Anda di halaman 1dari 145

PEMBANGUNAN PERDESAAN

DAN KEMITRAAN AGRIBISNIS

Suatu Model Pemberdayaan Masyarakat


untuk Kesejahteraan

Dr. Ir. Ida Bagus Made Agung Dwijatenaya, M.Si


Dr. Ir. Ince Raden, M.P
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

KATA PENGANTAR
Membangun Perdesaan tidak pernah surut untuk dilaksanakan.
Berbagai program pembangunan Perdesaan telah diluncurkan guna
meningkatkan kesejahteran masyarakat.
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha
Kuasa atas anugrah-Nya. Buku iniditulis dengan niat penulis untuk
ikut berpartisipasi terhadap masalah pembangunan perdesaan.
Selainitu, materi yang disampaikan dalam buku ini merupakan
sebagian dari materi mata kuliah Kemitraan Agribisnis yang
diajarkan pada mahasiswa Agribisnis. Buku ini diharap kan dapat
dijadikan salah satu referensi bagi yang belajar tentang kemitraan
baik mahasiswa, dosen maupun praktisi.
Dalam penyelesaian penulisan buku ini, penulis mendapat
dukungan dari berbagai pihak, maka untuk itu pada kesempatan ini
penulis menghaturkan terimakasih kepada Bapak Dr. Sabran SE.,
M.Si, Mohamad Fadli, SP., SH., MP, Prof. Dr. I Ketut Sudibia, Dr. I.G.W.
Murjana Yasa, SE., MSi, Prof Dr. Made Kembar Sri Budhi Drs., MP,
saudara Candra Catur Nugroho, SP., M.Si., Nilam Anggar Sari, SE.,
M.Si., Aswan, SP, Suriansyah kepada rekan-rekan sehabat sekalian
serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
masukannya dan diskusinya dalam penulisan buku ini
Penulis sangat menyadari sepenuhnya bahwa dalam buku ini
masih terdapat hal yang perlu diperbaiki. Akhirnya penulis berdo’a
semoga tulisan ini bermanfaat.

Tenggarong, Oktober 2016

Penulis
iii

Daftar Isi
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR TABEL viii

Bagian 1 Pembangunan Perdesaan


BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Definisi Pembangunaan 1
1.2 Ciri Masyarakat Desa dan Kota 2
1.3 Permasalahan Pembangunan Desa dan Kota 5

BAB IIPEMBANGUNAN EKONOMI 7


2.1 Teori Pembangunan Ekonomi 12
2.2 Keterkaitan Perdesaan dan Perkotaan 25
2.3 Pembangunan Perdesaan 31
2.3.1 Strategi Pembangunan Perdesaan 32
2.3.2 Akselarasi Pembangunan Perdesaan 35
2.3.3 Program Pembangunan Perdesaan 40
2.3.4 Migrasi Desa-Kota 43

BAB III PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM


PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN 47
3.1 Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap
Ekonomi Nasional 48

Daftar Isi iv
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

3.2 Pertanian dan Pembangunan Perdesaan 56


3.3 Profil Kemiskinan di Perdesaan 62
3.3.1 Pengertian Kemiskinan 63
3.3.2 Kemiskinan di Perdesaan 64

Bagian 2 KemitraanAgribisnis
BAB IV PENGERTIAN, PRINSIP, DAN TUJUAN
KEMITRAAN 69
4.1. Pengertian Kemitraan 69
4.2 Prinsip-Prinsip Kemitraan 71
4.3 TujuanKemitraan 73

BAB VKONSEP FORMAL DAN AZAS KEMITRAAN 74


5.1 Konsep Formal Kemitraan 74
5.2 Azas Kemitraan 81

BAB VI BERBAGAI POLA KEMITRAAN AGRIBISNIS83


6.1 Pola Inti-Plasma 84
6.2 Pola Sub kontrak 85
6.3 Pola Dagang Umum 86
6.4 Pola Keagenan 86
6.5 PolaKerjasamaOperasionalAgribisnis
(KOA) 87
6.6 Modifikasi Kemitraan
Di Kutai Kartanegara 87

Daftar Isi v
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Bagian 3 Pemberdayaan Petani


untuk Kesejahteraan

BAB VIIPENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN 89


7.1 Pemberdayaan Petani Untuk Mencapai
kesejahteraan 89
7.1.1 Pemberdayaan 90
7.1.1.1 Konsep Pemberdayaan 90
7.1.1.2 Dasar-Dasar Pemberdayaan 95
7.1.1.3 Mengukur Pemberdayaan 98
7.1.1.4 Model-Model Pemberdayaan 99
7.1.2 Kesejahteraan 102
7.1.2.1 Pengertian Kesejahteraan 102
7.1.2.2 Kriteria Ekonomi Kesejahteraan 104
7.1.2.3 Pengukuran Kesejahteraan 110
7.2 Pengembangan Kelembagaan(Koperasi) 113
7.2.1 Pengembangan koperasi berorientasi
bisnis 114
7.2.2 Peran koperasi dalam pengembangan
ekonomi kerakyatan 116
7.3 Peran Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi
Kerakyatan 117

BAB VIII PEMBANGUNAN PERTANIAN


BERKELANJUTAN 120

DAFTAR PUSTAKA 126

Daftar Isi vi
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

DAFTAR GAMBAR

2.1 Fungsi Produksi Neo-Klasik 18


2.2 FungsiProduksiHarrod-Domar 21
2.3 Model PertumbuhanRumusan Lewis 24
2.4 Conceptual Framework for Rural-Urban Interaction 30
2.5 Dimensi UtamaDalam Pembangunan 31
2.6 Pendekatan Penyusunan Master plan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 37
2,7 Model Migrasi Harris-Todaro 46
3.1 Kontribusi Tenaga Kerjadan Modal dari Pertanian terhadap
Pertumbuhan PDB 54
3.2 Kontribusi Pertanian Terhadap Devisa 55
7.1 TigaTahapan Pemberdayaan 91
7.2 Hubungan Antara Demokrasi Ekonomi, Peran
Intelektual, dan Model Demokrasi Ekonomi dalam
Pemberdayaan Masyarakat 101
7.3 KriteriaKaldor-Hicks 107
8.1 Hubungan Antara Tiga Tujuan Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan 122
8.2 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui
Kemitraan Usaha Agribisnis 124

Daftar
D a f Gambar
tar Isi vii
Daftar Isi
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

DAFTAR TABEL

2.1 DistribusiJumlah Program Pembangunan


PerdesaanBerdasarkan Wilayah 42
3.1 KontribusiSektorPertanianTerhadap PDB dan
LajuPertumbuhanSektorPertanian: 1969-2008 50
3.2 Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di
Indonesia , 2007-2010 65
3.3 Distribusi Kesempatan Kerja Menurut Daerah
di Indonesia, 1990-2003 (%) 66
3.4 Kesempatan Kerja di Perdesaan Menurut Sektor
di Indonesia, 1990-2003 (%) 66

Daftar
D a f Tabel
tar Isi viii
Daftar Isi
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi Pembangunan


Pembangunan merupakan suatu proses untuk memperbaiki
produktivitas dan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Dua kata
yang tidak pernah lepas di dalam memahami pembangunana yaitu
pertumbuhan dan perubahan. Secara nasional pembangunan selalu
dilihat dari kemampuan Negara untuk mencapai angka pertumbuhan
tertentu. Apakah angka pertumbuhan yang telah ditetapkan telah
mampu merubah kesejahteraan, hal inilah yang selalu menjadi
perbincangan.
Definisi pembangunan telah dirumuskan oleh para ahli, antara
lain (Nawawi, 2009):
1. Menurut Tjokoroamidjoja dan Mustapadijaja (1990),
pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang
tanpa akhir. Proses pembangunan merupakan perubahan sosial
budaya. Pembangunan supaya menjadi suatu proses yang dapat
bergerak maju atas kekuatan sendiri (self sustaining proces)
tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya.
2. Menurut Siagian (2005), bahwa pembangunan adalah suatu usaha
atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang
berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa,
negara dan pemerintah menuju modernisasi dalam rangka
pembinaan bangsa (National Building). Lebih lanjut Siagan

Pendahuluan 1
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis

mengatakan terdapat tujuh ide pokok dalam pembangunan


yaitu, sebagai berikut:
a. Pembangunan merupakan suatu proses.
b. Pembangunan merupakan upaya yang secara sadar
ditetapkan sebagai sesuatu untuk dilaksanakan.
c. Pembangunan dilakukan secara terencana, baik dalam arti
jangka panjang, jangka sedang dan jangka pendek.
d. Rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan
dan perubahan
e. Pembangunan mengarah kepada modernitas.
f. Modernitas yang ingin dicapai melalui berbagai kegiatan
pembangunan bersifat multidimensional.
g. Semua hal yang telah disinggung di atas ditujukan kepada
usaha pembinaan bangsa sehingga negara bangsa yang
bersangkutan semakin kokoh pondasinya dan semakin
mantap keberadaannya sehingga menjadi negara bangsa yang
sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

1.2 Ciri Masyarakat Desa dan Kota


Disadari bahwa lingkungan hidup manusia secara umum
dikenal dua lingkungan hidup yang memiliki banyak perbedaan.
Kedua lingkungan hidup tersebut adalah desa dan kota. Masing-
masing lingkungan berpengaruh terhadap masyarakat yang hidup di
dalamnya. Walaupun terdapat perbedaan antar masyarakat desa satu
dengan yang lainnya, secara umum masyarakat desa mempunyai ciri
khas yang sama yakni (Siagian, 1989):
1. Kehidupan di perdesaan erat hubungannya dengan alam, mata
pencaharian tergantung dari alam serta terikat pada alam.
2. Umumnya semua anggota keluarga mengambil bagian dalam
kegiatan bertani, walaupun keterlibatannya berbeda.
3. Orang desa sangat terikat pada desa dan lingkungannya, apa
yang ada di desa sukar dilupakan sehingga perasaan rindu akan
desanya merupakan ciri yang nampak.
4. Di perdesaan segala seseuatu seolah-olah membawa hidup yang
rukun, perasaan sepenanggungan dan jiwa tolong menolong
sangat kuat dihayati.

2
Pendahuluan 2
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis

5. Corak feodalisme masih nampak walaupun derajadnya sudah


mulai berkurang.
6. Hidup di perdesaan banyak bertautan dengan adat istiadat dan
kaidah-kaidah yang diwarisi dari satu generasi ke generasi
berikutnya, sehingga sering masyarakat desa dicap ’statis’.
7. Di beberapa daerah jiwa masyarakat terbuka kepada perkara-
perkara rohani.
8. Karena keterikatan pada lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan
yang ada, mereka mudah curiga terhadap sesuatu yang lain
daripada yang biasa, terutama terhadap hal-hal yang lebih
menuntut rasionalitas. Mereka lebih tertarik dan lebih suka
mengikuti suara mistik, sehingga menimbulkan sikap yang
kurang kritis akan lingkungan dan tuntutan zaman.
9. Banyak daerah perdesaan yang penduduknya sangat padat
padahal lapangan kerja dan sumber penghidupan relatif sedikit
mengakibatkan kemelaratan sehingga sering mendorong jiwa
apatis.
Sementara itu masyarakat perkotaan yang sering disebut
dengan urban community memiliki ciri-ciri yang menonjol, yaitu
sebagai berikut:
1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan
kehidupan keagamaan di desa.
2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri
tanpa harus bergantung pada orang-orang lain.
3. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas
dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga
lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.
5. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat
perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi
lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor
pribadi.
6. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengakibatkan
pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian
waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar
kebutuhan-kebutuhan seorang individu.

3
Pendahuluan 3
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis

7. Persoalan-persoalan sosial tampak dengan nyata di kota-kota,


sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-
pengaruh dari luar (Ahmadi, 1991).
Selanjutnya ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan untuk
menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagai
masyarakat perdesaan atau masyarakat perkotaan, antara lain ciri
tersebut adalah sebagai berikut (Ahmadi, 1991):
1. Jumlah dan kepadatan penduduk
2. Lingkungan hidup
3. Mata pencaharian
4. Corak kehidupan sosial
5. Stratifikasi sosial
6. Mobilitas sosial
7. Pola interaksi sosial
8. Solidaritas sosial dan
9. Kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional.
Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat baik masyarakat
perdesaan maupun masyarakat perkotaan telah diupayakan melalui
pembangunan. Pembangunan adalah merupakan proses yang
berdemensi banyak (multi demensional) mencakup perubahan
orientasi dan organisasi dari sistem sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Setelah lebih dari tiga dekade upaya-upaya pembangunan
perdesaan dan perkotaan di Indonesia dilakukan, ternyata hasil tidak
sebagaimana diharapkan. Permasalahan pembangunan yang masih
belum terpecahkan dan masih menuntut perhatian adalah masih
adanya ketimpangan pembangunan antar daerah, keterkaitan
perdesaan-perkotaan yang kurang sinergis, urban yang cukup tinggi,
wilayah-wilayah tertinggal dan masalah kemiskinan.
Kesenjangan sistem perdesaan-perkotaan menggambarkan
tidak berfungsinya hierarki sistem kota, sehingga menimbulkan over-
concentration pertumbuhan kota-kota tertentu, terutama kota-kota
besar dan metropolitan di Pulau Jawa, di sisi lain pertumbuhan kota-
kota lain dan perdesaan relatif lebih tertinggal. Menurut Daryanto
(2003) kesenjangan pembangunan antar daerah dapat dilihat dari
kesenjangan dalam; a) pendapatan per kapita, b) kualitas sumber
daya manusia, c) ketersediaan sarana dan prasarana seperti

4
Pendahuluan 4
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis

transportasi, energi dan telekomunikasi, d) pelayanan sosial seperti


kesehatan, pendidikan, dsb dan e) akses perbankan.
Tidak mudah mencari berbagai penyebab terjadinya berbagai
permasalahan tersebut. Tulisan ini mengkaji permasalahan di
perdesaan dalam konteks pembangunan pertanian dan perdesaan
umumnya, terutama tentang pemberdayaan masyarakat petani.

1.3 Permasalahan Pembangunan Desa dan Kota


Pembangunan perkotaan maupun perdesaan tidak terlepas
dari berbagai permasalahan. Sebagaimana dikemukakan Rustiadi
dan Pranoto (2007) permasalahan yang dijumpai di dalam
pembangunan perdesaan dan perkotaan adalah sebagai berikut:
1. Masalah kemiskinan. Jumlah penduduk miskin baik yang berada
di perdesaan maupun diperkotaan merupakan masalah pokok
dalam pembangunan. Penyebab kemiskinan penduduk, baik di
kota maupun di desa, adalah rendahnya pendidikan dan
keterampilan serta tingkat kesehatan yang menyebabkan
rendahnya kemampuan untuk berusaha guna memperoleh
pekerjaan dan penghasilan. Penyebab lainnya adalah kurangnya
sarana dan prasarana perhubungan yang menghubungkan status
kawasan miskin dengan kawasan yang lebih maju.
2. Kapasitas Sumber Daya Manusia yang rendah. Tuntutan akan
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pelaku
utama dalam kegiatan ekonomi makin tinggi. Sumber daya
manusia yang berkualitas rendah berakibat pada rendahnya
produktivitas dan rendahnya kesempatan masyarakat daerah
dalam pembangunan.
3. Keterbatasan Sumber Daya Alam. Keterbatasan sumber daya
alam khususnya air dan tanah merupakan kendala dalam
pembangunan. Di satu sisi, dengan semakin meningkatnya
pembangunan, sumberdaya alam akan makin banyak
dibutuhkan, dan di sisi lain diperlukan pemanfaatan yang lebih
hati-hati dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
4. Keterbatasan Lahan Usaha. Keterbatasan pengetahuan
masyarakat perdesaan dan aparat pemerintah dalam
mengarahkan kegiatan pembangunan di perdesaan, dan

5
Pendahuluan 5
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis

keterbatasan lahan usaha antara lain yang disebabkan oleh


adanya perubahan penggunaan lahan, mengakibatkan terjadinya
perambahan hutan dan perusakan kawasan lindung.
5. Ketimpangan Pembangunan Kota dan Desa. Adanya ketimpangan
antar wilayah, antar kota, dan antara desa dengan kota, serta
antar golongan merupakan hambatan dalam pembangunan
perekonomian.
6. Terbatasnya Prasarana dan Sarana. Terbatasnya sarana dan
prasarana terkait dengan ketersediaan dana dan teknologi. Hal
lainnya yakni adanya keterbatasan sumber daya manusia yang
dapat mengelola pelaksanaan pembangunan yang meliputi
keterbatasan jumlah, kemampuan serta pemahaman khususnya
keterkaitan pembangunan desa dengan kota.
Selanjutnya Arsyad, dkk. (2011) mengemukakan bahwa
setidaknya ada empat masalah pokok pembangunan perdesaan yang
saling terkait satu sama lain. Masalah tersebut yakni sebagai berikut:
masalah kemiskinan, masalah kependudukan dan ketenagakerjaan,
masalah keterbatasan infrastruktur dan masalah kelembagaan.
Adisasmita (2005) mengemukakan masalah yang dihadapi daerah
perkotaan sangat luas dan kompleks. Selanjutnya masalah perkotaan
dibedakan menjadi masalah makro dan masalah mikro. Masalah
makro adalah berkaitan dengan fungsi kota bagi wilayah sekitarnya,
sedangkan masalah mikro adalah meliputi masalah-masalah internal
kota (misalnya masalah kekurangan lapangan pekerjaan, masalah
perkampungan kumuh, masalah kepadatan penduduk dan
kemacetan lalu lintas dan lainnya).

6
Pendahuluan 6
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

BAB II
PEMBANGUNAN EKONOMI

Pembangunan merupakan proses perubahan secara sengaja


untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Dalam
pelaksanaannnya, pembangunan banyak dipengaruhi oleh kondisi
fisik dan non fisik dari suatu masyarakat sehingga akselarasi
(percepatan) pembangunan di setiap negara tidak sama.
Pembangunan merupakan suatu proses yang berdimensi jamak
(multi dimensional), mencakup perubahan orientasi dan organisasi
dari sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sedangkan
pembangunan ekonomi merupakan bagian dari proses
pembangunan yang mencakup usaha-usaha suatu masyarakat untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan. Hal itu berarti pembangunan ekonomi dapat
diartikan pula sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan
riil per kapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang.
Selain peningkatan produksi dan pendapatan proses tersebut juga
akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi
masyarakat.
Perubahan struktur ekonomi pada umumnya ditandai dengan
pergeseran kegiatan ekonomi yang semula lebih banyak pada
kegiatan pertanian kemudian bergeser ke arah industri dan akhirnya
ke sektor jasa. Perubahan struktur tersebut merupakan suatu proses
yang terkait dan runtut dari satu tahap ke tahap lain sesuai dengan
kemampuan dan kehendak masyarakat. Dalam upaya itu diperlukan
adanya pemupukan sumber-sumber pembangunan dan proses

Pembangunan Ekonomi 7
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

alokasi serta pendayagunaan secara optimal. Sumber-sumber


pembangunan semestinya berasal dari surplus yang diciptakan oleh
masyarakat melalui kegiatan ekonomi yang diwujudkan dalam
pembentukan modal untuk merangsang produksi lebih tinggi secara
berkesinambungan. Produksi tinggi akan menciptakan pendapatan
tinggi pula, yang pada gilirannya akan merangsang peningkatan dan
pergeseran pola konsumsi masyarakat. Terpenuhinya kebutuhan
pangan, maka peningkatan konsumsi akan mengambil bentuk
peningkatan konsumsi non-pangan baik barang olahan maupun jasa-
jasa. Proses ini menandai terjadinya alokasi sumber daya dan dana
yang relatif besar ke sektor industri manufaktur yang biasanya
dibarengi dengan perubahan kuantitas dan kualitas serta komposisi
faktor produksi dan pengembangan teknologi. Selain itu akan terjadi
pula spesialisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi baik antar
sektor dan unit usaha maupun dalam tiap unit usaha. Selanjutnya
peningkatan dan pergeseran pola konsumsi masyarakat akan
merangsang peningkatan tingkat produksi dan meningkatkan
investasi.
Pada sisi lain, pergeseran pola konsumsi ini akan dapat
menciptakan struktur permintaan pasar dalam negeri yang tangguh
terutama kesempatan pasar bagi golongan ekonomi lemah.
Permintaan efektif di dalam negeri ini pada gilirannya akan menjadi
penentu arah dan dinamika pembangunan yang dikembangkan
melalui pembangunan sektor pertanian, sehingga sektor ini menjadi
penyedia pasar yang efektif untuk produk sektor-sektor industri.
Dinamika pembangunan yang diharapkan terutama adalah
dampaknya terhadap pertumbuhan output produksi secara konstan
dalam jangka panjang dan terhadap perluasan kesempatan kerja
serta pemerataan pendapatan. Hubungan antara ketiga tujuan itu
dalam proses yang dinamis adalah jika sasaran perluasan lapangan
kerja dan peningkatan produktivitas dapat dicapai maka
perkembangan ekonomi akan memberi peluang bagi pemerataan di
bidang pendapatan dan bidang bidang lainnya.Untuk itu, dapat
dikatakan bahwa masyarakat telah mencapai kemakmuran dan
sekaligus kesejahteraan yang semakin tinggi. Dalam rangkaian
tersebut maka dapat dijelaskan bahwa kemakmuran berarti

8
Pembangunan Ekonomi 8
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

kesejahteraan akan terjadi jika; pertama, semua indikator


kesejahteraan dapat diwujudkan dan dapat dibeli dengan
pendapatan. Kedua, Setiap anggota masyarakat mempunyai
kemampuan yang sama dalam menghasilkan dan menikmati
pendapatan yang didistribusikan sesuai dengan mekanisme pasar.
Ketiga, setiap anggota masyarakat harus ikut dalam proses
menciptakan produksi, memperoleh pendapatan dan menggunakan
pendapatan untuk keperluan konsumsi. Sejalan dengan anggapan itu
maka pembangunan sesungguhnya adalah proses yang berorientasi
pada manusianya. Dengan memberikan perhatian pada unsur
manusianya, maka indikator sosial yang dalam hal ini tidak semata
diukur dengan tercapainya tingkat produksi rata-rata yang tinggi saja
tetapi terciptanya keadaan yang benar-benar dinikmati oleh setiap
anggota masyarakat. Pembangunan yang berorientasi pada
manusianya (human development orientation) mengutamakan pada
paling tidak tiga unsur penting yakni aspek kehidupannya (human
life), pengetahuan, dan tingkat hidup yang memadai (Daryanto,
2003).
Pembangunan yang berorientasi pada unsur manusianya
berarti pula mempersiapkan manusia untuk ikut aktif dalam proses
pembangunan yang berkesinambungan (sustainable). Hal itu berarti
pembangunan yang diciptakan dari masyarakat sendiri, oleh
masyarakat dan untuk semua masyarakat. Dengan demikian setiap
anggota masyarakat harus ikut serta dalam setiap tahap
pembangunan sesuai dengan kemampuannya. Dalam kerangka di
atas pembangunan masyarakat desa diarahkan untuk
mentransformasikan struktur kegiatan sosial, ekonomi dan
kelembagaan yang semula bercorak subsisten, tradisional dan agraris
menuju pada struktur ekonomi bercorak perkotaan, moderen dan
industri. Arah pembangunan ekonomi selalu digambarkan oleh
perubahan struktur yang pada awalnya dominan pertanian menjadi
ekonomi yang berbasis industri. Pemikiran ini yang pada dasarnya
melandasi arah pembangunan ekonomi di Indonesia (Saragih, 2000).
Dinamika yang terjadi dalam proses tersebut ditandai dengan
perembesan struktur dan budaya moderen ke dalam struktur dan
budaya perdesaan sehingga akan terjadi perluasan proses

9
Pembangunan Ekonomi 9
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

modernisasi ke seluruh masyarakat. Sebagai akibatnya struktur dan


kebudayaan tradisional yang menguasai daerah perdesaan mulai
mengalami transformasi mengantarkan terjadinya tahapan di mana
perbedaan-perbedaan struktural dan kultural antara kota dan desa
menjadi semakin menyempit. Dalam kondisi itu masyarakat desa
berhasil mengembangkan suatu kehidupan ekonomi, politik dan
budaya yang semakin rasional. Akhirnya antara desa dan kota
terpola suatu hubungan timbal balik yang harmonis dan saling dapat
menciptakan surplus bagi pertumbuhan masyarakat keduanya.
Upaya pembangunan yang dilakukan selama ini, dengan
berbagai bentuk dan variasinya, pada dasarnya dilakukan guna
meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat (Adi, 2008).
Sebagaimana amanat yang ditetapkan dalam UUD 1945, di mana
tujuan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia.Sektor pertanian merupakan salah
satu aktivitas bidang ekonomi yang sangat penting, disamping sektor
minyak dan gas bumi. Karena sektor ini mampu memenuhi
kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan petani dan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu, sektor ini juga berperan dalam
penyediaan lapangan usaha maupun fungsi terhadap ketahanan
pangan. Paradigma pembangunan pertanian ke depan adalah
pertanian berkelanjutan yang berada dalam lingkup pembangunan
manusia, yaitu pembangunan pertanian yang bertumpu pada
peningkatan kualitas dan kompetensi sumberdaya manusia.
Menurut Gold dalam Mardikanto (2009) menyatakan bahwa
pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) memadukan tiga
tujuan yang meliputi: pengamanan lingkungan, pertanian yang
menguntungkan dan kesejahteraan masyarakat tani. Secara nyata,
pembangunan pertanian harus mengikutsertakan dan menggerakkan
masyarakat tani secara aktif dalam setiap langkah pembangunan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, serta
pemanfaatan hasil pembangunan. Menurut Todaro dan Smith (2006)
peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang
pasif dan sebagai unsur penunjang semata. Lebih lanjut dikatakan

10
Pembangunan Ekonomi 10
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas


pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur
pelengkap dasar, yakni; 1) Percepatan pertumbuhan output melalui
serangkaian penyesuaian teknologi, institusional, dan insentif harga
yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para
petani kecil, 2) Peningkatan permintaan domestik terhadap output
pertanian yang dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan
yang berorientasikan pada upaya pembinaan ketenagakerjaan, dan
3) Diversifikasi kegiatan pembangunan daerah pedesaan yang
bersifat padat karya, yaitu nonpertanian, yang secara langsung dan
tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh masyarakat
pertanian.
Keberhasilan pembangunan pertanian tidak hanya ditentukan
oleh ketersediaan sarana dan teknologi, tetapi yang penting adalah
kualitas manusia tani sebagai pelaku pembangunan. Paradigma
pembangunan pertanian mutlak diperlukan dengan fokus petani itu
sendiri sebagai makhluk berbudaya yang perlu senantiasa
mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan, serta komponen
lain yang saling terkait. Proses pembangunan yang merupakan
serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi telah diketahui
berdasarkan berbagai mazhab, sebagaimana dikatakan teori
pertumbuhan neoklasik (Solow-Swan). Menurut teori ini
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada
pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga
kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Lebih
lanjut dikatakan efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan
masyarakat tentang metode-metode produksi, ketika teknologi
mengalami kemajuan, efisiensi tenaga kerja meningkat (Mankiw,
2007). Pengalaman menunjukkan bahwa perhatian terlalu besar
terhadap aspek teknologi telah menyengsarakan petani. Petani
berkualitas akan mampu memanfaatkan sumberdaya alam,
menggunakan sarana dan teknologi secara tepat dan berkelanjutan.

11
Pembangunan Ekonomi 11
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

2.1 Teori Pembangunan Ekonomi


Kepustakaan pembangunan ekonomi pasca perang dunia
kedua didominasi oleh empat aliran pemikiran yang terkadang
bersaing satu sama lain. Keempat pendekatan tersebut adalah
1) model pertumbuhan tahapan linear (linear-stage-of-growth
model), 2) teori dan pola perubahan struktural (theories and patterns
of structural change), 3) revolusi ketergantungan-internasional (the
international-dependence revolution) serta 4) kontrarevolusi pasar
bebas neoklasik (the neoclassical, fre-market counterrevolution)
(Todaro dan Smith, 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa para
teoritisi pada dekade 1950-an dan awal 1960-an cenderung
memandang proses pembangunan sebagai serangkaian tahapan
pertumbuhan ekonomi yang berurutan, yang akan pasti akan dialami
oleh setiap negara yang menjalankan pembangunan. Pada dekade
1970-an, pendekatan tahapan linear tergusur oleh dua aliran
pemikiran ekonomi (dan tentunya juga berbau ideologis). Aliran
pemikiran yang pertama menitik beratkan pada toeri dan pola
perubahan struktural. Aliran pemikiran yang kedua adalah revolusi
ketergantungan internasional. Pada dekade 1980-an dan awal
dekade 1990-an, yang paling menonjol adalah pendekatan
kontrarevolusi pasar bebas neoklasik. Kontrarevolusi neoklasik
(sering kali disebut neo-liberal) dalam pemikiran ekonomi ini
menekankan pada peranan menguntungkan yang dimainkan oleh
pasar-pasar bebas, perekonomian terbuka, dan swastanisasi
perusahaan-perusahaan milik pemerintah atau negara yang
kebanyakan memang tidak efisien dan boros. Menurut teori ini,
kegagalan pembangunan bukan disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
eksternal maupun internal sebagaimana diyakini oleh para tokoh
teoritis ketergantungan, melainkan oleh banyaknya campur tangan
dan regulasi pemerintah dalam kehidupan perekonomian nasional.
Dalam pembahasan selanjutnya berdasarkan berbagai kajian
pustaka maka teori-teori yang akan dibahas diklasifikasikan menjadi
(Boediono, 1999 ; Todaro dan Smith, 2006; Arsyad, 2010):

12
Pembangunan Ekonomi 12
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

1. Mashab Historis
Mashab historis ini melihat pembangunan ekonomi
berdasarkan pengalaman sejarah tentang tahapan-tahapan
perkembangan ekonomi suatu negara. Teori ini muncul pada abad
ke 19. Mashab ini meliputi teori Friedrich List, Bruno Hilderbrand,
Karl Bucher dan W.W. Rostow.
a. Friedich List
Menurut List sistem liberalisme yang laisser faire dapat
menjamin alokasi sumber daya secara optimal. Perkembangan
ekonomi sebenarnya tergantung pada peranan pemerintah,
organisasi swasta dan lingkungan kebudayaan. Menurut List,
perkembangan ekonomi hanya akan terjadi jika dalam
masyarakat ada kebebasan dalam organisasi politik dan
kebebasan perorangan. Perkembangan ekonomi menurut List,
melalui 5 fase yaitu fase primitif, beternak, pertanian, pertanian
dan industri pengolahan (manufacturing), dan akhirnya
pertanian, industri pengolahan dan perdagangan. Pendekatan
List dalam menentukan tahap-tahap perkembangan ekonomi
tersebut berdasarkan pada cara produksinya.Untuk
perkembangan ekonomi sektor industri pengolahan sangat perlu
dikembangkan, walaupun pada awalnya perlu diberikan
proteksi.
b. Bruno Hilderbrand
Sebagai kritiknya terhadap List, Hilderbrand mengatakan
bahwa perkembangan ekonomi bukan didasarkan pada cara
produksi ataupun cara konsumsi, tetapi pada cara distribusi
yang digunakan. Oleh karenanya, Hilderbrand mengemukakan 3
(tiga) sistem distribusi yaitu:
1) Perekonomian Barter (natura)
2) Perekonomian Uang
3) Perekonomian Kredit
Sayangnya, Hilderbrand tidak menjelaskan proses
perkembangan dari tahap tertentu ke tahap berikutnya.

