Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

‫ﯾﻠزم ﻣراﻋﺎة اﻟﺷرط ﺑﻘدر اﻻﻣﻛﺎن‬


‫اﻟﻣﻌروف ﺑﯾن اﻟﺗﺟﺎر ﻛﺎﻟﻣﺷروط ﺑﯾﻧﮭم‬
‫ﻛل ﻗرض ﺟر ﻧﻔﻌﺎ ﻓﮭو رﺑﺎ ﺣرام‬
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah

Dosen Pengasuh :
Dr. H. Sukarni, M.Ag
Dr. H. Fathurahman Azhari, M.HI

Oleh :

AHMAD RIZQIAWAN

MIFTAH FARID

Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI


PROGRAM PASCASARJANA
BANJARMASIN
2015
PENDAHULUAN
Islam sangat memperhatikan perekonomian umatnya, hal ini dapat dilihat dari banyak
nya ayat-ayat Alquran, sunah, mau pun ijtihad para ulama yang berbicara tentang
perekonomian (muamalah). Bahkan menurut Muhammad Ali al-Sayid dalam Tafsir ayat al-
Ahkam sebagaimana yang dikutip oleh syamsul hilal bahwa ayat yang terpanjang dalam
Alquran justru Berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah mahdhah atau
akidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah al-Baqarah, menurut Ibn ‘Arabi
ayat ini mengandung 52 hukum ekonomi. Akan tetapi al-quran dan hadits hanya menentukan
garis-garis besarnya saja berbeda dengan bidang ibadah mahdhah dan hokum keluarga islam
yang memberikan aturannya dengan rinci.1
Sangat logis apabila dalam bidang fiqh muamalah yang ruang lingkup ijtihad menjadi
sangat luas dan materi-materi fiqh sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Tampaknya, hal
ini terkait erat dengan fungsi manusia yang selain hamba Allah juga sebagai khalifah di muka
bumi. Usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa banyak sekali. Dalam
transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari dua puluh lima macam transaksi.
Dengan demikian, sudah barang tentu sekarang ini dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, akan
melahirkan model-model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum
Islam. Penyelesaian yang di satu sisi tetap islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah
kehidupan yang nyata. Di antara caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh.
Kaidah-kaidah fiqh di bidang mu‘amalah mulai dari kaidah pokok dan cabangnya, kaidah
umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman

1
Syamsul Hilal, Urgensi Qawâ‘id al-fiqhiyyah Dalam Pengembangan Ekonomi Islam, AL-‘ADALAH
Vol. X, No. 1 Januari 2011. Hal. 2
kekhalifahan Turki Usmani tidak kurang dari 99 kaidah fiqh,2 yang termuat dalam Kitab
Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah.3 Di antara kaidah fiqh khusus di bidang mu‘amalah adalah:

‫ ﯾﻠزم ﻣراﻋﺎة اﻟﺷرط ﺑﻘدر اﻻﻣﻛﺎن‬.1


‫ اﻟﻣﻌروف ﺑﯾن اﻟﺗﺟﺎر ﻛﺎﻟﻣﺷروط ﺑﯾﻧﮭم‬.2
‫ ﻛل ﻗرض ﺟر ﻧﻔﻌﺎ ﻓﮭو رﺑﺎ ﺣرام‬.3

PEMBAHASAN
1. Kaidah ‫ﯾﻠزم ﻣراﻋﺎة اﻟﺷرط ﺑﻘدر اﻻﻣﻛﺎن‬
Diharuskan Menjaga Syarat Sesuai Dengan Kemampuan
Dasar Qaidah :
Hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh al-baihaqi dari abu hurairah ra:
4
‫اﻟﻣﺳﻠﻣون ﻋﻠﻰ ﺷروطﮭم إﻻ ﺷرطﺎ أﺣل ﺣراﻣﺎ أو ﺣرم ﺣﻼﻻ‬
Orang-orang islam diwajibkan menetapi atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat menghalalkan
haram atau syarat yang mengharamkan yang halal.

