Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kambing Peranakan Etawa


Kambing perah yang banyak dikembangkan di
Indonesia umumya kambing Peranakan Etawa yang menjadi
salah satu ternak indigenous dan memiliki potensi genetik
yang tinggi sebagai penghasil dwiguna (daging dan susu) akan
tetapi, masih lebih dominan sebagai sumber daging jika
dibandingkan dengan sumber susu, karena susu kambing
belum banyak dikonsumsi secara luas oleh masyarakat seperti
susu sapi (Khoiriyah dan Fatchiyah, 2013). Sebagai ternak
penghasil daging, ternak kambing ada juga yang menghasilkan
susu sehingga dimasuk kedalam kambing dwiguna, yaitu
kambing peranakan Etawa (PE). Kambing PE merupakan hasil
persilangan antara kambing lokal Indonesia (kambing kacang)
dengan kambing Etawa, yang dimaksud dengan kambing
Etawa di sini adalah kambing Jamnapari yang ditemukan di
Distrik Ettawa di daerah Uttarbal. Kambing ini termasuk pada
jenis dwiguna, yang selain memproduksi daging juga
memproduksi susu (Prajoga, 2007). Kambing Peranakan
Etawah (PE) merupakan persilangan antara kambing Etawah
dan kambing kacang yang bersifat dwiguna yaitu sebagai
penghasil daging dan susu (Trisnadewi dkk., 2009).
Kambing peranakan etawa (PE) memiliki keunggulan
dalam beradaptasi, daya produksi, dan reproduksi yang tinggi.
Berbagai keunggulan yang dimiliki, antara lain mempunyai
harga jual yang mahal sehingga banyak dipelihara masyarakat
sebagai hewan ternak. Kambing PE memiliki ciri khas yang
tidak dimiliki oleh kambing dari galur lainnya dan merupakan

9
sumber daya genetik lokal Indonesia yang perlu dijaga dan
dipelihara kelestariannya (Hidayati dkk., 2015).

Gambar 2. Kambing Peranakan Etawa


Sumber: ilmuternak.com

Kambing Peranakan Etawa memiliki ciri-ciri yang


tidak jauh berbeda dengan kambing Etawa, yaitu postur tubuh
yang besar, telinga panjang menggantung, muka cembung,
bulu di bagian paha belakang yang panjang. Kambing PE
betina memiliki ambing yang relatif lebih besar dibanding
kambing lokal lainnya dan memiliki puting yang panjang.
Jenis kambing ini merupakan kambing tipe dwiguna, yakni
sebagai penghasil susu dan daging. Kambing PE di Indonesia
hampir 90% dipelihara untuk tujuan menghasilkan daging
(Sodiq dan Abidin, 2009).

2.2 Steaming-Up
Steaming-up adalah pemberian pakan yang berkualitas
baik. Pemberian ransum sebelum melahirkan (steaming-up)
bertujuan untuk membentuk kondisi badan yang bagus (skor 6
– 7) dan memperkecil terjadinya penurunan berat badan induk
karena menyusui pedetnya (Raihanah, 2012). Steaming-up
merupakan perlakuan pemberian pakan tinggi nutrisi, terutama
protein dan energi pada kebuntingan tua (Sahu et al., 2013).

