Anda di halaman 1dari 16

ASPERGILOSIS

Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di materi organik.


Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia
ialah Aspergillus fumigatus dan Aspergillus niger, kadang kadang bisa juga akibat Aspergillus
flavus dan Aspergillus clavatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi.

Aspergillus dapat menyebabkan spektrum penyakit pada manusia, bisa jadi akibat
reaksi hipersensitivitas hingga bisa karena angioinvasi langsung. Umumnya Aspergillus akan
menginfeksi paru-paru, yang menyebabkan empat sindrom penyakit, yakni Allergic
Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA), Chronic Necrotizing Pneumonia Aspergillosis
(CNPA), Aspergiloma, dan Aspergilosis invasif. Pada pasien yang imunokompromais
aspergilosis juga dapat menyebar ke berbagai organ menyebabkan endoftalmitis, endokarditis,
dan abses miokardium, ginjal, hepar, limpa, jaringan lunak, hingga tulang.

ABPA merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap kolonisasi aspergilosis di daerah


pohon trakeobronkial dan terjadi berkaitan dengan asma dan fibrosis kistik. Pada sinusitis alergik
akibat jamur juga dapat terjadi sendiri atau bersama dengan ABPA. Adapun aspergiloma
merupakan fungus ball (misetoma) yang terjadi karena terdapat kavitas di parenkim akibat
penyakit paru sebelumnya. Penyakit yang mendasarinya bisa berupa TB (paling sering) atau
proses infeksi dengan nekrosis, sarkoidosis, fibrosis kistik, dan bula emfisema. Fungus ball ini
dapat bergerak di dalam kavitas tersebut namun tidak menginvasi dinding kavitas. Adanya
fungus ball menyebabkan terjadinya hemoptisis yang berulang.

CNPA merupakan proses subakut yang biasanya terdapat pada pasien imunosupresi,
terutama berkaitan dengan penyakit paru sebelumnya, alkoholisme, atau terapi kortikosteroid
kronik. Sering kejadian ini terlewat karena sulit dikenali hingga akhirnya terbentuk infiltrat paru
dengan kavitas. Aspergilosis invasis juga terjadi karena imunosupresi dengan gejala progresif
yang cepat dan fatal meliputi invasi ke pembuluh darah dengan berakibat infiltrat multifokal
yang lebar dan berkavitas di sekitar pleura, menjalar hingga ke sistem saraf. Status imunosupresi
yang sering menyebabkan aspergilosis invasif ialah AIDS, penyakit granulomatosa kronik,
netropenia, tranplantasi sumsum tulang atau organ padat.
PATOFISIOLOGI ASPERGILOSIS

Empat macam klasifikasi klinis aspergilosis memiliki patofisiologi yang berbeda sesuai
jenisnya. Hifa jamur aspergillus memiliki bentuk yang berbeda dibanding jamur lainnya. Dengan
pewarnaan perak, akan terlihat hifanya bercabang 450 yang tumbuh pesat pada suhu tubuh
normal manusia. Sistem imun alamiah akan berusaha menyingkirkan spora mulai dari lapisan
mukosa dan gerakan silia pada saluran pernapasan. Selanjutnya, jika spora sudah terlanjur
masuk, akan ada perlawanan dari makrofag dan netrofil melalui fagositosis. Beberapa spesies
Aspergillus memproduksi metabolit toksin yang menghambat proses fagositosis ini.
Kortikosteroid (terutama pada penderita asma) juga akan melemahkan proses fagositosis ini.
Keadaan imunosupresi lainnya (mis. AIDS, penyakit granulomatosa kronik, imunosupresi
farmakologis) juga menyebabkan disfungsi atau menurunkan jumlah netrofil. Pada pasien
imunokompromais, invasi vaskular lebih sering terjadi dan menyebabkan infark, perdarahan,
serta nekrosis jaringan paru. Individu dengan CNPA umumnya akan mengalami pembentukan
granuloma dan konsolidasi alveolar yang di sela-selanya terdapat hifa.

ABPA terjadi karena terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap A. fumigatus akibat


pemakaian kortikosteroid terus menerus. Akibatnya akan terjadi produksi mukus yang berlebih
karena kerusakan fungsi silia pada saluran pernapasan. Mukus ini berbentuk sumbatan yang
mengandung spora A. fumigatus dan eosinofil di lumen saluran napas. Akan terjadi presipitasi
antibodi IgE dan IgG melalui reaksi hipersensitivitas tipe I menyebabkan deposit kompleks imun
dan sel-sel inflamasi di mukosa bronkus. Deposit ini nantinya akan menghasilkan nekrosis
jaringan dan infiltrat eosinofil (reaksi hipersensitivitas tipe III) hingga membuat kerusakan
dinding bronkus dan berakhir menjadi bronkiektasis. Tak jarang ditemui spora pada mukus
penderita aspergilosis paru.

Pada aspergilloma terdapat kolonisasi nonivasif karena di parenkim paru sudah


terdapat kavitas, kista, bula, atau bronkus yang mengalami ektasis. Penyebab yang paling sering
ialah tuberkulosis, sarkoidosis, dan bronkiektasis. Penyebab lainnya bisa berupa fibrosis kistik,
spondilitis ankilosa, kista bronkogenik, pneumonokoniasis, sekuestrasi pulmonal, keganasan
dengan kavitas, dan pneumatokel akibat sekunder pneumonia akibat Pneumocystis carinii.
Secara histologis, aspergiloma merupakan gambaran dari adanya fungus ball (misetoma), yakni
sebuah konglomerasi seperti massa dari hifa yang tumpang tindih dengan fibrin, debris selular,
mukus, dan produk darah lainnya. Misetoma ini dapat mengalami kalsifikasi menjadi gambaran
amorf atau seperti cincin dari foto toraks. Lebih dari setengan pasien aspergiloma akan
mengalami peningkatan presipitin serum.

