Anda di halaman 1dari 41

BAB IV

HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

Sebagai langkah awal dari objek penelitian, terlebih dahulu penulis akan

memaparkan data-data yang akan diteliti dalam bentuk data detail dari kapal

MT.Vijayanti, data tersebut yaitu:

1. Ship Partikular

Nama kapal : MT. Vijayanti

Call sign : 3FKI8

Port of Register : Panama

Flag : Panama

GRT / NRT : 23,386 MT/ 7,341 MT

DWT : 30,500 MT

LOA : 179,82 M

LBP : 171,00 M

Depth Moulded : 15,80 M

Breath Moulded : 31,00 M

1
2

Tipe kapal : Oli Product Carrier

Owner : PT.Arpeni Pratama Ocean Line Tbk, Jakarta

Place/Year Built : Korea / 1998

Main Engine : Hyunday MAN B & W SS50MC (2 TAK)

Speed (Trial Max) : 14,80 Knots

Servis Speed : 14,60 Knots

Class : Nippon Kaiji Kyokai (NK)

2. Crew List MT. Vijayanti

No Name Rank Nationality


1. Laode Ampo Soleman Master Indonesia

2. Suherman Sumantha Chief Officer Indonesia

3. Tomy Pesiwarissa 2nd Officer Indonesia

4. Tommy Makasihi 3rd Officer Indonesia

5. Cahya Fajar Budi .H 4th Officer Indonesia

6. Victor E. Tungari Chief Engineer Indonesia

7. Samino 2nd Engineer Indonesia

8. Dody Priyatna 3rd Engineer Indonesia

9. Priyadi 4th Engineer Indonesia


3

10. Hartanto 5th Engineer Indonesia

11. Yanto Pump Man Indonesia

12. Saefudin .A Pump Man Indonesia

13. Hasan .S Bosun Indonesia

14. Mudji .H Mandor Indonesia

15. Margono Electrician Indonesia

16. Alex Bawesan Quarter master Indonesia

17. Yepi Palandi Quarter master Indonesia

18. Yulius.P Quarter master Indonesia

19. Abdul Hayi Kelasi Indonesia

20. Rudi Kelasi Indonesia

21. Adi Sukamso Oil Man Indonesia

22. Julian W. Gimmon Oil Man Indonesia

23. Lukman Oil Man Indonesia

24. Hari Hastono Chief Cook Indonesia

25. Hamed 2nd Cook Indonesia

26. Teguh Priyanto Mess Boy Indonesia


4

27. Lukman Hamzah Mess Boy Indonesia

28. Wisnu Adriadi Cadet Deck Indonesia

29. M. Faisal Cadet Deck Indonesia

30. M. Salamun Cadet mesin Indonesia

Selain data-data di atas, penulis juga memaparkan objek penelitian yang

lain yaitu tentang ISM Code yang di terapkan di atas kapal MT. Vijayanti.

Dari statistik, diketahui bahwa sekitar 80% dari semua kecelakaan kapal

disebabkan oleh kesalahan manusia. Kenyataan menunjukkan bahwa 75-79% dari

kesalahan manusia tadi, disebabkan oleh sistem manajemen yang buruk.

Berdasarkan hal tersebut maka harus dibuat sistem manajemen yang mampu untuk

menciptakan kerja sama untuk mengoperasikan dengan aman. Sistem manajemen

yang dimaksud harus ditujang oleh pelaksana (SDM) yang berpengetahuan,

memiliki ketrampilan serta sarana penunjang yang cukup. Perlu kiranya disadari

bahwa keputusan yang diambil di atas kapal, dimana keputusan tersebut harus

menjamin bahwa setiap tindakan yang akan mempengaruhi keselamatan dan

pencemaran, sudah memperhitungkan semua konsekuensi yang akan timbul.

Berdasarkan hal tersebut, maka International Maritime Organization

(IMO) mengeluarkan peraturan baru ISM Code sebagai alat untuk menstandarkan

“Safe Management for Operation of Ship and Pollution Prevention“ dan menjadi

BAB IX SOLAS 74/78, yaitu “Management for the Safe Operation of Ship”. ISM
5

code adalah peraturan yang dihasilkan oleh IMO dengan revolusi A 741 (18) pada

tanggal 4 November 1993, untuk keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan

polusi. Yang dimaksud dengan manajemen disini adalah proses kegiatan perusahaan

pelayaran yang menggambarkan pelaksanaan peraturan yang berlaku baik di kantor,

di terminal, di atas kapal. Adapun tujuan dari ISM Code adalah untuk menetapkan

standard internasional mengnai manajemen dan pengeporasian kapal yang aman,

dan mencegah terjadinya pencemaran.

Pada tahun 1994, ditetapkan pula satu chapter baru dalam solas

conduction yang berhubungan dengan sistem manajemen keselamatan.

Alasan-alasan yang mendasarkan diterapkan ISM code yaitu :

1. Menjadikan kapal sebagai tempat yang aman untuk berkerja

2. Menjaga laut dan lingkungan dari pencemaran

3. Memperjelas dan mempermudah pekerja

4. Merupakan peraturan penyesuaian untuk ISM code sesuai yang

dikehendaki solas 1974 chapter IX.

Dari alasan-alasan tersebut dituntut suatu kondisi kerja yang aman bagi

awak kapal, kelestarian alam serta masing-masing awak kapal mempunyai tugas

yang jelas.

Disamping itu manajemen harus menjamin kepatuhan terhadap

ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan wajib serta agar standart yang

dianjurkan oleh organisasi pemerintah, asosiasi, klasifikasi dan organisasi industri

maritim.
6

Alasan dimana kecelakaan selalu timbul di lapangan kerja adalah :

1. Budaya dan latar belakang pelaut

a. Kemauan awak kapal untuk meningkatkan kemampuan diri masih

kurang.

b. Minat baca para awak kapal kurang bahkan tidak ada.

c. Ketidak perdulian terhadap aturan-aturan baru.

d. Ketergantungan pada pola lama yang selama ini masih diterapkan.

2. Tidak dilaksanakannya prosedur-prosedur / peraturan-peraturan yang terdapat

dalam sistem manajemen keselamatan dan ISM Code.

3. Kurangnya koordinasi baik antara nahkoda dengan seluruh departemen

dikapal, serta didarat dalam membentu team work yang harmonis dalam

penanggulangan keadaan bahaya dan darurat serta terhadap pencegahan

pencemaran.

3. Buruknya sistem manajemen keselamatan yang diterapkan oleh

perusahaan pelayaran.

B. Analisa Permasalahan

Lemahnya penerapan manajemen keselamatan yang didasarkan pada

ISM Code di atas kapal MT.Vijayanti / 3FKI8 merupakan kisah klasik dalam

pengoperasian kapal. Berkaitan hal tersebut maka di atas kapal sering terjadi

kecelakaan yang disebabkan karena ada crew yang tidak memperhatikan

manajemen keselamatan tersebut yang di karenakan kurangnya kedisiplinan ,


7

kesadaran diri serta minimnya pengetahuan dan pengalaman, selain hal tersebut

tidak dilaksanakannya peraturan – peraturan dan prosedur yang berlaku secara

baik dan benar menjadi salah satu faktornya.

