Anda di halaman 1dari 27

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Hukum Ekonomi Islam

2.1.1.1 Pengertian Ekonomi Islam

Ekonomi, secara umum didefinisikan sebagai hal yang

mempelajari perilaku manusia dalam menggunakan sumber daya yang

langka untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.1

Mengenai pengertian ekonomi syariah atau ekonomi islam,

terdapat beberapa pakar ekonomi syariah yang memberikan

pendapatnya yaitu sebagai berikut:2

1. Muhammad Abdul Manan mendefinisikan ekonomi syariah atau

ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang

mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami

oleh nilai-nilai Islam.

2. Muhammad Abdullah Al-Rabi memberikan definisi ekonomi

syariah yaitu sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di

simpulkan dari Al-Quran dan Al-Sunnah dan merupakan bangunan

perekonomian yang didirikan diatas landasan dasar-dasar tersebut

sesuai dengan tiap lingkungan dan masa.

1
Muhamad Qustulani, Modul Matakuliah Hukum Ekonomi Syariah (Jl. Perintis Kemerdekan 2
Cikokol Tangerang: PSP Nusantara Press, 2018), 2.
2
Desmal Fajri, Hukum Ekonomi Syariah (Jl. Sumatra Ulak Karang Padang, Sumbar: LPPM
Unipersitas Bung Hatta, 2022), 3–4.
3. Muhammad Sauqi Al-Fanjari mengartikan ekonomi syariah adalah

ilmu yang mengajarkan kegiatan ekonomi dan mengaturnya sesuai

dengan dasar-dasar kebijakan (siasat) ekonomi islam.

4. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyebutkan ekonomi

syariah sebagai suatu kegiatanyang dilakukan oleh orang perorang,

kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak

berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam rangka

memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial

menurut prinsip syariah.

2.1.1.2 Pengertian Hukum Ekonomi Islam

Hukum dan ekonomi dua hal yang tidak boleh dipisahkan, sebab

dua hal ini saling melengkapi seperti dua sisi mata uang. Hukum ekonomi

merupakan kajian tentang hukum yang berkaitan dengan ekonomi secara

interdisipliner dan multidimensial.3

Sunaryati Hartono memberikan pengertian hukum ekonomi yaitu

keseluruhan kaidah-kaidah, dan putusan-putusan hukum yang khusus

mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi. Lebih lanjut ia mengungkapkan

bahwa pengertian hukum ekonomi adalah keseluruhan asas, kaidah,

pranata, dan lembaga baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat

publik yang mengatur dan mengarahkan tata perekonomian nasional suatu

negara. 4

3
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 5.
4
Fajri, Hukum Ekonomi Syariah, 4.
Fathurrahman Djamil mengartikan hukum ekonomi yaitu

keseluruhan kaidah hukum yang mengatur dan memengaruhi segala

sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan dan kehidupan perekonomian.5

Rachmad Soemitro sebagaimana dikutip oleh Abdul Mannan

mengartikan hukum ekonomi merupakan sebagian dari keseluruhan norma

yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai personoifikasi dari

masyarakat yang mengatur kehidupan kepentingan ekonomi masyarakat

yang saling berhadapan.6

Hukum ekonomi syariah adalah hukum yang mengatur hubungan

manusia dengan sesama manusia berupa perjanjian atau kontrak, berkaitan

dengan hubungan manusia dengan objek atau dengan benda-benda

ekonomi dan berkaitan dengan ketentuan hukum terhadap benda-benda

yang menjadi objek kegiatan ekonomi.7

2.1.1.3 Sumber Hukum Ekonomi Slam

Sebuah ilmu tentu memiliki landasan hukum agar bisa dinyatakan

sebagai sebuah bagian dari konsep pengetahuan. Demikian pula dengan

penerapan syariah di bidang ekonomi bertujuan sebagai transformasi

masyarakat yang berbudaya Islami. 8Sumber hukum ekonomi islam atau

hukum ekonomi syariah adalah sama dengan sumber hukum yang

dijadikan rujukan dalam fiqh muamalah. 9

5
Fajri, 4.
6
Fajri, 4.
7
Fajri, 4–5.
8
Qustulani, Modul Matakuliah Hukum Ekonomi Syariah, 5.
9
Andri Soemitro, Hukum Ekonomi Syariah Dan Fiqh Muamalah Di Lembaga Keuangan Dan
Bisnis Kontemporer (Jakarta: Prenada Media, 2019), 4.
Beberapa dasar hukum Islam tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an 10

Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad SAW. secara mutawatir melalui malaikat Jibril dari mulai

surat Al-Fatihah diakhiri surat An-Nas dan membacanya merupakan

ibadah. Al-Qur’an merupakan dasar hukum ekonomi Islam yang abadi

dan asli, dan merupakan sumber serta rujukan yang pertama bagi

syari'at Islam, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat

global beserta rinciannya. Sebagaimana firman Allah surat an-Nisa [4]

ayat 80:

َ B‫ ا‬Bَ‫ ن‬B‫ ْل‬B‫ َس‬B‫ر‬Bْ ‫ َأ‬B‫ ا‬B‫ َم‬Bَ‫ ف‬B‫ى‬Bٰ Bَّ‫ ل‬B‫و‬Bَ Bَ‫ ت‬B‫ن‬Bْ B‫ َم‬B‫و‬Bَ Bۖ Bَ ‫ هَّللا‬B‫ َع‬B‫ ا‬Bَ‫ َأ ط‬B‫ ْد‬Bَ‫ ق‬Bَ‫ ف‬B‫ َل‬B‫ و‬B‫ ُس‬BَّB‫ر‬B‫ل‬B‫ ا‬B‫ ِع‬B‫ ِط‬Bُ‫ ي‬B‫ن‬Bْ B‫َم‬
B‫ ا‬Bً‫ظ‬B‫ ي‬Bِ‫ ف‬B‫ َح‬B‫ ْم‬B‫ ِه‬B‫ ْي‬Bَ‫ ل‬B‫ َع‬B‫ك‬

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati

Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami

tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Ayat di atas menyatakan bahwa al-Qur'an menjelaskan hukum-

hukum syara’ itu secara keseluruhan, karena penjelasan-penjelasan as-

Sunnah berasal dari al- Qur'an. Al-Qur'an sebagai sumber pokok bagi

semua hukum Islam telah menjelaskan dasar-dasar hukum, seperti

memerintahkan kepada manusia agar memenuhi janji (perikatan) dan

menegaskan halalnya jual beli beserta haramnya riba.

Kemudian, seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 188 terdapat larangan

makan harta dengan cara yang tidak sah, antara lain melalui suap yaitu

sebagai berikut:
10
Qustulani, Modul Matakuliah Hukum Ekonomi Syariah, 6–8.
‫ٱِإْل ْث ِم‬Bِ‫اس ب‬ ۟ ‫ْأ‬ ۟ ۟ ‫ْأ‬
ِ َّ‫ ٰ َو ِل ٱلن‬B‫ا ِّم ْن َأ ْم‬Bً‫َواَل تَ ُكلُ ٓوا َأ ْم ٰ َولَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْٱل ٰبَ ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَٓا ِإلَى ْٱل ُح َّك ِام لِتَ ُكلُوا فَ ِريق‬

َ‫َوَأنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain

di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu

membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat

memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan

berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”.

Dalam Q.S. An-Nisa ayat 29 terdapat ketentuan bahwa

perdagangan atas dasar suka rela merupakan salah satu bentuk

Muamalat yang halal yaitu sebagai berikut:


‫ْأ‬ ٰ ٓ
ٍ ‫ َر‬B َ‫ٰياَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا اَل تَ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن ت‬
‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل‬

‫تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحيْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan

janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu.”

