KATA PENGANTAR
Membangun Perdesaan tidak pernah surut untuk dilaksanakan.
Berbagai program pembangunan Perdesaan telah diluncurkan guna
meningkatkan kesejahteran masyarakat.
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha
Kuasa atas anugrah-Nya. Buku iniditulis dengan niat penulis untuk
ikut berpartisipasi terhadap masalah pembangunan perdesaan.
Selainitu, materi yang disampaikan dalam buku ini merupakan
sebagian dari materi mata kuliah Kemitraan Agribisnis yang
diajarkan pada mahasiswa Agribisnis. Buku ini diharap kan dapat
dijadikan salah satu referensi bagi yang belajar tentang kemitraan
baik mahasiswa, dosen maupun praktisi.
Dalam penyelesaian penulisan buku ini, penulis mendapat
dukungan dari berbagai pihak, maka untuk itu pada kesempatan ini
penulis menghaturkan terimakasih kepada Bapak Dr. Sabran SE.,
M.Si, Mohamad Fadli, SP., SH., MP, Prof. Dr. I Ketut Sudibia, Dr. I.G.W.
Murjana Yasa, SE., MSi, Prof Dr. Made Kembar Sri Budhi Drs., MP,
saudara Candra Catur Nugroho, SP., M.Si., Nilam Anggar Sari, SE.,
M.Si., Aswan, SP, Suriansyah kepada rekan-rekan sehabat sekalian
serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
masukannya dan diskusinya dalam penulisan buku ini
Penulis sangat menyadari sepenuhnya bahwa dalam buku ini
masih terdapat hal yang perlu diperbaiki. Akhirnya penulis berdo’a
semoga tulisan ini bermanfaat.
Penulis
iii
Daftar Isi
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
DAFTAR ISI
Daftar Isi iv
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Bagian 2 KemitraanAgribisnis
BAB IV PENGERTIAN, PRINSIP, DAN TUJUAN
KEMITRAAN 69
4.1. Pengertian Kemitraan 69
4.2 Prinsip-Prinsip Kemitraan 71
4.3 TujuanKemitraan 73
Daftar Isi v
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Daftar Isi vi
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
DAFTAR GAMBAR
Daftar
D a f Gambar
tar Isi vii
Daftar Isi
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
DAFTAR TABEL
Daftar
D a f Tabel
tar Isi viii
Daftar Isi
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan 1
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis
2
Pendahuluan 2
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis
3
Pendahuluan 3
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis
4
Pendahuluan 4
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis
5
Pendahuluan 5
Pembangunan Perdesaan &
Kemitraan Agribisnis
6
Pendahuluan 6
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
BAB II
PEMBANGUNAN EKONOMI
Pembangunan Ekonomi 7
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
8
Pembangunan Ekonomi 8
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
9
Pembangunan Ekonomi 9
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
10
Pembangunan Ekonomi 10
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
11
Pembangunan Ekonomi 11
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
12
Pembangunan Ekonomi 12
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
1. Mashab Historis
Mashab historis ini melihat pembangunan ekonomi
berdasarkan pengalaman sejarah tentang tahapan-tahapan
perkembangan ekonomi suatu negara. Teori ini muncul pada abad
ke 19. Mashab ini meliputi teori Friedrich List, Bruno Hilderbrand,
Karl Bucher dan W.W. Rostow.
a. Friedich List
Menurut List sistem liberalisme yang laisser faire dapat
menjamin alokasi sumber daya secara optimal. Perkembangan
ekonomi sebenarnya tergantung pada peranan pemerintah,
organisasi swasta dan lingkungan kebudayaan. Menurut List,
perkembangan ekonomi hanya akan terjadi jika dalam
masyarakat ada kebebasan dalam organisasi politik dan
kebebasan perorangan. Perkembangan ekonomi menurut List,
melalui 5 fase yaitu fase primitif, beternak, pertanian, pertanian
dan industri pengolahan (manufacturing), dan akhirnya
pertanian, industri pengolahan dan perdagangan. Pendekatan
List dalam menentukan tahap-tahap perkembangan ekonomi
tersebut berdasarkan pada cara produksinya.Untuk
perkembangan ekonomi sektor industri pengolahan sangat perlu
dikembangkan, walaupun pada awalnya perlu diberikan
proteksi.
