Anda di halaman 1dari 22

JENIS – JENIS AKAD SYARIAH

MANAJEMEN KOPERASI DAN UMKM

KELOMPOK 3 :

Fika Anggi, 2022131005


Fannisya Falentina, 2021031023
Permata Zahra Aini, 2021031003
AKAD-AKAD SYARIAH

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan definisi akad


adalah janji, perjanjian, atau kontrak. Akad menurut bahasa artinya ikatan atau
persetujuan, sedangkan menurut istilah akad adalah transaksi atau kesepakatan antara
seseorang (yang menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk
pelaksanaan suatu perbuatan. Contohnya : akad jual beli, akad sewa menyewa, akad
pernikahan. Sementara Syariah adalah hukum agama yang menetapkan peraturan
hidup manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia dan alam
sekitar berdasarkan Al-Quran dan Hadist. Akad Syariah merupakan istilah yang
digunakan untuk menyebut jenis perjanjian atau kesepakatan dalam transaksi jual-beli
syariah.

Dasar Hukum Akad

Dalam al-quran, terdapat tujuh ayat yang menggunakan kata akad dan
turunannya yaitu dalam Q.S. Al-baqarah: 235, 237, Q.S. An-nisa: 33, Q.S. Al-maidah:
1, 89, Q.S. Thaha: 27 dan Q.S. Al-falaq: 4.

Penggunaan lafadz ‫ ﻋﻘﺪﺓ‬pada Q.S. Al-baqarah: 235, 237 menunjukan makna


akad secara khusus yakni akad nikah (Kaṡīr, 2005), (Shihab, 2016). Pada Q.S. An-
nisa: 33 lafadz ‫ ﻋﻘﺪﺕ‬bermakna janji setia yang diucapkan oleh seseorang kepada orang
lain untuk saling mewarisi (Kaṡīr, 2005). Menurut Abu Muslim Al-ashfahani dan
Syaikh Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam tafsirnya,
menyatakan bahwa janji setia yang dimaksud pada ayat tersebut adalah janji setia
antara suami dan istri sehingga menurutnya yang berhak mendapatkan bagian warisan
adalah ibu, bapak, karib kerabat dan pasangan suami istri (Shihab, 2016).

Q.S. Al-maidah: 1 memerintahkan secara tegas kepada orang-orang yang


beriman untuk melaksanakan setiap akad perjanjian baik yang tersurat maupun tersirat
di dalam al-quran (Shihab, 2016). Menurut Ibnu ‘Abbas sebagaimana dikutuip Ibnu
Katsir dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan akad pada ayat ini adalah janji-janji
serta sumpah-sumpah untuk mentaati segala yang diperintahkan dan menjauhi segala
yang dilarang oleh Allah. Secara spesifik, Zaid bin Aslam berpendapat bahwa akad-
akad yang dimaksud pada ayat ini meliputi enam hal yaitu, janji hamba kepada Allah,
akad syirkah, akad jual beli, akad nikah, akad sumpah, bersumpah dengan nama
Allah, akad sumpah (Kaṡīr, 2005).

Pada Q.S. Thaha: 27 lafadz ‫ ﻋﻘﺪﺓ‬bermakna khusus untuk bermakna khusus


yakni menunjukan arti gagap atau celat sehingga kesulitan untuk berbicara dengan
fashih menurut suatu riwayat (Kaṡīr, 2005). Sedangkan menurut Quraish shihab
sebagaimana dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan ‫ ﻋﻘﺪﺓ‬pada ayat tersebut yaitu
kekurang fashihan nabi Musa dalam berbahasa Ibrani (Shihab, 2016).

Lafadz ‫ ﺍﻟﻌﻘﺪ‬pada Q.S. Al-falaq: 4 dapat dimaknai dengan makna hakiki yaitu
tali yang mengikat. Dalam ayat ini tali yang maksud adalah simpul-simpul atau buhul-
buhul yang digunakan oleh penyihir (Shihab, 2016). Berdasarkan beberapa ayat di
atas, dapat diketahui bahwa lafadz ‫ ﻋﻘﺪ‬dan beberapa turunannya yang terdapat dalam
al-quran memiliki beragam makna umum dan khusus, namun demikian hanya
terdapat satu ayat yang menunjukan makna akad secara umum yakni lafadz ‫ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ‬
sebagaimana dalam Q.S. Al-maidah: 1. Dengan demikian, Q.S. Al- maidah: 1 dapat
dijadikan landasan hukum berbagai macam akad baik yang dibuat oleh sesama
manusia maupun akad yang dibuat oleh manusia dengan Allah.