13
Pembangunan Ekonomi 13
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

c. Karl Bucher
Pendapat Bucher merupakan sintesa dari pendapat List
dan Hilderbrand. Menurut Bucher, perkembangan ekonomi
melalui 3 tahap yaitu;
1) Produksi untuk kebutuhan sendiri (subsisten)
2) Perekonomian kota dimana pertukaran sudah meluas
3) Perekonomian nasional dimana peran pedagang menjadi
semakin penting.
d. W.W. Rostow
Teori pembangunan ekonomi dari Rostow ini sangat
popular dan paling banyak mendapat komentar dari para
ahli.Menurut klasifikasi Todaro, teori Rostow dikelompokkan ke
dalam model pertumbuhan tahapan linear.Menurut Rostow,
proses pembangunan ekonomi dibedakan ke dalam 5 tahap,
yaitu masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat
untuk tinggal landas (the precondition for take-off), tinggal
landas (the take-off), menuju kedewasaan (the drive to maturity)
dan masa konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption).

2. Teori Klasik
a. Adam Smith (1723-1790)
Adam Smith tidak hanya terkenal sebagai pelopor
pembangunan ekonomi dan kebijaksanaan laissez-faire, tetapi
juga merupakan ekonom pertama yang banyak menumpahkan
perhatian kepada masalah pertumbuhan ekonomi. Inti dari
proses pertumbuhan menurut Smith, dibedakan ke dalam dua
aspek utama pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan output
total dan pertumbuhan penduduk.
1) Pertumbuhan output total
Unsur pokok dari sistem produksi suatu Negara menurut
Smith adalah:
1. Sumberdaya alam yang tersedia (atau faktor produksi
tanah)
Menurut Smith, sumberdaya alam yang tersedia
merupakan wadah yang paling mendasar dari kegiatan
produksi suatu masyarakat.

14
Pembangunan Ekonomi 14
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

2. Sumberdaya manusia (atau jumlah penduduk)


Sumberdaya manusia (jumlah penduduk) mempunyai
peranan yang pasif dalam proses pertumbuhan output.
Artinya, jumlah penduduk akan menyesuaikan diri
dengan kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu
masyarakat.
3. Stok barang modal yang ada
Stok modal, menurut Smith merupakan unsur produksi
yang secara aktif menentukan tingkat output.
Peranannya sangat sentral dalam proses pertumbuhan
output.Jumlah dan tingkat pertumbuhan output
tergantung laju pertumbuhan stok modal sampai batas
maksimum dari sumber alam).
2) Pertumbuhan Penduduk
Menurut Adam Smith, jumlah penduduk akan meningkat jika
tingkat upah yang berlaku lebih tinggi dari tingkat upah
subsisten yaitu tingkat upah yang pas-pasan untuk hidup.
Jika tingkat upah di atas tingkat subsisten, maka orang-
orang akan kawin pada umur muda, tingkat kematian
menurun dan jumlah kelahiran meningkat. Sebaliknya jika
tingkat upah yang berlaku lebih rendah dari tingkat upah
subsiten, maka jumlah penduduk akan menurun.
Tingkat upah yang berlaku, menurut Adam Smith
ditentukan oleh tarik-menarik antara kekuatan permintaan
dan penawaran tenaga kerja. Tingkat upah yang tinggi dan
meningkat jika permintaan akan tenaga kerja tumbuh lebih
cepat daripada penawaran tenaga kerja. Permintaan akan
tenaga kerja ditentukan oleh stok modal dan tingkat output
masyarakat. Oleh karena itu, laju pertumbuhan permintaan
akan tenaga kerja ditentukan oleh laju pertumbuhan stok
modal (akumulasi modal) dan laju pertumbuhan output.
Kritik terhadap teori Adam Smith antara lain:
1. Pembagian kelas dalam masyarakat.Teori ini
mengasumsikan adanya pembagian masyarakat
secara tegas yaitu antara golongan kapitalis
(termasuk tuan tanah) dan para buruh.

15
Pembangunan Ekonomi 15
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

2. Alasan menabung. Menurut Smith orang yang


dapat menabung adalah para kapitalis, tuan
tanah, dan lintah darat. Namun ini adalah alasan
tidak adil, sebab itu tidak terpikir olehnya bahwa
sumber utama tabungan di dalam masyarakat
yang maju adalah para penerima pendapatan,
bukan kapitalis atau tuan tanah.
3. Asumsi persaingan sempurna. Kebijakan pasar
bebas dan persaingan sempurna ini tidak pernah
ditemukan di dalam perekonomian manapun.
4. Pengabaian peranan entrepreneur. Smith agak
mengabaikan peranan entrepreneur dalam
pembangunan.
5. Asumsi stasioner. Menurut Smith hasil akhir
suatu perekonomian kapitalis adalah keadaan
stasioner. Ini berarti bahwa perubahan hanya
terjadi di sekitar titik keseimbangan tersebut.
Padahal dalam kenyataannya proses
pembangunan itu seringkali terjadi teratur dan
tidak seragam. Jadi asumsi ini tidak realistis.
b. David Ricardo (1772-1823)
Ciri-ciri perekonomian Ricardo sebagai berikut:
1. Jumlah tanah terbatas
2. Tenaga kerja (penduduk) meningkat atau menurun
tergantung pada apakah tingkat upah di atas atau di bawah
tingkat upah minimal.
3. Akumulasi modal terjadi bila tingkat keuntungan yang
diperoleh pemilik modal berada di atas tingkat keuntungan
minimal yang diperlukan untuk menarik mereka melakukan
investasi.
4. Kemajuan teknologi terjadi sepanjang waktu
5. Sektor pertanian dominan.
6. Menurut Ricardo, peranan akumulasi modal dan kemajuan
teknologi adalah cenderung meningkatkan produktivitas
tenaga kerja, artinya bisa memperlambat bekerjanya the law
of diminishing returns yang pada gilirannya akan

16
Pembangunan Ekonomi 16
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

memperlambat pula penurunan tingkat hidup kearah tingkat


hidup minimal. Inilah inti dari proses pertumbuhan ekonomi
(kapitalis) menurut Ricardo.
Kritik terhadap teori Ricardo:
1) Pengabaian pengaruh kemajuan teknologi
2) Pengertian yang salah tentang keadaan stasioner
3) Pengabaian faktor-faktor kelembagaan
4) Teori Ricardo bukan teori pertumbuhan
5) Pengabaian suku bunga

3. Teori Neoklasik (Solow-Swan)


Teori pertumbuhan ekonomi neoklasik berkembang sejak
tahun 1950-an. Teori in berkembang berdasarkan analisis-analisis
mengenai pertumbuhan ekonomi menurut pandangan ekonomi
klasik. Ekonom perintisnya adalah Robert Solow (Massachussets
Institute of Technology) dan Trevor Swan (Australia National
University). Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung
pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk,
tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi.
Sifat teori pertumbuhan Neo Klasik digambarkan seperti
Gambar 1. Teori pertumbuhan Neo Klasik ini mempunyai banyak
variasi, tetapi pada umumnya didasarkan kepada fungsi produksi
yang telah dikembangkan oleh Charles Cobb dan Paul Douglas, yang
sekarang dikenal dengan sebutan fungsi produksi Cobb-Douglas.
Fungsi tersebut ditulis dengan cara berikut :
Qt = T t a K t L t b
Keterangan;
Qt = tingkat produksi pada tahun t
Tt = tingkat teknologi pada tahun t
Kt = jumlah stok barang modal pada tahun t
Lt = jumlah tenaga kerja pada tahun t
a = pertambahan output yang diciptakan oleh
pertambahan satu unitModal
b = pertambahan output yang diciptakan oleh
pertambahan satu unit Tenaga kerja

17
Pembangunan Ekonomi 17
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

I1 I2

K3
Modal

K1

L3 L1
Tenaga Kerja

Gambar 2.1 Fungsi Produksi Neo Klasik


Sumber: Arsyad, 2010

4. Teori Keynesian (Harrod-Domar)


Teori pertumbuhan Harrod-Domar ini dikembangkan oleh
dua ekonom sesudah Keynes yaitu Evsey Domar dan R. F. Harod.
Teori ini sebenarnya dikembangkan oleh kedua ekonom secara
sendiri-sendiri, tetapi karena inti teori tersebut sama, maka
dikenal sebagai teori Harrod-Domar. Teori Harrod-Domar
merupakan perluasan dari analisis Keynes mengenai kegiatan
ekonomi secara nasional dan masalah tenaga kerja. Analisis
Keynes dianggap kurang lengkap karena tidak membicarakan
masalah-masalah ekonomi jangka panjang. Sedangkan teori
Harrod-Domar menganlisis syarat-syarat yang diperlukan agar
perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dalam jangka
panjang.

Teori Harrod-Domar mempunyai beberapa asumsi, yatu:

18
Pembangunan Ekonomi 18
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

1) Perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh (full


employment) dan barang-barang modal yang terdiri dalam
masyarakat digunakan secara penuh.
2) Terdiri dari 2 sektor yaitu sektor rumah tangga dan sektor
perusahaan, berarti pemerintah dan perdagangan luar
negeri tidak ada.
3) Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan
besarnya pendapatam nasional, berarti fungsi tabungan
dimulai dari titik nol.
4) Kecenderungan untuk menabung (marginal propensity to
save = MPS) besarnya tetap, demikian juga ratio antara
modal-output (capital-output ratio = COR) dan ratio
pertambahan modal-output (incremental capital-output
ratio= ICOR).
COR dan ICOR yang tetap ini bisa dilihat pada Gambar 2.
Dalam teoriHarrod-Domar, fungsi produksinya berbentuk L
karena sejumlah modal hanya dapat menciptakan suatu tingkat
output tertentu (modal dan tenaga kerja tidak substitutif). Untuk
menghasilkan output sebesar Q1 diperlukan modal K1 dan tenaga
kerja L1, dan apabila kombinasi itu berubah maka tingkat output
berubah.Untuk output sebesar Q2 misalnya hanya dapat
diciptakan jika stok modal sebesar K2.
Inti dari teori Harrod-Domar dijelaskan sebagai berikut;
menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan
suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya
untuk menggantikan barang-barang modal (gedung-gedung,
perlatan, material) yang rusak. Namun demikian, untuk
menumbuhkan perekonomian tersebut, diperlukan investasi-
investasi baru sebagai tambahan stok modal. Jika kita
menganggap bahwa ada hubungan ekonomis secara langsung
antara besarnya stok modal (K) dan output total (Y), misalnya jika
3 rupiah modal diperlukan untuk menghasilkan (kenaikan) output
total sebesar 1 rupiah, maka setiap tambahan bersih terhadap
stok modal (investasi baru) akan mengakibatkan kenaikan output
sesuai dengan rasio modal-output tersebut. Jika COR = k, rasio
kecenderungan menabung (MPS) = s yang merupakan proporsi

19
Pembangunan Ekonomi 19
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

tetap dari output total, dan investasi ditentukan oleh tingkat


tabungan, maka dapat dapat disusun model pertumbuhan
ekonomi seperti berikut;
1) Tabungan (S) merupakan suatu proporsi (s) dari ouput total
(Y), diperoleh persamaan :
S = s.Y ………………………………………………………….. (1)
2) Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan stok modal dan
dilambangkan dengan ∆K, maka:
I = ∆K ……………………………………………………………… (2)
Akan tetapi, karena jumlah stok modal (K) mempunyai
hubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau
output (Y), seperti telah ditunjukkan oleh rasio modal-output
(COR) atau k, maka:
K K
 k Atau  k atau ∆K = k∆Y ………..… (3)
Y Y

3) Terakhir, karena tabungan total (S) harus sama dengan


invesatsi (I), maka ;
S = I ……………………………………………………………. (4)
Berdasarkan persamaan (1) diketahui S = s.Y, dan dari
persamaan (2) dan (3) diketahui I = ∆K = k∆Y, selanjutnya
diperoleh;
S = s.Y = k∆Y = ∆K =1 …………………………………… (5)
Atau sY = k∆Y ……………………………………………... (6)
Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (6) dibagi mula-
mula dengan Y kemudian dengan k, maka didapat ;
Y s
 ……………………………........................….. (7)
Y k
∆Y/Y pada persamaan (7) menunjukkan tingkat
pertumbuhan output (persentase perubahan output).

20
Pembangunan Ekonomi 20
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Q1 Q2

K2
Modal

K1

L1 L2
Tenaga Kerja

Gambar 2.2 Fungsi Produksi Harrod-Domar


Sumber: Arsyad, 2010

Keterbatasan teori Harrod-Domar dikemukakan sebagai


berikut:
1) MPS dan ICOR tidak konstan
2) Proporsi penggunaan tenaga kerja dan modal tidak
tetap
3) Harga tidak akan tetap konstan
4) Suku bunga berubah

5. Teori Schumpeter
Salah satu pendapat Schumpeter yang penting, yang
merupakan landasan teori pembangunannya adalah
keyakinannya bahwa sistem kapitalisme merupakan sistem yang
paling baik untuk menciptakan pembangunan yang pesat. Namun
demikian, Schumpeter meramalkan secara pesimis bahwa dalam
jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami kemandegan
(stagnasi), pendapat ini sama dengan pendapat kaum Klasik.
Menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan
perkembangan ekonomi adalah proses inovasi dan pelakunya
adalah para inovator atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan

21
Pembangunan Ekonomi 21
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

ekonomi suatu masyarakat hanya bias diterapkan dengan adanya


inovasi oleh para entrepreneur. Kemajuan ekonomi tersebut
diartikan sebagai peningkatan output total masyarakat.
Schumpeter membedakan pengertian pertumbuhan
ekonomi dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh
semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan
dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan
teknologi produksi itu sendiri. Misalnya kenaikan output yang
disebabkan oleh pertumbuhan stok modal tanpa perubahan
teknologi produksi yang lama. Sedangkan pembangunan ekonomi
adalah kenaikan output oleh inovasi yang dilakukan oleh para
wiraswasta.Inovasi disini berarti perbaikan teknologi dalam arti
luas, misalnya penemuan produk baru pembukaan pasar baru dan
sebagainya.

6. Teori Ketergantungan (Dependencia)


Teori ketergantungan pertama kali dikembangkan di
Amerika Latin pada tahun 1960-an.Menurut pengikut teori ini,
ketrbelakangan (under development) Negara-negara Amerika
Latin terjadi pada saat masyarakt prakapitalis tersebut tergabung
(incorporated) ke dalam sistem ekonomi dunia kapitalis.Dengan
demikian, masyarakat tersebut kehilangan otonominya dan
menjadi daerah pinggiran dari daerah-daerah metropolitan yang
kapitalis.Daerah-daerah pinggiran dijadikan daera-daerah jajahan
dari Negara-negara metropolitan. Mereka hanya berfungsi
sebagai produsen-produsen bahan mentah bagi kebutuhan
industri Negara-negara metropolitan itu, sebaliknya merupakan
konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan industri-industri di
Negara-negara metropolitan tersebut. Dengan demikian timbul
struktur ketergantungan yang merupakan rintangan yang hampir
tak dapat diatasi serta merintangi pula pembangunan yang
mandiri.
Dalam Mashab ketergantungan ada dua aliran yaitu
pertama, aliran Marxis serta Neo-Marxis, yang diwakili oleh Andre
Gunder Frank, Theotonio Dos Santos, Rudolfo Stavenhagen,

22
Pembangunan Ekonomi 22
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Vasconi, Ruy Mauro Marini dan F.H. Cardoso. Aliran ini


menggunakan karangka analisis dari teori Marx dan Neo-Marxis
tentang imperialism.Aliran ini tidak membedakan secara tajam
antara struktur intern dan struktur ekstern, karena kedua struktur
tersebut pada dasarnya dipandang sebagai faktor yang berasal
dari sistem kapitalis dunia itu sendiri. Aliran kedua adalah aliran
non-Marxis, dipelopori oleh Celso Furtado, Helio Jaguaribe, Anibal
Pinto, dan Osvaldo Sunkel. Aliran Non-Marxis melihat masalah
ketergantungan dari perspektif nasional dan regional, yaitu
kawasan Amerika Latin.Aliran ini dengan tegas membedakan
antara keadaan dalam negeri dan luar negeri.Menurut aliran ini
struktur dan kondisi iteren pada umumnya dilihat sebagai faktor
yang berasal dari dari sistem itu sendiri.

7. Teori Pembangunan Lewis


W.Arthur Lewis mengemukakan teoritis pembangunan yang
memusatkan perhatian pada tranformasi struktural (structural
transformation) suatu perekonomian subsisten. Lebih lanjut teori
ini dikembangkan oleh John Fei dan Gustav Ranis. Model dua-
sektor Lewis ini diakui sebagai teori umum yang membahas
proses pembangunan di Negara-negara Dunia Ketiga yang
mengalami kelebihan penwaran tenaga kerja selama dekade
1960-an dan awal 1970-an.
Menurut model pembangunan Lewis, perekonomian yang
terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni 1) sektor tradisional,
yaitu sektor perdesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan
ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja yang sama
dengan nol, dengan kondisi surplus tenaga kerja, 2) sektor
industri perkotaan yang tingkat produktivitasnya tinggi dan
menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer
sedikit demi sedikit dari sektor subsisten.
Perhatian utama dari teori ini adalah terjadinya proses
pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan
peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Asumsi
Lewis tingkat upah di daerah perkotaan sekurang-kurangnya
harus 30 persen lebih tinggi daripada rata-rata pendapatan di

23
Pembangunan Ekonomi 23
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

daerah-daerah pedesaan. Selanjutnya ilustrasi model


pertumbuhan sektor modern dalam perekonomian dua sektor
rumusan Lewis sebagaimana Gambar 2.3.

Total produk
(manufactur) Total Produksi
(bahan pangan)
TPM = f(LM,KM,tM)
KM3> KM2> KM1
TPM3
TPM (KM3) TPA = f(LA,KA,tA)
TPA
TPA (KA)
TPM (KM2)
TPM2

TPM(KM1 TPA
TPM1 ) = WA
LA

L1 L2 L3 LA QLA
Produk rata-rata
Upah riil (marjinal) ,
(=MPLM) KM3> KM2> KM1
APLA

MPLA

SL
WM
D3(KM3
D2(KM) APLA
)
WA WA
D2(KM) MPLA

L1 L2 L3 LA Surplus
tenaga
Kuantitas tenaga kerja (QLM)(ribuan) kerja

Kuantitas tenaga kerja (QLA)(jutaan)

a) Sektor Modern (Industri) b) Sektor tradisional (pertanian)

Gambar 2.3. Model Pertumbuhan Rumusan Lewis


Sumber: Todaro dan Smith (2006)

24
Pembangunan Ekonomi 24
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

2.2 Keterkaitan Perdesaan dan Perkotaan


Pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat seluruhnya adalah pembangunan yang bertolak dari
rakyat, dilaksanakan oleh rakyat, dan sepenuhnya ditujukan untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat. Pembangunan dari, oleh, dan
untuk rakyat tersebut dilaksanakan di semua aspek kehidupan
bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan
aspek pertahanan keamanan dengan senantiasa mewujudkan
Wawasan Nusantara yang memperkukuh Ketahanan Nasional.
Pembangunan yang bertumpukan pada peran serta rakyat
diselenggarakan secara merata di semua lapisan masyarakat dan di
seluruh wilayah tanah air. Dalam penyelenggaraan pembangunan
yang berintikan keadilan, setiap warga berhak memperoleh
kesempatan untuk berperan serta dan menikmati hasil-hasilnya
secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
prestasinya.Dimensi kemanusiaan itu juga menjadi pangkal tolak
untuk membangun ekonomi yang kukuh, mandiri dan berkeadilan.
Perdebatan mengenai hubungan antara perdesaan-perkotaan
(pertanian-industri) menjadi hal yang mengemuka dalam teori
ekonomi pembangunan. Sebelum tahun 1960, teori-teori ekonomi
pembangunan dalam literatur-literatur pada umumnya memandang
inferior peranan sektor pertanian. Kenyataan ini sangat
mengejutkan banyak pihak mengingat begitu dominannya peranan
sektor pertanian di hampir semua negara berkembang pada saat itu.
Pandangan inferior terhadap sektor ini membuat sektor pertanian
tidak berkembang sebagaimana mestinya, dan keadaan seperti ini
mengakibatkan adanya kekurangan produksi pangan domestik yang
tiada hentinya, yang diikuti dengan krisis neraca pembayaran dan
instabilitas politik di banyak negara berkembang.
Menurut Little dalam Daryanto (2003) terdapat beberapa
faktor yang melandasi anggapan pengabaian sektor pertanian (the
neglect of agriculture). Pertama, sebagian besar para pengambil
keputusan dan para pakar di bidang ekonomi pembangunan berasal
dari kaum elit kota dan mereka tidak begitu memahami perbedaan
sifatdan karakteristik sektor pertanian dengan sektor industri dan

25
Pembangunan Ekonomi 25
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

jasa.Kedua, model-model pembangunan pada waktu itu lebih


memprioritaskan pentingnya akumulasi kapital yang identik dengan
pembangunan industri.Ketiga, ada persepsi kuat yang memandang
pertanian sebagai penyedia surplus tenaga kerja yang dapat
ditransfer ke sektor industri tanpa membutuhkan biaya transfer.
Alasan terakhir, ada persepsi yang kuat bahwa dalam proses
pembangunan pertanian para petani tradisional sering dianggap
sangat terikat kepada nilai-nilai tradisi dan tidak responsif terhadap
insentif pasar. Alasan-alasan inilah yang mendasari adanya sikap
yang meremehkan potensi pembangunan sektor pertanian sebagai
sektor yang perlu diprioritaskan penanganannya.
Pandangan para pakar ekonomi pembangunan terhadap
peranan sektor pertanian berubah secara signifikan sejak awal tahun
1960-an. Berdasarkan pengalaman empiris, para pakar ekonomi
pembangunan (antara lain Rostow, Kalecki, Schultz, Johnston dan
Mellor) memperkenalkan model pembangunan yang menitik
beratkan adanya keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor
industri. Johnston dan Mellor dalam Daryanto (2003)
mengindentifikasikan 5 (lima) kontribusi sektor pertanian dalam
pembangunan ekonomi. Pertama, sektor pertanian menghasilkan
pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika
peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, peningkatan
suplai pangan ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan
tingkat upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih
memacu pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan pangan
yang berasal dari sumber-sumber domestik dapat menghemat devisa
yang langka. Disamping itu, banyak sektor industri di Negara
berkembang yang kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada
suplai bahan baku yang berasal dari sektor pertanian. Kedua, sektor
pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa yang berasal
dari ekspor atau produk substitusi impor. Perolehan devisa dari
ekspor pertanian dapat juga membantu negara berkembang untuk
membayar kebutuhan impor barang-barang kapital dan teknologi
untuk memodernisasikan dan memperluas sektor nonpertanian.
Melalui kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat
memfasilitasi proses struktural transformasi.Ketiga, sektor pertanian

26
Pembangunan Ekonomi 26
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

merupakan pasar yang potensial bagi produk-produk sektor


industri.Sektor pertanian yang tumbuh dan berkembang sehat dapat
menstimulasi permintaan terhadap produk-produk yang dihasilkan
oleh sektor industri. Dalam hal ini, sektor pertanian menawarkan
potensi konsumsi atau permintaan yang besar terhadap produk-
produk sektor industri dan juga input-input pertanian yang
dihasilkan oleh sektor industri, seperti pupuk, pestisida dan
peralatan pertanian.Keempat, transfer surplus tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi.Perekonomian yang tumbuh dengan cepat
dapat menstimulasi terjadinya pemindahan tenaga kerja dalam
jumlah yang besar dan kontinyu dari sektor pertanian ke sektor
industri yang umumnya berlokasi di daerah perkotaan. Akhirnya,
sektor pertanian dapat menyediakan modal bagi pengembangan
sektor-sektorlain. Bagi negara-negara yang ingin
mengindustrialisasikan perekonomiannya, sektor pertanian dapat
berfungsi sebagai sumber utama modal investasi. Oleh karena itu,
industrialisasi yang berhasil memerlukan dukungan yang kuat dari
surplus yang dihasilkan oleh sektor pertanian.
Walaupun kebijaksanaan perekonomian di Indonesia lebih
ramah terhadap sektor industri pada periode sebelum krisis,
ternyata kinerja sektor pertanian Indonesia dibandingkan dengan
kinerja sektor pertanian di negara-negara berkembang lainnya
dinilai oleh Uphoff dalam Daryanto ( 2003) relatif lebih baik. Bahkan
ia memuji Indonesia sebagai negara yang berhasil
mengimplementasikan modelpembangunan pertanian Mellor dan
Johnston. Keberhasilan pertanian di Indonesia antara lain karena
didukung oleh intervensi pemerintah yang dominan. Pemerintah
melakukan intervensi pasar dengan kebijaksanaan harga, tarif, pajak
serta kebijaksanaan non-ekonomi baik secara langsung maupun
tidak langsung. Namun demikian, terlepas dari pujian yang diberikan
oleh Uphoff tersebut, banyak pihak yang berpendapat bahwa
intensitas intervensi pemerintah dalam sektor pertanian tidak
konsisten dan tidak cukup kuat mengatasi permasalahan disparitas
pembangunan antar sektor dan antar daerah di Indonesia.Secara
umum diperoleh kesan bahwa kebijakan Pemerintah lebih banyak

27
Pembangunan Ekonomi 27
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

memprioritaskan kepentingan pembangunan sektor industri. Sejalan


dengan debat peranan sektor pertanian dalam pembangunan
ekonomi, model peranan perkotaan dalam literatur ekonomi
pembangunan diawali dengan model pembangunan ekonomi Lewis
dalam Daryanto (2003) yang menyakini bahwa pertumbuhan
ekonomi dan modernisasi bisa mentransfer surplus dari sektor
pertanian ke sektor industri perkotaan, yang sekaligus pula akan
terjadi transfer alokasi sumber-sumber perdesaan, tenaga kerja
dan modal ke perkotaan dalam pembangunan nasional jangka
panjang.
Pada akhir tahun 1950-an kemudian muncul sebuah ide baru
dalam wacana perencanaan regional, dengan dibangunnya sebuah
model coreperipheryand spatial polarisation, dimana dari hasil
pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan di negara-negara
maju pertumbuhan ekonominya selalu datang dari pusat-pusat
pertumbuhan pada satu atau beberapa wilayah perkotaan Douglas
dalam Daryanto (2003). Dalam model tersebut terungkap bahwa
pertumbuhan di beberapa wilayah inti perkotaan akan memberikan
keuntungan kepada perkembangan rural-periphery. Setiap perkotaan
akan mengatur wilayah-wilayah perdesaan untuk melayani
kepentingan kota, sehingga mendatangkan arus perputaran modal,
brain drain, dan transfer sumber-sumber daya dari pertumbuhan
wilayah perdesaan. Kota-kota besar secara aktif mengeksploitasi
wilayah-wilayah perdesaan, dimana sebenarnya kemiskinan di desa
dan migrasi desa-kota tidak berasal dari isolasi perdesaan pada
wilayah perkotaan, namun dari hubungan yang erat antara
perkotaan dengan perdesaan. Lebih lanjut dikemukakan dalam
model tersebut bahwa dari wilayah perdesaan sering terjadi transfer
hasil panen atau sumber-sumber daya ekonomi yang berlebihan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar di perkotaan. Dari sini
kemudian timbul teori ketergantungan. Namun dalam
perkembangannya terjadi kesenjangan antara perdesaan dengan
perkotaan. Sebagaimana penelitian Syahza (2002) menyimpulkan
bahwa terdapat kesenjangan kesejahteraan pada masyarakat
perdesaan terutama pada daerah yang terisolir.

28
Pembangunan Ekonomi 28
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Pada tahun 1970-an, muncul suatu pandangan baru dengan ide


bahwa perkotaan itu lebih dianggap sebagai penyebab dibandingkan
sebagai solusi untuk permasalahan perdesaan, sehingga muncullah
istilah baru yang disebut urban bias dalam pembangunan perdesaan.
Dipersoalkan bahwa kemunduran dalam pembangunan perdesaan
disebabkan karena wilayah perdesaan selalu kalah terhadap
kekuatan-kekuatan politik, sosial dan ekonomi dari wilayah
perkotaan. Perencana pembangunan lebih mengedepankan
pembangunan perkotaan, sedangkan pembangunan perdesaan selalu
diletakkan paling belakang. Mereka lebih mengintensifkan modal
pembangunan untuk kemajuan perkotaan, sedangkan modal yang
disertakan untuk perdesaan sangat rendah. Mereka mempunyai
pandangan bahwa perdesaan itu hanyalah merupakan urban nodes
dan transportation linkages yang kelihatan di atas peta topografi.
Bagi mereka, dalam integrasi regional perkotaanlah yang merupakan
kuncinya. Kebijakan-kebijakan mereka seperti ini secara tegas
menunjukkan adanya urban bias. Kemudian di sisi lain, perencana
perdesaan cenderung selalu beranggapan bahwa perkotaan itu
adalah sebuah parasit dan mahkluk asing dalam pembangunan
perdesaan. Mereka selalu hati-hati terhadap perkotaan, dan jarang
sekali unsur perkotaan dimasukkan dalam wacana perdesaan.
Definisi wilayah perdesaan dalam pembangunan dianggap hanya
agricultural plots, resources areas dan villages. Dari sini kelihatan
bahwa mereka itu rural bias, yang sangat sedikit, bahkan tidak
tertarik sama sekali untuk mengamati perkembangan perkotaan
dalam framework perencanaan perdesaan. Terlepas dari
pertentangan antar pro dan kontra di atas, hal sekarang yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana membawa potensi-potensi
pembangunan perkotaan dan perdesaan tersebut dalam proses
perencanaan. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengenal
fungsi dan peranan perkotaan terhadap perdesaan yang akan
menghasilkan hubungan saling ketergantungan, bukannya hubungan
one-way urban-to-rural. Sepertinya keterkaitan perkotaan-
perdesaan saat ini, harus dilihat sebagai mutually reinforcing.
Keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan dapat disimak
dalam Gambar 2.4, yang memperlihatkan bagaimana peranan sebuah

29
Pembangunan Ekonomi 29
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

perkotaan terhadap perdesaan tampak jelas bahwa keterkaitan


perkotaan-perdesaan selalu membutuhkan pemerintah, dalam
gambar tersebut ditunjukkan pada komponen intervensi. Peran
pemerintah disini memang tidak bisa dilepas, karena pemerintah
bersama swasta dan masyarakat sudah langsung melekat sebagai
aktor dari sistem kota-desa. Sehingga dinamika sistem perkotaan-
perdesaan yang pada akhirnya bisa menimbulkan masalah perkotaan
merupakan masalah bersama bagi aktor-aktor pembangunan
perkotaan tersebut.

Rural Urban
Interaction

Spatial flows Sectoral Activities that


between rural and bestride rural and urban areas
urban areas  Agriculture (urban
* People agriculture)
* Goods  Industry (ruralindustry)
* Information  Trade
* Money  Culture

Groups of factors that affect rural-urban interaction


Historical Political Socio-cultural Physical
*When/how (policy)/ *Social groups/ environment
founded Economic Association
* Land tenure *Agric./Fore *Social norms/ *Land and
*Coopration/f stry values water
riction *Trade *Descent and *Other
*Migration/se *Education inheritance resources
ttlement *Energy *Support *Degradation
pattern *Industry network
*Financial *Diversity
*Land use *Gender&gener
*Governanc ation
e *Migratoty
tendeency
Gambar 2.4. Conceptual Framework for Rural-Urban Interaction
Sumber : Okali, Okpara, dan Olwoye, 2001

30
Pembangunan Ekonomi 30
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

2.3 Pembangunan Perdesaan


Pembangunan perdesaan secara mendasar mencakup tiga
dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi
politik (Fernando dalam Arsyad, dkk., 2011). Selain itu, dalam
implementasinya pembangunan perdesaan perlu
mempertimbangkan prinsip, yaitu berorientasi kepada komunitas
(community oriented), berbasiskan pada sumber daya komunitas
(community’s resources-based), dan dikelola komunitas (community
manged).Ketiga dimensi pembangunan tersebut dapat digambarkan
sebagaimana Gambar 2.5.