CNPA atau aspergilosis semiinvasif terjadi pada status imunokompromais sedang,


terutama pada penyakit yang berlangsung kronik, terutama Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Penyakit lain yang telah diketahui menjadi faktor predisposisi ialah alkoholisme, lanjut
usia, dan penggunaan steroid berkepanjangan. Terbentuk kavitas secara perlahan namun
progresif di lobus atas paru yang menyebabkan bronkiolitis dan bronkopneumonia. Secara
radiologis konsolidasi ini akan sangat mirip dengan proses spesifik TBC. Namun secara
histologis akan terlihat proliferasi organisme di ruang interalveolar, perdarahan intraalveolar, dan
invasi dinding bronkial yang menyebabkan nekrosis jaringan dengan pembentukan mikoabses.

Adapun aspergilosis invasif relatif umum terjadi pada pasien dengan status
imunokompromais berat, terutama AIDS dan transplantasi organ. Spora jamur akan
berproliferasi di saluran udara paru dan pada keadaan imunokomprais berat spora akan masuk ke
pembuluh darah transbronkial menyebabkan infark hemoragik. Di area ini akan terbentuk kavitas
yang mengandung sekuestrum paru yang terinfeksi, terlihat sangat mirip misetoma. Jamur ini
juga dapat menyebar secara sistemik dan potensial merusak jantung, otak, ginjal, hepar, limpa,
tiroid, dan saluran pencernaan.

TANDA DAN GEJALA

ABPA merupakan sindrom yang sering terjadi pada pasien asma dan fibrosis kistik
sehingga bermanifestasi dengan demam dan infiltrat paru yang tidak responsif dengan terapi
antibakterial. Penderita mengeluh batuk produktif dengan gumpalan mukus yang dapat
membentuk kerak di bronkus., kadang menyebabkan hemoptisis. ABPA juga bisa terjadi
berbarengan dengan sinusitis fungal alergik, dengan gejala sinusitis di dalamnya dengan drainase
sinus yang purulen.

Aspergiloma bisa juga tidak menimbulkan gejala klinis tertentu selain penyakit utama
yang mendasarinya, yakni TBC, sarkoidosis, atau proses nekrosis lain di paru. Pada pasien HIV
aspergiloma dapat terjadi pada area yang berkista akibat infeksi pneumonia Pneumocystis
carinii. Dari semua pasien aspergiloma, 40-60%nya akan mengalami hemoptisis yang masif dan
mengancam nyawa. Kadang-kadang aspergiloma juga dapat menyebabkan batuk-batuk dan
ddemam berkepanjangan.

CNPA bermanifestasi sebagai pneumonia subakut yang tidak responsif terhadap terapi
antibiotik normal, sehingga menyebabkan kavitas selama berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan. Seperti tipe aspergilosis lainnya, pasien dengan CNPA memiliki penyakit tertentu yang
mendasarinya, yakni PPOK atau alkoholisme, dengan gejala yang meliputi demam, batuk,
keringat malam, dan penurunan berat badan. Umumnya pasien yang menggunakan antibiotik
atau antituberkulosis berkepanjangan tanpa respon pengobatan yang baik dapat menyebabkan
paru menjadi rusak, nekrosis, hingga akhirnya terbentuk CNPA.

Terakhir, aspergilosis invasif mengalami gejala yang sangat bervariasi, yakni demam,
batuk, sesak napas, nyeri pleura, dan kadang-kadang menimbulkan hemoptisis pada pasien
dengan prolong neutropenia atau keadaan imunosupresi. Transplantasi organ yang paling sering
menimbulkan aspergilosis ialah transplantasi sumsum tulang. Namun kadang aspergilosis juga
ditemui pada pasien transplantasi organ padat semisal paru-paru, jantung, dan hepar. Sedangkan
pasien leukemia dan limfoma sangat berpotensi mendapat aspergilosis karena terinduksi
kemoterapi. Pascakemoterapi akan terjadi prolong neutropenia dengan gejala demam dan
infiltrat di paru meskipun sudah dibom antibiotik. Dari CT-scan dan radiografi akan terlihat pola
yang khas, yakni nodul, infiltrat dengan kavitas, serta infiltrat.

Secara umum gejala klinis aspergilosis tidak ada yang khas, pasien ABPA mungkin
akan mengalami demam, batuk berdahak, dengan mengi pada auskultasi. Pasien dengan
aspergilosis invasif dan CNPA selain mengalami demam juga sering batuk berdahak. Khusus
pengidap aspergilosis invasif akan mengalami takipneu dan hipoksemia berat. Penderita
aspergiloma akan mengalami gejala sesuai penyakit yang mendasarinya, namun gejala yang
paling sering ialah hemoptisis. Secara umum, gejala klinis dan hasil lab semua jenis aspergilosis
akan sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

PENGOBATAN ASPERGILOSIS
Prinsip pengobatan aspergilosis ialah menghilangkan jamur dan sporanya dari tubuh
penderita. Namun secara garis besar penatalaksanaannya dibagi menjadi dua kelompok
berdasarkan penyebabnya; pengobatan CNPA dan aspergilosis invasif berbeda dengan
aspergiloma dan ABPA.