Manusia dalam kecelakaan merupakan teman akrab, sebab terjadinya

kecelakaan memang tidak lepas dari faktor manusia. Manusia sebagai pelaku

utama dalam pekerjaan, tidak ada satu kegiatan pun yang lepas sama sekali dari

unsur manusia.Mesin saja tidak lepas dari pengawasan manusia.

Oleh Karena keterbatasan manusia tersebut,maka dibuat sebuah

manajemen keselamatan dan ketentuan lain untuk mencegah terjadinya

kecelakaan pada saat bekerja. Dengan adanya ketentuan-ketentuan

ini,diharapkan dapat meningkatkan keselamatan dan keamanan yang

tinggi.Sebab dengan penerapan manajemen keselamatan yang baik, kita bisa

mencegah atau meminimalkan resiko kecelakaan dalam pengoperasian kapal.

Pihak perusahaan pelayaran telah membuat manajemen keselamatan

dan keamanan dengan tujuan utama menunjang pengoperasian kapal secara

aman yaitu dengan dibuatnya :

1) Safety manual book

Dimana buku ini harus dibaca, dimengerti, dan dipahami kemudian

ditandatangani oleh crew yang telah melaksanakan ketentuan tersebut.

2) Safety meeting
8

Suatu pertemuan yang diadakan setelah dilaksanakannya latihan

keselamatan, yang membahas atau mengevaluasi tentang pelaksanaan

keselamatan oleh crew dan diadakan setiap satu bulan sekali.

Selain itu juga diadakan pengarahan oleh orang perusahaan yang

berwenang untuk mengurusi keselamatan dan keamanan terhadap crew , agar

penerapan manajemen keselamatan diatas kapal dapat dipahami dan

dilaksanakan dengan benar.

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan di atas kapal

MT.Vijayanti dengan nahkoda, seluruh kepala kerja kapal dan pengamatan di

lapangan, didasarkan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan

pada crew saat bekerja adalah berkaitan dengan lemahnya sistem manajemen

keselamata.

Selama melaksanakan praktek laut penulis mendapatkan data – data

kelemahan didalam pelaksanaan sistem manajemen keselamatan dan ISM Code

di atas kapal.

Adapun kelemahan – kelamahan dan kekurangan yang penulis

dapatkan yaitu:

1. Rendahnya kedisiplinan anak buah kapal dalam mentaati peraturan

keselatan dan kesadaran akan pentingnya memakai alat keselamatan kerja.

Dalam berbagai aktivitas atau kegitan kerja, masih banyak ditemukan anak

buah kapal yang tidak menggunakan alat keselamatan kerja seperti helm,

safety belt, safety shoes, sarung tangan, atau lainnya saat melakukan kerja di
9

deck, di kamar mesin atau aktivitas lain yang mengandung resiko, yang

dapat membahayakan keselamatan jiwa mereka. Adapun mereka enggan

menggunakannya dengan alasan risih, gatal atau menganggap remeh akan

pentingnya menggunakan alat keselamatan tersebut, dan hal inilah penyebab

bertambah parah atau fatalnya korban jika terjadi kecelakaan. Kemudian

pada saat kegiatan bongkar muat biasanya pump man sebelum pelaksanaan

kegiatan melakukan persiapan di pump room (kamar pompa) untuk

mempersiapkan pompa yang akan digunakan untuk melakukan proses

bongkar/muat. Pada kegiatan tersebut penulis selalu menjumpai tidak

dilaksankannya prosedur yang berlaku, yaitu tidak dilaksanakannya

pengecekan terlebih dahulu, apakah di dalam pump room tersebut terdapat

gas beracun, tetapi mereka langsung melakukan kegiatan kerja, walaupun

pada pintu masuk atau dinding di luar ruangan sudah jelas – jelas tertuliskan

prosedur untuk memasuki ruangan tertutup. Sama halnya dengan yang

terjadi di deck, di kamar mesin juga penulis melihat bahwa crew yang

melakukan aktivitas di kamar mesin tidak menggunakan alat keselamatan

dengan baik dan benar, sebagai contoh, ada sebagian crew dan bahkan

masinis tidak menggunakan helm, sarung tangan, wearpark, dan safety

shoes.

2. Kurangnya keseriusan nakhoda dan perwira dalam pelaksanaan prosedur –

prosedur berlaku yang berkaitan dengan ISM Code.


10

Dalam hal ini penulis melihat selam melaksanakan praktek di atas kapal

sering penulis jumpai tidak dilaksanakannya drill – drill yang seharusnya

dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku sesuai aturan SOLAS,

dalam hal ini penulis jumpai bahwa pelaksanaan drill – drill keselamatan

hanya pada saat akan diadakan audit, baik itu internal audit dan external

audit. Selain hal tersebut, penulis juga sering jumpai diabaikannya pengisian

/ pelaksanaan chek list – chek list yang ada, penulis jumpai dalam pengisian

chek list hanya dilakukan sebagai formalitas belaka. Fakta lain yang penulis

dapatkan adalah dalah hal safety meeting, yang seharusnya safety meeting

tersebut diadakan setiap bulan sekali, tetapi dalam kenyataannya safety

meeting tersebut tidak dilaksanakan dan hanya dibuat recordnya saja, seolah

bahwa safety meeting tersebut telah dilaksanakan.

3. Rendahnya pemahaman crew terhadap ISM Code dan kurangnya program

familiarisasi ISM Code.

Untuk mengukur sejauh mana pemahaman crew kapal MT. Vijayanti

terhadap ISM Code, maka penulis mengadakan wawancara terhadap crew

kapal secara orang per orang berkaitan dengan hal tersebut di atas. Adapun

data – data yang dapatkan, penulis dapat uraikan sebagai berikut :


11

Tabel I

Data Awak Kapal MT. Vijyanti yang Pernah Mengikuti Seminar ISM Code

Pernah Belum Pernah Belum Pernah


Mengikuti Mengikuti Mengikuti
No Jabatan Seminar ISM Seminar ISM Code Seminar ISM Code
Code  Tetapi Mengetahui dan Tidak Tahu
  Tentang ISM Code Mengenai ISM Code
1 Master     
2 Chief Officer     
3 2nd Officer   
4 3rd Officer   
5 4th Officer     
6 Ch. Engineer     
7 2nd Engineer     
8 3rd Engineer    
9 4th Engineer     
10 5th Engineer     
11 Electrician     
13 Bosun     
14 Pump Man     
15 Pump Man   
16 A.B     
17 A.B     
18 A.B     
19 Oiler No 1     
20 Oiler    
21 Oiler     
22 Oiler     
23 Kelasi     
24 Kelasi     
25 Ch. Cook    
26 2nd Cook     
27 Mess Boy     
28 Mess Boy     
29 Cadet Deck   
30 Cadet Mesin   
12

Mengalisa data tersebut di atas dapat diperoleh indikasi bahwa familiarisasi

ISM Code yang di buat oleh perusahaan belum mencapai hasil optimal

karena dari 30 (tiga puluh) orang awak kapal MT. Vijayanti hanya sembilan

orang atau sekitar 30% dari keseluruhan awak kapal yang telah mengalami

dan mempunyai sertifikat bahwa telah mengikuti seminar ISM Code yang

dilaksanakan oleh instansi yang ditunjuk, 13 orang awak kapal tau sekitar

43,4% masih diragukan pemahamannya dan sisanya yaitu delapan orang

awak kapal atau sekitar 26% sama sekali tidak mengetahui tentang

pelaksanaan ISM Code.

