;
dan (3) limit skor untuk menyatakan prestasi seseorang. Schmidt (1982), misalnya, selain
mempersoalkan bahwa yarıg diukur itu bukan kebiasaan, juga kekeliruan dalam
pelukisan kurva atas dasar skor rata-rata dalam kelompok. Lukisan grafik yang
bersangkutan sedemikian peka terhadap variasi skor rata-rata dalam kelompok. Sebagai
contoh, ki- ta mengumpulkan data dari sejumlah atlet. Pada pengetesan ke-1 misal- nya,
kita menmperoleh skor rata- rata dari kelompok itu. Pada pengetesan ke-2, kita juga
memperoleh skor rata-rata. Pemanfaatan skor rata-rata ini dapat menimbulkan bahwa
seseorang anggota bisa "terangkat" ke ting- kat yang lebih tinggi atau sebaliknya. Karena
itu, di samping terjadi kesa- lahan dalam pengukuran, pembuatan grafik atas dasar skor
rata-rata cen- derung menyembunyikan perbedaan yang ada pada setiap individu ang-
gota kelompok. Jika yang diperhitungkan kemampuan perorangan, maka bisa jadi kita
memperoleh gambaran yang berbeda dari ukuran rata-rata. Grafik kemampuan
seseorang mungkin di atas atau di bawan rata-rata (lihat Gambar 4-4).
Pengungkapan perkembangan hasil belajar secara berkelompok me- mang tak akan
mampu melukiskan secara halus perkembangan hasıl be- lajar seseorang. Hạl ini juga
ada kaitannya dengan masalah irama per- kembangan atau peningkatan keterampilan
itu sendiri. Perkembangan belajar dapat mengalami fase lamban atau perubahan drastis
dalam waktu singkat.
Ketika saya masih sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Olahraga (1968), kira-kira selama
satų tahun şaya mencoba mempelajari sendiri gerakan "back hand spring," namun tak
dapat şaya kuasai. Satu bentuk elemen gerak dalam senam lantai itų baru saya kuasai
pada tahun 1969, şetelah latihan beberapa minggu dengan bantuan beberapa pesenam
yang telah menguasainya. Pengalaman ini menunjukkan, perubahan yang cepat setelah
mengalami kemandegan memang bisa terjadi dan terkait dengan beberapa faktor.
Seperti kasus yang saya alami itu, faktor yang mendukung terjadinya peningkatan dalam
waktu cepat ialah: (1) pemahaman tentang prinsip gerak dan bagian tubuh yang
dominan un- tuk melakukan back hand spring; (2) peralatan yang lebih baik, matras yang
empuk sehingga berkurang rasa takut; dan (3) tehnik membantu yang tepat. Pada waktu
sebelumnya, keterampilan tersebut saya lakukan sendiri di atas rumput tanpa bantuan
orang lain. Hasilnya nihil.

Kekeliruan lainnya ialah penampilan seseorang yang tak konsisten pa- da setiap kali
mencoba melakukan tugas yang diberikan. Misalnya dalam trial ke-1, dia memperoleh
skor 6, dalam trial ke-2 skornya 8, dan dalam
trial ke-3, skornya turun menjadi 5. Dalam kenyataannya, kemampuan seseorang
memang tidak ajeg, bahkan dapat dikatakan, tak ada kemam- puan yang persis sama
dari waktu ke waktu. Variasi itu mungkin terjadi karena faktor kebetulan, efek dari trial
sebelumnya, dan sebagainya. Jika hasil pengukuran semacam itu dilukiskan, maka grafik
yang diperoleh tak dapat mencerminkan tingkat penampilan yang sebenarnya.
Faktor yang ketiga ialah berkenaan dengan skor yang dipakai untuk menyatakan
kemampuan seseorang. Dalam cabang olahraga tertentu, seperti loncat indah atau
senam misalnya, skor absolut, baik yang tinggi maupun yang terendah akan
menimbulkkan kesan bahwa ti ada peningkatan yang berarti. Ambil misal dalam senam
dengan skorah solut ialah 10,00. Seseorang pesenam top yang misalnya telah man pu
memperoleh nilai 9,95 untuk penampilan dalam senam lantai, akan mengalami
penilaian, betapapun latihan yang dilakukannya, seolah-olah tak berpengaruh terhadap
peningkatan penampilannya, karena sudah sampai pada batas buntu. Hanya sedikit
"ruang" bagi peningkatan. Sa- ma halnya dengan cabang-cabang olahraga yang diukur
berdasarkan ke- cepatan waktu, seperti lari jarak pendek 100 m. Penajaman waktu hing-
ga 1 detik membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga seolah-olah, atlet yang
bersangkutan tak mengalami kemajuan.
Berkaitan dengan contoh tadi, penafsiran kurva belajar juga tak lepas dari indikator
perkembangan dan penjabaran datanya, sehingga perlu di- lakukan penyesuaian.
Peningkatan seperempat detik dalam kecepatan lari 100 m misalnya dapat saja dianggap
sangat berarti. Hal ini dapat kita jelaskan dari berbagai kasus yang muncul dalam
kompetisi, di mana seo- rang juara hanya unggul dalam waktu sekejap mata. Dalam
perlombaan ski nomor menuruni bukit di Olympiade Musim Dingin ke XV (13 - 28 Januari
1988) di Calgary, Kanada misalnya, Pirmin Zubriggen dari Swiss hanya menang 5/100
detik dari Mueller, rekan senegaranya untuk mere- but medali emas.
Kepekaan skor melukiskan kemampuan seseorang akan mempe- ngaruhi bentuk kurva.
Selain itu, "irama" kemajuan hingga mencapai ti- tik puncak dipengaruhi oleh cara
mengukur tugas yang bersangkutan. Irama perubahan itu tak berkaitan langsung dengan
perubahan kebiasa- an yang mendasari perubahan perilaku (Schmidt, 1982). Hal ini
terung- kap dalam studi yang dilakukan Bahrick, Fitt, and Briggs (1957, "tugas
sederhana"). Para peneliti mempelajari 25 orang pria dengan tugas ge rak berupa "a
continous tracking" selama 90 detik.
Para peneliti menganalisis satu perangkat penampilan dari tiga cara. Pertama, mereka
menganggap bahwa bidang sasaran yang diikuti su- bjek adalah kecil, 5% dari
keseluruhan lebar layar. Sambil pencatat jejak dihidupkan dan mengecek jumlah detik
dalam satu trial saat rmana subyek membidik sasaran imajiner sluas 5%, para peneliti
melaksanakan bebe- rapa cara mengukur "waktu pada target" bagi setiap subjek dan
trial. Kemudian, data dari trial 1 dihitung rata-ratanya dan membentuk kurva "5%"
seperti nampak pada Gambar 4-5. Dengan prosedur yang sama seperti yang pertama,
kecuali şasarannya diperluas menjaadi 15%, data dikumpulkan dengan asumsi makin
lebar target yang dijadikan sasaran, makin mudah mengenalinya. Cara ketiga, juga
demikian, kecuali sasaran layar diperluas hingga 30%.

Ketiga macam kurvá tadi menampilkan pola perubahan perilaku yang berbeda. Mengapa
demikian? Apa faktor penyebabnya? Schmidt (1982) misalnya, menyimpulkan bahwa
terbentuknya kebiasaan tersebut me- rupakan fungsi dari pelakşanaan tugas dengan
target 5%, dan semakin kuat hubungannya dalam bentuk garis linier tatkala tugas
dilakukan de- ngan lebar layar 15%. Kesimpulan tersebut, kata Schmidt, seolah-olah
omong kosong. Dikemukakannya argumentasi, bahwa tempo perubah- an yang berbeda
itu mungkin karena kriteria yang bergerak dari tingkat bawah ke tingkat yang lebih tinggi
(dari 5% ke 30%) dalam keadaan kepe-
kaan skor untuk mengungkapkan kebiasaan yang melekat adalah berbe. da. Kegiatan
belajar yang nampak serupa terjadi pada Trial 1 hingga ke Trial 2. Setelah itu ada kesan,
perbedaan penyempurnaan penampilan ketrampilan tergantung pada luas target yang
ditetapkan.
D. Beberapa Isu dalam Belajar Motorik
Contoh tersebut di atas tadi mengandung makna penting, khusus nya bagi kegiatan
penelitian atau evaluasi dalam belajar ketrampilan me torik. Pelajaran penting dari
contoh tersebut adalah bahwa kepekaan skor untuk menyatakan penampilan gerak yang
telah dikuasi seseorang akan berpengaruh langsung terhadap kesimpulan yang
diperoleh.
Jika skor yang diperoleh telah mendekati limit maksimal, maka sa. ngat besar
kemungkinannya, kita membuat suatu penafsiran, bahwa tak ada kemajuan belajar atau
perubahan dalam kebiasaan seseorang,
Kecermatan kesimpulan yang diperoleh juga dipengaruhi oleh de- sain penelitian itu
sendiri, misalnya bagaimana desain eksperimen yang diterapkan si peneliti untuk
memecahkan suatu masalah. Tujuan umum dari desain yang dimaksud ialah untuk
memahami variabel bebas yang manakah yang berpengaruh terhadap belajar, dan mana
yang tidak. Para ilmuan ingin mengetahui variabel-variabel yang terlibat dalam proses
be- lajar yang paling maksimal, yang terlibat dalam proses memperlemah belajar, dan
yang sama sekali tak ada pengaruh apa-apa. Pengetahuan tersebut sangat berguna
untuk mengembangkan teori belajar.
Isu yang masih hangat antara lain tentang efek dari "massed practice terhadap
penguasaan suatu ketrampilan. Yang merupakan pokok masa- lahnya ialah, apakah ada
perbedaan nyata tentang efek "massed prac- tice" dan "distributedpratice" terhadap
penguasaan suatu keterampilan- an. Dalam mass practice kegiatan latihan dilakukan
dalam satu rangkaian dengan selang waktu istirahat yang amat kecil di antara kegiatan
mencoba. Sedangkan dalam distributed practice, serangkaian kegiatan latihan me-
libatkan kegiatan istirahat yang cukup di antara kegiatan mencoba.
Masalah semacam itu pernah diteliti oleh Stelmach (1969a) dengan bentuk tugas yaitu
memanjat sejumlah palang melintang yang dipasang berdiri tegak sebanyak 16 anak
tangga selama 30 detik untuk setiap kali mencoba. Untuk distributed practice (D) diberi
kesempatan istirahat se lama 30 detik di antara setiap trial, sementara dalam
pelaksanaan massed practice tak ada waktu istirahat di antara trial. Hasil penelitiannya
seperti
pada Gambar 4-6. Kelompok yang berlatih dengan metode distribusi me miliki skor
sekitar 67% lebih besar daripada kelompok yang memaka metode massed practice.
Manakah kelompok yang belajar lebih banyak? Pertanyaan ini sama dengan persoalan
sebagai berikut: "Apakah pergaruh latihan padat (massed practice) terhadap belajar?
Kita bisa mempersoalkan lebih lan- jut hasil penelitian tersebut tadi dengan
mengatakan, apakah hasil bela- jar yang diperoleh sebagai perilaku yang melekat?
Tidakah faktor kele- lahan mencampuri hasil eksperimen?