b. Bruno Hilderbrand
Sebagai kritiknya terhadap List, Hilderbrand mengatakan
bahwa perkembangan ekonomi bukan didasarkan pada cara
produksi ataupun cara konsumsi, tetapi pada cara distribusi
yang digunakan. Oleh karenanya, Hilderbrand mengemukakan 3
(tiga) sistem distribusi yaitu:
1) Perekonomian Barter (natura)
2) Perekonomian Uang
3) Perekonomian Kredit
Sayangnya, Hilderbrand tidak menjelaskan proses
perkembangan dari tahap tertentu ke tahap berikutnya.
13
Pembangunan Ekonomi 13
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
c. Karl Bucher
Pendapat Bucher merupakan sintesa dari pendapat List
dan Hilderbrand. Menurut Bucher, perkembangan ekonomi
melalui 3 tahap yaitu;
1) Produksi untuk kebutuhan sendiri (subsisten)
2) Perekonomian kota dimana pertukaran sudah meluas
3) Perekonomian nasional dimana peran pedagang menjadi
semakin penting.
d. W.W. Rostow
Teori pembangunan ekonomi dari Rostow ini sangat
popular dan paling banyak mendapat komentar dari para
ahli.Menurut klasifikasi Todaro, teori Rostow dikelompokkan ke
dalam model pertumbuhan tahapan linear.Menurut Rostow,
proses pembangunan ekonomi dibedakan ke dalam 5 tahap,
yaitu masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat
untuk tinggal landas (the precondition for take-off), tinggal
landas (the take-off), menuju kedewasaan (the drive to maturity)
dan masa konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption).
2. Teori Klasik
a. Adam Smith (1723-1790)
Adam Smith tidak hanya terkenal sebagai pelopor
pembangunan ekonomi dan kebijaksanaan laissez-faire, tetapi
juga merupakan ekonom pertama yang banyak menumpahkan
perhatian kepada masalah pertumbuhan ekonomi. Inti dari
proses pertumbuhan menurut Smith, dibedakan ke dalam dua
aspek utama pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan output
total dan pertumbuhan penduduk.
1) Pertumbuhan output total
Unsur pokok dari sistem produksi suatu Negara menurut
Smith adalah:
1. Sumberdaya alam yang tersedia (atau faktor produksi
tanah)
Menurut Smith, sumberdaya alam yang tersedia
merupakan wadah yang paling mendasar dari kegiatan
produksi suatu masyarakat.
14
Pembangunan Ekonomi 14
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
15
Pembangunan Ekonomi 15
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
16
Pembangunan Ekonomi 16
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
17
Pembangunan Ekonomi 17
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
I1 I2
K3
Modal
K1
L3 L1
Tenaga Kerja
18
Pembangunan Ekonomi 18
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
19
Pembangunan Ekonomi 19
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
20
Pembangunan Ekonomi 20
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Q1 Q2
K2
Modal
K1
L1 L2
Tenaga Kerja
5. Teori Schumpeter
Salah satu pendapat Schumpeter yang penting, yang
merupakan landasan teori pembangunannya adalah
keyakinannya bahwa sistem kapitalisme merupakan sistem yang
paling baik untuk menciptakan pembangunan yang pesat. Namun
demikian, Schumpeter meramalkan secara pesimis bahwa dalam
jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami kemandegan
(stagnasi), pendapat ini sama dengan pendapat kaum Klasik.
Menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan
perkembangan ekonomi adalah proses inovasi dan pelakunya
adalah para inovator atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan
21
Pembangunan Ekonomi 21
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
22
Pembangunan Ekonomi 22
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
23
Pembangunan Ekonomi 23
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Total produk
(manufactur) Total Produksi
(bahan pangan)
TPM = f(LM,KM,tM)
KM3> KM2> KM1
TPM3
TPM (KM3) TPA = f(LA,KA,tA)
TPA
TPA (KA)
TPM (KM2)
TPM2
TPM(KM1 TPA
TPM1 ) = WA
LA
L1 L2 L3 LA QLA
Produk rata-rata
Upah riil (marjinal) ,
(=MPLM) KM3> KM2> KM1
APLA
MPLA
SL
WM
D3(KM3
D2(KM) APLA
)
WA WA
D2(KM) MPLA
L1 L2 L3 LA Surplus
tenaga
Kuantitas tenaga kerja (QLM)(ribuan) kerja
24
Pembangunan Ekonomi 24
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
25
Pembangunan Ekonomi 25
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
26
Pembangunan Ekonomi 26
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
27
Pembangunan Ekonomi 27
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
28
Pembangunan Ekonomi 28
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
29
Pembangunan Ekonomi 29
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Rural Urban
Interaction
30
Pembangunan Ekonomi 30
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Dimenisi
Ekonomi
Kapasitas dan
kesempatan
berpartisipasi dan
mendapatkan manfaat
proses pembangunan
Pembangunan
Perdesaan
31
Pembangunan Ekonomi 31
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
32
Pembangunan Ekonomi 32
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
33
Pembangunan Ekonomi 33
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
34
Pembangunan Ekonomi 34
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
35
Pembangunan Ekonomi 35
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
36
Pembangunan Ekonomi 36
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
KEBIJAKAN
SEKTORAL Pembangunan Nasional
(Sistranas,
(RPJMN, RPJMD,Dunia
IPTEK,dsb)
Usaha)
Penguatan Kebijakan
Pembangunan Sektoral
Konektivitas Sistem Logistik (Sistranas
Nasional Nasional Roadmap ICT,
dsb)
37
Pembangunan Ekonomi 37
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
38
Pembangunan Ekonomi 38
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
39
Pembangunan Ekonomi 39
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
40
Pembangunan Ekonomi 40
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
41
Pembangunan Ekonomi 41
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
42
Pembangunan Ekonomi 42
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
43
Pembangunan Ekonomi 43
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
44
Pembangunan Ekonomi 44
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
45
Pembangunan Ekonomi 45
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
A Tingkat Upah
M
di sektor industri
Tingkat upah di atau manufaktur
sektor pertanian
A
M
q’
WM
WA
q
E
W*Ā WŴ
M’
W**A A’
OA LA LĀ LM’ LUS OM
LUS
Gambar 2.7 Model Migrasi Harris-Todaro
Sumber : Todaro dan Smith, 2006
46
Pembangunan Ekonomi 46
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
BAB III
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM
PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN
A. Kontribusi Produk
Kontribusi produk pertanian terhadap produk domestik bruto
(PDB) dapat dilihat dari hubungan antara pertumbuhan kontribusi
tersebut dengan pangsa PDB awal dari pertanian dan laju
pertumbuhan relatif produk-produk neto dari sektor pertanian dan
sektor-sektor non pertanian. Misalnya PP = produk neto pertanian,
PNP = produk neto non pertanian, dan PN = total produk nasional atau
PDB, maka hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
(Ghatak dan Ingersent dalam Tambunan, 2010):
PDB = PP + PNP
Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) memiliki posisi yang sangat penting. Namun kontribusinya
terus mengalami penurunan, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3.1.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB terus mengalami
penurunan mulai PELITA I (69-73) kontribusi sektor pertanian
sebesar 33,69 persen, PELITA II (74-78) kontribusi sektor pertanian
terhadap PDB sebesar 26,92 persen, pada PELITA III (79-83) turun
menjadi sebesar 24,36 persen, kontribusi sektor pertanian terhadap
PDB pada PELITA IV (84-88) sebesar 21,89 persen dan terus
mengalami penurunan sampai pada PELITA V (89-91) kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB sebesar 20,01 persen (Soekartawi,
1996). Menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
seiring dengan menurunnya laju pertumbuhan PDB sektor pertanian.
Pertumbuhan PDB sektor pertanian pada PELITA III (79-83) sebesar
5,56 persen mengalami penurunan pada PELITA IV (84-88) menjadi
sebesar 3,88 persen dan mengalami penurunan pada PELITA V
menjadi sebesar 3,17 persen.
