Anda di halaman 1dari 19

KOMPILASI MATERI PENGOLAHAN LIMBAH RUMAH PEMOTONGAN

HEWAN (RPH)

1. Pengertian RPH
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain
tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi
masyarakat luas (Manual Kesmavet, 1993). RPH merupakan unit atau pelayanan masyarakat
dalam penyediaan daging sehat yang berfungsi sebagai: (a) tempat dilaksanakannya
pemotongan hewan secara benar, (b) tempat dilaksanakannya pemotongan hewan sebelum
dipotong (ante-mortem) dan pemeriksaan daging (post-mortem), (c) tempat melacak atau
mendeteksi penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan antemortem sebagai
pencegahan dan memberantas penyakit hewan menular di daerah asal hewan dan, (d)
melaksanakan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang
masih produktif.

2. Pengertian Limbah RPH


Limbah RPH adalah buangan dari proses pemotongan hewan potong dan hasil ikutan
yang tidak dimanfaatkan. Hasil ikutan adalah hasil samping dari pemotongan hewan potong
yang berupa darah, kulit, bulu, lemak, tanduk, tulang dan kuku (Manual Kesmavet, 1993).
Limbah Cair RPH merupakan seluruh air limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah
potong hewan, yaitu air yang berasal dari pemotongan, pembersihan lantai tempat
pemotongan, pembersihan kandang penampung, pembersihan kandang isolasi, dan
pembersihan isi perut serta air sisa perendaman. Sanjaya dkk (1996) menyatakan bahwa
untuk menangani limbah yang dihasilkan oleh kegiatan RPH, maka ada tiga kegiatan yang
perlu dilakukan yaitu identifikasi limbah, karakterisasi dan pengolahan limbah. Hal ini harus
dilakukan agar dapat ditentukan suatu bentuk penanganan limbah RPH yang efektif.

3. Karakteristik Limbah RPH


Industri RPH merupakan salah satu industri pangan. Ciri dan limbah industri pangan
adalah kandungan bahan organik yang cukup tinggi dan mudah terurai di perairan. RPH
memiliki tiga sumber limbah utama, yaitu: tempat penampungan hewan (stock yard), tempat
penyembelihan hewan (slaughter house) dan tempat pengolahan karkas atau daging (packing
house).
Ditambahkan Janie dan Rahayu (1993) bahwa limbah utama yang dihasilkan oleh
RPH adalah berasal dari isi perut, rendering, pemotongan bagian-bagian yang tidak berguna,
pengolahan, dan pekerjaan pembersihan.
Limbah cair yang dihasilkan pada RPH terdiri dari darah, air pemandian sapi, air
pembersihan ruangan dan keranjang, air pencucian kandang, air pencucian karkas, pencucian
lantai, cairan rumen, dan cairan isi perut.
Limbah utama dari RPH berasal dari penyembelihan, pemindahan, pembersihan
rambut, penjadian (rendering), pengaturan, pemrosesan, dan pembersihan.
Scahill (2003) memberikan statistik lebih rinci tentang kedua berat sapi dimah
pemotongan hewan. Seekor sapi dengan berat 400 kg akan memiliki berat karkas yang
dikurangi menjadi sekitar 200 kg setelah pemotongan. Selain itu, kehilangan sekitar sepertiga
lemak dan tulang setelah melewati pencacahan daging. Oleh karena itu, seekor sapi yang
masih hidup mempunyai berat 400 kg akan memberikan sekitar 140 kg daging yang dapat
dimakan, yang hanya mewakili 35% dari bobot hidupnya. Sisanya, 65% adalah limbah padat
dan limbah cair (260 kg).
Menguatkan temuan di atas, Gannon et al. (2004) menunjukkan bahwa seekor sapi
yang dipotong menghasilkan 13.6 kg darah sebagai limbah cair, sisanya dikumpulkan lalu
dimanfaatkan lagi sebagai tepung darah sebab jumlah darah yang dihasilkan dari
penyembelihan adalah sekitar 7.7% dari bobot sapi yaitu sebesar 30.8 kg. Limbah padat
dikurangi lagi dengan cairan rumen dan cairan isi perut yang dihasilkan pada proses
pemotongan sebesar 20 kg dari seekor sapi, jadi limbah padat kurang lebih sebesar 209.2 kg
dari seekor sapi. Jumlah sapi yang dipotong dalam sehari di UPTD RPH Bubulak sekitar 40
kepala per hari, maka perhitungan jumlah limbah cair dalam bentuk darah yang dihasilkan
dalam satu hari adalah Limbah cair darah = 13.6 kg/ ekor x 40 ekor/ hari= 544 kg/ hari