Pertanyaan semacam itu seumpama kesangsian kita terhadap apa yang terdapat dalam
sebuah kurung, karena tak seberapa jelas. Mungkin saja latihan padat itu tak jauh lebih
bạik daripada latihan berdistribusi, ka- rena hanya berbeda dalam hal pemanfaatan wakt
untuk berlatih atau be - lajar saja.

Perbedaan tersebut tadi terjadi, mungkin karena sebab lain, yakni (1) kelompok yang
memakai pendekatan distributed practice berlatih lebih intensif dan efektif sehingga
memperoleh hasil belajar yang lebih ba- nyak; dan (2) kelompok yang memakai
pendekatan massed practice tak dapat menunjukkan kemampuannya karena mengalami
kelelahan. Kare- na itu, dapat dirumuskan beberapa hipotesis alternatif, seperti:
H1: Kelompok yang berlatih dengan distributed practice belajar leb banyak daripada
kelompok yang berlatih dengan mass practice.
H2: Kelompok yang berlatih dengan distributed practice dan kele pok yang berlatih
dengan massed practice memiliki kadar belajar yang sama.
Berkaitan dengan contoh tersebut di atas, isyu lain yakni tentane usaha dalam belajar.
Sebagai contoh, seseorang yang baru pertama kali mempelajari suatu keterampilan akan
memperlihatkan usaha yang lebih keras atau yang lebih memakan tenaga. Tapi, setelah
keterampilan itu di kuasainya, maka nampak usaha fisikrıya semakin berkurang.
Para peneliti juga dihadapkan dengan masalah jumlah atau kadar belajar. Seperti contoh
di atas tadi, kita dapat mengatakan, kelompok yang berlatih dengan metode massed
practice, kadar belajarnya 20% le- bin kurang dari kelompok yang berlatih dengan
pendekatan distributed practice. Persoalan tersebut ada hubungannya dengan istilah
kebiasaan (habit) yang pada dasarnya merupakan sebuah konstruk abstrak dan tak
dapat diamati secara langsung, sehingga hal itu hanya dapat diestimasi berdasarkan
penampilan seseorang yang terjabarkan dalam skor hasil tes atau pengukuran.
Kesimpulannya ialah, bahwa sukar bagi kita untuk mernbuat pernyataan secara eksak
tentang jumlah atau kadar belajar yang dialami oleh seseorang, lebih-lebih jika ingin
dinyatakan suatu per- bandingan seperti kelompok A belajar lebih banyak dari kelompok
B.
E. Motor Educability
Motor educability adalah suatu istilah yang cukup populer di kalangan guru-guru
olahraga, karena berkenaan langsúng dengan pengungkapan cepat lambatnya seseorang
menguasai suatu keterampilan baru secaça cermat. Dengan kata lain, motor educability
(sukar dinyatakan dalam ba- hasa Indonesia) diartikan sebagai kemampuan umum untuk
mempelaja- ri tugas secara cepat dan cermat (Cratty, 1964). Analog dengan konsep
dalam psikologi, yakni inteligensi, istilah motor educability juga sering di- sebut dalam
istilah lain yakni general motor intelligence (Cratty, 1964).
Jika seseorang memperlihatkan penampilan sedemikian cepat menguasai suatu gerakan
dengan kualitas atau kuantitas yang baik, ma- ka orang itu mungkin dapat dikatakan
memiliki tingkat motor educability yang baik. Orang itu mungkin dapat mempelajari
berbagai gerakan lainnya dengan cepat. Kesimpulan semacam itu masih kurang memiliki
fakta-
fakta yang kuat. Para pengetes calon mahasisvwa di sekolah guru olahraga seperti di
FPOK-IKIP Bandung misalnya, berulang kali menerapkan tes motor educability pada
setiap awal tahun penerimaan calon mahasiswa. Namun sayang hasilnya tak
memuaskan.
Beberapa peneliti, di antaranya Brace (1926) mencoba untuk menyu- sun tes untuk
mengukur motor educability. Namun hasilnya tak me- muaskan juga. Gire dan
Espenschade (1942) juga tak berhasil meng- identifikasi motor educability.
F. Elemen-elemen Penting dalam Belajar
Pendekatan psikologi, seperti dipaparkan Oxendine (1968), meng- ungkapkan beberapa
elemen penting dalam belajar yaitu: (1) ada mahluk hidup yang termotivasi; (2) ada
insentif yang menuntun ke arah pemuasan motif-motif tertentu; (3) ada hambatan atau
rintangan yang mencegah untuk diperolehnya insentif itu dengan segera; dan (4) ada
usaha atau kegiatan dari organisme yang berşangkutan untuk memperoleh insentif itu.
Keempat elemen itu dapat dibahas lebih lanjut. Pertama, semua mahluk hidup
dinyatakan dapat belajar. Bagi Oxendine (1968) misalnya, mahluk hidup itu memiliki
kapasitas belajar baik pada golongan yang le- bih rendah maupun yang tinggi.
Perbedaannya terletak pada kapasıtas dan tipe belajar. Manusia cenderung termasuk
mahluk yang memiliki ka- pasitas paling tinggi untuk mempelajari tipe belajar yang
paling kom- pleks baik berupa belajar verbal, motorik, maupun belajar nilai-nilai dan
moral.
Konsep insentif berkaitan dengan kondisi yang paling mendasar pa- da mahluk hidup di
mana tindakannya diarahkan untuk mencapai suatu tujuan dan kegiatannya didorong
oleh kebutuhan tertentu. Sama sekali tak terelakkan tak semua kebutuhan itu serta
merta dapat dipenuhi, ka- rena ada yang menghambatnya, baik yang berasal dari dalam
diri individu yang bersangkutan maupun dari lingkungan sekitarnya. Karena itu, jika
mahluk hidup yang bersangkutan terangsang hingga tingkat yang me- madai, dia akan
mengerahkan usahanya dan mengulanginya hingga in- sentif yang diharapkannya dapat
diperolehnya.
Dapat disimpulkan, keempat elemen belajar tersebut di atas juga dapat diterapkan
dalam belajar motorik. Pertma-tama, tujuan yang ingin
dicapai harus ditetapkan untuk mengarahkan kegiatan belajar. Fakte motivasi juga
sedemikian penting untuk belajar motorik. Insentif seperti sukses melakukan suatu
keterampilan, pengakuan lingkungan terhada prestasi misalnya merupakan motivasi
yang mendorong seseorang u tuk mengulang-ulang kegiatannya. Hambatan akan selalu
dialami hingga kegiatan belajar tak pernah berhenti. Semua mahluk hidup ber usaha
untuk mengatasi hambatan itu. Tindakan mengatasi hambatan harus dilakukan oleh
organisme yang bersangkutan. Karena itu, kata kunci dalam belajar adalah self-activity
dan dianggap sebagai elemen utama untuk rnemperlancar proses belajar.
Berdasarkan pendekatan psikologi juga diidentifikasi langkah-lang- kah belajar.
Mengutip pendapat Woodruff (1948), Oxendine (1968) me- maparkan kembali langkah-
langkah belajar sebagai berikut :
1. Bangkitnya motivasi pada diri seseorang yang menyebabkan dia siap untuk
mempersepsi rangsang.
2. Terdapat satu tujuan yang berkaitan dengan motivasi; keinginan dan tujuan
merupakan dua hal yang saling berkaitan.
3. Ketegangan bangkit dan meningkat: jika tujuan tak segera terca- pai, ketegangan akan
meningkat.
4. Pencarian tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan.
5. Seseorang memilih dan memantapkan tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan.
6. Perilaku yang tak sesuai tidak diulangi kembali.
Dalam olahraga, baik guru maupun pelatih misalnya bertugas untuk mengajarkan
keterampılan baru atau menyempurnakan keterampilan yang sudah lazim dikuasai.
Masalahnya ialah apakah langkah-langkah tersebut di atas cocok dengan proses belajar
keterampilan baru atau pe- nyempurnaan tahap berikutnya? Woodruff (1948)
cenderung membuat kesimpulan bahwa urut-urutan dari rangkaian langkah tersebut
ialah levan untuk kedua hal tersebut.
G. Rangkuman
Setiap disiplin ilmu memiliki istilah atau perbendaharaan kata yang khas yang
menunjukkan pengertian tertentu tentang suatu gejala. Demi- kian juga dalam bidang
studi belajar motorik. Beberapa istilah yang ter- kait dengan bidang studi tersebut
seperti perilaku motorik, yang dipaha- mi sebagai istilah umum untuk menamakan
perilaku nyata yang ditam
pilkan melalui gerakan otot-otot atau anggota tubuh dan dikerdalivan oleh sistem
persyarafan. Bidang studi lain ialah kontrol motorik ya wilayah kajian yang memusatkan
perhatiannya pada gejala gerak de ngan pendekatan neurofisiologis.
Keterampilan (skill) dapat dipahami dari dua aspek. Pertama, keteram- pilan sebagai
tugas gerak (task), sehingga terampil diartikan sebagai res- pons terhadap stimulus yang
dapat dijabarkan secara kuantitatif atau kualitatif. Orang yang terampil akan
memperlihatkan kualitas gerak yang tinggi, dan gerakan yang mantap. Aspek yang kedua
ialah, keterampilan dianggap sebagai indikator dari tingkat penguasaan atau kemahiran.
Istilah motor ability atau kemampuan gerak yang bersifat umum me- nunjukkan
kapasitas untuk melaksanakan gerak yang relatif melekat se- telah masa kanak-kanak.
Kapasitas terşebut banyak dipengaruhi oleh faktor biologiş, seperti kondisi daya tahan
umum atau daya tahan otot, tingkat kekuatan, dan sebagainya.
Berdasarkan tipe respons yang terjadi terhadap rangsang, maka res- pons motorik dapat
diklasifikasi menjadi beberapa kategori. Pertama, keterampilan "terbuka-tertutup."
suatu kategori berdasarkan pengaruh lingkungan sekitar terhadap penampilan gerak itu
sendiri. Semakin mampu diprediksi pengaruh lingkungan, gerakan yang bersangkutan se-
makin menggeser ke arah jenis keterampilan tertutup. Kedua jenis kete- rampilan
tersebut berada pada satu garis kontinuum, bukan sebagai di- khotomi yang terpisah
seçara absolut.
Yang kedua, keterampilan "kasar dan halus", suatu klasifikasi yang dibuat atas dasar
jumlah otot yang terlibat, kadar energi yang dikerahkan atau usaha untuk menampilkan
gerak itu sendiri. Semakin banyak otot- otot besar yang dilibatkan, semakin banyak
energi dan usaha yang dike- rahkan, keterampilan şemacam itu tergolong keterampilan
"kasar". Begitu sebaliknya. Ketiga, keterampilan diskrit serial-kontinus, yang diklasifika-
si atas dasar rangkaian dari elemen gerak yang dilakukan seseorang. Patokan umum, jika
jelas kapan saat mulai dan berakhir, maka keteram- pilan itu disebut keterampilan
diskrit. Lawannya ialah keterampilan kon- tinuş karena tak jelas batas kedua aspek
tersebut tadi. Keterampilan se- rial mencerminkan perpaduan karakteristik kedua tipe
keterampilan ter- sebut tadi diskrit - kontinus.