Aspergilosis invasif merupakan penyakit sistemik akibat imunosupresi, sehingga


kemunculannya bisa diantisipasi. Jika terdapat pasien HIV, leukemia, limfoma, atau pasien
pascatranplantasi, perlu diberikan antijamur sebagai profilaksis. Saat ini antijamur pilihan yang
dianjurkan ialah Voriconazole, sementara beberapa tahun silam masih dianjurkan untuk
memakai Amfoterisin B. Voriconazole relatif lebih aman karena toleransi yang lebih baik
dibanding Amfoterisin. Namun untuk keadaan mukormikosis, amfoterisin tetap diberikan karena
Voriconazole tidak efektif terhadap mucor. Pasien yang sudah resisten dengan Voriconazole
dapat diberikan Caspofungin. Derivat azol dan amfoterisin tidak direkomendasikan untuk
dikombinasi karena azol akan menghambat absorpsi amfoterisin. Namun kombinasi sesama azol
(mis. Voriconazole dengan Itraconazole atau Fluconazole) layak diberikan untuk pasien yang
sudah resisten dengan antijamur. Pemberian antijamur ini akan lebih efektif jika dibarengi
dengan perbaikan status imunokompromais, misalnya dengan pemberian growth factor.

Terapi yang tepat untuk aspergiloma ialah simtomatik, yakni mengurangi hemoptisis.
Namun terapi kausal yang tepat untuk aspergiloma ialah dengan pembedahan. Dengan
lobektomi, kavitas yang berisi aspergiloma dapat dihilangkan dengan mudah. Namun toleransi
pembedahan toraks sangat ketat sehingga sering ditunda karena fungsi paru penderita sudah jauh
berkurang. Akhirnya, untuk aspergiloma pun digunakan itraconazole oral dengan angka
kesembuhan hingga 60%. Tindakan lain yang dapat dilakukan ialah embolisasi arteri bronkial
untuk mencegah hemoptisis yang terlalu masif, namun memerlukan keahlian yang sangat tinggi
dari radiologis dengan panduan CT-scan karena arteri bronkial bercabang menjadi arteri spinalis,
sehingga dikhawatirkan terjadi komplikasi neurologis.

Penderita ABPA diobati sesuai proses penyakitnya, karena ABPA terjadi akibat proses
hipersensitivitas, maka respon alergi harus dikurangi. Meskipun ABPA terjadi karena pemakaian
kortikosteroid terus-menerus, namun pengobatannya juga menggunakan kortikosteroid, namun
dengan oral, bukan lagi inhalasi. ABPA yang kronik memerlukan antijamur semisal itraconazole
yang dapat mempercepat hilangnya infiltrat. ABPA yang berbaerngan dengan sinusitis alergik
fungal memerlukan tindakan operasi jika terdapat polip obstruktif. Kadang-kadang dapat juga
dibilas dengan amfoterisin untuk mempercepat peyembuhan.

Pengobatan CNPA terdiri dari terapi dengan voriconazole, atau bisa juga dengan
itraconazole, caspofungin, atau keluarga amfoterisin. Jika respon antijamur sangat kurang, terapi
CNPA ialah dengan pembedahan paru. Pembedahan ini ditujukan untuk lesi yang terlokalisasi
yang tidak respon dengan antijamur, apalagi jika telah dibarengi dengan hemoptisis dan
sumbatan mukus.

Vaginal candidiasis sensitive terhadap sejumlah antijamur, terutama golongan azol.


Antijamur triazol masih jadi pilihan karena lebih kurang toksik.

Hampir sebagian besar kasus vaginal candidiasis (VC) terjadi karena organisme
candida yang berasal dari tubuh si penderita itu sendiri. Jarang sekali terjadi penularan VC,
semisal melalui hubungan seksual. Dalam keadaan normal, candida biasa bersarang di mulut, sa-
luran gastrointestinal, dan vagina tanpa menimbulkan gejala. Tapi, saat terjadi
ketidakseimbangan, misalnya saat keasaman vagina berubah atau terjadi perubahan
keseimbangan hormonal, candida bisa berkembang secara berlebihan sehingga menimbulkan
gejala. Pada vagina, candida merupakan penyebab iritasi atau vaginitis kedua terbanyak.

Dalam mengobati infeksi VC, penting untuk mempertimbangkan bahwa spesies


candida merupakan dari flora normal. Selain itu, VC juga kerap salah didiagnosis sebagai infeksi
bakteri sehingga diberi antibiotik. Hal ini bisa memperparah kondisi penyakit.

Infeksi VC sensitif terhadap sejumlah besar antijamur. Namun yang paling banyak
digunakan adalah golongan azol, seperti flukonazol. Meski sudah ada laporan resistensi, namun
di Indonesia flukonazol masih efektif dan tetap jadi pilihan. Dulu, ketokonazol merupakan obat
lini pertama untuk VC, tapi saat ini penggunaannya mulai terbatas karena efek samping
hepatotoksik.

Obat antijamur golongan imidazol dan triazol bekerja dengan menghambat enzim
cytochrome P450 14_-demethylase. Enzim ini merubah lanosterol menjadi ergosterol, dan
dibutuhkan untuk sintesis dinding sel jamur. Kelompok imidazol yang biasa digunakan untuk
infeksi VC adalah mikonazol, ketokonazol, dan klotrimazol. Sedangkan anggota kelompok
triazol, lebih baru dan kurang toksik dibandingkan imidazol, yang banyak digunakan untuk
infeksi VC adalah flukonazol dan itrakonazol. Posaconazol dan voriconazol merupakan
golongan triazol yang diindikasikan untuk infeksi candida yang sangat serius (sistemik).

Selain golongan azol, untuk pengobatan infeksi VC juga bisa diberikan antijamur
poliena, semisal nistatin. Seperti amfoterisin B dan natamisin, nistatin terikat dengan ergosterol,
komponen utam membran sel jamur. Saat berada pada konsentrasi yang cukup, nistatin
membentuk inti dalam membran yang mengarah pada K+ leakage dan mematikan jamur.