3. Perusahaan sengaja atau tidak sengaja terlambat mengirim peralatan

keselamatan atau peralatan lain yang sangat penting dalam pengoperasian

kapal. Dan biasanya pihak perusahaan akan mengirimnya apabila kapal akan

di audit atau telah terjadi kecelakan.

4. Pemahaman crew yang kurang dalam melaksanakan kerja. Ini diakibatkan

karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman bekerja di kapal, atau

rendahnya sumber daya yang dimiliki oleh crew tersebut

5. Peralatan keselamatan yang sudah tidak layak pakai memungkinkan

besarnya terjadi resiko kecelakaan pada waktu bekerja dilapangan, dengan

ketidak layakan peralatan tersebut maka pekerja enggan menggunakannya,

ini juga merupakan salah satu pemicu terjadinya kecelakaan

6 Rendahnya pemahaman crew terhadap pentingnya pengunaan alat – alat

keselamatan dan cara pengunaannya alat – alat tersebut.


13

Fakta yang penulis dapatkan, bahwa sebagian crew kapal tidak mengetahui /

memahami alat, cara penggunaan, serta letak dari alat – alat keselamatan

tersebut.

7. Ketidak seriusan pada saat pelaksanaan familiarisasi pada crew yang baru

naik atau kerja di kapal kurang

Fakta yang penulis dapatkan adalah pada saat awak kapal baru naik kapal,

familiarisasi jarang dilakukan oleh safety officer, yaitu mualim tiga, tetapi

dalam chek list familiarisasi ditulis bahwa awak kapal yang bersangkutan

telah melaksanakan / mengikuti familiarisasi oleh mualim tiga tersebut.

Selain itu wak kapal yang bersangkutan malas untuk membaca manual book

dari perusahaan tetapi dalam daftar, awak kapal tersebut menandatanganinya

sebagai tanda bahwa awak kapal tersebut telah membaca dan memahami isi

dari manual book tersebut.

Dari data yang diperoleh tersebut di atas, penulis mendapatkan

gambaran bahwa kelemahan pada sistem ini, bersumber pada sumber daya

manusia (SDM). Manusia sebagai unsur operasional dalam pelaksanaan aturan

ISM Code menentukan berhasil atau tidaknya program keselamatan kerja di atas

kapal,.dan untuk mengubah pola piker sumber daya manusia dari pola pikir

yang menganggap bahwa aturan dibuat dan dilaksanakan hanya untuk

memenuhi tuntutan dari perusahaan, berubah menjadi bahwa aturan

keselamatan dibuat adalah untuk kebutuhan kita dan menjadi pedoman dalam

melaksanakan kerja tidaklah semudah yang kita banyangkan, dibutuhkan kerja


14

keras dan kesabaran yang tinggi, karena kesadaran dari setiap individu untuk

melaksanakan aturan adalah kuncinya dan terkadang aturan memang harus

dipaksakan demi keselamatan bersama.

Imbas dari lemahnya penerapan manajemen keselamatan yang

dilaksanakan di atas kapal MT. Vijayanti adalah terjadinya kecelakaan kerja

yang di alami oleh para crew. Hal ini sapat dibuktikan dengan data yang penulis

dapatkan, data – data tersebut adalah :

Tabel II

Catatan Kasus lemahnya manajemen keselamatan dan keamanan


dalam pengoperasian kapal di
MT.Vijayanti / 3FKI8
Periode Maret 2005 – Maret 2006

Waktu
Nama Jabatan Uraian Kasus Penyebab Keterangan
NO Kejadian
Korban tidak Human
Kaki lecet terkena
1 Juli 2005 Samino 2nd Engineer memakai
panas boiler
wearpack error
Korban tidak
2 Kepala terbentur Human
Agustus 2005 Saefuddin Pump Man memakai helm
pipa cargo di deck error

Korban tidak Human


Kaki terkilir pada
3 Oktober 2005 Priyadi 5th Engineer memakai
saat turun tangga
safety shoes error
Instrumental
Pingsan di kamar Indikator
5 Januari 2006 Yanto Junior Off
pompa oksigen rusak
error
Tercebur ke laut Korban tidak Human
6 Februari 2006 Rudi Kelasi saat latihan mengenakan
mengecat lambung safety belt error
15

Dari hasil analisa tersebut sekitar 80% dari kecelakaan diatas adalah

faktor human error . Dan lebihnya merupakan faktor luar atau faktor pendukung

saja. Dimana ada kondisi yang dapat membahayakan dan permasalahan dalam

penggunaan alat keselamatan, adalah :

1. Dalam keadaan pengamanan yang berlebihan

2. Alat – alat keselamatan yang tidak layak

3. Terjadi kemacetan ( Congestion )

4. Sistem peringatan yang berlebihan

5. Ada api dan ditempat berbahaya

6. Alat pengaman ditempat kerja yang kurang standart

7. Kondisi suhu yang membahayakan

8. Terkena polusi suara / kebisingan

9. Terkena radiasi

10. Penerangan dan peranginan yang kurang atau berlebihan.

Pada penelitian ini penulis juga mendapatkan keterangan tentang permasalahan

penggunaan alat pelindung diri pada para pekerja, sehingga mereka enggan

untuk mengenakan peralatan keselamatan, fakta – fakta tersebut adalah :

1. Pekerja tidak mau memakai alat keselamatan dengan alasan

a. Tidak sadar / tidak mengerti

b. Panas

c. Sesak

d. Tidak enak dipakai


16

e. Tidak enak dipandang

f. Berat dan menggangu pekerjaan

g. Tidak sesuai dengan bahaya yang ada

h. Tidak ada sangsi

e. Atasan juga tidak memakai / tidak mencontohi bawahan.

2. Tidak disediakan oleh perusahaan

a. Ketidakmengertian

b. Pura-pura tidak mengerti

c. Alasan bahaya

d. Dianggap sia-sia ( karena pekerja tidak mau memakai ).

3. Pengadaan oleh perusahaan

a. Tidak sesuai dengan bahaya yang ada

b. Asal beli ( terutama memilih yang murah ).