4. Komposisi Kimia pada Limbah RPH

Salah satu industri yang banyak ditemukan di Indonesia ialah agroindustri. Limbah
cair agroindustri pada umumnya kaya akan nutrien N (nitrat), P (fosfat), C (karbon), dan K
(kalium) yang merupakan nutrisi bagi pertumbuhan sel mikroalga (Kabinawa dan Agustini,
2005). Contoh agroindustri dengan kategori nutrien tinggi adalah RPH. Limbah RPH
merupakan limbah organik, berserat, voluminous (bervolume besar). Limbah organik yang
dihasilkan RPH adalah berupa darah, sisa lemak, tinja, isi rumen, dan usus dengan kandungan
protein, lemak, dan karbohidrat yang cukup tinggi.
Berdasarkan istilah teknis dan sumbernya, limbah RPH termasuk dalam golongan
limbah industri. Dilihat dari komposisi dan pengaruhnya terhadap perairan, limbah RPH
mirip dengan sampah domestik (domestic sewage). Namun karena kandungan bahan
organiknya yang tinggi, maka bahaya kontaminasi mikroorganisme patogen limbah RPH
lebih besar dari sampah domestik. Menurut Sugiharto (1987) limbah RPH mempunyai sifat-
sifat umum yaitu kelarutan dan campuran zat organik tinggi, darah, protein, dan lemak. Cara
pengolahan limbahnya dapat dilakukan dengan cara pemisahan, pengendapan, dan
penyaringan.
Pendirian Rumah Potong Hewan (RPH) didekat pemukiman menimbulkan berbagai
masalah seperti pencemaran lingkungan akibat dari limbah ternak. Pencemaran lingkungan
berdampak pada manusia terutama ketika memproduksi limbah-limbah yang dapat
mencemari air, menimbulkan polusi udara (bau) yang sangat mengganggu masyarakat yang
ada di sekitar usaha RPH. Hal ini terjadi karena kurangnya manajemen dalam penegelolaan
limbah (Anonimous, 2011)
Menurut Revo (2011) bahwa limbah yang tidak dikelola secara sadar lingkungan
semakin membuat warga merasakan gangguan akan dampak yang ditimbulkan.  Seperti bau
kotoran hewan yang keluar dari tumpukan isi perut hewan yang dipotong serta limbah air dari
hasil pencucian. Bau timbul karena adanya kegiatan mikroorganik yang menguraikan zat
organik menghasilkan gas tertentu. Di samping itu bau juga timbul karena terjadinya reaksi
kimia yang menimbulkan gas. Kuat tidaknya bau yang dihasilkan limbah tergantung pada
jenis dan banyak gas yang ditimbulkan.
Menurut Widya dalam Roihatin dan Rizqi (2007) bahwa Limbah Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) yang berupa feces urine, isi rumen atau isi lambung, darah afkiran daging atau
lemak, dan air cuciannya, dapat bertindak sebagai media pertumbuhan dan perkembangan
mikroba sehingga limbah tersebut mudah mengalami pembusukan. Dalam proses
pembusukannya di dalam air, mengakibatkan kandungan NH3 dan H2S di atas maksimum
kriteria kualitas air, dan kedua gas tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap serta dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan yang disertai dengan reaksi fisiologik tubuh
berupa rasa mual dan kehilangan selera makan. Selain menimbulkan gas berbau busuk juga
adanya pemanfaatan oksigen terlarut yang berlebihan dapat mengakibatkan kekurangan
oksigen bagi biota air.
Kusnoputranto (1995) menyatakan limbah ini akan berdampak pada kualitas fisik air
yaitu warna dan pH disamping itu total padatan terlarut. Padatan tersuspensi, kandungan
lemak, BOD5. Ammonium, nitrogen, fosfor akan mengalami peningkatan. Limbah terbesar
berasal dari darah dan isi perut (Tjiptadi, 1990) sedangkan darah berdampak pada
peningkatan nilai BOD dan padatan tersuspensi. Disamping itu isi perut (rumen) dan usus
akan meningkatkan jumlah padatan. Pencucian karkas juga meningkatkan nilai BOD.
Sedangkan Bewick (1980) menyatakan bahwa limbah ternak merupakan sumber pencemaran
bagi air yang mempunyai kandungan BOD tinggi dan kandungan oksigen yang terlarut
didalam air relatif sedikit.
Di sisi lain, pengolahan limbah cair akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi
RPH yaitu tingginya biaya pengolahan. Hal ini karena limbah cair RPH termasuk ke dalam
kategori limbah cair kompleks (complex wastewater) yang mengandung bahan organik,
padatan tersuspensi, serta bahan koloid seperti lemak, protein, dan selulosa dengan
konsentrasi tinggi (D.J Batstone, dkk, 2000; Claudia E.T. Caixeta, dkk, 2002; D.I Masse,
dkk, 2001; dan L.A. Nunez, dkk, 1999).
Teknologi yang paling lazim untuk mengolah air limbah RPH adalah dengan
pengolahan secara kimia fisika diikuti dengan pengolahan secara biologis. Koagulasi dan
flokulasi menggunakan bahan-bahan kimia menghasilkan lumpur kimia yang memerlukan
penanganan lebih lanjut sehingga memerlukan biaya tersendiri. Proses pengolahan secara
biologis (khususnya) aerobik juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain memerlukan
energi yang tinggi untuk aerasi dan menghasilkan lumpur dalam jumlah besar sehingga
memberikan permasalahan terendiri bagi lingkungan. Di sisi lain, proses pengolahan air
limbah RPH secara anaerobik juga memiliki beberapa keterbatasan karena proses pengolahan
berjalan lambat karena akumulasi padatan tersuspensi dan lemak yang mengapung di reaktor
sehingga menghambat pertumbuhan mikroba metanogenesis dan banyak biomasa yang
terikut bersama keluaran (washout) (Masse, D, dkk., 2002; Rajehwari, K.V., dkk., 2000).).
ISTILAH-ISTILAH
Hewan potong adalah sapi, kerbau, kuda, kambing dan domba (Manual Kesmavet,
1993).
Pemotongan hewan potong adalah kegiatan untuk menghasilkan daging yang terdiri
dari pemeriksaan ante mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan
pemeriksaan post mortem (Manual Kesmavet, 1993).
Pemeriksaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum
disembelih (Manual Kesmavet, 1993).
Penyembelihan hewan potong adalah kegiatan mematikan hewan potong dengan
cara menyembelihnya (Manual Kesmavet, 1993).
Penyelesaian penyembelihan adalah kegiatan lebih lanjut setelah penyembelihan
hewan potong guna memungkinkan pemeriksaan dagingnya (Manual Kesmavet, 1993).
Pemeriksaan post mortem adalah pemeriksaan daging dan bagian-bagiannya setelah
selesai penyelesaian penyembelihan (Manual Kesmavet, 1993).
Karkas adalah bagian dari hewan potong yang disembelih setelah kepala dan kaki
dipisahkan, dikuliti, serta isi rongga perut dan dada dikeluarkan (Manual Kesmavet,
1993).
Hasil ikutan adalah hasil samping dari pemotongan hewan potong yang berupa
darah, kulit, bulu, lemak, tanduk, tulang dan kuku (Manual Kesmavet, 1993).
Limbah adalah buangan dari proses pemotongan hewan potong dan hasil ikutan
yang tidak dimanfaatkan (Manual Kesmavet, 1993).
Petugas pemeriksa adalah dokter hewan pemerintah yang ditunjuk atau petugas lain
yang berada dibawah pengawasan dan tanggung jawab dokter hewan dimaksud untuk
melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem di rumah pemotongan hewan atau
tempat pemotongan hewan (Manual Kesmavet, 1993).
Penanganan daging adalah  kegiatan yang meliputi pelayuan, pemotongan bagian-
bagian daging, pelepasan tulang, pemanasan, pembekuan, pendinginan, pengangkutan,
penyimpanan, dan kegiatan lain untuk menyiapkan daging guna penjualannya (Manual
Kemavet, 1993).

