Anda di halaman 1dari 13

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

JOURNAL READING

PENYUSUN

Annisa Maulidya , S.Ked


Amalia Nur Hafidha, S.Ked
Eki Adetya Nugraha, S.Ked
Harminingtyas Kusuma Dewanti, S.Ked

PEMBIMBING
Dr. Alifia Rifki Rianda, Sp. OT

PRODI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik FK UMS


JOURNAL READING
Prodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Judul : Evaluasi Pada Cedera Cervical Dan Thoracolumbar, Transportasi, Dan Pembedahan
Dalam Panduan Yang Digunakan
Penyusun :
1. Annisa Maulidya, S.ked
2. Amalia Nur Hafidha, S.Ked
3. Eki Adetya Nugraha, S.Ked
4. Harminingtyas Kusuma Dewanti, S.Ked
Pembimbing : dr Alifia Rifki Rimanda, Sp.0T
Surakarta, April 2020

Menyetujui,
Pembimbing

dr Alifia Rifki Rimanda, Sp.0T

Mengetahui,
Kepala Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran UMS

Dr. Iin Novita N.M., M.Sc., Sp.PD


EVALUASI PADA CEDERA CERVICAL DAN THORACOLUMBAR, TRANSPORTASI,
DAN PEMBEDAHAN DALAM PANDUAN YANG DIGUNAKAN

ABSTRAK
Pedoman Praktik Klinis Cedera Cervikal dan Thoracolumbar, transportasi, dan Bedah
(CPG) dirancang untuk memberikan panduan kepada petugas ketika mereka merawat korban
yang menderita cedera tulang belakang atau sumsum tulang belakang. Tujuan CPG untuk
perawatan dan pergerakan pasien-pasien ini adalah untuk menjaga stabilitas tulang belakang
melalui transportasi, melakukan dekompresi ketika sangat dibutuhkan, mencapai stabilisasi
definitif bila diperlukan, menghindari cedera sekunder, dan mencegah kerusakan kondisi
neurologis pasien. Hasil yang cermat dan akurat dari pemeriksaan neurologis pasien sangat
penting untuk memastikan keputusan manajemen yang tepat. Penggunaan CPG ini harus
bersamaan dengan penilaian klinis yang baik.

PENGANTAR
Pedoman Praktik Klinis (CPG) ini secara singkat meninjau indikasi dan metode untuk
menentukan pasien yang telah menderita cedera tulang belakang atau sumsum tulang belakang
(SCI) dan strategi perawatan yang sesuai untuk pasien. Tujuan perawatan untuk pasien dengan
cedera tulang belakang adalah untuk menjaga stabilitas tulang belakang melalui transportasi,
melakukan dekompresi ketika dibutuhkan, mencapai stabilisasi definitif bila diperlukan,
menghindari cedera sekunder, dan mencegah kerusakan kondisi neurologis pasien. Dokumentasi
awal, menyeluruh dan akurat dari pemeriksaan neurologis pasien sangat penting untuk
memastikan keputusan manajemen yang tepat melalui sistem evakuasi.

