JOURNAL READING
PENYUSUN
PEMBIMBING
Dr. Alifia Rifki Rianda, Sp. OT
Judul : Evaluasi Pada Cedera Cervical Dan Thoracolumbar, Transportasi, Dan Pembedahan
Dalam Panduan Yang Digunakan
Penyusun :
1. Annisa Maulidya, S.ked
2. Amalia Nur Hafidha, S.Ked
3. Eki Adetya Nugraha, S.Ked
4. Harminingtyas Kusuma Dewanti, S.Ked
Pembimbing : dr Alifia Rifki Rimanda, Sp.0T
Surakarta, April 2020
Menyetujui,
Pembimbing
Mengetahui,
Kepala Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran UMS
ABSTRAK
Pedoman Praktik Klinis Cedera Cervikal dan Thoracolumbar, transportasi, dan Bedah
(CPG) dirancang untuk memberikan panduan kepada petugas ketika mereka merawat korban
yang menderita cedera tulang belakang atau sumsum tulang belakang. Tujuan CPG untuk
perawatan dan pergerakan pasien-pasien ini adalah untuk menjaga stabilitas tulang belakang
melalui transportasi, melakukan dekompresi ketika sangat dibutuhkan, mencapai stabilisasi
definitif bila diperlukan, menghindari cedera sekunder, dan mencegah kerusakan kondisi
neurologis pasien. Hasil yang cermat dan akurat dari pemeriksaan neurologis pasien sangat
penting untuk memastikan keputusan manajemen yang tepat. Penggunaan CPG ini harus
bersamaan dengan penilaian klinis yang baik.
PENGANTAR
Pedoman Praktik Klinis (CPG) ini secara singkat meninjau indikasi dan metode untuk
menentukan pasien yang telah menderita cedera tulang belakang atau sumsum tulang belakang
(SCI) dan strategi perawatan yang sesuai untuk pasien. Tujuan perawatan untuk pasien dengan
cedera tulang belakang adalah untuk menjaga stabilitas tulang belakang melalui transportasi,
melakukan dekompresi ketika dibutuhkan, mencapai stabilisasi definitif bila diperlukan,
menghindari cedera sekunder, dan mencegah kerusakan kondisi neurologis pasien. Dokumentasi
awal, menyeluruh dan akurat dari pemeriksaan neurologis pasien sangat penting untuk
memastikan keputusan manajemen yang tepat melalui sistem evakuasi.
LATAR BELAKANG
Tujuan dari jurnal adalah untuk memberikan panduan yang diperbarui dan akurat kepada
petugas terkait untuk memberikan perawatan terbaik kepada pasien yang menderita spine atau
Spinal Cord Injury (SCI). Hal ini membutuhkan evaluasi ulang secara terus-menerus dari
literatur, baik militer maupun sipil, dan meninjau kembali perkembangan keilmuan yang ada. Ini
tidak hanya melibatkan perubahan dalam pengobatan dan algoritma triase tetapi juga pembaruan
pada klasifikasi cedera dan mekanisme cedera.
Sebagai tinjauan, Blair dkk menerbitkan ulasan tentang cedera tulang belakang seperti
yang dicatat di Department of Defense Trauma Registry (DoDTR) dari Oktober 2001 hingga
Desember 2009. Mereka menemukan 502 anggota layanan dimana 1.834 menderita cidera tulang
belakang akibat pertempuran dibandingkan dengan 92 anggota layanan dimana 267 menderita
cedera tulang belakang non-pertempuran. Dari cidera yang diakibatkan pertempuran, 91
memiliki cedera tulang belakang, yang 45% di antaranya lengkap. Ini dibandingkan dengan 13
cedera tulang belakang non-pertempuran, yang 46% nya lengkap. Dalam jurnal yang sama, Blair
dkk juga mengevaluasi perbedaan cidera tulang belakang yang bersifat penetrasi dengan cidera
tulang belakang tumpul yang didokumentasikan dalam DoDTR. Mereka mendapatkan 598
anggota layanan dengan cedera pada tulang belakang atau sumsum tulang belakang. Dari
kelompok ini, mekanismenya adalah trauma tumpul di 66%, penetrasi di 28%, dan gabungan
tumpul dan penetrasi di 5%. Dari penelitian tersebut, 104 (17%) menderita SCI, dengan cedera
tulang belakang terjadi pada 10% dari mereka dengan mekanisme cedera tumpul dan 38% pada
cedera penetrasi.