2. Hadits dan As-Sunnah

Hadist ialah ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi

Muhammad SAW. Dengan demikian sunnah dilihat dari segi materi

dan esensinya terbagi menjadi tiga macam: (1)sunnah Qauliyah,

(2)sunnah fi’liyah, (3)sunnah taqririyah.11

11
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), 149.
Hadist memberikan ketentuan-ketentuan hukum muamalat yang

lebih terperinci dari pada Al-Qur‟an. Kedudukan Hadits terhadap al-

Qur'an, sebagaimana dirumuskan dalam tiga hal, yaitu:12

a. Hadits berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham,

merinci ayat yang mujmal.

b. Hadits menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan

pokoknya telah ditetapkan dengan nash al-Qur'an. Seperti

sunnah datang dengan membawa hukum-hukum tambahan

yang menyempurnakan ketentuan pokok tersebut.

c. Hadits membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di

dalam al-Qur'an. Seperti dalam masalah mu’amalat, yaitu al-

Qur'an memerintahkan untuk memenuhi janji (perikatan). Hal

ini perikatan mana yang sah dan yang halal serta perikatan

yang haram dan yang tidak harus dipenuhi, disini as-Sunnah

berperan untuk menjelaskannya.

3. Ijma’

Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah

wafatnya rasulullah SAW. Terhadap hukum syara’ yang bersifat

praktis (amali). Para ulama telah bersepakat, bahwa ijma’ dapat

dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’.13

Ijma dibagi dua yaitu ijma qauli dan ijma sukuti. Ijma qauli ialah

kebulatan yang dinyatakan oleh mujtahidin dan ijma sukuti ialah

12
Qustulani, Modul Matakuliah Hukum Ekonomi Syariah, 9.
13
Zahrah, Ushul Fiqih, 308.
kebulatan yang dianggap ada, apabila seseorang mujtahid

mengeluarkan pendapatnya dan diketahui oleh mujtahidin lainnya.

Akan tetapi mujtahidin lainnya tidak menyatakan setuju atau

batalnya.14

4. Qiyas

Qiyas adalah mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum

ada kedudukan hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada

ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan antara

keduanya yang disebut illat. Qiyas merupakan sumber hukum yang

keempat setelah al-Qur'an, As-sunnah dan Ijma’.15

5. Istihsan

Ibnul Araby mengatakan “istihsan ialah memilih meninggalkan

dalil, dan mengambil rukhsah dengan hukum sebaliknya, karena dalil

itu berlawanan dengan dalil lain pada sebagian kasus tertentu”. Ibnul

araby membagi istihsan pada empat macam yaitu:16

a. Meninggalkan dalil karena urf;

b. Meninggalkan dalil karena ijma’;

c. Meninggalkan dalil karena maslahat dan;

d. Meninggalkan dalil karena untuk meringankan dan

menghindarkan masyaqat.

6. Urf

14
Qustulani, Modul Matakuliah Hukum Ekonomi Syariah, 11.
15
Qustulani, 11.
16
Zahrah, Ushul Fiqih, 402.
Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk muamalah (hubungan

kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung

konstan di tengah masyarakat.17

2.1.1.4 Tujuan System Ekonomi Islam

Ekonomi Islam mempunyai tujuan tertentu, di antaranya:18

1. Memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia.

2. Nilai Islam bukan semata hanya untuk kehidupan muslim saja

tetapi seluruh makluk hidup dimuka bumi.

3. Esensi proses ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan

manusia yang berlandaskan nilai-nlai Islam guna mencapai pada

tujuan agama (falah).

Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas

oleh ekonomi, sosial, budaya, dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam

mampu mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga

dalam perjalanannya tanpa meninggalkan sumber teori Ekonomi Islam.