10
Steaming up bertujuan sebagai sumber energi induk partus
(Praveena et al., 2014), mengoptimalkan bobot lahir
(Chellapandian, 2016), produksi susu awal laktasi (Moeini et
al, 2014). Steaming up dapat dilakukan menggunakan bahan
pakan tinggi energi dan protein dan memiliki zat anti nutrisi
yang rendah. Evaluasi keberhasilan steaming up dapat
diketahui melalui nilai body condition score induk sebelum
partus (Dharmawan dkk., 2019).
Metode steaming-up dan flushing, yang bertujuan
mempercepat terjadinya pengawinan setelah fase laktasi
sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pada
induk (Sumardani dkk., 2010). Agar pedet yang dilahirkan
sehat dan kuat maka 2-3 minggu sebelum melahirkan perlu
dilakukan challenge feeding program yaitu dengan
meningkatkan kualitas pakan yang diberikan. Salah satu
caranya adalah dengan meningkatkan kandungan energi
ransum (Suryani dkk., 2017). Pemberian ransum dengan
kualitas baik pada saat induk bunting tua dapat berpengaruh
terhadap peningkatan bobot lahir, dan akan terjadi sebaliknya
apabila kekurangan, seperti bobot lahir pedet rendah, kondisi
lemah dan tingkat kematian tinggi. Ransum dengan kualitas
baik dimungkinkan dapat mencukupi ketersediaan nutrisi yang
diserap oleh fetus pada fase pertumbuhan (Saptayanti dkk.,
2015). Pemberian pakan berkualitas tinggi dalam jumlah yang
cukup sangat penting selama kurang lebih 4 minggu
menjelang partus. Ada dua tujuan pemberian pakan yang baik
selama masa tersebut, yakni untuk mendukung kebutuhan bagi
produksi air susu yang mengalami puncak produksi dalam
masa tersebut dan menjaga agar kondisi tubuh induk tetap
dalam skor yang baik (tidak kurus) agar induk dapat segera
birahi dan kawin lagi (Ginting, 2009).

11
2.3 Rumput Gajah Taiwan
Rumput gajah Taiwan merupakan salah satu varietas
dari rumput gajah (Pennisetum purpureum). Rumput ini
berasal dari Taiwan dan pertama kali di tanam di Balai Embrio
Ternak (BET) Cipelang Bogor, Jawa Barat. Rumput ini
merupakan salah satu jenis rumput unggul yang disukai oleh
ternak. Rumput gajah Taiwan memiliki tekstur daun lunak dan
halus, batang yang tidak keras, jumlah anakan yang banyak,
dan mempunyai akar yang kuat. Rumput ini memiliki daun
yang lebih lebar dari varietas King grass (Balai Embrio
Ternak, 1997). Peningkatan produksi dan kualitas hijauan
makanan ternak ini dapat dilakukan melalui domestikasi
tanaman baru yang memiliki kandungan zat makanan tinggi
dan mudah diperoleh. Salah satu jenis tanaman makanan
ternak yang dapat dikembangkan adalah rumput gajah varietas
Taiwan.
Kualitas rumput gajah Taiwan pada umur defoliasi dan
konsentasi EM4 yang berbeda menunjukkan adanya interaski
antara umur pemotongan dengan kualitas rumput Gajah
Kultivar Taiwan. Pada umur pemotongan 35 hari tanpa adanya
perlakuan menghasilkan kualitas nutrien yang lebih tinggi
dengan persentase protein kasar sebesar 16,7% dan serat kasar
23,75%, sedangkan pada umur potong 45 hari persentase
protein kasar sebesar 12,77% dan serat kasar 23,93%
sedangkan umur pemotongan yang terlampau lama yaitu pada
umur 55 hari menghasilkan nilai nutrien yang relatif rendah
yaitu dengan persentase protein kasarnya sebesar 8,54% dan
serat kasarnya 27,23% (Novieta, 2016). Rumput Gajah
kultivar Taiwan mengadung air 87,54% dan berdasarkan BK
mengandung 15,3% abu; 13,87% PK; 1,61% LK; 22,92% SK
dan 46,47% BETN (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia

12
dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas
Padjajaran, 2009). Kandungan bahan organik Rumput Gajah
(Pennisetum purpureum) cv. Taiwan masing-masing
perlakuan berkisar antara 81,04% – 89,22%, protein kasar
berkisar antara 10,31% sampai dengan 15,16% (Ifradi dkk.,
2012).