PRINSIP-PRINSIP DASAR SYARIAH

Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip


Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama dengan
bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu kepada syariah
Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan Hadist.Islam sebagai agama
merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan
universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah) maupun
dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas).

Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu :


Aqidah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas
keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang muslim
manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata untuk
mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah.

Syariah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang


muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah
(hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi
keyakinannya.

Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain


yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut muamalah maliyah

Akhlaq : landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya


sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi
pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis
nabi yang menyatakan "Tidaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk menjadikan
akhlaqul karimah"

Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi


umat yang antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut:

Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur


spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan
mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Islam menempatkan fungsi uang semata-
mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk
diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar)
sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya
waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.
Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat pada
segelintir orang dan Allah sangat tidak menyukai orang yang menimbun harta
sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka yang mempunyai harta yang
tidak produktif akan dikenakan zakat yang lebih besar dibanding jika diproduktifkan.
Hal ini juga dilandasi ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi
sebagai khalifah yang menerima amanah dari Allah sebagai pemilik mutlak segala
yang terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya sebesar-
besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan waJib dlakukan sehingga
tidak seorangpun tanpa bekerja - yang berarti siap menghadapi resiko – dapat
memperoleh keuntungan atau manfaat(bandingkan dengan perolehan bunga bank dari
deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa resiko).
Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi harus
dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa paksaan dari
pihak manapun.
Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi
khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri
dengan profesi akuntansi dan notaris).
Zakat sebagai instrumen untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang
merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga
anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari
pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan.
Sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker
dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba
diharamkan.
Dalam operasionalnya, perbankan syariah harus selalu dalam koridor-
koridorprinsip-prinsip sebagai berikut:

Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi
dan resiko masing-masing pihak
Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan
pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang
saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan
Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan
secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui
kondisi dananya
Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan
dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Prinsip-Prinsip syariah yang dilarang dalam operasional perbankan syariah
adalah kegiatan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Maisir: Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah


maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering
dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat
memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam
kondisi bisa untung atau bisa rugi.Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam,
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut:"Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan" (QS Al-Maaidah : 90)

Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika
melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara
abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang
lebih besar ketimbang usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung
seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan
prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem keuangan
Islam.
Gharar : Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Menurut istilah gharar
berarti seduatu yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Setiap
transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di
luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Misalnya membeli burung di udara atau ikan
dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk
dalam transaksi yang bersifat gharar. Pelarangan ghararkarena memberikan efek
negative dalam kehidupan karena gharar merupakan praktik pengambilan keuntungan
secara bathil. Ayat dan hadits yang melarang gharar diantaranya :"Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" (Al-Baqarah : 188)
Riba: Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan,
pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat
bahwa hukumnya riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali
Imran ayat 130 yang melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda.
Sangatlah penting bagi kita sejak awal pembahasan bahwa tidak terdapat perbedaan
pendapat di antara umat Muslim mengenai pengharaman Riba dan bahwa semua
mazhab Muslim berpendapat keterlibatan dalam transaksi yang mengandung riba
adalah dosa besar. Hal ini dikarenakan sumber utama syariah, yaitu Al-Qur'an dan
Sunah benar-benar mengutuk riba. Akan tetapi, ada perbedaan terkait dengan makna
dari riba atau apa saja yang merupakan riba harus dihindari untuk kesesuaian
aktivitas-aktivitas perekonomian dengan ajaran Syariah.

Ada banyak ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang keharaman riba,


diantaranya:

Surat Al-Baqarah, ayat 275:


Orang-orang yang makan (mengambil) RIBA' tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan RIBA', padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan RIBA'. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil RIBA'), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Alloh. Orang yang kembali (mengambil RIBA'), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Surat An-Nisa, ayat 161:


Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang darinya dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang tidak sah
(bathil). Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang
pedih.

Surat Ali 'Imran, ayat 130:


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Surat Ar-Rum, ayat 39:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.