2
Muhammad Atho Muzhar dan Maksum, Muhammad Atho Muzhar dan Maksum, SYNERGY OR
CONFLICT OF LAWS (The Case of the KHES and the DSN’s fatwas) Makalah dipresentasikan pada Annual
International Conference on Islamic Studies ke 15 yang diselenggarakan Institut Agama Islam Negeri, Manado,
September, 2015, hal. 4
3
Kitab Majallah tersebut sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Inggris dan Melayu.
Bahkan di negara bagian Johor Malaysia, kitab ini telah menjadi rujukan dengan nama Majalah Ahkam Johor
sejak 1913. Pengodifikasian Majalah sendiri berlangsung antara 1869-1876, di masa Sultan Mahmud II dan terus
dipakai sebagai UU perdata sampai sistem hukum perdata model Eropa mulai diperkenalkan di Turki pada 1926,
dua tahun sejak berakhirnya Dinasti ‘Utsmani. Bahkan dalam pandangan penulis, Kompilasi Hukum Ekonomi
Shari‘ah (KHES) adalah Majalah-nya Indonesia, karena formatnya dipengaruhi oleh Majalah Turki tersebut.
Lihat Abbas Arfan, Aplikasi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah Sebagai Nalar Deduktif Dalam Istinbat Hukum Islam,
Islamica, Vol. 8, Nomor 2, Maret 2014, hal.301
4
Ade Dedi Rohayana mengkategorikan kaidah diatas termasuk kaidah fiqih umum (al-Qawa‘id al-
Fiqhiyyah al-‘Ammah). Karena kaidah tersebut dapat mencakup berbagai persoalan hukum fiqh dari berbagai bab
fiqh. Kaidah fiqh tersebut tidak terbatas hanya mencakup satu bab persoalan fiqh saja, tetapi mencakup berbagai
persoalan fiqh yang ada di dalam berbagai bab fiqh. Lihat Ade dedi Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan
Pengaruhnya terhadap perbedaan pendapat fuqaha, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Hal. 186-187
Makna Kaidah
Kaidah fiqhiyyah muamalah diatas maksudnya adalah bahwa dalam setiap perbuatan
hukum harus senantiasa memperhatikan kewajiban memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan. Misalnya, menjaga syarat sah ibadah puasa, syarat sah pernikahan, syarat-syarat
penjatuhan hukuman bagi pelaku tindak criminal, dan syarat-syarat diangkat sebagai
pemimpin. Syarat-syarat tersebut harus dijaga dan dipatuhi dengan sebaik-baiknya.
Makna syarat disini adalah syarat yang sifatnya membatasi (taqyid) bukan syarat yang
bersifat menggantung (ta’liqy/ta’alluq). Syarat tersebut tidak boleh menyimpang dari kaidah
syar’iyyah tentang aturan-aturan dalam akad.5
Syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun6 tetapi bukan merupakan
sesuatu hal yang esensi sebagaimana hal yang tersebut dalam rukun. Seperti syarat dalam
kontrak jual beli adalah kemampuan menyerahkan yang dijual. Kemampuan menyerahkan
barang ini harus ada dalam setiap kontrak jual beli, namun tidak termasuk dalam pembentukan
kontrak.7
Adapun syarat-syarat syar’iyyah adalah syarat yang menyempurnakan sebab dan
menjadikan akibat yang timbul padanya. Misalnya, pencurian merupakan sebab bagi hukuman
potong tangan, akan tetapi dengan syarat, bahwa ia merupakan tindakan yang motifnya murni
pencurian.8