LATAR BELAKANG
Tujuan dari jurnal adalah untuk memberikan panduan yang diperbarui dan akurat kepada
petugas terkait untuk memberikan perawatan terbaik kepada pasien yang menderita spine atau
Spinal Cord Injury (SCI). Hal ini membutuhkan evaluasi ulang secara terus-menerus dari
literatur, baik militer maupun sipil, dan meninjau kembali perkembangan keilmuan yang ada. Ini
tidak hanya melibatkan perubahan dalam pengobatan dan algoritma triase tetapi juga pembaruan
pada klasifikasi cedera dan mekanisme cedera.
Sebagai tinjauan, Blair dkk menerbitkan ulasan tentang cedera tulang belakang seperti
yang dicatat di Department of Defense Trauma Registry (DoDTR) dari Oktober 2001 hingga
Desember 2009. Mereka menemukan 502 anggota layanan dimana 1.834 menderita cidera tulang
belakang akibat pertempuran dibandingkan dengan 92 anggota layanan dimana 267 menderita
cedera tulang belakang non-pertempuran. Dari cidera yang diakibatkan pertempuran, 91
memiliki cedera tulang belakang, yang 45% di antaranya lengkap. Ini dibandingkan dengan 13
cedera tulang belakang non-pertempuran, yang 46% nya lengkap. Dalam jurnal yang sama, Blair
dkk juga mengevaluasi perbedaan cidera tulang belakang yang bersifat penetrasi dengan cidera
tulang belakang tumpul yang didokumentasikan dalam DoDTR. Mereka mendapatkan 598
anggota layanan dengan cedera pada tulang belakang atau sumsum tulang belakang. Dari
kelompok ini, mekanismenya adalah trauma tumpul di 66%, penetrasi di 28%, dan gabungan
tumpul dan penetrasi di 5%. Dari penelitian tersebut, 104 (17%) menderita SCI, dengan cedera
tulang belakang terjadi pada 10% dari mereka dengan mekanisme cedera tumpul dan 38% pada
cedera penetrasi.
Waktu dan lokasi intervensi bedah juga menjadi titik perdebatan baik di lingkungan sipil
maupun militer. Kurangnya data mengenai pengaturan optimal untuk intervensi bedah di zona
pertempuran menambah tantangan lebih lanjut. Tujuan dekompresi dan menstabilkan tulang
belakang / SCI harus dipertimbangkan baik operasional maupun logistik, di samping kemampuan
ahli bedah tulang belakang yang digunakan. Secara umum, pasien dengan trauma tulang
belakang secara klinis dapat dikategorikan menjadi: pasien dengan sindrom sumsum tulang
belakang lengkap; Pasien dengan SCI tidak lengkap; pasien dengan fraktur tulang belakang
tetapi fungsi neurologis normal. cedera yang tidak lengkap akibat mekanisme non-penetrasi
sering kali paling sulit dalam proses pengambilan keputusan.

EVALUASI
Pemeriksaan Neurologis
Segala upaya harus dilakukan untuk mendokumentasikan pemeriksaan neurologis yang
akurat dan menyeluruh, terutama ketika operasi. Kualitas pemeriksaan dapat diturunkan oleh
obat-obatan, adanya saluran napas tambahan atau tabung endotrakeal, kinerja kardiovaskular dan
paru, dan adanya cedera lain pada kepala, badan atau ekstremitas. Kegagalan untuk melakukan
pemeriksaan neurologis telah menjadi sumber ketidaksesuaian yang paling umum antara temuan-
temuan pemeriksaan neurologis serial, terutama di antara tingkat perawatan.

Pemeriksaan neurologis yang menyeluruh harus mencakup :


- Ujian motorik dari 10 uji motorik American Spinal Injury Association (ASIA) (Gambar 1 dan
2)
- Pemeriksaan sensorik (peniti dan sentuhan ringan) menggunakan standar dermatomal ASIA
- Ujian anal digital yang menilai kekuatan kontraksi sphincter anal, sensasi tusukan, nada
istirahat dan refleks bulbocavernosus (BCR)
- Tes refleks normal dan patologis seperti biseps, trikeps, brachioradialis, lutut, dan respons
pergelangan kaki serta ada / tidak adanya refleks Babinski

Pada pasien dengan dugaan cedera tulang belakang, dengan atau tanpa defisit neurologis,
pengawasan pemeriksaan neurologis (fokus pada motorik dan kinerja sensorik) sangat penting.
Atau secara alternatif, "Combat Neuro Exam" adalah alat dokumentasi yang lebih sederhana
daripada Lembar Kerja ASIA dan mungkin lebih dapat diterima oleh spesialis non -tulang
belakang. Catatan ini membahas elemen minimal dari pemeriksaan neurologis yang lengkap
untuk pasien dengan cedera tulang belakang yang signifikan.