2.1.1.5 Prinsip Ekonomi Islam

Hukum ekonomi Syariah memiliki beberapa prinsip sebagai berikut:19

1. Prinsip tauhid.

Islam melandaskan kegiatan ekonomi sebagai suatu usaha

untuk bekal ibadah kepada Allah SWT, sehingga tujuan usaha

bukan semata-mata mencari keuntungan atau kepuasan materi dan


17
Zahrah, 416.
18
Qustulani, Modul Matakuliah Hukum Ekonomi Syariah, 15–16.
19
Fajri, Hukum Ekonomi Syariah, 6–9.
kepentingan pribadi melainkan mencari keridhaan Allah SWT dan

kepuasan spiritual dan sosial. Prinsip tauhid dalam usaha sangat

esensial sebab prinsip ini mengajarkan kepada manusia agar dalam

hubungan kemanusiaan, sama pentingnya dengan hubungan

dengan Allah SWT. Islam melandaskan ekonomi sebagai usaha

untuk bekal beribadah kepada-Nya. Tauhid dalam bidang ekonomi

mengantarkan para pelaku ekonomi untuk berkeyakinan bahwa

harta benda adalah milik Allah semata dan pengusaha tidak hanya

mengejar keuntungan duniawi karena Indup adalah kesatuan antara

dunia dan akhirat.

2. Prinsip keadilan.

Keadilan adalah suatu prinsip yang sangat penting dalam

mekanisme perekonomian Islam. Bersikap adil dalam ekonomi

tidak hanya didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunah Nabi

tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan hukum alam. Alam

diciptakan berdasarkan atas prinsip keseimbangan dan keadilan.

Adil dalam ekonomi bisa diterapkan dalam penentuan harga,

kualitas poduksi, perlakuan terhadap pekerja dan dampak yang

timbul dari berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan,

Penegakan keadilan dalam rangka menghapus diskriminasi yang

telah diatur dalam Al Qur'an bahkan menjadi satu tujuan utama

risalah kenabian yaitu untukmenegakan keadilan.

3. Prinsip al-maslahah.
Kemaslahatan adalah tujuan pembentukan Hukum Islam

yaitu mendapatkan kebahagiaan didunia dan akhirat dengan cara

mengambil manfaat dan menolak kemadharatan. Kemaslahatan

memiliki 3 sifat, yaitu: Dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.

4. Prinsip perwakilan (khalifah).

Manusia adalah khilafah (wakil) Tuhan di muka bumi.

Manusia telah dibekali dengan semua karakteristik mental dan

spiritual serta materi untuk memungkinkan hidup dan mengemban

misinya secara efektif. Kehidupan manusia senantiasa dibarengi

pedoman-pedoman hidup dalam bentuk kitab kitab sucidan shuhuf

dari Allah SWT. yang berfungsi untuk mengatur kehidupan

manusia guna kebaikannya sendiri selama di dunia maupun di

akhirat.

5. Prinsip mar ma'ruf nahi munkar.

Amar ma'ruf yaitu keharusan mempergunakan prinsip

Hukum Islam dalam kegiatan usaha sedangkan prinsip nahi

munkar direalisasikan dalam bentuk larangan dalam kegiatan usaha

yang mengandung unsur riba, gharar, maisyir, dan haram.

6. Prinsip tazkiyah.

Tazkiyah berarti penyucian, dalam konteks pembangunan,

proses ini mutlak diperlukan sebelum manusia diserahi tugas

sebagai agent of development. Apabila ini dapat terlaksana dengan

baik maka apapun pembangunan danpengembangan yang


dilakukan oleh manusia tidak akan berakibat kecuali dengan

kebaikan bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan.

7. Prinsip falah.

Prinsip falah merupakan konsep tentang kesuksesan

manusia. Pada prinsip ini, keberhasilan yang dicapai selama di

dunia akan memberikan kontribusi untuk keberhasilan di akhirat

kelak selama dalam keberhasilan ini dicapai dengan petunjuk Allah

SWT. Oleh karena itu, dalam Islam tidak ada dikotomi antara

usaha-usaha untuk pembangunan di dunia (baik ekonomi maupun

sektor-sektor lainnya) dengan persiapan untuk kehidupan di akhirat

nanti.

8. Prinsip kejujuran dan kebenaran.

Prinsip ini tercermin dalam setiap transaksi harus tegas,

jelas, dan pasti baik barang mapun harga. Transaksi yang

merugikan dilarang; mengutamakan kepentingan sosial. Objek

transaksi harus memiliki manfaat. Transaksi tidak mengandung

riba, transaksi atas dasar suka sama suka; dan Transaksi tidak ada

unsur paksaan.