Dimenisi
Ekonomi
Kapasitas dan
kesempatan
berpartisipasi dan
mendapatkan manfaat
proses pembangunan

Pembangunan
Perdesaan

Pembangunan Kapasitas dan Kesempatan


berpartisipasi dan
Sosial yang mendapatkan manfaat
Komprehensif proses pembangunan

Dimensi Sosial Dimensi Politik

Gambar 2.5. Dimensi Utama dalam Pembangunan


Sumber : Arsyad, dkk., 2011

31
Pembangunan Ekonomi 31
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

2.3.1 Strategi pembangunan perdesaan


Strategi pembangunan pertanian dan perdesaan di Indonesia
secara umum dibagi ke dalam tiga tahap ( Arsyad, 2011). Tahap 25
tahun pertama pasca kemerdekaan pembangunan perdesaan
menekankan kepada pendekatan pemenuhan kebutuhan pokok
(basic-needs approach). Pendekatan ini dilakukan melalui berbagai
program seperti pemberantasan buta-aksara, peningkatan pelayanan
air bersih, pemenuhan kebutuhan sandang-pangan-papan, dan yang
sejenisnya.Pada tahap 25 tahun kedua (1970-195), dikenalkan
pendekatan baru yakni strategi pembangunan manusia seutuhnya
bersama-sama dengan upaya pembangunan industrialisasi
berbasiskan pertanian. Beberapa cirri pendekatan ini, antara lain
padat modal, otomatis-mekanisasi, ketergantungan pada modal
asing, industry substitusi impor dan produksi missal (mass-
production). Pada tahap ini ditandai oleh infrastruktur-infrastruk
kelembagaan baru yang lebih kapitalistik. Strategi industrialisasi dan
komersialisasi pertanian berbasiskan investasi padat modal
(perkebunan skala besar dan industry pengolahan pangan),
pengembangan moda produksi campuran (hybridinstitution) seperti
PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan pola pengembangan bapa-angkat,
serta sistem kontrak, merupakan akibat merasuknya sistem produksi
ekonomi kapitalistik ke perdesaan Indonesia. Pada tahap ini,
perubahan struktural dan pergeseran norma-norma yang dianut oleh
masyarakat perdesaan terjadi dengan sangat cepat dan radikal.
Persinggungan desa dengan berbagai organisasi sosial asing, telah
membuat masyarakat desamenjadi semakin kosmopolit,
komersialistik, individualistik, dan oportunistik dibandingkan
sebelumnya.Kelembagaan dan pranata sosial tradisi di masyarakat
juga mengalami dekonstruksi dan reduksi peran secara signifikan.
Kelembagaan gotong-royong, patron-klien, aksi-kolektif, dan
berbagai jenis aturan tradisi terpaksa untuk menyatu atau
menyesuaikan diri dengan system norma kapitalistik. Pada tahap ini,
kekecewaan terhadap strategi pembangunan perdesaan yang
digunakan mulai muncul, karena desa mengalami persoalan
ketergantungan serta eksploitasi sumber daya alam yang luar biasa.
Strategi pembangunan perdesaan tahap ketiga, pada tahap ini

32
Pembangunan Ekonomi 32
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

strategi pemabangunan perdesaan sedikit berubah yakni sejak tahun


1996. Pada tahap ketiga, pembangunan pertanian dan perdesaan
lebih banyak menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan politik
warganya. Ada dua penyebab perubahan tersebut, yaitu 1) secara
eksternal, penguatan ideologi populisme-demokratisme yang
menuntut ruang kekuasaan yang lebih luas bagi masyarakat madani
(civil-society) secara signifikan telah mendorong masyarakat desa
untuk lebih berani memperjuangkan hak-haknya, 2) secara internal,
kekuasaan otoritas-sentralisme yang bekerjasama dengan kekuatan
ekonomi kapitalisme-korporatisme yang semakin menekan
masyarakat juga telah memacu resistensi akar rumput (grass-roots).
Selain itu, krisis ekonomi tahun 1997 telah mempercepat proses
perubahan sosial di Indonesia, yang kita kenal sebagai era Reformasi.
Pendekatan pembangunan perdesaan yang baru ini dicirikan oleh
penghargaan pada eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan yang
sangat tinggi, kemandirian lokalitas, partisipasi, dan basis kekuatan
lokal yang kokoh. Ruh demokratisme dan ekologisme tampak sangat
menonjol.
Berbicara strategi pembangunan perdesaan, maka aspek
regulasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses
pembangunan perdesaan. Secara kronologis aturan-aturan yang ada
terkait pembangunan perdesaan adalah (Arsyad, dkk., 2011):
1. UU 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
2. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 1972 tentang
pelaksanaan Klasifikasi dan Tipologi Desa di Indonesia.
3. UU 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
4. UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan.
5. UU 32 2004 tentang Pemerintah Daerah.
6. Peraturan Presiden Nomor 7/2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009.
7. PP 72/2005 tentang Desa.
8. UU 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005-2025.
9. UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
10. Permendagri 19 tahun 2007 tentang Pelatihan Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa/Kelurahan.

33
Pembangunan Ekonomi 33
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

11. Permendagri 51 tahun 2007 tentang Pembangunan Kawasan


Perdesaan Berbasis Masyarakat.
Tidak ada satupun strategi pembangunan ekonomi yang cocok
digunakan oleh semua negara berkembang yang ingin meningkatkan
kesejahteraan materiil para warganya. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya faktor yang mempengaruhi strategi yang digunakan.
Faktor-faktor tersebut antara lain (Nawawi, 2009):
1. Persepsi para pengambil keputusan tentang prioritas
pembangunan yang berkaitan dengan sifat keterbelakangan
yang dihadapi masyarakat.
2. Luasnya kekuasaan negara.
3. Jumlah penduduk.
4. Tingkat pendidikan masyarakat.
5. Topografi wilayah kekuasaan negara-apakah negara kepulauan
atau daratan.
6. Jenis dan jumlah kekayaan alam yang dimiliki.
7. Sistempolitik yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Mencermati sejarah panjang strategi (pendekatan) yang
pernah ditempuh oleh bangsa Indonesia baik keberhasilannya
maupun kegagalannya, maka strategi pembangunan perdesaan yang
harus ditempuh tidak dapat disamakan begitu saja dengan
pendekatan pembangunan perkotaan, meskipun unsur-unsurnya
kurang lebih sama. Oleh sebab itu, pembangunan perdesaan
menurut Kartasasmita (1996) harus meliputi empat upaya besar,
yang satu sama lain saling berkaitan. Mengembangkan kegiatan
dalam keempat alur itu harus merupakan strategi pokok
pembangunan perdesaan, yang meliputi; Pertama, memberdayakan
ekonomi masyarakat desa. Dalam upaya ini, diperlukan masukan
modal dan bimbiungan-bimbingan seperti teknologi dan pemasaran
untuk memampukan dan memndirikan masyarakat perdesaan.
Kedua, dalam jangka yang lebih panjang meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia perdesaan, agar memiliki dasar yang memadai
untuk meningkatkan dan memperkuat produktivitas dan daya saing.
Upaya sekurang-kurangnya harus meliputi tiga aspek, yaitu
pendidikan, kesehatan dan gizi. Ketiga, pembangunan prasarana.
Berbagai upaya di atas tidak cukup bermanfaat bagi masyarakat

34
Pembangunan Ekonomi 34
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

apabila mereka hidup terpencil atau tidak dapat memanfaatkan


secara optimal sumber daya yang ada di wilayahnya. Untuk itu,
diperlukan prasarana pendukung perdesaan yang memadai.
Prasarana tersebut diantaranya prasarana perhubuingan yang
memadai, penerangan, jaringan telekomunikasi dan sebagainya.
Keempat, pembangunan kelembagaan. Lembaga pemerintah dan
lembaga kemasyarakatan desa perlu diperkuat agar pembangunan
perdesaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan
kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemerintah
desa dan masyarakat desa itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa strategi pembangunan perdesaan tidak
bisa bersifat umum (grand stategy) yang bisa diterapkan dimana saja
dan kapan saja. Tetapi, harus bersifat spesifik dan konstektual yang
sesuai dengan kondisi desa yang bersangkutan.

2.3.2 Akselarasi pembangunan perdesaan


Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam
rangka percepatan pembangunan wilayah termasuk perdesaan.
Sebagaimana diketahui rapat kerja pemerintah pusat dan daerah
yang berlangsung 21-22 Februari 2011 di Istana Bogor, Presiden SBY
memaparkan masterplan yang diberi nama MP3EI 2011-2025, dalam
hal ini koridor ekonomi Indonesia dibagi menjadi enam koridor yaitu
Koridor Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua dan
Maluku. Lebih lanjut dikatakan penyusunan MP3EI tidak bermaksud
untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang ada
seperti RPJPN dan RPJMN (Kuncoro, 2012). Pendekatan
Pembangunan Koridor Ekonomi (PKE), MP3EI memberikan tema
bagi pembangunan wilayah sebagai berikut:
1. MP3EI tidak diarahkan pada kegiatan eksploitasi dan ekspor
SDA, tetapi lebih pada penciptaan nilai tambah.
2. MP3EI tidak diarahkan untuk menciptakan konsentrasi ekonomi
pada daerah tertentu.
3. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan ekonomi yang
dikendalikan oleh pusat, tetapi pada sinergi pembangunan
sektoral dan daerah untuk menjaga keuntungan kompetetif
nasional.

35
Pembangunan Ekonomi 35
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

4. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan transportasi darat


saja, tetapi pada pembangunan transportasi yang seimbang
antara darat, laut dan udara.
5. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan infrastruktur
yang mengandalkan anggaran pemerintah semata, tetapi juga
pembangunan infrastruktur yang menekankan kerjasama
pemerintah dengan swasta (KPS).
Akselerasi pembangunan dengan MP3EI, sebagaimana Gambar
2.6 mensyaratkan pembiayaan yang memadai. Masalahnya, daerah
masih mengandalkan pembiayaan pembangunannnya dari dana
perimbangan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat. Transfer dana
ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Otonomi Khusus
(DOK) ternyata belum mampu menurunkan kesenjangan
pembangunan antara daerah secara signifikan. Sebaliknya,
kesenjangan antar daerah masih melebar dan meningkat.
Akselarasi pembangunan perdesaan ditentukan oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sumberdaya
yang dimiliki oleh desa bersangkutan yang merupakan sumber
percepatan pembangunan desa baik sumber daya alam maupun
sumber daya manusia. Sebagai salah satu contoh faktor internal
adalah ketersediaan infrastruktur, hal ini sesuai dengan MP3EI point
5. Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan salah satu
syarat tercapainya tujuan pembangunan, terutama pembangunan
ekonomi. Infrastruktur yang baik menciptakan akses yang lebih
murah kepada masyarakat perdesaan baik berupa akses
transportasi, komunikasi maupun energi. Hampir semua literatur
pembangunan mengakui bahwa infrastruktur berfungsi sebagai
katalis bagi pembangunan yang tidak saja dapat meningkatkan akses
terhadap sumberdaya, tetapi juga dapat meningkatkan efektivitas
intervensi pemerintah (Arsyad,dkk., 2011). Ketersediaan
infrastruktur, khususnya yang tepat guna dan berkualitas,
merupakan persyaratan untuk memecahkan masalah pembangunan
perdesaan dan sekaligus mempercepat pembangunan perdesaan.
Ketersediaan infrastruktur dapat mendukung aktivitas sosial-

36
Pembangunan Ekonomi 36
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

ekonomi keseharian masyarakat, meningkatkan kualitas SDM dan


mendorong pembangunan kawasan perdesaan.

Masterplan Percepatan dan


Perluasan Pembangunan
Ekonomi

KEBIJAKAN
SEKTORAL Pembangunan Nasional
(Sistranas,
(RPJMN, RPJMD,Dunia
IPTEK,dsb)
Usaha)

Sektoral Rencana Induk


PENGEMB Pembangunan
ANGAN Koridor
KORIDOR
Regional EKONOMI
Ekonomi Nasional

Penguatan Kebijakan
Pembangunan Sektoral
Konektivitas Sistem Logistik (Sistranas
Nasional Nasional Roadmap ICT,
dsb)

Rencana Aksi Penguatan


Konektivitas Nasional

Gambar 2.6. Pendekatan Penyusunan Masterplan Percepatan


dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia
Sumber : Alisjahbana dalam Kuncoro (2012)

37
Pembangunan Ekonomi 37
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Selain ketersedian infrastruktur, faktor lain yang perlu dikaji


dalam mempercepat proses pembangunan perdesaan adalah analisis
mengenai kondisi perdesaan yang difokuskan ke dalam indikator-
indikator pengukur keberhasilan pembangunan perdesaan.
Indikator-indikator tersebut adalah infrastruktur (fisik, ekonomi,
pendidikan, kesehatan), kondisi pendidikan, kondisi kesehatan,
pembangunan pertanian, tingkat industrialisasi, perkembangan
usaha non-pertanian, tingkat rawan bencana, aspek
kelembagaan&modal sosial dan aspek sosial budaya.
1. Infrastruktur, meliputi : 1) kapasitas infrastruktur fisik yang
terdiri dari infrastruktur transportasi, infrastruktur komunikasi,
infrastruktur listrik. 2) Infrastruktur ekonomi. Kapasitas
infrastruktur ekonomi sebagai salah satu prasarana penunjang
kegiatan ekonomi di perdesaan sangat mutlak diperlukan dalam
rangka mempercepat terjadi proses pembangunan perdesaan.
Minimnya keberadaan infrastruktur penunjang kegiatan
ekonomi, merupakan masalah klasik yang dihadapi perdesaan,
lebih-lebih Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.
Kapasitas infrastruktur ekonomi ini seperti usahatani berbadan
hukum, kios sarana produksi, ketersediaan pasar dan jarak ke
pusat pertokoan, keberadaan lembaga keuangan (bank dan
bukan bank) dan akses pada kredit. 3) Infrastruktur kesehatan.
Faktor kesehatan adalah merupakan salah satu yang
menentukan kulaitas SDM. Maka dalam hal ini, hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam rangka mempercepat proses
pembangunan perdesaan adalah a) ketersediaan fasilitas
kesehatan publik, b) jarak desa ke fasilitas kesehatan publik, c)
aksebilitas desa ke fasilitas kesehatan publik, d) jumlah tenaga
medis dan paramedis di perdesaan, kapasitasserta tingkat
jangkauan layanan per tenaga pelayan kesehatan, e) fasilitas
penunjang kesehatan di perdesaan. 4) Infrastruktur pendidikan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah a) ketersediaan fasilitas
pendidikan, b) jarak ke fasilitas Pendidikan Dasar.
2. Pembangunan Pertanian di Perdesaan. Pertanian merupakan
karakteristik utama dari perekonomian perdesaan. Akselerasi
pembangunan perdesaan tidak terlepas dari pembangunan

38
Pembangunan Ekonomi 38
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

pertanian. Oleh sebab itu, dalam rangka mempercepat


pembangunan perdesaan, maka harus memperhatikan kondisi;
a) usahatani subsisten, b) penggunaan lahan pertanian di
perdesaan, c) komoditas pertanian utama.
3. Tingkat Industrialisasi di Perdesaan. Dalam proses transisi
menuju masyarakat modern, industrialisasi cukup memegang
peranan penting. Dengan demikian upaya Kabupaten Kutai
Kartanegara dalam mempercepat pembangunan perdesaan
untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya tidaklah salah
kalau tetap meningkatkan usaha perkebunan kelapa sawit. Hal-
hal yang perlu dianalisis adalah a) ketersediaan prasarana
penunjang industrialisasi, b) jumlah industri berdasarkan skala
usaha, c) industri kecil menurut bidang usaha.
4. Perkembangan Usaha Non Pertanian. Untuk Kabupaten Kutai
Kartanegara terdapat ketimpangan antara sektor ekstraktif
(pertambangan) dan sektor produktif (manufaktur). Ini menjadi
perhatian bagi semua pihak, walaupun sektor pertambangan
nampak mempercepat pembangunan perdesaan, namun disisi
lain banyak yang lepas dari perhatian, terlebih-lebih program
CSR oleh perusahaan tidak pernah berjalan optimal. Kerusakan
lingkungan yang semakin parah, dan masalah sosial lainnya,
cermati eks pertambangan emas yang terjadi di Long Iram Kutai
(Sekarang Kutai Barat) dan beberapa daerah yang batubaranya
telah habis ditambang.
5. Pendidikan dan Kesehatan. Bagian awal telah disebutkan bahwa
sumber daya manusia merupakan penentu bagi maju tidaknya,
cepat tidaknya proses pembangunan perdesaan. Hal-hal yang
perlu dikaji adalah a) tingkat melek huruf, b) tingkat partisipasi
sekolah, c) morbiditas.
6. Tingkat Rawan Bencana. Kerentanan sebuah desa terhadap
bencana alam mempengaruhi efektivitas dan percepatan proses
pembangunan perdesaan. Pada daerah rawan bencana juga
sering dijumpai masalah-masalah pendidikan dan kesehatan.
7. Aspek Kelembagaan dan Modal Sosial. Selama ini dalam rangka
mempercepat proses pembangunan perdesaan, perhatian
terhadap peran institusi, budaya dan struktur sosial masyarakat

39
Pembangunan Ekonomi 39
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

hampir tidak ada. Hal yang perlu diperhatikan dalam akselerasi


pembangunan perdesaan pada aspek ini adalah ketersediaan
organisasi sosial kemasyarakatan, stabilitas politik dan
keamanan, modal sosial.
8. Aspek sosial budaya. Penyebaran masyarakat dari berbagai etnis
di sebuah wilayah perdesaan tentu saja turut memperkaya nilai-
nilai budaya dari masyarakat setempat. Proporsi desa multi
etnis di Kalimantan tergolong tinggi yaitu mencapai 77 persen
(Arsyad, dkk., 2011). Adanya multi etnis ini juga mempengaruhi
cepat tidaknya pembangunan sebuah desa. Sebagaimana
sebagian besar perdesaan di Kabupaten Kutai Kartanegara yang
masyarakatnya multi etnis menunjukkan proses pembangunan
perdesaan lebih cepat terjadi, sebagaimana pengamatan penulis
untuk di Desa Jembayan Kecamatan Loa Kulu (sekarang
dimekarkan menjadi Desa Jembayan, Desa Jembayan Tengah dan
Desa Jembayan Dalam). Percepatan pembangunan perdesaan
pada dasarnya tidak terdapatnya rencana dan strategi
pembangunan yang konsisten dan berkelanjutan. Sebagaimana
Jamal (2008) menyimpulkan bahwa kelemahan mendasar
pembangunan perdesaan di Indonesia adalah belum adanya
suatu grand strategy yang menjadi acuan semua pihak yang
bergerak pada upaya ini.

2.3.3 Program pembangunan perdesaan


Pembangunan perdesaan di Indonesia yang seiring dengan
pembangunan nasional dilaksanakan melalui tahapan-tahapan
pembangunan yang dikenal dengan PELITA. Selama PELITA tersebut
dijumpai program-program pembangunan perdesaan, yaitu program
pembangunan sektoral, regional dan khusus. Program pembangunan
sektoral umumnya berorientasi pada peningkatan produksi dan
pembangunan sarana dan prasarana fisik yang secara langsung
menunjang kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan,
pendidikan dan kesehatan. Program pembangunan regional yang
berkaitan denga program pembangunan perdesaan, seperti program
inpres, program pengembangan (PPWT-swadana), program

40
Pembangunan Ekonomi 40
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

perbaikan khusus seperti program Pengembangan Wilayah Terpadu


Swadana Kampung, dan Program Kawasan Terpadu (PKT).
Pembangunan Indonesia melalui PELITA secara jujur harus
diakui tentang keberhasilannya namun di sisi lain masih banyak
kegagalannya. Kajian empiris Jamal (2008) menyimpulkan
walaupun hampir semua instansi pemerintah dan pihak lain yang
peduli dengan pembangunan perdesaan dengan menjadikan desa
sebagai kegiatan utamanya namun masing-masing pihak bekerja
sendiri-sendiri bahkan sering terjadi pengulangan kegiatan yang
sama dengan program yang berbeda, dengan demikian kegagalan
program yang sering dijumpai. Adanya sejumlah faktor yang
membantu berhasilnya program pembangunan, yaitu 1) adanya
perencanaan yang realistis disesuaikan dengan kondisi nasional dan
sosial, 2) adanya kesungguhan untuk melaksanakan kegiatan
pembangunan sesuai dengan yang direncanakan, 3) adanya
kepemimpinan yang konsekuen dan konsisten mengelola upaya
pembangunan dari satu tahap ke tahap berikutnya sesuai dengan
rencana. Adapun kendala-kendala yang menghambat tidak
tercapainya program adalah 1) kendala perencanaan, 2) kendala
pelaksanaan, kendala koordinasi, dan 3) kendala monitoring dan
evaluasi.
Arsyad, dkk (2011) mengkaji program pembangunan
perdesaan yang telah dan sedang dilaksanakan baik program yang
dikelola/didanai oleh pemerintah maupun yang dikelola oleh
lembaga non-pemerintah meliputi program yang bersifat sektoral
(pembangunan bidang pertanian, perikanan, kehutanan), program
non-sektoral (misal Program Pengembangan Kecamatan), dan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM
Mandiri).Lebih lanjut dikatakan distribusi kegiatan program
pembangunan perdesaan di Indonesia dikategorikan berdasarkan 8
(delapan) indikator. Program kegiatan dibidang infrastruktur
mendominasi program pembangunan di Indonesia yaitu sebesar 38
persen. Selanjutnya diikuti oleh pembangunan pertanian 23 persen,
pendidikan dan kesehatan 10 persen, perkembangan usaha non
pertanian 9 persen, aspek sosial budaya 8 persen, tingkat
industrialisasi 6 persen, kelembagaan dan modal sosial 4 persen dan

41
Pembangunan Ekonomi 41
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

tingkat rawan bencana 2 persen. Program pembangunan perdesaan


berdasarkan wilayah cenderung tidak merata. Secara regional,
program pembangunan perdesaan lebih terkonsentrasi di tiga
wilayah, terutama di wilayah Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Program pembangunan perdesaan paling banyak dilakukan di
wilayah Sumatera sebesar 19 persen. Kemudian diikuti Nusa
Tenggara dan Sulawesi masing-masing 18 persen. Untuk wilayah
Jawa dan Bali sebesar 16 persen. Wilayah Maluku dan Papua berada
pada posisi paling bawah dalam hal jumlah program pembangunan
perdesaan, yaitu sebesar 9 persen dan 8 persen. Selengkapnya
sebagaimana nampak pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Distribusi Jumlah Program Pembangunan Perdesaan
Berdasarkan Wiliayah
Jumlah Kegiatan
Wilayah A B C D E F G H Tot %
Sumatera 18 9 9 9 3 2 8 9 67 19
Jawa-Bali 15 9 7 7 5 1 5 7 56 16
NUSRA 16 9 8 8 5 1 7 9 63 18
Kalimantan 13 6 7 7 3 0 6 6 48 13
Sulawesi 17 11 6 6 4 2 8 10 64 18
Maluku 11 3 4 4 2 0 5 4 33 9
Papua 10 4 3 3 2 0 4 2 28 8
Total 100 51 44 44 24 6 43 47 359
Persentase 28 14 12 12 7 2 12 13
Keterangan:
A = Infrastruktur
B = Pembangunan Pertanian
C = Tingkat Industrialisasi
D = Perkembangan Usaha non Pertanian
E = Pendidikan dan Kesehatan
F = Tingkat Rawan Bencana
G = Kelembagaan
H = Aspek Sosial Budaya

Sumber : Arsyad, dkk (2011)

42
Pembangunan Ekonomi 42
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

2.3.4. Migrasi Desa-Kota


Tidak disangkal lagi bahwa pemahaman masyarakat umum
tentang kota adalah sebagai pusat surganya dunia dan sumber
kesejahteraan hidup manusia. Sedangkan desa adalah sumber
kemelaratan. Pemahaman masyarakat yang keliru ini tidak menutup
kemungkinan semakin numpuknya masalah yang dihadapi baik di
perkotaan maupun di perdesaan. Dorongan dari perdesaan dan
tarikan dari wilayah perkotaan seringkali dibedakan dalam diskusi
tentang migrasi. Acuan pada dorongan dan tarikan tersebut
berfungsi menekan pentingnya motif khusus dalam memutuskan
bermigrasi (Gilbert dan Gugler, 1996).
Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan utama
menetap dari satu tempat ke tempat lain melampau batas
politik/negara ataupun batas administratif/batas bagian dalam suatu
negara. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang
relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Ada dua dimensi
penting yang perlu ditinjau dalam menelaah migrasi, yaitu dimensi
waktu dan dimensi daerah. Untuk dimensi waktu, ukuran yang pasti
tidak ada karena sulit menentukan beberapa lama seseorang pindah
tempat tinggal untuk dapat dianggap sebagai seorang migrasi, tetpai
biasanya digunakan definisi yang ditentukan dalam sensus penduduk
(Munir, 2007).
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan
migrasi, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor-faktor
pendorong migrasi misalnya:
1. Makin berkurangnya sumber-sumber alam, menurunnya
permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya
makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu atau bahan
dari pertanian.
2. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya di
perdesaan) akibat masuknya teknologi yang menggunakan
mesin-mesin (capital intensive).
3. Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku
di daerah asal.

43
Pembangunan Ekonomi 43
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

4. Tidak cocok lagi dengan adat/budaya/kepercayaan di tempat


asal.
5. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa
mengembangkan karir pribadi.
6. Bencana alam baik banjir, kebakaran, gempa bumi, musim
kemarau panjang atau wabah penyakit.
Faktor-faktor penarik migrasi antara lain :
1) Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan
untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok.
2) Kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih baik.
3) Kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.
4) Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan
misalnya iklim, perumahan, sekolah, dan fasilitas-fasilitas
kemasyarakatan lainnya.
5) Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan,
pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang desa atau
kota kecil.
Masa yang besar di perdesaan secara potensial aktif. Mereka
juga memahami adanya kesenjangan standar hidup antara di desa
dan di kota. Banyak diantara mereka yang bersiap-siap untuk pindah
ke kota jika mereka yakin akan kehidupan di kota, walaupun
pekerjaan untuk kaum migran kota semakin sulit, bahkan jumlah
mereka yang menganggur dan setengah menganggur semakin
meningkat. Sebagian migran datang ke kota dengan kualifikasi
tertentu atau memiliki koneksi-koneksi yang tepat, sehingga mampu
mendapatkan pendapatan yang memuaskan di kota. Banyak juga
yang tidak begitu beruntung.
Perpindahan individu-individu merupakan fokus banyak
analisis migrasi, dan kecenderungan ini didukung oleh fakta bahwa
migrasi biasanya melibatkan orang-orang muda yang masih belum
bekerja. Tetapi dalam banyak kasus migrasi tidak hanya merupakan
suatu perpindahan sekaligus, agaknya terdapat jenis-jenis
perpindahan yang berangsur-angsur sepanjang waktu atau yang
biasa disebut karier migrasi. Menurut Gilbert dan Gugler (1996), ada
tiga pola migrasi desa-kota yang penting di negara-negara Dunia
Ketiga :

44
Pembangunan Ekonomi 44
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

a. Migrasi temporer kaum laki-laki yang terpisah dari keluarga


mereka.
b. Migrasi keluarga ke wilayah perkotaan yang diikuti oleh
migrasi balik ke kampung halaman.
c. Pembangunan rumah tangga keluarga urban yang
permanen.
Migrasi desa-kota telah meningkat pesat, dan pembangunan di
perkotaan memainkan peranan penting dalam pembangunan
ekonomi. Migrasi memperburuk ketidakseimbangan struktural
antara desa dan kota secara langsung dalam dua hal. Pertama, di sisi
penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan
jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampui tingkat atau
batasan pertumbuhan penduduk, yang sedianya masih dapat
didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan
yang ada di daerah perkotaan. Kedua, di sisi permintaan, penciptaan
kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih
mahal daripada penciptaan lapangan kerja di perdesaan, karena
kebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan
membutuhkan angka input-input komplementer yang sangat banyak
jumlah maupun jenisnya (Todaro dan Smith, 2006). Lebih lanjut
dikatakan pola migrasi adalah hal yang komplek. Jenis migrasi yang
paling penting jika ditinjau dari sudut pandang pembangunan jangka
panjang adalah migrasi dari desa ke kota (rural-urban migration),
namun migrasi dari desa- ke desa, kota ke kota dan bahkan migrasi
dari kota ke desa pun terjadi dalam jumlah besar. Migrasi dari desa
ke kota adalah yang paling penting karena pangsa jumlah penduduk
yang menempati daerah perkotaan terus bertambah meskipun
tingkat fertilitas di kota jauh lebih rendah daripada di desa, dan
perbedaan ini cukup mempengaruhi migrasi dari desa ke kota.
Berikut disajikan model migrasi Todaro, dimana teori ini
bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya
merupakan suatu fenomena ekonomi. Oleh karena itu, keputusan
untuk melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang
telah dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi,
meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang
ada di daerah-daerah perkotaan. Selanjutnya, model Todaro

45
Pembangunan Ekonomi 45
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu


berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan
pendapatan antara kota dengan desa. Pendapat yang dipersoalkan di
sini bukalah penghasilan yang aktual, melainkan penghasilan yang
diharapkan (expected income). Dalil dasar dalam model ini adalah
bahwa para migran senantiasa mempertimbangkan dan
membanding-bandingkan berbagai macam pasar tenaga kerja yang
tersedia bagi mereka di sektor perdesaan dan perkotaan, serta
kemudian memilih salah satu diantaranya yang dapat
memaksimumkan keuntungan yang diharapkan (expected gains) dari
migrasi. Selanjtnya sebagaimana disajikan pada Gambar 2.7.

A Tingkat Upah
M
di sektor industri
Tingkat upah di atau manufaktur
sektor pertanian

A
M

q’
WM

WA
q
E
W*Ā WŴ

M’
W**A A’

OA LA LĀ LM’ LUS OM

LUS
Gambar 2.7 Model Migrasi Harris-Todaro
Sumber : Todaro dan Smith, 2006

46
Pembangunan Ekonomi 46
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

BAB III
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM
PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN

Pertanian memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia yaitu


menjadi sektor strategis untuk bidang pembangunan. Pertanian juga
mempunyai peran penting sebagai sumber utama kehidupan dan
pendapatan masyarakat, penghasil bahan mentah dan bahan baku
industri pengolahan, penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha,
sumber penghasil devisa negara dan juga merupakan salah satu
unsur pelestarian lingkungan hidup. Hal tersebut secara jelas
menjadi tujuan utama pembangunan pertanian di Indonesia yang
perlu diwujudkan.
Pertanian secara keseluruhan sangat penting, karena
menyediakan berbagai produk yang dibutuhkan seluruh penduduk
dan menghasilkan komoditas ekspor. Namun, masyarakat masih
memandang bidang industri, perdagangan, pertambangan dan jasa,
dapat memberikan lebih banyak keuntungan bagi mereka yang
bekerja didalamnya dan lebih memberikan jaminan dibandingkan
sektor pertanian. Usaha pertanian dinilai banyak mengandung risiko
kegagalan dan harga jual produknya relatif rendah. Pandangan
masyarakat umum tersebut menjadikan sektor pertanian sebagai
pilihan terakhir dalam melakukan investasi dan pencarian pekerjaan.
Hal tersebut menjadi tantangan bagi pembangunan pertanian di
Indonesia untuk lebih aktif dalam peningkatan produktivitas
pertanian dan menyediakan fondasi jangka panjang secara

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 47


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

berkesinambungan serta lebih memfokuskan pada sistem agribisnis.


Menurut Saragih (2008), untuk saat ini dan masa yang akan datang
perhatian terhadap pembangunan agribisnis akan sangat tepat bagi
perekonomian Indonesia. Sistem agribisnis menekankan pada
peningkatan sumber daya manusia, infrastruktur dan pertanian
dalam arti luas. Sehingga tercapainya tujuan antara lain:
mewujudkan sektor pertanian yang tangguh dan mampu
meningkatkan produksi pertanian (baik dari segi kualitas, kuantitas
maupun distribusi), mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf
hidup, mampu menyediakan lapangan dan kesempatan kerja, serta
mampu meningkatkan pendapatan devisa negara sehingga tidak
semata-mata hanya bergantung pada industri migas dan jasa saja.

