Anda di halaman 1dari 34

BAB II

PEMBAHASAN
EKONOMI DALAM ISLAM

A. Pengertian Ekonomi Islam


Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang
perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah
swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang
beriman akan melihat pekerjaan itu.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad
saw:
Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu
ia mendapat ampunan.(HR.Thabrani dan Baihaqi).
Pengertian ekonomi Islam menurut istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian
menurut beberapa ahli ekonomi Islam sebagai berikut :
1. Yusuf Qardhawi memberikan pengertian ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan
ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan
sarana yang tidak lepas dari syariat Allah.
2. M.A. Mannan memberikan pengertian Ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan
sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
3. M. Syauqi Al-Faujani memberikan pengertian ekonomi Islam dengan segala aktivitas
perekonomian beserta aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam
tentang ekonomi.
4. Monzer Kahf memberikan pengertian ekonomi Islam dengan kajian tentang proses dan
penangguhan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam
masyarakat muslim.
Dari pengertian-pengertian itu tampaklah suatu konklusi bahwa yang dimaksud dengan
ekonomi Islam adalah segala bentuk aktivitas manusia yang menyangkut persoalan harta
kekayaan, baik dalam sektor produksi, distribusi maupun konsumsi yang didasarkan pada
praktek-praktek ajaran Islam. Walaupun perlu juga diperhatikan apa yang disebut dengan ilmu
ekonomi sebagai suatu sains murni dan ekonomi sebagai suatu sistem. Karena itu perlu
diperhatikan, sekalipun ilmu ekonomi dan sistem ekonomi masing-masing membahas tentang
ekonomi, akan tetapi ilmu ekonomi dan sistem ekonomi itu merupakan dua hal yang berbeda
sama sekali .
B. Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya
kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian
pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu
manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga
sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh
umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan
lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan
di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah
yang menjad puncak sasaran di atas mencaku p lima jaminan dasar:
a) keselamatan keyakinan agama ( al din)
b) kesalamatan jiwa (al nafs)
c) keselamatan akal (al aql)
d) keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e) keselamatan harta benda (al mal)

C. Prinsip Ekonomi Dalam Islam


Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1) Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada
manusia.
2) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4) Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang
saja
5) Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk
kepentingan banyak orang.
6) Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7) Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8) Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Karena kajian ilmu ekonomi terfokus kepada mekanisme (teknis) berproduksi, distribusi
dan konsumsi, sedangkan pembahasan sistem ekonomi berhubungan dengan pemikiran (konsep)
yang menjadi azas kegiatan ekonomi itu sendiri.
Menurut Monzer Kahf setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang
memberikan landasan dan tujuannya disatu sisi dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya
pada sisi lainnya. Oleh karena itu setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu
komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusia untuk
kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi itu untuk kepentingan konsumsi.
Dengan demikian dalam sistem ekonomi tidak akan pernah didapat jawaban tentang bagaimana
cara memperbanyak hasil panen (produksi), tetapi sistem ekonomi akan memberikan jawaban
tentang bagaimana cara memperoleh produksi dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Hal
inilah kemungkinan yang tersirat dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas R.A.
sebagai berikut :
. (
Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian

BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP-KONSEP PEREKONOMIAN DALAM
ISLAM
A. Muamalah
1. Pengertian Muamalah
Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara
seseorang dan orang lain. Contoh hukum Islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa
menyewa, serta usaha perbankan dan asuransi yang islami.
Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya
menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan
orang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan hukum yang satu dan badan
hukum yang lain.

2. Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam


Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk
meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan
hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya
dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya
transaksi jual beli.
Dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang
diterapkan syara, yaitu:
1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi,
kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara, misalnya memperdagangkan
barang haram. (Lihat Q. S. Al-Maidah, 5: 1!)
2. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung
jawab, tidak menyimpang dari hukum syara dan adab sopan santun.
3. Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. (Lihat
Q.S. An-Nisa 4: 29!)
4. Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas
karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis Nabi SAW
menyebutkan: Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.
(H.R. Muslim)
5. Adat kebiasaan atau urf yang tidak menyimpang dari syara, boleh digunakan untuk
menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad sewa-menyewa
rumah.
Insya Allah jika asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam dilaksanakan, maka tujuan
filosofis yang luhur dari sebuah transaksi, yakni memperoleh mardatillah (keridaan Allah SWT)
akan terwujud.

B. Penerapan Transaksi Ekonomi dalam Islam

1. Jual Beli
a. Pengertian, Dasar Hukum, dan Hukum Jual Beli

Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang
menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang
yang dijual).
Jual beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar
hukum dari Al-Quian dan Hadis. Ayat Al-Quran yang menerangkan tentang jual beli antara
lain Surah Al-Baqarah, 2: 198 dan 275 serta Surah An-Nisa 4: 29.

b. Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi
agar jual belinya sah menurut syara (hukum Islam).
Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak menggunakan hartanya

Sigat atau ucapan ijab dan kabul


Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual
dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab
(dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

Barang yang diperjualbelikan


Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan antara lain:
1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal
2) Barang itu ada manfaatnya
3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain
4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya
5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas

Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sekarang ini berupa uang)
Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual adalah:
1) Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli.
3) Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang dijual
bukan berupa uang tetapi berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang haram.

c. Macam-macam jual beli


1. Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-
syaratnya.