5
H. Fathurahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, LPKU Banjarmasin, hal. 356
6
Adapun rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu sehingga sesuatu itu terwujud karena
adanya unsur-unsur tersebut. rumah misalnya, terbentuk karena ada unsur-unsur yang membentuknya, yaitu
fondasi, tiang, lantai, dinding, atap dan lain sebagainya. Dalam ilmu fikih, unsur-unsur yang membentuk sesuatu
itu disebut “rukun” Rukun akad adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika satu
rukun tidak ada, menurut hokum perdata islam, implikasinya akad dipandang tidak pernah ada. Lihat Hasbi
Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, Jakarta: Grama
Publishing, hal. 106
7
H. Abdul Mannan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama ,
Jakarta: Prenada Media Group, hal. 82
8
Akan tetapi lain halnya ketika ada sebuah kasus tindakan kriminal pencurian yang dilakukan
antarorang yang sedang memiliki hubungan kaitan utang-piutang. Jika pihak yang berpiutang mengambil
(mencuri) barang orang yang berhutang dengan maksud mengambil pelunasan, maka dalam hal ini tidak boleh
menjatuhkan hukuman potong tangan kepadanya. Lihat Mohammad Mufid, Nalar Ijtihad Fiqh Muhammad Sa’id
Ramadhan al-Bu’thi, Banjarmasin: Antasari Press, hal. 132-133.
Selain syarat-syarat syar’I, ada juga yang disebut syarat ja’li. Yaitu persyaratan suatu
syarat terjadinya dengan tasharut (tindakan hokum) mukallaf. Seorang mukallaf tidak boleh
menggantungkan akad apapun atau suatu tindakan hokum atas persyaratan yang
dikehendakinya. Syarat ini seperti disebut ta’alluq. Misalnya Ta’alluq terjadi ketika ada
hubungan kontrak, seperti ketika keabsahan kontrak A bergantung dengan kontrak B.
contohnya, ketika A menjual barang X dengan nilai Rp 120 juta di kreditkan ke B, syarat B
menjual barang X kembali ke A secara cas yaitu sekitar Rp 100 juta. Transaksi diatas tidak
diperbolehkan, karena ada syarat dari A menjual barang X kepada B dengan kondisi bahwa B
menjual kembali barang tersebut kepada A. Dalam hal ini, kontrak dianggap cacat ketika kedua
kontrak disetujui. Aplikasi yang mensyaratkan seperti ini melanggar prinsip islam. Dalam
terminology fiqh, kasus diatas disebut bay’ al –inah.9 Oleh karena itu syarat yang ditentukan
dalam sebuah kontrak tidak boleh bertentang dengan prinsip syariah.10

2. Kaidah ‫اﻟﻣﻌروف ﺑﯾن اﻟﺗﺟﺎر ﻛﺎﻟﻣﺷروط ﺑﯾﻧﮭم‬


“sesuatu yang sudah dikenal baik dan menjadi tradisi para pedagang, maka ia dianggap sebagai
kewajiban yang disepakati di antara mereka”11
Dasar qaidah:
Al-Qur’an
1. Al-qur’an surah al- a’raf ayat 199:

    

suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

9
Ibrahim Siregar, Legal Aspect Of ‘Gold Farming’ Islamic Banking Product , Ahkam: Vol. XIV, No. 2,
Juli 2014, hal. 168-169.
10
Ini sejalan dengan salah satu kaidah umum yang mengatakan:
‫ﻛل ﺷرط ﯾﺧﺎﻟف أاﺻول اﻟﺷرﯾﻌﺔ ﺑﺎطل‬
Artinya: “Setiap syarat yang menyalahi prinsip syari‘ah adalah batal ”.
11
Ahmad Muhammad Az-Zarqa, Syarah al-Qawaid al fiqhiyyah (damaskus: Dar al-qalam, 1989), hal.
239. Lihat juga Moh. Mufid, 40 Kaidah Hokum Dalam Memahami Ekonomi Syariah, Makassar: Zahra Litera,
hal. 103
2. Hadits rasulullah saw:
Hadits riwayat al-hakim dari Abdullah ra.
‫ﻣﺎ رأى اﻟﻣﺳﻠﻣون ﺣﺳﻧﺎ ﻓﮭو ﻋﻧد ﷲ ﺣﺳن وﻣﺎ رآه اﻟﻣﺳﻠﻣون ﺳﯾﺄ ﻓﮭو ﻋﻧد ﷲ ﺳﺊ‬
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi allah. Apa yang
dipandang tidak baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi allah.

Makna kaidah
Kaidah ini merupakan cabang dari kaidah dasar, yakni al-adah muhakkamah (adat
dapat menjadi pertimbangan hokum). Bila kaidah yang lalu lebih umum, maka kaidah diatas
ini lebih bersifat spesifik, karena yang berlaku hanya kebiasaan bagi para pedagang.
Oleh karena itu, kaidah ini dipahami sebagai salah satu dasar dalam melestarikan adat
kebiasaan yang berlangsung di kalangan para pedagang ( tujjar) selama tidak bertentangan
dengan syariat. Dengan kebiasaan itu pedagang dapat menjadikannya sebagai landasan hokum
dalam beraktivitas ekonomi.