Jenis-jenis Riba

Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi 4 (empat) macam:

Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak
sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
Contoh: tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras,
gandum dan sebagainya.
Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau
tambahan bagi orang yang meminjami/mempiutangi. Contoh : Andi meminjam uang
sebesar Rp. 25.000 kepada Budi. Budi mengharuskan Andi mengembalikan
hutangnya kepada Budi sebesar Rp. 30.000. maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba
Qardh.
Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya:
orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang
tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu
tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
Riba Nasi'ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak
sejenis yang pembayarannya disyaratkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh
yang meminjam. Contoh : Rusminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh
penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12
gram, dan jika terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram
dan seterusnya.

Hikmah Pelarangan Riba

Banyak pihak yang telah menyatakan pandangan berbeda mengenai dasar


rasional atau tujuan pengharaman riba oleh Syariah. Secara keseluruhan, keadilan
sosio ekonomi dan distribusi, keseimbangan antargenerasi, instabilitas perekonomian,
dan kehancuran ekologis dianggap sebagai dasar pengharaman riba. Mengingat semua
teks dan prinsip yang relevan dalam hukum Islam, alasan satu-satunya yang
meyakinkan adalah tentang keadilan distribusi karena pengharaman Riba
dimaksudkan untuk mencegah akumulasi kekayaan pada segelintir orang, yaitu harta
itu jangan hanya "beredar di antara orang-orang kaya" (Kitab Suci Al-Quran, 59:7).
Oleh sebab itu, tujuan utama pelarangan atas Riba adalah untuk menghalangi sarana
yang dapat menuntun ke akumulasi kekayaan pada segelintir pihak, baik itu bank
maupun individu.

b. Pendapat Ulama tentang Bunga Bank

Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di
haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,olehAl-Nawawi berkata, al-
Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi'I) berbeda pendapat
tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur'an, atas dua
pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan
oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah
merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur'an, baik riba naqad
maupun riba nasi'ah.Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur'an sesungguhnya
hanya mencakup riba nasai'yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan
tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah
seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang
berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula
masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya.
Itulah maksud firman Allah : "… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda… " kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad)
terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur'an.

Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba
yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya
dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambahan sudah
langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.

Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama' sepakat bahwa bunga bank adalah


riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama' terkemuka dalam
konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo,
Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam
pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.
Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman
bunga bank.

Abu zahrah, Abu 'ala al-Maududi Abdullah al-'Arabi dan Yusuf Qardhawi
mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam.
Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system
bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf
Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau
mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa
bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis
riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu
membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.

Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama


Internasional, antara lain:

Majma'ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965


Majma' al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di
Jeddah tgl 10-16 Rabi'ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
Majma' Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang
diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari'ah.
Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang
menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi
system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah
Islam.
Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar
Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga
(interest/fa'idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa'idah 1424/03 Januari
2004;28 Dzulqa'idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.

Rukun Akad dan Syarat Akad.


Rukun Akad. Adapun rukun akad adalah :
A. Dua orang atau lebih yang melakukan akad (transaksi) disebut Aqidain.
B. Sighat (Ijab dan Qabul).
C. Ma’qud ‘alaih (sesuatu yang diakadkan).

Syarat Akad.
Sementara itu syarat akad adalah sebagai berikut :
a. Syarat orang yang bertransaksi antara lain : berakal, baligh, mumayis dan orang
yang dibenarkan secara hukum untuk melakukan akad.
b. Syarat barang yang diakadkan antara lain : bersih, dapat dimanfaatkan, milik orang
yang melakukan akad dan barang itu diketahui keberadaannya.
c. Syarat sighat: dilakukan dalam satu majlis, ijab dan qabul harus ucapan yang
bersambung, ijab dan qabul merupakan pemindahan hak dan tanggung jawab.

Macam-macam Akad.
Ada beberapa macam akad, antara lain:
a. Akad lisan, yaitu akad yang dilakukan dengan cara pengucapan lisan.
b. Akad tulisan, yaitu akad yang dilakukan secara tertulis, seperti perjanjian pada
kertas bersegel atau akad yang melalui akta notaris.
c. Akad perantara utusan (wakil), yaitu akad yang dilakukan dengan melalui utusan
atau wakil kepada orang lain agar bertindak atas nama pemberi mandat.
d. Akad isyarat, yaitu akad yang dilakukan dengan isyarat atau kode tertentu.
e. Akad Ta’at (saling memberikan), akad yang sudah berjalan secara umum.