Pasien Yang Membutuhkan Cervical collar


Semua pasien yang menderita luka-luka melalui mekanisme berikut harus memiliki cervical
collar yang kaku yang ditempatkan di lingkungan pra-rumah sakit jika situasi taktis
memungkinkan:
- Trauma yang mengakibatkan hilangnya kesadaran atau bahkan hilangnya kesadaran karena
segala bentuk cedera kepala
- Trauma yang menyebabkan amnesia sementara / kehilangan kesadaran - Ledakan mayor atau
cedera ledakan
- Mekanisme yang menghasilkan dampak kekerasan di kepala,
leher, dada, atau panggul
- Mekanisme yang menciptakan akselerasi / deselerasi mendadak
atau gaya lentur lateral pada leher atau dada - Jatuh dari ketinggian (vs jatuh dari berdiri)
- Pengusiran atau jatuh dari kendaraan bermotor apa pun
- Perpindahan kendaraan

Setiap pasien yang mengeluh sakit leher atau menunjukkan gangguan neurologis setelah
trauma harus memiliki collar cervical yang ditempatkan dan dipertahankan sampai tulang
belakang leher.
Pasien dengan cedera cervical tembus akibat ledakan harus memiliki collar cervical jika
memungkinkan.
Collar cervical adalah perlindungan penting sampai cedera tulang belakang yang tidak stabil
dikesampingkan. Semua penyedia harus menyadari bahwa collar dapat menyembunyikan cedera
lain serta mengembangkan patologi seperti memperluas hematoma. Pasien dengan cedera tembus
terisolasi yang sadar dan tidak memiliki tanda-tanda kelainan neurologis tidak perlu memiliki
collar cervical yang ditempatkan di lingkunhan pra-rumah sakit. Pasien dengan cedera tembus
yang terisolasi dengan
cedera otak tidak memerlukan collar cervical kecuali lintasannya menunjukkan keterlibatan
tulang belakang leher.
Di medan perang, keselamatan hidup korban dan tenaga medis adalah yang terpenting.
Dalam keadaan seperti ini, evakuasi ke area yang lebih aman lebih diutamakan daripada
imobilisasi tulang belakang. Jika pasien memiliki indikasi untuk penggunaan collar cervical, dan
belum ditempatkan di lingkungan -rumah sakit untuk alasan apa pun, collar itu harus diletakkan
pada kesempatan paling awal setelahnya.