Belajar merupakan kapasitas yang terdapat pada setiap mahluk hi- dup. Kelebihan
manusia dari mahluk lain ialah bahwa dia memiliki ka-
pasitas untuk mempelajari tipe-tipe belajar yang lebih kompleks. Belajar ditandai
dengan berupa perubahan perilaku atau pembentukan kebiasaan yang melekat (habit),
yang hanya terjadi melalui kegiatan si pelajar yang bersangkutan.
Dalam konteks belajar keterampilan motorik, beberapa aspek terkan dung di dalamnya:
(1) perubahan perilaku terjadi melalui proses; (2) pe rubahan perilaku terjadi sebagai
hasil langsung dari latihan; (3) proses belajar itu tak teramati secara langsung, tapi hanya
ditafsirkan melalu an si pelajar yang bersangkutan. perilaku nyata; (4) belajar
menghasilkan kapabilitas untuk memberikan respons yang selaras dengan stimulus; dan
(5) hasil belajar rela manen. Beberapa isu yang terdapat dalam belajar keterampilan
mer. seperti kadar usaha belajar, jumlah belajar.
Kurva belajar atau sering disebut kurva penampilan gerak ialah o fik yang melukiskan
perkembangan dari rangkaian penampilan sese rang dalam suatu periode waktu usaha
mencoba melaksanakan tu gerak. Kurva belajar mengandung nilai praktis untuk
memahami geiala belajar. Bentuk umum dari kurva belajar ialah: (1) tahap awal, ditanda
dengan kemajuan pesat, terlukis dalam garis menanjak; (2) fase plateau kemajuan
lamban atau mendatar, bahkan diikuti oleh irama kemajuan tak menentu, naik turun;
dan (3) tahap penurunan yang terlukis pada ga ris menurun. Kurva belajar itu sendiri
dipengaruhi oleh kepekaan skor dan kriteria yang dipakai untuk menjabarkan
kemampuan seeorang.
Motor educability, suatu istilah yang menunjukkan kapasitas seseo- rang mempelajari
keterampilan yang sifatnya baru dalam waktu yang ce- pat dengan kualitas yang baik.
Motor educability dianggap sebagai indi- kator "inteligensi" dalam belajar motorik.
Bukti-bukti empirik masih di- butuhkan.

BAB V
TEORI BELAJAR MOTORIK:
PENDEKATAN PSIKOLOGI
Teori berguna untuk memahami suatu gejala, Dalam Bab V ini akan dipaparkan teori
belajar motorik yang diadaptasi dari teori belajar dalam psikologi pendidikan.
Pemahaman gejala belajar motorik yang diungkap- kan dalam bentuk model akan
dipaparkan dalam beberapa bab berikut nanti.
A. Adaptasi Teori Belajar dari Psikologi
Tak dapat disangkal bahwa sebagian besar dari teori beiajar motorik merupakan
perkembangan lebih lanjut dari teori belajar tradisional yang dikembangkan oleh
para ahli dalam bidang psikologi selama kurun wak- tu yang cukup panjang.
Penemuan-penemuan dalam psikoiogi tersebut disintesis ke dalam beberapa
prinsip, hukum, dan bahkan suatu sistem interpretasi yang lebih luas. Dalam banyak
hal dapat kita katakan, teori belajar motorik mencangkok teori-teori belajar dalam
psikologi pendidi- kan, dan meminiam beberapa konsep dasar dari psikologi umum
untuk memahami gejala tentang hakikat belajar, proses belajar, dan kondisiun- tuk
belajar efektif. Sesuai dengan wilayah masalah yang dikaji oleh bi- dang studi belajar
motorik yaitu perilaku motorik, maka teori belajar mo- torik itu dapat dikatakan
sebagai sebuah konstelasi dari pengetahuan tentang penguasaan, penghalusan, dan
pemantapan ketrampilan atau tehnik dalam olahraga pada khususnya.
Di kalangan para guru dan pelatih, teori belajar gerak itu mungkin te- lah lazim bagi
mereka, sehingga bukan mustahil banyak di antara mereka yang merasa enggan
untuk mengadopsi atau melaksanakan teori "baru." Namun demikian, mereka
mungkin tidak mengembangkan suatu pe- ngetahuan yang terorganisaşi secara
kompak dan sistematis tentang belajar ketrampilan gerak, dan bahkan mereka tak
memiliki suatu penje- lasan yang tersurat atau eksplisit tentang gejala belajar gerak,
khusus- nya dalam olahraga. Meskipun demikian, kadang kala mereka berhasil
dalam merijalankan tugasnya. Namun sayangnya, sebagian besar dari usahanya juga
gagal, bahkan mereka tak mampu memahami masalah- masalah dalam belajar,
terutama jika muncul persoalan baru yang tak ada dalam perbendaharaan
pengalaman mereka pada waktu sebelum-
Nya. Selain itu, mereka juga tak mampu memahami metodi mengajar atau melatih,
bahkan juga tak dapat memahami apa yang menjadi landasan praktek-praktek yang
mereka laksanakan.
Apakah guru atau pelatih memahami atau tidak alasan-alasan di balik praktek yang
mereka laksanakan, guru atau pelatih tersebut pada dasar- nya memiliki teorinya
sendiri. Sebagai contoh, pelatih yang menekankan pentingnya pola penyerangan
yang serupa dengan situasi permainan yang sebenarnya dalam sepakbola,
cenderung berpendapat bahwa me- lalui beberapa kali latihan pola penyerangan,
pemain-pemainnya a mampu menyesuaikan diri mereka dengan situasi yang nyata
dalam tandingan. Guru yang menghukum siswanya yang datang terlambatd lam
pelajaran pendidikan olahraga misalnya, mungkin berpendapat bah wa hukuman
tersebut akan mengubah kebiasaan buruk datang terlam bat sehinga kemudian
akan datang tepat pada waktunya. Pelatih atau guru tersebut sudah tentu memiliki
teorinya tentang cara melatih ata mengajar yang efektif untuk meningkatkan
keterampilan taktik, atau teor tentang pengaruh ganjaran dan hukuman, khususnya
terhadap perubah- an perilaku. Di lain pihak, "teori-teori", opini, atau perlakuan
terhadap siswa/atlet yang mereka peroleh dari pengalaman atau contoh dari rekan-
rekannya, cenderung kurang didukung oleh fakta. Karena itu, penguasaan teori
belajar atau mengajar ketrampilan motorik tak semata- mata untuk meningkatkan
efektivitas atau efisiensi pengajaran, tapi juga untuk mencegah kemungkinan
tentang perlakuan yang salah dalam me- latih atau mengajar. per-
Meskipun demikian, teori bukan sebagai "obat mujarab" untuk me- mecahkan
masalah berupa rendahnya efektivitas atau efisiensi pe- ngajaran atau kepelatihan
dalam olahraga. Psikolog Donald Snygg pada waktu simposium di Kentucky tahun
1951 mengatakan, kenyataan yang menyedihkan ialah, setelah 50 tahun
dilaksanakan kegiatan penelitian yang cermat dan brilian dalam bidang belajar,
orang yang dapat menguji kebenaran untuk menerima manfaat praktis dari teori
adalah para teoriti- kus itu sendiri (lihat Bugelski, 1970; Oxendine, 1984). Atas dasar
alasan itulah, maka dalam bagian berikut ini nanti akan dibahas teori belajar
ketrampilan motorik yang diadaptasi dari teori belajar dalam psikologi pendidikan.
Pendekatan psikologi untuk memahami perilaku dalam konteks bela- jar motorik
adalah relevan, karena proses belajar keterampilan itu sendin tidak semata-mata
sebagai gejala yang dipengaruhi oleh faktor biologis (neuro-fisiologis). Meskipun tak
begitu jelas bagi kita apa yang terjadi da-
lam proses belajar, namun aspek mental diariggap memegang pengaruh yang
dominan. Proses belajar merupakan suatu peristiwa yang melibat- kan aktivitas jiwa
dan badan sebagai satu kesatuan. Pononjolan salah sa- tu aspek, hanya untuk
kepentingan analisis secara teoritis saja.
Sebelum kita sampai pada uraian yang lebih spesifik tentang teon be- lajar motorik,
kita berhadapan dengan suatu masalah, terutama tentang kategori teori belajar itu
sendiri yang dianggap relevan untuk ditrapkan dalam belajar ketrampilan motorik.
Pengelornpokkan teori-teori belajar menjadi beberapa kategori merupakan
pekerjaan yang sulit, karena be- berapa teori baru yang tak tergolong ke dalam
aliran atau teori lama, tak akan tercakup ke dalam kategori tersebut. Meskipun
dernikian, bebera- pa penulis seperti Bigge dan Hunt (1962), seperti apa yang
dipaparkan kembali oleh Oxendine (1968, 1984) cenderung mengklasifikasi teori-
teori besar menjadi dua kategori utama: Kelompok teori stimulus-respons dan
kelompok gestalt-field.
B. Kelompok Teori Asosiasi Stimulus-Respons
Dalam buku ini, untuk kepentingan diskusi lebih lanjut, teori yang di- kembangkan
Thorndike, Guthrie, Hull, Skinner cenderung dikelornpok- kan ke dalam kelompok
teori asosiasi stimulus-respons. Dalam praktek, teori ini sudah diterapkan di
Indonesia, bahkan nampak kuat pengaruhnya dalam bidang kepelatihan, meskipun
mungkin para pelatih kurang me- nyadarinya. Di Amerika, teori stimulus-respons
dikermbangkan jauh se- belum pengembangan teori kognitif. Pengembangannya
didorong oleh kebutuhan akan teori yang lebih praktis dan objektif ketimbang teori
kog- nitif dari Jerman yang dianggap subyektif dan kabur. Teori stimulus-res- pons
dianggap lebih "ilmiah". Teori ini memperoleh pengakuan yang luas pada
permulaan abad ke-20 ketika Pavlov (1927) mengatakan, ada- lah jelas bahwa
bermacam-macam kebiasaan yang berbeda berdasar- kan latihan, pendidikan dan
pendisiplinan bukan berlangsung singkat, ta- pi sebagai sebuah mata rantai yang
panjang dari refleks bersyarat.
Watson (1930) diakui sebagai perdiri behaviorisme, peletak dasar fil- safat bagi teori
stimulus-respons. Keyakinan aliran behaviorisme ten- tang keampuhan stimulus
yang terorganisasi, terungkap dari pernyataan Watson sebagai berikut: "Berikan
kepada saya selusin anak bayi yang sehat dan normal fisiknya, dan dunia keahlian
saya mengembangkan mereka dan saya akan menjamin untuk mengambil setiap
mereka seca- ra acak dan melatihnya untuk menjadi berbagai tipe ahli yang saya
ingin-
kan, seperti dokter, artis, saudagar dan ya, bahkan orang miskin dan pen- curi,
tanpa memandang bakatnya, kesukaannya yang kuat, tendensinya, abilitasnya,
pekerjaan dan ras dari nenek moyangnya. Pernyataan terse- but menunjukkan
betapa optimis para penganut behaviorisme, bahwa seseorang bisa dibentuk jadi
apa saja asal rangsang untuk membentuk mereka benar-benar terprogram dengan
baik." Adalah penting bagi kita untuk mengenal konsep dasar dari teori stimlus-
respons. Menurut p tokohnya, perilaku dapat dikontrol melalui penerapan prinsip
pleasure pain.