DAPUS

Kesmavet, Manual. 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan


Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta : Departemen Pertanian.  

Sugiharto. 1987. Dasar – dasar Pengelolaan Air Limbah, Cetakan Pertama. Jakarta : UI
Press

Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Winarno, F.G., S. Farsiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama

Jenie, B.S.L dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Idustri Pangan. Jakarta : Kanisius
Scahill, Jeremy. 2007. Blackwater: The Rise of The World’s Most Powerful Mercenery Army.
New York: Nations Book.
Roihatin. A dan Rizqi A. K. 2007 Pengolahan Air Limbah Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) dengan Cara Elektrokoagulasi Aliran Kontinyu. Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.

Kusnoputranto H. 1996. Toksikologi Lingkungan Logam Toksik dan B3 . Jakarta:


UI-Press.

Tjiptadi, W. 1990. Pengendalian Limbah Pertanian. Makalah pada Perdidikan


Kependudukan dan Lingkungan Hidup Bagi Wydiasnara Sespa, Sepadya, Sepala
dan Sespa Antar Departemen. Jakarta.

Bewick.M.W.M. 1980. Handbook of Organic Waste Convertion Litton Educational


Publishing, Inc. New York.

D.J. Batstone, J. Keller, R.B. Newell, dan M. Newland. Modelling anaerobic degradation of
complex wastewater. I: model development, Bioresource Technology, 75(2000), Pages 67-74

Sanjaya, A.W. Sudarwanto, M. Pribadi, E.S. 1996. Pengelolaan Limbah Cair Rumah Potong
Hewan di Kabupaten Dati 11 Bogor. Media Veteriner Vol. III (2). Depok-Bogor.

Kabinawa, I. N. K., dan N. W. S. Agustini. 2005. Aplikasi Chlorella Pyrenoidosa Strain


Lokal (INK) dalam Penanggulangan Limbah Cair Agroindustri. Pusat Penelitian
Bioteknologi – LIPI, Bogor.

Limbah cair  rumah potong hewan (RPH) terdiri dari air bekas pencucian yang tercampur
dengan feces, darah, urine, dan lemak hewan, sehingga limbah cair RPH mengandung
protein, lemak dan karbohidrat dengan materi organik terlarut dan tersuspensi relatif tinggi.
(Setyobudiarso, 2012)

5. KLASIFIKASI MIKROORGANISME
a. Berdasarkan Kebutuhan Nutrisi (Nutritional Requirements), mikroorganisme terdiri
atas  2 (dua) jenis mikroorganisme yaitu : Autotrophic organisms, adalah
mikroorganisme yang menggunakan CO2 atau HCO3 sebagai sumber karbon, dan
Heterotrophic organisms adalah mikroorganisme yang mempergunakan bahan organik
sebagai sumber karbon
b. 2. Berdasarkan Kebutuhan Energi (Energy Requirements), mikroorganisme terdiri atas
2 (dua) jenis mikroorganisme yaitu : Phototrophs organisms, adalah mikroorganisme
yang menggunakan sinar/lampu (light) sebagai sumber energi, dan Chemotrophs
organisms adalah mikroorganisme yang mempergunakan hasil reaksi oksidasi-reduksi
sebagai sumber energi. Chemotrophs organisms terdiri dari 2 (dua) jenis
Chemoorganotrophs organisms yaitu mikroorganisme yang mempergunakan molekul
organik komplek sebagai pendonor elektronnya dan Chemoautotrophs organisms yaitu
mikroorganisme yang mempergunakan molekul organik sederhana seperti Hidrogen
sulfida (H2S) atau Amonia (NH3) sebagai pendonor elektronnya.
c. 3. Berdasarkan Rentang Temperatur (Temperature Range), mikroorganisme dibagi
menjadi 3 (tiga) jenis mikroorganisme yaitu : Psychrophilic organisms, adalah
mikroorganisme yang dapat hidup optimal pada rentang temperatur 15-30 C, Mesophilic
organisms adalah mikroorganisme yang dapat hidup optimal pada rentang temperatur 30-
45 C, dan Thermophilic organisms adalah mikroorganisme yang dapat hidup optimal
pada rentang temperatur 45-70 C,
d. 4. Berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Oxygen Requirements), mikroorganisme terdiri
atas  2 (dua) jenis mikroorganisme yaitu : Aerobes organisms, adalah mikroorganisme
yang hidupnya tergantung pada ketersediaan oksigen dan Anaerobes organisms adalah
mikroorganisme yang hidupnya tidak tergantung pada keberadaan oksigen
e. Facultative organisms, merupakan mikroorganisme yang bisa mempergunakan
komponen oksigen atau komponen kimia lainnya dalam hidupnya (pertumbuhan).