INDIKASI UNTUK ALGORITMA SPINE CERVICAL CLEARANCE


Setiap pasien yang dicurigai terdapat cidera tulang belakang dan deficit neurologi harus
memakai servikal colar, dan harus segera dirujuk untuk dikonsultasikan pada bedah saraf atau
spine ortopedik dan radiologist. Semua pasien lain yang memiliki indikasi pemakaian cervival
collar pra-rumah sakit seperti yang dijelaskan di atas harus menjalani pembersihan tulang
belakang leher dengan algoritma. Trdapat algoritma terpisah untuk pasien yang reliable (Gbr.4)
dan non-reliable (Gbr.5). Pasien non-reliable adalah mereka yang tidak dapat berkomunikasi
secara memadai, memiliki tingkat kesadaran yang menurun (GCS <15), atau memiliki cedera
yang cukup parah.
Cedera yang parah didefinisikan sebagai cedera apa pun, yang sangat menyakitkan
sehingga dapat mengaburkan kemampuan pasien untuk merasakan nyeri di leher mereka. Dokter
yang merawat harus dapat menentukan seberapa berat cidera lain yang diderita sehingga dapat
dikaterogikan sebagai no-reliable pasien. Jika tidak pasti, minimalisir kesalahan dan
pertimbangkan cedera yang mengganggu.
Jika memungkinkan, tulang belakang leher harus dapat disingkirkan dan servical collar
dapat dilepas setelah 24 jam pemakaian. Jika skenario klinis mengharuskan servical collar tetap
di pakai lebih dari 24 jam, cervical collar yang kaku harus diganti dengan servical collar yang
dirancang untuk imobilisasi jangka panjang yang memberikan bantalan yang lebih besar dan
pencegahan ulkus dekubitus.
CLEARANCE SPINE CERVICAL PADA PASIEN DENGAN PENURUNAN KESADARAN
Clearance Spine Cervical Pada Pasien Dengan Penurunan Kesadaran menghadirkan
tantangan tambahan bagi dokter, terutama di lingkungan pertempuran. Pasien yang penurunan
kesadaran akibat mekanisme trauma harus menjalani CT tulang belakang dengan potongan halus
dan gambar rekontruksi multi-planar (aksial 3 mm, aksial 3 mm koronal dan sagital 2 mm). Jika
CT tidak tersedia atau tidak dapat dilakukan, radiografi polos C-Spine penuh (AP yang memadai,
lateral, dan odontoid) harus dilakukan.
Untuk pasien yang mengalami penurunan kesadaran dengan pencitraan negatif, insidensi
ketidakstabilan serviks adalah kecil tetapi tidak nol. Cedera ligamentum dapat disingkirkan
melalui pemeriksaan klinis yang dapat diandalkan dengan pasien kooperatif, ekstubasi atau
magnetic resonance imaging (MRI). Namun, literatur terbaru menunjukkan bahwa CT scan
dengan hasil negative mungkin cukup untuk melepas servical collar. Ini telah menjadi standar
baru untuk diikuti di beberapa pusat trauma dan mendukung pedoman untuk tidak menggunakan
MRI sebagai pemeriksaan penunjang pada pasien dengan penurunan kesadaran. Metode ini harus
dicadangkan untuk pasien yang tidak dapat menjalani MRI dan telah mencapai tingkat perawatan
yang pasti. Radiografi fleksi / ekstensi tidak boleh dilakukan pada pasien yang tidak dapat
diperiksa secara simultan untuk melihat perkembangan tanda atau gejala neurologis.
Keputusan klinis untuk membersihkan servical secara definitif tanpa mengesampingkan
cedera ligamen dengan pemeriksaan klinis yang tepat atau MRI harus diserahkan pada tingkat
perawatan lebih lanjut. Terdapat risiko pergerakan leher yang signifikan pada pasien yang yang
mengalami penurunan kesadaran saat transit melalui sistem evakuasi aeromedis, sehingga
direkomendasikan bahwa mereka tetap dengan imobilisasi tulang belakang leher hingga tiba
pada tingkat perawatan yang pasti. Insiden kerusakan kulit oksipital telah menurun dengan
pemanfaatan servical collar dengan lapisan yang lebih besar (mis., Miami-J dengan punggung
Occian). Mengingat terdapat beberapa tantangan, mungkin yang terbaik untuk menerapkan
aturan "2 dari 3" untuk pembersihan servikal pada pasien. Aturan ini, yang telah dikembangkan
dan divalidasi di sektor sipil dan telah menjadi kebijakan Landstuhl Regional Medical Center /
Peran 4 sejak 2011, membutuhkan hasil negatif 2 dari 3 modalitas (CT, MRI, pemeriksaan
klinis) sebelum melepas servical collar yang kaku di pasien. Mengingat insidennya yang cukup
rendah, tetapi tidak nol, insiden cedera serviks yang negative pada CT scan, direkomendasikan
untuk menerapkan aturan 2 dari 3, cervical coolar yang kaku dapat diganti dengan cervical
collar dengan busa yang diperkuat bahan yang kaku jika tersedia (misalnya, Miami-J dengan
Occian kembali) sampai diperoleh pemeriksaan klinis atau MRI. Metode ini membantu
mengurangi risiko ulkus dekubitus oksipital pada pasien dengan cidera tulang belakang yang
masih dalam perjalanan dan belum mencapai tingkat perawatan definitive.
Penentuan kapan harus melakukan pencitrakan seluruh tulang belakang (oksiput ke
sakrum) versus pencitraan selektif didasarkan pada mekanisme cedera, pemeriksaan fisik /
neurologis, serta status mental pasien. Pasien yang memiliki satu fraktur yang dapat
diidentifikasi pada tulang belakang harus mencitrakan seluruh tulang belakangnya. Mekanisme
cedera tertentu, seperti ledakan yang dipasang, juga harus menjamin pencitraan seluruh tulang
belakang