Kandungan nutrien rumput gajah varietas Taiwan


(Pennisetum purpureum cv Taiwan) dapat dilihat pada Tabel
berikut :
Tabel 1. Kandungan Nutrien Rumput Gajah Varietas Taiwan
Kandungan Presentase (%)
Protein Kasar* 10,85
Serat Kasar** 30-32
Ca** 0,24-0,31
Sumber : *)Manurung dkk., (2001)
**)Suyitman (2003)

Gambar 3. Rumput gajah (Pennisetum purpureum)


Sumber: infoagribisnis.com

2.4 Konsentrat
Konsentrat adalah pakan yang mengandung nutrisi
yang mudah dicerna dan dibutuhkan untuk mempercepat
produktifitas. Pemberian pakan hanya berupa hijauan saja
terkadang tidak cukup, sehingga perlu ditambahkan jenis

13
Gambar 3. Rumput gajah (Pennisetum purpureum)
Sumber: infoagribisnis.com
pakan lain berupa konsentrat. Perbandingan hijauan dan
konsentrat umumnya didasarkan kebutuhan sapi dan
kemampuan peternak untuk menyediakan bahan tersebut
(Gustiar dkk., 2014). Pemberian pakan konsentrat yang
memiliki nilai nutrisi lebih tinggi dari pada hijauan, ditujukan
untuk memberikan peluang kepada ternak agar dapat
memaksimalkan pertumbuhan/ produksi (Laryska dan
Nurhajati, 2013). Konsentrat terdiri dari campuran jagung,
dedak halus, bungkil kelapa dan tepung ikan. Kualitas pakan
konsentrat komersial buatan pabrik berupa pellet memiliki
kandungan protein yang tinggi (Estoepangestie et al, 2018).
Pemberian pakan tambahan berupa konsentrat perlu
diterapkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan nutrien serta
untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing. Konsentrat
merupakan bahan pakan yang mudah dicerna dan mengandung
nilai nutrisi yang tinggi, sehingga ketersediaan zat-zat
makanan untuk mensintesis jaringan tubuh semakin banyak
dan dapat meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian
konsentrat dalam pakan berbasis hijauan dilakukan dengan
maksud untuk menyediakan bahan-bahan pembentuk protein
mikroba seperti amonia (NH3), asam lemak terbang (VFA)
yang cukup pada rumen, sehingga pertumbuhan mikroba
rumen menjadi cepat. Cepatnya pertumbuhan mikroba rumen
akan meningkatkan populasi dan aktivitas dalam mencerna
serat kasar. Produktivitas dan efisiensi pemanfaatan protein
pada ternak ruminansia dapat ditingkatkan dengan optimalisasi
sintesis protein mikroba (SPM) rumen. Untuk mensitesa
protein mikroba yang optimal diperlukan keseimbangan energi
(VFA) dan nitrogen dalam bentuk NH3. Sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan kambing akan nutrien agar dapat hidup
dan berproduksi dengan baik, maka campuran pakan dasar

14
berupa hijauan dan pakan tambahan berupa konsentrat harus
diberikan dalam porsi yang seimbang (Yogantara dkk., 2014).
Fungsi utama konsentrat adalah untuk mencukupi
kebutuhan protein, karbohidrat, lemak dan mineral yang tidak
dapat dipenuhi oleh hijauan (Eniza, 2004). Konsentrat untuk
ternak dapat berupa pollard, jerami, jagung dan bekatul.
Penambahan konsentrat pada ternak bertujuan untuk
meningkatkan nilai pakan dan menambah energi (Nadhifah
dkk., 2012). Konsentrat yang diberikan 2 jam sebelum
pemberian hijauan akan meningkatkan kecernaan ransum.
Pemberian konsentrat sebelum pakan hijauan berguna untuk
meningkatkan kecernaan pakan secara keseluruhan (Iswoyo
dan Widiyaningrum, 2008). Konsentrat disusun sedemikian
rupa dengan kandungan protein kasar 17-20% (Novita, 2006).
Kandungan nutrisi pakan konsentrat komersial bentuk pellet
untuk sapi protein 30,4%, lemak 13,5%, serat kasar 13,4%,
abu 10%, kalsium 2,7%, bahan kering 91,3% (Laryska dan
Nurhajati, 2013).