Adapun hal – hal mengenai degradasi lemak, protein dan karbohidrat menurut Hayati, 2013
adalah :

1. Biodegradasi Protein
Unsur kimia utama protein terdiri dari C, H, O dan N. Maka berdasarkan
penyusunnya protein dapat diartikan Polimer dari beberapa asam amino (+/- 20 macam) yang
terhubung dengan suatu ikatan yang disebut dengan ikatan peptida, sehingga protein disebut
juga dengan ikatan Polipeptida (ikatan yang terdiri dari peptida-peptida). Atau protein terdiri
dari karboksil dan Amino, sehingga protein terdiri dari asam-asam amino. Bau busuk timbul
karena pemecahan dari bahan organik yang mengandung Nitrogen (peptida dan asam amino).
Koagulasi protein yang dapat mempercepat pembusukan. Contoh bakteri yang bersifat
proteolitik adalah jenis: Bacillus, Clostridium, Pseudomonas dan Proteus.

2. Biodegradasi Lemak
Lemak merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air akan tetapi larut dalam
pelarut organik. Lemak disintesa dari 1 molekul gliserol dan 3 molekul asam lemak.
Sehingga dalam perombakannya lemak akan dirombak menjadi gliserol dan asam-asam
lemak. Jenis mikroba yang bersifat lipolitik Contoh bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, dan
Stapylococcus. Kapang: Rhizopus, Geotrichum, Aspergillus dan Penicillium Khamir:
Candida, Rhodotarula, Hansemula.

3. Biodegradasi Karbohidrat
Molekul Karbohidrat terdiri dari atom-atom C, H dan O
Karbohidrat terdiri dari senyawa-senyawa, yaitu: monosakarida, oligosakarida dan
polisakarida, dalam pemecahannya Karbohidrat akan dirombak menjadi senyawa sederhana
atau monosakarida (Gula). Mikroorganisme yang bersifa Amilolitik terutama beberapa jenis
kapang dan beberapa jenis bakteri. Contoh bakteri pemecah pati: Bacillus subtilis. Contoh
kapang pemecah pati Aspergillus niger.

DAPUS:
Setyobudiarso, Hery, 2012. Penurunan COD,TSS dan Warna Limbah Cair Rumah Potong
Hewan (RPH) Menggunakan Anaerobic Baffled Reactor (ABR). FTSP ITN-MALANG.

Hayati, Nurul, 2013. Biodegradasi Protein, Lemak dan Karbohidrat. Kimia Organik 2.
6. Teknologi pengolahan limbah RPH
Adapun teknologi pengolahan limbah yang dapat diterapkan untuk mengolah limbah
rumah potong hewan adalah:
a. Pengenceran (dilution)
Yakni air buangan diencerkan terlebih dahulu sampai mencapai konsentrasi yang cukup
rendah, kemudian baru dibuang ke badan air. Pada keadaan tertentu dilakukan proses
pengolahan sederhana terlebih dahulu seperti pengendapan dan penyaringan
(Kusnoputranto, 1985).

b. Irigasi luas
Air limbah dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali dan air akan merembes
masuk ke dalam tanah melalui dasar dan dinding parit-parit tersebut. Dalam keadaan
tertentu air buangan dapat digunakan untuk pengairan ladang pertanian atau perkebunan
dan sekaligus berfungsi untuk pemupukan (Kusnoputranto, 1985).

c. Kolam oksidasi (Oxidation Ponds/Waste Stabilization Ponds Lagoon)


Merupakan suatu pengolahan air buangan untuk sekelompok masyarakat kecil dan cara
ini terutama dianjurkan untuk daerah pedesaan. Prinsip kerjanya adalah memanfaatkan
pengaruh sinar matahari, ganggang (algae), bakteri dan oksigen dalam proses
pembersihan alamiah. Air buangan dialirkan ke dalam kolam besar berbentuk persegi
panjang dengan kedalaman 1-1,5 meter. Dinding dan lapisan kolam tidak perlu diberi
lapisan apapun. Luas kolam tergantung pada jumlah air buangan yang akan diolah,
biasanya digunakan luas 1 acre (= 4072 m2) untuk 100 orang (Kusnoputranto, 1985) .