DOKUMENTASI CERVICAL SPINE CLEARANCE


Dibutuhkan formulir Joint Trauma System Servical Spine Clearance Status (gambar 5) untuk
mendokumentasikan hasil evaluasi tulang belakang servikal dan clearance status. Catatan
komprehensif ini meliputi indikasi clearance, pemeriksaan, pencitraan, dan status clearance
akhir. Catatan ini dimaksudkan untuk memberikan seluruh informasi terkait tulang belaang
servikal dalam satu lembar kertas dan telah didesain baik untuk kemudahan maupun kelengkapan
dokumentasi.
Gambar 5. Formulis status clearance tulang belaang servikal
HOST NATIONALS DAN MEREKA YANG TIDAK DAPAT DITRANSFER DARI
THEATER
Manajemen yang optimal pada kelompok ini penuh problematika di lingkungan yang berat.
Ketersedian dalam memperoleh CT atau mengirimkan pasien ke fasilitas dengan CT bisa
membuat evaluasi tulang belakang maupun clearancenya menantang, dengan hanya berpegang
pada radiografi polos dan pemeriksaan fisik. Penilaian klinis yang baik dan konsultasi jarak jauh
dengan ahli bedah tulang belakang (jika tersedia) menjadi suatu keuntungan.

PEMINDAHAN PASIEN DENGAN CIDERA TULANG BELAKANG


Mayoritas pasien dengan cidera tulang belakang servikal akan dipindahkan menggunaan orthotic
semi-rigid seperti Aspen collar. Skenario klinis dapat timbul dimana mobilisasi halo mungkin
cocok. Pemindahan pasien dengan traksi adalah suatu pilihan yang menantang secara logistik
mengingat dinamika transportasi udara, terutama G-Force selama pesawat lepas landas dan
mendarat, dan membutuhkan beberapa pemindahan dari rumah sakit ke kendaraan ke pesawat
ke kendaraan dan ke rumah sakit.

Jika pasien memiliki fraktur thorakolumbal yang tidak stabil, maka ia harus dipindahkan oleh
Critical Care Air Transport Team (CCATT) menggunakan suatu Vacuum Spine Board (VSB)
atau sebuah tandu standar NATO dengan atau tanpa bantalan busa tergantung pada tipe fraktur.
Bergantung pada cidera, salah satu dari opsi ini dapat memberikan stabilitas yang cukup pada
pasien dengan fraktur thorakolumbal. Orthosis (TLSO) atau penjepit eksternal lainnya tidak
boleh rusak selama dalam proses pemindahan pasien. Hal ini dapat meningkatkan risiko
kompresi pada luka. Sebelum memindahkan, ahli bedah tulang belakang dan ketua CCATT
harus menyetujui kesesuaian VSB versus tandu standar NATO. Protokol VSB mengharuskan
VSB dikempeskan dan diisi kembali secara periodic untuk mengurangi risiko penekanan pada
luka selama proses pemindahan. Logrolling pada VSB tanpa “terlepasnya vakum” tidak secara
signifikna mengurangi penekanan pada kulit. Selain itu, integritas kulit sebelum pemindahan
harus didokumentasikan/dicatat dan perhatian khusus diberikan pada bantalan dan manuver
untuk mengurangi penekanan pada occiput dan tumit. Penyangga VSB harus dicek setiap
setengah jam, dikurangi dan ditambah tekanannya tiap jam, dan setiap 2 jam straps harus dilepas
dan dilakukan logroll pada pasien (mempertahankan pasien pada posisi yang tepat) dan
menyediakan waktu cukup untuk melepas titik tekan sebagai bagian dari jadwal normal mereka.
Bagian kepada dari bed dinaikkan 30 derajat. Selama pemindahan , semua pasien harus
menggunakan peralatan penyangga yang diterima selama penerbangan.

MANAJEMEN MEDIS PADA CIDERA MEDULA SPINALIS

Pasien yang masih mempertahankan neurologic compromise harus dibuat jalur invasive melalui
arteri untuk memonitor tekanan darah dengan target tekanan arteri rata-rata (MAP) 85-90 mmHg
sampai dengan 7 hari setelah cidera. Hipotensi (tekanan darah sestolk <90 mmHg) dan
hipoksemia (SaO2 <92%) harus dihindari. Terapi vasopressor (pada pasien euvolemik) dan/atau
suplementasi oksigen direkomendasikan, jika dibutuhkan, untuk mencapai target ini. Penggunaan
vasopressor pada pasien hipovolemik dapat berakibat pada iskemik tambahan pada cidera
jaringan yang lain, sehingga cairan tetap menjadi terapi inisial pada hipotensi.