2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah (batil) yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh
rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan
(disesuaikan dengan ajaran Islam).

Contoh :
a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis, seperti bangkai dan daging babi.
b) Jual beli air mani hewan ternak.
c) Jual beli hewan yang masih berada dalam perut induknya (belum lahir).
d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan.

3) Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid).


Karena sebab-sebab lain misalnya:
a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang lain.
b) Mempersulit peredaran barang.
c) Merugikan kepentingan umum.

Contoh :
1. Mencegat para pedagang yang akan menjual barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-
barang mereka dengan harga yang sangat murah, kemudian menjualnya di kota dengan harga
yang tinggi.
2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun terutama terhadap barang vital.
3. Menjual barang yang akan digunakan oleh pembelinya untuk berbuat maksiat.
4) Menawar sesuatu barang dengan maksud hanya untuk memengaruhi orang lain agar mau
membeli barang yang ditawarnya, sedangkan orang yang menawar barang tersebut adalah teman
si penjual (najsyi).
5) Monopoli yaitu menimbun barang agar orang lain tidak membeli, walaupun dengan
melampaui harga pasaran.

2. Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan


1. Khamer (Minuman Keras)
Dari Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi saw keluar
(menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), Telah diharamkan jual beli arak.
(Muttafaqunalaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226, Muslim III: 1206 no: 1580, Aunul Mabud IX:
380 no: 3473, dan Nasai VII: 308).
2. Bangkai, Babi dan Patung
Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda ketika Beliau
di Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah
mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung. Rasulullah saw ditanya, Bagaimana
pendapatmu tentang lemak bangkai, karena itu dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu,
meminyaki kulit-kulit dan dijadikan penerangan lampu oleh orang-orang? Beliau jawab,
Tidak boleh, karena haram. Kemudian Rasulullah saw pada waktu itu bersabda, Allah
melaknat kaum Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka
mencairkannya, lalu menjualnya, kemudian mereka makan harganya. (Muttafaqun alaih:
Fathul Bari IV: 424 no: 2236, Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281 no: 1315, Aunul
Mabud IX: 377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan Nasai VII: 309).
3. Anjing
Dari Abu Masud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur,
dan upah dukun. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237, Muslim III: 1198 no: 1567,
Aunul Mabud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan
Nasai VII: 309).
4. Gambar yang Bernyawa
Dari Said bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra tiba-tiba
datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya Ya Ibnu Abbas, dan sejatinya
aku berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini. Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, Saya
tidak akan menyampaikan kepadamu melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah saw. Aku
mendengar Beliau bersabda, Barang siapa yang melukis satu gambar, maka sesungguhnya
Allah akan mengadzabnya hingga ia meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin selam-
lamanya meniupkan ruh padanya. Maka laki-laki itu berubah dengan perubahan yang besar dan
wajahnya menguning. Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya, Celaka engkau! Jika engkau
membangkang dan akan tetap meneruskan profesimu ini, maka hendaklah engkau (menggambar)
pepohonan ini; dan segala sesuatu yang tidak bernyawa. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV:
416 no: 2225 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670 no: 2110 dan Nasai VIII: 215
secara ringkas).
5. Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan hingga
nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, Apa (tanda) sempurnanya? Jawab
Beliau Berwarna merah atau kuning. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 6928 dan Fathul
Bari IV: 397 no: 2167).
Darinya (Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sebelum
sempurna. Kemudian Beliau ditanya, Apa (tanda) sempurnanya? Beliau menjawab, Hingga
berwarna merah. Kemudian Rasulullah saw bersabda, Bagaimana pendapatmu apabila Allah
menghalangi buah itu untuk menjadi sempurna, maka dengan alasan apakah seorang di antara
kamu akan mengambil harta saudaranya. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan
lafadz ini milik Imam Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasai VII: 264).
6. Biji-Bijian yang Belum Mengeras
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata jadinya,
dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama; Beliau melarang
penjualnya dan pembelinya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917, Muslim III: 1165 no: 1535,
Aunul Mabud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no: 1245 dan Nasai VII: 270).

2. Khiyar
a. Pengertian Khiyar

Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya
atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.

b. Macam-macam bentuk khiyar


Khiyar Majlis
Artinya antara penjual dan pembeli boleh memili akan melanjutakan jual beli atau
membatalkannya selama keduanya masih dalam satu tempat atau majelis.
Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya
akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan
untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah
dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya,
sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda, Apabila ada
dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak
khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak
memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan
hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah
berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak
(meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga). (Muttafaqun alaih: Fathul Bari
IV: 332 no: 2112, Muslim 1163 no: 44 dan 1531, dan Nasai VII: 249).
Dan haram meninggalkan majlis kalau khawatir dibatalkan:
Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda,
Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli
dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena
khawatir dibatalkan. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 2895, Aunul Mabud IX: 324 no:
3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasai VII: 251).

Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan pembeli, seperti
seseorang berkata saya jual rumah ini dengan harga seratus juta rupiah dengan syarat khiar
selama tiga hari.
Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw Beliau bersabda, Sesungguhnya dua orang yang
melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah,
atau jual belinya dengan akad khiyar. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim
III: 1163 no: 1531 dan Nasai VII: 248).

Khiyar aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli.
Yaitu jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak
mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak
mengembalikan barang dagangan tersebut kepada si penjualnya.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda Barangsiapa membeli seekor
kambing yang diikat teteknya, kemudian memerahnya, maka jika ia suka ia boleh menahannya,
dan jika ia tidak suka (ia kembalikan) sebagai ganti perahannya adalah (memberi) satu sha
tamar. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV: 368 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari,
Muslim III: 1158 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: no: 1524, Aunul
Mabud IX: 312 no: 3428 dan Nasai VII: 253).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw. Sabda beliau, Janganlah kamu mengikat tetek unta
dan kambing, siapa saja yang membelinya dalam keadaan ia demikian, maka sesudah
memerahnya ia berhak memilih di antara dua kemungkinan, yaitu jika ia suka maka ia
pertahankannya dan jika ia tidak suka maka ia boleh mengembalikannya (dengan menambah)
satu sha tamar. (Shahih: Shahihul Jami no: 7347, Fathul Bari IV: 361 no: 2148, Aunul
Mabud IX: 310 no: 3426 dengan tambahan pada awal kalimat, dan Nasai VII: 253).

3. Ijarah
a. Pengertian Ijarah

Ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab Syafii adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat
yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik
dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah
pemberian hak pemanfaatan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
Secara bahasa ijarah digunakan sebagai nama bagi al-ajru ( ) yang berarti imbalan
terhadap suatu pekerjaan ( ) dan pahala () . Asal katanya adalah: - dan
jamaknya adalah 1[. ]Wahbah al-Zuhaily menjelaskan ijarah menurut bahasa yaitu:
yang berarti jual beli manfaat.[2] Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan
muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau
menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh kuli dan lain sebagainya. Menurut Sayyid
Sabiq ijarah adalah:

3[ ]

Artinya: Ijarah di ambil dari kata Ajrun yaitu pergantian maka dari itu pahala juga
dinamakan upah.
Abdurrahman al Jaziri mengemukakan :
15


4[ ]

Artinya : Ijarah menurut bahasa merupakan mashdar simai bagi fiil ajara setimbang
dengan kata dharaba dan qatala, maka mudharinya yajiru dan ajir(dengan kasrah jim dan
dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan.
Kemudian Abi Yahya Zakaria juga mengemukakan :
Artinya : Ijarah secara bahasa disebut upah
Berdasarkan defenisi di atas maka secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan
atau manfaat sesuatu.
Secara terminologi pengertian ijarah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para
ulama di bawah ini:
Menurut Ulama Syafiiyah

6[ ]
Artinya: Akad atas suatu manfaat yang diketahui kebolehannya dengan serah terima dan
ganti yang diketahui manfaat kebolehannya.
Menurut Ulama Hanafiyah

7[ ]

Artinya: Akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti. Menurut Ulama
Malikiyyah

8[ ]

Artinya: Ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu
tertentu.
Menurut Sayyid Sabiq

9[]

Artinya: Ijarah secara Syara ialah akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti.
Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab diatas tidak ditemukan perbedaan yang
mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas dan memperjelas
tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para ulama
mazhab di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:
Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang ditandai dengan adanya ijab dan
kabul
Adanya imbalan tertentu
Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk bekerja.

b. Dasar Hukum Ijarah


a. Al-Quran yang dijadikan dasar hukum ijarah ialah Q.S. Az-Zukhruf, 43: 32, At-Talaq, 65: 6
dan Q.S Al-Qasas, 28: 26.
1) Surat al-Thalaq ayat 6:
Artinya: Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah
kepada mereka upahnya.
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh orang lain untuk menyusukan
anak mereka, maka sebaiknya diberikan upah kepada orang yang menyusukan anak itu.
2) Surat al-Baqarah ayat 233:
Artinya: Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah
dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau
memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan ibunya.
Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada perempuan lain yang
disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan musyawarah. Jika telah diserahkan
kepada perempuan lain maka biayanya yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah
ditunaikan
3) Surat az-Zukhruf ayat 32:
Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.[13]

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan sebagain manusia atas
sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu antara yang satu dengan yang
lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena
dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
4) Surat al-Qashas ayat 26-27:
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya.Berkatalah dia (Syuaib):
Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini,
atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun
Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan
kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik.[14]

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan adanya imbalan
atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang punya keahlian dibidangnya.

b. Landasan Sunnah
Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:

:
:

(
15[)]

Artinya: Dari Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-
laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi.
Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia
memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada
keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan
bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan membawa
hewan tunggangan mereka pada hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat
berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia
membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai(H.R. Bukhari).

Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau
ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar
selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik,
baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali
kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan
perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan
menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat
mereka.[16]

Kemudian hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:

17[) ] (
Artinya: Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a dia berkata bahwa Nabi Saw
pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya. (H.R.Bukhari)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap
orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk
melakukan transaksi upah mengupah.

(

:


18[)]

Artinya : Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada
pekerja sebelum keringatnya kering ( H.R Ibnu Majah ) .

Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang
dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya
sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.

c. Ijma

Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang
membantah kesepakatan (ijma) ini, sekalipun ada diantara mereka yang berbeda pendapat, akan
tetapi hal itu tidak ditanggapi [19]. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyariatkan ijarah ini
yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan
ijarah.

c. Macam-macam Ijarah
Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:
Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah
sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang
dibolehkan syara untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan
objek sewa-menyewa.
Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih
hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syariat, seperti buruh pabrik, tukang
sepatu, dan tani.
Ijarah ala al-amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu:
a. Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak
boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.
b. Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya
dibolehkan bekerjasama dengan orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..
Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja,
disyaratkan kejelasan karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain
persyaratan yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad
dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.

d. Rukun dan Syarat Ijarah

1. Kedua orang yang bertransaksi (akad) sudah balig dan berakal sehat.
2. Kedua belah pihak tsb bertransaksi dengan kerelaan (Q.S. An-Nisa,4: 29).
3. Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4. Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5. Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara.
6. Hal yang disewakan tidak termasuk suatu kewajiban bagi penyewa.
7. Objek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan.
8. Upah/sewa dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.

e. Sifah Akad/Transaksi Ijarah


Jumhur ulama berpendapat bahwa akad/transaksi ijarah bersifat mengikat, kecuali ada
cacat, atau barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan.

f. Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji

Ulama fikih sepakat bila objek yang dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan karena
kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat dituntut ganti rugi.
Penjual jasa bila melakukan suatu kesalahan sehingga benda orang yang sedang
diperbaikinya mengalami kerusakan bukan karena kelalaian maka menurut Imam Abu Hanifah,
Zufar bin Hudailbin Qais al-Kufi (wafat 158 H/775 M), ulama Mazhab Hambali dan Syafii
tidak dapat dituntut ganti rugi.

g. Berakhirnya Akad Ijarah


Akan berakhir apabila:
(1) Objek ijarah hilang/musnah.
(2) Habisnya tenggang waktu yang disepakati dalam akad/transaksi ijarah.

Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad ijarah akan berakkhir apabila:
Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta dengan harta.
Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.[44]
Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai kecuali ada uzur
atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib mengembalikan
barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami
dengan tanaman, maka boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran
yang sebanding dengan tenggang waktu yang di berikan.[45]
Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan
mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk berdagang
kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah bahwa hilangnya sesuatu
yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan hilangnya barang yang memilki
manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada
hal-hal yang membatalkan akad (uzur) seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya
hilang.[46]
Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah,
maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan
wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan
ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.[47]

Sifat ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang dimaksud disini
adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara sepihak atau tidak. Menurut ulama
Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim (mengikat) yang boleh dibatalkan. Menurut mereka
ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada
ahi waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan perpindahan barang yang disewakan
dari satu pemilikan kepada pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad tersebut harus batal.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat
dibatalkan dan dapat diwariskan. Adapun alasannya adalah bahwa akad ijarah itu merupakan
akad imbalan. Karena itu, tidak menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak seperti
dalam jual beli

Rukun ijarah ada 4, yaitu:


a. Orang yang berakad
b. Sewa/imbalan
c. Manfaat
d. Sigat/ijab kabul

h. Anjuran Segera Membayar Upah

Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah saw bersabda, Berikanlah upah kepada pekerja
sebelum kering keringatnya! (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no:
2443).

i. Dosa Orang yang Tidak Membayar Upah Pekerja

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau bersabda, Allah Taala berfirman: Ada tiga
golongan yang pada hari kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang
laki-laki yang mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki
yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang laki-laki yang
mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas dengan sempurna, namun ia
tidak memberinya upahnya. (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).

j. Perbuatan yang Tidak Boleh Diambil Upahnya dalam Mata Pencaharian

Allah swt menegaskan :


Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun Lagi
Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (QS an-Nuur: 33).
Dari Jabir Abdullah bin Ubai bin Salul mempunyai dua budak perempuan, yang satu
bernama Musaikah dan satunya lagi bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar
melacur, lalu mereka mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan
firman-Nya: Dan janganlah kamu memaksa budak-budak wanitamu untuk melacur maka adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 2155 dan Muslim2
IV: 3320 no: 27 dan 3029).
Dari Abu Masud al-Anshari ra bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil
melacur, dan upah tukang tenung. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 237, Muslim III:
1198 no: 1567, Aunul Mabud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730
no: 2159 dan Nasai VII: 309).