Ke depan, obat-obat antijamur baru tengah dikembangkan untuk mengobati infeksi VC.
Misalnya saja, golongan echinocandins (caspofungin, micafungin, anidulafungin). Kelompok
obat ini kini tengah dipelajari secara klinis pada pasien anak dan dewasa. Adapun mekanisme
kerja kelompok obat ini adalah dengan mempengaruhi integritas dinding sel dengan menghambat
enzim1,3 beta-glucan synthase.

ASPERGILOSIS

DEFINISI
Aspergilosis merupakan infeksi yang terutama menyerang paru-paru.

Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di materi organik. Meskipun
terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah
Aspergillus fumigatus dan Aspergillus niger, kadang-kadang bisa juga akibat Aspergillus flavus
dan Aspergillus clavatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi.

Aspergillus dapat menyebabkan spektrum penyakit pada manusia, bisa jadi akibat reaksi
hipersensitivitas hingga bisa karena angioinvasi langsung. Umumnya Aspergillus akan
menginfeksi paru-paru, yang menyebabkan empat sindrom penyakit, yakni Allergic
Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA), Chronic Necrotizing Pneumonia Aspergillosis
(CNPA), Aspergiloma, dan Aspergilosis invasif. Pada pasien yang imunokompromais
aspergilosis juga dapat menyebar ke berbagai organ menyebabkan endoftalmitis, endokarditis,
dan abses miokardium, ginjal, hepar, limpa, jaringan lunak, hingga tulang.
ABPA merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap kolonisasi aspergilosis di daerah pohon
trakeobronkial dan terjadi berkaitan dengan asma dan fibrosis kistik. Pada sinusitis alergik akibat
jamur juga dapat terjadi sendiri atau bersama dengan ABPA. Adapun aspergiloma merupakan
fungus ball (misetoma) yang terjadi karena terdapat kavitas di parenkim akibat penyakit paru
sebelumnya. Penyakit yang mendasarinya bisa berupa TB (paling sering) atau proses infeksi
dengan nekrosis, sarkoidosis, fibrosis kistik, dan bula emfisema. Fungus ball ini dapat bergerak
di dalam kavitas tersebut namun tidak menginvasi dinding kavitas. Adanya fungus ball
menyebabkan terjadinya hemoptisis yang berulang.

CNPA merupakan proses subakut yang biasanya terdapat pada pasien imunosupresi, terutama
berkaitan dengan penyakit paru sebelumnya, alkoholisme, atau terapi kortikosteroid kronik.
Sering kejadian ini terlewat karena sulit dikenali hingga akhirnya terbentuk infiltrat paru dengan
kavitas. Aspergilosis invasis juga terjadi karena imunosupresi dengan gejala progresif yang cepat
dan fatal meliputi invasi ke pembuluh darah dengan berakibat infiltrat multifokal yang lebar dan
berkavitas di sekitar pleura, menjalar hingga ke sistem saraf. Status imunosupresi yang sering
menyebabkan aspergilosis invasif ialah AIDS, penyakit granulomatosa kronik, netropenia,
tranplantasi sumsum tulang atau organ padat.

PENYEBAB
Jamur Aspergillus.

Jamur ini biasa ditemukan dalam tumpukan pupuk, di sekeliling rumah, pada makanan dan
dalam tubuh. Beberapa orang akan menunjukkan reaksi alergi bila Aspergillus menyentuh
permukaan tubuhnya, meskipun belum sampai menyusup ke dalam aringan dan menyebabkan
infeksi.

TANDA DAN GEJALA

ABPA merupakan sindrom yang sering terjadi pada pasien asma dan fibrosis kistik sehingga
bermanifestasi dengan demam dan infiltrat paru yang tidak responsif dengan terapi antibakterial.
Penderita mengeluh batuk produktif dengan gumpalan mukus yang dapat membentuk kerak di
bronkus., kadang menyebabkan hemoptisis. ABPA juga bisa terjadi berbarengan dengan sinusitis
fungal alergik, dengan gejala sinusitis di dalamnya dengan drainase sinus yang purulen.

Aspergiloma bisa juga tidak menimbulkan gejala klinis tertentu selain penyakit utama yang
mendasarinya, yakni TBC, sarkoidosis, atau proses nekrosis lain di paru. Pada pasien HIV
aspergiloma dapat terjadi pada area yang berkista akibat infeksi pneumonia Pneumocystis
carinii. Dari semua pasien aspergiloma, 40-60%nya akan mengalami hemoptisis yang masif dan
mengancam nyawa. Kadang-kadang aspergiloma juga dapat menyebabkan batuk-batuk dan
ddemam berkepanjangan.

CNPA bermanifestasi sebagai pneumonia subakut yang tidak responsif terhadap terapi antibiotik
normal, sehingga menyebabkan kavitas selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
Seperti tipe aspergilosis lainnya, pasien dengan CNPA memiliki penyakit tertentu yang
mendasarinya, yakni PPOK atau alkoholisme, dengan gejala yang meliputi demam, batuk,
keringat malam, dan penurunan berat badan. Umumnya pasien yang menggunakan antibiotik
atau antituberkulosis berkepanjangan tanpa respon pengobatan yang baik dapat menyebabkan
paru menjadi rusak, nekrosis, hingga akhirnya terbentuk CNPA.