Walaupun banyak fraktur tulang belaang membutuhkan posisi kepala bed tetap mendatar
sebelum pembedahan ataupun external bracing, bed dapat diposisikan 30 derajat reverse
TrendelenbergI. Logroll pada pasien bisa dilakukan dengan aman pada kebanyakan kasus setiap
2 jam untuk mencegah kerusakan kulit.

Penggunaan kortikosteroid pada kondisi baik cidera tulang belakang tumpul maupun tusuk tidak
direkomendasikan karena kurangnya manfaat dan meningkatkan komplikasi. Terlebih, luka
terbuka dan terkontaminasi dari korban pertempuran dengan cidera tulang belakang atau
medulla spinalis semain memperumit pemberian steroid. Pemberian metilprednosolon tidak
direkomendasikan pada cidera medulla spinalis yang berlarut-larut dalam pertempuran.

Regiman profilaksis trombosis vena dalam (DVT) yang agresif harus diberikan sejak awal dan
dipertahankan selama proses evakuasi. Pneumatic Compression Device bersama dengan
kemoprofilasis merupakan terapi standar yang diberikan. Dosis profilaksis dari heparin berat
molekul rendah subkutan (contoh: enoxaparin) lebih disukai dan biasanya diinisiasi dalam 24-72
jam dari luka atau perawatan. Mobilisasi aktif atau pasif lebih awal membantu mengurangi
pembentukan DVT pada pasien dan sering membantu untuk pemberian fiksasi bedah yang lebih
dini. Pasien yang menunjukkan tanda dan gejala klinis DVT memerlukan pencitraan lebih lanjut
untuk mengonfirmasi diagnosis. Jika ditemukan suatu DVT, pengobatan harus diinisiasi dengan
pemberian antikoagulan jika disetujui oleh ahli bedah tulang belakang. Jika pemberian
antikoagulan dikontraindikasikan, penempatan filter pada vena cava inferior harus
dipertimbangkan.