Tabel 3.1
Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDB dan Laju Pertumbuhan
Sektor Pertanian: 1969-2008
Tahun Kontribusi Laju Pertumbuhan
sektor pertanian (%) sektor pertanian (%)
1969-1973 33,69 -
1974-1978 26,92 -
1979-1983 24,36 5,56
1984-1988 21,89 3,88
1989-1991 20,01 3,17
1999 19,61 2,16
2000 17,23 1,88
2001 16,99 1,68
2002 17,09 2,01
2003 16,58 2,48
2004 14,3 2,82
2005 13,1 2,72
2006 13,0 2,36
2007 13,7 3,43
2008 14,5 4,77
Sumber: Soekartawi, 1996 ; BPS, 2004 ; BPS, 2009.
Kondisi yang sama terjadi pada masa reformasi, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 1999 sebesar 19,61
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,16 persen, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2000 sebesar 17,23
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,88 persen, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2001 sebesar 16,99
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 1,68 persen, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2002 sebesar 17,09
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,01 persen, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 2003 sebesar 16,58
persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,48 persen, pada tahun
2004 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB turun mejadi
sebesar 14,3 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,82 persen,
selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2005 kontribusinya
yaitu sebesar 13,1 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 2,72
persen. Turunnya pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2005
sementara ekonomi nasional tumbuh mantap yakni pada tahun 2004
sebesar 5,03 persen dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 5,69
persen. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilaksanakan untuk
meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian melalui berbagai
program dan kebijakan pertanian sehingga untuk tahun selanjutnya
pertumbuhan sektor pertanian dapat meningkat. Kontribusi sektor
pertanian terhadap PDB pada tahun 2007 meningkat menjadi
sebesar 13,7 persen dengan pertumbuhan 3,43 persen. Selanjutnya
kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mengalami peningkatan,
pada tahun 2008* menjadi 14,5 persen dengan laju pertumbuhan
sebesar 4,77 persen (BPS, 2004 ; BPS , 2009).
Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun
pada tahun 2005, namun kontribusi sektor ini terhadap kesempatan
kerja tetap mendominasi dibandingkan dengan sektor lainnya. Pada
tahun 2005 tenaga kerja yang diserap pada sektor pertanian
sebanyak 41,8 juta. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian
terus mengalami peningkatan, sampai tahun 2010 tenaga kerja yang
diserap oleh sektor ini sebanyak 42,8 juta atau sekitar 40 persen dari
jumlah tenaga kerja yang ada pada tahun tersebut (BPS,2010). Hal
ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai Negara agraris di mana
ekonomi dalam negeri masih didominasi oleh ekonomi pedesaan
yang sebagian besar tenaga kerja bekerja pada sektor pertanian.
Demikian halnya dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDRB di luar minyak & gas bumi dan
pertambangan masih mendominasi. Kontribusi sektor pertanian
terhadap PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara di luar minyak dan gas
bumi sebesar 21,56 persen (Kabupaten Kutai Dalam Angka, 2010).
B. Kontribusi Pasar
Di masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi,
maka yang menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah
usahatani dimana hasil usahatani menentukan perkembangan
agribisnishilir dan hulu. Hal ini memang sesuai pada masa itu, karena
target pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk
mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin. Selain itu,
konsumen juga belum pada permintaan dengan atribut-atribut
produk yanglebih rinci dan lengkap. Dewasa ini, dan terlebih lagi di
Tenaga
Kerja
Ouput di
Pertanian sektor-
PDB
sektor non
pertanian
Modal
D. Kontribusi Devisa
Kontribusi sektor pertanian terhadap peningkatan devisa
adalah melalui peningkatan ekspor dan melalui pengurangan tingkat
ketergantungan negara tersebut terhadap impor komoditi pertanian.
Jika pertanian Indonesia bisa ekspor dan bisa membuat komoditas
subsitusi impor, dalam arti pertanian Indonesia nisa menjadi
eksportir neto, maka sektor tersebut turut menyumbang devisa,
dijelaskan sebagaimana Gambar 3.9. Kontribusi pertanian terhadap
devisa juga bisa bersifat tidak langsung, misalnya lewat peningkatan
ekspor atau pengurangan impor produk-produk berbasis pertanian
seperti makanan dan minuman, tekstil dan produk-produknya,
barang-barang dari kulit, ban mobil, obat-obatan dan sebagainya.