Terakhir, aspergilosis invasif mengalami gejala yang sangat bervariasi, yakni demam, batuk,
sesak napas, nyeri pleura, dan kadang-kadang menimbulkan hemoptisis pada pasien dengan
prolong neutropenia atau keadaan imunosupresi. Transplantasi organ yang paling sering
menimbulkan aspergilosis ialah transplantasi sumsum tulang. Namun kadang aspergilosis juga
ditemui pada pasien transplantasi organ padat semisal paru-paru, jantung, dan hepar. Sedangkan
pasien leukemia dan limfoma sangat berpotensi mendapat aspergilosis karena terinduksi
kemoterapi. Pascakemoterapi akan terjadi prolong neutropenia dengan gejala demam dan
infiltrat di paru meskipun sudah dibom antibiotik. Dari CT-scan dan radiografi akan terlihat pola
yang khas, yakni nodul, infiltrat dengan kavitas, serta infiltrat.

Secara umum gejala klinis aspergilosis tidak ada yang khas, pasien ABPA mungkin akan
mengalami demam, batuk berdahak, dengan mengi pada auskultasi. Pasien dengan aspergilosis
invasif dan CNPA selain mengalami demam juga sering batuk berdahak. Khusus pengidap
aspergilosis invasif akan mengalami takipneu dan hipoksemia berat. Penderita aspergiloma akan
mengalami gejala sesuai penyakit yang mendasarinya, namun gejala yang paling sering ialah
hemoptisis. Secara umum, gejala klinis dan hasil lab semua jenis aspergilosis akan sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya.

PATOGENESIS

Aspergilosis diawali oleh salah satu sebab, yaitu terperangkapnya miselia Aspergillus spp dalam
plug mukus penderita asmaatau kolonisasi Aspergillus spp pada saluran pemafasan(bronchial
tree) penderita asma. Material antigenik dari Aspergillus spp tersebut merangsang produksi
antibodi IgE, IgG, IgAdan mensensitisasi limfosit. Asma bronkial pada sebagianABPA
melibatkan degranulasi sel mast dan melepaskan IgEyang mengakibatkan peningkatan resistensi
jalan udara. Terjadinya bronkiektasis yang dikaitkan dengan kelainan inididuga akibat
pembentukan kompleks-imun di dalam jalanudara proksimal. Reaksi tanggap-kebal (immune-
response) ini

dapat dilihat pada individu-individu yang terpapar antigen.

Bila dilakukan penyuntikan antigen secara intradermalpada sekelompok penderita, maka akan
menyebabkan reaksiindurasi dan kemerahan. Dari percobaan ini diketahui bahwalebih dari
separuh penderitanya memberikan respons terhadapantigen yang disuntikkan. Kemudian akan
timbul reaksi Arthusdengan adanya edema dan eritema. Reaksi ini biasanya timbulsetelah 3 jam
penyuntikan dengan puncak reaktivitas pada jamke-8 dan resolusinya terjadi dalam 24 jam.
Berdasarkan studi imunofluorensi terhadap biopsi kulit dari penderita tersebut diatas ternyata
menunjukkan deposisi IgG, IgM, IgA dan komplemen.
Pada keadaan lain, pemberian inhalasi antigen secara dini pada penderita menyebabkan
bronkokonstriksi akut. Sedangkan terjadinya reaksi lambat dari paru dimulai kirakira 10 jam
setelah inhalasi antigen itu dan berakhir setelah 13 hari. Hal

ini dikaitkan dengan gejala-gejala konstitusional, termasuk demam, malaise dan anoreksia.
Reaksi lambat tersebut berupa peningkatan resistensi jalan udara dan dapat pula disertai
wheezing. Reaksi lambat ini tidak responsif . terhadap

pemberian bronkodilator. Akan tetapi keadaan itu dapat dihambat dengan pemberian
kortikosteroid. Dari bukti tersebut diketahui bahwa antigen yang menyebabkan reaksi Arthus
pada kulit sepadan dengan antigen yang menyebabkan reaksi lambat pada paru. Bila rekuren,
akan mengakibatkan bronkiektasis proksimal yang menetap.

Pada beberapa penderita telah dibuktikan pula bahwa penyakit saluran pernafasan tersebut
disebabkan oleh hiper- sensitivitas lambat (delayed hypersensitivity). Spesimen biopsy paru pada
penderita-penderita ini menunjukkan granuloma dan

sebukan (infiltrasi) sel mononukleus dalam jaringan peribronkial Jadi patogenesis ABPA ini
tergantung pada reaksi imunologik tipe I dan III dan mungkin pula tipe IV

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.

Jika memungkinkan, bisa diambil jaringan terinfeksi untuk dibuat biakan di laboratorium.
Memerlukan waktu beberapa hari untuk tumbuhnya jamur sehingga bisa diidentifikasi, tetapi
pengobatan harus segera diberikan karena penyakit ini bisa berakibat fatal.

PENGOBATAN
Alumunium asetat (larutan Burow) digunakan untuk membersihkan saluran telinga yang
terinfeksi. Aspergiloma biasanya diangkat melalui pembedahan.

Obat anti jamur, seperti amfoterisin B, biasanya diberikan melalui infus.


Obat pilihan lainnya adalah ketokonazol dan itrakonazol yang diberikan per-oral (melalui mulut)
pada infeksi jaringan yang lebih dalam.