9. Prinsip kebaikan (ihsan).

Ini mengajarkan bahwa dalam ekonomi, setiap muslim

diajarkan untuk senantiasa bermanfaat untuk orang banyak, baik

seagama, senegara. sebangsa, maupun sesama manusia.

10. Prinsip pertanggungjawaban (al-mas'uliyah).


Prinsip ini meliputi pertanggungjawaban antara individu

dengan individu, pertanggungjawaban dalam masyarakat. Manusia

dalam masyarakat diwajibkan melaksanakan kewajibannya demi

terciptanya kesejahteraan anggota masyarakat secara keseluruhan,

serta tanggungjawab pemerintah, tanggung jawab ini berkaitan

dengan pengelolaan keuang negara atau kas negara (bait al-maal)

dan kebijakan moneter serta fiskal.

11. Prinsip kifayah.

Prinsip ini terkait kewajiban setiap muslim untuk peduli

terhadap sesamanya. Tujuan prinsip ini adalah untuk membasmi

kefakiran dan mencukupi kebutuhan primer seluruh anggota

masyarakat agar terhindar dari kekufuran.

12. Prinsip keseimbangan (wasathiyah/i'tidal).

Syariat Islam mengakui hak-hak pribadi dengan batas-batas

tertentu. Hukum Islam menentukan keseimbangan kepentingan

individu dan kepentingan masyarakat. Islam mengakui

kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk

kepemilikan alat produksi dan faktor produksi.

2.1.2 Jual Beli

2.1.2.1 Pengertian Jual Beli


Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al tijarah

dan al-Mubadalah. Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan

jual beli adalah sebagai berikut:20

1. menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan

melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar

merelakan.

2. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan

aturan syara.

3. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan

ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara.

4. Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus

(dibolehkan)

5. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan

atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara

yang dibolehkan.

6. Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka

jadilah penukaran hak milik secara tetap.

Menurut pengertian syariat, yang dimaksud dengan jual beli adalah

pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan hak milik

dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah).21

2.1.2.2 Dasar Hukum Jual Beli

20
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2016), 67–68.
21
Suhrawardi dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 139.
Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh

berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma' dari seluruh umat

Islam.22

1. Al-Quran

Di dalam ayat-ayat Al-Quran bertebaran banyak ayat

tentang jual-beli. Salah satunya adalah firman Allah SWT :

‫َوَأ َح َّل ٱهَّلل ُ ْٱلبَ ْي َع َو َح َّر َم ٱل ِّربَ ٰو ۟ا‬

“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan

riba.” (QS. Al-Baqarah : 275)

2. As-Sunnah

Sedangkan dari sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW

bersabda yang artinya: “Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ radhiyallahuanhu

bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang

paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan

tangannya dan setiap jual-beli yang bersih”.” (HR Al-Bazzar) .

3. Ijma'

Umat Islam sepanjang sejarah telah berijma' tentang

halalnya jual-beli sebagai salah satu bentuk mendapat rizki yang

halal dan diberkahi.

3.1.2.3 Rukun dan Syarat Jual Beli23

22
Ahmad Sarwat, Fiqih Jual-Beli (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018), 8.
23
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), 279–82.
1. penjual dan pembeli

Syaratnya adalah:

a. Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak

sah jual belinya.

b. Dengan kehendak sendiri (bukan di paksa).

c. Tidak mubadzir (pemboros), sebab harta orang mubadzir itu di

tangan walinya.

d. Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa)

2. uang dan benda yang dibeli

syaratnya adalah:

a. suci. Barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh

dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang

atau bangkai yang belum di samak.

b. Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang

tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil

tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-

nyiakan (memboroskan).

c. Barang itu dapat di serahkan. Tidak sah menjual suatu

barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang

membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan

yang masih berada ditangan yang merampasnya, barang

yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung

tipu daya (kecohan)


3. lafadz ijab qabul

Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya “saya menjual

barang ini sekian”. Qabul adalah ucapan sipembeli, “saya

terima (saya beli) dengan harga sekian.”