Waktu dan lokasi intervensi bedah juga menjadi titik perdebatan baik di lingkungan sipil
maupun militer. Kurangnya data mengenai pengaturan optimal untuk intervensi bedah di zona
pertempuran menambah tantangan lebih lanjut. Tujuan dekompresi dan menstabilkan tulang
belakang / SCI harus dipertimbangkan baik operasional maupun logistik, di samping kemampuan
ahli bedah tulang belakang yang digunakan. Secara umum, pasien dengan trauma tulang
belakang secara klinis dapat dikategorikan menjadi: pasien dengan sindrom sumsum tulang
belakang lengkap; Pasien dengan SCI tidak lengkap; pasien dengan fraktur tulang belakang
tetapi fungsi neurologis normal. cedera yang tidak lengkap akibat mekanisme non-penetrasi
sering kali paling sulit dalam proses pengambilan keputusan.
EVALUASI
Pemeriksaan Neurologis
Segala upaya harus dilakukan untuk mendokumentasikan pemeriksaan neurologis yang
akurat dan menyeluruh, terutama ketika operasi. Kualitas pemeriksaan dapat diturunkan oleh
obat-obatan, adanya saluran napas tambahan atau tabung endotrakeal, kinerja kardiovaskular dan
paru, dan adanya cedera lain pada kepala, badan atau ekstremitas. Kegagalan untuk melakukan
pemeriksaan neurologis telah menjadi sumber ketidaksesuaian yang paling umum antara temuan-
temuan pemeriksaan neurologis serial, terutama di antara tingkat perawatan.
Pada pasien dengan dugaan cedera tulang belakang, dengan atau tanpa defisit neurologis,
pengawasan pemeriksaan neurologis (fokus pada motorik dan kinerja sensorik) sangat penting.
Atau secara alternatif, "Combat Neuro Exam" adalah alat dokumentasi yang lebih sederhana
daripada Lembar Kerja ASIA dan mungkin lebih dapat diterima oleh spesialis non -tulang
belakang. Catatan ini membahas elemen minimal dari pemeriksaan neurologis yang lengkap
untuk pasien dengan cedera tulang belakang yang signifikan.
Setiap pasien yang mengeluh sakit leher atau menunjukkan gangguan neurologis setelah
trauma harus memiliki collar cervical yang ditempatkan dan dipertahankan sampai tulang
belakang leher.
Pasien dengan cedera cervical tembus akibat ledakan harus memiliki collar cervical jika
memungkinkan.
Collar cervical adalah perlindungan penting sampai cedera tulang belakang yang tidak stabil
dikesampingkan. Semua penyedia harus menyadari bahwa collar dapat menyembunyikan cedera
lain serta mengembangkan patologi seperti memperluas hematoma. Pasien dengan cedera tembus
terisolasi yang sadar dan tidak memiliki tanda-tanda kelainan neurologis tidak perlu memiliki
collar cervical yang ditempatkan di lingkunhan pra-rumah sakit. Pasien dengan cedera tembus
yang terisolasi dengan
cedera otak tidak memerlukan collar cervical kecuali lintasannya menunjukkan keterlibatan
tulang belakang leher.
Di medan perang, keselamatan hidup korban dan tenaga medis adalah yang terpenting.
Dalam keadaan seperti ini, evakuasi ke area yang lebih aman lebih diutamakan daripada
imobilisasi tulang belakang. Jika pasien memiliki indikasi untuk penggunaan collar cervical, dan
belum ditempatkan di lingkungan -rumah sakit untuk alasan apa pun, collar itu harus diletakkan
pada kesempatan paling awal setelahnya.
Jika pasien memiliki fraktur thorakolumbal yang tidak stabil, maka ia harus dipindahkan oleh
Critical Care Air Transport Team (CCATT) menggunakan suatu Vacuum Spine Board (VSB)
atau sebuah tandu standar NATO dengan atau tanpa bantalan busa tergantung pada tipe fraktur.