d. Pengolahan Primer dan Sekunder


Merupakan cara pengolahan air buangan yang lebih kompleks dan lengkap yaitu
pengolahan secara fisik dan mekanik (primer) dan secara biologis (sekunder) terutama di
daerah perkotaan dan umumnya air buangan dari segala jenis, baik yang berasal dari
rumah tangga, kota praja maupun industri (Said, 2007).
Gambar 1. Pengolahan Primer Sekunder Limbah RPH

e. Tegnologi Bersih
Pengelolaan limbah dengan pendekatan produksi bersih di industri menunjukkan dengan
jelas adanya pergeseran posisi dari biaya ke penghematan, dari parsial ke terintegrasi, dari
inefisien ke efisiensi, dari teknologi pencemar ke Teknologi Produksi  Bersih. Teknologi
Produksi Bersih sebagai salah satu alternatif solusi untuk mengantisipasi limbah di RPH
Cakung dilakukan dengan pendekatan yang meliputi (Anonim, 2011):
     Pengurangan limbah pada sumbernya
    Pendayagunaan  limbah dengan memanfaatkan hasil sampingnya
 Pengurangan Limbah Pada Sumbernya
 Pendayagunaan limbah dengan memanfaatkan hasil sampingnya
Adapun mekanisme tegnologi bersih:
Sumber:

Anonim, 2011. Penerapan Tegnologi Bersih di Rumah Potong Hewan.


http://produksibersih.wordpress.com/tag/rumah-potong-hewan/ . diakses: 19 Oktober
2011 Pukul 15.00 WIB.

Kusnoputranto, H. 1985. Kesehatan Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Said, Nusa Idaman. 2007. Instalansi Pengolahan Limbah Rumah Potong Hewan Kapasitas
400 M3 per Hari. Direktorat Tegnologi Lingkungan. Jakarta.

7. Hasil dari Pengolahan Limbah


Pendayagunaan limbah adalah teknik pengelolaan limbah hasil proses industri dengan
cara memanfaatkan hasil produk atau hasil sampingnya dalam berbagai bentuk/cara seperti
limbah di gunakan sebagai bahan baku proses produksi lain menjadi suatu produk yang
bermanfaat. RPH pada umunya dalam pendayagunaan limbah cair dan limbah padatnya
menggunakan cara  biologi, karena diharapkan akan adanya pemanfaatan limbah cair yang
dapat digunakan sebagai energi alternatif serta dihasilkannya kompos dari proses limbah
padat.
            Proses pendayagunaan limbah cair RPH dilakukan secara biologi   dengan sistem
anaerobik menggunakan reaktor tipe Fixed Bed. Proses dimulai dimulai dengan pemisahan
limbah padat yang kasar dengan menggunakan penyaring otomatis dengan tujuan untuk
melindungi pompa dari padatan kasar yang mungkin akan menyumbat pompa. Limbah cair
yang keluar dari saringan kasar dialirkan langsung menuju penampung  dan selanjutnya
dialirkan ke atas saringan halus. Limbah cair yang keluar dari saringan dialirankan menuju
tangki pencampuran dan penyimpanan, sedangkan limbah padat yang terbuang ditampung
pada tempat penampungan.
Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa  ke dalam tangki
pengendapan/sedimentasi. Endapan lumpur padatan organik dipompa ke penampung lumpur
yang lebih padat Limbah cair yang sudah dipisahkan akan dialirkan  ke dalam dua unit Fixed
Bed reaktor pengolahan limbah cair anaerobik melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan
anaerobik ini adalah untuk mendegradasi bahan  organik di limbah cair dan merubah bahan
organik yang terdegradasi menjadi biogas. Kemudian gas yang dihasilkan oleh proses reaktor
anaerobik disimpan dalam penampungan gas, pengisian gas akan dilakukan secara otomatis
dengan sistim tekanan yang kemudian dialirkan untuk menjalankan generator dengan tenaga
listrik kurang lebih 70 KW, diperkirakan akan dihasilkan gas sebanyak 757 m 3 per hari
dengan kandungan gas metana 76,5 %. Energi yang dihasilkan dalam bentuk biogas akan
digunakan energi listrik untuk menjalankan keseluruhan proses pendayagunaan limbah cair
dan limbah padat.

Gambar 2. Skema Diagram Alir dari Limbah Cair dan Limbah Padat.