3.1 Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap


Ekonomi Nasional

Pertanian merupakan sektor ekonomi yang sangat potensial


dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi nasional, yaitu (Kuznets dalam Tambunan,
2010):
1. Ekspansi output dari sektor-sektor ekonomi lainnya tergantung
pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi
permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu
mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran
sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-
sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya: industri
makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut
sebagai kontribusi produk/output.
2. Sektor pertanian berperan sebagai sumber penting bagi
pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari
sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebut sebagai kontribusi
pasar.
3. Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor
ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga
kerja tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam
banyak kasus bahwa dalam proses pembangunan ekonomi

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 48 48


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

terjadi transfer surplus tenaga kerja dari pertanian (perdesaan)


ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets
menyebutnya sebagai kontribusi faktor-faktor produksi.
4. Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan
(sumber devisa), baik lewat hasil-hasil pertanian dalam negeri
menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya
sebagai kontribusi devisa.

A. Kontribusi Produk
Kontribusi produk pertanian terhadap produk domestik bruto
(PDB) dapat dilihat dari hubungan antara pertumbuhan kontribusi
tersebut dengan pangsa PDB awal dari pertanian dan laju
pertumbuhan relatif produk-produk neto dari sektor pertanian dan
sektor-sektor non pertanian. Misalnya PP = produk neto pertanian,
PNP = produk neto non pertanian, dan PN = total produk nasional atau
PDB, maka hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
(Ghatak dan Ingersent dalam Tambunan, 2010):

PDB = PP + PNP
Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) memiliki posisi yang sangat penting. Namun kontribusinya
terus mengalami penurunan, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3.1.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB terus mengalami
penurunan mulai PELITA I (69-73) kontribusi sektor pertanian
sebesar 33,69 persen, PELITA II (74-78) kontribusi sektor pertanian
terhadap PDB sebesar 26,92 persen, pada PELITA III (79-83) turun
menjadi sebesar 24,36 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap
PDB pada PELITA IV (84-88) sebesar 21,89 persen dan terus
mengalami penurunan sampai pada PELITA V (89-91) kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB sebesar 20,01 persen (Soekartawi,
1996). Menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
seiring dengan menurunnya laju pertumbuhan PDB sektor pertanian.
Pertumbuhan PDB sektor pertanian pada PELITA III (79-83) sebesar
5,56 persen mengalami penurunan pada PELITA IV (84-88) menjadi
sebesar 3,88 persen dan mengalami penurunan pada PELITA V
menjadi sebesar 3,17 persen.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 49 49


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Tabel 3.1
Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDB dan Laju Pertumbuhan
Sektor Pertanian: 1969-2008
Tahun Kontribusi Laju Pertumbuhan
sektor pertanian (%) sektor pertanian (%)
1969-1973 33,69 -
1974-1978 26,92 -
1979-1983 24,36 5,56
1984-1988 21,89 3,88
1989-1991 20,01 3,17
1999 19,61 2,16
2000 17,23 1,88
2001 16,99 1,68
2002 17,09 2,01
2003 16,58 2,48
2004 14,3 2,82
2005 13,1 2,72
2006 13,0 2,36
2007 13,7 3,43
2008 14,5 4,77
Sumber: Soekartawi, 1996 ; BPS, 2004 ; BPS, 2009.
Kondisi yang sama terjadi pada masa reformasi, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 1999 sebesar 19,61
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,16 persen, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2000 sebesar 17,23
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,88 persen, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2001 sebesar 16,99
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,68 persen, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2002 sebesar 17,09
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,01 persen, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2003 sebesar 16,58
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,48 persen, pada tahun
2004 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB turun mejadi
sebesar 14,3 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,82 persen,
selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2005 kontribusinya
yaitu sebesar 13,1 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,72
persen. Turunnya pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2005
sementara ekonomi nasional tumbuh mantap yakni pada tahun 2004

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 50 50


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

sebesar 5,03 persen dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 5,69
persen. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilaksanakan untuk
meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian melalui berbagai
program dan kebijakan pertanian sehingga untuk tahun selanjutnya
pertumbuhan sektor pertanian dapat meningkat. Kontribusi sektor
pertanian terhadap PDB pada tahun 2007 meningkat menjadi
sebesar 13,7 persen dengan pertumbuhan 3,43 persen. Selanjutnya
kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mengalami peningkatan,
pada tahun 2008* menjadi 14,5 persen dengan laju pertumbuhan
sebesar 4,77 persen (BPS, 2004 ; BPS , 2009).
Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun
pada tahun 2005, namun kontribusi sektor ini terhadap kesempatan
kerja tetap mendominasi dibandingkan dengan sektor lainnya. Pada
tahun 2005 tenaga kerja yang diserap pada sektor pertanian
sebanyak 41,8 juta. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian
terus mengalami peningkatan, sampai tahun 2010 tenaga kerja yang
diserap oleh sektor ini sebanyak 42,8 juta atau sekitar 40 persen dari
jumlah tenaga kerja yang ada pada tahun tersebut (BPS,2010). Hal
ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai Negara agraris di mana
ekonomi dalam negeri masih didominasi oleh ekonomi pedesaan
yang sebagian besar tenaga kerja bekerja pada sektor pertanian.
Demikian halnya dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDRB di luar minyak & gas bumi dan
pertambangan masih mendominasi. Kontribusi sektor pertanian
terhadap PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara di luar minyak dan gas
bumi sebesar 21,56 persen (Kabupaten Kutai Dalam Angka, 2010).

B. Kontribusi Pasar
Di masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi,
maka yang menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah
usahatani dimana hasil usahatani menentukan perkembangan
agribisnishilir dan hulu. Hal ini memang sesuai pada masa itu, karena
target pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk
mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin. Selain itu,
konsumen juga belum pada permintaan dengan atribut-atribut
produk yanglebih rinci dan lengkap. Dewasa ini, dan terlebih lagi di

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 51 51


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

masa yang akan datang, orientasi sektor pertanian telah berubah


kepada orientasi pasar. Berlangsungnya perubahan
preferensikonsumen yang makin menuntut atribut produk yang
lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan
produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian
harusberubah dari usahatani tradisional menuju pertanian yang
modern. Dalam hal ini, untuk mengembangkan sektor pertanian yang
moderen dan berdaya saing, agroindustri harusmenjadi lokomotif
dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usahatani dan selanjutnya
akan menentukan sub-sektor agribisnis hulu.
Proporsi populasi pertanian (petani dan keluarganya) yang
besar seperti Indonesia merupakan sumber sangat penting bagi
pertumbuhan pasar domestik bagi produk-produk dari sektor non
pertanian, khususnya industri manufaktur. Pengeluaran petani
untuk produk-produk industri, baik barang-barang konsumsi
(makanan, pakaian, rumah atau bahan-bahan bangunan lainnya)
maupun barang-barang perantara untuk kegiatan produksi (pupuk,
pestisida, alat-alat pertanian) memperlihatkan satu aspek dari
kontribusi pasar dari sektor pertanian terhadap pembangunan
ekonomi lewat efeknya terhadap pertumbuhan dan diversifikasi
sektoral. Peran dari sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya
terhadap diversifikasi dan pertumbuhan output dari sektor-sektor
non pertanian tergantung pada dua faktor penting (Tambunan,
2010). Pertama, dampak dari keterbukaan ekonomi di mana pasar
domestik tidak hanya diisi oleh barang-barang buatan dalam negeri
tetapi juga barang-barang impor. Kedua, jenis teknologi yang
digunakan di sektor pertanian yang menentukan tinggi rendahnya
tingkat mekanisasi atau modernisasi di sektor tersebut. Besarnya
permintaan terhadap barang-barang produsen buatan industri
(seperti traktor, alat-alat pertanian modern dan pupuk buatan
pabrik) dari kegiatan-kegiatan pertanian yang bersifat tradisional
lebih kecil (baik dalam jumlah maupun komposisinya menurut jenis
barang) dibandingkan besarnya permintaan dari sektor pertanian
yang sudah modern.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 52 52


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

C. Kontribusi Faktor-Faktor Produksi


Faktor produksi yang dapat dialihkan dari pertanian ke sektor-
sektor pertanian, tanpa harus mengurangi volume produksi
(produktivitas) di sektor pertama adalah (Tambunan, 2010):
1. Tenaga Kerja (L). Di dalam teori Arthur Lewis dikatakan bahwa
pada saat pertanian mengalami surplus tenaga kerja (pada saat
produk marginal (MP) dari penambahan satu orang pekerja
mendekati atau sama dengan nol) yang menyebabkan tingkat
produktivitas (rasio output terhadap tenaga kerja) dan pendapat
riil per pekerja di sektor tersebut rendah, akan terjadi transfer
tenaga kerja dari pertanian ke industri (atau sektor pertanian
lainnya. Sebagai dampaknya, kapsitas dan volume produksi di
industri meningkat. Teori ini akan benar, jika tenaga kerja
merupakan satu-satunya faktor produksi. Tetapi, dalam realitas,
peningkatan kapasitas dan volume produksi di sektor industri
juga sangat ditentukan oleh antara lain ketersediaan modal,
teknologi, bahan baku, energi dan input-input lainnya.
2. Modal. Surplus pasar atau Market Surplus (MS), yakni pada saat
perbedaan antara hasil penjualan dan biaya produksi lebih besar
dari nol, di sektor pertanian bisa menjadi salah satu sumber
investasi/modal di sektor-sektor lain. MS adalah surplus produk
(PP) dikali harga jual (pP), secara sederhana dirumuskan sebagai
berikut:
MS = PP x pP
Perbedaan antara output total di sektor pertanian (TPP) dan
bagian yang dikonsumsikan oleh petani (CP)
PP = TPP - CP
Dengan demikan, sifat dari MS dapat digambarkan dengan
melihat hubungan berikut (Ghatak dan Ingersent dalam
Tambunan, 2010) :
MS = f(pa , TPa , U)
Di mana PP = TPP dan U = variabel-variabel lain selain TPP dan pP
yang juga berpengaruh terhadap MS.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 53 53


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Tenaga
Kerja

Ouput di
Pertanian sektor-
PDB
sektor non
pertanian

Modal

Gambar 3.1 Kontribusi Tenaga Kerja dan Modal dari Pertanian


terhadap Pertumbuhan PDB
Sumber : Tambunan, 2010

D. Kontribusi Devisa
Kontribusi sektor pertanian terhadap peningkatan devisa
adalah melalui peningkatan ekspor dan melalui pengurangan tingkat
ketergantungan negara tersebut terhadap impor komoditi pertanian.
Jika pertanian Indonesia bisa ekspor dan bisa membuat komoditas
subsitusi impor, dalam arti pertanian Indonesia nisa menjadi
eksportir neto, maka sektor tersebut turut menyumbang devisa,
dijelaskan sebagaimana Gambar 3.9. Kontribusi pertanian terhadap
devisa juga bisa bersifat tidak langsung, misalnya lewat peningkatan
ekspor atau pengurangan impor produk-produk berbasis pertanian
seperti makanan dan minuman, tekstil dan produk-produknya,
barang-barang dari kulit, ban mobil, obat-obatan dan sebagainya.
Semakin kuat keterkaitan produksi dalam negeri semakin berkurang
ketergantungan sektor-sektor nonpertanian terhadap impor

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 54 54


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

komoditas-komoditas pertanian sebagai input atau bahan baku, atau


Indonesia semakin mampu mengekspor produk-produk berbasis
pertanian karena adanya pasokan dari pertanian dalam negeri.
Usaha peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negatif
terhadap pasokannya ke dalam negeri, atau sebaliknya, usaha
memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu faktor
penghambat bagi pertumbuhan ekspor pertani. Contoh riil sampai
saat ini yang dihadapi Indonesia adalah ketidakmampuan Indonesia
sebagai eksportir beras dunia, karena harus terlebih dahulu
memenuhi kebutuhan pasar domestik, bahkan sering harus impor
karena pasokan dalam negegeri lebih kecil daripada permintaan
konsumen.
Untuk menghindari trade-off, maka yang perlu dilakukan di
sektor pertanian adalah menambah kapasitas produksi sehingga
sektor pertanian bisa mendapatkan surplus produksi setelah
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dan meningkatkan daya saing
produk-produk, sehingga selain bisa menembus pasar luar negeri
juga bisa bersaing dengan komoditas impor yang selanjutnya bisa
mengurangi atau bahkan menghilangkan impor. Namun bagi
Indonesia melaksanakan kedua hal ini kelihatannya sangatlah tidak
mudah, hal ini disebabkan oleh keterbatasan teknologi, SDM dan
modal.

Ekspor

Pertanian Output di sektor- Devisa


sektor nonpertanian

Impor

Gambar 3.2 Kontribusi Pertanian Terhadap Devisa


Sumber : Tambunan, 2010

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 55 55


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

3.2 Pertanian Dan Pembangunan Perdesaan


Sektor pertanian merupakan karakteristik utama dari
perekonomian di perdesaan. Negara seperti Indonesia, maka
pertanian merupakan sektor yang paling banyak menghidupi
masyarakatnya. Petani kecil di perdesaan merupakan segmen yang
paling besar di perdesaan. Mereka mendapatkan pendapatan dari
pertanian, dan juga merupakan sumber pangan yang paling utama.
Pertanian di perdesaan banyak melibatkan kaum wanita perdesaan.
Fungsi desa sebagai output pertanian mengharuskan desa
untuk menjadi basis produsen pangan nasional. Dengan demikian
produktivitas pertanian sebuah desa menjadi salah satu ukuran
keberhasilan pembangunan yang tidak dapat dihindari. Beberapa
variabel yang dapat menggambarkan potensi kemampuan desa
dalam memproduksi hasil pertanian, sekaligus sebagai ukuran
tingkat efektivitas dan efisiensi pertanian di wilayah perdesaan
adalah (Arsyad, dkk., 2011):
1. Proporsi luas lahan sawah beririgasi
2. Proporsi luas lahan sawah non-irigasi
3. Proporsi luas lahan sawah menganggur
4. Proporsi lahan pertanian non-sawah
5. Ladang yang diusahakan
6. Ladang yang tidak diusahakan
7. Index Multiple croping
Keberhasilan pembangunan pertanian tidak hanya terkait
dengan persoalan produksi saja tetapi juga semua hal yang terkait
dengan sektor-sektor pendukung secara menyeluruh. Potensi petani
terkadang terabaikan karena adanya kebijakan yang tidak tepat,
pasar yang terbatas dan institusi yang lemah. Untuk meningkatkan
produktivitas pertanian, setiap petani semakin lama semakin
tergantung kepada sumber-sumber dari luar lingkungannnya.
Menurut Mosher (1987) terdapat 5 (lima) syarat pokok agar
pertanian dapat maju, syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prasarana untuk hasil usahatani. Pembangunan pertanian
adalah untuk meningkatkan produksi hasil usahatani. Untuk
hasil-hasil ini perlu ada prasarana serta harga yang cukup
tinggi guna membayar kembali biaya-biaya tunai dan daya

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 56 56


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

upaya yang dikeluarkan petani sewaktu memproduksinya.


Berkaitan dengan ini, maka diperlukan pembeli
(permintaan) terhadap hasil-hasil pertanian, bekerjanya
sistem tataniaga dengan baik dan kepercayaan petani
terhadap kelancaran sistem tataniaga tersebut.
2. Teknologi yang selalu berubah. Meningkatnya produksi
pertanian adalah akibat dari pemakaian teknik-teknik atau
metoda-metoda di dalam usahatani. Teknologi usahatani
berarti bagaimana cara melakukan pekerjaan usahatani. Di
dalamnya termasuk cara-cara bagaimana petani
menyebarkan benih, memilihara tanaman dan memungut
hasil serta memlihara ternak. Termasuk didalamnya adalah
pupuk, pestisida, obat-obatan serta makanan ternak yang
digunakan, perkakas, alat dan sumber tenaga.
3. Tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal.
Umumnya penggunaan metode baru dalam rangka
meningkatkan produksi pertanian, memerlukan penggunaan
bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus oleh petani,
seperti benih/bibit, pupuk, pestisida, makanan obat ternak
serta perkakas. Pembangunan pertanian menghendaki
kesemuanya tersedia di perdesaan atau di tempat usahatani
berada dalam jumlah yang cukup.
4. Perangsang produksi bagi petani. Cara-cara kerja usahatani
yang lebih baik, pasar yang mudah dicapai (akses pasar), dan
tersedianya sarana dan alat produksi (SAPRODI), akan
mendorong petani untuk meningkatkan produksinya.
Walaupun program pembangunan pertanian sudah
diupayakan terus meningkat baik program untuk desa
subsisten maupun desa komersial. Namun perhatian
terhadap perangsang produksi bagi petani tetap menjadi
perhatian utama. Perhatian yang efektif untuk mendorong
agar petani bersedia meningkatkan produksinya adalah
perbandingan harga yang menguntungkan, bagi hasil yang
wajar dan tersedianya barang dan jasa yang ingin dibeli oleh
petani untuk keluarganya.
5. Pengangkutan. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah,
maka keempat syarat pokok lainnya tidak dapat berjalan

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 57 57


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

dengan efektif. Sebagaimana dipahami usahatani tersebut


tersebar luas, sangat tergantung pada iklim maka sarana
produksi sebagai pendukungnya harus tersedia dan tepat
waktu, untuk itu diperlukan tersedianya pengangkutan
beserta fasilitasnya dalam kondisi yang baik. Sebagai ilustrasi
jika biaya pengangkutan terlalu tinggi, maka pupuk akan
menjadi terlalu mahal. Saat ini, kondisi ini sering dijumpai di
masyarakat tani jeleknya sarana pengangkutan membuat
kebutuhan akan SAPRODI disamping tidak tepat waktu
jumlahnyapun juga tidak tepat. Sangat eronis memang, disatu
sisi pemerintah telah berupaya meningkatkan fasilitas jalan
angkut desa melalui program PNPM mandiri, namun
mutunya tidak pernah baik, bahkan fasilitaas tersebut tidak
sampai satu tahun dapat dimanfaatkan, apa yang terjadi di
sini ?
Selain syarat pokok, Mosher juga menyatakan diperlukan faktor
pelancar untuk mempercepat pembangunan pertanian, faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pendidikan Pembangunan. Berkaitan dengan pembangunan
pertanian, agar pembangunan pertanian dapat berjalan dengan
cepat, maka diperlukan pendidikan yakni pendidikan dasar
dan lanjutan, pendidikan pembangunan untuk petani, latihan
bagi petugas teknik pertanian dan petugas penyuluhan
penyuluhan pertanian, dan pendidikan masyarakat kota
mengenai pembangunan pertanian.
2) Kredit Produksi. Kredit produksi yang diselenggarakan secara
efisien adalah faktor pelancar yang penting bagi pembangunan
pertanian. Kredit tersebut semakin banyak digunakan oleh
petani-petani progresif sejalan dengan majunya pertanian.
Bagi masyarakat tani yang terbelakang, maka sangat
diperlukan bimbingan dalam pengambilan maupun
penggunaan kredit produksi tersebut. Model kredit ini telah
lama diupayakan, baik melalui program kredit usahatani
maupun jenis yang lainnya.
3) Kegiatan Bersama (group action) oleh petani. Mendorong
pembangunan pertanian di perdesaan telah dilaksanakan
dengan mendorong petani bergabung dalam kelompok tani.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 58 58


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Bahkan untuk menjadi peserta petani kemitraan usahatani


sawit, petani wajib bergabung dalam kelompok tani dan
menjadi anggota koperasi. Sampai saat ini, tindakan yang
diperlukan untuk dapat menggiatkan kerjasama kelompok
yang tepat oleh petani adalah bantuan dalam
pengorganisasian, penyediaan bahan-bahan khusus, bantuan
teknis dan pengelolaan, dan bantuan keuangan.
4) Perbaikan dan perluasan tanah pertanian. Perbaikan mutu
tanah pertanian, memang terus diupayakan pemerintah,
misalnya pembuatan dan perbaikan fasilitas irigasi baik teknis
maupun non-teknis. Pembuatan galengan (pematang) bagi
petani di Jawa dan Bali barangkali suatu hal yang tidak asing
lagi, tetapi bagi masyarakat perdesaan sepert idi Kabupaten
Kutai Kartanegara masih diperlukan bimbingan dan
penyuluhan, sehingga manfaat irigasi dipahami oleh petani.
Perluasan tanah pertanian tidak berlaku bagi perkotaan dan
wilayah padat penduduk seperti Jawa dan Bali, akan tetapi
berlaku pada daerah-daerah yang masih memiliki lahan tidur
yang luas seperti di Kalimantan, termasuk Kutai Kartanegara.
Lahan yang luas ini mendorong pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur untuk mensukseskan program sejuta hektar
sawit dengan kemitraan. Perusahaan mitra wajib menyiapkan
kebun mitra minimal 20 persen dari luas di luar ijin dan petani
mitra harus bergabung dalam kelompok tani serta menjadi
anggota koperasi.Kemitraan yang dikembangkan pada
perkebunan kelapa sawit memang diharapkan diantaranya
untuk meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya mampu
menyerap tenaga kerja. Kemitraan merupakan salah satu
bentuk dari Contract Farming di satu sisi menunjukkan
keberhasilan di sisi lain ada pula menunjukkan kegagalan
sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian yang telah
dilaksanakan. Oleh sebab itu, kemitraan yang sedang berjalan
di Indonesia masih menjadi pertanyaan.Di beberapa Negara
termasuk Indonesia pertanian kontrak menunjukkan sisi
positif terutama manfaat kontrak bagi petani dalam
meningkatkan pendapatan. Sebagaimana hasil penelitian yang
menyatakan pertanian kontrak dapat meningkatkan

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 59 59


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

pendapatan dan produktivitas petani peserta kontrak


(Bauman, 2000; Saptana, dkk., 2006; Bijman, 2008; Karma,
2008; Setboonsarng, 2008; Mansur, et. al., 2009; Olomola,
2010). Pertanian kontrak dapat mengurangi biaya transakasi
dan mengurangi resiko (Rehber, 2000; Echanove dan Steffen,
2005; Sartorius dan Kirsten, 2006; Sriboonchitta dan
Wiboonpoongse, 2008; Minot, 2011 ). Pertanian kontrak dapat
mengatasi ketidakpastian harga dan lebih mudah pada akses
pasar (Jaffe, 1987; Ghosh dan Raychaudhuri, 2011; Swinnen
dan Anneleen, 2009; Huddleston dan Matthewtonts, 2007).
Pertanian kontrak meningkatkan keterampilan petani peserta
kontrak, yakni adanya transfer teknologi, adanya peran
pemerintah, serta kemitraan petani dengan perusahaan lebih
prospektif (Raynolds, 2000; Singh, 2003; Likulunga, 2005;
Kaminski, 2009).Namun disisi lain, pertanian kontrak telah
mengalami kegagalan, sebagaimana hasil penelitian White
(1996) yang mengkaji pengalaman pertanian kontrak di
Dataran Tinggi Jawa Barat menyimpulkan bahwa pelaksanaan
skema kontrak telah gagal. Penelitian Hendarto, dkk. (1999)
tentang Strategi Penetapan Pola Kemitraan Usaha Koperasi
Sesuai Dengan Skala Ekonomi di Jawa Tengah menunjukkan
hasil bahwa kemitraan usaha telah dijalankan oleh koperasi
dengan mitra usahanya, tetapi belum optimal (Boeke dalam
Fadjar, 2006) meramalkan bahwa pembauran antara
perkebunan besar dengan perkebunan rakyat tidak akan
membuahkan hasil.Selanjutnya Fadjar (2006) menyatakan
sekalipun pelaksanaan program kemitraan ini memerlukan
dukungan berbagai departemen terkait (Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan,
Departemen Koperasi, Badan Pertanahan Nasional dan
Lembaga Perbankan), tetapi ternyata tidak mampu
dikembangkan menjadi program nasional, program ini seakan-
akan masih bersifat subsektoral yaitu milik Direktorat Jenderal
Perkebunan. Penelitian Pardede dan Finnahari (2007) yang
mengambil kasus pada PT. Toba Pulp Lestari, Tbk di
Kabupaten Toba Samosir hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa kegagalan pengelolaan program pengembangan

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 60 60


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

masyarakat disebabkan oleh ketidakjelasan sistem relasi pada


model kemitraan pengelolaan program.Penelitian Guo, et.al.
(2007) tentang kinerja pertanian kontrak dari perspektif
rumah tangga dan perusahaan pertanian di Cina menunjukkan
bahwa tingkat keberhasilan pelaksanaan kontrak pertanian
masih rendah. Penelitian Sayaka dan Supriyatna (2009)
tentang Kemitraan Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten
Brebes Jawa Tengah memberikan kesimpulan bahwa
kemitraan lebih cenderung menguntungkan prosesor. Fase
kegagalan dalam pertanian kontrak, dapat diperbaiki dengan
berbagai langkah diantaranya dengan mengarah pada
usahatani yang lebih ke arah komersial sehingga pertanian
kontrak menuju pada fase keberhasilan sebagaimana kasus di
Zambia (Brambilla dan Porto, 2007). Walaupun ada pro dan
kontra terhadap kemitraan, paling tidak perluasan lahan
pertanian khususnya perkebunan kelapa sawit melalui
program sejuta hektar kelapa sawit dengan kemitraan di
Kalimantan Timur seyogyanya mendapat dukungan dari semua
pihak, terutama pemerintah pusat semestinya memberikan
perhatian yang lebih serius, sehingga penataan ruang dan
wilayah tidak menjadi masalah di kemudian hari. Jadikanlah
kasus Masuji sebagai pengalaman yang tak perlu terjadi
didaerah lain.
5) Perencanaan Nasional Pembangunan Pertanian. Bagi Indonesia
peran pemerintah sangat besar pengaruhnya untuk percepatan
pembangunan pertanian. Perencanaan nasional adalah proses
pengambilan keputusan oleh pemerintah tentang apa yang
hendak dilakukan mengenai tiap kebijaksanaan dan tindakan
yang mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka
waktu tertentu. Perencanaan ini telah dibuat oleh pemerintah
yang tertuang dalam rencana pembangunan masterplan yang
diberi nama MP3EI 2011-2025, dengan pembagian koridor
ekonomi Indonesia sebagaiman dijelaskan pada bab
sebelumnya tanpa bermaksud untuk mengganti dokumen
perencanaan pembangunan yang ada seperti RPJPN dan
RPJMN.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 61 61


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

3.3 Profil Kemiskinan Di Perdesaan


Kemiskinan di Indonesia saat ini telah menjadi masalah
penting dan tak terpecahkan, sehingga menjadi suatu fokus perhatian
bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan ini sangatlah
kompleks dan bersifat multidimensional, dimana berkaitan dengan
aspek sosial. Benang kusut masalah kemiskinan yang terjadi di
Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda yang menghilang. Angka
statistik terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah
penduduk miskin. Pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin
sebanyak 31.023.400 jiwa tersebar baik di kota maupun di desa.
Jumlah penduduk miskin di kota sebanyak 11.097.800 jiwa dan di
desa sebanyak 19.925.600 jiwa (BPS dalam http://www.bps.go.id).
Kemiskinan yang terjadi dalam suatu negara memang perlu
dilihat sebagai suatu masalah serius, karena saat ini kemiskinan
membuat banyak masyarakat Indonesia mengalami kesusahan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemiskinan merupakan suatu
masalah yang tidak muncul begitu saja, secara teoritis kemiskinan
disebabkan oleh pengangguran. Pengangguran yang dialami sebagian
masyarakat inilah membuat sulitnya masyarakat didalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, akibat dari tiadanya pekerjaan, maka disini
muncul masalah ketenaga kerjaan. Pengangguran tinggi disebabkan
oleh inflasi tinggi, akibatnya sektor riil tidak bisa tumbuh, jadi
pertumbuhan ekonomi berjalan tidak sebagaimana mestinya. Ujung-
ujungnya BI sebegai pemegang otoritas moneter, menanggapi
masalah inflasi dengan berkeinginan untuk menaikan suku bunga.
Memang demikian teorinya, masalahnya sekarang bijakkah
pemerintah dan pemegang otoritas moneter untuk menaikkan suku
bunga, tidakkah lebih nyaman hidup pada kondisi inflasi tinggi
(asalkan reasonable) dengan pengangguran dapat dikurangi.
Semestinya perhatian yang paling utama dilakukan pemerintah
adalah lebih fokus pada pengangguran sebagai penyebab utama
kemiskinan dengan memacu pertumbuhan sektor riil dan
penyebaran yang merata di seluruh tanah air ini berikut variabel-
variabel lainnya yang berhubungan. Pada dasarnya upaya
penanggulangan kemiskinan sebenarnya sudah dilakukan oleh
pemerintah sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 62 62


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang


adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat
Undang Undang Dasar 1945.

3.3.1 Pengertian kemiskinan


Menurut Esmara (1986) menyatakan pada dasarnya konsep
kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan
kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan
pokok atau kebutuhan dasar minimum, sehingga memungkinkan
seseorang dapat hidup secara layak. Bila tingkat pendapatan tidak
dapat mencapai kebutuhan minimum, maka orang atau keluarga
tersebut dikatakan miskin.
Beberapa pengertian kemiskinan menurut para pakar yang
dikutip dari Nawawi (2009) diuraikan sebagai berikut:
1. Schiller (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidak
sanggupan untuk mendapatkan barang-barang, pelayanan-
pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial
yang terbatas.
2. Levitan (1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan
barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai
standar hidup yang layak.
3. Cambert (1987) mengemukakan bahwa kemiskinan sebenarnya
terletak pada apa yang disebut perangkap kemiskinan
(deprivation trap). Secara rinci deprivation trap terdiri dari lima
unsur; 1) kemiskinan itu sendiri, 2) kelemahan fisik, 3)
keterasingan, 4) kerentanan dan 5) Ketidak berdayaan.
4. Suharto, et al. (2004), kemiskinan merupakan konsep dan
fenomena yang berwayuh wajuh, bermatra multidimensional.
5. Siagian (2005) mengemukakan bahwa penduduk iskin di
negara-negara terbelakang dihadapkan pada lingkaran setan
yang mengandung komponen sebagai berikut : 1) pendapatan
perkapita rendah, 2) yang berakibat ketidakmampuan
menabung, 3) yang pada gilirannya berakibat pada tidak
terjadinya pembentukan modal (no capital formation), 4) tidak
terjadinya pemupukan modal berarti tidak adanya investasi, 5)
tidak ada investasi berarti tidak terjadinya perluasan usaha, 6)

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 63 63


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

tidak ada perluasan usaha berarti makin sempitnya perluasan


kerja, 7) sempitnya kesempatan kerja berarti tingginya tingkat
pengangguran, 8) pengangguran berarti tidak adanya
penghasilan, 9) tidak adanya penghasilan berarti pada titik
bergesernya posisi seseorang dari bawah garis kemiskinan.