Keinginan untuk disiplin tidak akan terjadi apabila crew itu sendiri

tidak mempunyai keinginan untuk melaksanakannya. Dikatakan berdisiplin

tinggi apabila pekerja bekerja dengan memenuhi peraturan dan ketentuan yang

telah ditetapkan dengan baik.

Dikatakan berdisiplin rendah apabila pekerja gagal mengikuti standar,

menolak atau melanggar peraturan dan untuk itu mereka perlu

pengawasan.Tindakan yang wajib dilaksanakan adalah dengan cara menegur,

memberi anjuran dan kalau perlu hukuman yang tepat oleh kepala kerja demi

kepentingan bersama.
17

Selain itu pemahaman crew dalam melakukan pekerjaan juga sangat

penting. Karena harus mengerti apa yang akan dilakukan dan resiko-resiko

bahayanya yang akan dihadapi, jika pekerja sudah paham, maka pekerja

tersebut akan mempersiapkan diri dengan segala sesuatunya untuk melakukan

pekerjaan.

Tingkat keselamatan yang tinggi berkaitan dengan praktek

keselamatan kerja yang diharapkan dan mengecilkan kemungkinan terjadinya

kecelakaan, sebaiknya kecelakaan-kecelakaan mudah sekali terjadi pada crew

yang tidak terampil dan berpengalaman.

Hal tersebut harus diantisipasi dengan seksama karena berkaitan

dengan kelancaran pengoperasian kapal. Crew kapal harus memiliki

pengetahuan dan pengalaman yang memadai, hal ini dimaksudkan agar dalam

melaksanakan tanggung jawabnya tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan

orang lain, kapal, dan lingkungan sekitar.

C. Pembahasan Masalah

Telah dikemukan dalam bab I dan bab II bahwa pengoperasian kapal

niaga sangat beresiko tinggi, untuk itu Direktorak Jenderal Perhubungan Laut

atas nama pemerintah Indonesia mengeluarkan SK. NO. PY 76/6/96 tanggal 12

Juli 1996 tentang pemberlakuan International Safety Mangement Code guna

menunjang kelancaran pengoperasian kapal niaga, memperkecil terjadinya


18

kecelakaan yang akhir –akhir ini sering terjadi dan untuk mencegah terjadinya

kerusakan lingkungan.

Menurut manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dr.Gempur

Santoso,Drs.,M.Kes (2000:7), kecelakaan adalah suatu kejadian tak terduga dan

tidak dikehendaki yang mengacaukan proses suatu aktivitas yang telah diatur.

Kecelakaan terjadi tanpa disangka-sangka dalam waktu yang singkat dan

terdapat empat faktor yakni lingkungan,bahaya,peralatan dan manusia.

Tindakan – tindakan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan :

1. Menjalankan pekerjaan tanpa mempunyai kewenangan

2. Gagal menciptakan keadaan yang baik sehingga menjadi tidak aman

3. Menjalankan pekerjaan yang tidak sesuai denagn kecepatannya

4. Menggunakan alat keselamatan tidak semestinya / tidak layak

5. Berkerja berlebihan / melebihi jam kerja ditempat kerja

6. Mengangkat beban yang berlebihan / diluar kemampuan

7. Menggunakan tenaga berlebihan / tenaganya hanya untuk main-main

8. Bekerja dibawah sadar / mabuk atau dalam pengaruh NARKOBA.

Akibat-akibat yang timbul karena kecelakaan tersebut adalah

kerugian-kerugian bagi semua pihak baik bagi crew itu sendiri maupun bagi

perusahaan. Bagi crew kapal berupa penderitaan akibat kecelakaan tersebut

seperti luka / memar, cacat, bahkan dapat menyebabkan kematian, dan kerugian

bagi pihak perusahaan adalah kurangnya kepercayaan pencharter.


19

Dari analisa permasalahan yang diuraikan di atas, penulis mencoba

menditeksi awal penyebab terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh faktor

human error dan diikuti oleh faktor pendukung lainnya seperti peralatan

keselamatan di atas kapal tempat penulis praktek, yaitu MT.Vijayanti.

Tidak dipungkiri lagi manusia merupakan tolak ukur dari semua

permasalahan keselamatan yang terjadi di lapangan kerja, segala sesuatunya

berawal dari reaksi manusia. Maka awal yang baik jika akan memperbaiki suatu

sistem, khususnya sistem keselamatan dan keamanan, tidak salah kalau kita

memulainya dari manajemen sumber daya manusia.

Dari uraian di atas, dapat kita lihat bahwa faktor manusialah yang

sangat dominan dalam terjadinya kecelakaan dan dengan didukung tidak

berjalannya sistem manajemen keselamatan yang baik, maka kecelakaan kerja

sering terjadi di atas kapal.

Menurut Badan diklat perhubungan (2000:4). Suatu hal baru yang

dikembangkan dalam STCW 1978 amandemen 1995 adalah bahwa keselamatan

pelayaran adalah tanggung jawab tiga pihak, yaitu:

1. Pemerintah sebagai institusi resmi yang mengawasi pelaksanaan aturan-

aturan berkaitan dengan keselamatan dilaut.

2. Pendidikan dan latihan, yaitu institusi yang mendidik, melatih personil yang

akan bekerja dikapal.

3. Perusahaan pelayaran, yaitu yang mengoperasikan kapal dengan tenaga

kerja terlatih.
20

Sebagaimana diterangkan diatas bahwa perusahaan pelayaran harus

menjamin bahwa tiap kapal diawaki oleh pelaut-pelaut berkualitas, bersertifikat

dan sehat secara medis, menunjukan bahwa implementasi STCW sangat serius

terhadap pelaksanaan ISM Code. Artinya apabila personil yang bekerja dikapal

standar kompensasi dan tingkat kesehatannya tidak ditentukan oleh suatu aturan

internasional yang mengikat, maka dapat dipastikan bahwa pelaut yang satu

dengan yang lain memiliki kompetensi dan pemahaman tentang keselamatan

yang berbeda.

1. Kebijakan perusahaan pelayaran

Setiap perusahaan pelayaran selalu mengeluarkan kebijakan-

kebijakan kepada semua pekerjanya dengan mengacu pada peraturan

internasional, yang tidak diragukan lagi kelayakannya.Sehingga perusahaan

tersebut dapat dikatakan sebagai perusahaan yang berkompeten.

Dalam merekrut setiap karyawan atau pekerjanya, selalu di hadapi

dengan beberapa kelayakan yang berupa tes atau pengujian terhadap mind

fit dan body fit ,keduanya dilaksanakan dengan baik dan hasilnya harus

sesuai dengan standart yang diinginkan.