Menurut ulama yang mewajibkan lafadz, lafadz itu diwajibkan

memenuhi beberapa syarat:

a. keadaan ijab dan qabul berhubungan. Artinya, salah

satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang

lain dan belum berselang lama.

b. Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun

lafadz keduanya berlainan.

c. Keduanya tidak di sangkutkan dengan urusan yang lain,

seperti katanya, “kalau saya jadi pergi, saya jual barang

ini sekian.”

d. Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti

sebulan atau setahun tidak sah.

2.1.2.4 Macam-Macam Jual Beli24

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi

hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum

dan batal menurut hukum, dari objek jual beli dan segi pelaku jual beli.

Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan

pendapat Imam Taqiyuddin's bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk:

‫البيوع ثالثة بيع عين مشاهدة وبيع شـئ موصـوف في الذمة وبيع عين غايبة لم تشاهد‬
24
Suhendi, Fiqh Muamalah, 75–81.
"Jual beli itu ada tiga macam: 1) jual beli benda yang kelihatan, 2) jual beli

yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3) jual beli benda yang

tidak ada."

Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad

jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan

pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan,

seperti membeli beras di pasar.

Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual

beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah

untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti

meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu,

maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang barangnya

ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah

ditetapkan ketika akad. Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan

syarat-syarat tambahannya seperti berikut ini:

1. Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin

dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar,

ditimbang, maupun diukur.

2. Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa memper tinggi

dan memperendah harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa

kapas, sebutkan jenis kapas saclarides nomor satu, nomor dua, dan

seterusnya, kalau kain, sebutkan jenis kainnya. Pada intinya sebutkan


semua identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang

ini yang menyangkut kualitas barang tersebut.

3. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa

didapatkan di pasar.

4. Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.

Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual

beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau

masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian

atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu

pihak

Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi tiga

bagian, dengan lisan, dengan perantara, dan dengan perbuatan.

Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang

alakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti dengan isyarat

karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakkan

kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak

dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.

Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan, atau

surat-menyurat sama halnya dengan ijab kabul dengan ucapan, misalnya

via Pos dan Giro. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli tidak

berhadapan dalam satu majelis akad, tetapi melalui Fos dan Giro, jual beli

seperti ini dibolehkan menurut syara. Dalam pemahaman sebagian ulama,

bentuk ini hampir sama dengan bentuk jual beli salam, hanya saja jual beli
salam antara penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majelis

akad, sedangkan dalam jual beli via Pos dan Giro antara penjual dan

pembeli tidak berada dalam satu majelis akad.

Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal

dengan istilah mu'athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa

ijab dan kabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan

label harganya, dibandrol oleh penjual dan kemu dian diberikan uang

pembayarannya kepada penjual. Jual beli 3. Jual beli anak binatang y

dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab kabul antara penjual dan

pembeli, menurut sebagian Syafi'iyah tentu hal ini dilarang sebab ijab

kabul sebagai rukun jual beli. Tetapi sebagian Syafi'iyah lainnya, seperti

Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari

dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab kabul terlebih dahulu.

Selain pembelian di atas, jual beli juga ada yang dibolehkan dan

ada yang dilarang jual beli yang dilarang juga ada yang batal ada pula

yang terlarang tetapi sah. Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya

adalah sebagai berikut:

1. Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi,

berhala, bangkai, dan khamar, Rasulullah Saw.

2. Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba

jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan.


3. Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual

beli seperti ini dilarang, karena barangnya belum ada dan tidak

tampak.

4. Jual beli dengan muhaqallah. Bagalah berarti tanah, sawah, dan kebun,

maksud muhaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih

di ladang atau di sawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan

riba di dalamnya.

5. Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum

pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau,

mangga yang masih kecil-kecil, dan yang lainnya. Hal ini dilarang

karena barang tersebut masih samar, dalam artian mungkin saja buah

tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang lainnya sebelum diambil

oleh si pembelinya.

6. Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh me

nyentuh, misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan

tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang

menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena

mengandung tipuan dan kemungkinan akan menim bulkan kerugian

bagi salah satu pihak.

7. Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar,

seperti seseorang berkata, "lemparkan kepadaku apa yang ada padamu,

nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku". Setelah


terjadi lempar-melempar, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena

mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan kabul.

8. Jual beli dengan muzabanak, yaitu menjual buah yang basah dengan

buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi

basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugikan

pemilik padi kering.

9. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.

Menurut Syafi'i penjualan seperti ini mengandung dua arti, yang

pertama seperti seseorang berkata "Kujual buku ini seharga $ 10,-

dengan tunai atau $ 15,- dengan cara utang". Arti kedua ialah seperti

seseorang berkata. "Aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu

harus menjual tasmu padaku."

10. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini, hampir

sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja di sini

dianggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata, "aku jual rumahku

yang butut ini kepadamu dengan syarat. kamu mau menjual mobilmu

padaku."

11. Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemung kinan

terjadi penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau

menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tetapi di bawahnya

jelek.

12. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual, seperti

seseorang menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah
satu bagiannya, misalnya A menjual seluruh pohon-pohonan yang ada

dikebunnya, kecuali pohon pisang. Jual beli ini sah sebab yang

dikecualikannya jelas. Namun, bila yang dikecualikannya tidak jelas

(majhul), jual beli tersebut batal.

13. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal ini me

nunjukkan kurangnya saling percaya antara penjual dan pembeli.

2.1.3 Jual Beli Tanah

Jual beli yang dimaksudkan disini adalah jual beli hak atas tanah.

Dalam praktik disebut jual beli tanah. Secara yuridis, yang diperjual

belikan adalah hak atas tanah bukan tanahnya. jual beli tanah adalah

perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah

untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu

juga pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.25

Kata tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah:26

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

2. Keadaan bumi disuatu tempat;

3. Permukaan bumi yang diberi batas;

4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas,

napal, dan sebagainya).

Secara umum jual beli tanah dikalangan masyarakat itu

beragam, ada yang sebagai hak guna pakai, hak guna bangunan, ada
25
Urip Santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah (Jakarta Timur: Kencana, 2019),
360.
26
Arba, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2019).
juga yang tersertifikasi da nada juga yang tidak tersertifikasi. Jual beli

tanah tidak tersertifikasi adalah praktik jual beli tanah dimana penjual

menjual tanahnya tidak mempunyai sertifikat tanah. Seringkali

pembelian tanah yang tidak disertai surat kepemilikan yang berupa

sertifikat berujung pada masalah atau persengketaan antara penjual dan

pembeli.

Sertifikat tanah secara fisik terdiri dari salinan buku tanah dan

surat ukur yang dijahit menjadi 1 (satu) dalam sampul. Secara yuridis

sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak (Pasal 1 Angka 2

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Sertifikat tanah

memiliki sisi ganda. Pada satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha

Negara (KTUN) dan pada sisi lain sebagai Tanda Bukti Hak

Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas tanah.

Sebagai tanda bukti hak, Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 mempertegas sosok sertifikat berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat. 27 jadi sertifikat tanah adalah bukti kepemilikan

dan hak seseorang atas tanah atau lahan.

Dalam hukum ekonomi Islam jual beli tanah atau transaksi jual

beli tanah tentulah bukan sesuatu yang dilarang, asalkan memiliki

kejelasan hak milik, kewajiban yang dilakukan dipenuhi, serta tidak

27
Zainal Abidin Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha
Negara (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), 35–36.
berefek kepada sosial masyarakat dan juga jual beli atau transaksi

tersebut haruslah sesuai dengan syariat islam.28

2.2 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan topik dan

masalah penelitian ini, yakni:

Pertama, skripsi karya Nurul Riska Amalia yang berjudul Tinjauan

Hukum Terhadap Jual Beli Tanah Di Kecamatan Tellulimpoe Kabupaten

Sinjai, dengan kesimpulan bahwa jual beli dengan tinjauan hukum adat

dan hukum islam jual beli dengan akta dibawah tangan sah saja apabila

sudah memenuhi rukun dan syarat, sedangkan aturan pemerintah dianggap

sah bila menggunakan akta otentik dika dilakukan di hadapan PPAT atau

disahkan oleh pejabat berwenang.