Semakin kuat keterkaitan produksi dalam negeri semakin berkurang
ketergantungan sektor-sektor nonpertanian terhadap impor
Ekspor
Impor
Tabel 3.2.
Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Indonesia, 2007-
2010
Uraian 2007 2008 2009 2010
Tabel 3.3
Distribusi Kesempatan Kerja Menurut Daerah di Indonesia,
1990-2003 (%)
Wilayah 1990 1995 2000 2003
Perdesaan 75 67 62 60
Perkotaan 25 33 38 40
Tabel 3.4
Kesempatan Kerja di Perdesaan Menurut Sektor di Indonesia,
1990-2003 (%)
Sektor 1990 1995 2000 2003
Pertanian 70 60 66 68
Industri 9 11 10 9
Jasa 22 29 24 23
Sumber: BPS (dalam Tambunan, 2010)
BAB IV
PENGERTIAN, PRINSIP,
DAN TUJUAN KEMITRAAN
70
Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 70
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
71
Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 71
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
72
Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 72
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
73
Pengertian, Prinsip, dan Tujuan Kemitraan 73
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
BAB V
KONSEP FORMAL DAN AZAS KEMITRAAN
75
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 75
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
76
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 76
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
77
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 77
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
78
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 78
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
79
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 79
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
80
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 80
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
81
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 81
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
82
Konsep Formal dan Azas Kemitraan 82
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
BAB VI
BERBAGAI POLA KEMITRAAN AGRIBISNIS
6.1 PolaInti-Plasma
Usaha Besar sebagai inti dan Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta
Usaha Menengah sebagai plasma atau Usaha Menengah sebagai inti
sedangkan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagai plasma
sebagaimana dijelaskan pada PP Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah. Sebagaimana telah dipersyaratkan bahwa hubungan
kerjasama kemitraan merupakan hubungan yang mengedepankan
moral dan menjunjung tinggi etika bisnis. Hal yang paling mendasar
dalam kemitraan adalah adanya pembinaan dan bantuan oleh usaha
besar.Sebagai contoh kemitraan pada perkebunan, maka perusahaan
mitra yang bertindak sebagai perusahaan inti atau perusahaan
pembina melaksanakan pembukaan lahan atau menyediakan lahan,
sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan
mengolah serta memasarkan hasil. Setiap kerjasama memiliki
keunggulan dan kelemahan.
84
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 84
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
85
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 85
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
86
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 86
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
87
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 87
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
88
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 88
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
BAB VII
PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN
7.1.1 Pemberdayaan
7.1.1.1 Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi bukan sebuah
proses instan. Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) sebagai
proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran,
pengkapasitasan dan pendayaan, secara sederhana dapat
digambarkan sebagai berikut :
90
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 90
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Penyadaran Pengkapasitasan
Pendayaan
91
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 91
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
92
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 92
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
sistem nilainya pun demikian. Sistem nilai adalah aturan main. Dalam
cakupan organisasi sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga, sistem dan Prosedur, Peraturan
Koperasi, dan dalam kerjasama kemitraan perkebunan kelapa sawit
antara petani peserta dengan perusahaan mitra diatur dalam
perjanjian kerjasama (MoU). Pada tingkat yang lebih maju, sistem
nilai terdiri atas budaya organisasi, etika dan good governance. Tahap
ketiga adalah pemberian daya itu sendiri atau empowerment dalam
makna sempit. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya,
kekuasaan, otoritas atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan
kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Misalnya pemberian kredit
kepada suatu kelompok miskin yang sudah melalui proses
penyadaran dan pengkapasitasan masih perlu disesuaikan dengan
kemampuannya mengolola usaha. Demikian halnya untuk contoh
pada petani peserta kemitraan perkebunan kelapa sawit, petani
peserta dilihat kemampuannya apakah sudah mampu mengelola
kebun sendiri atau belum. Namun kecenderungan perusahaan
perkebunan besar tidak mau menyerahkan pengelolaan ini sehingga
tahap pendayaan sering mengalami kegagalan. Petani peserta
kemitraan usahatani kelapa sawit diberikan peluang yang
disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisiapasi
aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran
yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan
kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk
melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan
atas pilihan.