PENATALAKSANAAN

Radiologi

Perubahan-perubahan radiologik pada ABPA dapat bersifat sementara atau menetap.Perubahan-


perubahan radiologik yang bersifat sementara dapat menunjukkan paru yang bersih dengan atau
tanpa pemberian kortikosteroid. Gambaran ini terjadi oleh karena timbulnya infiltrat pada lobus
bagian atas, sumbatan mukoid atau sekret dalam bronki yang mengalmi kerusakan. Pola
radiologik tersebut dapat menyerupai

tuberkulosis, infeksi jamur lain atau fibrosis kistik

Umumnya gambaran radiologik yang bersifat sementara itu terdiri dari : (1) infiltrat perihiler
yang menyerupai adenopati, (2) air fluid level bronki sentral yang mengalami dilatasi terisi
cairan dan debris, (3) konsolidasi homogen masif unilateral

atau bilateral, (4) infiltrat radiologik, (5) bayangan tooth paste yang ditimbulkan oleh sumbatan
mukoid pada bronki yang mengalami kerusakan, (6) bayangan glove finger dari bronki distal
yang tertutup oleh sekresi dan (7) bayangan tramline, yang terdiri atas bayangan hairline paralel
yang melebar dari hilum dan terjadi karena edema dinding bronkus. Gambaran radiologik yang
menetap terjadi dari bronkiektasis proksimal, berupa bayangan-bayangan garis sejajar dan
bayangan- bayangan cincin. Bayangan-bayangan garis sejajar merupakan bayangan tramline
yang diperbesar akibat bronkiektasis. Sedangkan bayangan cincin adalah bronki yang mengalami

dilatasi yang terlihat dari depan (en face)

. Fibrosis paru juga merupakan kelainan yang menetap. Gambaran radiologik normal pam belum
dapat me- ngesampingkan diagnosis ABPA. Apalagi kalau dugaan ABPA

eukup tinggi, maka sebaiknya dilakukan tomografi atau bronkografi. Bronkografi tersebut harus
dilakukan terutama pada penderita-penderita tersangka ABPA

. Beberapa gambaran radiologik ABPA lanjut menunjukkan kavitasi, emfisema

lokal, lobus atas yang mengkerut dan fibrosis sarang lebah. Kadang-kadang terlihat kolaps pam
total yang terjadi sekunderakibat sumbatan mukoid pada bronk utama. Pneumotoraksdapat pula
ditemukan pada ABPA yang sudah lanjut (faradvanced), terutama bila terlihat adanya bula di
dalam pam,namun hal tersebut jarang terjadi.

Laboratorium

Penderita-penderita ABPA memperlihatkan reaktivitas kulit wheal dan flare (reaktivitas kulit
yang cepat) terhadap antigen A. fumigatus (Af). Kira-kira sepertiganya memiliki reaktivitas kulit
bifasik. Bila dilakukan biopsi pada penderita

dengan reaksi lambat (48 jam), akan menunjukkan adanya IgG, IgM, IgA dan C3 yang
menyokong reaksi Arthus (tipe III). Penderita biasanya memiliki antibodi presipitating ter- hadap
Af selama stadium akut ABPA. Lebih kurang 25% penderita asmatik tanpa ABPA menunjukkan
reaktivitas kulit yang cepat terhadap Af dan 10% memperlihatkan antibody presipitating positif
terhadap Af. Oleh karena itu parameter

tersebut tidak spesifik untuk ABPA. Biakan dahak positif berulang terhadap Af sangat
membantu diagnosis, meskipun bukan gambaran patognomonik ABPA. Eosinofili darah perifer
khas terlihat pada penderita-penderita yang tidak diobati, tetapi tidak meninggi pada penderita
penderita yang memperoleh kortikosteroid untuk

mengendalikan asmanya.

Aspergilosis DEFINISI
Aspergilosis merupakan infeksi yang terutama menyerang paru-paru.

Aspergilosis terjadi bila organisme Aspergillus menyusup ke dalam jaringan yang lebih dalam, seperti
saluran telinga atau paru-paru, terutama pada penderita tuberkulosis atau bronkitis.

Di paru-paru bisa tumbuh aspergiloma (bola-bola jamur Aspergillus). Bola-bola ini terdiri dari serabut
jamur, serabut bekuan darah dan sel-sel darah putih yang tidak beraturan. Bola-bola ini secara bertahap
akan membesar dan merusak jaringan paru-paru.
Pada penderita gangguan sistem kekebalan (penerima cangkok jantung atau hati), aspergilosis bisa
menyebar melalui aliran darah menuju ke otak dan ginjal.

Merupakan infeksi yang jarang ditemukan pada penderita AIDS.

PENYEBAB
Jamur Aspergillus.

Jamur ini biasa ditemukan dalam tumpukan pupuk, di sekeliling rumah, pada makanan dan dalam tubuh.

Beberapa orang akan menunjukkan reaksi alergi bila Aspergillus menyentuh permukaan tubuhnya,
meskipun belum sampai menyusup ke dalam aringan dan menyebabkan infeksi.

GEJALA
Aspergilosis pada saluran telinga menyebabkan gatal dan kadang-kadang nyeri.
Cairan dari telinga biasanya keluar selama tidur, sehingga meninggalkan bercak di bantal.

Aspergiloma di paru-paru bisa tidak menimbulkan gejala dan ditemukan pada pemeriksaan rontgen
dada.
Aspergiloma bisa menyebabkan batuk darah berulang dan perdarahan, meskipun jarang dan bisa
berakibat fatal.

Infeksi pada jaringan yang lebih dalam menyebabkan demam, menggigil, syok, mengigau dan
pembekuan darah.
Bisa terjadi gagal ginjal, gagal hati (menyebabkan sakit kuning) dan gangguan pernafasan. Kematian bisa
terjadi dengan cepat.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.

Jika memungkinkan, bisa diambil jaringan terinfeksi untuk dibuat biakan di laboratorium. Memerlukan
waktu beberapa hari untuk tumbuhnya jamur sehingga bisa diidentifikasi, tetapi pengobatan harus
segera diberikan karena penyakit ini bisa berakibat fatal.

PENGOBATAN
Alumunium asetat (larutan Burow) digunakan untuk membersihkan saluran telinga yang terinfeksi.

Aspergiloma biasanya diangkat melalui pembedahan.

Obat anti jamur, seperti amfoterisin B, biasanya diberikan melalui infus.