Hikmah Akad.
Ada beberapa hikmah dengan disyariatkannya akad dalam muamalah, antara lain:
a. Munculnya pertanggung jawaban moral dan material.
b. Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
c. Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak.
d. Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.
e. Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas.

Pada kesempatan kali ini akan membahas akad–akad apa saja yang digunakan
dalam transaksi syariah di Industri Jasa Keuangan Syariah. Akad–akad tersebut
melindungi kita dari transaksi merugikan, seperti transaksi objek yang tidak pasti
keuntungan/ kerugiannya tidak terukur (Maysir), objek tidak jelas (Gharar), objek
yang Haram, Riba, perbuatan suap (Rishwah) dan Bathil.
         Secara garis besar, akad yang digunakan oleh Industri Jasa Keuangan Syariah
sebagai berikut:
1.    Pola Jual Beli 4.    Pola Sewa

2.    Pola Bagi Hasil 5.    Pola Titipan

3.    Pola Pinjaman 6.    Pola Jasa


JENIS – JENIS AKAD

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setidaknya terdapat 9 macam akad


syariah yang biasa digunakan dalam transaksi jual-beli di Indonesia. Berikut adalah
macam-macam dari akad syariah :

1. Akad Murabahah
Akad Murabahah adalah akad pembiayaan di mana penjual menyatakan harga
beli produk kepada pembeli, kemudian pembeli membayarnya dengan harga lebih
sebagai perolehan laba penjual. 
Keuntungan harga lebih tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak di
awal perjanjian. Dengan begitu, pihak pembeli dapat mengetahui harga beli produk
dan margin keuntungan secara transparan yang telah didapatkan oleh penjual.
Murabahah termasuk macam-macam akad syariah yang paling sering digunakan
dalam transaksi jual-beli di Indonesia. 

2. Akad Mudharabah
Akad Mudharabah merupakan jenis akad syariah berbentuk kerjasama usaha
antara pihak pemilik modal dan pihak pengelola modal dengan kesepakatan
tertentu.Besaran pembagian laba ditentukan di awal perjanjian. Sedangkan apabila
terjadi kerugian, maka pemilik modal akan menanggung sepenuhnya dengan catatan
pengelola tidak melakukan kesalahan atau kelalaian disengaja atau melanggar
kesepakatan.

3. Akad Mudharabah Muqayyadah


Akad yang satu ini memiliki kesamaan dengan akad mudharabah, namun
memiliki beberapa perbedaan, yakni jika akad mudharabah muqayyadah terdapat
ketentuan yang disyaratkan oleh pemilik modal terkait obyek usaha. Sehingga
pengelola dana harus menjalankan usaha sesuai ketetapan dari pemodal.

4. Akad Wadiah
Wadiah merupakan akad transaksi dengan skema penitipan barang/uang antara
pihak pertama dan pihak kedua. Sehingga pihak pertama sebagai pemilik dana/barang
telah mempercayakan asetnya kepada pihak kedua sebagai penyimpan aset. Oleh
sebab itu, pihak kedua (lembaga keuangan syariah) harus menjaga titipan nasabah
dengan selamat, aman, dan utuh.

Kelebihan menabung menggunakan akad wadiah dibanding tabungan akad


mudharabah adalah tabungan wadiah itu tidak ada biaya potongan sedangkan akad
mudharabah ada biaya administrasinya, saldo tabungan wadiah tidak berkurang
sehingga tidak akan merasa khawatir.

5. Akad Musyarakah
Musyarakah merupakan akad berbentuk kerja sama usaha dimana masing-
masing pihak menyetorkan dana sebagai modal dengan porsi sesuai kesepakatan.
Sehingga modal dari berbagai pihak disatukan untuk menjalankan suatu usaha.
Kemudian usaha tersebut dikelola oleh salah satu dari pemodal atau meminta bantuan
pihak ketiga sebagai pegawai.
Keuntungan usaha musyarakah dibagi di antara para mitra secara proporsional sesuai
dengan dana yang disetorkan baik berupa kas maupun aset nonkas atau sesuai dengan
nisbah yang disepakati oleh para mitra

6. Akad Musyaraqah Mutanaqisah


Musyaraqah Mutanaqisah adalah akad kerja sama antar pihak untuk membeli
suatu produk atau aset. Nantinya, salah satu pihak akan membeli produk secara utuh
dengan melakukan pembayaran bertahap pada pihak lain.