Menurut L.A Holder ( 1997 : 59 ) tentang training and assessment

on board adalah efisiensi dari pengoperasional kebijakan perusahaan akan

terlaksana apabila setiap staff mempunyai kompetensi dan motivasi untuk

mengatur unsur tanggung jawab,prosedur dan objektif kepada para yunior

trainee sehingga tercipta generasi baru yang bermutu. Usaha yang umumnya
21

dilakukan seorang pemimpin perusahaan untuk menerapkan kebijakan

perusahaannya antara lain :

a). Manajemen sebagai background

Adalah aspek yang melatarbelakangi para trainee untuk

mengembangkan dan mendorong ketrampilan khusus serta pengetahuan

yang ada hubungannya dengan pengoperasian kapal secara aman dan

resmi / legal

Standar dari suatu kebijakan perusahaan akan terlaksana jika

diterapkan inti sari dari semua code yang diberlakukan,antaranya :

1). Keselamatan dan pencegahan polusi

2). Shipboard familiarisation

3). Koordinasi dan komunikasi antara crew

4). Kesehatan dalam melaksanakan tugas dan waktu istrirahat

5). Sertifikat pelatihan

6). Penilaian kemampuan di tempat kerja

Sebagai tambahan dari keputusan perusahaan akan

mempengaruhi dari pelatihan yang diberikan kepada para trainee,

tambahan ini dimaksudkan agar mencapai titik kesempurnaan dari suatu

pelatihan. Tambahan-tambahan tersebut adalah sebagai berikut :

1). Maintenance policies : termasuk dari penyediaan kebutuhan /

perlengkapan dari darat dalam hal ini adalah perusahaan yang

digunakan untuk sistem perawatan alat-alat di atas kapal.


22

2). Crew recruitment policies : menyeleksi calon pekerja baru dengan

dasar bahasanya, pendidikannya,serta kebiasaan dari calon tersebut.

3). Manning policies : pengawakan crew kapal berdasarkan tanggung

jawab dan stuktur organisasi,yang dimaksudkan adalah kelancaran

dalam pengoperasian kapal.

b). Motivasi

Cara yang paling ampuh dalam pelaksaan pelatihan di atas

kapal adalah motivasi. Motivasi dimulai dari atasan sebagai contoh

atau panutan dalam sebuah struktur organisasi khususnya diatas kapal.

Setiap anak buah kapal akan merasa segan apabila melihat

langsung dilapangan, kepala kerjanya bekerja dengan baik dan disiplin

sesuai dengan aturan kerja dan keselamatan yang telah diterapkan.hal ini

merupakan contoh dari motivasi baru yang timbul dari

bawahan,sehingga mereka pun akan mengikutinya.

Tiga metode yang mungkin dapat diterapkan untuk

menumbuhkan motivasi dari para pekerja,yaitu:

1). Perusahaan mengeluarkan kebijakan baik secara tertulis atau lisan

pada saat pelatihan,yang dimaksudkan agar tumbuh rasa tanggung

jawab dari para peserta latihan.

2). Presentasi dari para peserta latihan kepada top manager,ini

dimaksudkan agar peserta mempunyai rasa keingintahuan yang

tinggi terhadap suatu peermasalahan.


23

3). Perusahaan mengeluarkan informasi, berita atau majalah yang berisi

tentang keberhasilan dari peseta latihan agar tercipta motivasi untuk

berprestasi.

Pihak perusahaan untuk mengetahui sikap dan motivasi

daripada para peserta latihan, maka pihak perusahaan harus membentuk

seastaff agar pengawasan dan penilaian dapat dilaksanakan,hal ini

bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan yang

telah direncanakan sudah berjalan.

c). `Kebijakan latihan dan prosedur

Perusahaan dalam kebijakan latihan harus menyatakan hasil

sasaran pelatihan dan memperkenalkan ketentuan standart dalam menuju

keberhasilan yang sesuai dengan international conventions dan

peraturan nasional.Acuan setiap perusahaan dalam menentukan sebuah

sasaran adalah:

1). The Regulatory Framework : Operational Safety

Adalah suatu kerangkan dasar dari sebuah pembentukan kebijakan

dimana dasar-dasar ini telah disahkan oleh berbagai negara konvensi

dan mempunyai kekuatan hukum. IMO ( International Maritime

Organisation) telah membuat dan meresmikan aturan-aturan yang

berkaitan dengan kelancaran dalam pengoperasian di bidang

maritime, yaitu :

i). International Convenstion for the Safety of Life at Sea ( SOLAS )


24

ii). International Safety Management Code ( ISM )

iii). International Maritime Organisation Standart of Training,

Certification and Watchkeeping Convension ( SCTW )

iv). Prevention of Pollution from Ship ( MARPOL )

v). International Convenstion on Load Lines

vi). Collision Regulation ( COLREG )

vii). ILO Convention 147 [ Merchant Shipping ( Minimum

Standarts) Convention ]

Diantara peraturan-peraturan tersebut diatas ada juga

peraturan nasional yang dibuat oleh suatu nagara dan di berlakukan

hanya di negara tersebut saja. Tetapi untuk kapal-kapal asing atau

berbendera lain harus harus tetap memetuhi aturan yang berlaku di

negara setempat selama kapal tersebut melintasi wilayah

teritorialnya.

2).Maintenance and Surveys

Bertujuan untuk menjaga kelayakan daripada suatu bahan

sehingga keefektifannya masih tetap terjaga,ini merupakan tanggung

jawab dari seastaff dan shorestaff. Kapal akan dinyatakan layak

apabila telah disurvey atau diaudit oleh orang yang berwenang dan

akan di berikan sertifikat kelayakan daripada kapal tersebut.


25

d). Tanggung jawab dan kewenangan : Managers, Trainers dan Trainee

Komunikasi yang baik antara pihak kapal dan darat sangat

penting dalam suatu penerapan manajemen,contohnya adalah kerjasama

yang baik antara kapal dan darat dalam familiarisation arrangements

utuk awak yang baru bekerja di atas kapal.

Seperti yang tertera dalam ISM Code appendix 3(a) sebagai berikut :

1) Jika yang bertanggung jawab terhadap pengoperasian kapal adalah

bukan pemilik (telah dilimpahkan kepada pihak lain) pemilik harus

melaporkan nama lengkap dan data dari pihak yang tanggung

jawab tersebut.