Bergantung pada cidera, salah satu dari opsi ini dapat memberikan stabilitas yang cukup pada
pasien dengan fraktur thorakolumbal. Orthosis (TLSO) atau penjepit eksternal lainnya tidak
boleh rusak selama dalam proses pemindahan pasien. Hal ini dapat meningkatkan risiko
kompresi pada luka. Sebelum memindahkan, ahli bedah tulang belakang dan ketua CCATT
harus menyetujui kesesuaian VSB versus tandu standar NATO. Protokol VSB mengharuskan
VSB dikempeskan dan diisi kembali secara periodic untuk mengurangi risiko penekanan pada
luka selama proses pemindahan. Logrolling pada VSB tanpa “terlepasnya vakum” tidak secara
signifikna mengurangi penekanan pada kulit. Selain itu, integritas kulit sebelum pemindahan
harus didokumentasikan/dicatat dan perhatian khusus diberikan pada bantalan dan manuver
untuk mengurangi penekanan pada occiput dan tumit. Penyangga VSB harus dicek setiap
setengah jam, dikurangi dan ditambah tekanannya tiap jam, dan setiap 2 jam straps harus dilepas
dan dilakukan logroll pada pasien (mempertahankan pasien pada posisi yang tepat) dan
menyediakan waktu cukup untuk melepas titik tekan sebagai bagian dari jadwal normal mereka.
Bagian kepada dari bed dinaikkan 30 derajat. Selama pemindahan , semua pasien harus
menggunakan peralatan penyangga yang diterima selama penerbangan.
Pasien yang masih mempertahankan neurologic compromise harus dibuat jalur invasive melalui
arteri untuk memonitor tekanan darah dengan target tekanan arteri rata-rata (MAP) 85-90 mmHg
sampai dengan 7 hari setelah cidera. Hipotensi (tekanan darah sestolk <90 mmHg) dan
hipoksemia (SaO2 <92%) harus dihindari. Terapi vasopressor (pada pasien euvolemik) dan/atau
suplementasi oksigen direkomendasikan, jika dibutuhkan, untuk mencapai target ini. Penggunaan
vasopressor pada pasien hipovolemik dapat berakibat pada iskemik tambahan pada cidera
jaringan yang lain, sehingga cairan tetap menjadi terapi inisial pada hipotensi.
Walaupun banyak fraktur tulang belaang membutuhkan posisi kepala bed tetap mendatar
sebelum pembedahan ataupun external bracing, bed dapat diposisikan 30 derajat reverse
TrendelenbergI. Logroll pada pasien bisa dilakukan dengan aman pada kebanyakan kasus setiap
2 jam untuk mencegah kerusakan kulit.
Penggunaan kortikosteroid pada kondisi baik cidera tulang belakang tumpul maupun tusuk tidak
direkomendasikan karena kurangnya manfaat dan meningkatkan komplikasi. Terlebih, luka
terbuka dan terkontaminasi dari korban pertempuran dengan cidera tulang belakang atau
medulla spinalis semain memperumit pemberian steroid. Pemberian metilprednosolon tidak
direkomendasikan pada cidera medulla spinalis yang berlarut-larut dalam pertempuran.
Regiman profilaksis trombosis vena dalam (DVT) yang agresif harus diberikan sejak awal dan
dipertahankan selama proses evakuasi. Pneumatic Compression Device bersama dengan
kemoprofilasis merupakan terapi standar yang diberikan. Dosis profilaksis dari heparin berat
molekul rendah subkutan (contoh: enoxaparin) lebih disukai dan biasanya diinisiasi dalam 24-72
jam dari luka atau perawatan. Mobilisasi aktif atau pasif lebih awal membantu mengurangi
pembentukan DVT pada pasien dan sering membantu untuk pemberian fiksasi bedah yang lebih
dini. Pasien yang menunjukkan tanda dan gejala klinis DVT memerlukan pencitraan lebih lanjut
untuk mengonfirmasi diagnosis. Jika ditemukan suatu DVT, pengobatan harus diinisiasi dengan
pemberian antikoagulan jika disetujui oleh ahli bedah tulang belakang. Jika pemberian
antikoagulan dikontraindikasikan, penempatan filter pada vena cava inferior harus
dipertimbangkan.
KESIMPULAN
Pengobatan cedera sumsum tulang belakang dan cedera kolomna dalam evolusi berkelanjutan
dan karenanya mengharuskan CPG ini menjadi cairan. Penelitian tentang terapi berbasis medis
tambahan untuk cedera sumsum tulang belakang terus menawarkan harapan untuk opsi
perawatan tambahan untuk jenis cedera ini di masa depan. Dokumentasi yang konsisten dari
pemeriksaan neurologis, kepatuhan terhadap pedoman yang diterbitkan tentang manajemen
cedera tulang belakang dan sumsum tulang belakang, dan penggunaan penilaian klinis yang baik
tentang waktu intervensi operasi akan terus menjadi dasar CPG ini.