Prinsip tersebut akan lebih jelas apabila kita pahami prinsip dasar dari teori itu
sendiri yang terdiri dari dua elemen, yaitu elemen StimuluS Respons yang
dinyatakan dalam model S-R. Model tersebut menunjuk- kan bahwa stimulus
berkaitan langsung dengan respons tertentu. Per- nyataan ini menggambarkan
bahwa pertautan (koneksi) antara stimulus dan respons akan terjadi secara
otomatis. Kebanyakan perilaku bawaan. atau perilaku yang tak dipelajari cenderung
mendukung kecenderungan tersebut. Sebagai contoh, pupil mata kita akan bereaksi
secara otomatis terhadap cahaya yang kuat, atau kita akan menarik tangan dengan
sege- ra jika tangan kita menyentuh setrika yang panas. Sejumlah besar stimu- lus di
lingkungan kita menerpa organ-organ pengindraan kita. Sebagian dari rangsang
tersebut akan ditanggapi dengan respons tertentu yang hanya akan dikuasai melalui
proses latihan atau belajar. Masalahnya ia- lah, apakah seseorang "mengaitkan"
stimulus dan respons, sehingga asosiasi antara kedua elemen tersebut terjalin
menjadi satu hubungan sebab-akibat, di mana stimulus tertentu akan diikuti oleh
respons terten tu secara otomatis. Hal ini sejalan dengan tujuan akhir dari belajar
kete- rampilan motorik ialah kemampuan untuk memperagakan keterampil- an
secara otomatis. Bagi para tokoh teori Stimulus-Respons, reinforce- ment sangat
perlu dalam koneksi stimulusrespons. Karena itulah, mare- ka pada umumnya
beranggapan bahwa ada hubungan langsung antara sebab dan akibat. Atas dasar
asumsi ini, belajar keterampilan gerak dipahami sebagai pembentukan koneksi
antara stimulus dan res- pons motorik. Berkaitan dengan proses pembentukan
koneksi tersebut, para psikolog kemudian memahami, pembentukan pertautan
(bond) an- tara stimulus-respons tak berlangsung secara otomatis, tapi merupakan
hasil dari pemikiran si pelajar.
Para teoritikus stimulus-respons beranggapan bahwa koneksi antara stimulus dan
respons terjadi dalam keadaan si pelajar melihat satu kaitan antara kedua elemen
tersebut. Mereka juga menekankan, belajar adalah
proses pembentukan koneksi baru dan mengorganisasikannya ke dalam sistem dan
mengembangkannya ke dalam pengetahyan, perilaku, dan kepribadian individu. Jika
stimulus itu berkaitan dengan respons yang melibatkan gerakan tubuh, koneksi itu
disebut motor bond. Keterampilan motorik yang sederhana bisa melibatkan
sebagian kecil koneksi, semen- tara dalam keterampilan yang kompleks mungkin
membutuhkan bebe- rapa koneksi motorik (Oxendine, 1984).
1. Teori Koneksionis Thorndike
Edward L. Thorndike (1874-1949) termasuk tokoh besar dalam peng- embangan
teori belajar. Dia mengembangkan teori-teori dan prinsip- prinsip sebagai
pendekatan ilmiah bagi pemecahan masalah pendidikan. Sebagian besar
teorinya dikembangkan berdasarkan data yang dipero- leh dari hasil penelitian
terhadap perilaku belajar hewan yang lebih ren- dah tingkatannya dán gejala
belajar "mencoba dan salah" (trial and error) pada manusia. Teori belajar
Thorndike diakui oleh para pendidik sebagai satu dari sejumlah teori yang
menonjol dan mendominasi praktek pendi- dikan di Amerika Serikat selama
hampir setengah abad, kendatipun ba- nyak kritik terhadap teori itu.
Kebanyakan teori belajar berikutnya dikem- bangkan atas daşar teori Thorndike.
Dan pada tahap selanjutnya, teori belajar Thorndike memberikan pengaruh
banyak terhadap pengem- bangan tecri-teori belajar. Dalam teori belajar
motorik, pengaruh teori Thorndike juga kuat.
Asumsi dasar tentang belajar yang dikembangkan oleh Thorndike pada
permulaan tulisannya ialah asosiasi antara kesan yang diperoleh dari alat dria
dan impuls untuk berbuat (respons). Asosiasi kedua elemen ter- sebut dikenal
sebagai "bọnd" atau "koneksi". Karena itulah, teori Thorndike disebut
"koneksionisme" atau "bond psychology." Setelah melaksanakan sejumlah
penelitian, Thorndike percaya bahwa peng- uasaan pengetahuan, atau
keterampilan memerlukan pengembangan pertautan antara stimulus dan
respons yang serasi. Thorndike juga mengidentifikași bentuk-bentuk belajar
pada golongan hewan yang le- bih rendah tingkatannya dan perilaku belajar
"trial and error" pada manu- sia. Namun, ia kemudian lebih menyukai untuk
menamakan kesemua gejala itu dalam istilah belajar dengan melakukan seleksi
dan koneksi. Penting juga untuk diketahui bahwa eksperimen Thorndike pada
mula- nya dilakukan terutama dengan mempergunakan kucing sebagai subjek,
kendati dalam beberapa eksperimennya juga dilaksanakan dengan
mempergunakan anjing, ikan, dan kera. Hasil dari penemuannya disinte-
sis, sehingga disusun sejumlah prinsip belajar "trial & error." Di prinsip tersebut
dipaparkan oleh Oxendine (1968, 1984) sebagai berikut:
1. Pada awal dari belajar, sedikit sekali keberhasilan yang diperoleh d antara
antara berbagai macam kegiatan.
2. Sukses yang pertama itu agaknya lebih bersifat kebetulan dan sih belurn
nampak asosiasi antara stimulus dan respons yang diharapkan
3. Respons yang salah dan aktivitas yang tak bermanfaat lambat le semakin
berkurang.
4. Si pelajar menjadi semakin sadar akan koneksi antara stimulus dan respons,
dan kemudian dia memperoleh pengertian atau "feeling" ten tang tindakan
yang tepat.
5. Latihan memperkuat respons yang tepat dan tindakan atau gera. kan menjadi
semakin efisien.
Dalam kenyataannya, sebagian dari kegiatan belajar keterampilan motorik
dilakukan melalui proses mencoba gagal dan mencoba laai. Dalam keadaan
demikian, si pelajar mencari-cari cara terbaik untuk mela- kukan gerakan yang
diharapkan. Setelah dia melakukan beberapa kali la- tihan dan mengamati
hasilnya, tehnik-tehnik yang salah ditinggalkannya secara berangsur-angsur dan
diganti dengan gerakan yang benar hingga kemudian dia menguasai
keselulruhan gerakan itu. Ketika belajar suatu gerkan baru dalam stand". pada
senam alat palang sejajar, maka siswa atau atlet yang ber- sangkutan akan
menempuh suatu proses yang mencerminkan tahap- tahap belajar seperti
diteorikan oleh Thorndike tersebut di atas tadi. Pada tahap permulaan, siswa
atau atlet yang bersangkutan akan mengalami banyak kegagalan. Berulang kali
dia akan jatuh sehingga perlu mempero- leh bantuan. Pada suatu ketika dia
mungkin berhasil berdiri di atas kedua tangannya meskipun hanya sesaat.
Keberhasilan semacam itu, kadang kala bersifat kebetulan karena siswa atau
atlet yang bersangkutan be- lum merasakan apa faktor yang menyebabkan dia
berhasil. Dia mungkin paham, faktor kekuatan lengan atau pergelangan kedua
tangannya sa- ngat penting. Tapi dia belum mampu mengkoordinasi gerakannya
de- ngan baik. Setelah mencoba gerakan itu beberapa kali, lambat laun dia
merasakan gerakan yang betul dan salah, hingga kemudian dia hanya
melakukan gerakan yang tepat. Secara simultan dia makin dapat mera- sakan
bagaimana posisi kepalanya untuk membantu pengaturan titik pu- sat berat
badannya, bagaimana mempertahankan keseimbangan de ngan cara
mengontrol kedua mengontrol posisi ujung kaki dan pegangan
tangan. Akhirnya, dia akan hafal benar bagaimana mengatur kesen bangan
seluruh bagian tubuhnya hingga lurus berdiri di atas kedua pa lang.
Meskipun Thorndike melaksanakan eksperimennya dengan bina- tang, dia yakin
bahwa hasil penemuannya itu juga relevan untuk menj laskan gejala belajar
pada manusia. Beberapa hukum yang berpengarun luas dirumuskan oleh
Thorndike. Dia menekankan tiga aspek penting da ri belajar. Istilah aslinya ialah
readiness, exercise, dan effect. Karena ito dikenal law of readiness, law of
exercise, dan law of effect.
Hukum "readiness" menyatakan bahwa belajar akan berlangsung paling efektif
jika siswa yang bersangkutan telah siap untuk memberikan respons (Oxendine,
1968. 1984). Dengan kata lain, hukum "kesiapan" dari Thorndike itu adalah
semacam hukum tentang kesiapan untuk me- nyesuaikan diri dengan stimulus,
bukan hukum pertumbuhan (Hilgard & Bower, 1977). Meskipun teori Thorndike
cenderung menekankan faktor kesiapan belajar dari şudut kesiapan psikologis
seperti minat dan latar belakang pengetahuan, dalam kegiatan belajar
keterampilan motorik se- perti dalam olahraga misalnya, faktor kesiapan faktor
fisik yang berkaitan dengan kematangan fisik atau biologis akan mempengaruhi
proses bela- jar. Dalam istilah keterampilan kognitif misalnya, seorang siswa
akan memperoleh kesulitan banyak untuk mempelajari mata pelajaran mate-
matika, atau bahasa Inggeris, tanpa telah menguasai pengetahuan da- sar. Para
sisvwa sekolah dasar misalnya, akan memperoleh kesulitan be- sar untuk
berhaşil memukul bola voli menyebrangi net dalam keadaan mereka masih
belum matang untuk menangkap atau memukul bola. Ka- rena itu, istilah
kesiapan untuk belajar rupanya tak terpisahkan dari kon- şep kematangan.
Bahkan iştilah kematangan agak lazim bagi guru- guru pendidikan olahraga atau
para pelatih olahraga.
Hukum "exercise" menyatakan bahwa dengan mengulang-ulang respons
tertentu sampai beberapa kali akan memperkuat koneksi antara stimuluş dan
respons. Pertautan yang erat itu akan dikembangkan dan diperkuat melalui
pengulangan yang memadai jumlahnya. Dengan kata lain, koneksi tersebut tadi
akan menjadi lemah, atau lupa akan terjadi jika latihan tidak diteruskan. Karena
itu, istilah penguatan di sini berarti pe- ningkatan probabilitas bahwa respons
tertentu akan diberikan jika situasi yang sama terjadi kembali. Secara singkat
dapat dikatakan, inti sari dari hukum "latihan" itu adalah bahwa kegiatan
berlatih akan membuat hasil belajar makin dikuaşai atau makin sempurna.