Selanjutnya Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) menyatakan
konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community
development (pembangunan masyarakat) dan community-based
development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat dan
tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang
diterjamahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat
atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat.
Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan
masyarakat untuk bertahan (survive) dan dalam pengertian dinamis
mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Memberdayakan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
93
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 93
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
94
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 94
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
95
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 95
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
96
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 96
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
97
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 97
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
98
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 98
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
99
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 99
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
100
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 100
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Demokrasi
Ekonomi
Penerapan prinsip-
prinsip demokrasi
ekonomi sebagai
wujud pemberdayaan
masyarakat
101
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 101
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
7.1.2 Kesejahteraan
7.1.2.1 Pengertian kesejahteraan
Keberhasilan pembangunan suatu Negara ditunjukkan oleh
makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Demikian halnya
keberhasilan program kemitraan kelapa sawit juga akan berdampak
pada semakin meningkatnya kesejahteraan petani mitra sawit.
Secara mikro kesejahteraan rumah tangga dapat didekati dengan
hukum Engel, yang menyatakan pangsa pengeluaran pangan
terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang
dengan meningkatnya pendapatan. Lebih lanjut dalam keadaan harga
barang dan selera masyarakat tetap maka peningkatan pendapatan
menunjukkan peningkatan kesejahteraan (Nicholson, 2002).
Setiap orang memiliki keinginan untuk sejahtera, suatu
keadaan yang serba baik, atau suatu kondisi dimana orang-orangnya
dalam keadaan makmur dalam keadaan sehat dan damai. Sejahtera
juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur, serta selamat,
terlepas dari berbagai gangguan. Dalam UU No. 6 Tahun 1974
keadaan sejahtera yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan dan ketentraman lahir batin. Menurut Undang Undang No
10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, bahwa keluarga yang sejahtera itu
tidak hanya tercukupi kebutuhan materiilnya, tetapi juga harus
didasarkan pada perkawinan yang sah, tercukupi kebutuhan
spiritualnya, memiliki hubungan yang harmonis antar anggota
keluarga, antara keluarga dengan masyarakat sekitarnya, dengan
lingkungannya dan sebagainya.
Menurut Spicker; Midgley; Tracy dan Livermore;
Thompsondalam Suharto (2006) pengertian kesejahteraan
sedikitnya mengandung empat makna, yaitu : 1) sebagai kondisi
sejahtera (well-being).Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah
kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya
102
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 102
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
103
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 103
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
1. Kriteria Bentham
Jeremy Benthan, menyatakan bahwa perbaikan welfare akan
terjadi apabila tersedia barang-barang dalam jumlah yang semakin
banyak. Ini berarti bahwa welfare total adalah penjumlahan utility
dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut kriteria ini bila
terdapat perubahan positifwelfare total berarti terdapat perbaikan
kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat
anggota masyarakat atau individu yang dirugikan dan ada yang
diuntungkan. Secara implisit kriteria ini mengasumsikan adanya
komparasi antar individual (interpersonal comparison) di antara
anggota masyarakat yang menikmati manfaat dengan anggota
masyarakat yang menderita kerugian karena adanya perubahan
dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Kriteria Cardinal
Menurut kriteria cardinal pendapatan anggota masyarakat
berpengaruh terhadap utility. Berlaku law of diminishing marginal
utility, anggota masyarakat yang berpendapatan tinggi (memiliki
uang lebih banyak) akan memperoleh marginal utility yang lebih
104
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 104
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
3. Kriteria Pareto-Optimal
Pada umumnya, ekonom kurang menyukai perbandingan
kepuasan antar pribadi. Pemakaian konsep tersebut sedapat
mungkin dihindari dalam menganalisis kesejahteraan, dan fokus
dialihkan pada konsep efisiensi ekonomi. Efisiensi ada dua yaitu
efisiensi teknis adalah istilah yang mengacu pada perbandingan
output fisik dengan input fisik, dan efisiensi ekonomis mengacu pada
nilai output terhadap input, atau nilai sumberdaya (faktor produksi)
yang dipakai menghasilkan output tersebut. Pengukuran efesiensi
ekonomis mensyaratkan nilai-nilai ditempatkan pada komoditi.