Dari Ibnu Umar ra ia berkata, Nabi saw melarang upah persetubuhan pejantan.
(Shahih: Mukhtashar Muslim no: 939, Fathul Bari IV: 461 no: 2284, Aunul Mabud IX: 296 no:
3412, Tirmidzi II: 372 no: 1291 dan Nasai VII: 289).

4. Jialah (Sayembara)
Jialah menurut Bahasa: Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang
akan dia kerjakan.
Menurut Istilah syara: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang
suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan .[1]
Jialah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang
ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan kuda, dia berkata, Barangsiapa yang mendapatkan
kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian.
1. Rukun jialah
1. Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak
ditentukan waktunya.
2. Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang menjanjikan upahnya tersebut boleh orang yang
kehilangan itu sendiri atau orang lain.
3. Pekerjaan(mencari barang yang hilang).
4. Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang yang tertentu.
Jika orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, Siapa yang
mendapatkan barangku akan aku beri uang sekain. kemudian dua orang bekerja mencari barang
itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi
berserikat antara keduanya.
2. Yang membatalkan jialah
Masing-masing pihak boleh menghentikan(membatalkan) perjanjian sebelum bekerja.
Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah
bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang
bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.[2]
3. Hukum Jialah
Dasar hukum jialah adalah Boleh, sebagai mana firman Allah dan Sabda Nabi SAW.
Firman Allah :
Artinya: Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperolaeh bahan
makanan(seberat) beban unta.(Q.S Yusuf : 72)
Persyaratan tersebut seperti upah. Persyaratan harus jelas, sebab sebagai ganti(upah) atau
sebagai ongkos. Tidak boleh samar-samar, seperti: siapa yang mengembalikan budakku yang
lari, maka ia akan saya beri pakaian.

5. Kerja Sama dalam Perekonomian Islam

1. Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan, kerjasama atau bersama-sama. Menurut
istilah syirkah adalah suatu akad dalam bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam
bidang modal atau jasa, untuk mendapatkan keuntungan. Suatu perjanjian kerjasama antara 2
orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian
dalam perjanjiannya. Syirkah berarti perseroan/persekutuan, yaitu persekutuan antara 2
orang/lebih yang bersepakat untuk bekerjasama dalam suatu usaha, yang keuntungan/hasilnya
untuk mereka bersama. (Q.S. Al-Maidah, 5: 2)
Syirkah atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak manfaatnya,
terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada yang sifatnya antar
pribadi, antar group bahkan antar Negara.
Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi kerjasama, didorong oleh keinginan
untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan keuntungan bersama.
Firman Allah SWT. :

Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS. Al Maidah :2).
2. Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua yaitu :
Syirkah amlak (Syirkah kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena wasiat atau kondisi lain
yang menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
Syirkah uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini terjadi karena kesepakatan
dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Syirkah uqud dibedakan menjadi empat macam :
a. Syirkah inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang permodalan sehingga terkumpul
sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :
(
:

)

Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat selama seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Maka apabila
berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar dari perserikatannya itu (HR. Abu
Daud dan Hakim menshohihkannya).
Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak berpendapat bahwa syirkah dagang ini disebut
juga dengan qiradl.

b. Syirkah amal (serikat kerja/ syirkah abdan)


Syirkah amal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang bergerak dalam
bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.

c. Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan syarat
kesamaan modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba yang didapat.

d. Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)


Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi baik
serta ahli dalam bisnis.

3. Rukun dan Syarat Syirkah


Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan sebagai berikut :
Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan baligh,
berakal sehat, atas kehendak sendiri dan mengetahui pokok-pokok perjanjian.
Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan perjanjian.

Syarat dan Rukun Syirkah


a. Baligh ,berakal sehat dan merdeka
b. Modal yang dihasilkan hendaknya jelas
c. Harus mencampur harta kedua belah pihak
d. Untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal
e. Anggota yang bersyikah
f. Pokok perjanjian
g. Sighat
4. Hukum dan Hikmah Syirkah
Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah mubah/boleh dan sah-sah saja.
Namun apabila terjadi penyimpangan oleh anggota syarikat, maka hal ini sudah tidak benar.
Adapunmengenai syirkah kerja menurut madzhab Syafii tidak sah dan tidak boleh.Mengenai
hikmah syirkah dapat dikemukakan disini sebagai berikut :
a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal yang besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan hubungan bilateral
antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk bekerjasama
dengan pihak ekonomi yang lebih kuat
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi pengangguran.