3.3.2 Kemiskinan di Perdesaan


Secara umum dipahami bahwa penduduk miskin adalah
mereka yang pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah
perdesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang-bidang
pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat berhubungan
dengan sektor ekonomi tradisional (biasanya dilakukan bersama-
sama), kebanyakan wanita dan anak-anak daripada laki-laki dewasa,
dan mereka sering terkonsentrasi di antara kelompok etnis
minoritas dan penduduk pribumi.
Ironis memang, jika dicermati secara seksama, selama ini
program pembangunan di Indonesia, walaupun telah dipahami
bahwa sebagian besar penduduk dengan kemiskinan absolut tinggal
di daerah perdesaan, namun pengeluaran pemerintah sebagian besar
tercurah ke daerah-daerah perkotaan dengan berbagai sektor
ekonominya. Pengeluaran pemerintah yang berupa investasi
langsung ke dalam sektor ekonomi yang produktif atau pengeluaran
di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pelayanan
masyarakat, tercurah berat sebelah ke sektor modern di perkotaan.
Untuk itu, karena sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah
perdesaan, seyogyanya setiap kebijakan pemerintah yang ditujukan
untuk menanggulangi kemiskinan seharusnya sebagian besar
ditujukan ke program-program pembangunan perdesaan pada
umumnya dan melalui pembenahan sektor-sektor pertanian pada
khususnya.
Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi,
yang artinya kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor. Bagi
Indonesia kemiskinan merupakan fenomena yang erat kaitannya
dengan kondisi sosial-ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di
sektor pertanian pada khususnya. Gambaran penduduk miskin di
Indonesia disajikan dalam Tabel 3.2.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 64 64


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Tabel 3.2.
Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Indonesia, 2007-
2010
Uraian 2007 2008 2009 2010

Jumlah 37 168,3 34 963,3 32 530,0 31 023,4


Penduduk
Miskin (000)
Kota 13 559,3 12 768,5 11 910,5 11 097,8
Desa 23 609,3 22 194,8 20 619,4 19 925,6
Garis 166 697 182 636 200 262 211 726
Kemiskinan
(Rp )
Kota 187 942 204 896 222 123 232 988
Desa 146 837 161 831 179 835 192 354
Sumber: BPS (dalam http://www.bps.go.id)
Untuk mengidentifikasi kemiskinan selama ini yang sering
digunakan adalah garis kemiskinan, yaitu tolok ukur yang
menunjukkan ketidakmampuan penduduk melampui garis
kemiskinan atau suatu ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau
pengeluaran konsumsi minimum, misalnya konsumsi pangan dan
konsumsi non pangan. Tabel 3.3. menggambarkan jumlah penduduk
miskin masih didominasi oleh penduduk desa. Walaupun secara data
statistik yang ditampilkan oleh BPS seperti nampak pada Tabel 3.3
menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan,
namun yang lebih penting dari itu adalah diperlukan adanya peta
kemiskinan yang akurat akan memudahkan untuk mewujudkan
keberhasilan dari program upaya penanggulangan kemiskinan. Hal
ini telah dilaksanakan oleh lembaga penelitian SMERU, namun
keberhasilannya sampai saat ini belum tampak.
Fenomena penduduk miskin di Indonesia yang bertempat
tinggal di perdesaan atau di sektor pertanian ditunjukkan oleh fakta
bahwa sebagian besar dari jumlah kesempatan kerja di Indonesia
masih terdapat di perdesaan (Tabel 3.3). Dari jumlah tersebut,
sebagian besar tenaga kerja bekerja di pertanian, baik sebagai petani
maupun buruh tani (Tabel 3.4). Sedangkan tenaga kerja yang bekerja
di sektor industri sangat kecil porsinya, karena sebagian besar
industri di Indonesia, terutama yang sifatnya footloose seperti

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 65 65


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

elektronik, mesin, tekstil dan pakaian jadi berada di daerah


perkotaan atau di pinggir kota-kota besar seperti Jabotabek,
Surabaya, Medan, Semarang dan Makassar (Tambunan, 2010).

Tabel 3.3
Distribusi Kesempatan Kerja Menurut Daerah di Indonesia,
1990-2003 (%)
Wilayah 1990 1995 2000 2003

Perdesaan 75 67 62 60

Perkotaan 25 33 38 40

Sumber : BPS (dalam Tambunan, 2010)

Tabel 3.4
Kesempatan Kerja di Perdesaan Menurut Sektor di Indonesia,
1990-2003 (%)
Sektor 1990 1995 2000 2003

Pertanian 70 60 66 68
Industri 9 11 10 9
Jasa 22 29 24 23
Sumber: BPS (dalam Tambunan, 2010)

Para pembuat kebijakan pasca kemerdekaan di Indonesia telah


lama menyadari masalah kemiskinan dan merancang kebijakan anti
kemiskinan. Sejak kemerdekaan penanggulangan kemiskinan telah
masuk ke dalam konstitusi maupun kedalam agenda pemerintah.
Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk
menanggulangi dan menghapus kemiskinan. Berbagai program telah
dirumuskan dan dilaksanakan di lapangan, serta tidak sedikit dana
telah dikucurkan ke masyarakat.
Berbagai bantuan dan program dalam upaya menanggulangi
kemiskinan yang dilakukan hingga kini belum membuahkan hasil
yang memuaskan. Faktor yang menyebabkan berbagai program
pengentasan kemiskinan menjadi kurang efektif disebabkan antara
lain oleh kurangnya dibangun ruang gerak yang memadai bagi

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 66 66


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

masyarakat miskin itu sendiri untuk memberdayakan dirinya.


Memberantas kemiskinan dan memberdayakan masyarakat miskin
di berbagai daerah yang sudah terlanjur meluas harus diakui jauh
lebih mudah diucapkan daripada dibuktikan di lapangan. Diera
otonomi daerah, ada kecenderungan masalah kemiskinan makin sulit
ditangani, karena seringkali diperparah oleh adanya kesenjangan
sosial yang terlampau lebar, dan diperparah lagi oleh adnya proses
marginalisasi.
Menurut Bakhitdalam Suyanto (2008) pada saat ini dibutuhkan
program-program penanggulangan kemiskinan yang dapat
memberikan hasil yang nyata, tak pelak yang diusahakan adalah
bagaimana mengontrol sebab-sebab dan menggempur akar-akar
kemiskinan hingga tuntas (attacking the roots of poverty).

Tujuan Program Kelompok Sasaran Leading Sector


Prioritas
Darurat- Keluarga miskin Dinsos, Dinkes,
menyelamatkan korban PHK, Keluarga Dinas P&K
Pra-KS dan KS-1,
lansia miskin, anak
putus sekolah, anak
kurang gizi, ibu hamil
dari keluarga miskin
Pemenuhan Keluarga miskin, PNS Dinsos, Dinkes,
Kebutuhan Dasar golongan I dan II, Dinas P&K
buruh, siswa di
jenjang pendidikan
dasar, sektor informal
Memberdayakan Pengusaha kecil, Dinas Koperasi
sektor industri, kaum dan UKM,
perempuan miskin, Disnaker,
sektor informal, Bappemas
nelayan miskin, PKL
Pemerataan dan Buruh tani, buruh Dinas Koperasi
Keadilan nelayan dan buruh dan UKM,
industri kecil Disnaker,
Bappemas

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 67 67


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Lebih lanjut Suyanto (2008) menyatakan upaya penyelamatan


dan pemberdayaan masyarakat miskin agar berjalan efektif, maka
dibutuhkan bukan sekedar kesediaan untuk melakukan introspeksi,
tetapi juga revitalisasi program pemberdayaan masyarakat miskin
yang benar-benar berpihak kepada lapisan yang paling miskin.
Secara ringkas sebagaimana disajikan seperti matrik di atas.
Berbagai program telah dilaksanakan dalam upaya
penanggulangan kemiskinan, di antaranya adalah 1) program
pemerintah (JPS, P3EMDN, PPIKM, P4K, PPKM, PPSP, PIK, IDT,
pemberdayaan ekonomi kerakyatan, usaha ekonomi desa, program
pengentasan kemiskinan daerah pantai, dan program pemulihan
keberdayaan masyarakat), 2) program penyertaan partisipasi
masyarakat/dunia usaha (Takesra, Kukesra, KPKU Prokesra, dan
Program Kredit Taskin DAKAB/YDSM), 3) program bantuan luar
negeri (P2KP dan PPK), 4) skim kredit (KUT, KKOP, KKRS/SS,
KMKBPR/Syariah/KMKUKM, KPTTG, dan KPTPUD) (Rejeki, 2006).
Masih banyak lagi program-program yang dilaksanakan baik
program pusat maupun daerah. Daerah-daerah otonomi seakan-akan
berlomba-lomba mengentaskan kemiskinan namun hasil yang
diharapkan belum juga terwujud.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan 68 68


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

BAB IV
PENGERTIAN, PRINSIP,
DAN TUJUAN KEMITRAAN

4.1 Pengertian Kemitraan


Upaya meningkatkan produktivitas pertanian, terutama petani
di perdesaan terus digalakkan. Berbagai upaya yang telah dan sedang
dilaksanakan adalah dengan meningkatkan kerjasama perusahaan
besar dengan petani yang berada di wilayah konsesi perkebunannya.
Bentuk-bentuk kerjasama tersebut berupa pertanian kontrak.
Berbagai istilah berkaitan dengan kontrak pertanian, yakni
kemitraan, outgrower, inti-plasma, dan pertanian satelit (Glover dan
Kusterer, 1990). Di Indonesia usaha pertanian kontrak (contract
farming) telah lama digalakkan dan berkembang ke dalam berbagai
bentuk, di antaranya adalah PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dan akhir-
akhir ini lebih dikenal dengan istilah kemitraan. Kontrak pertanian
menurut Roy sebagaimana dikutip oleh Glover dan Kusterer (1990)
adalah kontrak kesepakatan antara petani dan perusahaan, baik
secara lisan maupun tertulis terkait dengan produksi dan/atau
pemasaran produk pertanian.
Contract farming diartikan sebagai suatu cara mengatur
produksi pertanian di mana petani-petani kecil atau outgrowers
diberikan kontrak untuk menyediakan produk-produk pertanian
untuk sebuah usaha sentral sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam sebuah perjanjian (contract). Badan sentral yang
membeli hasil tersebut dapat menyediakan nasihat teknis, kredit,

Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 69


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

dan masukan-masukan lainnya, serta menangani pengolahan dan


pemasaran. Sistem ini juga dijuluki 'core satellite model' (model inti-
satelit), di mana inti membeli hasil primer dari petani-petani satelit
yang telah dikontrak (Chotim, 1996).
Dewasa ini bentuk kerjasama yang semakin popular di
Indonesia terutama di sub sektor perkebunan kelapa sawit adalah
bentuk kerjasama berupa kemitraan.Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 pasal 1
tentang kemitraan, yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerja
sama usaha antara usaha kecil dan usaha menengah dan atau usaha
besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah
dan atau usaha besar dengan memerhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Prawirokusumo (2001) menyatakan bahwa kemitraan usaha
merupakan manifestasi dari kebersamaan atau keterkaitan sumber
daya dalam bidang produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran,
penelitian, rekayasa, alih teknologi, pembiayaan, dan dalam bidang
servis. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan arti kata
kemitraan adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan.
Kemitraan diartikan sebagai hubungan atau jalinan kerja sama
sebagai mitra.
Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9,
Tahun 1995, yang menyebutkan bahwa kerja sama antara usaha kecil
dan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan
pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha
besar dengan memerhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan. Berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang
perkebunan, konsep kemitraan adalah perusahaan perkebunan
sebagai inti melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling
menghargai, saling bertanggung jawab, saling memperkuat, dan
saling ketergantungan dengan kebun, karyawan, dan masyarakat
sekitar perkebunan sebagai plasma. Menurut Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Timur Nomor 03, Tahun 2008, yang dimaksud
dengan program kemitraan pembangunan perkebunan adalah dalam
setiap penyelenggaraan perkebunan diterapkan kemitraan secara

70
Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 70
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

terbuka sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling


ketergantungan secara sinergis antarpelaku usaha perkebunan.

4.2 Prinsip-Prinsip Kemitraan


Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 menjelaskan
bentuk kemitraan yang ideal adalah yang saling memperkuat, saling
menguntungkan, dan saling menghidupi. Berdasarkan uraian di atas
dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya prinsip kemitraan adalah
saling menguntungkan dan membutuhkan. Adanya saling percaya
dan saling bergantung antara perusahaan mitra dan petani peserta
kemitraan perlu dibangun sehingga tujuan yang telah ditetapkan
tercapai.Pada kenyataannya terdapat kesenjangan antara
perusahaan mitra dan petani peserta, seperti dalam penguasaan
teknologi, keterampilan, terutama budaya bisnis yang berorientasi
pada keuntungan yang telah tertanam pada perusahaan yang
berbeda jauh dengan budaya petani yang masih subsisten. Namun,
dengan adanya keinginan untuk memberdayakan petani oleh semua
pihak terutama perusahaan mitra, maka hubungan sinergis antara
pelaku kemitraan akan dapat terwujud.
Kemitraan adalah kerja sama yang sinergis antara dua pihak
atau lebih untuk melaksanakan suatu kegiatan.Kelestarian kemitraan
harus dilandasi oleh prinsip-prinsip, yaitu (1) saling membutuhkan,
(2) saling bergantungan, (3) saling percaya, (4) saling
menguntungkan, (5) saling mendukung, (6)saling membangun, dan
(7) saling melindungi (Mardikanto, 2009).
Peningkatan nilai tambah yang diperoleh petani peserta
kemitraan di samping adanya peningkatan pendapatan juga
diperoleh akses alih teknologi dan peningkatan keterampilan
sehingga produktivitas kerja petani meningkat yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Menurut
Hayami dan Rutan (1985), produktivitas pada sektor pertanian
didukung oleh inovasi dan teknologi. Di negara-negara
berpendapatan rendah tampak bahwa produktivitas petani masih
rendah. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan produktivitas
diperlukan pelatihan teknis dan peningkatan pengetahuan petani
(Mellor, 1974). Manfaat kemitraan bagi perusahaan mitra adalah

71
Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 71
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

diperoleh jaminan bahan baku TBS yang berkelanjutan. Bukti empiris


yang menunjukkan pengaruh kemitraan terhadap pendapatan
sebagaimana hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Warning dan
Key (2002); Tripathi et al. (2005); Saenz-Sgura (2006); Nagaraj et al.
(2008); Kumar dan Kumar-K (2008); Bolwig et al. (2009) dan
Indarsih et al. (2010).
Pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan merupakan
komponen pembentuk kompetensi. Hubungan kemitraan yang
sinergis dan adanya kemauan pihak yang bermitra, baik perusahaan
maupun petani, maka kemitraan akan mampu meningkatkan
kompetensi petani yang selanjutnya akan berpengaruh pada
produktivitas kerja petani.Sebagaimana hasil penelitian Gunes
(2007) bahwa pengalaman petani peserta kontrak pertanian
berpengaruh positif terhadap produktivitas. Selanjutnya penelitian
Swain (2008) menemukan bahwa pertanian kontrak merangsang
adanya transfer teknologi dan meningkatkan keterampilan petani.
Hasil-hasil penelitian di atas sejalan dengan prinsip-prinsip
kemitraan sebagaimana dijelaskan dalam:
1. Undang Undang Republik Indonsesia Nomor 20 Tahun 2008
Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengahmenjelaskan prinsip-
prinsip kemitraan meliputi; prinsip saling memerlukan, saling
mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Dunia Usaha, dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan
menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan,
mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014
Tentang Perkebunan. Untuk pemberdayaan Usaha Perkebunan,
Perusahaan Perkebunan melakukan kemitraan Usaha
Perkebunan yang saling menguntungkan, saling menghargai,
saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling
ketergantungan dengan Pekebun, karyawan, dan masyarakat
sekitar Perkebunan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
1997 Tentang Kemitraan. Berdasarkan peraturan ini prinsip-
prinsip kemitraan meliputi;
a) Prinsip saling memerlukan

72
Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 72
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

b) Prinsip saling memperkuat, dan


c) Prinsip saling menguntungkan.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pasal 10
menyebutka prinsip-prinsip kemitraan meliputi;
a. Prinsip saling membutuhkan
b. Prinsip saling mempercayai
c. Prinsip saling memperkuat, dan
d. Prinsip saling menguntungkan

4.3 Tujuan Kemitraan


Kerjasama kemitraan dengan memegang teguh pada prinsip-
prinsip kemitraan dan etika bisnis yang sehat akan meningkatkan
produktivitas dan keberlanjutan usaha. Tujuan kemitraan yang
diharapkan bagi mitra binaan yaitu adanya pembinaan keterampilan,
adanya alih teknologi, pemasaran hasil yang berkelanjutan, dan
peningkatan pendapatan. Sedangkan bagi Perusahaan Pembina akan
diperoleh bahan baku yang berkelanjutan, keamanan dan kenyaman
usaha, dan adanya hubungan yang harmonis sehingga usaha dapat
berjalan dengan lancar serta berkelanjutan. Sebagaimana Sumardjo
dkk. (2004) mengemukakan bahwa tujuan kemitraan adalah untuk
meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan
kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha,
serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha
kelompok usaha mandiri.
Pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/Kpts/OT.210/10/1997 dijelaskan tujuan kemitraan usaha
adalah:
a. Untuk meningkatkan pendapatan,
b. Untuk keseimbangan usaha,
c. Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok mitra,
d. Untuk peningkatan skala usaha dalam rangka menumbuhkan
dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang
mandiri.

73
Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 73
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

BAB V
KONSEP FORMAL DAN AZAS KEMITRAAN

5.1 Konsep Formal Kemitraan


Kemitraan merupakan salah satu alat untuk menyelaraskan
hubungan yang harmonis, adil dan berkelanjutan, saling
menguntungkan, saling memperkuat, dan saling membutuhkan
antara pelaku bisnis di perdesaan terutama petani atau kelompok
tani dengan perusahaan swasta besar termasuk BUMN atau BUMD.
Berbagai literatur dan beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa
pada dasarnya kemitraan saat ini belum berjalan optimal. Kerjasama
kemitraan belum memberi manfaat yang optimal terutama bagi
petani kecil/peserta kemitraan. Sebagaimana hasil penelitian
Dwijatenaya (2013) yang mengambil kasus kemitraan pola Program
Pemberdayaan Masyarakat di Kecamatan Kembang Janggut
Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur menunjukkan
pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan tidak diperoleh
secara baik oleh petani peserta kemitraan. Pembinaan teknis dari
perusahaan pembina dan penyuluhan dari pemerintah masih
dirasakan kurang. Penjelasan secara deskriptif sebagaimana hasil
wawancara mendalam penulis dengan informan kunci disajikan
sebagai berikut.
Istilahnya peningkatan bimbingan teknis dari rea
(perusahaan, pen.) dan pemerintah kabupaten perlu
ditingkatkan’lah, ada sih ada tapi jarang penyuluhan

Konsep Formal dan Azas Kemitraan 74


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

dari pemerintah, ndik da jadwal yg jelas (tidak ada


jadwal yang tetap, pen). Kami pernah diajak rea studi
banding ke Sumatera (Medan), koperasinya dilatih oleh
perusahaan sama pemerintah. Kemudian petani betul-
betul dilatih, diperhatikan, setelah berhasil mereka
(petani, pen) mengembangkan, di Kalbar juga begitu,
setelah itu ada latihan. Cuman ada persoalan di sini,
dulunya ada tim khusus untuk pembinaan, sakarang
group ini tak ada lagi di rea, emang kalo ada kita dibina
terus-menerus ingin dikembangkan terus. Karena
manajemen tidak ada sinkron, karena rea tidak ada
budget untuk pembinaan, mereka yang ngasi tahu udah
tak ada budget. Kalo bisa ppl proaktiplah (wawancara 9
September 2012, NS.10)

Sebagaimana diketahui bahwa nilai tambah yang diperoleh


oleh petani peserta kemitraan adalah akses alih teknologi dan
peningkatan keterampilan. Keterampilan diperoleh melalui pelatihan
dan penyuluhan. Pelatihan adalah memberikan keterampilan,
memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan pelaksanaan
teknik kerja tertentu. Selain itu, pelatihan disebut sebagai training
teknis, yaitu merupakan upaya pembinaan keterampilan dasar
(Ruky, 2006; Handoko, 2001; Dessler, 1992).Penyuluhan merupakan
proses membantu petani di dalam meningkatkan pengetahuan (Ban
dan Hawkins, 1999).
Kondisi pembinaan dan pengembangan yang tidak
berkelanjutan mengindikasikan bahwa kesepakatan yang tertuang
dalam perjanjian kerjasama (MoU) tidak ditaati oleh pelaku
kemitraan. Untuk terwujudnya kemitraan sebagaimana diharapkan,
maka perlu adanya upaya-upaya agar kemitraan berjalan efektif.
Perbaikan dan pengembangan tersebut mengacu pada perundang-
undangan atau peraturan yang mengatur tentang hubungan
kemitraan bagi kelompok mitra dan perusahaan mitra. Aturan-
aturan formal yang mengatur tentang hubungan kemitraan ini
tertuang pada;
1. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.
Pada Bab I Pasal 1 Undang undang ini dijelaskan bahwa yang

75
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 75
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama usaha antara


Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar
disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah
atau Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan. Lebih lanjut
dijelaskan pada BAB VII Pasal 26 bahwa:
1) Usaha Menengah dan Usaha Besar melaksanakan hubungan
kemitraan dengan Usaha Kecil, baik yang memiliki maupun
yang tidak memiliki keterkaitan usaha.
2) Pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud
dalam ayat(1) diupayakan ke arah terwujudnya keterkaitan
usaha.
3) Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan
pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi
dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya
manusia, danteknologi.
4) Dalam melakukan hubungan kemitraan kedua belah pihak
mempunyaikedudukan hukum yang setara.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang
Usaha Kecil diganti dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pada Bab I
Pasal 1 dijelaskan Kemitraan adalah kerjasama dalam
keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas
dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat,
dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil,
dan Menegah dengan Usaha Besar. BAB VIII Pasal 25 Undang
undang ini menjelaskan bahwa:
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha,
danmasyarakat memfasilitasi, mendukung, dan
menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling
membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan
menguntungkan.
(2) Kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan
Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan
Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber
daya manusia, dan teknologi.

76
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 76
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

(3) Menteri dan Menteri Teknis mengatur pemberian insentif


kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan
pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan
tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah
lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan.
Pelaksanaan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 diatur
pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2013.

2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014


Tentang Perkebunan. Bab VII Bagian Keempat Pasal 57
dijelaskan bahwa:
(1) Untuk pemberdayaan Usaha Perkebunan, Perusahaan
Perkebunan melakukan kemitraan Usaha Perkebunan yang
saling menguntungkan, saling menghargai, saling
bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling
ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan
masyarakat sekitar Perkebunan.
(2) Kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pola kerja sama:
a. penyediaan sarana produksi;
b. produksi;
c. pengolahan dan pemasaran;
d. kepemilikan saham; dan
e. jasa pendukung lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan Usaha
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tentang


Kemitraan. Pada Bab I Pasal 1 Ayat 1 peraturan ini dijelaskan
kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan
Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai
pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau

77
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 77
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,


saling memperkuat dan saling menguntungkan. Untuk
mewujudkan iklim kemitraan yang kondusif selanjutnya diatur
tentang hak dan kewajiban kelompok yang bermitra yang
tertuang padaBab III Pasal 12 dan Pasal 14. Pasal 12 tentang
hak:
(1) Usaha Besar, Usaha Menengah dan Usaha Kecil yang
melaksanakan kemitraan mempunyaihak untuk :
a. Meningkatan efisiensi usaha dalam kemitraan.
b. Mendapat kemudahan untuk melakukakan kemitraan.
c. Membuat perjanjian kemitraan; dan
d. Membatalkan perjanjian bila salah satu pihak
mengingkari.
(2) Usaha Besar dan Usaha Menengah yang melaksanakan
kemitraan mempunyai hak untukmengetahui kinerja
kemitraan Usaha Kecil mitra binaannya.
(3) Usaha Kecil yang bermitra mempunyai hak untuk
memperoleh pembinaan danpengembangan dari Usaha
Besar dan atau usaha menengah mitranya dalam satu aspek
ataulebih tentang pemasaran, sumber daya manusia,
permodalan, dan manajemen.
Pasal 14 menjelaskan tentang kewajiban Usaha Besar dan Usaha
Menengah yang melaksanakan kemitraan dengan Usaha
Kecilberkewajiban untuk :
(1) Memberikan informasi peluang kemitraan;
(2) Memberikan informasi kepada Pemerintah mengenai
perkembangan pelaksanaan kemitraan;
(3) Menunjuk penanggungjawab kemitraan;
(4) Mentaati dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
telah diatur dalam perjanjiankemitraan; dan
(5) Melakukan pembinaan kepada mitra binaannya dalam satu
atau lebih aspek:
a. Pemasaran, dengan :
(1) Membantu akses pasar;
(2) Memberikan bantuan informasi pasar;
(3) Memberikan bantuan promosi;

78
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 78
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

(4) Mengembangkan jaringan usaha;


(5) Membantu melakukan identifikasi pasar dan
perilaku konsumen;
(6) Membantu peningkatan mutu produk dan nilai
tambah kemasan.
b. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia,
dengan :
(1) Pendidikan dan pelatihan;
(2) Magang;
(3) Studi banding;
(4) Konsultasi.
c. Permodalan, dengan :
(1) Pemberian informasi sumber-sumber kredit;
(2) Tata cara pengajuan penjaminan dari berbagai
sumber lembaga penjaminan;
(3) Mediator terhadap sumber-sumber pembiayaan;
(4) Informasi dan tata cara penyertaan modal;
(5) Membantu akses permodalan.
d. Manajemen, dengan :
(1) Bantuan penyusunan studi kelayakan;
(2) Sistem dan prosedur organisasi dan Manajemen;
(3) Menyediakan tenaga konsultan dan advisor.
e. Teknologi, dengan :
(1) Membantu perbaikan, inovasi, dan alih teknologi;
(2) Membantu pengadaan sarana dan prasarana
produksi sebagai unit percontohan;
(3) Membantu perbaikan sistem produksi dan
kontrol kualitas;
(4) Membantu pengembangan desain dan rekayasa
produk;
(5) Membantu meningkatan efisiensi pengadaan
bahan baku.

4. Keputusan Menteri Pertanian Nomor


940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha

79
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 79
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Pertanian. Pada Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa kemitraan adalah


kerjasama usaha antara Perusahaan Mitra dengan kelompok
mitra di bidang usaha pertanian.Selanjutnya Pasal 2
menjelaskan Kemitraan Usaha untuk meningkatkan pendapatan,
keseimbangan usaha,meningkatkan kualitas sumberdaya
kelompok mitra, peningkatan skala usaha, dalam
rangkamenumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha
kelompok mitra yang mandiri.

5. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 03 Tahun


2008 Tentang Kemitraan Pembangunan Perkebunan di Provinsi
Kalimantan Timur. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan
Kemitraan Pembangunan Perkebunan adalah serangkaian
kegiatan yang meliputi pembangunan kebun binaan serta
jaringan jalan kebun/jalan usaha tani dan fasilitas lainnya yang
berkaitan dengan pengembangan usaha tani perkebunan binaan.
Lebih lanjut dijelaskan Pada Bab II Pasal 2 Peraturan Daerah ini
dibuat dengan maksud;
(1) Untuk mengamankan pelaksanaan program kemitraan
pembangunan perkebunan, sehingga dapat berjalan
dengan tertib, lancar dan mencapai asas manfaat dan
berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan,
serta berkeadilan
(2) Untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan
kesadaran semua stakeholder program kemitraan
pembangunan perkebunan dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau perjanjian kerja
sama yang telah disepakati oleh para pihak;
(3) Untuk mencegah terjadinya pelanggaran dalam
pelaksanaan program kemitraan pembangunan

80
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 80
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

perkebunan, yang dapat mengakibatkan tidak


terwujudnya satu kesatuan usahatani perkebunan yang
ekonomis dan berkelanjutan.

5.2 Azas Kemitraan


Azas kemitraan merupakan etika moral yang harus diikuti oleh
pelaku kemitraan, baik perusahaan mitra maupun petani/usaha kecil
peserta mitra. Konsep kemitraan yang diatur dalam undang-undang
dan peraturan pemerintah maupun peraturan daerah pada dasarnya
mengandung makna bahwa kemitraan yang dikehendaki terdapat
tanggung jawab moral. Pengusaha menengah/besar selaku
perusahaan pembina kemitraan melakukan pembinaan kepada
pengusaha kecil/petani mitranya agar mampu mengembangkan
usahanya, yang nantinya mampu menjadi mitra yang handal untuk
meraih keuntungan yang pada akhirnya kesejahteraannya
meningkat.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha
Pertanian Bab I Pasal 3 menjelaskan tentang azas kemitraan
pertanian yang meliputi;
(1) Persamaan Kedudukan
(2) Keselarasan dan
(3) Peningkatan keterampilan kelompok mitra.

(1) Azas persamaan kedudukan


Kelompok mitra (pengusaha kecil/petani) maupun perusahaan
besar pembina mempunyai kedudukan yang setara. Tidak ada yang
merasakan lebih kuat atau lebih lemah sehingga terwujud hubungan
bisnis yang berkelanjutan. Adanya azas persamaan kedudukan akan
memberikan rasa adil kepada semua kelompok mitra baik
perusahaan pembina maupun kelompok usaha kecil/petani.Selain
itu, dalam pelaksanaannya haruslah dihindari adanya hubungan
seperti atasan dan bawahan.
(2) Azas keselarasan

81
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 81
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Perusahaan Pembina maupun kelompok mitranya (pengusaha


kecil/petani/kelompok tani/koperasi) mempunyai hak dan
kewajiban masing-masing yang diatur dalam undang-undang.
Dianutnya azas keselarasan ini agar perusahaan pembina dapat
melaksanakan kewajibannya dengan baik. Demikian pula, mitra
binaannya juga dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Kewajiban yang dilaksanakan dengan baik, maka akan diiringi
dengan hak-hak yang diperoleh.Hubungan kerjasama kemitraan
didahului oleh adanya perjanjian kerjasama, untuk itu komitmen
kesepakatan haruslah dipegang teguh dan dijadikan pedoman di
dalam pelaksanaannya.

(3) Azas meningkatkan keterampilan kelompok mitra


Azas yang dianut merupakan cerminan etika bisnis, untuk itu
kemitraan yang dibangun sedapat mungkin mentaati kesepakatan
yang telah tertuang dalam perjanjian kerjasama. Kemitraan yang
dibangun pada dasarnya bertujuan untuk memberdayakan kelompok
mitra (pengusaha kecil/petani) agar mampu tumbuh berkembang
secara mandiri. Untuk itu, azas pembinaan agar berhasil maka
diperlukan sikap saling terbuka, komunikasi yang harmonis,
koordinasi yang baik, dan adanya evaluasi secara rutin.

82
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 82
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

BAB VI
BERBAGAI POLA KEMITRAAN AGRIBISNIS

Cara pandang yang keliru terhadap kemitraan mengakibatkan


kegagalan kemitraan. Masih terdapat pandangan bahwa kemitraan
adalah suatu program belas kasihan, yakni memandang kelompok
mitra binaan hanya sekedar dibantu. Untuk itu, sudut pandang ini
harus dihilangkan dan paradigma kemitraan ini sedapat mungkin
dapat dipahami dan dilaksankan secara baik dan benar oleh semua
pemangku kepentingan. Pada uraian berikut dijelaskan berbagai pola
kemitraan bisnis, yang masing-masing memiliki keunggulan begitu
pula memiliki kelemahan. Dalam undang-undang, peraturan
pemerintah termasuk peraturan daerah dijelaskan tentang pola-pola
kemitraan yang telah berkembang di Indonesia.
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjelaskan pola-
pola kemitraan meliputi;
a. Inti-plasma
b. Subkontrak
c. Waralaba
d. Perdagangan umum
e. Distribusi dan keagenan, dan
f. Bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: bagi hasil, kerjasama
operasional, usaha patungan (joint venture),
danpenyumberluaran (outsourching).

Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 83


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun


1997 tentang Kemitraan menjelaskan pola-pola kemitraan
meliputi:
a) Inti-Plasma
b) Sub kontrak
c) Perdagangan umum
d) Waralaba
e) Bentuk kemitraan lainnya
Masing-masing pola kemitraan tersebut memiliki keunggulan
dan kelemahan. Keunggulan dan kelemahan masing-masing pola
kemitraan mengutip penjelasan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Sumardjo, dkk (2004). Selanjutnya uraian lebih rinci tentang
pola kemitraan, dijelaskan dengan mengambil contoh pada
kemitraan pertanian yang mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2008,
PP Nomor 12 Tahun 2013, dan Kepmentan Nomor
940/Kpts/OT.210/10/1997. Uraian masing-masing pola kemitraan
dijelaskan sebagai berikut ini.