Aplikasi Kaidah
-Contoh aplikatif dalam masalah kebiasaan para pedagang adalah uang panjar dalam jual beli.
Di kalangan para ulama klasik, uang panjar atau yang dikenal dengan istilah “urbun” masih
diperdebatkan tentang kebolehannya. Sementara dalam transaksi bisnis modern saat ini,
terutama dalam jumlah yang besar, banyak sekali praktik pembayaran uang muka sebagai tanda
jadi sehingga dapat menguatkan terbentuknya itikad baik dari masing-masing pihak. Sehingga
boleh dikatakan bahwa uang muka, DP atau uang panjar adalah system atau model
pembayaran yang tidak dapat lagi dihindari.
Uang muka atau juga dikenal dengan istilah DP dan uang panjar oleh para ulama
hambali dan imam ahmad serta mayoritas ulama kontemporer dihukumi boleh atau tidak
bertentangan dengan syariat islam.
Dewan syariah nasional pun memperbolehkan urbun atau uang muka dalam transaksi
bisnis syariah. Uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternative uang muka dengan
ketentuan berikut: pertama, bila nasabah untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar
sisa harga. Kedua, bila nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka
tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. Ketentuan diatas sesuai dengan
fatwa DSN Nomor 13/DSN-MUI/IX?2000 tentang uang muka dalam murabahah.

-Contoh yang lain misalnya pada prinsipnya jual beli dipandang sah dalam Islam ketika
terpenuhi sejumlah rukun dan syarat. Jumhur ulama menetapkan rukun jual beli ada tiga
macam, yaitu orang yang melakukan transaksi yang terdiri dari penjual dan pembeli, benda
yang menjadi objek transaksi meliputi barang dan harga, dan shighat. Sementara kalangan
Hanafi hanya menempatkan ijab dan qabul atau shighat sebagai rukun jual beli. Ulama mazhab
ini tidak menjadikan orang yang melakukan transaksi, barang, dan harga sebagai rukun karena
hal itu termasuk unsur yang mesti ada dalam jual beli.12 Perbedaan pendapat ini terjadi karena
perbedaan antara jumhur ulama dan kalangan Hanafî dalam mendefinisikan rukun dan apa
yang menjadi bagiannya.13
Shighat dalam jual beli diwujudkan dalam bentuk perkataan dari kedua belah pihak
yang bertransaksi atau salah seorang dari mereka. Shighat mempunyai peran penting dalam jual
beli karena itu para ulama sepakat menjadikannya bagian dari rukun jual beli. Keberadaan
shighat untuk memenuhi adanya unsur rela atau suka sama suka dalam jual beli ditetapkan
dalam firman Allah (Q.S. 4:29)14 Ayat ini melarang umat Islam memakan harta yang diperoleh
dengan cara batil atau melanggar aturan agama. Sebaliknya, Allah membolehkan memakan
12
H.M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Analisis Fatwa Fiqh Muamalah Dewan Syariah
Nasional MUI), Jakarta: UI Press, Hal. 184

Menurut ulama mazhab Hanafî, rukun adalah sesuatu yang tergantung kepadanya sesuatu yang lain
13

dan ia menjadi bagian dari sesuatu tersebut. Sementara jumhur ulama memahami rukun sebagai sesuatu yang
tergantung kepadanya sesuatu yang lain dan ia tergambar secara akal keberadaannya, baik ia menjadi bagian
sesuatu atau berada di luar sesuatu tersebut. Sedangkan syarat menurut jumhur adalah sesuatu yang tergantung
kepadanya sesuatu yang lain dan ia berada di luar sesuatu itu. Wahbah, Jilid 5, h. 3309, Lihat juga Abdul
Mannan, hal. 82-83.