Hukum "effect" dianggap sebagai hukum yang paling penting. Hu kum efek ini
diartikan seagai berikut: penguatan atau melemahnya suatu koneksi merupakan
hasil dari konsekuensinya (Hilgard & Bower 1977). Menurut hukum efek,
koneksi antara elemen Stimulus-Respon (S-R) akan diperkuat jika dialami
pengalaman yang "menyenangkan: Sebagai contoh, jika seorang pemain
badminton menemukan bahwa de ngan pola pukulan lob silang ke kiri dari garis
belakang dalam keadaan la wan berada di depan jaring akan menyebabkan
lawan mengalami man langkah skor atau pindah service. Pengalaman sukses
tersebut mem- perkuat koneksi antara posisi lawan dan pola pukulan yang
tepat. Seba diikuti liknya, Thorndike juga mengatakan, jika suatu respons
alaman yang tidak menyenangkan atau tak memuaskan, konseksi an elemen S-R
menjadi lemah. Namun demikian, pada tahap selanjutn Thorndike menata
kembali hukum efek tersebut dengan menjelaska bahwa amat sering suatu
pengalaman yang tak menyenangkan akan se lalu teringat. Jika kita amati
kenyataan dalam olahraga misalnya, peno. alaman pahit seperti kehilangan
peluang untuk memenangkan suatu pertandingan penting karena kesalahan
kecil dalam manuver taktik akan dikenang terus oleh pemain. Untuk
selanjutnya, pemain yang bersang- kutan tak akan melakukan manuver taktik
semacam itu.
Bagi guru atau pelatih olahraga, salah satu kegiatan penting yang di-
laksanakannya ialah mengajar atau melatih. Sehubungan dengan tugas ini,
bagaimanakah penerapan teori Thorndike tersebut tadi, khususnya dalarn
kegiatan belajar keterampilan motorik? Penerapann;a, kemung- kinannya
sebagai berikut:
1. Hukum kesiapan nampaknya amat strategis untuk memperlancar efektivitas
mengajar atau melatih. Dalam konteks olahraga misalnya, ke- siapan itu
dianggap sebagai kesanggupan yang telah terse laksanakan tugas-tugas
ajar, baik secara fisik maupun mental. Implikası hukum ini misalnya
bagaimana menyelaraskan tugas-tugas gerak atau latihan keterampilan
yang sesuai dengan tingkat usia siswa yang bersang- kutan, atau
perkembangan fisiknya seperti tinggi badan, atau pertum- buhan
kemampuan fisik seperti kekuatan, daya tahan dan sebagainya. Karena itu,
baik guru maupun pelatih olahraga harus mengenal karakte- ristik utama
dari siswa atau atlet yang akan dibinanya sebagai tuntunan umum bagi
kegiatan memilih dan menyediakan pengalaman belajal yang cocok dengan
kesiapan siswa agak proses belajar berlangsung maksimal.
2. Latihan harus dilakukan dalam kondisi yang baik untuk memprolen beiajar
yang etęktif. Karena itu, hanya dengan rnelaksanakan "drill" atau latihan
berulang-ulang tak akan menjamin tercapainya tujuan yang dina- rapkan,
karena kondisi bagi belajar juga berpengaruh kuat terhadap pro- ses belajar.
Dengan demikian, perencanaan yang baik tentang pengatur- an skedul atau
distribusi latihan dianjurkan untuk direncanakan secara matang, sementara
pemanfaatan ganjaran atau hadiah perlu diberikan pada saat yang tepat.
3. Guru atau pelatih harus memperhatikan rangkaian urutan yang te- pat dari
pengalaman belajar. Tugas utama guru atau pelatih olahraga ia- lah untuk
mengorganisasi pengalaman belajar dari yang sederhana hing- ga ke yang
kompleks. Tugas-tugas gerak misalnya, harus dipecah-pecah ke dalam langkah-
langkah kecil, sehingga siswa atau atlet yang berşang- kutan dapat
menguasainya. Tehnik-tehnik olahraga dalam suatu çabang dapat dilatih bagian
demi bagian hingga kemudian keseluruhan permainan diperkenalkan.
4. Elemen tehnik yang identik akan mempermulus proses transfer. Jadi, siswa
atau atlet akan memberikan reaksi yang lebih baik dalam suatu situasi baru
yang şerupa dengan situasi sebelumnya. Guru atau pelatih, misalnya, akan
memberikan suatų latihan manuver taktik dalam bola basket yang sesuai
dengan situasi permainan yang sebenarnya. Setelah siswa atau atlet yang
bersangkutan mengulang-ulang latihan tersebut selama beberapa kali, dia akan
lebih mampu menyesuaikan manuver taktik yang tepat dengan situasi dalam
permainan bola basket yang sebenarnya.
5. Hadiah, hingga derajat tertentų dapat dipergunakan untuk mem- permulus
proseş belajar, karena hadiah cenderung memperkuat koneksi antara stimuluş
dan respons. Namun demikian, terlampau banyak mem- berikan insentif
eksternal tidak akan efektif untuk mendorong kecepatan belajar.

2. Teori Contiguity dari Guthrie Edwin R. Guthrie (1886-1959)


mengembangkan teori "contiguity" yang menekankan asosiasi antara
stimulus dan respons. Dia menyata- kan bahwa jiwa çenderung mengaitkan
kedua hal itu yang datang masuk ke dalam dunia mental dalam waktu
bersamaan. Guthrie percaya bahwa repons yang didahului atau diikuti oleh
suatu stimulus atau suatu kombi- nași dari rangsang akan diulang manakala
stimulus atau kombinasi dari rangsang itu diulang.
Dalam beberapa hal tertentu, teori Guthrie pada dasarnya mengiku konsep-
konsep dasar yang telah dikembangkan oleh Thorndike. Namun dalam
aspek tertentu lainnya, penafsiran mereka terhadap belajar adalah
berbeda, sehingga kita akan memperoleh kesan bahwa ada persamaan dan
perbedaan antara teori Thorndike dan teori Guthrie.
Thorndike menerima dua macarn prinsip belajar yaitu: (1) seleksi dan
koneksi, dan (2) pengalihan asosiasi (Hilgard & Bower, 1977). Nam baliknya,
Guthrie tidak menerima hukum "efek" seperti diteorikan Thorndike. Perlu
diketahui, Guthrie adalah penganut behaviorisme paling mula-mula
dipengaruhi oleh tokoh atau filosof behaviorisme va Singer (1911).
Inti sari dari teori Guthrie dapat kita ketahui dari dua prinsip poko yang
dapat kita paparkan secara singkat sebagai berikut: Pertama, rano. sang dan
gerakan adalah satu kombinasi; stimulus berasosiasi dengan respons.
Kedua, satu pola stimulus akan memperoleh kekuatan aso. siasinya yang
paling kuat pada saat terjadi koneksi yang pertama kali de- ngan respons
yang bersangkutan (Guthrie, 1942). Pernyataan ini seolah- olah suatu hal
yang paradoks, bahwa latihan tak menghasilkan kesem- purnaan
keterampian. Guthrie berpendapat bahwa koneksi antarastimu- lus dan
rangsang itu sepenuhnya tercipta pada percobaan atau trial yang pertama
(Oxendine, 1968, 1984). Namun demikian, pernyataan ini bu- kan berarti
bahwa latihan itu tidak penting. Keterampilan diperoleh mela- lui
pengulangan. Penguasaan suatu keterampilan, atau pemantapan ke-
terampilan baru akan diperoleh melalui repetisi di mana setiap fase latihan
mengembangkan kekompakan kaitan stimulus-respons. Selanjutnya.
Guthrie berpendapat bahwa respons yang benar perlu dikembangkar pada
setiap saat, dan penampilan yang baik akan dihasilkan jika siswa yang
bersangkutan mampu mengasosiasi respons yang serasi dengan "kunci"
gerakan yang benar. Menurut teori Guthrie, drill itu berguna un- tuk
memperlancar siswa untuk melakukan lebih banyak jumlah respons yang
tepat dan benar.
Perbedaan lain antara Guthrie dan Thorndike ialah, bahvwa Thorndike
sangat menekankan skor dari tugas yang dipelajari, atau respons yang
tepat, sementara Guthrie lebih peduli hanya terhadap gerakan organis- me
yang bersangkutan, tanpa memperhatikan apakah gerakan itu akan
membawa hasil atau tidak. Prinsip ini dapat dijelaskan dalam conton
mempelajari suatu keterampilan seperti menendang bola dalam permain-
an sepakbola. Keberhasilan pemain menendang bola ke gawang tergan-
tung pada sejumlah gerakan yang bisa dipelajari pada satu kali perçoba- an
atau latihan dalam semua situasi vang berbeda. Latihan itu pon ting
terutama untuk menguasai kunc-kunci gerakan yang bernasi. Serubungan
dengan hal ini, Hilgard dan Bower (1977) menje- laskan: semakin
bermaçam-macan gerakan yeng dibutuhkan untuk me-. lakukan suatu gerak
atau ketrampilan, dan semakin bervariası kurıci-kunci penting yang harus
menyatu dengan kesemua gerakan itu, maka sema kin banyak latihan
dibutuhkan.
Guthrie juga berpendapat, lupa merupakan gejala yang bukan karena
disebabkan oleh tidak digunakannya suatu keterampilan tapi karena ga-
nguan dari kegiatan belajar berikutnya. Latihan berulang-ulang akan
membantu siswa untuk dapat melakukan lebih banyak respons yang be-
nar, dan karena itu maskin banyak asosiasi yang dikuasai.
Bagi Guthrie yang penting ialah perilaku nyata seperti yang ditam- pilkan
oleh siswa. Dia beranggapan, belajar seumpama suatu proses yang
berlangsung dalam sebuah kotak yang tak terlihat isinya dari luar, sehingga
gejala belajar tak. sepenuhnya dapat dipahami dengan pende- katan ilmiah.
Peranan para psikolog ialah untuk menyerasikan stimu- lus dan respons
sehingga perilaku dapat diprediksi atas dasar kedua hal itu.
Guthrie juga tidak sepaham dengan Thorndike tentang hukum efek. Dia
berpendapat bahwa motivasi bukan merupakan faktor penting da- lam
proses belajar, dan karenanya dia tidak menekankan pemanfaatan
penghargaan atau hadian. Menurut Guthrie, hadiah tidak berperan untuk
şecara langsung memperkuat kaitan antara stimulus-respons. Hadiah
merupakan faktor pendorong secara langsung terhadap efektivitas bela- jar.
Si peiajar akan melakukan respons yang tepat, jadi bukan karena dia
memperoleh hadiah şetelah melakukan tugas atau kegiatan yang ber- :
sangkutan. Bagi Guthrie, hadiah hanya merupakan alat yang penting un- tuk
mendorong atau mengekang aktivitas belajar. Dengan kata lain, jika
seseorang belajar untuk menguasai suatu keterampilan sehingga dia ma-
kin mahir untuk męmberikan respons tertentu, maka hadiah akan ber-
peran sebagai pendorong agar dia tetap giat untuk belajar atau berlatih.
Selain itu, pemberian hadiah pada saat latihan istirahat, tak akan membe-
rikan efek belajar yang diharapkan, demikian Guthrie.
Guthrie juga menekankan konsep bahwa orang belajar apabila dia sendiri
yang melakukannya, dan bukan karena mereka memperoleh ha- diah
setelah itu. Sama halnya, orang tidak akan belajar melakukan suatu
kegiatan dengan memberikan hukuman terhadap kegiatan yang gagal.