6.1 PolaInti-Plasma
Usaha Besar sebagai inti dan Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta
Usaha Menengah sebagai plasma atau Usaha Menengah sebagai inti
sedangkan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagai plasma
sebagaimana dijelaskan pada PP Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah. Sebagaimana telah dipersyaratkan bahwa hubungan
kerjasama kemitraan merupakan hubungan yang mengedepankan
moral dan menjunjung tinggi etika bisnis. Hal yang paling mendasar
dalam kemitraan adalah adanya pembinaan dan bantuan oleh usaha
besar.Sebagai contoh kemitraan pada perkebunan, maka perusahaan
mitra yang bertindak sebagai perusahaan inti atau perusahaan
pembina melaksanakan pembukaan lahan atau menyediakan lahan,
sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan
mengolah serta memasarkan hasil. Setiap kerjasama memiliki
keunggulan dan kelemahan.

84
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 84
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Keunggulan Pola Inti- Plasma adalah:


1) Tercipta saling ketergantungan dan saling memperoleh
keuntungan
2) Tercipta peningkatan usaha
3) Dapat mendorong perkembangan ekonomi
Kelemahan Pola Inti-Plasma
1) Pihak plasma sering kurang memahami hak dan
kewajibannya sesuai kesepakatan
2) Komitmen perusahaan inti masih lemah dalam memenuhi
fungsi dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang
diharapkan plasma
3) Belum ada kontrak kemitraan yang menjamin hak dan
kewajiban komoditas plasma sehingga sering pengusaha
inti mempermainkan harga
4) Belum ada pihak ketiga yang secara efektif berfungsi
sebagai arbitrator atas penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan kontrak kerja.

6.2 Pola Subkontrak


Pola Sub Kontrak merupakan hubungan kemitraan antara
kelompok mitra dengan perusahaan mitra usaha, yang di dalamnya
kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Adapun
keunggulan Pola Sub Kontrak adalah:
1) Bermanfaat bagi alih teknologi,
2) Ketersediaan modal,
3) Peningkatan ketrampilan,
4) Peningkatan produktivitas, dan
5) Terjaminnya pemasaran produk
Sedangkan Kelemahan Pola Sub Kontrak adalah:
1) Hubungan semakin lama cenderung mengisolasi produsen
kecil dan mengarah ke monopoli terutama dalam
penyediaan bahan baku dan pemasaran,
2) Berkurangnya nilai-nilai kemitraan berubah menjadi
penekanan terhadap harga input yang tinggi atau
pembelian produk dengan harga rendah,

85
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 85
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

3) Kontrol kualitas produk ketat, tetapi tidak diimbangi


dengan sistem pembayaran yang tepat, dan
4) Timbul gejala eksploitasi tenaga kerja untuk mengejar
target produksi.

6.3 Pola Dagang Umum


Pola Dagang Umum merupakan hubungan kemitraan antara
kelompok mitra dengan perusahaan mitra yang di dalamnya
perusahaan mitra memasarkan hasil produksi kelompok mitra atau
kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan
mitra. Kemitraan pola ini menekankan pada aspek pemasaran.
Untuk itu, kelompok mitra tidak dibatasi oleh hambatan pemasaran.
Keunggulan Pola Dagang Umum adalah kelompok mitra untung
karena tidak perlu susah payah memasarkan hasil sampai ke tangan
konsumen. Sedangkan kelemahan Pola Dagang Umum adalah:
1) Dalam praktek, harga dan volume produk sering ditentukan
oleh pengusaha secara sepihak.
2) Sering sistem perdagangan berubah menjadi bentuk
konsinyasi.

6.4 Pola Keagenan


Pola Keagenan merupakan hubungan kemitraan yang di
dalamnya kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan
barang dan jasa perusahaan mitra. Pada pola ini perusahaan besar
bertanggung jawab atas mutu dan volume produk, sedangkan
kelompok mitra berkewajiban memasarkan produk atau jasa. Ada
beberapa hal yang disepakati untuk keberlanjutan usaha.
Selanjutnya semua pihak yang menjalin kesrjasama ini harus
mentaatinya. Kesepakatan tersebut berupa kesepakatan tentang
target yang harus dicapai dan besarnya fee atau komisi yang diterima
pihak pemasar. Seperti pola inti-plasma, pola keagaenan juga
memiliki keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan Pola
Keagenan adalah dapat dilaksanakan oleh pengusaha kecil yang
kurang kuat modalnya karena menggunakan semacam sistem
konsinyasi. Sedangkan kelemahan Pola Keagenan adalah:

86
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 86
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

1) Usaha kecil menetapkan harga produk secara sepihak


sehingga harganya tinggi di konsumen.
2) Usaha kecil sering memasarkan produk dari beberapa
mitra usaha saja sehingga kurang mampu membaca
segmen pasar dan tidak memenuhi target.

6.5 Pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)


Pola KAO merupakan hubungan kemitraan yang di dalamnya
kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga, sedangkan
perusahaan mitra menyediakan biaya, atau modal dan/atau sarana
untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas
pertanian. Selain itu, perusahaan pembina juga berperan sebagai
penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui
pengolahan dan pengemasan.Keunggulan Pola KOA pada dasarnya
sama dengan Pola Inti-plasma, yaitu:
1) Tercipta saling ketergantungan dan saling memperoleh
keuntungan
2) Tercipta peningkatan usaha
3) Dapat mendorong perkembangan ekonomi
Sedangkan kelemahan Pola KOA adalah:
1) Untung perusahaan besar terlalu besar sehinggadirasa
kurang adil
2) Perusahaan besar cenderung monopsoni sehingga
memperkecil keuntungan pengusaha kecil.
3) Belum ada pihak ketiga yang berperan efektif menengahi

6.6 Modifikasi Kemitraan Di Kutai Kartanegara


Pola kemitraan perkebunan di Kabupaten Kutai Kartanegara
Provinsi Kalimantan Timur mengalami modifikasi. Adapun tujuannya
adalah semua pihak berupaya untuk memberdayakan masyarakat
perdesaan untuk mencapai kesejahteraan. Model kemitraan yang
dimaksud adalah:
A. PPMD (Program Pemberdayaan Masyarakat Desa)
Pola Program Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) ini
dilaksanakan di Kecamatan Kembang Janggut Kutai Kartanegara

87
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 87
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

yang mana PT REA Kaltim sebagai perusahaan pembina dan


petani sawit yang bergabung ke dalam kelompok tani serta
menjadi anggota koperasi sebagai kelompok mitra.Petani
menyediakan lahan, tenaga kerja, dan saprodi sedangkan pihak
Pembina memberikan penyuluhan, teknologi budidaya dan
panen, serta TBS dibeli oleh perusahaan Pembina. Kerjasama
kemitraan pola PPMD diawali oleh penandatanganan perjanjian
kerjasama (MoU). Awal program ini kurang mendapat respon
petani, namun saat ini pola kemitraan PPMD sangat diharapkan
tetap berkelanjutan. Adanya program PPMD ini ternyata mampu
meningkatkan pendapatan petani. Akan tetapi, program PPMD
saat ini tidak dikembangkan lagi dan beralih pada kemitraan
yang di Kutai Kartanegara dikenal dengan kemitraan pola satu
atap.

B. Kemitraan satu atap (Petani/koperasi - Perusahaan Sawit)


Kemitraan Pola satu atap hampir sama dengan pola PPMD.
Perusahaan Pembina membangun kebun petani dan setelah
berproduksi dilakukan dengan metode bagi hasil setelah
diperhitungkan biaya oleh perusahaan. Semua manajemen
produksi ditentukan oleh perusahaan, petani tinggal duduk
manis menunggu hasil setelah berproduksi (rupiah) yang
dikirim melalui rekening bank masing-masing petani. Apabila
petani berkeinginan bekerja dikebun tetap diperhitungkan oleh
perusahaan dan dibayar sebagaimana halnya karyawan lainnya.
Perhitungan bagi hasil setelah mempertimbangkan biaya
tergantung dari kesepakatan perusahaan Pembina dan petani
melalui koperasi. Secara ringkas hal-hal yang dapat dipahami
pada pola kemitraan satu atap ini adalah:
1) Anggota mitra bergabung dalam kelompok tani dan
menjadi anggota koperasi,
2) Bank sebagai Avalis
3) Manajemen perencanaan sampai dengan pemasaran
ditentukan Inti (perusahaan)
4) Anggota mitra dapat menjadi karyawan di persusahaan
inti dan dibayar sesuai haknya.

88
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 88
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

BAB VII
PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN

7.1 Pemberdayaan Petani Untuk Mencapai


Kesejahteraan

Sebagaimana dikatakan Sumodininggrat (dalam Kartius, dkk.,


2008) bahwa untuk memberdayakan masyarakat miskin, perlu
adanya pemihakan kepada pertumbuhan ekonomi kerakyatan.
Dengan anggapan bahwa ekonomi kerakyatan mempunyai akses
langsung terhadap ekonomi masyarakat lapisan bawah tersebut.
Pemberdayaan usaha kecil dan menengah termasuk koperasi
memang sangat penting dan strategis dalam mengantisipasi
perekonomian ke depan terutama dalam memperkuat struktur
perekonomian nasional (Prawirokusumo, 2001). Sebagai contoh
upaya pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya terutama
masyarakat perdesaan yang sebagian besar bermata pencaharian
pada sektor pertanian adalah memberdayakan petani, hal ini
didukung oleh geografis yang dimiliki.
Kabupaten Kutai Kartanegara dengan ibu kota Tenggarong
mempunyai luas wilayah 26.326 Km 2, berpotensi untuk
mengembangkan perkebunan diantaranya perkebunan kelapa sawit.
Upaya ini telah dilaksanakan yakni dengan mendorong
berkembangnya Perkebunan Besar Swasta (PBS). Jumlah
Perkebunan Besar Swasta (PBS) untuk tahun 2009 sebanyak 19
perusahaan dengan luas 101.106,70 ha dengan produksi sebesar

Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 89


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

244.168,00 ton (Kutai Kartanegara Dalam Angka, 2010). Adanya


perkebunan besar ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
kerja petani dan kesejahteraan petani melalui program kemitraan
kelapa sawit. Program kemitraan pembangunan perkebunan
dilaksanakan dalam bentuk kerjasama antara petani pekebun rakyat
dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah dan Badan Usaha Milik Swasta Dalam Negeri maupun Asing
yang bergerak di bidang perkebunan. Bentuk kerjasama dengan
kemitraan mengacu pada; Undang-Undang No. 9 tahun 1995,
Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1997 dan Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Timur Nomor 03 Tahun 2008 tentang
Kemitraan Pembangunan Perkebunan di Provinsi Kalimantan Timur,
yaitu pemerintah Daerah Kabupaten bertugas dan memfasilitasi
perizinan usaha perkebunan pembina, serta menyediakan lahan
pengembangan kebun mitra di luar ijin usaha perkebunan pembina
minimal 20 persen dari luas areal kebun yang diusahakan oleh
perusahaan pembina. Perusahaan perkebunan pembina mempunyai
tugas dan kewajiban membangun perkebunan yang dilakukan
perusahaan perkebunan pembina seluas 20 persen dari total luas
usaha perkebunan lengkap dengan fasilitas pengolahan (pabrik).
Petani peserta program kemitraan wajib menjadi anggota kelompok
tani dan menjadi anggota koperasi. Hubungan kemitraan petani
diwakili oleh koperasi sehingga kemitraan antara perusahaan
perkebunan kelapa sawit dengan koperasi dapat berlangsung secara
utuh dan berkesinambungan.

7.1.1 Pemberdayaan
7.1.1.1 Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi bukan sebuah
proses instan. Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) sebagai
proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran,
pengkapasitasan dan pendayaan, secara sederhana dapat
digambarkan sebagai berikut :

90
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 90
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Penyadaran Pengkapasitasan
Pendayaan

Gambar 7.1. Tiga Tahapan Pemberdayaan


Sumber : Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007

Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang


hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian
penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai
sesuatu.Misalnya kelompok masyarakat miskin. Kepada mereka
diberikan pemahaman bahwa dapat menjadi berada, dan itu dapat
dilakukan jika mempunyai kapasitas untuk keluar dari
kemiskinannya. Program-program yang dapat dilakukan, misalnya
memberikan pengetauan yang bersifat kognisi, belief, dan healing.
Prinsip dasarnya membuat target mengerti bahwa mereka perlu
(membangun demand) diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu
dimulai dari dalam diri mereka (tidak dari luar). Sebagai contoh
adalah petani peserta kemitraan perkebunan kelapa sawit, untuk itu
petani peserta kemitraan diberikan pemahaman bahwa petani
mempunyai hak untuk menjadi berada. Pada tahap ini, petani peserta
kemitraan dibuat mengerti bahwa proses pemberdayaan itu harus
berasal dari diri sendiri. Diupayakan pula agar komunitas ini
mendapat cukup informasi. Tahap kedua adalah pengkapasitan. Pada
tahap ini sering disebut capacity bulding atau dalam bahasa lebih
sederhana memampukan atau enabling. Untuk diberikan daya atau

91
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 91
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

kuasa, yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu. Proses


capacity building terdiri atas tiga jenis yaitu manusia organisasi dan
sistem nilai. Pengkapasitasan manusia dalam arti memampukan
manusia baik dalam konteks individu maupun kelompok telah sering
dilakukan seperti memberikan bimbingan dan penyuluhan,
melakukan pelatihan (trainning), workshop (loka latih), seminar,
simulasi dan sejenisnya. Menurut Ruky (2006), pelatihan adalah
memberikan keterampilan (skill) yang bisa dilakukan baru atau
meningkatkan skill yang sudah dikuasai sesorang. Lebih lanjut
Handoko (2001) menyatakan bahwa latihan dimaksudkan untuk
memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik
pelaksanaan kerja tertentu, terinci dan rutin untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan sekarang. Pelatihan menurut Dessler (1992)
disebut sebagai training teknis adalah merupakan upaya pembinaan
keterampilan dasar yang diperlukan pegawai baru atau lama untuk
melaksanakan pekerjaan. Penyuluhan adalah merupakan proses
membantu petani dalam mengambil keputusan dari berbagai
alternatif pemecahan masalah. Menurut Ban dan Hawkins (1999)
penyuluhan adalah proses 1) meningkatkan pengetahuan dan
mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah serta membantu
menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani,
2) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus
berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta
akibat yang ditimbulkannya sehingga dimilikinya berbagai alternatif
tindakan, 3) membantu petani untuk mengevaluasi dan
meningkatkan keterampilan dalam membentuk pendapat dan
mengambil keputusan. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam
bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau
kapasitas tersebut, misalnya sebelum diberikan peluang usaha bagi
kelompok miskin dibuatkan Badan Usaha Miliki Rakyat (BUMR).
Agar manajemennya efisien, organisasi daerah otonom ditata ulang
sehingga berpola structure follow function. Contoh lain adalah
dibentuknya kelompok tani bagi petani peserta kemitraan
perkebunan kelapa sawit, dan dibuatnya koperasi, sehingga sebagai
peserta kemitraan perkebunan kelapa sawit telah menjadi anggota
kelompok tani serta sebagai anggota koperasi. Pengkapasitasan
sistem nilai, yaitu setelah orang dan wadahnya dikapasitaskan,

92
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 92
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

sistem nilainya pun demikian. Sistem nilai adalah aturan main. Dalam
cakupan organisasi sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga, sistem dan Prosedur, Peraturan
Koperasi, dan dalam kerjasama kemitraan perkebunan kelapa sawit
antara petani peserta dengan perusahaan mitra diatur dalam
perjanjian kerjasama (MoU). Pada tingkat yang lebih maju, sistem
nilai terdiri atas budaya organisasi, etika dan good governance. Tahap
ketiga adalah pemberian daya itu sendiri atau empowerment dalam
makna sempit. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya,
kekuasaan, otoritas atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan
kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Misalnya pemberian kredit
kepada suatu kelompok miskin yang sudah melalui proses
penyadaran dan pengkapasitasan masih perlu disesuaikan dengan
kemampuannya mengolola usaha. Demikian halnya untuk contoh
pada petani peserta kemitraan perkebunan kelapa sawit, petani
peserta dilihat kemampuannya apakah sudah mampu mengelola
kebun sendiri atau belum. Namun kecenderungan perusahaan
perkebunan besar tidak mau menyerahkan pengelolaan ini sehingga
tahap pendayaan sering mengalami kegagalan. Petani peserta
kemitraan usahatani kelapa sawit diberikan peluang yang
disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisiapasi
aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran
yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan
kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk
melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan
atas pilihan.
Selanjutnya Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) menyatakan
konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community
development (pembangunan masyarakat) dan community-based
development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat dan
tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang
diterjamahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat
atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat.
Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan
masyarakat untuk bertahan (survive) dan dalam pengertian dinamis
mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Memberdayakan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat

93
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 93
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

lapisan masyarakat Indonesia yang dalam kondisi tidak mampu


melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat. Dalam pengertian konvensional, konsep
pemberdayaan sebagai terjemahan empowerment mengandung dua
pengertian, yaitu 1) to give power or authority to atau memberi
kuasa, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak
lain, 2) to give ability to atau to enable atau usaha untuk memberikan
kemampuan atau keberdayaan. Ekplisit dalam pengertian kedua ini
adalah bagaimana menciptakan peluang untuk mengaktualisasikan
keberdayaan seseorang.
Pemberdayaan diartikan bagaimana individu, kelompok,
ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan diri sendiri dan
mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan
keinginannya (Shardlow dalam Adi, 2008). Selanjutnya Payne (dalam
Adi, 2008) menyatakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment)
pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya
untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan
dilakukan yang terkait dengan dirinya, termasuk mengurangi efek
hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini
dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri
untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer
daya dari lingkungannya. Lebih lanjut Adi (2008) menyatakan
pemberdayaan masyarakat melibatkan lembaga pemerintah dan non
pemerintah. Pemberdayaan berbagai macam bentuk dapat
dipadukan dan saling melengkapi guna menciptakan kesejahteraan
masyarakat.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang
dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak
untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai
sumberdaya pembangunan agar mampu mengenali permasalahan
yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju
keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya,
serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat
manfaat darinya.

94
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 94
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Menurut Suharto (dalam Nawawi, 2009) pelaksanaan proses


dan pencapaian tujuan pemberdayaan dicapai melalui penerapan
pendekatan pemberdayaan, yaitu pemungkinan, penguatan,
perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan. Pemungkinan,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang secara optimal. Penguatan, memperkuat
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam
memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya. Perlindungan,
melindungi masyarakat terutama kelompok lemah agar tidak
tertindas oleh kelompok kuat. Penyokongan, memberikan bimbingan
dan dukungan, agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan
tugas-tugas kehidupannya. Pemeliharaan, memilihara kondisi yang
kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan
antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Dimensi
pemberdayaan berkaitan dengan pemberdayaan kerja menurut
Kanter dalam Laschinger dan Finegan (2005) meliputi; memiliki
akses pada informasi, menerima dukungan, memiliki akses pada
sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dan
memiliki peluang untuk belajar dan berkembang.

7.1.1.2 Dasar-dasar pemberdayaan


Dubois dan Miley dalam Wrihatnolo dan Dwidjiwijoto (2007)
mengemukakan bahwa dasar-dasar pemberdayaan meliputi:
1. Pemberdayaan adalah proses kerja sama antara klien dan
pelaksana kerja secara bersama-sama yang bersifat mutual
benefit.
2. Proses pemberdayaan memandang sistem klien sebagai
komponen dan kemampuan yang memberikan jalan ke sumber
penghasilan dan memberikan kesempatan.
3. Klien harus merasa dirinya sebagai agen bebas yang dapat
mempengaruhi.
4. Kompetensi diperoleh atau diperbaiki melalui pengalaman
hidup khusus yang kuat daripada keadaan yang menyatakan apa
yang dilakukan.

95
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 95
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

5. Pemberdayaan meliputi jalan ke sumber-sumber penghasilan


dan kapasitas untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan
tersebut dengan cara efektif.
6. Proses pemberdayaan adalah masalah yang dinamis, sinergis,
pernah berubah, dan evolusioner yang selalu memiliki banyak
solusi.
7. Pemberdayaan adalah pencapaian melalui struktur-struktur
paralel dari perseorangan dan perkembangan masyarakat.
Pemberdayaan adalah proses menyeluruh: suatu proses aktif
antara motivator, fasilitator, dan kelompok masyarakat yang perlu
diberdayakan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan,
pemberian berbagai kemudahan serta peluang untuk mencapai
sukses sistem sumber daya dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Proses pemberdayaan hendaknya meliputi enabling
(menciptakan suasana kondusif), empowering (penguatan kapasitas
dan kapabilitas masyarakat), supporting (bimbingan dan dukungan)
dan foresting (memelihara kondisi yang kondusif tetap seimbang).
Pada gilirannya akan terwujud kapasitas ketahanan masyarakat
secara lebih bermakna.
Makmun (2003) menyatakan upaya memberdayakan
masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya membangun
daya itu sendiri dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih
positif, selain hanya meniciptakan iklim dan suasana kondusif.
Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut
penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses
berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat
menjadi makin berdaya. Upaya pemberdayaan ini menyangkut
antara lain; peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, akses
informasi, teknologi, pembangunan sarana prasarana fisik, pelatihan
dan sebagainya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti
melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah

96
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 96
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

menjadi bertambah lemah. Oleh karena itu, perlindungan dan


pemihakan kepada yang lemah amat medasar sifatnya dalam konsep
pemberdayaan masyarakat. Pendapat beberapa ahli menyatakan
bahwa pemberdayaan adalah suatu proses. Proses pemberdayaan
individu sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang
usia manusia yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan
bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja (Hogan,
Rotter, Selignan, Hopson dan Scally dalam Adi, 2008).
Menurut Ony dan Pranaka (dalam Nawawi, 2009)
menyebutkan pemberdayaan pada awalnya merupakan gagasan
yang menempatkan manusia sebagai subyek di dunianya, yaitu : (i)
Pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan atau kemampuan kepada
masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya
disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.
(ii) Kecenderungan sekunder, menekankan pada proses
menstimulasi mendorong dan memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya. Menurut Nawawi (2009) pemberdayaan dapat
dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan, yaitu:
1) Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara
individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis
intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih
klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
2) Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok
klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok
sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika
kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-
sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan
permasalahan yang dihadapi.
3) Aras Makro. Perubahan diarahkan pada system lingkungan yang
lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye,
aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen
konflik. Strategi ini memandang klien sebagai orang yang
memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi diri

97
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 97
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

sendiri dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat


untuk bertindak.
Ife dalam Adi (2008) menyatakan bahwa ada sekurang-
kurangnya empat peran dan keterampilan utama yang harus dimiliki
oleh pelaku perubahan sebagai pemberdaya masyarakat, yaitu :
1) Peran dan keterampilan fasilitatif (facilitative roles and skills).
2) Peran dan keterampilan edukasional (educational roles and
skills).
3) Peran dan keterampilan perwakilan (representational roles and
skills).
4) Peran dan keterampilan teknis (technical roles and skills).

7.1.1.3 Mengukur Pemberdayaan


Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan berhasil,
perlu ada pemantauan dan penetapan sasaran sejauh mungkin yang
dapat diukur untuk dibandingkan. Menurut Wrihatnolo dan
Dwidjowijoto (2007). Seberapa jauh pemberdayaan dapat dikatkan
berhasil dapat diukur melalui :
1. Aspek Ekonomi. Pemberdayaan masyarakat dengan
sendirinya berpusat pada bidang ekonomi karena sasaran utamanya
adalah memandirikan masyarakat. Peran ekonomi sangat penting,
cara pengukurannyapun banyak berkembang seperti. Indeks GINI,
jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line),
jumlah desa miskin (poverty-stricken village), peranan usaha berskala
mikro dan kecil, nilai tukar petani (NTP), upah minimum (minimum
wage) dan sebagainya.
2. Pendidikan dan Kesehatan. Pembangunan manusia
berkualitas bukan hanya menyangkut aspek ekonominya. Dibidang
pendidikan dan kesehatan ukurannya juga telah banyak
dikembangkan antara lain persentase penduduk yang buta aksara,
angka partisipasi sekolah untuk SD, SLTP, SLTA dan perguruan
tinggi, angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, persentase
penduduk yang kurang gizi, dan rata-rata umur harapan hidup.
Selain itu BAPPENAS bersama BPS juga mengambangkan semacam
indeks kesejahteraan rakyat yang menggabungkan indikator
ekonomi, kesehatan dan pendidikan dalam suatu angka indeks. Di

98
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 98
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

dunia internasional, ideks kesejahteraan semacam ini telah


dikembangkan oleh UNDP, dikenal dengan nama Human
Development Index (HDI).
3. Budaya. Manusia juga harus mempersiapkan diri untuk
kehidupan abadi melalui pembangunan spiritual, sebagai bagian
pemberdayaan masyarakat, dalam rangka membangun masyarakat
yang berakhlak. Dalam pembangunan budaya perlu dikembangkan
orientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Aspek Politik. Pemberdayaan masyarakat harus pula berarti
membangkitkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat
yang secara politik terisolasi bukanlah masyarakat yang berdaya,
artinya tidak seluruh aspirasi dan potensinya tersalurkan. Salah satu
ukurannya, seperti yang dikembangkan Dasgupta adalah hak
berpolitik (mengikuti pemilu) dan hak sipil.
Lebih lanjut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007)
mengemukakan untuk mengukur pemberdayaan, dapat melihat
ukuran pemberdayaan dari segi pengukuran kemiskinan. Digunakan
14 (empat belas) variabel untuk menentukan apakah suatu rumah
tangga layak atau tidak dikaregorikan miskin sekaligus menentukan
skorsing tingkat keparahan kemiskinannya, yaitu 1) luas bangunan,
2) jenis lantai, 3) jenis dinding, 4) fasilitas buang air besar, 5)
sumber air minum, 6) sumber penerangan, 7) jenis bahan bakar
untuk memasak, 8) frekuensi membeli daging, ayam dan susu
seminggu, 9) frekuensi makan sehari, 10) jumlah stel pakaian baru
yang dibeli setahun, 11) akses ke puskesmas/poliklinik, 12)
lapangan pekerjaan, 13) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga,
serta 14) kepemilikan beberapa aset. Disamping itu ada pula empat
variabel program intervensi, yaitu 1) kebaraan balita, 2) angka usia
sekolah, 3) kesertaan dalam program keluarga berencana (KB), dan
4) penerimaan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

7.1.1.4 Model-Model Pemberdayaan


Teori Pemberdayaan mengasumsikan bahwa (Wrihatnolo dan
Dwidjowijoto, 2007):

99
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 99
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

1. Pemberdayaan akan berbeda untuk orang yang berbeda. Proyek-


proyek pembangunan dianggap sukses jika anggota masyarakat
mampu merasakan manfaat proyek dalam jangka waktu lama.
Masyarakat terberdayakan tidak selalu berarti bahwa
kemampuan masyarakat untuk memcahkan masalahnya
terdistribudi secara merata antara anggota masyarakat,
terutama lintas jenis (gender). Pada umumnya, kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan yang sama lintas gender
(dan kemudian berarti kesempatan yang sama untuk memimpin
organisasi sukarela masyarakat) tidak dapat dicapai ketika laki-
laki masih mendominasi proses tersebut.
2. Pemberdayaan mengambil bentuk berbeda dalam konteks yang
berbeda. Persepsi, keahlian dan tindakan yang diperlukan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan tertentu akan berbeda antara
pekerja di organisasi otoritatif dan pekerja di organisasi
partisipatif. Inisiatif pekerja pada situasi pertama ditekan di
tingka paling rendah, sementara pada situasi kedua pekerja
didorong untuk berkembang semaksimal mungkin.
3. Pemberdayaan akan berfluktuasi atau berubah sejalan dengan
waktu. Seseorang dapat merasa terberdayakan pada suatu saat
dan tidak terberdayakan pada waktu lain, bergantung pada
kondisi yang dihadapi pada suatu waktu.
Di Indonesia model kebijakan yang menonjolkan konsep
pemberdayaan adalah demokrasi ekonomi. Model ini mempunyai
nama lain yang beraneka ragam seperti ekonomi rakyat,
perekonomian rakyat, ekonomi kerakyatan dan sejenisnya. Dalam
tulisan ini untuk memudahkan pemahaman digunakan istilah
ekonomi kerakyatan. Indonesia adalah negara yang kaya akan
sumber daya alam, namun kekayaan alam Indonesia belum dapat
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Problematika yang dijumpai pada permasalahan penerapan
demokrasi ekonomi adalah masalah fundamental berupa
kemampuan pelaku pemberdayaan masyarakat yang sangat terbatas
dan peran intelektual yang masih belum efektif dalam menegakkan
penerapan demokrasi ekonomi di Indonesia dalam rangka
menyejahterakan rakyat. Konsep Dasar pemberdayaan ditentukan

100
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 100
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

oleh tiga konsep dasar, yaitu konsep demokrasi ekonomi, konsep


intelektual, dan pembangunan yang memihak rakyat. Hubungan
ketiga hal tersebut sebagaimana disajikan Gambar 7.2.

Demokrasi
Ekonomi
Penerapan prinsip-
prinsip demokrasi
ekonomi sebagai
wujud pemberdayaan
masyarakat

Model Peran Intelektual


Demokrasi
Ekonomi Peran intelektual
Peran intelektual dalam
dalam pemberdayaan menyejahterakan
masyarakat dalam rakyat dengan proses
konteks demokrasi pemberdayaan
ekonomi untuk masyarakat
meningkatkan
kesejahteraa rakyat

Gambar 7.2. Hubungan Antara Demokrasi Ekonomi, Peran


Intelektual, dan Model Demokrasi Ekonomi
dalam Pemberdayaan Masyarakat
Sumber : Wriahtnolo dan Dwidjowijoto, 2007

Model-model pemberdayaan masyarakat dapat dicontohkan,


seperti pemberdayaan di perdesaan yaitu Program Pengembangan
Kecamatan (PPK), yakni dimulai dengan program Inpres Desa
Tertinggal (Inpres Nomor 5 Tahun 1993). Model program
pemberdayaan di perkotaan seperti Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Sebagaimana dikatakan Jamal
(2009) bahwa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

101
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 101
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

(PNPM Mandiri) merupakan langkah awal yang baik untuk


membangun momentum baru pembangunan perdesaan di Indonesia.

7.1.2 Kesejahteraan
7.1.2.1 Pengertian kesejahteraan
Keberhasilan pembangunan suatu Negara ditunjukkan oleh
makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Demikian halnya
keberhasilan program kemitraan kelapa sawit juga akan berdampak
pada semakin meningkatnya kesejahteraan petani mitra sawit.
Secara mikro kesejahteraan rumah tangga dapat didekati dengan
hukum Engel, yang menyatakan pangsa pengeluaran pangan
terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang
dengan meningkatnya pendapatan. Lebih lanjut dalam keadaan harga
barang dan selera masyarakat tetap maka peningkatan pendapatan
menunjukkan peningkatan kesejahteraan (Nicholson, 2002).
Setiap orang memiliki keinginan untuk sejahtera, suatu
keadaan yang serba baik, atau suatu kondisi dimana orang-orangnya
dalam keadaan makmur dalam keadaan sehat dan damai. Sejahtera
juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur, serta selamat,
terlepas dari berbagai gangguan. Dalam UU No. 6 Tahun 1974
keadaan sejahtera yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan dan ketentraman lahir batin. Menurut Undang Undang No
10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, bahwa keluarga yang sejahtera itu
tidak hanya tercukupi kebutuhan materiilnya, tetapi juga harus
didasarkan pada perkawinan yang sah, tercukupi kebutuhan
spiritualnya, memiliki hubungan yang harmonis antar anggota
keluarga, antara keluarga dengan masyarakat sekitarnya, dengan
lingkungannya dan sebagainya.
Menurut Spicker; Midgley; Tracy dan Livermore;
Thompsondalam Suharto (2006) pengertian kesejahteraan
sedikitnya mengandung empat makna, yaitu : 1) sebagai kondisi
sejahtera (well-being).Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah
kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya

102
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 102
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi


manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan
dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan
pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh
perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam
kehidupannya, 2) sebagai pelayanan sosial,dalam bentuk, yakni
jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan,
perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services),
3) sebagai tunjangan sosial,yang khususnya diberikan kepada orang
miskin. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang
miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan
konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan,
kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut
“social illfare” ketimbang “social welfare”, 4) sebagai proses atau
usaha terencanayang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga
sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui
pemberian pelayanan sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan sosial
(pengertian ketiga).
Stiglitz, et.al. (2011) menyatakan untuk mendefinisikan
kesejahteraan, rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi-
dimensi tersebut meliputi; standar hidup material (pendapatan,
konsumsi dan kekayaan), kesehatan, pendidikan, aktivitas individu
termasuk bekerja, suara politik dan tata pemerintahan, hubungan
dan kekerabatan sosial, lingkungan hidup (kondisi masa kini dan
masa depan), ketidakamanan, baik yang bersifat ekonomi maupun
fisik. Semua dimensi ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan
untuk mengukurnya diperlukan data obyektif dan subjektif.
Perumusan konsep kesejahteraan dilakukan oleh Biro Pusat
Statistik dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Dan
rumusan kesejahteraan oleh BKKBN, bahwa keluarga dapat
dikatakan sejahtera apabila :
1. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya baik
kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial dan agama.
2. Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan
keluarga dengan jumlah anggota keluarga.