6. Mudharabah

1. Pengertian Mudharabah

Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan
perjalanan untuk berniaga.
Allah swt berfirman: Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah. (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong),
karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak
mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak,
yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan,
sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati
(Fiqhus Sunnah III: 212).
2. Pensyariatan Mudharabah

Al-Ijma hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, Para ulama sepakat atas ukan qiradh,
pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam bentuk Dinar dan
Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan
sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah
sebelumnya segala sesuatunya sudah menjadi clear, jelas.
Bentuk kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah
saw.
Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa ia pernah bercerita, Dua anak Umar bin
Khattab ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan menuju negeri Irak. Tatkala
mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu Musa al-Asyari yang sedang menjabat sebagai
Amir, gubernur di Bashrah. Setelah ia mengucapkan selamat datang dan menyambutnya,
kemudian berkata kepada mereka berdua, Kalau saya tetapkan suatu urusan untuk kalian yang
sangat bermanfaat bagi kalian, tentu aku mampu menetapkannya. Kemudian ia melanjutkan,
Baik, di sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya bermaksud hendak mengirimnya (melalui
kalian) kepada Amirul Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu (boleh)
kalian belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian dijual di Madinah, lalu modal pokoknya
kalian serahkan kepada Amirul Mukminin, sedangkan labanya untuk kalian berdua. Mereka
berdua menjawab, Kami ingin melaksanakannya. Setelah harta negara itu diserahkan kepada
keduanya, kemudian ia menulis sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar
menerima harta itu dari mereka berdua. Tatkala mereka tiba (di Madinah), maka mereka
mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta negara itu kepada
Umar, maka Umar bertanya kepada mereka, Apakah setiap pasukan mendapatkan pinjaman
seperti yang dipinjamkan kepada kalian berdua? Jawab mereka, Tidak. Kemudian Umar bin
Khattab menyatakan, Karena dua anak Amirul Mukminin, maka ia (Abu Musa) telah
meminjamkan harta negara kepada kalian berdua! Serahkanlah kepada negara modal dan
keuntungannya! Adapun Abdullah diam membisu, sedangkan Ubaidullah, Wahai Amirul
Mukminin, tidak sepatutnya engkau menetapkan seperti ini? (Karena) andaikata modal ini
berkurang atau musnah, sudah barang tentu kamilah yang bertanggung jawab untuk
menggantinya. Kemudian Umar menyatakan, Kalian harus mengembalikan seluruhnya!
Kemudian Abdullah diam seribu bahasa, lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka
seorang laki-laki yang termasuk rekan dekat Umar berkata, Wahai Amirul Mukminin, alangkah
baiknya kalau kau jadikan modal itu sebagai qiradh. Kemudian Umar menjawab, Kalau begitu,
kujadikan modal itu sebagai qiradh. Kemudian Umar mengambil modalnya dan separuh dari
keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidullah, dua anak Umar bin Khattab mendapatkan
separuh dari keuntungan. (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 291, Muwaththa Imam Malik halaman
479 no: 1385 dan Baihaqi VI: 110).

3. Orang yang Mengembangkan Modal Harus Amanah

Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad


(terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali
karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, Para
ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang modal melakukan jual beli
secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.
(al-Ijma hal. 125).
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan
atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata),
Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa
ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika
engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.
(Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).

7. Musaqat

1. Pengertian Musaqat

Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup
memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh
atau semisalnya.

2. Pensyariatan Musaqat

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bekerjasama dengan penduduk Khaibar
dengan syarat mereka mendapat bagian dari hasil buah kurmanya atas tanaman lainnya.
(Muttafaqunalaih).
Dari Abu Hurairah ra, bahwa orang-orang Anshar berkata kepada Nabi saw Bagilah
pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami. (Lalu) Beliau menjawab, Tidak.
Kemudian mereka berkata, Serahkan kepada kami untuk menggarapnya, sedang hasilnya kami
atur bersama. Mereka pun berkata, Kami akan bersikap samina wa athana, kami dengar dan
kami taat. (Muttafaqunalaih: Irwa-ul Ghalil no: 1471 dan Fathul Bari V: 8 no: 2325).

8. Muzaraah dan Mukhabarah

Dalam bahasa Indonesia arti dari muzaraah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut
Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzaraah dan mukhabarah
mempunyai satu pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut
mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zurah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah
modal (al-hadzar ). Makna yang pertama adalah makna yang majaz dan makna yan kedua adalah
makna yang hakiki.
Muzaraah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut
dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi. Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang
dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa
definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama
Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk
digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam SyafiI mendifinisikannya
sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah 2 atau lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat
disimpulkan bahawa arti dari Muzaraah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan
biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan
dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzaraah dan mukhabarah
dengan tarif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti
muzaraah dan mukhabarah, yaitu Imam RafiI berdasar dhahir nash Imam Syafii. Sedangkan
ulama yang menyamakan tarif muzaraah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu
Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha
mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
1. Pengertian Muzaraah
Kata muzaraah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya.
Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada
seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
2. Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari pihak
petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaannya hanya
terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari pemilik tanah maka dalam mukhabarah
dari pihak penggarap.

3. Hukum Muzaraah dan Mukhabarah


Hukum asal muzarah dan mukhabarah adalah mubah.Namun bila dikhawatirkan ada
kecurangan dari salah satu pihak , maka sebaiknya tidak dilaksanakan.