Berkenaan dengan isu transfer latihan, Guthrie berpendapat, bahwa hanya
sedikit kemungkinan terjadinya transfer. Namun demikian, dia se paham
dengan Thorndike transfer antara elemen yang identik
Apa impilikasi teori Guthrie dalam belajar keterampilan motorik. Oxendine
(1968) memaparkan kemungkinan penerapan teori Guthrie sebagai berikut:
1. Penguasaan keterampilan tehnik dalam olahraga dapat dikembang- kan
dengan berulang-ulang berlatih dalam kegiatan tersebut. Beberapa kali
latihan akan mengembangkan respons yang tepat terhadap sen rangkat
rangsang.
2. Motivasi perlu dipergunakan hanya dalam keadaan siswa enggan untuk
berpartisipasi dalam latihan.
3. Hasil belajar sebelumnya akan terganggu oleh respons yang baru Karena
itu, respons yang salah atau kegagalan dalam latihan akan me. nyebabkan
kebiasaan yang benar akan terlupakan. Dengan demikian, sa- ngat penting
bagi guru atau pelatih untuk menekankan latihan yang suk. ses, atau
melakukan gerakan yang benar.
4. Transfer keterampilan terbatas pada jenis rangsang yang identik.
Akibatnya, kondisi untuk belajar harus serupa. Seorang pelatih badminton
misalnya, harus mernpersiapkan latihan tehnik dalam kondisi yang mirip
dengan pertandingan yang sebenarnya atau dalam keadaan bermain
menghadapi lawan. Karena itu, ada pelatih yang berpendapat, jangan
memberikan pola taktik atau tehnik baru menjelang pertandingan.
3. Teori Reinforcement dari Hull Clark L. Hull
(1884-1952) adalah tokoh teori stimulus-respons lainnya yang menekankan
pentingnya reduksi dorongan sebagai faktor paiing utama dalam belajar.
Hull menyatakan, organisme selalu dalam keadaan tidak seimbang dengan
lingkungannya; Kebutuhan organisme direaliasi- kan dalam suatu dorongan
(drive). Kebutuhan itu ada yang bersifat pri- mer (berkaitan dengan
keniscayaan fisiologis) atau sekunder (berkaitan dengan keinginan yang
bersifat psikologis). Doronga-dorongan itu mem- bangkitkan energi pada
siswa yang bersangkutan. Jika kebutuhan terpe- nuhi maka dorongan itu
akan berkuarng. Pengurangan dorongan meru- pakan reinforcement yang
menyebabkan timbulnya respons untuk dipe- lajari. Tesis Hull menyatakan,
sebuah stimulus akan menyebabkan terja- dinya respons yang terwujud
berupa dorongan. Dorongan itu membang- kitkan terjadinya respons oleh
organisme yang berakhir jika dorongan itu
berkurang. Pengurangan dorongan merupakan reintorcement yang
mengembangkan kebiasaan atau belajar.
Inti dari teori Hull ialah bahwa koneksi stimulus-respons bersifat mekanistik
untuk membentuk kebiasaan (Hilgard & Bower, 1977). Se- lain itu, teori
belajar Hull terbangun dalam sebuah sistem, meskipun tak seberapa
terpadu seperti teori Thorndike atau teori dari aliran gestait. Definisi-
definisi yang dikembangkan Hull dinyatakan secara detail se- hingga setiap
aspek dapat diteliti secara ilmiah. Hull sepaham deigan Thorndike tentang
hukum efek. Dia juga menambahkan penjelasan ten- tang gejala seperti
tujuan berbuat, insight, dan gejala lainnya yang sukar dijelaskan oleh aliran
behaviorisme.
Menurut Hull, reinforcement adalah kondisi utama untuk memben- tuk
kebiasaan. Reinforcement, kata Hull, berperan sebagai alat bagi
pembentukan kebiasaan. Reinforcement merupakan unsur pemuas,
menyusul terjadinya respons.
Pengaruh kuat dari teori Hull terutama terhadap pengorganisasian program
belajar yang mesti dirançang untuk memenuhi kebutuhan siswa. Karena
pengurangan dorongan adalah reinforcement yarıg dapat me-
rigembangkan kebiasaan, program pendidikan harus berdasarkan kebu-
tuhan siswa.
Sehubungan dengan prinsip transfer, Hull berpendapat, bahvwa rang- sang
tak perlu harus benar-benar sama untuk menghasilkan respons yang sama
pula. Selain itu, bagi Hull, pengulangan tugas ajar terus me- nerus akan
menimbulkan inhibisi. Menurut teori Hull, inhibisi reaktif dije- laskan
sebagai suatu kecenderungan untuk menghindari respons yang telah
dilakukan. Selanjutnya, semakin sering tugas ajar itu dilakukan, se- makirı
kuat keengganan untuk mengulanggi tugas ajar yang bersangkut- an. Jadi,
inhibisi itu prosesnya seiring dengan jumlah waktu. Karena itu, belajar
bukan merupakan akibat dari jumlah latihan, tapi tergantung pada
reinforcement (reduksi dorongan). Agar efektif, latihan harus dilakukan
dalam keadaan siswa memiliki kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kon- sep
ini sama dengan hukum efek dari Thorndike, tapi berbeda dengan teori
belajar "apa yang diperbuat" dalam teori Guthrie.
Kemungkinan penerapan teori Hull sebagai berikut : 1. Transfer dari latihan
akan terjadi jika terdapat kondisi yang sama. Karena itu, guru atau pelatih
harus merancang paket-paket program di mana elemen yang sama dari
kegiatan berbeda diciptakan untuk mendo- rong terjadinya transfer.
2. Program pendidikan harus berdasarkan kebutuhan siswe ialah bahwa
guru atau pelatih harus peduli terhadap karakteristik fisik dan psikologis
para siswa atau atlet, sehingga tugas gerak atau bahan la tihan disesuaikan
dengan karakteristik tersebut.
3. Berkenaan dengan lamanya latihan, guru atau pelatih harus me- rancang
latihan itu dengan memperhatikan minat siswa. Hanya terus Dam pak
utama dari teori Hull terhadap proses belajar keterampilan motorik
menerus berlatih, atau latihan selama waktu yang sangat lama akans
nimbulkan inhibisi.
4. Belajar keterampilan motorik dalam olahraga harus dimulai dari
terampilan yang sederhana terus ke yang lebih kompleks. Gerakan da perlu
dipelajari dalam situasi permainan.
5. Guru atau pelatih harus menekankan pemahaman tentang konek si
antara stimulus dan respons di pihak siswa yang bersangkutan. Sebagai
contoh, seorang pemain badminton harus memahamni koneksi antar
gerakan pecutan pergelangan tangannya dalam pelaksanaan smash dan
kecepatan shuttlecock. Dia harus dapat memaharni kaitan antara posisi
badannya dan penyempurnaan tehniknya sebelum dia dapat melakukan
posisi yang paling baik untuk memukul shuttlecock. Dengan demikian,
meskipun kaitan antara stimulus dan respons seolah-olah mekanistik, siswa
atau atlet perlu memahami kaitan antara kedua faktor tersebut.
4. Operant Conditioning dari Skinner
B.F. Skinner (lahir 1904) mengembangkan sebuah teori yang mene- kankan
pentingnya reinforcement dari respons sebagai faktor yang pa- ling
menentukan dalam belajar. Dalam belajar keterampilan motorik, teori
Skinner memiliki dampak yang kuat dan luas, khususnya dalam pengem-
bangan metode latihan. Teori Skinner disebut operant conditioning. Bagi
Skinner, operant berarti seperangkat tindakan atau respons. Jadi, "ope- rant
conditioning" berarti proses belajar yang menyebabkan respons makin
sering terjadi dengan cara memberikan reinforcement atau penguat
terhadap tindakan yang diharapkan (Oxendine, 1968, 1984). Dapat di-
tambahkan, sebuah "reinforcer" atau penguat didefinisikan atas dasar
efeknya. Setiap rangsang merupakan unsur penguat jika unsur itu me-
ningkatkan peluang terjadinya respons (Hilgard & Bower, 1977).
Menurut teori Skinner (1953), unsur penguat itu terbagi menjadi dua
macam: (1) unsur penguat positif: suatu stimulus, jika diterapkan akan di-
ikuti oleh respons operant, akan memperkuat peluang respons yang ber
sangkutan, (2) unsur penguat negatif: suatu stimulus. jika dihilangkan dan
diikuti oleh respons operant, akan memperkuat peluang respons yang
bersangkutan. Makanạn, air, misalnya, merupakan unsur penguat positit
bagi seseorang yang sedang lapar, sementara suhu yang amat panas atau
dingin, suara yang amat nyaring tergolong unsur penguat ne- gatif. Jika
Thorndike percaya bahwa unsur penguat (reinforcement) itu akan
memperkuat ikatan stimulus dan respons, bagi Skinner, unsur penguat itu
hanya memperkuat respons.
Berkenaan dengan implikasi unsur penguat, Skinner menggambar- kan
bahwa penguatan perilaku operant dalam kehidupan biasa tak selalu
teratur dan seragam. Şeorang pemain badminton, misalnya, tak selalu akan
membuat skor dari hasil serangannya, kendatipun dia menyerang titik
lemah dari lawannya. Karena itu, işyu penguatan suatu respons me- lalu:
apa yang disebut intermittent reinforcement atau perangsang ber- kala
adalah lebih kritis daripada eksperimen di laboratorium. Skinner membagi
perangsang berkala itu menjadi dua maçam: (1) penjadwalan interval, dan
(2) penjadwalan ratio.
Penjadwalan interval berarti penyediaan unsur penguat pada interval waktu
yang telah ditetapkan. Dengan mepergunakan sebuah jam, misal- nya,
unsur penguat itu diberikan terhadap respons pertama setelah se- lang
waktu yang telah dirancang. Biasanya, selang waktu bagi pemberi- an unsur
penguat itu antara 30 detik dan 10 menit dan seterusnya. De- ngan kata
lain, pemberian unsur penguat semacam itu disebut pemberi- an
perangsang secara periodik.
Penjadwalan ratio diartikan sebagai penyediaan unsur penguat sete- lah
berlangsung respons yang kesekian kalinya setelah diberikan peng- uat yang
pertama. Yang paling lazim ialah, frekuensi respons itu antara 10 hingga
200. Di lain pihak, ratio sebanyak 1000 atau lebih dapat dicapai dengan
respons yang secara relatif tak seberapa memakan tenaga.
Penting juga untuk dibahas secara singkat, prinsip dari unsur penguat. Keller
dan Schoenfeld (1950) seperti dikutip Hilgard & Bower (1977) menjelaskan
şebuah rangsang yang semula bukan sebagai penguat da- pat berubah
menjadi unsur penguat melalui asosiasi yang berulang- ulang. Dengan kata
lain, sebuah rangsang memerlukan suatu kekuatan untuk menjadi unsur
penguat.