Obat pilihan lainnya adalah ketokonazol dan itrakonazol yang diberikan per-oral (melalui mulut) pada
infeksi jaringan yang lebih dalam.

Pilih Amfoterisin B atau Antifungi Azol ?


MEDIKAMENTOSA - Edisi April 2007 (Vol.6 No.9)

 
Bila pasien yang berisiko tinggi akhirnya berkembang mengalami suatu gambaran klinik cocok,
maka pengobatan empiris untuk aspergillosis harus dimulai seketika diagnosa ditegakkan.
               Spesies aspergillus merupakan jamur yang tersebar di dalam bahan organik. Meskipun
telah berhasil diidentifikasi lebih dari 100 spesies, namun yang paling banyak menyebabkan
kesakitan pada manusia adalah Aspergillus fumigatus dan Aspergillus niger. Dua spesies patogen
lain agak jarang ditemui, yakni Aspergillus flavus dan Aspergillus clavatus. Penyebaran spora
jamur kepada manusia biasanya terjadi melalui pernapasan.
Dalam tubuh manusia, aspergillus bisa menyebabkan sejumlah besar penyakit, mulai dari reaksi
hipersensitif sampai dengan angioinvasi langsung. Di paru, aspergillus bisa menyebabkan 4
sindrom utama, termasuk allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA), chronic necrotizing
pulmonary aspergillosis (CNPA), aspergilloma, dan invasive aspergillosis.
Meski penyebabnya sama, aspergillus, namun penanganan keempat sindrom tersebut tidaklah
sama. Pengobatan invasive aspergillosis dan CNPA  membutuhkan terapi antifungi intravena.
Sedangkan ABPA yang merupakan suatu reaksi hipersensitif, maka harus diobati dengan
kortikosteroid. Penambahan antifungi oral bisa memperbaiki penanganan ABPA. Sementara
untuk aspergiloma, terapi bisa diberikan pemberian itrakonazol oral jangka panjang. Namun
pada sebagian kecil pasien, pemberian amfoterisin intracavitari juga bisa dipertimbangkan.
Khusus penanganan invasive aspergillosis, karena progress penyakitnya sangat cepat dan risiko
kematian yang tinggi, maka sangat dianjurkan pemberian terapi profilaksis dan pergantian terapi
secara cepat. Terapi profilaksis antifungal dan penggunaan laminar air flow (LAF) atau
penyaring high-efficiency particulate air (HEPA) dalam ruangan pasien yang menjalani
transplanatasi sumsum tulang belakang dan pasien lain yang berisiko, mungkin bisa mencegah
invasive aspergillosis. Pada pasien yang menjalani transplantasi organ padat, terutama paru,
dimana  aspergillus dikultur dari sputum tanpa ada bukti  pneumonia (kolonisasi), maka bisa
diberikan inhalasi amfoterisin B.
Bila pasien yang berisiko tinggi tersebut akhirnya berkembang mengalami suatu gambaran klinik
cocok, maka pengobatan empiris untuk aspergillosis harus dimulai seketika diagnosa ditegakkan.
Pemberian vorikonazol kini dipertimbangkan sebagai obat pilihan untuk invasive aspergillosis.
Pasalnya selain bisa ditoleransi lebih baik, vorikonazol juga memperbaiki survival dibandingkan
dengan amfoterisin. Pemberian amfotericin B atau formulasi lipid amfoterisin B, bisa
dipertimbangkan sebagai terapi empiris pada pasien kritis bila gambaran klinisnya cocok dengan
mucormycosis. Sedangkan vorikonazol tidak efektif untuk mucor. Caspofungin juga telah
disahkan untuk pengobatan invasive aspergillosis pada pasien yang tidak mampu menolerir atau
telah resisten dengan terapi tersebut.
Terapi kombinasi antifungi bisa digunakan untuk pasien yang terus mengalami perburukan
penyakit saat diobati dengan obat tunggal. Namun terapi bersamaan antifungi azol dan
amfoterisin hingga kini masih dipertentangkan. Pasalnya, antifungi azol bisa menurunkan sisi
ikatan amfoterisin yang akhirnya mengurangi keefektifan amfoterisin. Kekhawatiran serupa juga
harus diwaspadai pada pemberian amfoterisin untuk pasien yang sebelumnya pernah menerima
terapi antifungi golongan azol, termasuk  vorikonazol, itrakonazol, flukonazol, atau ketokonazol.
Bila terapi gagal juga, maka harapan mungkin bisa digantungkan pada antifungi azol baru yang
masih dalam studi ( ravukonazol). Demikian juga dengan triazol baru, posakonazol, yang baru
saja disahkan oleh US Food and Drug Administration (FDA).
 
1. Amfoterisin B
Farmakologi Amfoterisin B merupakan antibiotik polyene yang dihasilkan
oleh galur Streptomyces nodosus. Obat ini bisa bertindak
sebagai fungistatik maupun fungisidal dengan mengikat sterol
(misalnya ergosterol) dalam membran sel yang berujung pada
kematian sel. Formulasi yang lebih baru amfoterisin lipid,
ternyata sama efektif dengan formulasi lama namun lebih
kurang nefrotoksik. Hidrasi yang adekuat bisa mengurangi
nefrotoksisitas, dan pasien mentolerir cairan harus diberikan
sebelum dan sesudah hidrasi.
Kontraindikasi Riwayat hipersensitif
Dosis & Cara Amfoterisin : 0,25 mg/kg BB dengan infusi lambat selama 2-
Pemberian 6 jam. Dosis maksimal 1,5 mg/kg BB per hari.
Interaksi *Obat antineoplastik bisa meningkatkan potensi toksisitas
ginjal, bronkospasma, dan hipotensi.                                   *
Kortikosteroid, digitalis, dan tiazid berpotensi
hipokalemia                                                                          
*Siklosporin, aminoglikosida, cidofovir, pentamidin,
tacrolimus, dan vancomisin bisa meningkatkan risiko
toksisitas ginjal.                                                                         
* Antifungi azol mengurangi efikasi amfoterisin     
*Zidovudin bisa menambah nefrotoksisitas dan
mielotoksisitas.         
*Amfoterisin bisa meningkatkan toksisitas flutikason
*Amfoterisin bisa meningkatkan aktivitas daunorubisin dan
doksorubisin.
Efek Samping Demam, sakit kepala, anoreksia, kehilangan bobot badan,
gangguan gastrointestinal, malaise, nyeri epigastrik,
dispepsia, anemia.
Nama dagang Fungizone
 