2) Menetapkan dan mendokumentasikan wewenang, tanggung jawab

dan hubungan kerja antar seluruh karyawan yang mengatur,

melaksanakan dan memeriksa pekerjaan yang berhubungan, serta

dapat mempengaruhi keselamatan dan perlindungan lingkungan.

e). Monitoring, keeping of record dan audit

Dalam rangka akan memastikan mutu dan pengembangan

pelatihan yang telah direncanakan maka setiap record atau catatan-

catatan penting di atas kapal harus selalu dimonitor dengan baik oleh

shorestaff . Catatan itu dapat berupa training logbook atau independent

audits, fungsi dari itu adalah sebagai bukti bahwa kapal telah

melaksanakan pelatihan yang layak sebagai mana telah di anjurkan oleh

peraturan internasional.
26

f). Ketetapan sumber daya

Sumber daya adalah garis besar dari kebijakan pelaksanaan

pelatihan karena dengan tingginya sumber daya, maka pelatihan dapat

berjalan dengan yang diinginkan dan tercapai sasaran yang telah

direncanakan.Sumber daya akan memberikan jaminan yang baik dalam

setiap langkah kegiatan.

g). Menjelaskan kebijakan terhadap para Trainees

Kewajiban perusahaan untuk menjelaskan seluruh tujuan

pelaksanan latihan kepada para peserta, ini bertujuan agar peserta

mengerti dan dapat mengevaluasi diri mereka sendiri tentang isi dari

pelatihan yang telah dilaksanakan dan dapat diterapkan di lapangan.

Perusahaan juga membuat prosedur untuk mempersiapkan

rencana dan instruksi yang dapat menjamin keselamatan kapal dan

pencegahan pencemaran. Berbagai jenis tugas yang terkait dan

diserahkan kepada personil yang memahami kualifikasi untuk

melaksanakannya.

Menurut Shipboard Safety Management Procedure yang

dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran Arpeni Pratama Ocean Line

tahun 2006, yaitu tentang alat – alat keselamatan :


27

1). Safety Helmet

Alat ini harus digunakan kapan saja dalam berkerja yang berguna

untuk

menghindari bahaya atau kecelakaan pada bagian kepala,terutama :

i). ketika berkerja dengan Rantai Block / Hoist,Cranes.

ii). Selama Mooring dan Unmooring

iii). Ketika berkerja dengan Cargo Equipment

iv). Ketika menggunakan Portable Ladder

v). Ketika memasuki Ruangan tertutup

vi). Selama kerja di Dock

vii). Selama kerja di Deck

viii). Selama mengikuti latihan keselamatan / Drill

ix). Selama mengikuti latihan dengan Helikopter

x). Selama kerja di Kamar mesin.

2). Working Clothes

Penggunaan baju kerja ini dimaksukan untuk memperkecil resiko

kecelakaan, terutama :

i). Selama kerja di deck dan melakukan Tank Cleaning

ii). Selama kerja di kamar mesin

iii). Selama Mooring,Unmooring, dan lego Jangkar

iv). Selama Helicopter operation

v). Selama kerja dengan Cargo equipment


28

vi). Selama memasuki ruangan tertutup.

vii). Selama kerja dengan bahan kimia.

vii). Selama kerja di dock.

vii). Selama melaksanakan latihan keselamatan.

3). Safety Shoes

Sepatu keselamatan harus digunakan dimana pun berada baik di

deck atau kamar mesin, dan harus digunakan sebaik mungkin.

4). Eye Protection

Pengaman pada mata dapat kita gunakan berupa kaca mata

pengaman.

yang dapat dipakai guna melindungi mata dari :

i). Sinar infra merah ( Gas mengelas ).

ii). Sinar ultra violet ( Las listrik ).

iii). Bahan Kimia.

iv). Bahan lainnya yang membahayakan.

Eye Protection harus digunakan pada saat :

i). Selama kerja pengelasan dan pemotongan logam.

ii). Ketika menggunakan alat pencucian yang mempunyai tekanan

tinggi.

iii). Ketika bekerja menggunakan alat-alat pengetokan / peruntuh

karat.

iv). Ketika berhubungan langsung dengan bahan – bahan kimia


29

v). Ketika membersihkan ketel pemanas

vi). Ketika menjalankan alat peluncur jangkar

5). Ear Protectors

Tiap orang yang tidak terlindungi dari kebisingan tingkat

tinggi seperti dikamar mesin, harus menggunakan pelindung telinga

dari tipe yang telah direkomendasikan yang cocok untuk keadaan

khusus. Pelindung pendengaran terdiri dari 3 bentuk yaitu : Ear

Plugs (peyumbat telinga), tipe yang dapat dibuang setelah dipakai

atau permanen, dan Ear Muff (penutup telinga).

Bentuk paling sederhana dari pelindung telinga adalah

glass-down ear plug. Bagaimanapun juga bentuk ini mempunyai

kelemahan dari terbatasnya kemampuan untuk mengurangi tingkat

kebisingan. Ear plugs dari karet dari karet atau plastik juga punya

keterbatasan pada suara tingkat yang sangat tinggi atau frekwensi

yang sangat rendah yang menyebabkan terjadinya getarannya pada

saluran telinga.

Pada umumnya, ear muff merupakan bentuk yang lebih

efektif. Ear muff terdiri dari sepasang rigid cups (mangkok kaku)

yang didesain untuk melengkapi untuk penutup telinga, dipaskan

dengan cincin penyegel yang lembut agar busa dirapatkan diseputar

telinga. Ear cup (mangkok telinga) dihubungkan dengan sebuah

spring loaded head band (neck band) yang memastikan bahwa


30

sound seal disekitar telinga tetap terjaga. Untuk itu diperluka saran

dari ahli mengenai penggunaannya.

6). Safety Harness

Setiap pelaut yang sedang bekerja diatas, diluar atau dibawah

deck atau tempat lain yang terdapat resiko terjatuh dari ketinggian 2

meter atau lebih, harus menggunakan Safety Harness (sabuk dengan

penahan goncangan) yang diikat dengan tali keselamatan. Pelatan

Inertial Clamps dapat memberikan kebebasan dalam bergerak

7). Gloves

Pemakaian gloves yang tepat harus memperhatikan jenis

bahaya yang di hadapi dan jenis pekerjaan yang dilakukan, misalnya

leather gloves (terbuat dari kulit) umumya untuk menangani benda

yang kasar atau tajam, hot resistant gloves yang terbuat dari karet,

sintetik atau PVC ketika menangani asam, alkalis, oli, solvent, dan

bahan kimia. Gloves dapat dengan mudah terjepit di bawah drum

dan di dalam mesin.Gloves yang basah atau berminyak bisa menjadi

licin dan oleh karena itu diperlukan perhatian khusus ketika

menggunakannya dalam bekerja.

Menurut manajemen sumber daya manusia oleh Barry

cushway (1994:113). Pelatihan adalah proses mengajarkan keahlian

dan memberikan pengetahuan yang perlu, serta sikap supaya mereka

dapat melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan standart.


31

Maksud utama bagi organisasi untuk melaksanakan

pelatihan adalah memastikan organisasi mendapat imbalan yang

terbaik dari modal yang ditanam pada sumber yang paling

penting.Dengan memperhitungkan efek ini,maka tujuan dari setiap

pelatihan adalah meraih perubahan dalam pengetahuan ,keahlian,

pengalaman,tingkah laku, atau sikap yang akan meningkatkan

keefektifan pegawai.

Setelah pelatihan telah dilaksanakn maka tahap evaluasi

juga perlu dilakukan .Mengevaluasi keefektifan pelatihan dan

pengembangan tidaklah mudah,terutama pada kasus pengembanagan

manajemen.