                 

14
      
harta yang diperoleh melalui perdagangan yang dilakukan suka sama suka atau ada unsur rela.
Unsur suka sama suka ini menjadi prinsip dasar muamalah secara Islam.
Mengingat unsur suka sama suka berada dalam lubuk hati seseorang sehingga sulit
untuk diukur dan diketahui oleh orang lain kecuali yang bersangkutan, sedangkan hukum
didasarkan kepada sesuatu yang nyata dan dipersaksikan. Untuk dijadikan sebagai sandaran
hukum perlu ditetapkan mazhinnahnya , yaitu sesuatu yang nyata dan dapat dipersaksikan yang
menjadi indikasi adanya unsur rela dalam jual beli. Para ulama masa lalu menetapkan indikasi
rela dalam bentuk shighat atau ucapan yang dikenal dengan ijab dan qabul. Dengan telah
diucapkan ijab dan qabul dalam jual beli berarti pemilikan barang atau uang telah berpindah
tangan dari pemilik semula.15
Dilingkungan pasar yang sepi dan dalam kehidupan muamalah yang sederhana pada
masa lalu, adanya ijab dan qabul tidak menjadi masalah dipraktekkan. Dengan perubahan dan
perkembangan zaman, orang yang melakukan jual beli semakin ramai, pelaksanaan ijab dan
qabul secara lisan tidak praktis lagi, bahkan dapat menghalangi kelancaran transaksi. Sejalan
dengan itu, masyarakat modern saat ini, tidak menggunakan ijab dan qabul secara lisan dalam
transaksi jual beli yang mereka lakukan, tetapi mewujudkannya dalam bentuk perbuatan yang
padanya diketahui telah terwujud unsur suka sama suka (taradhin). Pada saat ini masyarakat
muslim di Indonesia, baik di pasar tradisional apalagi di super market dan pasar swalayan
mempraktekkan ijab dan qabul dalam bentuk perbuatan dengan mengambil barang dan

15
Bagi ulama mazhab Hanafi ucapan yang pertama disampaikan salah satu pihak yang melakukan
transaksi jual beli disebut ijab, baik berasal dari penjual maupun pembeli. Sedangkan ucapan kedua disebut qabul,
baik muncul dari pembeli atau penjual. Menurut ulama selain mazhab Hanafî, ijab merupakan ucapan yang
dinyatakan penjual, meskipun munculnya setelah qabul. Sedangkan qabul merupakan ucapan yang berasal dari
pembeli, meskipun muncul sebelum ijab.Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Syiria:Dâr al-Fikr,
2004), Cet. ke-4, Jilid 4, h. 2932. Mengingat ijab dan qabul mempunyai arti penting dalam jual beli, para ulama
menetapkan sejumlah syarat untuk terpenuhi ijab dan qabul, yaitu (1) Orang yang mengucapkannya baligh dan
berakal menurut jumhur ulama dan berakal menurut kalangan Hanafiyyah; (2). Ucapan qabul sama dengan ijab,
apabila berbeda antara keduanya, jual beli tidak sah; (3). Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Intinya, ijab
dan qabul tidak diselingi oleh aktifitas lain. Bagi ulama mazhab Hanafi dan Maliki, antara ijab dan qabul boleh
diantarai oleh waktu yang diperkirakan pihak pembeli sempat berpikir. Sementara ulama mazhab Syafi’i dan
Hanbali berpendirian jarak antara ijab dan qabul tidak boleh terlalu lama, yang menimbulkan dugaan bahwa objek
pembicaraan telah berubah. Lihat Muhammad Yusuf Musa, al-Amwal wa Nazhariah al‘Aqd, (Mesir: Dâr alFikr
al-‘Arabi, 1976), h. 255
membayar harga dari pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan barang oleh penjual atau
kasir. Jual beli seperti ini dikenal dalam fikih dengan sebutan ba’i al-mu’athah.16
Dikalangan ulama status ba’i al-mu’athah menjadi bahan perbincangan. Ulama
Hanafiyyah dan Hanabilah membolehkan jual beli seperti ini, baik dalam jumlah kecil
maupun besar, selama telah menjadi ‘urf di kalangan masyarakat.
Kebiasaan masyarakat dalam melakukan jual beli seperti ini dapat dijadikan indikator
telah terpenuhi unsur rela dari mereka yang melakukan jual beli. Sementara kalangan
Malikiyyah membolehkan ba’i al-mu’âthah selama ada indikator yang menunjukkan ada
kerelaan masing-masing pihak yang melakukan jual beli. Dalam hal ini, tidak perlu
dipertimbangkan jual beli telah menjadi kebiasaan ataupun tidak di kalangan masyarakat.
Sedangkan ulama mazhab Syafi’i menetapkan jual beli harus dilakukan dengan ucapan yang
jelas atau sindiran, yang diwujudkan melalui ijab dan qabul sebagai bukti kerelaan dari pihak
yang bertransaksi. Dalam ba’i al-mu’athah sulit mengetahui terwujud unsur kerelaan karena ia
sesuatu yang tersembunyi dalam diri pihak-pihak yang melakukan jual beli. Oleh karena itu,
ba’i al-mu’athah tidak dibenarkan dalam Islam. Kalaupun jual beli bentuk ini dibolehkan
terbatas untuk hal-hal yang kecil. Pendapat ini diikuti pula oleh ulama mazhab Zhahiri.17
Dari beberapa pendapat ulama tentang jual beli yang ijab dan qabulnya dalam bentuk
sikap atau perbuatan, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih cocok dengan ‘urf yang
berkembang di masyarakat saat ini, tanpa dibatasi jumlah yang menjadi objek transaksi jual
beli. Sebenarnya, pendapat ulama mazhab Maliki juga relevan dengan kondisi masyarakat saat
ini selama ada indikator yang menunjukkan suka sama suka dari pihak yang bertransaksi.
Namun, menurut penulis pendapat ini mengandung unsur kelemahan karena tidak menjadikan
kebiasaan masyarakat sebagai pertimbangan untuk membolehkan ba’i al-mu’athah. Apabila jual
beli itu tidak menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat dikhawatirkan dapat menimbulkan