2.5 Indigofera sp.


Indigofera sp. merupakan tanaman leguminosa dengan
genus Indigofera dan memiliki 700 spesies yang tersebar
mulai dari benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Utara.
Jenis leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia
karena toleran terhadap musim kering, genangan air, dan tahan
terhadap salinitas (Hassen et al., 2007). Selain itu
pertumbuhannya sangat cepat, adaptif terhadap tingkat
kesuburan rendah, mudah dan murah pemeliharaannya.
Indigofera sp. sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan
ternak karena kandungan bahan organik hijauan ini dapat

15
meningkat dengan adanya pemberian pupuk organik sehingga
nilai kecernaan juga dapat meningkat (Suharlina, 2010).
Indigofera sp. merupakan tanaman pakan ternak (TPT)
dari kelompok leguminosa 50 pohon. Indigofera sp.
merupakan tanaman dari kelompok kacangan (famili
Fabaceae) dengan genus Indigofera sp. Beberapa tahun
belakangan ini telah dicobakan sebagai bahan pakan ternak
ruminansia termasuk kambing. Leguminosa pohon ini
memiliki prodiktivitas yang tinggi dan kandungan nutrien
yang cukup baik, terutama kandungan proteinnya yang tinggi.
Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang
kaya akan nitrogen, posfor, kalium dan kalsium (Simanihuruk
dan Sirait, 2009).
Produksi Indigofera sp. mencapai 4.096 kg bahan
kering/ha saat dipanen pada hari ke-88 mengandung PK
23,40%, SK 14,60%, NDF 56,10% dan ADF 30,73%
(Abdullah dan Suharlina, 2010). Produksi BK total Indigofera
sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun 5
ton/ha/tahun. Tepung daun Indigofera sp. mengandung PK
22,30%-31,10%, NDF 18,90%- 50,40%, kecernaan in vitro
BO berkisar 55,80%-71,70%, SK sekitar 15,25%. (Hassen et
al., 2007). Nilai nutrisi tepung daun Indigofera sp. adalah
sebagai berikut: protein kasar 27,97%; serat kasar 15,25%, Ca
0,22% dan P 0,18%. Selanjutnya disebutkan bahwa sebagai
sumber protein, tepung daun Indigofera sp. mengandung
pigmen yang cukup tinggi seperti xantofil dan carotenoid
(Akbarillah dkk., 2002).

16
Gambar 3. Rumput gajah (Pennisetum purpureum)
Sumber: infoagribisnis.com
Gambar 4. Indigofera sp.
Sumber: tribunnews.com

Indigofera dapat mempertahankan potensial air sangat


rendah dibandingkan legum lainnya pada keadaan kekeringan,
selama ada mikoriza yang berinteraksi dengannya. Daun dan
batang dikeringkan, kemudian dirontokkan dengan mesin
perontok (daun kering dengan sendirinya terlepas dari batang
edible). Pengeringan dengan sinar matahari 4 jam sudah
menyisakan kadar air sekitar 28%, dan pada 2 jam pertama
kadar air sudah mencapai 30%, atau pengeringan dengan oven
70oC selama 2 jam. Kadar air ini sangat sesuai untuk
pembuatan tepung (agar tidak terlalu berdebu) dan mudah
dibentuk pelet (Abdullah, 2014).
Pakan Indigofera sp.yang diberikan merupakan hasil
perlakuan interval dan intensitas pemotongan terbaik yaitu
interval pemotongan 60 hari dan tinggi pemotongan 1,5 meter.
Pemberian Indigofera sp. sebanyak 45% dari total ransum
kambing Boerka memperlihatkan nilai KCBK sebesar 60,07%,
KCBO 62,53%, dan KCPK 69,80% (Tarigan, 2009).
Pengukuran nilai kecernaan secara in vivo suatu ransum juga
dipengaruhi oleh kondisi ternak dan bahan pakan lain yang
diberikan sebagai campuran dalam ransum. Pada penelitian ini
ransum P1 terdiri dari campuran rumput lapang dan pellet
Indigofera sp., sehingga kecernaan ransum P1 juga