           
Gambar 3. Tangki pencampuran dan sedimentasi awal sebelum limbah cair dimasukkan ke 
reaktor anaerobik.
Biogas yang dihasilkan dari Fixed Bed digester digunakan untuk memproduksi listrik
dengan menggunakan generator. Mesin tersebut berjalan bersamaan dengan jaringan listrik
PLN. Kapasitas maksimum adalah 45 kW, generator di atur menjadi 35 kW pada saat tes
dilakukan. Mesin yang digunakan adalah Gas Otto Engine yang hanya dijalankan
menggunakan biogas tanpa menggunakan bahan baker disel.
Sedangkan untuk limbah padat yang berasal dari penampung isi rumen dimasukkan
kedalam screw press untuk dikurangi airnya, kemudian padatannya dibawa oleh wheel loader
menuju tempat penampungan sementara, sedangkan limbah padat yang berasal dari kandang
yang berupa kotoran dan sisa pakan dikumpulkan untuk dibawa ke tempat penampung
sementara.
Demikian pula dengan lumpur hasil proses limbah cair dibawa ketempat
penampungan sementara dan didiamkan selama 7 hari, dari tempat penampungan sementara
limbah padat tersebut dibawa ke ruang pengkomposan untuk diproses selama 35 hari dengan
proses pembalikan  dua kali setiap minggumya. Hasil proses pengkomposan selama kurang
lebih 42 hari kemudian dibawa ke tempat penyaringan untuk dilakukan proses penyaringan
sehingga dihasilkan kompos halus dan kompos kasar yang kemudian dikemas sesuai ukuran
kantong dan dibawa menuju gudang kompos.
Kompos yang dihasil dari RPH diperkirakan akan menghasilkan sebanyak 7 ton per
harinya dengan jumlah 70 % kompos halus  dan 30 % kompos kasar. Produk yang dihasilkan
berupa kompos yang berkualitas tinggi dan bernilai ekonomis, karena mengandung unsur
hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kompos sejenisnya, bebas bibit gulma, bebas dari
bahan beracun dan berbahaya, tersedia dalam berbagai ukuran dan siap pakai.  
Bilamana lumpur limbah tidak dapat dimanfaatkan untuk membuat kompos, maka
lumpur yang dipadatkan dikembalikan ketempat pengeringan Lumpur, sedangkan air
rembesan dialirkan kembali ke tangki air limbah didepan. Pengolahan limbah padat menjadi
kompos menggunakan sistem Open Windraw, pada minggu pertama dilakukan pengumpulan
dan proses pembusukan pendahuluan di interim store . Setelah 6 (enam) sampai 7 (tujuh)
minggu dalam proses pengomposan dengan penambahan sludge dari proses pengolahan
limbah cair, kompos dapat dianggap sudah matang. Hasil kompos yang telah matang
kemudian disaring dengan saringan 10, 15 dan 25 mm. Selama proses pengomposan
dilakukan pembalikan 2(dua) kali dalam semimggu, selain itu temperature akan naik
mencapai 60 oC dan waktu tinggal temperature yang agak lama akan menginaktifkan bakteri
pathogen, parasit dan mematikan bibit rumput. Hasil produksi pupuk dari pengolahan limbah
padat adalah 744 ton/tahun.

Dapus:

Feasibility Study On A Full Scale System For Treatment Of Liquid and Solid Slaughterhouse
Wastes.Weiland . P. Development of Anaerobic Filters for Treatment of High Strength Agro
Industrial Waste Waters. Bio Process Engineering 2 Springer-Verlag.
1987.                                                                                                                           
REFERENSI TAMBAHAN TENTANG LIMBAH TERNAK DAN BIOGAS

Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha
pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dan lain-lain. Limbah
tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urin, sisa makanan, embrio, kulit
telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain. Semakin
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.

Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe
usaha dan lantai kandang. Manure yang terdiri dari feses dan urin merupakan limbah ternak
yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia
seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan
ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi
menghasilkan 25 kg feses .

Selain menghasilkan feses dan urin, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan
gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung
jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon. Kontribusi emisi metan dari
peternakan mencapai 20 – 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di Indonesia,
emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan
yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin
tinggi produksi metan .

Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong
kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai
pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badannya
5000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 107 m3 air. Selain
melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai
media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan
media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara
kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat .

Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran yaitu
dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang paling
hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3,
jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan
(3000 mg/m3).

Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya
kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik,
dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai
akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil
proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya
kehidupan biota air.

Tinja dan urin dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya
saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores.Spora anthrax dapat
tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora.
Dampak limbah ternak memerlukan penanganan yang serius. Skema berikut ini
(Gambar 1) memberi gambaran akibat yang ditimbulkan oleh limbah secara umum dan
manajemennya .

Penanganan Limbah Ternak

Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana
pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan
limbah. Penanganan limbah padat dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan
atau menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan ini
akan mempercepat proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang
dihasilkan. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa waktu sampai kira-kira terlihat
kering. Proses pembuatan kompos seperti ini menyebabkan gas metan yang terbentuk
dibrbaskan ke atmosfer.

Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisik
disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini merupakan proses termurah
dan termudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi.Metode ini hanya
digunakan untuk memisahkan partikel-partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan
yang termasuk dalam pengolahan secara fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.

Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang
bisanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik.Metode ini
umumnya digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam
limbah cair menjadi padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi,
flokulasi, koagulasi, dan ekstrasi.

Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahan-
bahan organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung
bahan organik saja dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung
digunakan atau didahului denghan pengolahan secara fisik.
Pemanfaatan Limbah Ternak

Berbagai manfaat dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat
diperbaharui (renewable) selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau
zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat
makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral,
mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified substances).Limbah ternak dapat
dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi (biogas) dan media
berbagai tujuan. Pada makalah ini dibahas pemanfaatan limbah kotoran ternak ruminansia
manjadi biogas saja, tanpa mengesampingkan manfaat lain yang dapat diambil.

Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan


menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang
dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk
menghasilkan bahan bakar biogas. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan
khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi
untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu
pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup
tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa,
18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen,
27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K.

Pembentukan biogas dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga
tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis
terjadi pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang
komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer.

Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada
tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam.Produk akhir dari
gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat, propionat, format, laktat,
alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amoniak. Sedangkan pada
tahap metanogenik adalah proses pembentukan gas metan. Sebagai ilustrasi dapat dilihat
salah satu contoh bagan perombakan serat kasar (selulosa) hingga terbentuk biogas (Gambar
2).
Biogas adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan
hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas
metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2). Biogas memiliki nilai kalor yang cukup tinggi,
yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor
8900 kkal/m3. Produksi biogas sebanyak 1275-4318 l dapat digunakan untuk memasak,
penerangan, menyeterika dan menjalankan lemari es untuk keluarga yang
berjumlah lima orang per hari.