16
Hasanuddin, Konsep dan Standar Multiakad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah. Hal.36
17
Akan tetapi menurut Imam Nawawi dalam Kitab al-mamu’ sebagaimana dikutip Hasanuddin, bahwa
tidak ada satu petunjuk pun baik dalam ayat al-Qur’an maupun dalam hadis yang mengharuskan penggunaan
bentuk atau kata-kata tertentu dalam pembuatan akad. Oleh karena itu, mengenai formulasi akad dapat digunakan
dengan cara apa pun sepanjang menurut kebiasaan (‘urf’) dipandang telah menunjukkan pelaksanaan ijab qabul.
Ibid, hal. 37
salah paham dari mereka yang melakukan transaksi jual beli. Sementara dengan mengambil
pendapat mazhab Syafi’i yang tidak membolehkan ba’i al-mu’athah kecuali dalam hal-hal kecil
akan menyulitkan masyarakat saat ini dalam melakukan aktifitas muamalah mereka.
Dengan mempertimbangkan perubahan dalam kehidupan masyarakat, ijab dan qabul
yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan lebih relevan untuk saat ini. Banyak sekali praktek
jual beli yang tidak memakai ijab dan qabul secara lisan. Misalnya, ketika seseorang membeli
rumah atau mobil, yang dipakai dalam transaksi itu adalah akta jual beli. Dalam prakteknya,
penjual dan pembeli tinggal membubuhkan tanda tangan sebagai wujud suka sama suka
terhadap jual beli itu. Demikian pula dengan jual beli melalui mesin otomatis. Pembeli tinggal
memasukkan koin dalam jumlah tertentu dan menentukan pilihan barang yang diinginkan, lalu
mesin otomatis mengeluarkan barang yang dibeli pembeli. Dalam jual beli ini tidak ada ucapan
ijab dan qabul, tetapi unsur rela dari pihak-pihak yang bertransaksi telah terwujud melalui
tindakan.
Dalam praktek yang berkembang pada kehidupan masyarakat, ijab dan qabul bukan
hanya dalam ucapan, tetapi diganti dengan isyarat dan akta tertulis. Sejalan dengan itu,
kontekstual ijab dan qabul terkait pula dengan jual beli melalui perantara, baik dengan
mengutus orang sebagai wakil atau melalui media cetak, seperti surat menyurat atau media
elektronik, seperti telepon dan faximile. Ini konsekwensi dari perkembangan modern dan
teknologi yang semakin maju. Jual beli seperti ini termasuk masalah kontemporer yang dapat
dibenarkan dan dipandang sah selama antara ijab dan qabul dalam bentuk perbuatan itu
sejalan. Pendapat ini yang dianut Wahbah Zuhaili. Persyaratan satu majelis antara pihak-pihak
yang melakukan jual beli tidak harus dipahami sama-sama hadir pada suatu tempat, tetapi
dapat diartikan satu situasi dan kondisi sehingga ada kesinambungan antara ijab dan qabul,
meskipun mereka berjauhan.