7. Akad Salam
Salam adalah akad transaksi di mana pembeli memesan produk dan
melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada pembeli, kemudian pembeli akan
memproses produk sesuai permintaan pembeli dengan syarat dan jangka waktu
tertentu. Penerapan akad salam dapat dilihat dari sistem pembelian secara pre-order.

8. Akad Istisna’
Istisna’ yaitu jual beli produk dengan sistem pemesanan terlebih dahulu
kepada penjual berdasarkan syarat dan kriteria tertentu, kemudian pihak penjual baru
melakukan proses pembuatannya. Sekilas mirip dengan akad salam, perbedaannya
adalah produk akad istisna' diproduksi sesuai permintaan pembeli.

9. Akad Ijarah
Pembiayaan dengan sistem sewa antara kedua belah pihak disebut sebagai
akad ijarah. Dalam akad ini salah satu pihak sebagai penyewa membayar kepada
pihak lain (pemilik produk) untuk mendapatkan manfaat atau hak guna atas produk
yang dipinjam tanpa memindahkan kepemilikan barang tersebut.

Kelebihan dari akad ijarah yaitu pada akad ijarah penentuan harga nya lebih fleksibel,
dalam artian kita dapat memilih untuk memanfaatkan atas barang atau jasanya.
Sedangkan kekurangan dari akad ijarah adalah pada proses akad ijarah ini terlalu lama
dibandingkan dengan akad lainnya.

10. Akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik


Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah jenis akad syariah di mana penyewa
membayarkan sejumlah dana untuk memperoleh manfaat atas produk tersebut, tetapi
pihak penyewa dapat mengambil opsi pemindahan hak milik produk tersebut di akhir
transaksi.

11. Akad Wakalah


Wakalah termasuk akad akad syariah dengan sistem perwakilan antara salah
satu pihak kepada pihak lain. Akad ini banyak diterapkan pada transaksi pembelian
barang luar negeri atau impor untuk menyusun Letter of Credit atau meneruskan
permintaan pembeli.

12. Akad Kafalah


Berikutnya, jenis akad syariah adalah Kafalah. Kafalah yaitu akad penjaminan
salah satu pihak kepada pihak lain. Penerapan akad kafalah biasa dijumpai pada
pembelian produk beserta garansi. Pada bidang jasa, akad ini digunakan dalam
menyusun garansi atas suatu proyek, advance payment bond, hingga partisipasi dalam
tender.
13. Akad Hawalah

Jenis akad syariah wajib Anda ketahui yakni Hawalah. Akad ini merupakan
perjanjian atas pemindahan utang/piutang dari satu pihak ke pihak lain. Contoh
penerapannya pada layanan Post Dated Check pada perbankan syariah. Pihak
lembaga keuangan syariah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk menjual
produknya kepada pembeli lain dengan jaminan pembayaran berbentuk giro mundur.

14. Akad Rahn


Rahn merupakan perjanjian dalam pegadaian suatu barang atau aset dari pihak
satu kepada pihak lain. Jadi nasabah meminjam uang kepada lembaga keuangan
syariah dengan memberikan jaminan berupa aset atau barang berharga, tetapi pihak
perbankan syariah hanya membebankan biaya pemeliharaan aset kepada nasabah.

15. Akad Qardh


Terakhir, macam macam akad syariah adalah Qardh. Sistem transaksi syariah
dimana nasabah meminjam dana talangan yang dibutuhkan segara dalam periode
singkat. Sehingga uang tersebut akan dikembalikan secepatnya kepada bank.

AKAD DALAM ASURANSI SYARIAH

Asuransi syariah adalah usaha tolong-menolong dan saling melindungi diantara para
peserta yang penerapan operasional dan prinsip hukumnya sesuai dengan syariat
Islam. Tanpa bermaksud mendahului takdir, asuransi dapatlah diniatkan sebagai
ikhtiar persiapan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya risiko.