4. Zakat hasil Muzaraah dan Mukhabarah


Jika berasal dari siapa asal benih tanaman,maka dalam muzarah yang wajib zakat pemilik
tanah.Karna dia yang menenam,sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja,sedangkan
mukhabarah sebaliknya.Jika berasal dari keduanya wajib keduanya zakat.

5. Pensyariatan Muzaraah dan Mukhabarah


Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi ra pernah
memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya.
(Muttafaqun alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, Aunul Mabud
IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Jafar, ia berkata,
Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan
seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzaraah adalah Ali, Saad bin Malik,
Abdullah bin Masud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga
Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin. (Fathul Bari V: 10).

6. Penanggung Modal

Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani
yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, Umar pernah n orang-orang untuk
menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh
dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu
juga. Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah
yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung
bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-
Zuhri.
7. Yang Tidak Boleh Dilakukan dalam Muzaraah
Dalam muzaraah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini tanah dan
sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh
mengatakan, Bagianku sekian wasaq.
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi bin Khadij, ia bercerita, Telah mengabarkan
kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw
dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang
dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu. Kemudian saya
(Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi, Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?
Maka jawab Rafi, Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham. Al-Laits berkata, Yang
dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal
dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di
dalamnya terkandung bahaya. (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan
46, Nasai VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, Saya pernah bertanya kepada Rafi bin Khadij perihal
menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi, Tidak mengapa. Sesungguhnya pada
periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di
pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu
musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi
orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang.
Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang. (Shahih:
Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, Aunul Mabud IX: 250 no: 3376 dan
Nasai VII : 43).
Para pemilik tanah dapat memanfaatkan tanahnya sbb:
a. Ditanami untuk kepentingan keluarga dan disedekahkan
b. Meminjamkan kepada fakir miskin.
c. Digarap melalui muzaraah, mukharabah, dan musaqah.

Muzaraah: paruhan hasil sawah antara pemilik dan penggarap, benih dari pemilik.
Mukharabah: benih dari penggarap.
Ketentuan:
+ Pemilik dan penggarap balig, akal sehat, dan jujur.
+ Digarap betul-betul.
+ Ditentukan lamanya masa penggarapan.
+ Besarnya paruhan ladang untuk pemilih dan penggarap ditentukan berdasar musyawarah.
+ Pemilik dan penggarap menaati ketentuan-ketentuan.
9. Salam
1. Pengertian Salam

Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf.
Sedangkan hakikat salam menurut syari adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan
jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).

2. Pensyariatan Salam

Allah swt berfirman :


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas ra berkata, Saya bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang jangka waktunya
ditentukan sampai waktu tertentu, benar-benar telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan
padanya Dia membolehkannya. Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:
1369, Mustadrak Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18).
Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia berkata, Nabi saw datang di Madinah, sedang mereka biasa
membeli kurma secara ijon, dua tahun dan tiga tahun, maka tentukanlah dengan takaran tertentu,
timbangan tertentu, buat satu masa tertentu. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV: 429 no: 2240,
Muslim III: 1226 no: 1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, Aunul Mabud IX: 348 no: 3446, Ibnu
Majah II: 765 no: 2280 dan Nasai VI: 290).

3. Jual Beli Secara Salam dengan Orang yang Tidak Punya Modal

Dalam jual beli secara ijon tidak dipersyaratkan pihak penjual secara ijon harus sebagai
pemilik penuh.
Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia berkata: Saya pernah diutus oleh Abdullah bin
Syaddad dan Abu Burdah untuk menemui Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua
berkata, Tanyakanlah kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa
Beliau saw biasa membeli hinthah secara ijon? (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa
menjawab, Dahulu kami biasa membeli hinthah, syair dan minyak kepada petani dari Syam
secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu tertentu (pula). Saya bertanya, Kepada
orang yang punya modal pokok? Jawab Abdullah, Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal
itu kepada mereka. Kemudian saya diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin Abza,
Adalah para sahabat Nabi saw biasa membeli barang secara ijon pada masa Beliau saw namun
kami tidak pernah bertanya kepada mereka, apakah mereka punya ladang ataukah tidak.
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini bagi Imam
Bukhari, Aunul Mabud IX: 349 no: 3447, NasaI VII: 290 dan Ibnu Majah II: 766 no: 2282).
BAB IV
PEMBAHASAN
MANFAAT DAN HIKMAH DARI SETIAP KONSEP
PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A. Hikmah Jual Beli

Maha suci Allah dalam menjadikan setiap peraturan ciptaannya penuh dengan hikmah,
begitu juga dengan pensyariatan jual beli ini. Di sini saya akannyatakan hikmah pensyariatan jual
beli dari 3 sudut yaitu:
1. Individu
Penjual
(a) Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah dengan mengikut apa yang telah
disyariatkan
(b) Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya khianat mengkhianati antara satu sama lain.
Pembeli
(a) Berpuas hati di atas urusniaga yang dijalankan kerana peniga menjalankan urusan mengikut
syariat islam.
(b) Mendapat keredhaan dan rahmat dari Allah di atas vvvurusniaga yang berlandaskan syariat
Islam
(c) Terhindar daripada siksaan api neraka.