103
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 103
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

3. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota


keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar,
beribadah khusuk disamping terpenuhi kebutuhan pokoknya.

7.1.2.2 Kriteria ekonomi kesejahteraan


Ekonomi kesejahteraan penting untuk dipahami karena
berhubungan dengan tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berbagai kriteria dari ekonomi
kesejahteraan berguna dalam mempertimbangkan suatu
kebijaksanaan. Pihak mana yang menjadi lebih baik (better-off) dan
mana yang menjadi lebih buruk (worse-off), atau dengan kata lain,
siapa yang menerima keuntungan (gainers) dan siapa yang
menderita kerugian (lossers), yang selanjutnya dijelaskan sebagai
berikut (Miller dan Meiners, 2000; Jehle dan Reny, 2001; Rintuh dan
Miar, 2005; Pindyck dan Rubinfeld, 2008):

1. Kriteria Bentham
Jeremy Benthan, menyatakan bahwa perbaikan welfare akan
terjadi apabila tersedia barang-barang dalam jumlah yang semakin
banyak. Ini berarti bahwa welfare total adalah penjumlahan utility
dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut kriteria ini bila
terdapat perubahan positifwelfare total berarti terdapat perbaikan
kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat
anggota masyarakat atau individu yang dirugikan dan ada yang
diuntungkan. Secara implisit kriteria ini mengasumsikan adanya
komparasi antar individual (interpersonal comparison) di antara
anggota masyarakat yang menikmati manfaat dengan anggota
masyarakat yang menderita kerugian karena adanya perubahan
dalam masyarakat yang bersangkutan.

2. Kriteria Cardinal
Menurut kriteria cardinal pendapatan anggota masyarakat
berpengaruh terhadap utility. Berlaku law of diminishing marginal
utility, anggota masyarakat yang berpendapatan tinggi (memiliki
uang lebih banyak) akan memperoleh marginal utility yang lebih

104
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 104
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

kecil dibandingkan dengan anggota masyarakat yang berpendapatan


rendah (memiliki uang yang lebih sedikit). Jadi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat harus dilakukan redistribusi pendapatan
di antara anggota masyarakat. Maksimum kesejahteraan masyarakat
akan tercapai apabila distribusi pendapatan merata di antara
anggota masyarakat, kriteria ini mengasumsikan bahwa marginal
utility daripada uang adalah sama bagi setiap anggota masyarakat.

3. Kriteria Pareto-Optimal
Pada umumnya, ekonom kurang menyukai perbandingan
kepuasan antar pribadi. Pemakaian konsep tersebut sedapat
mungkin dihindari dalam menganalisis kesejahteraan, dan fokus
dialihkan pada konsep efisiensi ekonomi. Efisiensi ada dua yaitu
efisiensi teknis adalah istilah yang mengacu pada perbandingan
output fisik dengan input fisik, dan efisiensi ekonomis mengacu pada
nilai output terhadap input, atau nilai sumberdaya (faktor produksi)
yang dipakai menghasilkan output tersebut. Pengukuran efesiensi
ekonomis mensyaratkan nilai-nilai ditempatkan pada komoditi.
Dalam analisis kesejahteraan, nilai yang ditempatkan (sebagai satuan
hitung atau pengukur) pada komoditi itu nilai-nilai yang diberikan
oleh pasar sempurna.
Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto,
sebagai tujuan efisiensi mereka. Menurut ukuran ini, kesejahteraan
sosial, suatu situasi adalah optimal hanya jika tidak ada individu
dapat dibuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk.
Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat kriteria dipenuhi.
Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik untuk
semua konsumen (tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa
membuat konsumen yang lebih buruk). Rata-rata transformasi di
dalam produksi harus identik untuk semua produk (adalah mustahil
meningkatkan produksi setiap barang tanpa mengurangi produksi
barang-barang yang lain). Biaya sumber daya marginal harus sama
dengan produk pendapatan marginal untuk semua proses produksi
(produk fisik marginal dari suatu faktor harus sama dengan semua
perusahaan yang memproduksi suatu barang). Rata-rata marginal

105
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 105
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

substitusi konsumsi harus sama dengan rata-rata marginal


transformasi dalam produksi.
Secara ringkas definisi kondisi Pareto adalah suatu alokasi
barang sedemikian rupa, sehingga bila dibandingkan dengan alokasi
lainnya, alokasi tersebut tidak akan merugikan pihak manapun dan
salah satu pihak pasti diuntungkan. Atau dengan kata lain suatu
situasi dimana sebagian atau semua pihak/individu takkan mungkin
lagi diuntungkan oleh pertukaran sukarela. Untuk mencapai suatu
keadaan yang disebut Pareto-Optimal atau Pareto-Efficient, harus
dipenuhi tiga kondisi marginal yaitu; 1) efisien dalam distribusi
berbagai barang di antara konsumen, 2) efisien dalam pengalokasian
faktor produksi di antara perusahaan, 3) efisien dalam
mengalokasikan faktor produksi dalam memproduksi barang-barang.
Pada prakteknya penggunaan kriteria Pareto sangat terbatas
untuk diterapkan karena mempunyai kelemahan yang mendasar,
misalnya :
1. Tidak berlaku pada kasus suatu perubahan yang
menguntungkan beberapa orang, namun juga merugikan
orang lain. Walaupun besarnya keuntungan adalah lebih
besar jika dibandingkan dengan besar kerugian, menurut
Pareto perubahan tersebut bukanlah suatu perbaikan.
Dengan demikian kriteria Pareto tidak dapat menentukan
mana yang lebih baik.
2. Berkaitan dengan distribusi pendapatan, tidak
menumbuhkan alokasi yang memadai, sebagai contoh;
banyak individu yang menerima pendapatan rendah.
3. Dalam kenyataan bahwa sistem yang kompetitif sempurna
tidak pernah ada.

4. Kriteria Kaldor-Hicks
Kaldor-Hicks menyarankan pendekatan kompensasi untuk
menilai suatu perubahan yaitu menilai keuntungan dari mereka yang
menikmati perbaikan dan menilai kerugian dari mereka yang
menderita kerugian dengan satuan uang. Untuk menjawab
kelemahan Pareto, sejumlah ekonom mencoba merumuskan kriteria
kesejahteraan distributif, yang mengandung prinsip bebas nilai

106
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 106
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

dalam analisis ekonomi. Ini berarti ada tidaknya prinsip bebas nilai,
dan ada tidaknya tingkat kesejahteraan individual diperhatikan,
sudah tidak dipersoalkan lagi. Perintis upaya-upaya semacam itu
adalah dua orang ekonom Inggris, Nicholas Kaldor dan John Hick.
Kriteria Kaldor-Hick sebagaimana ditunjukkan Gambar 7.3.

E
Kepuasan konsumen 1 per unit

D
.C

A B
periode

0
Kepuasan konsumen 2 per unit periode

Gambar 7.3. Kriteria Kaldor-Hicks.


Sumber : Miller dan Meiners, 2000.

Kriteria Kaldor-Hick menyatakan bahwa suatu perubahan


merupakan perbaikan jika pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang
beruntung dari adanya perubahan dapat membayar ganti rugi
kepada pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang menderita kerugian
dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar dari
ganti rugi yang dibayarkan. Menurut Kaldor-Hick, perubahan ke arah
perbaikan menunjukkan bahwa berbagai kombinasi utilitas antara
pelaku ekonomi A (konsumen 1) dan pelaku ekonomi B (konsumen
2) yang terdapat pada kurva kemungkinan utilitas dapat diperoleh
dengan jalan pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan
dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus
(lumpsum tax) atau subsidi. Jadi, menurut Kaldor-Hick, pada
kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan (terjadi). Selain

107
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 107
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

itu,perubahan dapat dikatakan sebagai kemajuan, jika pelaku


ekonomi yang akan dirugikan dari perubahan tersebut harus mau
menerima ganti rugi dari pelaku ekonomi yang diuntungkan,
sehingga calon penerima kerugian tidak dapat menyuap kepada
calon penerima keuntungan agar perubahan tidak terjadi.
BerdasarkanGambar 7.3. diatas dapat dipahami beberapa hal
sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1. Diperoleh sebuah kurva UPF ( kurva Utility Possibility
Frontiers) yaitu kurva batas-batas kemungkinan kepuasan.
2. Misalkan, perekonomian mula-mula berada di titik A, setiap
pergerakan diharapkan menuju ke titik B atau D, karena
pergerakan itu meningkatkan kesejahteraan salah satu
konsumen tanpa merugikan konsumen lainnya. Tetapi bila
bergerak ke titik E, sementara salah satu pihak untung, yang
lain dirugikan. Menurut Kaldor-Hick, pergerakan ke titik E
itu sebenarnya tidak menguntungkan, karena pihak yang
untung akan mengimbangi kerugian pihak lain. Atau dengan
kata lain, menurut Kaldor-Hicks bila E tercapai, akan terjadi
redistribusi pendapatan atau kekayaan yang akan
menggerakkan perekonomian secara keseluruhan ke titik C,
dimana setiap orang dalam perekonomian diuntungkan.
3. Kriteria Kaldor-Hicks, setiap titik pada UPF menguntungkan
dan lebih baik dari titik manapun yang berada di bawah UPF
(misal di titik A).
4. Konsumen 1 (yang untung), akan selalu mengimbangi
kerugian konsumen 2, lewat pembayaran uang secara
langsung (potensi imbalan atau kompensasi).

5. Kriteria Ganda Scitovsky


Menurut Scitovsky, Kriteria Kaldor-Hicks menunjukkan adanya
kelemahan, karena pada kurva kemungkinan utilitas, yaitu utilitas
pelaku ekonomi A/konsumen 1 (U1U1) dan utilitas pelaku ekonomi
B/konsumen 2 (U2U2), bahwa perubahan dari suatu aktivitas (E) ke
aktivitas lain (A) merupakan perbaikan, karena penambahan utilitas
pada aktivitas yang lain (B) melebihi pengurangan utilitas aktivitas
(A). Karena aktivitas B > A, sedangkan aktivitas B mempunyai

108
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 108
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

kedudukan yang sama dengan aktivitas E (dalam hal ini terletak pada
kurva kemungkinan utilitas yang sama(U1U1). Dengan demikian,
perubahan kembali dari utilitas aktivitas ekonomi (A) ke utilitas
aktivitas ekonomi (E) merupakan perbaikan juga. Hal inilah yang
merupakan kelemahan kriteria Kaldor-Hicks.
Bila kaum ekonom menganggap peran kebijaksanaan ekonomi
adalah mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas
harga (price stability), tugas Negara adalah mengobati kelemahan
yang ada pada competition demi menjamin walfare. Negara menurut
Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang masyarakat secara
kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust
legislation dan menolak aggressive competition, yang bertujuan
menegakkan monopoli. Namun, ia pada dasarnya tetap
berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki
pembatasan terhadap kontrol Negara. Scitovsky menutupi beberapa
kelemahan dari kriteria Kaldor-Hicks dengan mengusulkan uji ganda
yang lebih ketat, yaitu; 1) Gunakan kriteria Kaldor-Hicks untuk
menentukan apakah perubahan dari titik asal ke titik baru
merupakan suatu perbaikan, dan 2) Gunakan kriteria Kaldor-Hicks
untuk menentukan apakah perubahan kembali dari titik baru ke titik
lama bukan merupakan perbaikan pula.
Berbagai kriteria di atas memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing. Kritik yang cukup tajam terhadap kriteria Kaldor-
Hicks dari pakar-pakar ekonomi, karena pada kenyataannya ganti
rugi tidak perlu dibayarkan kepada penerima kerugian. Ganti rugi
pada Kriteria Kador-Hicks adalah ganti rugi yang potensial bukan
ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran ganti rugi yang aktual kita perlu
menggunakan pertimbangan nilai (value judgement) untuk
menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih
baik dengan adanya perubahan.
Kedua kriteria Kaldor-Hicks dan Scitovsky dikritik oleh
Boumol, karena keduanya menggunakan nilai uang sebagai ukuran
besarnya utilitas. Padahal uang mempunyai nilai yang relatif
tergantung atas kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Berdasarkan
konsep Boumol tersebut, maka Bergson telah memperkenalkan
kriteria yang lain, yaitu fungsi kesejahteraan sosial (Social walfare
function).

109
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 109
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

6. Kriteria Bergson: Fungsi Social Welfare


Bergson menyatakan bahwa penilaian tentang perubahan
hanya dapat dilakukan jika masyarakat mempunyai fungsi
kesejahteraan sosial, yang menyatakan bagaimana kebijakan
masyarakat tergantung kepada kesejahteraan tiap-tiap anggotanya.
Fungsi kesejahteraan sosial, tujuannya untuk menyatakan dalam
bentuk yang tepat pertimbangan nilai yang diperlukan untuk
derevasi kondisi kesejahteraan ekonomi maksimal. Fungsi ini
bernilai riil dan terdeferensialkan. Argumen fungsi, termasuk jumlah
komoditas yang berbeda diproduksi dan dikonsumsi dan
sumberdaya yang digunakan dalam menghasilkan komoditas yang
berbeda, termasuk tenaga kerja.
Nilai fungsi maksimum diperlukan kondisi umum :
1. Kesejahteraan marjinal sama untuk setiap individu dan
setiap komoditas.
2. Marginal setiap nilai uang dihasilkan dari kerjasama setiap
komoditi yang dihasilkan dari setiap masukan tenaga kerja.
3. Marginal biaya setiap unit sumberdaya adalah sama dengan
nilai produktivitas marginal untuk setiap komoditas.
Bergson menggambarkan sebuah peningkatan kesejahteraan
ekonomi, yang kemudian disebut perbaikan Pareto. Setidak-tidaknya
satu orang pindah ke posisi yang lebih disukai, dengan orang lain
acuh tak acuh. Fungsi Bergson dapat memperoleh Pareto Optimal
yang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk mendefinisikan ekuitas
normative interpersonal.

7.1.2.3 Pengukuran kesejahteraan


Kesejahteraan memiliki banyak dimensi, yakni dapat dilihat
dari dimensi materi dan dimensi non materi. Dari sisi materi dapat
diukur dengan pendekatan pendapatan dan konsumsi. Mayer dan
Sullivan (2002) menyatakan bahwa secara konseptual dan ekonomi
data konsumsi lebih tepat digunakan untuk mengukur kesejahteraan
dibandingkan dengan data pendapatan, karena konsumsi merupakan
pengukuran yang lebih langsung dari kesejahteraan. Kesejahteraan
dari dimensi non materi dapat dilihat dari sisi pendidikan dan

110
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 110
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

kesehatan. Pengukuran status kesehatan dapat diukur seperti


melalui pertanyaan tentang pengukuran kesehatan secara umum,
penyakit berdasarkan pelaporan responden maupun pengukuran
secara medis, pengobatan yang dijalani, aktivitas fisik, hubungan
sosial dan kesehatan psikologi/mental/emosional seperti tentang
sulit tidur, perasaan takut/gelisah dan pertanyaan tentang
kebahagiaan (Easterlin, 2001).
Beberapa indikator yang dipergunakan untuk mengukur
tingkat kesejahteraan di antaranya adalah menurut kriteria Badan
Pusat Statistik (BPS), yakni menggunakan kriteria yang didasarkan
pada pengeluaran konsumsi rumah tangga baik pangan maupun non
pangan (pendekatan kemiskinan), dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) (pendekatan kesejahteraan) mengukur
tingkat kesejahteraan keluarga dengan membagi kriteria keluarga ke
dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga
Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III
(KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III-Plus) (BPS, 2008).
Selain itu, pengukuran tingkat kesejahteraan dengan menggunakan
pendekatan persepsi subjektif, yakni dengan menggunakan 43 butir
pertanyaan yang terkait dengan persepsi subjektif terhadap
kesejahteraan. Kesejahteraan secara subjektif menggambarkan
evaluasi individu terhadap kehidupannya yang mencakup
kebahagiaan kondisi emosi yang gembira, kepuasan hidup dan relatif
tidak adanya semangat dan emosi yang tidak menyenangkan
(Raharto dan Romdiati dalam Rambe, 2004). Selanjutnya menurut
Cahyat, dkk. (2007) dari lembaga CIFOR (Center for International
Forestry Research) berkaitan dengan pemantauan kesejahteraan
dengan mengambil kasus di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Kesejahteraan diukur dengan kriteria kesejahteraan subjektif,
dengan indikator; 1) apakah rumah tangga anda sejahtera? 2) apakah
anda merasa rumahtangga anda miskin? dan 3) apakah anda merasa
rumah tangga anda bahagia? Kesejahteraan dasar dibagi menjadi tiga
indeks yaitu 1) kesehatan dan gizi, 2) kekayaan materi, dan 3)
pengetahuan; dan Lingkungan Pendukung (Konteks) terdiri dari lima
indeks, yaitu 1) lingkungan alam, 2) lingkungan ekonomi, 3)
lingkungan sosial, dan 4) lingkungan politik, dan 5) infrastruktur dan
pelayanan.

111
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 111
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Stiglitz, et. al. (2011) menyatakan untuk mendefinisikan


kesejahteraan, rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi-
dimensi pokok yang harus diperhitungkan adalah; i) Standar hidup
materiil (pendapatan, konsumsi dan kekayaan), ii) Kesehatan, iii)
Pendidikan, iv) Aktivitas individu termasuk bekerja, v) Suara politik
dan tata pemerintahan, vi) Hubungan dan kekerabatan sosial, vii)
Lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan), viii)
Ketidakamanan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua
dimensi tersebut menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan untuk
mengukurnya diperlukan data obyektif dan subjektif. Indikator-
indikator obyektif kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan
Manusia. Lebih Lanjut Stiglitz, et. al. (2011) menyatakan
Kesejahteraan subyektif mencakup berbagai aspek berbeda (evaluasi
kognitif seseorang atas hidupnya, kebahagiaannya, kepuasannya,
emosi positif seperti rasa sakit dan kekhawatiran). Pengukuran
kuantitatif atas aspek-aspek subyektif berpeluang menghasilkan
bukan hanya ukuran kualitas hidup yang baik, namun juga
pemahaman yang lebih baik atas determinan-determinannya, jauh
melampaui persoalan pendapatan masyarakat dan kondisi
materinya.
Walaupun sulit diberi pengertian, namun kesejahteraan
memiliki beberapa kata kunci yaitu terpenuhi kebutuhan dasar,
sehat, damai dan selamat, beriman dan bertaqwa. Untuk mencapai
kesejahteraan itu manusia melakukan berbagai macam usaha,
misalnya dibidang pertanian, perdagangan, pendidikan, kesehatan
serta keagamaan. Manusia juga melakukan upaya-upaya secara
individu serta berkelompok. Sebagaimana yang akan diteliti, bahwa
pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai dengan adanya program
kemitraan sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara salah satunya
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

7.2 Pengembangan Kelembagaan (Koperasi)


Demokrasi ekonomi merupakan dasar kedaulatan rakyat
dalam bidang ekonomi. Untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi
ditangan rakyat, untuk itu diperlukan suatu wadah perekonomian
yang mengutamakan hajat hidup orang banyak. Bentuk yang cocok

112
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 112
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

untuk menampung aspirasi ekonomi masyarakat adalah koperasi.


Ropke (2000) mengemukakan beberapa pendapat ahli terhadap
definisi koperasi sebagai berikut:
1. Abrahamson (1976). Badan usaha koperasi dimiliki oleh anggota,
yang merupakan pemakai jasa (users). Fakta ini membedakan
koperasi dari badan usaha (perusahaan) bentuk lain yang
pemiliknya, dasarnya para penanam modalnya (investor)
2. Richard Kohls (1961). Sebagai konsep pertama dari beberapa
konsep mendasar yang membedakan koperasi dari perusahaan
bentuk lain adalah bahwa kepemilikan dan pengawasan terhadap
badan usaha tersebut harus dilakukan oleh mereka yang
menggunakan jasa/pelayanan badan usahanya itu.
3. Babcock (1935). Suatu organisasi usaha yang para
pemiliknya/anggotanya adalah juga pelanggan utama/kliennya,
akan diidentifikasikan sebagai suatu koperasi. Kriteria identifikasi
dari suatu koperasi akan merupakan prinsip identitas; para
pemilik dan pengguna jasa dari pelayanan suatu unit usaha adalah
orang yang sama.
Menurut ILO (dalam Partomo, 2009) mengemukakan suatu
organisasi koperasi adalah suatu perkumpulan dari sejumlah orang
yang bergabung secara sukarela untuk mencapai suatu organisasi
yang diawasi secara demokratis, melalui penyetoran suatu kontribusi
yang sama untuk modal yang diperlukan dan melalui pembagian
risiko serta manfaat yang wajar dari usaha, di mana para anggotanya
berperan secara aktif. Definisi yang maknanya sama dikemukakan
oleh Kartasapoetra, dkk (2001) koperasi adalah suatu badan usaha
bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan
mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara
sukarela dan atas dasar persamaan hak, berkewajiban melakukan
suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para
anggotanya.
Upaya mewujudkan koperasi yang mandiri sangat tepat
dengan konsepsi pemberdayaan, karena kemandirian adalah
merupakan salah satu prinsip yang hakiki. Kemandirian bagi
koperasi mengandung makna dapat berdiri sendiri tanpa tergantung
pada pihak lain, dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan,
keputusan, kemampuan dan usaha sendiri. Dalam kemandirian

113
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 113
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

terkandung pula makna kebebasan yang bertanggung jawab, dan


kehendak untuk mengelola diri sendiri. Untuk itu, semangat
pembangunan koperasi adalah sesuai dengan semangat dan nafas
pembangunan yang berakar pada misi pemberdayaan masyrakat,
yaitu pembangunan untuk mewujudkan kemandirian masyarakat.

7.2.1 Pengembangan Koperasi Berorientasi Bisnis


Koperasi dapat menghimpun dan memobilisasi potensi
masyarakat dalam suasana kebersamaan dan kekeluargaan. Namun
demikian bukan berarti bahwa koperasi dapat dikolola tanpa
memperhatikan prinsip-prinsip manajemen yang baik, yang
memerlukan kaum profesional yang mampu menjalankan usaha. Hal
inilah salah satu tantangan yang harus dihadapi untuk dapat
menumbuhkan koperasi sebagai badan usaha yang bukan hanya
berpartisipatif dan demokratis, tetapi hendaknya dikelola secara
modern dengan efisiensi dan produktivitas yang tinggi. Pendeknya
koperasi seyogyanya juga dapat dikembangkan yang berorientasi
bisnis.
Potensi koperasi untuk tumbuh menjadi usaha skala besar
perlu terus ditingkatkan antara lain melalui perluasan jaringan usaha
koperasi, keterkaitan dengan usaha hulu dan hilir baik dalam usaha
negara maupun usaha swasta. Untuk itu pengembangan usaha
koperasi terletak pada kemauan atau dukungan politik dan kesiapan
masyarakat. Persoalannya sekarang adalah bagaimana
mewujudkannya (Syaukani-HR, 1999).
Pemahaman tentang pentingnya pengembangan koperasi
sebagai badan usaha yang tangguh yang secara nyata mampu dalam
ikut serta mengembangkan aktivitas ekonomi bagi masyarakat perlu
dibahas dari dua sisi yang saling terkait yaitu pengembangan bidang
ekonomi itu sendiri serta arah pengembangan koperasi
(Prawirokusumo, 2001). Pengembangan koperasi di perdesaan
sebagai badan usaha yang selama ini dikenal dengan program
pengembangan koperasi perdesaan atau KUD sengat erat kaitannya
dengan konsepsi dan orientasi pengembangan agribisnis yang
memerlukan sentuhan profesionalisme dalam rangka menghadapi
perubahan tatanan perekonomian. Sebagaimana tulisan Wardoyo
(2007) tentang Meningkatkan Taraf Hidup Petani melalui

114
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 114
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Pemberdayaan KUD, yang menyimpulkan bahwa KUD yang berdaya,


taraf hidup petani anggota meningkat.
Petani pada umumnya terperangkap pada sistem usahatani
berskala kecil dan teknologi dengan efisiensi yang relatif rendah,
modal kerja dan investasi yang terbatas, serta pengembangan
agribisnis yang belum sepenuhnya berorientasi pada pasar, sehingga
kemampuan bersaing dengan produk agribisnis dari luar juga relatif
rendah. Dalam kondisi seperti itu rekayasa kelembagaan menjadi
salah satu kunci yang cukup penting untuk mendapatkan perhatian.
Rekayasa kelembagaan yang diperlukan adalah kelembagaan yang
bukan saja mampu mendorong perkembangan agribisnis memasuki
pasar terbuka, melainkan juga yang mampu memberi makna yang
lebih besar bagi upaya peningkatan kesejahteraan para petani.
Agribisnis sebagai bisnis yang berbasis pedesaan melalui rekayasa
kelembagaan seharusnya secara proporsional lebih besar dimiliki
dan dinikmati hasilnya oleh masyarakat perdesaan. Secara konsepsi
rekayasa kelembagaan yang seperti inilah yang sesuai dengan
konsepsi pengembangan koperasi di perdesaan (Prawirokusumo,
2001). Lebih lanjut dikatakan untuk mencapai sasaran
pengembangan koperasi pada umumnya sebagaimana yang
diinginkan, maka perlu langkah-langkah :
1. Meningkatkan prakarsa, kemampuan dan peran serta gerakan
koperasi melalui peningkatan kualitas SDM dalam rangka
mengembangkan dan memantapkan kelembagaan dan usaha
untuk mewujudkan peran utamanya di segala bidang kehidupan
ekonomi rakyat.
2. Menciptakan iklim usaha yang makin kondusif sehingga
memungkinkan koperasi mendapat kesempatan atau akses
berbagai sumber daya yang penting.

7.2.2 Peran Koperasi Dalam Pengembangan


Ekonomi Kerakyatan

Pada umumnya dalam setiap kebijaksanaan pembangunan,


kepentingan rakyat dan perekonomian rakyat selalu menjadi
perhatian utama, tetapi dalam kenyataan, rakyat hanya menjadi
bahan argumentasi dari arti penting mengapa suatu kebijaksanaan
pembangunan atau ditetapkannya suatu program dan proyek

115
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 115
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

pembangunan (Rintuh dan Miar, 2005). Ekonomi kerakyatan adalah


merupakan sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Ekonomi
kerakyatan memiliki prinsip bahwa perekonomian disusun sebagai
usaha berdasarkan atas azas kekeluargaan, selain itu ekonomi
kerakyatan juga menginginkan kemakmuran rakyat. Prinsip-prinsip
ekonomi kerakyatan tersebut terkandung dalam koperasi. Peran
koperasi sangat penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan
potensi ekonomi kerakyatan serta dalam mewujudkan kehidupan
demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi mempunyai ciri-ciri;
demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan
(Prawirokusumo, 2001). Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4
UU koperasi Nomor 25 Tahun 1992 fungsi dan peran koperasi
adalah: 1) membangun dan mengembangkan potensi dan
kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan
sosialnya, 2) berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi
kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, 3) memperkokoh
perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan
perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya, 4)
berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian
nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan
manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya
berbeda. Terdapat setidaknya tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi
bagi masyarakat, pertama koperasi dipandang sebagai lembaga yang
menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, kedua koperasi telah
menjadi alternatif bagi usaha lain, dan ketiga koperasi menjadi
organisasi yang dimiliki anggotanya (Krisnamurthi, 2002). Untuk
menjadikan koperasi sebagai ujung tombak peningkatan
kesejahteraan masyarakat, terdapat beberapa kondisi yang harus
dipenuhi, yakni; 1) dukungan modal, 2) profesionalisme pengurus
dan manajer, 3) kemitraan yang berkelanjutan, 4) dukungan dari
pemerintah, 5) dukungan dari anggota, dan 6) mengutamakan
pelayanan kebutuhan anggota (Wardoyo dan Prabowo, 2007).
Dalam rangka meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing,

116
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 116
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

koperasi harus mampu berpacu tidak lagi mengandalkan sumber


daya alam yang dimiliki, tetapi juga menggunakan sumber daya
manusia (SDM) yang lebih bermutu dan berwawasan IPTEK. Dengan
kata lain, keunggulan kompetitif harus dibangun melalui peningkatan
mutu sumber daya manusia dan kemampuan menguasai teknologi.
Upaya ini dapat ditempuh dengan mendorong hubungan kerjasama
dengan perusahaan swasta besar dalam bentuk kemitraan
(Prawirokusumo, 2001).

7.3 Peran Kemitraan dalam Pengembangan


Ekonomi Kerakyatan

Sistem Ekonomi Kerakyatan mempunyai ciri, yakni


pembangunan harus ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan
untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok. Pembangunan
harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik pada
daerah tingkat dua (Kabupaten/Kodya). Tingkat kemandirian harus
tinggi, adanya kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya
kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya
persaingan sehat, keterbukaan/demokrasi, pemerataan yang
berkeadilan serta didukung industri yang berbasis sumber daya alam
(Prawirokusumo, 2001). Lebih lanjut dikatakan beberapa model
sistem ekonomi kerakyatan yang dapat dikembangkan antara lain; a)
industri pedesaan, b) industrialisasi di desa, c) lumbung desa, d) inti
plasma, e) sentra industri, f) mixed farming, g) hutan untuk rakyat, h)
organic farming, i) inkubator, j) pola terpadu/model di Karanganyar,
k) kawasan industri masyarakat perkebunan (Kimbun), dan l) Baitul
Maal Wat-Tamwil (BMT). Mencermati uraian di atas, bahwa jelas
kemitraan mempunyai peran di dalam pengembangan ekonomi
kerakyatan. Sebagaimana sedang dilaksanakan di Kalimantan Timur,
khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara yakni mengembangkan
kemitraan Kelapa Sawit antara perusahaan swasta dengan petani
sawit yang bergabung dalam kelompok tani dalam wadah koperasi.
Prawirokusumo (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa
alasan mengapa harus terjadi kemitraan, yaitu; a) meningkatkan
profit atau sales pihak-pihak yang bermitra, b) memperbaiki

117
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 117
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

pengetahuan siatuasi pasar, c) memperoleh tambahan pelanggan


atau para pemasok baru, d) turut serta meningkatkan pengembangan
produk, e) memperbaiki proses produksi, f) turut serta memperbaiki
kualitas dan g) turut serta meningkatkan akses terhadap teknologi.
Kemitraan (merupakan bentuk daricontract farming) tidak hanya
berkembang di Indonesia, tetapi telah menjadi bagian dari proses
pembangunan ekonomi dunia. Bahkan kemitraan menjadi isu
penting dalam rangka menyongsong era liberalisasi perdagangan
dunia.
Contract Farming lahir sebagai respon terhadap perkembangan
situasi perekonomian, baik skala nasional maupun internasional.
Pendukung Usaha Pertanian Kontrak mempromosikan sistem ini
sebagai sebuah 'dynamicpartnership' antara petani kecil dan sebuah
usaha besar, yang memberikan keuntungan bagi keduanya, tanpa
mengorbankan pihak lain. Usaha Pertanian Kontrak juga dipercaya
sebagai instrumen bagi transfer teknologi, menciptakan stabilitas
politik ekonomi lewat distribusi pendapatan, dan yang terpenting
adalah mendukung modernisasi pertanian (Rustiani, dkk., 1997).
Kemitraan pada dasarnya mengacu pada hubungan kerjasama
antar pengusaha yang terbentuk antara usaha kecil menengah (UKM)
dengan usaha besar. Kemitraan yang baik dilaksanakan dengan
pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, pemodalan, sumberdaya
manusia dan teknologi. Lebih lanjut dikatakan kontrak pertanian
bagi petani adalah suatu cara untuk; mengatasi masalah resiko,
seperti adopsi teknologi baru, pasokan input pertanian, akses
penyuluh, akses kredit, dan akses pasar baik untuk pasar domestik
maupun internasional (Glover dan Kusterer, 1990). Menurut Singh
(2003) diperlukannya kontrak pertanian yaitu untuk mengatasi
masalah pertanian terutaman gender, transfer ketrampilan, pilihan
teknologi, dan organisasi kerja. Peran pemerintah dan kebijakan
yang mendukung kontrak pertanian menentukan keberhasilan
program ini dan kebijakan ini harus sesuai dengan yang diperlukan
petani dan koperasi (Likulunga, 2005; Sartorius dan Kristen, 2006;
Kamiski, 2009). Disamping itu kejujuran dan ketepatan pelaksanaan
kesepakatan kontrak juga menentukan keberhasilan kontrak
pertanian (Owolarafe and Arumughan, 2007). Sebagai suatu contoh

118
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 118
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

hubungan kemitraan pada perkebunan kelapa sawit. Hubungan


kemitraan petani usahatani kelapa sawit dengan perusahaan
perkebunan pembina diwakili oleh koperasi dan petani bergabung
dalam koperasi tersebut. Selanjutnya koperasi ini yang mewakili
setiap adanya perjanjian kerjasama kemitraan. Dengan demikian,
kemitraan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan
koperasi diharapkan dapat berlangsung secara utuh dan
berkesinambungan.