Asuransi syariah sudah dijamin Halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui
Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.
Berdasarkan Fatwa DSN-MUI akad dalam asuransi syariah terdapat 4 jenis akad yaitu
akad tabarru’, akad tijarah, akad wakalah bil Ujrah, dan akad mudharabah
musytarakah, berikut penjelasannya:

1. Akad Tabarru’ (Hibah / Tolong Menolong)

Peserta Asuransi memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta
lain yang terkena musibah, sedangkan perusahaan asuransi sebagai pengelola dana
hibah.

2. Akad Tijarah (Mudharabah)

Dalam akad ini perusahaan asuransi sebagai mudharib (Pengelola), dan peserta
sebagai shahibul mal (Pemegang Polis). Premi dari akad ini dapat diinvestasikan dan
hasil keuntungan atas investasi tersebut dibagi-hasilkan kepada para pesertanya.

3. Akad Wakalah bil Ujrah

Akad ini memberikan kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola
dana peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee). Perusahaan asuransi sebagai
wakil dapat menginvestasikan premi yang diberikan, namun tidak berhak memperoleh
bagian dari hasil investasi.

4. Akad Mudharabah Musytarakah

Akad ini merupakan pengembangan dari akad mudharabah, dimana perusahaan


asuransi sebagai mudharib dan juga menyertakan dananya dalam investasi bersama
dana peserta. Bagi hasil investasi dibagikan antara perusahaan asuransi dan peserta
sesuai nisbah yang disepakati sesuai dengan porsi dana masing-masing.

Terminasi Akad
Pengakhiran adalah tindakan pengakhiran perjanjian yang telah dibuat sebelum
dijalankan atau belum diselesaikan, kontrak tidak dilaksanakan karena satu dan lain
hal. Pemutusan akad lebih dikenal dengan istilah pembatalan akad atau dalam Islam
dengan istilah fasakh. Secara umum, fasakh (pemutusan) akad dalam hukum Islam
meliputi:6 fasakh terhadap akad, fasakh terhadap akad yang tidak mengikat, fasakh
terhadap akad karena adanya kesepakatan para pihak untuk memutusnya atau karena
adanya urbun, fasakh terhadap akad karena salah satu pihak tidak melaksanakan
aliansi, baik karena tidak mau. Melaksanakannya karena kontrak tidak mungkin
dilaksanakan.

Fasakh Terhadap Akad Fasid


Fasakh dalamakad fasid adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat keabsahan
menurut para ahli hukum Hanafi, meskipun telah memenuhi pilar dan syarat
pembentukan akad.

Fasakh Terhadap Akad yang Tidak Mengikat


Fasakh terhadap akad yang tidak mengikat (ghairlazim) baik tidak mengikatnya akad
tersebut karena adanya hak khiyar (opsi) bagi salah satu pihak dalam akad tersebut
maupun karena sifat akad itu sendiri yang sejak semula memang tidak mengikat.
Khiyar adalah perbuatan memilih antara dua hal yang lebih baik, yaitu antara
melaksanakan akad jual beli dan membatalkan akad tersebut.7 Khiyar disyariatkan
untuk memelihara keadaan saling rela dan menjaga maslahat kedua pihak yang
berakad, atau mencegah bahaya kerugian yang mungkin dapat terjadi pada salah satu
yang berakad.

Macam-macam khiyar yakni: (1) khiyar majlis yakni perbuatan memilih antara
melaksanakan akad jual beli dan membatalkan akad, tetapi hak khiyar ketika masih
berada di tempat akad. (2) khiyar air yakni perbuatan memilih untuk melaksanakan
akad atau memutuskan akad karena adanya cacat barang. (3) khiyar syarat yakni hak
khiyar bagi pembeli atau kedua penjual atau pembeli untuk membatalkan atau
melanjutkan akad yang didapatkan dari persetujuan akad.