PENGOBATAN OPERASI DAN NONOPERATIF CEDERA SPINAL


Opsi imobilisasi eksternal untuk tulang belakang leher di teater harus mencakup semi
rigid cervical orthosis (mis., Aspen collar), halo, dan perangkat seperti-immobilizer mandibula
stern-oksipital-mandibula atau cervico thoracic braces (misalnya, Aspen CTO). Perangkat Aspen
TLSO dan LSO juga mungkin tersedia di fasilitas tingkat 3 tertentu untuk menguatkan cedera
torakolumbar dan terutama cocok untuk digunakan pada pasien dengan cedera stabil yang TLSO
akan menjadi pengobatan definitif. Bahan-bahan aktual yang tersedia dalam pengaturan yang
digunakan mungkin bervariasi. Sangat penting bahwa dokter bedah tulang belakang yang
dikerahkan akrab dengan ketersediaan langsung dan kemudahan servis perangkat ini di fasilitas
perawatan medis ekspedisi yang ditugaskan untuk memandu secara proaktif pengobatan dan
keputusan logistik.
Perawatan operasi fraktur tulang belakang A.S. dan di teater pada akhirnya diserahkan
kepada tim bedah yang ditugaskan, termasuk ahli bedah tulang belakang dan Kepala Trauma.
Tidak bisa terlalu ditekankan bahwa penggunaan penilaian klinis yang baik adalah prioritas
dalam perawatan pasien dengan cedera tulang belakang dan sumsum tulang belakang dalam
pengaturan yang digunakan. Pembedahan yang dapat ditunda dengan aman sampai pasien tiba di
Peran 4 atau 5 rumah sakit harus ditunda. Namun, mungkin ada beberapa pasien yang akan
mendapat manfaat dari operasi langsung di-teater (bila tersedia) dan ini termasuk pasien dengan
cedera yang tidak lengkap, kebocoran cairan tulang belakang otak terbuka (CSF), keterlambatan
yang diperkirakan berkepanjangan dalam transportasi, atau di mana pengurangan segera
mungkin meningkatkan derajat "root sparing" dalam SCI servikal.
Mengingat tidak adanya bukti Level 1 atau 2 yang memandukan waktu yang ideal untuk
dekompresi tulang belakang dan stabilisasi cedera tulang belakang, kita dibiarkan mengandalkan
pengalaman retrospektif dan abstraksi dari studi klinis hewan dan sipil. Subset pasien cedera
tulang belakang yang paling memprihatinkan adalah mereka yang cedera tidak lengkap. SCI
progresif dapat terjadi melalui perpindahan fraktur, kompresi fragmen tulang, perluasan
hematoma, edema sumsum tulang belakang, atau infark. Penelitian pada hewan telah
menunjukkan bahwa dekompresi elemen saraf segera dikaitkan dengan pengurangan sekuel
neurologis permanen. Selain itu, data dari uji coba STASCIS menawarkan bukti kuat yang
mendukung operasi awal. Studi prospektif besar, multi-pusat, menunjukkan bahwa hasil
neurologis meningkatkan setidaknya dua nilai ASIA dalam 19,8% pasien cedera sumsum tulang
belakang yang mengalami dekompresi awal (<24 jam) dibandingkan 8,8% yang menjalani
dekompresi lambat (> 24 jam) dan dekompresi awal itu setidaknya aman seperti dekompresi
terlambat. Sebuah tinjauan baru-baru ini dari Rick Hansen National Spinal Cord Injury Registry
yang mencakup 949 pasien dari tahun 2004 hingga 2013 menunjukkan bahwa pasien dengan
cedera tidak lengkap (ASIA B, C, atau D) memiliki peningkatan 6,3 poin dalam skor motor
ASIA ketika didekompresi dalam 24 jam dibandingkan dengan yang dioperasi setelah 24 jam
dari cedera. Ini menunjukkan bahwa pembedahan dini bermanfaat untuk cedera tulang belakang
yang tidak lengkap. Pada akhirnya, keputusan untuk beroperasi pada SCI yang tidak lengkap di
teater harus diimbangi dengan kebutuhan operasional, pengalaman, dukungan logistik, dan
kemampuan medevac. Jika stabilisasi tulang belakang dilakukan di teater, sistem instrumen yang
kompatibel dengan sistem atau peralatan yang tersedia di eselon perawatan yang lebih tinggi
harus digunakan, dalam kasus operasi tambahan atau revisi diperlukan. Pasien lain dengan
cedera tulang belakang, seperti beberapa non-koalisi, negara ketiga dan warga negara setempat
harus distabilkan sebaik mungkin menggunakan metode yang tersedia di Peran 3.
Instrumentasi tulang belakang downrange bukan tanpa tantangan dan sering dilakukan
dengan pemahaman bahwa prosedur tambahan mungkin perlu dilakukan. Tinjauan retrospektif
dari 50 kasus bedah berturut-turut (30 dirawat di Peran 3 dan 20 diobati di Peran 4) antara 2010
dan 2011 menunjukkan dua kali lipat komplikasi perioperatif dan tingkat 23% vs 0% operasi
tulang belakang tambahan untuk mereka yang dirawat di Peran 3 fasilitas versus mereka yang
ditunda sampai Peran 4. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat pemulihan
neurologis antara dua kelompok ini. Dekompresi bedah yang muncul dengan laminektomi toraks
atau lumbal untuk gangguan kanal parah pada pasien cedera medulla spinalis yang tidak lengkap,
diikuti dengan stabilisasi bedah bertahap pada Peran 4 menghasilkan peningkatan neurologis
pada dua dari tiga kasus ini, menunjukkan bahwa dalam pengaturan stenosis parah dengan
neurologis progresif defisit, yang dilakukan laminektomi di fasilitas Peran 3, yang merupakan
prosedur lebih cepat, lebih sederhana dengan lebih sedikit permintaan pada tim dukungan bedah
dan logistik dalam pengaturan ditempatkan, diikuti oleh stabilisasi definitif di fasilitas Peran 4
tetap, adalah pilihan lain dalam beberapa kasus .
Pemulihan neurologis bukan satu-satunya manfaat yang diakui dari intervensi bedah awal
setelah SCI. Manfaat teoritis dari stabilisasi operasi awal cedera tulang belakang yang
berkelanjutan dalam pertempuran termasuk mobilisasi sebelumnya (mengurangi risiko DVT dan
meningkatkan toilet paru), analgesia yang lebih baik selama transportasi dan perlindungan
elemen saraf. Namun, karena lebih dari separuh pasien ini mengalami cedera tungkai atau
panggul yang bersamaan (“titik fraktur kontak pertama” dalam cedera meledak) dan / atau
tekanan hemodinamik yang signifikan, keuntungan dari mobilisasi dini yang dicatat dalam
pengaturan sipil tidak diterjemahkan ke dalam pertempuran. fraktur tulang belakang yang
dikelola di eselon perawatan.