Jika ditinjau dari kandungan bahan yang terdapat pada limbah ternak ruminansia
maka proses pembuatan biogas dapat dilihat pada diagram berikut

Gambar 3. Diagram Pembuatan Biogas Berdasarkan Kandungannya

Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah terbukti dalam penelitian
ketika diproses dalam alat penghasil biogas (digester) menghasilkan biogas yang sangat
memuaskan(Harahap et al., 1980). Perbandingan kisaran komposisi gas dalam biogas antara
kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi gas dalam biogas (%) antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak
dengan sisa pertanian(Harahap et al., 1980).

Proses pembuatan biogas ini dilakukan secara biologis dengan memanfaatkan sejumlah
mikroorganisme anaerob. Bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam tahap-tahap proses
pembuatan biogas antara lain :

1. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa organik menjadi
senyawa yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik, CO2, H2, H2S.

2. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik, dan senyawa
netral yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan hidrogen.
3. Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asam-asam lemak
dan alkohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri pembentuk metan antara lain
Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanosarcina.

Adapun proses pembuatan biogas adalah sebagai berikut. Bahan organik dimasukkan ke
dalam digester, sehingga bakteri anaerob akan membusukkan bahan organik tersebut yang
selanjutnya akan menghasilkan gas yang disebut biogas. Biogas yang telah terkumpul di
dalam digester lalu dialirkan melalui pipa penyalur gas menuju tangki penyimpan gas atau
langsung ke lokasi penggunaannya, misalnya kompor atau lampu.

Jenis limbah ternak ruminansia yang diproses sangat mempengaruhi produktivitas sistem
biogas. Selain itu limbah ternak ruminansia yang diproses menjadi biogas memerlukan
persyaratan dasar tertentu, yaitu persyaratan tertentu yang menyangkut:

1. Kandungan atau isi yang terkandung dalam bahan.

Salah satu cara untuk menentukan bahan organik yang sesuai untuk digunakan sebagai bahan
sistem biogas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon (C) dan Nitrogen (N) atau
disebut rasio C/N. Perubahan senyawa organik dari limbah ternak ruminansia menjadi
CH4 (gas metan) dan CO2 (gas karbon dioksida) memerlukan persyaratan rasio C/N antara 20
– 25. Sehingga kalau menggunakan limbah ternak ruminansia hanya berbentuk jerami dengan
rasio-C/N di atas 65, maka walaupun CH 4 dan CO2 akan terbentuk, perbandingan CH4 :
CO2 = 65 : 35 tidak akan tercapai. Mungkin perbandingan tersebut bernilai 45 : 55 atau 50 :
50 atau 40 : 60 serta angka-angka lain yang kurang dari yang sudah ditentukan, maka hasil
biogasnya akan mempunyai nilai bakar rendah atau kurang memenuhi syarat sebagai bahan
energi.

Juga sebaliknya kalau limbah ternak ruminansia yang digunakan berbentuk kotoran saja,
semisal dari kotoran kambing dengan rasio C/N sekira 8, maka produksi biogas akan
mempunyai bandingan antara CH4 dan CO2 seperti 90 : 10 atau nilai lainnya yang terlalu
tinggi. Dengan nilai ini maka hasil biogasnya juga terlalu tinggi nilai bakarnya, sehingga
mungkin akan rnembahayakan pengguna.

Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu rasio C/N terlalu tinggi atau terlalu rendah akan
mempengaruhi proses terbentuknya biogas, karena ini merupakan proses biologis yang
memerlukan persyaratan hidup tertentu, seperti juga manusia.

2. Kadar air

Kadar air bahan yang terkandung dalam bahan yang digunakan, juga seperti rasio C/N harus
tepat. Jika hasil biogas diharapkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku, maka semisal
limbah ternak ruminansia yang digunakan berbentuk kotoran kambing kering dicampur
dengan sisa-sisa rumput bekas makanan atau dengan bahan lainnya yang juga kering, maka
diperlukan penambahan air.

Tapi berbeda kalau bahan yang akan digunakan berbentuk lumpur selokan yang sudah
mengandung bahan organik tinggi, semisal dari bekas dan sisa pemotongan hewan
atau manure dari peternakan. Dalam bahannya sudah terkandung air, sehingga penambahan
air tidak akan sebanyak pada bahan yang kering.
Air berperan sangat penting di dalam proses biologis pembuatan biogas. Artinya jangan
terlalu banyak (berlebihan) juga jangan terlalu sedikit (kekurangan), ada perbandingan yang
berpengaruh pada optimalisasi konversi gas metan.

3. Temperatur

Temperatur selama proses berlangsung, karena ini menyangkut kondisi optimal hidup bakteri
pemroses biogas yaitu antara 27° – 28°C. Dengan temperatur itu proses pembuatan biogas
akan berjalan sesuai dengan waktunya. Tetapi berbeda kalau nilai temperatur terlalu rendah ,
maka waktu untuk menjadi biogas akan lebih lama.