Fasakh Terhadap Akad Karena Kesepakatan para Pihak Untuk Memfasakhnya


Pembatalan akad dapat terjadi jika kedua belah pihak sepakat untuk membatalkannya,
keadaan seperti itu disebut dengan istilah iqalah. Al Iqalah adalah keadaan saling
mengakui dalam rangka membatalkan kontrak karena penyesalan salah satu pihak.
Perbuatan al iqalah merupakan sikap yang sangat terpuji oleh Rasulullah SAW,
sebagaimana terungkap dalam hadits yang berarti “barang siapa yang mau
membatalkan jual beli seorang muslim yang menyesal, maka Allah menghapus
dosanya” (HR. Ibn Majah dan Abu Dawud).
Syarat dari iqalah adalah: (1) iqalah terjadiatasakad yang meliputi jenis akad yang
dapat disahkan (diputuskan). (2) adanya kesepakatan (agreement) antara kedua pihak.
(3) bahwa obyek akad masih utuh (sudah ada) dan berada di tangan salah satu pihak,
artinya apabila benda tersebut telah dimusnahkan, iqalah tidak dapat dilakukan, dan
jika dimusnahkan sebisa mungkin dapat dilakukan pada bagian yang masih utuh
dengan menghitung harga secara proporsional. (4) Tidak dapat menambah harga dari
harga pokok, karena iqalah merupakan pembatalan, tetapi biaya pembatalan
dibebankan pada pembatalan akad. Beberapa ketentuan hukum mengenai iqalah
adalah: (1) karena akad terjadi atas persetujuan para pihak, maka yang berhak
melakukan iqalah adalah para pihak yang berkepentingan, namun hak ini juga
diberikan oleh ahli waris, serta perwakilan (penerima) dari pihak peserta tanpa
kewenangan dengan akibatnya. undangundang baru berlaku setelah mendapat
ratifikasi dari yang berhak. (2) penghapusan kontrak yang telah dilakukan sebagai
akibat hukum dari para pihak dikembalikan ke status semula seperti sebelum kontrak
dibuat. Oleh karena itu, objek kontrak harus tetap ada. (3) Segala sesuatu yang
berhubungan dengan kontrak juga dibubarkan, seperti kontrak yang mengikuti
kontrak prinsipal. Bagi pihak ketiga, iqalah merupakan perjanjian baru dalam rangka
memberikan perlindungan kepada pihak ketiga. (5) Karena iqalah berlaku syarat
khiyar dan cacat khiyar, misalnya penjual menemukan cacat yang terjadi di tangan
pembeli atas barang yang dikembalikan oleh pembeli yang tidak diketahui penjual
untuk melakukan iqalah, maka dia berhak mengembalikan barang tersebut kepada
pembeli (bukan melakukan iqalah). Mengenai kapan akad bersifat luzum (mengikat)
atau tidak dapat dibatalkan, para ulama berbeda pendapat: (1) Ulama Hanafi dan
Maliki menyatakan bahwa akad bersifat luzum (tidak dapat dibatalkan) pada saat akad
telah berlangsung. (2) Para ulama Syafi'I dan Hambali berpendapat bahwa akad baru
adalah luzum jika akad telah berlangsung dan kemudian kedua pihak yang telah
sepakat untuk berpisah atau meninggalkan perkumpulan di mana akad tersebut
berlangsung secara adat.

Fasakh Terhadap Akad Karena Adanya Urbun


Salah satu faktor yang dibahas dalam kontrak adalah pembayaran barang yang dijual.
Idealnya pembayaran dilakukan pada saat terjadi transaksi bursa yang lebih dikenal
dengan istilah jual beli tunai. Seiring berjalannya waktu dan variasi barang yang
semakin banyak, keinginan pembeli untuk mengkonsumsi barang semakin meningkat,
sehingga pembeli lebih berhati-hati dalam memilih kualitas barang. Berkaitan dengan
hal tersebut, tidak jarang seorang pembeli yang telah melakukan transaksi jual beli
barang dengan satu pihak membatalkan keinginannya untuk membeli produk tersebut,
atau karena faktor lain di luar keinginan penjual dan pembeli, walaupun pada
dasarnya faktor pembatalan perjanjian jual beli tidak terbatas. salah satu pihak dalam
transaksi. Untuk menyikapi hal tersebut, urbun dinilai memberikan kepercayaan pada
salah satu pihak atas kepastian pembelian suatu barang. Urbun dalam bahasa
Indonesia lebih dikenal dengan down payment atau pinjaman. Urbun merupakan bukti
untuk memperkuat kontrak dimana kontrak tidak dapat diputuskan secara sepihak
oleh salah satu pihak yang bertransaksi.10 Namun di kalangan ahli hukum Islam
pramodern, urbun menjadi bahan perdebatan apakah itu sah atau tidak, mayoritas
ulama berpendapat bahwa urbun itu tidak sah11, sedangkan Imam Hambali
memandang urbun sebagai sesuatu yang sah dan tidak bertentangan dengan
hukum12 . Jual beli dengan pembayaran urbun ini membawa resiko yang sangat besar
bagi pembeli. Pada saat penyerahan barang, sejauh menyangkut penjual kemungkinan
barang tersebut tidak sesuai dengan kualitas dan spesifikasi yang disepakati dalam
kontrak atau waktu penyerahan yang terlambat dari jadwal yang ditentukan, sehingga
apabila barang yang dipesan adalah bahan alami akan menghambat proses produksi.
pemasaran akan terganggu13. Resiko terbesar yang mungkin dihadapi pembeli adalah
penjual tidak menahan atau membuat barang yang dipesan. Ketika salah satu pihak
melakukan pertunjukan, jual beli dengan cara ini juga dapat berimplikasi pada
pembatalan perjanjian kontrak, meskipun perjanjian formal yang telah disepakati
antara penjual dan pembeli bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan.