2. Masyarakat

(a) Menyenangkan manusia bertukar-tukarfaedah harta dalam kehidupan seharian


(b) Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh mencerobohi dalam usaha memiliki
harta
(c) Menggalakkan orang ramai supaya hidup berperaturan, bertimbang rasa, jujur dan ikhlas.
(d) Menata struktur kehidupan masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
(e) Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
3. Negara
(a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ke tahap yang lebih baik.
(b) Dapat menarik pelabur asing untuk melabur dalam ekonomi negara.
(c) Menggalakkan persaingan ekonomi yang sihat sesama negara islam

B. Hikmah Khiyar

1. Dapat membuat aqad jual beli berlangsung prinsip Islam.


2. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam jual beli.
3. Terhindar dari unsur penipuan.

C. Hikmah Ijarah
Hikmah disyariatkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah
karena dibutuhkan dalam kehiduan manusia.[56] Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah
untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang
dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain:
1. Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mujir dan mustajir.
Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang
memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila
kebutuhan hidup terpenuhi maka mustajir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada
Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama
dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila
masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka
masyarakat itu akan tentram dan aman.
2. Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya,
yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima
mustajir maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
maruf .[58]
3. Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu
memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek
tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
4. Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan
besar akan dilakukan oleh yang menganggur.[59]Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk
memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

D. Hikmah Jialah
Berlomba dalam kebaikan,menemukan orang yang berprestasi,dan menumbuhkan semangat
percaya diri.

E. Hikmah Syirkah
1. Terciptanya kekuatan dan kemajuan khususnya di bidang ekonomi.
2. Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bisa lebih mantap, karena hasil pemikiran dari banyak
orang.
3. Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa solidaritas untuk kemajuan bersama.
4. Menambah lapangan pekerjaan.

F. Hikmah Mudharabah

a. Mewujudkan persaudaraan dan persatuan


b. Mengurangi/menghilangkan pengangguran
c. Memberikan pertolongan pada fakkir miskin untuk dapat hidup mandiri

G. Hikmah Musaqat
Terwujud kerjasama antara si kaya dan si miskin, mengikuti sunah rasulullah, memberikan
lapangan kerja mengikuti sunah rasullah,dan menghindarkan penipuan dar pemilik kebun.

H. Hikmah Muzaraah dan Mukhabarah


Memberi pertolongan kepada penggarap untuk mempunyai penghasilan,harta tidak
beredar diorang kaya saja,dan mengikuti sunah rasullah.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang
perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan
cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan
dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya
dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya
transaksi jual beli. Macam-macam penerapan transaksi ekonomi dalam Islam :
1. Jual Beli : Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang
menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang
yang dijual).
2. Khiyar : Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya
atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.
3. Ijarah : Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik
dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah
pemberian hak pemanfaatan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
4. Jialah : Jialah menurut Bahasa: Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu
yang akan dia kerjakan.Menurut Istilah syara: Tindakan penetapan orang yang sah
pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan.
5. Syirkah : Syirkah adalah Suatu perjanjian kerjasama antara 2 orang tau lebih dalam bidang
usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya.
6. Mudharabah : Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah
pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan,
sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati
(Fiqhus Sunnah III: 212).
7. Musaqat : Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup
memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh
atau semisalnya.
8. Muzaraah : Kata muzaraah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian
hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah
kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
9. Mukhabarah : Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari
pihak petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaannya
hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari pemilik tanah maka dalam
mukhabarah dari pihak penggarap.
10. Salam : Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf.
Sedangkan hakikat salam menurut syari adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan
jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).

B. Saran
Sebaiknya kita tidak hanya menjalankan kegiatan ekonomi secara nasionalis saja . Tetapi
kita juga perlu menjalankan kegiatan ekonomi secara Islami yang telah diatur di dalam al-
quran,sunah Rasulullah, dan ijma . Mempraktekannya dalam kegiatan perekonomian sehari-
hari dengan syarat-syarat dana rukun-rukunnya agar mendapat rahmat,pahala, dan ridho dari
Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 662 - 665.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 681 - 687.
[1] Abu Amar, Drs. Imron. Terjemah fathul qarib, Menara Kudus, Kudus: 1983 Hal. 302
[2] Rasjid, H. Sulaiman. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung: 1994 Hal. 306
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 655-662.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 666 - 668.
Abu Amar, Drs. Imron. Terjemah fathul qarib, Menara Kudus, Kudus: 1983 Hal. 302
Rasjid, H. Sulaiman. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung: 1994 Hal. 306
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 680 - 681.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 689 - 692.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 679 - 680.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 677 - 679.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 692 - 694.

Anda mungkin juga menyukai