Evaluasi pelatihan dapat dilaksanakan diberbagai tingkatan,

yakni :

i). Tingkat reaksi : meninjau reaksi peserta terhadap pelatihan,dan

pelatih

ii). Tingkat belajar : perubahan pada pengetahuan,keahlian dan

sikap.

iii). Tingkat tingkah laku kerja : perubahan pada tingkah laku kerja

iv). Tingkat organisasi : efek terhadap organisasi

v). Nilai akhir : manfaat,terutama untuk organisasi,tetapi juga

untuk individu.
32

Ada pun proses evaluasi yang digunakan,harus dipastikan

bahwa setiap perubahan yang diawasi merupakan hasil dari pelatihan

dan bukan merupakan hasil dari alasan lain yang tidak ada

hubungannya dengan pelatihan. Oleh karena itu / idealnya proses

evaluasi harus dirancang dengan hati-hati dan terkontrol.

2. Kebijakan Pemerintah Untuk Aturan Keselamatan Kapal

Negara Republik Indonesia adalah suatu negara yang terdiri dari

pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut yang sangat luas, sehingga

pemerintah perlu membuat kebijakan tertentu dalam mengatur laut tersebut.

Transportasi laut di negara kita bisa dikatakan adalah perbandingan

yang sangat kecil bila dibandingakan luas dari laut kita, maka transportasi

laut kita pelu sekali untuk dikembangkan, begitu juga dengan sistem

keselamatan dan keamanan dalam bertransportasi, sehingga tercipta

kelancaran yang maksimal. Maka pemerintah sebagai institusi yang terkait

membuat aturan-aturan yang berhubungan dengan hal tersebut, di indonesia

dibentuk departemen perhubungan laut sebagai institusi yang berwenang.

Dengan adanya angka kecelakaan yang dari tahun ke tahun yang

selalu naik maka pemerintah tidak tinggal diam dalam mengembangkan

suatu sistem manajemen keselamatan , diantaranya menurut Badan Diklat

Perhubungan ( sistem pengupahan dan jaminan sosial dalam kesehatan dan

keselamatan kerja ) , 1996, tentang :


33

a. Sertifikat kesempurnaan dan keselamatan, pasal 6, hal 11,yaitu :

1). Tiap kapal yang berlayar ke perairan luar harus dilengkapi dengan

sertifikat kesempurnaan yang berlaku yang diberikan oleh atau atas

nama direktur jendral perhubungan laut.

2). Sertifikat kesempurnaan diberikan jika badan kapal, perlengkapan,

mesin dan ketel,tata susunan,lensa dan pemadam kebakaran,alat-

alat jangkar dan kemudi memenuhi ketentuan-ketentuan khusus

yang ditetapkan dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah,

sertifikat ini dikeluarkan untuk daerah pelayaran tertentu, dimana

kapal itu tidak boleh berlayar.kecuali dalam hal-hal khusus dengan

ijin dari atau atas nama Direktur jendral perhubungan laut.

3). Sertifikat keselamatan diberikan, jika kapal memenuhi syarat-

syarat yang ditentukan dengan atau berdasarkan peraturan

pemerintah sehubungan dengan konstruksi,alat-alat penolong dan

telegrap radio untuk kapal penumpang yang digerakkan dengan

tenaga mesin,yang digunakan dalam pelayaran internasional ,serta

memiliki sertifikat kesempurnaan yang berlaku.

4). Untuk sertifikat kesempurnaan dan keselamatan , kepada negara

harus dibayar biaya dihitung menuru tarip yang ditentukan dengan

peraturan pemerintah.

5). Segala sesuatu yang berhubungan dengan sertifikat – sertifikat


34

Disebut dalam pasal ini, diatur dengan atau berdasarkan peraturan

pemerintah.

b. Tindakan – tindakan Keselamatan, pasal 16, hal 16, yaitu :

1). Semua peralatan baik yang tetap dan yang dapat dilepas harus

dipelihara dalam keadaan baik dan sebanyak diperlukan harus siap

untuk segera digunakan dan,jika hal demikian dapat dihindarkan,

tidak boleh dipasang dengan cara yang dapat menghalangi

berkerjanya dengan baik.

2). Awak kapal dan sebanyak yang diperlukan dan mungkin juga

pelayar-pelayar lainya harus terlatih dalam hal yang mereka perlu

lakukan, jika kapal mengalami hal keadaaan bahaya.

3). Nahkoda tiap kapal wajib :

a). Memberikan dan menyuruh perintah kemudi secara langsung

b). Mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah penyalah

gunaan isyarat bahaya internasional dan penggunaan isyarat-

isyarat yang dapat dikacaukan dengan isyarat bahaya

internasional.

d). Memberikan pertolongan kepada kapal yang dalam keadaan

bahaya dan pada waktu meminta pertolongan , bertindak sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang diberikan mengenai hal itu.


35

c. Penahanan kapal yang tidak layak laut,pasal 21 ,hal 21, yaitu :

1). Jika seorang pengawas keselamatan kapal menganggap bahwa,

dengan memperhatikan sifat pelayaran dan musim,jiwa pelaut

terancam bahaya besar hal ini disebabkan karena keadaan kapal

yang tidak sempurna.perlengkapan yang tidak sempurna atau tidak

cukup,cara pemuatan yang kurang ahli atau melampaui

batas,muatan berbahaya atau pengawakan kapal yang kurang ,atau

jika ia mengira bahwa hal-hal demikian adalah mungkin,dan

kepadanya tidak diberikan kesempatan untuk memeriksanya,maka

ia berhak untuk menahan kapal itu,sampai ternyata padanya,bahwa

kepadanya telah diambil tindakan yang cukup.

2). Pengawas keselamatan kapal berhak menahan kapal sampai

ternyata padanya,bahwa ketentuan-ketentuan telah dipenuhi jika :

a). Awak kapal tidak disusun sesuai dengan ketentuan ordonansi

ini.

b). Alat-alat penolong tidak memenuhi apa yang di tetapkan

dengan atau berdasarkan ordonansi ini.

c). Kapal memiliki lambung yang lebih kecil daripada yang

diijinkan.

d). Kapal mengangkut lebih dari penumpang yang diinginkan.

e). Kapal harus mempunyai sertifikat-sertifikat yang lengkap dan

mampu ditunjukan kepada petugas.


36

3). Dari tiap penahanan atau pencabutanya pengawas keselamatan

kapal-kapal yang melakukan penahanan segera

memberitahukan,dengan kepala direktur jendral perhubungan laut

dan dengan surat yang telah ditanda tangani dan diberi kepada

nahkoda,jika ia sendiri bukan syahbandar, ia memberitahukan juga

kepada syahbandar.