dalam kesepakatan atau menurut adat. (2) Apabila kedua belah pihak sepakat bahwa
pembayaran urbun sebagai sanksi pemutusan akad, masing-masing pihak berhak
mencabut akad, jika yang melanggar akad adalah pihak yang membayar urbun, ia
kehilangan urbun tersebut dan jika yang melanggar akad adalah pihak yang menerima
urbun, ia mengembalikan urbun tersebut. ditambah jumlah yang sama. Pasal di atas
menunjukkan bahwa pembayaran urbun pada dasarnya dimaksudkan sebagai penguat
akad yang tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lain, sebagaimana yang
terlihat jelas pada ayat (1). Sedangkan ayat (2) merupakan penyimpangan
(pengecualian) dari hal tersebut diatas, yaitu pembayaran urbun dimaksudkan sebagai
penegasan yang baik untuk membatalkan akad secara sepihak sehingga harus
dilakukan berdasarkan kesepakatan yang tegas atau diam-diam. Ketentuan ini
menunjukkan adanya dua tujuan urbun.15 Pertama, urbun dimaksudkan sebagai bukti
untuk memperkuat kontrak. Jadi urbun merupakan bagian dari implementasi aliansi
satu pihak, dan merupakan bagian dari percepatan pembayaran. Kedua, urbun
dimaksudkan sebagai kontrak sepihak bagi masingmasing pihak untuk memutuskan
kontrak secara sepihak dalam jangka waktu yang ditentukan dalam adat atau
disepakati oleh para pihak itu sendiri dengan imbalan urbun dibayarkan. Apabila yang
memutuskan akad adalah pembayar urbun, maka ia kehilangan urbun (sebagai
kompensasi pembatalan akad) yang dalam jangka waktu yang sama menjadi hak
penerima urbun. Sebaliknya, jika yang memutuskan akad adalah penerima urbun,
maka ia wajib mengembalikan urbun yang telah dibayarkan pasangannya, selain
tambahan sejumlah urbun sebagai kompensasi kepada pasangannya atas tindakannya
membatalkan akad.

Fasakh Terhadap Akad Mustahil Dilaksanakan

Jika kontrak dilaksanakan oleh salah satu pihak karena alasan eksternal, maka kontrak
tersebut dengan sendirinya tanpa perlu adanya keputusan hakim, karena kontrak
tersebut tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya dalam akad jual beli hancur di tangan
penjual setelah akad ditutup, namun sebelum akad diserahkan kepada pembeli, maka
akad tersebut putus dengan sendirinya karena benda tidak ada dan pembeli meminta
harga kembali kepada penjual karena sudah diserahkan. Dalam hal ini, kemustahilan
objek tersebut baik karena kesalahan penjual sendiri atau karena bencana di luar
perkiraan dan kemampuan para pihak untuk mengatasinya.
Daftar Pustaka

Gunawan Widjaja dan kartini Muljadi, Jual Beli Jakarta: PT. raja Grafindo Persada,
2004
Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam,
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/pages/akad-PBS.Aspx
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/PBS-dan-
Kelembagaan.aspx

Anda mungkin juga menyukai