CEDERA PENETRASI SPINAL


Perlunya intervensi bedah dari cedera penetrasi tulang belakang kadang-kadang tidak
jelas dan debridemen bertahap dari luka mungkin diperlukan mengingat cedera kavitasi pada
jaringan lunak. Indikasi untuk operasi mungkin termasuk defisit neurologis progresif, defisit
tidak lengkap (terutama jika rudal atau fragmen masih dalam saluran) atau adanya kebocoran
CSF. Tidak ada bukti baru dari konflik saat ini untuk mendukung bahwa SCI lengkap dari
mekanisme penetrasi memiliki perubahan signifikan dalam perbaikan klinis. Pembedahan, jika
perlu, harus dilakukan ketika pasien dalam keadaan paling optimal. Efek kavitasi selain trauma
langsung dari amunisi tempur dan fragmen ledakan menghasilkan cedera anatomi parah yang
telah terbukti tidak dapat dipulihkan, bahkan dalam beberapa kasus fragmen tersebut tidak
pernah menembus kanal tulang belakang. Jika operasi dilakukan, penutupan dural yang baik
adalah yang terpenting. Entri anterior dan oblik ke lumbar dan tulang belakang toraks yang lebih
rendah beresiko tinggi mengalami komplikasi infeksi. Jika ketidakstabilan hadir, risiko infeksi
dan status neurologis adalah faktor kunci untuk menentukan kebutuhan dan waktu intervensi
bedah. Pada tahun 2010, Klimo et al menghasilkan pernyataan konsensus militer triservice,
sehubungan dengan rekomendasi perawatan untuk penetrasi cedera tulang belakang. Berdasarkan
literatur, mereka menyimpulkan bahwa masih ada ambiguitas dalam hal peran dekompresi dalam
upaya untuk mendapatkan kembali fungsi neurologis. Untuk cedera yang tidak lengkap dengan
gangguan saluran yang berkelanjutan, dekompresi, jika dicoba, harus dilakukan dalam 24-48
jam. Jika ketidakstabilan hadir, stabilisasi harus dipertimbangkan pada saat operasi. Pernyataan
konsensus juga memberdayakan dokter bedah tulang belakang yang dikerahkan untuk membuat
keputusan perawatan akhir berdasarkan penilaian klinis mereka. Risiko infeksi dan status
neurologis adalah faktor kunci tambahan untuk menentukan kebutuhan dan waktu intervensi
bedah.
Cefazolin 2 gm IV q 8 jam selama 24-72 jam sudah cukup untuk cedera penetrasi tulang
belakang tanpa bukti kontaminasi. Fragmen yang melewati struktur viskus yang terkontaminasi
(mis., Kerongkongan dan usus besar) memerlukan cakupan antimikroba spektrum luas dari
organisme enterik untuk periode waktu yang lebih lama (mis., Sefalosporin generasi ketiga
selama 7-10 hari) untuk profilaksis terhadap osteomielitis. Cakupan spektrum luas dengan
penetrasi CSF yang baik juga disarankan untuk luka terbuka dengan kebocoran CSF.

KESIMPULAN
Pengobatan cedera sumsum tulang belakang dan cedera kolomna dalam evolusi berkelanjutan
dan karenanya mengharuskan CPG ini menjadi cairan. Penelitian tentang terapi berbasis medis
tambahan untuk cedera sumsum tulang belakang terus menawarkan harapan untuk opsi
perawatan tambahan untuk jenis cedera ini di masa depan. Dokumentasi yang konsisten dari
pemeriksaan neurologis, kepatuhan terhadap pedoman yang diterbitkan tentang manajemen
cedera tulang belakang dan sumsum tulang belakang, dan penggunaan penilaian klinis yang baik
tentang waktu intervensi operasi akan terus menjadi dasar CPG ini.

Anda mungkin juga menyukai