Dalam pengembangan konsep unsur penguat tersebut tadi juga dikenal
istilah unsur penguat primer dan penguat sekunder. Karena itu
pula maka ada istilah unsur penguat yang bersifat umum senubungan
menyusul pengua primer. Uang, misalnya, dianggap sebagai sebuah ilustrasi
yang baik dan berbagai kebutuhan seperti makanan, minuman, pakaian.
perumahan dengan kecenderungan dari unsur penguat sekunder penguat
yang bersifat umum, karena dengan uang akan dapat terpenuhi dan
kebutuhan dasar lainnya. Jadi, uang menjadi unsur penqua bersifat umum
bagi berbagai kegiatan.
Pengaruh paling kuat dari teori Skinner berkaitan dengan kemungkinan
untuk menciptakan perubahan perilaku secara sengaja dan berencana
Perubahan sosial dapat diciptakan melalui pemberian stimulus tematik
untuk mengontrol perilaku manusia. Karena itu, teori Skinner cenderung
menuntun ke arah perlakuan terhadap manusia sebagai sin yang
memberikan respons secara otomatis. Selain itu, teori Skinner sangat peduii
terhadap perilaku yang terukur. Karena itu, masalah "duni dalam" seperti
motivasi, emosi, perhatian, atau imaginisi tak memilik tempat dalam teori
tersebut.
Kata kunci dalam teori Skinner ialah, perilaku manusia pada dasar nya ialah
operant, atau perilaku itu merupakan hasil dari conditioning. Berkaitan
dengan hukum efek dari Thorndike yang menekankan pada respons
mencari insentif, Skinner berpendapat bahwa tak perlu bagi se- seorang
untuk melihat koneksi antara operant dan hasil dari unsur penguat yang
bersangkutan. Belajar dapat terjadi dengan atau tanpa kesadaran individu
terhadap konsekuensi dari responsnya (Oxendine, 1968, 1984).
Teori Skinner juga berpengaruh banyak terhadap proses belajar ke-
trampilan motorik, termasuk aplikasi metode "drill" dalam pendidikan
olahraga. Pemanfaatan alat bantu mekanik atau mesin pengajaran di-
kembangkan dan disediakan untuk memperlancar proses belajar dan
mengajar. Tugas utama dari guru atau pelatih olahraga ialah mengor-
ganisasi pengalaman belajar dan mengatur pemberian unsur penguat.
Mereka juga perlu mendorong siswa atau atlet untuk mempergunakan
tehnik pengukuran yang dapat dilakukan sendiri untuk memaksimum- kan
perilaku operan. Pelaksanaan keterampilan dalam cabang perorangan
seperti dalam olahraga panahan, golf, bowling, dan lain-lain, merupakan
cerminan dari gagasan tentang pentingnya unsur penguat. Penetapan
target dan hasil yang secara langsung dapat diketahui yang bersangkutan
akan memperkuat atau memperlemah respons berikutnya.
Jika dirangkum inti sari dari psikologi penganut Skinner adalah, hadiah,
perlakuan tertentu, atau hukuman pada dasamya membentuk kepribadian
seşeorang. Perilaku seseorang akan membawa akibat bagi perubahan
tindakannya.
C. Kelompok Teori Kognitif
Ide dasar dari teori kognitif ialah bahwa seorang pelajar mengorga- nisasikan
rangsang atau persepsinya ke dalam suatu pola atau bentuk secara keselulruhan.
Semua rangsang şaling terkait dengan yang lain, dan kesemua rạngsang itu memiliki
karakteristik yang diperoleh dari hu- bungannya dengan yang lain. Rangsang itu
secara langsung terkait de- ngan sebuah latar belakang, sehingga makna suatų
rangsang diamati da- lam kaitannya dengan sebuah medan atau field. Kerena itu,
teori kognitif menekankan pada pentingnya kesadaran si pelajar terhadap
keseluruh- an medan yang bersangkutan. Sebagai contoh, seorang pemain sepak-
bola akan menguasai keseluruh prinsip dari tehnik sepakbola setelah dia melakukan
permainan itu. Karena itu, menurut Oxendine (1968, 1984), ada tiga aspek dari
aktivitas individu untuk mengolah rangsang yang dite- rimanya: (1) mengubungkan
satu rangsang dengan yang lain; (2) meru- muskan kesimpulan şementara tentang
kaitan antara cara (alat) dan tujuan; dan (3) berperilaku untuk mençapai suatu
tujuan.
Penerimaan gejala insight adalah satu ide penting dalam teori ges- talt. Adalah lazim
bahwa sşeseorang tiba-tiba menemukan pemecahan masalah setelah dia mencoba
melakukannya beberapa kali, Seorang pe- main badminton misalnya, yang selalu
gagal untuk melakukan pukulan lob ke belakang secara cermat, tiba-tiba pada suatu
ketika dia menemu- kan tehnik pukulan yang efektif, atau dia menemukan cara
memperbaiki kesalahannya. Penyempurnaan tehnik semacam itu dianggap sebagai
hasil dari insight. Penemuan pemecahan masalah secara tiba-tiba sering disebut
dalam iştilah gejala "Ah, ha."
1. Penganut Psikologi Gestalt
Titik konsentrasi studi yang dilakukan teori gestalt klasik adalah per- sepsi
individu. Proses belajar tergantung pada bagaimana seseo- rang atau si pelajar
yang bersangkutan mempersepsi lingkungannya. Konsep dasar itu
dikémbangkan melalui eksperimen yang dilakukan oleh tiga psikolog Jerman,
Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), dan Wolgang Kohler
(1887-), sementara konsep stimulus- respons dominan di Amerika.
Konsep utama dari teori gestalt ialah figure dan ground. Ini berati bah- wa,
medan sensoris, seperti pengamatan, pengengran dan lain-lain dior-
ganisasikan ke dalarn sebuah gambar dengan suatu latar belakang Seseorang
akan mempersepsi gambar dan latar belakang itu secara serempak.
Karakteristik utama dari teori gestalf ialah konsep insight. Gejala "Ah, ha"
dipergunakan untuk menggambarkan penemuan peimecahan suatu masalah
secara tiba-tiba. Konsep penting. lainnya dari psikolog gestalt ialah bahwa suatu
keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian bagiannya. Suatu keselurunan
tak semata-mata sebagai akumulasan. bagian-bagian, tapi keseluruhan pola
suatu keseluruhan memiliki dan teristiknya pada setiap bagian.
Koffka (1933) mengembangkan tiga hukum yang berkaitan deno belajar.
Pertama, law of proximity yaitu kecenderungan individu unt mengelompokkan
sesuatu bersama-sama sesuai dengan kedekat waktu atau ruang. Kedua, law of
similarity, yaitu kecenderungan untuk mengelompokkan suatu objek yang
serupa dalam hal. ukuran, bentuk atau warna. Ketiga, law of closure yang
berarti suatu kecenderungan dan seseorang untuk menyempurnakan atau tidak
melengkapi bagian-bagian dari keseluruhan medan.
Jika prinsip dari psikologi gestalt diterapkan dalam proses belajar ke trampilan
motorik, pelaksanaannya sebagai berikut:
1. Aktivitas suatu cabang olahraga harus dilakukan secara keseluruh- an, bukan
sebagai pelaksanaan gerak secara terpisah-pisah. Karena itu, guru atau pelatih
harus menanamkan pengertian agar siswa atau atlet sadar akan keseluruhan
kegiatan. Dengan kata lain, pemecahan keselu- ruhan aktivitas menjadi bagian-
bagian yang terpisah akan menyebabkan siswa tak mampu mengaitkan bagian-
bagian tersebut. Karena itu, keun- tungan utama dari latihan keseluruhan
permainan yaitu menuntun siswa untuk mempersatukan bagian menjadi
sebuah unit yang terpadu.
2. Tugas utama dari guru atau pelatih ialah untuk memaksimumkan transfer
dari latihan di antara berbagai kegiatan. Bagi para penganut psi- kologi gestalt,
pola ume terjadinya transfer di antara berbagai kegiatan.
3. Faktor insight penting untuk memecahkan masalah. Kapa- sitas individu
untuk memecahkan masalah dalam olahraga yang sering muncul berupa sebuah
gerakan refleks tergantung pada keterampilan dasar untuk melakukan gerakan
yang kompleks. Karena itu, mental prac- tice dapat dipergunakan sebagai suatu
prosedur yang bermanfaat untuk memperlancar proses belajar.
4. Pemahaman tentang hubungan antara bagian-bagian dengan
suatu keseluruhan penting bagi peragaan keterampilan yang erektir. Karena itu,
seorang pemain sepakbola misalnya, harus memiliki pema- haman tentang
kaitan antara posisi bola, dan rangkaian geraknya sendiri sebelum dan sesudah
dia melakukan suatu tehnik seperti menendang bola, atau tehnik lainnya. Salah
şatu kelemahan dari proses pengajaran atau kepelatihan ialah kegagalan pelatih
atau guru olahraga untuk me- nyampaikan informasi yang menuntun atlet atau
şiswa untuk mempero- leh pemahaman yang mendalam tentang kaitan antara
bagian-bagian di dalam konteks keseluruhan.
2. Teori Sign-Gestalt dari Tolman
Edward C. Tolman (1886-1959) dikenal sebagai tokoh teori gestalt, karena dia
mengkombinasikan berbagai konsep dari psikologi gestalt dan
mengembangkannya ke dalam sebuah teori belajar yang dapat dite- rima. Di
antara konsep penting yang dikembangkan Tolman ialah ide ten- tang persepsi
dan penerapannya dalam pendidikan. Konsep utama Tolman adalah sign-gestalt
yang berarti pengorganisasian atau pemben- tukan pola rangsang yang
bęrtindak sebagai tuntunan atau petunjuk bagi si pelajar (Oxedine, 1968, 1984).
Menurut Tolman, si pelajar bérbuat untuk mencapai tujuan atau mengikuti
petunjuk rambu-rambu untuk mencapai tujuannya. Tolman juga menekankan
bahwa manusia tidak bereaksi secara otomatis dan pasif terhadap rangsang..
Dia berpendapat, manusia berfikir ketika mengorga- nisasi rangsang. Karena itu,
inteligensi manusia sangat penting. Dia juga berpendapat bahwa trial and error
merupakan ciri yang melekat dalam kegiatan latihan. Si pelajar mencoba untuk
mencari jalan yang berbeda- beda untuk memecahkan masalah. Karena itu,
Tolman menganjurkan bahwa "mental practice" merupakan satu cara belajar
yang penting pa- da semua tipe belajar. Tolman menerima prinsip hadiah dan
hukuman sebagai faktor penting untuk mendorong kegiatan belajar, terutama
un- tuk merangsang kegiatannya agar lebih giat atau meneruskan aktivitas- nya.
Sebaliknya, Tolman berpendapat bahwa motivasi tak berkaitan de- ngan belajar.
Dia tak menerima hukum efek dari Thorndike.
Seperti halnya teori-teori terdahulu, bagian berikut ini dipaparkan ide tentang
penerapan teori, khususnya yang mencerminkan pandangan "sign-gestalt"
dalam belajar ketrampilan motorik. Kita simpulkan seba- gai berikut:
1. Bukti-bukti tentang koneksi antara dua situasi penting untuk mem-
perlancar proses transfer.
2. Guru atau pelatih perlu mendorong siswa/atlet untuk mencobabe berapa
alternatif yang berbeda, karena kapasitas semacam itu membantu untuk
meningkatkan penguasaan suatu keterampilan.