2. Itrakonazol
Farmakologi Itrakonazol, antifungi sintetik triazol, memiliki aktivitas yang
lebih besar melawan  Aspergillus dibandingkan dengan
flukonazol atau ketokonazol. Obat ini bersifat fungistatik
dengan memperlambat pertumbuhan sel jamur melalui
inhibisi cytochrome P-450–dependent synthesis of ergosterol,
suatu komponen vital dalam membarn sel jamur. Formulasi
per oral (kapsul, suspensi) biasa dgunakan untuk terapi
antifungi jangka panjang. Formulasi kini juga telah tersedia.
Karena tidak larut dalam air, suspensi per oral dan intravena
dilarutkan dengan hydroxypropyl-beta-cyclodextrin.
Kontraindikasi Hipersensitif, menyusui, gagal ginjal, gagal ventrikular kiri
Dosis & Cara *Kapsul: 200-400 mg/ hari dengan makanan atau cola
Pemberian *Infeksi yang mengancam jiwa:  200 mg 3 x sehari untuk 3
hari pertama, selanjutnya  200 mg dua kali sehari        
*Suspensi oral: 200-400 mg/hari saat perut kosong
*IV: 200 mg dua kali sehari untuk 2 hari, selanjutnya 200
mg/hari                                                                             
*Anak: dosisnya belum ada, namun direkomendasikan untuk
anak 3-16 tahun, 5-10 mg/kg/ hari per oral untuk profilaksis
Aspergillus pada anak dengan chronic granulomatous disease
(gunakan suspensi per oral)
Peringatan Hati-hati penggunaan itrakonazol pada insufisiensi hepatik;
pasien dengan factor risiko jantung.
Interaksi Karena menghambat enzim cytochrome P-450 hepatik, maka
itrakonazol meningkatkan kadar banyak obat lain; toksisitas
jantung serius bisa terjadi saat pemberian bersamaan dengan
cisapride, dofetilide, pimozide, atau kuinidin; mempengaruhi
metabolisme beberapa obat golongan benzodiazepine
sehingga memperpanjang sedasi; pemberian bersamaaan
dengan lovastatin atau simvastatin meningkatkan risiko
rhabdomyolysis; monitor kadar siklosporin, takrolimus, dan
digoksin (itrakonazol meningkatkan kadar dan perlu
dilakukan pengaturan dosis); penyerapan itrakonazol per oral
perlu suasana lambung asam (penghambat H2 dan PPI
sebaiknya tidak diberikan secara bersamaan).
Efek Samping Sakit kepala, nyeri abdomen, nausea, pusing, dispepsia, ruam,
pruritus, rambut rontok, dan edema.
Nama dagang Sporanox, Forcanox, Fungitrazol, Furolnok, Itzol, Nufatrac,
Sporacid, Unitrac
 
 
3. Vorikonazol
Farmakologi Vorikonazol, digunakan untuk pengobatan primer invasive
aspergillosis dan pengobatan penyelamatan dari infeksi
spesies Fusarium atau Scedosporium apiospermum. Obat ini
merupakan antifungi triazol yang bekerja dengan
menghambat cytochrome P-450–mediated 14 alpha-
lanosterol demethylation yang sangat esensial dalam
biosintesis ergosterol jamur.
Kontraindikasi Hipersensitif, jangan diberikan dalam bentuk IV dengan
CrCl <50 mL/menit (mengurangi eksresi IV); pemberian
bersamaan dengan rifampisin, rifabutin, carbamazepin,
barbiturat, sirolimus, pimozide, kuinidin, cisapride, atau
alkaloid ergot.
Dosis & Cara Pemberian cara infusi dengan kecepatan maksimal
Pemberian 3mg/kg/jam selama 1-2 jam. Terapi inisial dengan loading
dose: 6 mg/kg IV tiap 12 jam untuk 2 dosis, diikuti dengan
dosis pemeliharaan: 4 mg/kg IV tiap 12 jam. Bila pasien
tidak mampu menerima pengobatan, maka dosis
pemeliharaan dikurangi hingga 3 mg/kg tiap 12 jam.
Interaksi Penginduksi CYP-450 (misalnya rifampin) tampak
menurunkan kadar steady state peak plasma  hingga 93%;
meningkatkan kadar serum obat yang dimetabolisme oleh
CYP-450 2C19 atau 2C9, yang sebagian diantaranya
kontraindikasi ( sirolimus, pimozide, quinidine, cisapride,
alkaloid ergot); monitoring yang sering harus dilakukan pada
penggunaan bersama dengan siklosporin, tacrolimus,
warfarin, inhibitor HMG CoA, benzodiazepin, penghambat
kanal kalsium.
Efek Samping Gangguan penglihatan, demam, kedinginan, sakit perut,
nyeri abdomen, takikardia, gangguan tekanan darah,
vasodilatasi, gangguan gastrointestinal, mulut kering,
halusinasi, pusing, dan ruam.
Nama Dagang Vfend

Anda mungkin juga menyukai