3. Kaidah ‫ﻛل ﻗرض ﺟر ﻧﻔﻌﺎ ﻓﮭو رﺑﺎ ﺣرام‬


Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang) adalah riba
yaitu haram
Makna Kaidah
Setiap transaksi muamalat yang memberikan jasa pinjaman dana tertentu dan dalam
transaksi tersebut diharuskan membayar uang dengan lebih besar dari dana yang telah
dihutangnya (pinjaman berbunga) maka tindakan renten seperti ini adalah perbuatan riba.

Dasar kaidah
Kaidah ini, bersumber dari larangan praktik riba QS, Ali Imran 130

Aplikasi Kaidah
Misalnya, seseorang meminjam uang dengan syarat pada waktu pembayaran harus ada
tambahan atau meminjam uang dari rentenir. Pendekatan kaidah fiqh dalam kasus ini cukup
dengan menggunakan kaidah fiqh tafsiliyyah,
yaitu: ‫ﻛل ﻗرض ﺟر ﻧﻔﻌﺎ ﻓﮭو رﺑﺎ ﺣرام‬
“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang mengutangkan) adalah riba ”.
Dengan menggunakan kaidah fiqh tersebut, jelas bahwa meminjam uang dari rentenir
hukumnya haram karena termasuk riba. Selain itu, kaidah fiqh di atas berhubungan dengan
masalah mu‘amalah (transaksi), tetapi bukan dari aspek kebolehannya melainkan dari aspek
keharamannya yaitu riba. Dengan demikian, masalah ini masuk dalam ruang lingkup kaidah
fiqh: “Hukum asal dalam mu‘amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya ”.
Oleh karena itu, keharaman meminjam dari rentenir merupakan pengecualian dari hukum asal,
yaitu kebolehan transaksi. Kaidah fiqh ini termasuk kepada kaidah fiqh yang khusus, dan jika
dihubungkan dengan kaidah fiqh yang ruang lingkupnya lebih luas (kaidah fiqh yang umum),
maka kaidah fiqh yang umum itu adalah:
‫ﻛل ﺷرط ﯾﺧﺎﻟف أاﺻول اﻟﺷرﯾﻌﺔ ﺑﺎطل‬
Artinya: “Setiap syarat yang menyalahi prinsip syari‘ah adalah batal”.
Dalam kasus di atas, rentenir mensyaratkan tambahan uang, dan itu adalah riba,
sehingga syarat tersebut adalah batal. Kemudian jika ada yang mengatakan bahwa riba itu ada
untungnya atau manfaatnya, dan riba diharamkan yang berarti mafsadat bagi kehidupan, maka
masalah ini masuk dalam kaidah fiqh:
‫درء اﻟﻣﻔﺎﺳد ﻣﻘدم ﻋﻠﻰ ﺟﻠب اﻟﻣﺻﺎﻟﺢ‬
Artinya: “Menolak mafsadat harus didahulukan daripada meraih maslahat”. Kedua kaidah fiqh
di atas apabila dihubungkan dengan kaidah fiqh asasi (pokok) merupakan bagian dari kaidah
fiqh:
‫اﻟﻀﺮر ﻳﺰال‬
Artinya: “Kemadaratan harus dihilangkan”.
Kemudian kaidah fiqh asasi (pokok) tersebut berhubungan dengan kaidah fiqh inti, yaitu:
‫ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ودﻓﻊ اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ‬
Artinya: “Meraih maslahat dan menolak mafsadat”.
Dari kasus di atas, tampak bahwa perbuatannya adalah haram karena membawa
mafsadat, sedangkan mafsadat harus ditolak. Dari contoh di atas jelas konsistensi hubungan
satu kaidah fiqh dengan kaidah fiqh lainnya. Dengan demikian, penggunaan kaidah fiqh
tafsiliyyah dalam contoh di atas yang mengharamkan rentenir cukup akurat. digunakan dalam
memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
Oleh karena itu yang harus diperhatikan dalam menerapkan kaidah fiqh adalah
konsistensi hubungan antara satu kaidah fiqh yang digunakan dengan kaidah fiqh lain yang
lebih luas ruang lingkupnya. Dengan demikian, orang yang akan menerapkan kaidah fiqh perlu
menguasai keseluruhan kaidah fiqh dari mata rantai kaidah fiqh yang paling kecil sampai
kepada kaidah fiqh yang paling besar dalam suatu sistem kaidah fiqh. Seandainya kaidah fiqh
dimisalkan sebuah pohon, maka hubungan antar kaidah fiqh itu seperti hubungan antara akar,
batang, cabang, ranting, dan daun pohon, sehingga akan diketahui secara persis di mana letak
kaidah fiqh yang akan digunakan. Dari sini, akan diketahui tepat tidaknya kaidah fiqh yang
digunakan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Simpulan
Itulah beberapa contoh qawa’id fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai panduan dalam
mengimlementasikan produk-produk fiqh. Dengan qawa’id fiqhiyyah ini para ulama dan
fuqaha dapat menyiapkan garis panduan hidup bagi umat Islam dalam lingkup yang berbeda
dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui, Islam memberikesempatan
kepada ummatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk melakukan
ijtihad dengan berbagai cara yang dituntunkan oleh Rasulullah, melalui ijma’, qiyas, istihsan,
istishab, istislah (masalihul-mursalah) dan sebagainya untuk mencari kebenaran yang tak
ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadts Rasulullah SAW. Demikian pula, dalam
kehidupan ekonomi, atau yang dalam khazanah karya para fuqaha terdahulu biasa disebut
muamalat, pemakaian qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting.