Dalam analisis kesejahteraan, nilai yang ditempatkan (sebagai satuan
hitung atau pengukur) pada komoditi itu nilai-nilai yang diberikan
oleh pasar sempurna.
Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto,
sebagai tujuan efisiensi mereka. Menurut ukuran ini, kesejahteraan
sosial, suatu situasi adalah optimal hanya jika tidak ada individu
dapat dibuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk.
Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat kriteria dipenuhi.
Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik untuk
semua konsumen (tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa
membuat konsumen yang lebih buruk). Rata-rata transformasi di
dalam produksi harus identik untuk semua produk (adalah mustahil
meningkatkan produksi setiap barang tanpa mengurangi produksi
barang-barang yang lain). Biaya sumber daya marginal harus sama
dengan produk pendapatan marginal untuk semua proses produksi
(produk fisik marginal dari suatu faktor harus sama dengan semua
perusahaan yang memproduksi suatu barang). Rata-rata marginal
105
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 105
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
4. Kriteria Kaldor-Hicks
Kaldor-Hicks menyarankan pendekatan kompensasi untuk
menilai suatu perubahan yaitu menilai keuntungan dari mereka yang
menikmati perbaikan dan menilai kerugian dari mereka yang
menderita kerugian dengan satuan uang. Untuk menjawab
kelemahan Pareto, sejumlah ekonom mencoba merumuskan kriteria
kesejahteraan distributif, yang mengandung prinsip bebas nilai
106
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 106
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
dalam analisis ekonomi. Ini berarti ada tidaknya prinsip bebas nilai,
dan ada tidaknya tingkat kesejahteraan individual diperhatikan,
sudah tidak dipersoalkan lagi. Perintis upaya-upaya semacam itu
adalah dua orang ekonom Inggris, Nicholas Kaldor dan John Hick.
Kriteria Kaldor-Hick sebagaimana ditunjukkan Gambar 7.3.
E
Kepuasan konsumen 1 per unit
D
.C
A B
periode
0
Kepuasan konsumen 2 per unit periode
107
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 107
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
108
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 108
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
kedudukan yang sama dengan aktivitas E (dalam hal ini terletak pada
kurva kemungkinan utilitas yang sama(U1U1). Dengan demikian,
perubahan kembali dari utilitas aktivitas ekonomi (A) ke utilitas
aktivitas ekonomi (E) merupakan perbaikan juga. Hal inilah yang
merupakan kelemahan kriteria Kaldor-Hicks.
Bila kaum ekonom menganggap peran kebijaksanaan ekonomi
adalah mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas
harga (price stability), tugas Negara adalah mengobati kelemahan
yang ada pada competition demi menjamin walfare. Negara menurut
Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang masyarakat secara
kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust
legislation dan menolak aggressive competition, yang bertujuan
menegakkan monopoli. Namun, ia pada dasarnya tetap
berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki
pembatasan terhadap kontrol Negara. Scitovsky menutupi beberapa
kelemahan dari kriteria Kaldor-Hicks dengan mengusulkan uji ganda
yang lebih ketat, yaitu; 1) Gunakan kriteria Kaldor-Hicks untuk
menentukan apakah perubahan dari titik asal ke titik baru
merupakan suatu perbaikan, dan 2) Gunakan kriteria Kaldor-Hicks
untuk menentukan apakah perubahan kembali dari titik baru ke titik
lama bukan merupakan perbaikan pula.
Berbagai kriteria di atas memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing. Kritik yang cukup tajam terhadap kriteria Kaldor-
Hicks dari pakar-pakar ekonomi, karena pada kenyataannya ganti
rugi tidak perlu dibayarkan kepada penerima kerugian. Ganti rugi
pada Kriteria Kador-Hicks adalah ganti rugi yang potensial bukan
ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran ganti rugi yang aktual kita perlu
menggunakan pertimbangan nilai (value judgement) untuk
menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih
baik dengan adanya perubahan.