4. Bakteri penghasil metan (metanogens)

Kehadiran jasad pemroses, atau jasad yang mempunyai kemampuan untuk menguraikan
bahan-bahan yang akhirnya membentuk CH4 dan CO2. Dalam limbah ternak ruminansia
semisal kotoran kandang, limbah rumah pemotongan ataupun rumput dan jerami, serta
bahan-bahan buangan lainnya, banyak jasad renik, baik bakteri ataupun jamur pengurai
bahan-bahan tersebut didapatkan. Tapi yang menjadi masalah adalah hasil uraiannya belum
tentu menjadi CH4 yang diharapkan serta mempunyai kemampuan sebagai bahan bakar.

Maka untuk menjamin agar kehadiran jasad renik atau mikroba pembuat biogas (umumnya
disebut bakteri metan), sebaiknya digunakan starter, yaitu bahan atau substrat yang di
dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung mikroba metan sesuai yang dibutuhkan.

5. Aerasi

Aerasi atau kehadiran udara (oksigen) selama proses. Dalam hal pembuatan biogas maka
udara sama sekali tidak diperlukan dalam bejana pembuat. Keberadaan udara menyebabkan
gas CH4 tidak akan terbentuk. Untuk itu maka bejana pembuat biogas harus dalam keadaan
tertutup rapat.

Masih ada beberapa persyaratan lain yang diperlukan agar hasil biogas sesuai dengan yang
diharapkan semisal, pengadukan, pH dan tekanan udara. Tetapi kelima syarat tersebut sudah
merupakan syarat dasar agar proses pembuatan biogas berjalan sebagaimana mestinya.

Digester (bio reaktor)

Bahan yang dapat digunakan untuk membuat digester, alat atau bejana pembuat dan
penampung biogas, juga tidak perlu dari bahan yang mahal atau sukar untuk didapatkannya.
Drum bekas asal masih kuat, merupakan bahan yang paling umum dipergunakan. Digester
bentuk bejana dari tembok juga sering digunakan untuk proses pembuatan biogas yang lebih
besar kapasitasnya. Bahan plastik juga bias dijadikan digester tapi sebaiknya memakai plastik
polyotilen. Bahan-bahan yang lain juga bisa dipakai asal kedap udara.

Membuat biogas bukan semata-mata tergantung kepada bahan yang dipergunakan, kepada
alat atau bejana yang digunakan, tetapi juga masih ada faktor-faktor lain yang menyertainya,
yang langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil.

Misalnya kita sudah memasukkan bahan-bahan yang diperlukan dalam bejana pembuat yang
disertai dengan starter yang dibutuhkan. Tetapi ternyata beberapa hari kemudian, tekanan
bejana penampung hasil tidak naik-naik. Kalau hal ini terjadi ada dua kemungkinan
penyebabnya. Pertama bejana penampung hasil bocor, hingga secepatnya harus dicari dan
ditambal atau proses pembuatan biogas tidak berjalan.

Berikut adalah gambar rangkaian alat penghasil biogas yang lebih modern.

Gambar 4 Rangkaian Alat Pembuatan Biogas Modern

Keamanan

Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat tinggi dan cepat
daya nyalanya. Karenanya sejak biogas berada pada bejana pembuatnya sampai digunakan
untuk penerangan ataupun memasak, harus selalu dihindari kehadirannya dari api yang dapat
menyebabkan kebakaran atau ledakan. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan terjadinya
kebocoran pada peralatan yang tidak diketahui.

Sifat cepat menyala biogas, juga merupakan masalah tersendiri. Artinya dari segi
keselamatan pengguna. Sehingga tempat pembuatan atau penampungan biogas harus selalu
berada jauh dari sumber api yang kemungkinan dapat menyebabkan ledakan kalau
tekanannya besar. Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya setiap digester atau penampung
gas metan dilengkapi dengan pengukur tekanan sehingga dapat memperkecil resiko
terjadinya kecelakaan atau ledakan.

Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti gas-gas mudah terbakar
yang lain. Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya dengan sebagian oksigen
(O2). Namun demikian, untuk mendapatkan hasil pembakaran yangoptimal, perlu dilakukan
pra kondisi sebelum biogas dibakar yaitu melalui proses pemurnian /penyaringan karena
biogas mengandung beberapa gas lain yang tidakmenguntungkan. Sebagai salah satu contoh,
kandungan gas hidrogen sulfida yang tinggi dalam biogas, jika dicampur dengan oksigen
dengan perbandingan 1:20, makaakan menghasilkan gas yang sangat mudah meledak. Tetapi
sejauh ini belum pernah dilaporkan terjadinya ledakan pada sistem biogas sederhana.

Limbah Biogas

Limbah biogas, yaitu kotoran ternak yang telah hilang gasnya (slurry) merupakan
pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan olehtanaman. Bahkan,
unsur-unsur tertentu seperti protein, selulose, lignin, dan lain-lain tidak bisa digantikan oleh
pupuk kimia. Bahan pembuat biogas juga merupakan bahan organik berkandungan nitrogen
tinggi. Selama proses pembuatan kompos yang akan keluar dan tergunakan adalah unsur-
unsur C, H, dan 0 dalam bentuk CH4 dan CO2. Karenanya nitrogen yang ada akan tetap
bertahan dalam sisa bahan, kelak menjadi sumber pupuk organik.
Pupuk organik yang dihasilkan dari memiliki kualitas yang baik, yang merupakan sisa
proses fermentasi untuk mendapatkan biogas, dikarenakan bakteri patogen dan biji tanaman
gulma dalam kotoran ternak menjadi mati selama proses fermentasi, dan pupuk kandang
tersebut langsung dapat digunakan sebagai pupuk terhadap tanaman.

Anda mungkin juga menyukai