Daftar Pustaka
Arfan, Abbas, Aplikasi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah Sebagai Nalar Deduktif Dalam Istinbat
Hukum Islam, Islamica, Vol. 8, Nomor 2, Maret 2014
Atho Muzhar, Muhammad Atho Muzhar dan Maksum, SYNERGY OR CONFLICT OF
LAWS (The Case of the KHES and the DSN’s fatwas) Makalah dipresentasikan pada
Annual International Conference on Islamic Studies ke 15 yang diselenggarakan
Institut Agama Islam Negeri, Manado, September, 2015
Azhari, H. Fathurahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, LPKU Banjarmasin, 2015.
Hasan, Hasbi, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam
Kontemporer, Jakarta: Grama Publishing, 2011.
Hasanuddin, Konsep dan Standar Multiakad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Hilal, Syamsul Hilal, Urgensi Qawâ‘id al-fiqhiyyah Dalam Pengembangan Ekonomi Islam,
AL-‘ADALAH Vol. X, No. 1 Januari 2011
Mannan, H. Abdul, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama, Jakarta: Prenada Media Group, 2012.
Mufid, Moh. Mufid, 40 Kaidah Hokum Dalam Memahami Ekonomi Syariah, Makassar:
Zahra Litera, 2015.
Mufid, Mohammad, Nalar Ijtihad Fiqh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bu’thi, Banjarmasin:
Antasari Press, 2013.
Nafis, H.M. Cholil, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Analisis Fatwa Fiqh Muamalah Dewan
Syariah Nasional MUI), Jakarta: UI Press, 2011.
RohayanaAde dedi Rohayana, Qawaid Fiqhiyyah dan Pengaruhnya terhadap perbedaan
pendapat fuqaha, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008
Siregar, Ibrahim, Legal Aspect Of ‘Gold Farming’ Islamic Banking Product , Ahkam: Vol.
XIV, No. 2, Juli 2014

Anda mungkin juga menyukai