Kedua kriteria Kaldor-Hicks dan Scitovsky dikritik oleh
Boumol, karena keduanya menggunakan nilai uang sebagai ukuran
besarnya utilitas. Padahal uang mempunyai nilai yang relatif
tergantung atas kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Berdasarkan
konsep Boumol tersebut, maka Bergson telah memperkenalkan
kriteria yang lain, yaitu fungsi kesejahteraan sosial (Social walfare
function).
109
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 109
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
110
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 110
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
111
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 111
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
112
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 112
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
113
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 113
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
114
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 114
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
115
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 115
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
116
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 116
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
117
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 117
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
118
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 118
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
119
Berbagai Pola Kemitraan Agribisnis 119
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
BAB VIII
PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
121
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 121
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Tujuan Ekonomi :
Efisiensi dan Pertumbuhan
122
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 122
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
123
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 123
Pembangunan Perdesaan dan
Kemitraan Agribisnis
Revitalisasi
Kelembagaan kelembagaan: Kelembagaan pemerintah yang
pemerintah dinas 1, Kelembagaan bersifat mediasi dan fasilitatif
teknis terkait kelompok tani
2. Kelembagaan
Kelembagaan penyuluhan
komunitas- pertanian
lokal/kelompok Pusat pelayanan dan
3. Kelembagaan Produk
tani kemitraan usaha Konsultasi Agibisnis (PPA); pertanian:
agribisnis informasi dan konsultasi
Kelembagaan 1. Efisien dan
pasar- produktif
ekonomi/pelaku 2. Berdaya saing
agribisnis swasta 3. Distribusi
Kelembagaan Pelaku pendapatan
di tingkat agribisnis
Integrasi program 4. berkelanjutan
petani swasta yang
pembangunan
berbadan ulet, mandiri
agribisnis terpadu
hukum, dan dinamis
1. Pusat dan daerah
2. Kelembagaan usahatani
Jaringan profesional
petani, penyuluh
agribisnis di
dan peneliti dalam
perdesaan
wadah PPA
semitradisional,
3. Petani dan
semisubsisten,
perusahaan
parsial, jangka
pertanian Jaringan agribisnis pertanian di perdesaan: sisitem agribisnis
pendek, tidak
berkelanjutan maju, komersial, terintegrasi, jangka panjang, berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Ban, A.W. Van Den dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian.
(Agnes Dwina Herdiasti, Pentj). Yogyakarta: Kanisius.
Baumann, Pari. 2000. Equity and Effciency in Contract Farming
Schemes: The Experience of Agricultural tree Crops. Working
Paper 139.
Bijman, Jos. 2008. Contract Farming in Developing Countries: an
Overview. Working Paper. Netherlands.
Boediono. 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Edisi Pertama.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Brambilla, Irene dan Guido G. Porto. 2007. Market Structure,
Outgrower Contracts and Farm Output. Evidence From Cotton
Reforms in Zambia. Available from:
http://www.econ.yale.edu/~ib55/papers/cotton_zambia.pdf
Cahyat, Ade, Christian Gonner dan Michaela Haug. 2007. Mengkaji
Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Sebuah Panduan
dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. Bogor: Center for
International Forestry Research.
Chotim, Erna Ermawati. 1996. Disharmoni Inti-Plasma Dalam Pola
PIR Kasus PIR Pangan Pada Agroindustri Nana Subang.
Bandung: Yayasan Akatiga.
Daryanto, Arief. 2003. Disparitas Pengembangan Perkotaan-
Perdesaan Di Indonesia. AGRIMEDIA. April 2003. Volume 8
No.2.
Dessler, Gary. 1992. Manajemen Personalia. Edisi Ketiga. (Agus
Dharma, Pentj). Jakarta: Erlangga.
Dwijatenaya, Ida Bagus Made Agung. 2013. Pengaruh Intensitas
Kemitraan, Faktor Sosial Demografi dan Kompetensi Terhadap
Produktivitas serta Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit Di
Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. (Disertasi).
Denapasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Easterlin, Richard A. 2001. Income and Happiness: Towards a
Unified Theory. The Economic Journal. 111(July), 465-484.