3. Sehubungan dengan penyajian tugas ajar, penting bagi guru atau pelatih
untuk menekankan pentingnya pengorganisasian dan penyuguh- an
keseluruhan unit kegiatan dalam lingkup pemahaman siswa yang ber. akan
sangkutan.
4. Hadiah dapat dimanfaatkan sebagai alat yang tivasi siswa guna melakukan
suatu perbuatan atau kegiatan yang tepat efektif untuk memo sesuai untuk
mencaai tujuan.
3. Teori Medan dari Lewin
Kurt Lewin (1890-1947) dikenal sebagai tokoh sebuah teori yang me nekankan
kompleksitas dari rangsang terhadap si pelajar. Dibandingkan dengan teori
gestalt, Teori Lewin lebih menitik beratkan pada peranan motivasi. Konsep
utama dari Lewin ialah bahwa "ruang kehidupan" siswa terdiri dari kekuatan
internal dan eksternal yang berpengaruh ter- hadap dirinya. Rangsang internal
mencakup rangsang psikologis, seperti memori, kecemasan, dan faktor fisiologis
seperti lapar, haus, dan seba- gainya. Rangsang ekesternal diperoleh dari
lingkungan. Selain itu, inte- raksi antara rangsang internal dan eksternal akan
mempengaruhi dan menentukan perilaku seseorang.
Aspek lain dari kontribusi Lewin ialah efek dari motivasi terhadap pencapaian
tujuan. Bagi Lewin, motif-motif berkaitan dengan tujuan yang bersifat pribadi,
dan tak perlu berkaitan dengan insentif nya umum. Dia juga menyatakan,
tujuan itu sendiri ditetapkan atau dicip- takan oleh individu, sementara hadiah
dapat disediakan oleh pihak luar. Seorang atlet, misalnya, mungkin
memenangkan suatu pertandingan dan memperoleh medali, tapi dia tak begitu
senang karena dia tak dapa! memecahkan rekor sebagai tujuan yang diidam-
idamkan.
Wilayah lain yang dikembangkan Lewin ialah teori dinamika kelom- pok. Teori
ini tidak akan didiskusikan dalam buku ini. Namun demikian. penting untuk
dicatat, teori ini juga penting dalam kegiatan mengajar atau melatih olahraga.
karena berkenaan langsung dengan pengelolaan kelompok dan pemahaman
terhadap kekuatan yang mempengaruhi dr namika di dalam kelompok.
Penerapan teori medan Lewin dalam belajar keterampilan motorik. secara
umum sebagai berikut:
1. Adalah penting bagi guru atau pelatih untuk membantu siswa atau atlet
untuk menetapkan tujuannya sendiri dan membantu mereka untuk mencapai
tujuan tersebut, di samping guru atau pelatih juga membantu untuk mengatasi
hambatan-hambatan yang menghalangi pericapaian tujuan tersebut. Dengan
mempergunakan suatu standar. jumian, atau jarak sebagai tujuan yang ingin
dicapai, hal itu mungkin akan memberi- kan pengaruh yang kuat bagi siswa atau
atlet yang tak berambisi untuk berprestasi guna mencapai prestası yang lebih
tinggi.
2. Ekologi kelas atau kelompok yang diperoleh dari iklim kelas atau in- teraksi
sosial yang baik akan berguna untuk mendorong proses belajar yang lancar.
Pembentukan kelompok atau regu-regu dalam satu kelas misalnya, dengan
pembagian tugas sebayai pemimpin, termasuk pen- ciptaan kerja sama dan
semangat kelompok yang kukuh juga akan men- dorong proses belajar. Tekanan
untuk memenangkan pertandingan dan kompetisi memperoleh status dalam
satu tim mişalnya dapat dimanfaat- kan sebagai alat yang efektif untuk memacu
kegiatan belajar atau berla- tih.
3. Guru atau pelatih harus memperhatikar, bahwa rangsang tak ha- nya datang
dari luar tapi juga dari dalam. Karena itu, guru atau pelatih per- lu menyadari
kompleksitas proses mengajar atau melatih. Pemahaman terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi proses belajar akan mem- bantu guru atau pelatih untuk
memberikan bimbingan yang efektif.
D. Sintesis Teori Asosiasi Stimulus-Respons dan Teori Kognitif
Setelah kita simak inti sari kedua kelompok besar teori belajar yang
dikembangkan dalam psikologi, maka kita memperoleh gam- baran bahwa
kedua kelompok teori memiliki perbedaan pandang- an, di samping ada
beberapa persamaannya. Perbedaan itu ber- sumber dari dua hal: (1) teori
dikembangkan dalam periode waktu yang berbeda, dan (2) paradigma
penelitian atau eksperimen yang berbeda, termasuk desain, tipe subjek, tugas
ajar, tehnik memotivasi, dan sebagainya.
Ştalling (1982) mengemukakan perbedaan pokok antara teori Koneksionis
(Asoşiasi Stimulus-Respons) dan teori Kognitif seba- gai sebagai berikut:
Teori Kognitif s-O-r Teori Koneksionis S-o-R
Simbol "s" berarti stimulus, simbol "r" berarti respons dan simbol" berarti
organisme. Dalam kelompok teori koneksionis (stimulus-res pons) yang
ditonjolkan ialah unsur stimulus dan respons itu sendiri, se mentara dalam
kelompok teori kognitif yang ditonjolkan ialah orgarin menya sendiri. Dengan
perkataan lain, dalam teori kognitif, interprestas seseorang terhadap rangsang
sangat penting. Sedangkan pada kelom pok teori koneksionis, kaitan atau
koneksi antara stimulus dan respons yang amat penting.
lengkap untuk menjelaskan fenomena yang muncul. Oleh sebak
pengintegrasian kesemua teori akan lebih bermanfaat untuk memaharm gejala
belajar. Ini berarti, kita tak perlu memahami teori itu saling berr tangan. Dalam
praktek, teori itu semuanya akan saling isi mengisi.
Usaha untuk mensintesis teori belajar dari pendekatan psikologi itu telah
dirintis oleh para ahli. Sintesis yang dilakukan Hilgard (1956), misal nya masih
relevan untuk memahami gejala belajar dalam keterampilan berolahraga,
seperti juga dikemukakan oleh Oxendine (1968, 198 Rangkuman sintesis teori
koneksionis dan teori kognitif sebagai berikut
1. orang yang lebih cerdas lebih mampu mempelajari sesuatu daripada orang
yang tak cerdas. Secara umum, anak yang lebih tua akan lebih siap belajar
daripada yang lebih muda; penurunan kemampuan sehubungan dengan usia,
dalam tahun-tahun dewasa, tergantung pada apa yang te- lah dipelajari.
2. Siswa yang termotivasi akan memperoleh apa yang dipelajarinya lebih
banyak daripada yang tidak termotivasi.
3. Motivasi yang terlampau kuat (misalnya takut, cemas) dapat me- nyebabkan
ganguan keadaan emosi sehingga motivasi yang berlebihan itu dapat
menyebabkan hasil yang kurang efektif ketimbang motivasi berlangsung
sedang-sedang saja untuk mempelajari suatu tugas, khu- susnya yang
menyangkut kemampuan membuat pembedaan.
4. Belajar dalam keadaan akan memperoleh hadiah biasanya berlang- sung lebih
lancar ketimbang dalam keadaan akan memperoleh hukum- an. Sama halnya,
belajar yang termotivasi dengan sukses lebih lancar ke- timbang belajar yang
termotivasi oleh kegagalan.
5. Belajar akan lebih lancar dalam keadaan memperoleh motivasi in- trinsik
ketimbang motivasi ekstrinsik.
6. Toleransi terhadap kegagalan paling baik diajarkan melalui penye- diaan
pengalaman berhasil sebagai kompensasi pengalaman gagal.
7. Individu membutuhkan latihan dengan penetapan tujuan pribadi yang
realistik; tujuan itu tidak terlampau rendah sehingga hanya mem- bangkitkan
usaha yang sedikit, juga tidak teriampau tinggi sehingga tak dapat dicapai.
8.Riwayat pribadi seseorang, misalnya reaksınya terhadap otoritas, aapat
menghambat atau memacu kemampuannya untuk belajar dari apa yang
diberikan guru.
9. Belajar aktif lebih baik daripada belajar pasif, inisalnya dari cera- mah atau
film. 10. Materi dan tugas yang penuh arti akan lebih siap dipelajari siswa
ketimbang materi atau tugas yang tak bermakna.
11. Tak ada cara latihan lain sebagai pengganti latihan berulang-ulang untuk
memantapkan suatu keterampilan (misainya keterampilan seorang pemain
piano dalam sebuah konsert).
12. Informaši tentang bagaimana penampilan yang baik, pengetahu- an tentang
kesalahan, dan pengetahuan tentang keberhasilan merupa- kan faktor pemacu
dalam belajar.
13. Transfer suatu keterampilan baru akan iebih baik, jika dalam bela- jar, si
pelajar dapat menemukan sendiri hubungan beberapa faktor dan pengalaman
penerapan prinsip-prinsip dalam tugas yang beraneka ragam dalam belajar.
14. Dalam bahan-bahan yang membutuhkan waktu lama untuk di- ingat
kembali, pendekatan sedikit demi sedikit adalah menguntungkan.
Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, sedikit sekali usaha untuk mensintesis
kedua kelompok teori belajar tersebut tadi (Oxendine, 1984).
E. Rangkuman
Teori-teori belajar yang dipaparkan dalam Bab V, diadaptasi dari psi- kologi
pendidikan. Kesemua teori itu berupaya untuk menjelaskan feno- mena belajar:
apa itu belajar, dan bagaimana belajar berlangsung. Teori belajar itu merupakan
rangkuman dan sintesis dari penelitian dan opini para teoritikus yang
dikemukakan dalam interpretasi yang cermat. Kegu- naannya ialah, terutama
agar guru dan pelatih dapat mengembangkan pengertian yang sistematik
tentang prinsip-prinsip belajar, sehingga ke- semuanya itu dapat mendorong
pengembangan metode yang efektif.
Dua kelompok besar teori belajar, yaitu: (1) teori asosiasi simulus- respons atau
teori koneksionis; dan (2) teori gestalt-field atau teori kog-
nitif. Yang termasuk kelonmpok teori asosiasi stimulus respons ialah teori
koneksionis Thorndike; (b) teori contiguity Guthrie; (c) teori reinfor cement Hull;
(d) teori operant conditioning Skinner. Dalam kelomp teori kognitif, termasuk
(a) teori gestalt; (b) teori sign-gestalt Tolman dan (c) teori medan Lewin.
Ada perbedaan dan persamaan antara kedua kelompok teori itu. Perbedaannya,
hanya terletak pada penekanan aspek tertentu. Pada kelorr pok teori
koneksionis, koneksi antara stimulus dan respons itulah paling penting,
sementara pada kelompok kognitif interpretasi individu dan pemanfaatan
rangsang internal dan eksternal lah yang penting. Ke. dua kelompok memiliki
visi masing-masing dalam hal persepsi dan kog- nisi, motivasi dan peranan
berlatih. Meskipun berbeda, kedua kelompok teori itu saling isi mengisi dalam
penerapannya.

Anda mungkin juga menyukai