4). Jika kapal berkebangsaan asing, penahanan kapal itu harus

di beritahukannya dengan segera kepada pegawai konsuler terdekat

dari dimana kapal sesuai kebangsaannya didaftarkan,yang disertai

alas an - alasan.

d. Ketidak cakapan nahkoda dan perwira kapal, pasal 25, hal 25, yaitu :

1). Jika pada pemilik kapal, apakah ada hubungan atau dengan tidak

suatu bencana kapal atau kecelakaan usaha dikapal,timbul

keraguan yang sangat tentang kecakapan nahkoda dan perwira

kapal,maka dalam hal pertama pemilik kapal dan hal kedua

nahkoda berkewajiban memberitahukan hal ini kepada Direktur

jendral perhubungan laut.

2). Jika setelah mengadakan pemeriksaan mahkamah berpendapat,

bahwa nahkoda atau perwira kapal yang kecakapannya diragukan

maka mahkamah dengan keputusan yang disertai dengan alasan-

alasan dapat yang menyatakan, yang bersangkutan tidak


37

berwenang untuk bertugas dalam satu atau lebih jabatan tertentu

dikapal Indonesia yang berlayar di perairan luar.

3). Yang dinyatakan tidak berwenang itu, berkewajiban segera setelah

pemberitahuan resmi daripada keputusan,menyerahkan ijasah-

ijasah dari wewenangnya dahulu kepada direktur jendral

perhubungan laut, yang memberitahukan tentang pernyataan tidak

berwenang ini kepada syahbandar - syahbandar.

Kewajiban perusahaan terhadap tenaga kerjanya adalah sebagai

berikut :

1. Menunjukan dan menjelaskan tentang :

a. Kondisi dan bahaya yang dapat timbul ditempat kerjanya

b. Semua pengaman dan alat-alat pelindung diharuskan

c. Alat pelindung diri yang diharuskan

d. Cara dan sikap aman dalam melakukannya.

2. Memeriksa kesehatan baik fisik maupun mental tenega kerja yang

bersangkutan

3. Memasang petunjuk-petunjuk tentang keselamatan kerja dengan jelas

ditempat kerja.

4. Melaporkan setiap kejadian kecelakaan kerja terhadap kantor departemen

tenega kerja.

5. Membayar biaya keselamatan dan kesehatan setiap tenaga kerjanya.


38

Kewajiban dari tenaga kerja dalam melaksanakan tugasnya adalah

sebagai berikut :

1. Memberikan keterangan yang benar terhadap lembaga pemerintahan

2. Memakai alat pelindung diri yang diwajibkan

3. Memenuhi dan mentaati persyaratan dan kesehatan kerja yang berlaku

di tempat kerja.

Selain hal tersebut diatas, maka timbul perhatian khusus untuk

mencari penyelesaian dari fakta – fakta yang ditemukan pada bab sebelumnya,

maka dapat diketahui bahwa penyebab timbulnya permasalahan yang hampir

seluruhnya disebabkan oleh kelalaian manusia dan untuk itu dibuatlah suatu

analisa sebagai langkah – langkah untuk menaggulangi atau mencegahnya,

adapun upaya – upaya tersebut adalah :

Sebagai uapaya – upaya untuk meningkatkan penerapan ISM Code di

atas kapal, nakhoda sebagai pimpinan tertinggi perlu membuat sebuah prosedur

untuk mendukung peningkatan pelaksanaan ISM Code, prosedur tersebut terdiri

dari beberapa langkah, yaitu sebagai berikut :

a. Menyelenggarakan pertemuan – pertemuan tentang keselamatan (safety

meeting) dan kesehatan sesuai aturan yang berlaku.

Nakhoda harus mengadakan pertemuan dengan seluruh awak kapal

membahas tentang keselamatan dalam bekerja dan kesehatan di atas

kapal untuk mencegah kecelakaan kerja, kematian dan kejatian –

kejatian yang tidak diinginkan lainnya.


39

b. Melaporkan hasil pertemuan tentang keselamatan dan kesehatan awak

kapal kepada perusahaan.

Keputusan – keputusan yang diambil pada saat menyelenggarakan

pertemuan harus dilaporkan kepada safety manager, seteh keputusan –

keputusan tersebut disyahkan oleh nakhoda.

c. Melaksanakan setiap aturan – atauran dan prosedur – prosedur yang

terdapat dalam ISM Code dengan baik dan benar.

Nakhoda sebagai top management harus mengontrol pelaksanaan

manajemen keselamatan yang ada di atas kapal dan mengevaluasinya

agar sesuai dengan prosedur – prosedur yang benar.

d. Pertemuan sebelum kerja

Nakhoda dan KKM harus melaksanakan pertemuan sebelum memulai

pekerjaan harian di atas kapal, dan memastikan bahwa semua awak

kapal memperhatikan hal – hal tersebut di bawah ini :

1). Persiapan untuk memeriksa seragam kerja dan perlengkapannya.

2). Penjelasan pekerjaan yang harus dilakukan.

3). Penjelasan mengenai tata cara pekerjaan yang dilakukan.

4). Peringatan yang diberikan mengenai keselamatan kerja.

5). Memeperkirakan resiko keselamatan pekerjaan.

6). Mengisi work log.


40

e. Pelaksanaan pekerjaan berbahaya.

Ijin dari nakhoda harus diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan –

pekerjaan berbahaya seperti tersebut di bawah ini :

1). Pekerjaan di tempat tinggi

2). Pekerjaan Di ruang tertutup.

3). Pekerjaan mengelas di luar kamar mesin.

4). Pekerjaan berbahaya lainnya seperti mengetok, pekerjaan pada

lambung kapal dan pekerjaan dengan listrik.

Diharapkan, dengan pertemuan berkala yang membahas tentang Safety

Management System (SMS) ini, akan tercipta suatau komunikasi timbale balik,

sehingga para awak kapal akan mengerti satu sama lain berkaitan dengan peran

dan tugasnya masing – masing di atas kapal, dan tidak terjadi dualisme dalam

pelaksanaan tugas. Apabila masing – masing awak kapal mengerti akan peran,

tugas dan tanggung jawabnya, maka akan tercipta suasana kerja yang sehat dank

an timbul kerja sama yang baik diantara awak kapal dan dengan demikian

tujuan dari penerapan ISM Code akan tercapai.

Dengan melaksanakan ISM code yang baik, perusahaan maupun

pemerintah akan memiliki keandalan dan citra yang baik, Atau dengan adanya

sistem manajemen keselamatan dan keamanan yang teratur pada kapal dan

terencana, maka akan didapatkan hasil yang memuaskan yaitu kapal akan selalu

memenuhi persyaratan kelayakan laut, yang dimaksudkan adalah tidak sering

terjadi kendala-kendala dalam pengoperasian kapal itu sendiri sehingga


41

perjalanan kapal tidak terhambat karena berbagai macam hal. Sehingga pihak

pencharter dan pemilik muatan pun akan merasa puas karena tidak ada

keterlambatan dalam pengiriman barang.

Anda mungkin juga menyukai