17
dipengaruhi oleh komposisi nutrien yang terdapat dalam
rumput lapang (Apdini, 2011). Uji kecernaan in vivo
menggunakan subtitusi kosentrat dengan tepung Indigofera sp.
taraf 20% dan 40% pada sapi perah FH menghasilkan KcBK
berturut – turut 77,42% dan 76,54% dan KcBO berturut –
turut 79,21% dan 78,34% (Rahman, 2014).
Indigofera suffrutiscosa dan Indigofera hirsufa masing-
masing memiliki kandungan tanin sebesar 9,35 dan 10,43%
(Ologhobo, 2009). Kandungan tanin yang meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah Indigofera sp. dalam ransum
(Wijaya et al., 2018). Tanin merupakan senyawa sekunder dari
leguminosa contohnya pada tanaman Indigofera sp.
mengandung 34,59 mg/g sampel (Tamil et al., 2012).
Indigofera sp. memiliki kandungan PK PK 23,40%, SK
14,60%, NDF 56,10% dan ADF 30,73%; kecernaan bahan
kering (KCBK) 67,50%; kecernaan bahan organik (KCBO)
60,32%; tannin 0,08% dan saponin 0,41% (Abdullah dan
Suharlina, 2010).

2.6 Kecernaan BK
Kecernaan atau daya cerna merupakan bagian dari
nutrien pakan yang tidak diekskresikan dalam feses dan yang
diasumsikan sebagai bagian yang diabsorpsi oleh ternak.
Kecernaan dipengaruhi oleh jumlah serta kandungan nutrien
yang dikonsumsi oleh ternak tersebut. Besarnya kecernaan
menentukan banyaknya nutrien yang dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan
(Paramita dkk., 2008). Kecernaan bahan kering ransum
diperoleh dari selisih antara bahan kering ransum yang
dikonsumsi dengan bahan kering feses dibagi dengan bahan

18
kering yang dikonsumsi dikalikan dengan 100% (Rubianti
dkk., 2010).
Bahan kering mempunyai komposisi kimia yang sama
dengan bahan organik ditambah abu, yang berarti bahwa
jumlah konsumsi bahan kering akan berpengaruh terhadap
jumlah konsumsi bahan organik. Bahan kering yang
dikonsumsi akan mempengaruhi besarnya nutrien yang
dikonsumsi sehingga jika konsumsi bahan organik meningkat
maka akan meningkatkan konsumsi nutrien (Raharjo dkk.,
2013). Nilai kecernaan bahan kering menunjukkan seberapa
nilai nutrisi pakan yang dicerna ternak.  Kecernaan bahan
kering berhubungan erat dengan kecernaan bahan organik
(Aryanto dkk., 2013).  Semakin tinggi tingkat pemberian
konsentrat disertai dengan meningkatnya daya cerna (BK)
ransum, dengan bertambahnya kosentrat dalam ransum maka
kandungan karbohidrat non struktural juga akan bertambah.
Karbohidrat jenis ini akan difermentasi dengan cepat menjadi
produk akhir fermentasi berrupa asam lemak terbang (asetat,
propionat dan butirat) sehinga meningkatkan kecernaan BK
(Momot dkk., 2014).
Bahan kering didapat dengan cara dikeringkan dalam
oven selama 24 jam. Selanjutnya bahan dalam cawan
dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada
suhu 450-600oC. Sebagai blanko dipakai residu asal fermentasi
tanpa sampel bahan pakan (Witariadi dan Budiasa, 2010).
Kecernaan BK secara in vivo menunjukkan sejumlah bahan
kering yang mampu diserap saluran cerna kambing PE betina
lepas sapih yang mendapat complete feed nabati maupun
hewani baik dengan perlakuan tanpa dan dengan fermentasi
maupun dengan penggunaan sumber protein berbeda (Susanti
dan Suhartati, 2015).