Kedua, skripsi karya Andi Nurfajri Mansyur yang berjudul

Tinjauan Hukum Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Menurut Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Di Kabupaten Gowa, dengan kesimpulan

bahwa proses jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan di lokasi

tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961

karena masih dipengaruhi oleh hukum adat, dimana kedua belah pihak

cukup melakukan suatu kesepakatan harga yang berlangsung secara

kekeluargaan.

Ketiga, skripsi karya Yuli Sri Lestari yang berjudul Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Jual Beli Tanah Negara, dengan kesimpulan

28
Hasbi Umar, Filsafat Fiqh Muamalat Kontemporer (Jakarta: Rajagrapindo Persada, 2014), 207–
208.
bahwa jual beli tanah yang dilakukan masyarakat Gapura dalam hal ini

dilarang, sebab tanah yang dijadikan objek jual belinya bukanlah sah milik

penjual. Jadi dalam hal ini jual beli yang dilakukan oleh masyarakat

Gapura hukumnya haram, karena tidak sesuai dengan apa yang telah

ditetapkan syara’.

Dari beberapa karya ilmiah tersebut, maka penelitian yang penulis

lakukan memiliki perbedaan dengan karya-karya ilmiah sebelumnya. Dari

beberapa penelaahan peneliti terdahulu tidak nampak pembahasan secara

khusus yang membahas mengenai jual beli tanah yang penulis jabarkan.

2.3 Kerangka Pemikiran

Hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang

bersumber dari Allah Swt.dan Nabi Muhammad Saw.untuk mengatur

tingkah laku manusia ditengah-tengah masyarakatnya. Ruang lingkup atau

bidang-bidang kajian hukum islam ada dua, yaitu bidang ibadah dan

muamalah. Ibadah ialah mencakup semua aktivitas manusia baik perkataan

maupun perbuatan yang didasari dengan niat ikhlas untuk mencapai

keridhaan Allah dan mengharap pahala diakhirat kelak. Sedangkan

Muamalah adalah bagian hukum amaliah selain ibadah yang mengatur

hubungan orang-orang mukalaf antara yang satu dengan yang lainnya baik

secara individu, keluarga, maupun bermasyarakat. 29

Menurut Hendi Suhendi inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-

menukar benda atau barang yang menyukai nilai secara sukarela diantara

29
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep Dan
Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2017), 12–31..
kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain

menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah

dibenarkan syara’ dan disepakati. Lebih lanjut Hendi Suhendi juga

menjelaskan tentang jual beli tanah, dimana di dalamnya di jelaskan

apabila seseorang menjual tanah sedangkan di dalamnya terdapat

pepohonan, rumah, dan lain-lain, menurut madzhab syafi’I itu turut terjual,

tetapi tidak termasuk barang yang bisa diambil sekaligus seperti padi,

jagung, dan lain-lain. Yang termasuk dalam penjualan sebidang tanah

ialah: pertama, batu yang ada didalamnya. Kedua, barang-barang yang

terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.30

Kata tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,

sedangkan hak atas tanah adalah ha katas sebagian tertentu atas permukaan

bumi yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang kali lebar yang

diatur oleh hukum tanah. 31

Sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit

menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya

ditetapkan Menteri Agama. Dengan pendaftaran tanah yang dilakukan

adalah pemberian surat tanda bukti hak, sebagai alat pembuktian yang

kuat. Jadi jual beli tanah yang tidak tersertifikasi adalah jual beli tanah

yang tidak memakai surat sebagai bukti untuk memeberikan kepastian

hukum dan perlindungan kepada pemegang ha katas suatu bidang tanah,

satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah

30
Suhendi, Fiqh Muamalah, 68–87.
31
Arba, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), 7.
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, kepada

pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat ha katas tanah.32

32
Suhendi, Fiqh Muamalah, 42.

Anda mungkin juga menyukai