119
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 119
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

BAB VIII
PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

Pemerintah memang telah bekerja keras untuk membangun


sektor pertanian. Berbagai pendekatan pembangunan sektor
pertanian telah dicoba seperti pembangunan pertanian terpadu,
pembangunan pertanian berwawasan lingkungan dan pembangunan
pertanian berwawasan agroindustri. Berbagai model pembangunan
telah dilaksanakan dan semuanya bertujuan untuk menjaga
keberlanjutan pertanian itu sendiri. Kalau diperhatikan secara
seksama, maka upaya pendekatan pembangunan pertanian pada
dasarnya berupaya untuk: (1) tetap menjaga dan memperhatikan
prinsip keunggulan komparatif sehingga produk pertanian mampu
berkompetisi; (2)terus meningkatkan keterampilan petani
(masyarakat tani) sehingga mampu meningkatkan produktivitas
pertanian; (3) terus mengupayakan sarana produksi yang mencukupi
setiap saat diperlukandengan tingkat harga yang terjangkau; (4)
menyediakan dan meningkatkan fasilitas kredit bagi petani guna
proses produksinya; serta(5)penyediaan infrastruktur dan
institusi/kelembagaan yang dapat meningkatkan nilai tambah hasil
produksi pertanian.
Pembangunan adalah suatu proses yang tidak pernah berhenti,
sehingga pembangunan berkelanjutan menjadi suatu kebutuhan bagi
semua pihak. Pembangunan pertanian berkelanjutan juga
merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian setiap negara.
Untuk itu, diperlukan pemahaman terhadap pengertian pertanian
berkelanjutan. Pengertian pertanian berkelanjutan dikemukakan
sebagai berikut (Mardikanto, 2009):

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 120


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

1. Mary V. Gold (1999) menyatakan bahwa pertanian


berkelanjutan (sustainable agriculture ) memadukan tiga tujuan
yang meliputi: pengamanan lingkungan, pertanian yang
menguntungkan dan kesejahteraan masyarakat petani.
2. SAREP (1998) memberikan pengertian pertanian berkelanjutan
adalah suatu pendekatan sistem yang memahami keberlanjutan
secara mutlak. Sistem ini memahaminya dari sudut pandang
yang luas, dari sudut pertanian individual, kepada ekosistem
lokal, dan masyarakat yang dipengaruhi oleh sistem pertanian,
memberikan piranti untuk menggali interkoneksi antara
pertanian dan aspek-aspek lain dari lingkungan
3. Altieri (1995) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan
mengacu kepada kemampuan usahatani untuk memproduksi
pangan untuk waktu yang tak terbatas, tanpa berakibat pada
kerusakan kesehatan lingkungan yang permanen. Hal ini
mengandung dua kata kunci, yaitu biofisik (pengaruh jangka
panjang dari beragam praktek pengelolaan lahan dan proses
produksi tanaman), dan sosial ekonomi (kemampuan jangka
panjang dari petani (sebagai juru tani) untuk memanfaatkan
input dan mengelola sumber daya).
Dewasa ini, praktek pertanian berkelanjutan secara umum
mencakup (O’Connel dalam Mardikanto, 2009):
1) Pergiliran tanaman, untuk menekan pertumbuhan gulma,
penyakit, serangga, dan masalah hama yang lain dan
mengembangkan sumber daya alternatif dari: nitrogen tanah,
mengurangi erosi tanah, dan mengurangi resiko kontaminasi air
yang disebabkan oleh pestisida.
2) Strategi pengendalian hama yang tidak merusak sistem alam,
petani, tetangga mereka atau konsumen. Ini disebut teknik
pengendalian hama terpadu yang mengurangi penggunaan
pestisida berdasarkan pengamatan, menggunakan kultivar yang
resisten, waktu penanaman, dan pengendalian hama biologis.
3) Peningkatan pengendalian gulma secara mekanis dan biologis,
lebih melakukan konservasi lahan dan air, dan penggunaan
pupuk hewan dan pupuk hijau.
4) Penggunaan input alam dan buatan, sepanjang tidak secara
signifikan mengganggu manusia, hewan dan lingkungan.

121
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 121
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Pembangunan pertanian berkelanjutan memiliki tiga tujuan


(Sanim dalam Saptana dan Ashari, 2007) yaitu tujuan ekonomi
(efisiensi dan pertumbuhan), tujuan sosial (kepemilikan/keadilian),
dan tujuan ekologi (kelestarian sumber daya alam dan lingkungan).
Pembangunan pertanian berkelanjutan dapat terwujud apabila
ketiga tujuan pembangunan tersebut tercapai. Secara ringkas
sebagaimanan disajikan dalam Gambar 8.1. Keberhasilan
pembangunan pertanian berkelanjutan ditentukan oleh pelaksanaan
revitalisasi pertanian. Krisnamurthi (2006) mengemukakan
revitalisasi pertanian memiliki tiga pilar pengertian. Pertama,
pengertian revitalisasi pertanian sebagai kesadaran akan pentingnya
pertanian dalam arti vitalnya pertanian bagi kehidupan bangsa dan
rakyat Indonesia. Kedua, revitalisasi pertanian sebagai bentuk
rumusan harapan masa depan akan kondisi pertanian. Ketiga,
pengertian revitalisasi sebagai kebijakan dan strategi besar
melakukan proses revitalisasi itu sendiri.

Tujuan Ekonomi :
Efisiensi dan Pertumbuhan

 Distribusi  Penilaian terhadap


pendapatan lingkungan
 Kesempatan Kerja  Penilaian
 Asistensi yang  Internalisasi
ditargetkan

Tujuan Sosial: Tujuan Ekologi:


Kepemilikan/kea Kelestarian dan
dilan lingkungan
 Partisipasi masyarakat/rakyat
 Kosultasi
 Pluralistik

Gambar 8.1. Hubungan Antara Tiga Tujuan Pembangunan


Pertanian Berkelanjutan
Sumber: Sanim dalam Saptana dan Ashari (2007)

122
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 122
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Pembangunan pertanian berkelanjutan telah diupayakan,


diantaranya adalah melalui pembangunan pertanian berkelanjutan
dengan kemitraan usaha, salah satu contoh dapat dikemukakan
adalah upaya yang dilaksanakan melalui kemitraan usahatani kelapa
sawit sebagaimana yang dilaksanakan di Kutai Kartanegara, tentunya
dengan harapan ketiga tujuan tersebut bisa terlaksana.
Pengembangan model pembangunan pertanian berkelanjutan
melalui kemitraan usaha di perdesaan dengan melakukan revitalisasi
kelembagaan kelompok tani dan penyuluhan disajikan pada Gambar
8.2.

123
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 123
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Revitalisasi
Kelembagaan kelembagaan: Kelembagaan pemerintah yang
pemerintah dinas 1, Kelembagaan bersifat mediasi dan fasilitatif
teknis terkait kelompok tani
2. Kelembagaan
Kelembagaan penyuluhan
komunitas- pertanian
lokal/kelompok Pusat pelayanan dan
3. Kelembagaan Produk
tani kemitraan usaha Konsultasi Agibisnis (PPA); pertanian:
agribisnis informasi dan konsultasi
Kelembagaan 1. Efisien dan
pasar- produktif
ekonomi/pelaku 2. Berdaya saing
agribisnis swasta 3. Distribusi
Kelembagaan Pelaku pendapatan
di tingkat agribisnis
Integrasi program 4. berkelanjutan
petani swasta yang
pembangunan
berbadan ulet, mandiri
agribisnis terpadu
hukum, dan dinamis
1. Pusat dan daerah
2. Kelembagaan usahatani
Jaringan profesional
petani, penyuluh
agribisnis di
dan peneliti dalam
perdesaan
wadah PPA
semitradisional,
3. Petani dan
semisubsisten,
perusahaan
parsial, jangka
pertanian Jaringan agribisnis pertanian di perdesaan: sisitem agribisnis
pendek, tidak
berkelanjutan maju, komersial, terintegrasi, jangka panjang, berkelanjutan

Gambar 8.2. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan melalui Kemitraan Usaha Agribisnis


Sumber : Saptana dan Ashari, 2007
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 124
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Pemberdayaan petani menjadi petani mandiri dan profesional


dapat dilakukan melalui beberapa langkah (Saptana dan Ashari,
2007): Pertama, meningkatkan kualitas sumber daya manusia petani
melalui pelatihan, penelitian, magang dan sebagainya. Kedua,
melakukan revitalisasi kelompok tani mandiri ke arah kelembagaan
formal berbadan hukum (koperasi petani atau koperasi agribisnis,
asosiasi petani komoditas tertentu). Ketiga, mengangkat penyuluh
swakarsa.Keempat, memberdayakan kelembagaan penyuluh
pertanian dan kelembagaan Balai Penyuluh Pertanain (BPP) menjadi
Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) di setiap kecamatan
melalui sistem penyuluhan partisipatif.
Berbicara tentang pertanian tidak terlepas dari perdesaan dan
akan terus berlanjut. Dengan demikian diskusi tentang konsep
pertanian berkelanjutanpun juga, nampaknya akan terus berlanjut.
Pemahaman akan semakin mendalam dan jawaban yang diberikan
akan terus berlanjut. Menurut John Iker dalam Mardikanto (2009)
mengemukakan cara yang terbaik untuk mengembangkan
keberlanjutan di masa depan, adalah dengan mengkomunikasikan
makna pertanian berkelanjutan dalam cerita nyata kehidupan petani
yang sedang mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan di
usahataninya.

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 125


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan


Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Adisasmita, H. Rahardjo (2005). Pembangunan Ekonomi Perkotaan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ahmadi, Abu H. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arsyad, Lincolin, 2010 : Pembangunan Ekonomi. Edisi 5. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN
Arsyad, Lincolin, Elan Satriawan, Jangkung Handoyo Mulyo dan
Ardyanto Fitrady. 2011. Strategi Pembangunan Perdesaan
Berbasisi Lokal. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kutai Kartanegara. 2009.
Master Plan & Action Plan, Kawasan Agropolitan Kabupaten
Kutai Kartanegara. Tenggarong: Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Badan Pusat Statistik Kurtai Kartanegara. 2010. Kutai Kartanegara
Dalam Angka. Tenggarong: Badan Pusat Statistik Kabupaten
Kutai Kartanegara.
Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat
Kemiskinan Tahun 2008. Jakarta : Badan Pusat Statistik.
Terdapat dalam:
http://daps.bps.go.id/File%20Pub/Analisis%20Kemiskinan%
202008.pdf.
Badan Pusat Statistik. 2009. Distribusi Persentase Produk Domestik
Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha.
Jakarta: Badan Pusat Statistik. Terdapat dalam:
http://www.bps.go.id.

Daftar Pustaka 126


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Ban, A.W. Van Den dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian.
(Agnes Dwina Herdiasti, Pentj). Yogyakarta: Kanisius.
Baumann, Pari. 2000. Equity and Effciency in Contract Farming
Schemes: The Experience of Agricultural tree Crops. Working
Paper 139.
Bijman, Jos. 2008. Contract Farming in Developing Countries: an
Overview. Working Paper. Netherlands.
Boediono. 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Edisi Pertama.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Brambilla, Irene dan Guido G. Porto. 2007. Market Structure,
Outgrower Contracts and Farm Output. Evidence From Cotton
Reforms in Zambia. Available from:
http://www.econ.yale.edu/~ib55/papers/cotton_zambia.pdf
Cahyat, Ade, Christian Gonner dan Michaela Haug. 2007. Mengkaji
Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Sebuah Panduan
dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. Bogor: Center for
International Forestry Research.
Chotim, Erna Ermawati. 1996. Disharmoni Inti-Plasma Dalam Pola
PIR Kasus PIR Pangan Pada Agroindustri Nana Subang.
Bandung: Yayasan Akatiga.
Daryanto, Arief. 2003. Disparitas Pengembangan Perkotaan-
Perdesaan Di Indonesia. AGRIMEDIA. April 2003. Volume 8
No.2.
Dessler, Gary. 1992. Manajemen Personalia. Edisi Ketiga. (Agus
Dharma, Pentj). Jakarta: Erlangga.
Dwijatenaya, Ida Bagus Made Agung. 2013. Pengaruh Intensitas
Kemitraan, Faktor Sosial Demografi dan Kompetensi Terhadap
Produktivitas serta Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit Di
Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. (Disertasi).
Denapasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Easterlin, Richard A. 2001. Income and Happiness: Towards a
Unified Theory. The Economic Journal. 111(July), 465-484.

Daftar Pustaka 127


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Echanove, Flavia dan Cristina Steffen. 2005. Agribusiness and


Farmers in Mexico: the Importance of Contractual Relations.
The Geographical Journal. Jun 2005:171, Academic Research
Library pg. 166.
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Erizal, Jamal (2009). Membangun Momentum Baru Pembangunan
Pedesaan Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 28(1).2009.
Esmara, Hendra. 1986. Perencanaan Dan Pembangunan Di
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Fadjar, Undang. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan
Struktur Yang Belum Lengkap. Forum Penelitian Agro
Ekonomi. Volume 24 No.1, Juli 2006: 46-60. .
Ghosh, Chandralekha dan Ajitava Raychaudhuri. 2011. Model of
Contract Farming and Price Risk with Special Reference to
Indian Agrculture. Available from:
http://www.jma2011.fr/communications/E4/Ghosh_Raychau
dhuri.pdf
Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di
Dunia Ketiga. (Anshori dan Juanda. Pentj.). Yogyakarta: PT
Tiara Wacana Yogya.
Glover, David dan Ken Kusterer. 1990. Small Farmers, Big Business
Contract Farming and Rural Development. London: The
Micmillan Press Ltd.
Guo, Hongdong, Robert W. Jolly dan Jianhua Zhu. 2007. Contract
Farming in China: Perspectives of Farm Households and
Agribusiness Firms. Comparative Economic Studies. 2007, 49
(285-312).
Hendarto, R. M., Sasana, E dan Rahardja, E. 1999. Strategi Penetapan
pola Kemitraan Usaha Koperasi Sesuai Dengan Skala Ekonomi
Di Jawa Tengah (Studi Kasus di Eks Karisidenan Se Jawa
Tengah). Terdapat dalam:
http://eprints.undip.ac.id/23364/1/166-ki-fe-1999-a.pdf.

Daftar Pustaka 128


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Huddleston, Paul dan Matthewtonts. 2007. Agricultural


Development, Contract Farming and Ghana’s Oil Palm Industry.
Geography. Vulome 92(3), Pages 266-278. .
Ife, Jim dan Frank Tesoriera. Alternatif Pengembangan Masyarakat di
Era Globalisasi Community Development. (Sastrawan
Manulang, Nurul Yakin danM. Nursyahid. Pentj.). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Jaffee, Steven. 1987. Case Stuidie of Contract Farming in The
Horticultural Sector of Kenya. IDA Working Paper No.83.
Jamal, Erizal. 2008. Kajian Kritis Terhadap Pelaksanaan
Pembangunan Perdesaan Di Indonesia. Forum Penelitian Agro
Ekonomi. Volume 26 No.2. Desember 2008:92-102.
Jehle, Geoffrey A. dan Philip J. Reny. 2001. Advanced Microeconomic
Theory. Second Edition. New York: Addison Wesley.
Kaminski, Jonathan. 2009. Contracting with Smallholders under
Joint Liability. Discussion Paper. No. 16.09.
Karma. 2008. Strategi Kemitraan Petani Tambak Dengan PT. Wahyu
Perdana Bina Mulya Kabupaten Pangkep. JEPMA. Vol. 7, No.1,
April 2008, hal 34-41.
Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra, Bambang S. Dam A. Setiady.
2001. Koperasi Indonesia Yang Berdasarkan Pancasila & UUD
1945. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan Dan Pemerataan. Jakarta: PT
Pustaka CIDESINDO.
Kartisius, Haryono, B.S., dan Sumartono. Kebijakan Pemerintah
Daerah Untuk Pemberdayaan Petani Karet Rakyat. AGRITEK.
Vol. 16, No.8, Agustus 2008.
Krisnamurthi, Bayu. 2002. Membangun Koperasi Berbasis Anggota
Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Kerakyatan. Jurnal
Ekonomi Kerakyatan. Th I No.4. Juni 2002.

Daftar Pustaka 129


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Krisnamurthi, Bayu. 2006. Revitalisasi Pertanian Sebuah


Konsekuensi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan. Dalam: Jusuf
Sutanto dan Tim. Editor. Revitalisasi Pertanian Dan Dialog
Peradaban. Jakarta: Penerbit Buku Kompas PT Kompas Media
Nusantara.
Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah Bagaimana
Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan. Jakarta:
Salemba Empat.
Laschinger, Heather K. Spence dan Joan Finegan. 2005. Using
Empowerment to Build Trust and Respect in the Workplace: A
Strategy for Addressing the Nursing Shortage. Nursing
Economic. 23(1): pg 6. .
Likulunga, Mwikisa L. 2005. The Status of Contract Farming and
Contractual Arrangements in Zambian Agriculture and
Agribusiness. A Report Prepared for FARNPAN.
Makmun. 2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan
Penanganannya. Kajian Ekonomi dan Keuangan. Vol 7, No.2,
Juni 2003. .
Mankiw, N. Gregory. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. (Fitria
Liza, SE dan Imam Nurmawan, Pentj). Jakarta: Erlangga.
Mansur, Kasim Hj., Mansur Tola dan Romzi Ationg. 2009. Contract
Farming System: A Tool Transforming Rural Society in Sabah.
MPRA Paper. No. 13271.
Mardikanto, Totok. 2009. Membangun Pertanian Modern.
Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
Menteri Negara Sekretaris Negara. 1995. Undang-Undang No. 9
Tentang Usaha Kecil. Jakarta.
Menteri Negara Sekretaris Negara. 1997. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan.
Jakarta.
Menteri Sekretaris Negara. 1974. Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial. Jakarta.

Daftar Pustaka 130


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Meyer, Burce D. dan James X. Sullivan. 2002. Measuring the Well-


Being of the Poor Using Income and Consumption. Available
from:
http://www.northwestern.edu/ipr/publications/papers/2002
/WP-02-14.pdf.
Miller, R.L dan Meiners, R.E. 2000. Teori Mikroekonomi Intermediate.
(Haris Munadar, Pentj). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Minot, Nicholas. 2011. Contract Farming in sub-Saharan Africa:
Opportunities and Challenges. AAMP. Available from:
http://programmes.comesa.int/attachments/article/206/Min
ot%20Contract%20farming%20(AAMP%20Kigali).pdf.
Mosher, A.T. 1987. Menggerakkan Dan Membangun Pertanian. (S.
Krisnandhi dan Bahrin Samad. Pentj). Jakarta: C.V. Yasaguna.
Munir, Rozy. 2007. Migrasi. Dalam: Prayoga, Ayudha D. Editor.
Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Indonesia.
Nawawi, H. Ismail. 2009. Pembangunan Dan Problema Masyarakat
Kajian Konsep, Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi.
Surabaya: Putra Media Nusantara.
Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate Dan
Aplikasinya. Edisi Ke Delapan. (IGN Bayu Mahendra dan Abdul
Azis, Pentj). Jakarta: Erlangga.
Okali, David, Enoch Okpara dan Janice Olawoye. Rural-Urban
Interactions and Livelihood Strategies Seriea The Case of Aba
and it’s, region, southeastern Nigeria. Working Paper 4. IIED.
Olomola, Aderibigbe S. 2010. Models of Contract Farming Pro-Poor
Growth in Nigeria. IPPG. Available from:
http://www.ippg.org.uk/papers/bp34.pdf.
Pardede, Pantun Josua dan Salis Finnahari. 2007. Pola Kemitraan
Dalam Praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Studi Kasus
Program Cummunity Development PT. Toba Pulp Lestari, Tbk
di Kabupaten Toba Samosir. Jurnal Kebijakan dan Administrasi
Publik. Volume 11, nomor 2 (November 2007).

Daftar Pustaka 131


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Partomo, Tiktik Sartika. 2009. Ekonomi Koperasi. Jakarta: Ghalia


Indonesia.
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur. 2008. Peraturan
Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 03 Tahun 2008
Tentang Kemitraan Pembangunan Perkebunan di Provinsi
Kalimantan Timur. Samarinda: Pemprov KALTIM.
Pindyck, Robert S. dan Daniel L. Rubinfeld. 2008. Mikroekonomi.
Edisi keenam. Jilid 2. (Nina Kurnia Dewi, Pentj.). Jakarta: PT
Indeks.
Prawirokusumo, Soeharto. 2001. Ekonomi Rakyat (Konsep,
Kebijakan, dan Strategi). Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Rambe, Armaini. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga dan
Kesejahteraan (Kasus Di Kecamatan Medan Kota Sumatera
Utara. (Tesis). Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institutut
Pertanian Bogor.
Raynolds, Laura T. 2000. Negotiating Contract Farming in the
Dominican Republic. Human Organization. Vol. 59, No. 4.
Rehber, Erkan. 2000. Vertical Coordination in the Agro-Food
Industry and Contract Farming: A Comparative Study of
Turkey and the USA. Research Report. No.52.
Rejeki, Dwi Prawani. 2006. Analisis Penanggulangan Kemiskinan
Melalui Implementasi Program P2KP Di Kota Semarang.
(Tesis). Semarang: Program Pascasarjana Universitas
Diponogoro.
Rintuh, Cornelis dan Miar. 2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat.
Edisi pertama. Yogyakarta. BPFE-Yogyakarta.
Ropke, Jochen. 2000. Ekonomi Koperasi Teori dan Manajemen. (Hj.
Sri Djatnika S. Ariffin. Pentj). Jakarta: Salemba Empat.
Ruky, Achmad S. 2006. SDM Berkualitas Mengubah Visi Menjadi
Realitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Rustiadi, Ernan dan Sugimin Pranoto. 2007. Agropolitan
Membangun Ekonomi Perdesaan. Bogor: Crestpent Press.

Daftar Pustaka 132


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Rustiani, Frida, Hetifah Sjaifudian dan Rimbo Gunawan. 1997.


Mengenal Usaha Pertanian Kontrak (Contract Farming).
Bandung: Yayasan Akatiga.
Sachiho, Arai W. 2008. Pembangunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau.
Sebuah Tafsiran seputar Pemberdayaan Petani Kebun.
Komaba Studies in Human Geography. Vol. 19, 1-16, 2008.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. 2003. Ilmu
Mikroekonomi. Edisi tujuh belas. (Nur Rosyidah, Anna Elly dan
Bosco Carvallo, Pentj). Jakarta: PT. Media Global Edukasi.
Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Melalui Kemitraan Usaha. Jurnal Litbang Pertanian. 26(4).
2007.
Saptana, Sunarsih dan Kurnia Suci Indraningsih. 2006. Mewujudkan
Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetetif
Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Volume 24, No.1, Juli 2006:61-76.
Saragih, Bungaran.2000. Agribisnis Sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia Dalam Era Millenium Baru. Jurnal Studi
Pembangunan,Kemasyarakatan & Lingkungan.Vol 2 No.1.
Februari 2000:1-9.
Sartorius, Kurt dan Johann Kirsten. 2006. Contrcts and Contract
Farming as Potential Merchanisms to Improve Market Access
for Black Farmers in South Africa. Available from:
http://www.fanrpan.org/documents/d00692/Contract_Farmi
ng_Report_South_Africa.pdf.
Sayaka, Bambang dan Yana Supriyatna. 2009. Kemitraan Pemasaran
Bawang Merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Terdapat
dalam:
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffile/MKPC2,pdf.
Setboonsarng, Sununtar. 2008. Global Partnership in Poverty
Reduction: Contract Farming and Regional Cooperation. ADB
Institute Paper. No.89.

Daftar Pustaka 133


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Siagian, H. 1989. Pokok-Pokok Pembangunan Masyarakat Desa.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Singh, Sukhpal. 2003. Contract Farming in India: Impact on Women
and Child Workers. IIED.
Soekartawi. 1996. Pembangunan Pertanian. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Sriboonchitta, Songsak dan Aree Wiboonpoongse. 2008. Overview
of Contract Farming in Thailand: Lessons Learnd. ADB Institute
Discussion Paper. No.112.
Stiglitz, Joseph E., Amartaya Sen dan Jean-Paul Fitoussi. 2011.
Mengukur Kesejahteraan Mengapa Produk Domestik Bruto
Bukan Tolok Ukur Yang Tepat Untuk Menilai Kemajuan.
(Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang Timur, Pentj). Bintaro:
Marjin Kiri.
Suharto, Edi. 2006. Negara Kesejahteraan Dan Reinventing DEPSOS.
IRE. Yogyakarta. Terdapat dalam:
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/Reiventing
Depsos.pdf.
Sukirno, Sadono. 1999. Pengantar Toeri Mikroekonomi. Edisi Kedua.
Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Sumardjo, Jaka Sulaksana, dan Wahyu Aris Darmono. 2004. Teori
dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Depok: Penebar Swadaya.
Sumodiningrat, Gunawan. 1997. Pembangunan Daerah dan
Pemberdayaan Masyarakat. Edisi kedua. Jakarta: PT Bina
Rena Pariwara.
Sunarko. 2009. Budi Daya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
dengan Sistem Kemitraan. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka.
Suyanto, Bagong. 2008, Perangkap Kemiskinan dan Model
Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Jurnal Dialog Kebijakan
Publik. Edisi 3. Tahun II. November 2008.
Swinnen, Johan F.M. dan Anneleen. 2009. Quality, Rich Consumers,
and Small Farmers: Contracting and Rent Distributyion in Food

Daftar Pustaka 134


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Value Chains. Available from:


http://www.robinson.cam.ac.uk/academic/swinnen_vandepla
s.pdf.
Syahza, Almasdi. 2002. Potensi Pengembangan Desa Tertinggal dan
Mobilitas Penduduk Di Kabupaten Bengkalis Riau. Jurnal
Kependudukan. Vol.4.No2. Juli 2002
Tambunan, Tulus T.H. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Di
Indonesia Beberapa Isu Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus. 2010. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan
Pangan. Jakarta: UI-PRESS.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan
Ekonomi. Edisi Kesembilan. (Drs. Haris Munandar, M.A; Puji
A.L., SE., Pentj). Jakarta: Erlangga.
Wardoyo dan Hendro Prabowo. 2007. Meningkatkan Taraf Hidup
Petani Melalui Pemberdayaan KUD. Proceeding PESAT. Vol
2(2007), ISSN:1858-2559. .
White, Ben. 1996. Agroindustry And Contract Farmers in Upland
West Java. Working Paper Series. No.234. Netherlands..
Wrihatnolo, Randy R dan Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2007.
Manajemen Pemberdayaan Sebuah Pengantar Dan Panduan
Untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.

Daftar Pustaka 135


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Dr. Ir. Ida Bagus Made Agung Dwijatenaya, M.Si dilahirkan


di Br. Pilisan Kaba-Kaba, 07 April 1965. Putra
kedua dari Ida Bagus Puji dan Anak Agung
Sagung Putri setelah lulus SMA Negeri
Mengwi Badung Bali melanjutkan ke Institut
Pertanian Bogor (IPB) setelah Sarjana
Agribisnis diraih dilanjutkan menyelesaiakan
S2 di UNHAS dengan bidang Ilmu Ekonomi.
Program Doktor dengan bidang Ilmu
Ekonomi di selesaikan di Universitas Udayana Bali. Saat ini
menjadi dosen PNS Kopertis Wilayah XI Kalimantan dpk pada
Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta). Selain menjadi dosen
juga menjabat sebagai Ketua Badan Penjaminan Mutu (BPM)
Unikarta. Pada universitas yang sama pernah menjabat
sebagai Kepala Biro Administrasi Akademik (BAAK)
Tahun1996-2006, menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian
Tahun 2006-2010. Pernah juga menjabat sebagai Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tenggarong Tahun 2014
sampai dengan September 2016. Sebelum menjadi dosen
pernah bekerja di perusahaan perkebunan dengan jabatan
kepala divisi. Pernah bertugas di Dinas Pendidikan Kabupaten
Kutai Kartanegara dan di Balitbangda Pemkab Kutai
Kartanegara sebagai koordinator Puslit. Aktif meniliti di
bidang pembangunan perdesaan, sumberdaya manusia,,
kesejahteraan, dan kemitraan yang sebagian besar telah
dipublikasi pada jurnal ilmiah.

Biodata Penulis 136


Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis

Dr. Ir. Ince Raden, MP dilahirkan di


Poso, tepatnya 8 September 1967. Beliau
anak ke tiga dari 7 bersaudara dari Drs.
H. Mansur Intje Gani (Alm), dan Ibu Hj.
Zaitun Abdul Samad. Menyelesaikan studi
Sekolah Dasar di Muhamadiyah I, SMP di
Negeri 2, dan SMA di Negeri 4 semua di
kota Palu. Pada tahun 1997 melanjutkan
pendidikan di Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako Palu selesai pada tahun 1993.
Selanjutnya tahun 1997 melanjutkan pendidikan di
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung tamat 1999
dengan predicat Cum Laude, di Tahun 2005 kembali
melanjutkan studi di Jurusan Agronomi IPB Bogor dan tamat
tahun 2009 dengan predikat lulusan terbaik Doktor pada
Wisuda Tahap II Tahun Akadamik 2008/2009.

Dalam perjalanan karir, di mulai tahun 1994 sebagai


dosen Kopertis Wil XI Kalimantan dpk Universitas Kutai
Kartanegara, selanjutnya pernah menjadi Pembantu Dekan I
dan Pimpinan Redaksi Jurnal Magrobis Fakultas Pertanian,
Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Terpadu (LP3T),
Ketua Majelis Pengurus Cabang-Asosiasi Dosen Indonesia
(MPC-ADI), Tim Ahli DPRD, Anggota Tim Teknis AMDAL BLHD,
Ketua Dewan Riset Daerah Tahun 2012-2017 yang semunya di
Kabupaten Kutai Kartanegara, dan saat ini sebagai Kepala
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas
Kutai Kartanegara.

Biodata Penulis 137

Anda mungkin juga menyukai