19
2.7 Kecernaan BO
Bahan organik merupakan bagian dari BK, sehingga
apabila BK meningkat akan menyebabkan peningkatan
kandungan BO pada bahan yang sama (Wahyuni dkk.,
2014).  Nilai kecernaan bahan organik yang rendah disebabkan
karena konsumsi bahan kering juga rendah.  Jumlah konsumsi
bahan kering akan mempengaruhi kecernaan bahan organik
(Aryanto dkk., 2013).  Nilai kecernaan bahan organik sejalan
dengan nilai kecernaan bahan kering, hal ini disebabkan
karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering.
Tingginya kecernaan bahan organik juga diakibatkan karena
adanya kandungan protein kasar tinggi, yang mengakibatkan
peningkatan perkembangan mikroorganisme yang mencerna
bahan pakan tersebut (Andayani, 2010). Kecernaan bahan
organik terdiri atas kecernaan karbohidrat, protein, lemak dan
vitamin serta erat kaitannya dengan bahan anorganik (abu).
Kecernaan bahan organik dapat dipengaruhi oleh kandungan
abu. Jika kandungan abu tinggi maka akan mengakibatkan
kandungan bahan organik menjadi lebih rendah (Sofiani dkk.,
2015).
Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik
adalah spesies, umur, kandungan nutrisi bahan pakan,
kandungan serat kasar, komposisi pakan, level pakan dan
minum (Zakariah, 2012). Kecernaan bahan organik ternak
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur ternak, bobot
badan ternak, selera ternak, kesehatan ternak, palabilitas
ransum, jenis bahan pakan, bentuk pakan, aroma bahan
pakan, kondisi fisiologis ternak dan suhu lingkungan ternak
(Simanihuruk dkk., 2006).

20
2.8 Kecernaan PK
Protein kasar merupakan sebutan kebutuhan ternak akan
protein, yang mana kebutuhan ternak akan protein dipengaruhi
oleh masa pertumbuhan, umur, fisiologis, ukuran dewasa,
kebuntingan, laktasi, kondisi tubuh dan rasio energi protein.
Protein dalam jumlah yang cukup sangat dibutuhkan untuk
menjaga kondisi tubuh dalam keadaan normal. Konsumsi
ransum pada ternak akan menurun jika terjadi defisiensi
protein dalam ransum yang akan memperlambat pengosongan
perut sehingga menurunkan konsumsi. Bila ransum itu kaya
akan nitrogen atau kandungan nitrogennya beragam,
kebutuhan PK cenderung meningkat (Rangkuti, 2011).
Peningkatan kecernaan ini dapat disebabkan oleh
meningkatnya kandungan protein ransum yang memicu
aktivitas fermentasi oleh mikroba di dalam rumen (Hassen et
al., 2007). Meningkatnya kecernaan PK diduga juga karena
adanya peningkatan populasi mikroba rumen. Bertambahnya
proporsi pakan konsentrat dan karbohidrat yang mudah larut
maka akan semakin baik pertumbuhan bakteri sehingga jumlah
bakteri akan semakin banyak (Supriadi dkk., 2005).
Mikroorganisme retikulo-rumen dapat mendegradasi semua
protein dan asam amino baru dari nitrogen dan kerangka
karbon yang terdapat dalam retikulorumen, gambaran asam
amino protein yang keluar dari rumen tidak mencerminkan
gambaran asam amino protein pakan. Perombakan protein
adalah cepat, sehingga mengasilkan kadar amonia rumen yang
tinggi dan sebagian diserap dan di ekskresikan sebagai urea
(Tillman dkk., 2005).

21
2.9 Retensi-N
Prinsip dalam keseimbangan nitrogen (N) adalah
takaran minimal protein yang memberi retensi maksimal untuk
pertumbuhan guna pemenuhan kebutuhan protein hewan
bersangkutan (Tahuk dkk., 2008). Retensi nitrogen
dipengaruhi oleh konsumsi nitrogen dan eksresi nitrogen
melalui feses dan urin (Hidayati, 2003). Konsumsi pakan dan
kecernaan memberikan pengaruh terhadap ketersediaan N
dalam tubuh ternak (Murcahayana, 2008). Semakin tepat
imbangan protein dan energi dalam pakan akan meningkatkan
jumlah retensi nitrogen (Mathius dkk., 2002). Jumlah kadar
ekskresi nitrogen feses, diantaranya dipengaruhi oleh
kandungan nutrien bahan pakan, tingkat konsumsi protein dan
energi pakan, status fisiologis ternak dan koefisien cerna
(Simanihuruk dkk., 2006). Pakan PK 14% pada kambing PE
bunting menghasilkan retensi N sebesar 12,68 g/ekor/hari
(Afni dkk., 2017).

22

Anda mungkin juga menyukai