Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

DOKTER INTERNSHIP

EPIDERMOLISIS BULLOSA

Penulis:
dr. Dira Witrya

Pendamping:
dr. Harry Ananda
dr. Robert Raymon Maradona

Pembimbing & Narasumber:


dr. Yosi Charly, SpKK

RUMAH SAKIT BAKTI TIMAH KARIMUN


KABUPATEN KARIMUN
2020
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 23 April 20206di Wahana Rumah Sakit Bakti Timah
Karimun telah dipresentasikan portofolio oleh :
Nama : dr. Dira Witrya
Kasus : Epidermolisis Bullosa
Topik : Ilmu Kulit dan Kelamin
Nama Pendamping : dr. Harry Ananda
dr. Robert Raymon Maradona
Nama Pembimbing : dr. Yosi Charly, SpKK

Nama Wahana : Rumah Sakit Bakti Timah Karimun

No Nama Peserta Tanda tangan

1 1.

2 2.

3 3.

4 4.

5 5.

6 6.

7 7.

8 8.

9 9.

10 10.

11 11.

12 12.

13 13.

14 14.

15 15.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Mengetahui,

Dokter Dokter Dokter Dokter


Internsip Pendamping Pendamping Pembimbing

dr. Dira dr. Harry dr. Robert Raymon dr. Yosi Charly, SpKK
Witrya Ananda Maradona
Marpaung
Nama Peserta: dr. Dira Witrya
Nama Wahana: RS Bakti Timah Karimun
Topik: Ilmu Kulit dan Kelamin
Tanggal (kasus): 08 Maret 2020
Nama Pasien: An. MAH (Laki-laki) No. RM : 008913
Tanggal Presentasi: 23 April 2020 Nama Pendamping :
dr. Harry Ananda

dr. Robert Raymon Maradona Marpaung

Tempat Presentasi : RS Bakti Timah Karimun


Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa


Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Bumil
Deskripsi :
Pasien rawatan di ruang anak dengan keluhan kulit mengelupas di tangan dan
kaki. Keluarga mengaku keluhan ini sudah dialami sejak pasien bayi, usia 14
hari dan sering terjadi di daerah sendi. Keluarga mengaku kulit mengelupas ini
dialami secara tiba-tiba, namun bisa juga dipicu karena adanya benturan.
Pasien mengaku kulit yang mengelupas tidak gatal. Kulit yang mengelupas
dapat berkembang menjadi luka dan lama kelamaan menjadi hitam. Luka ini
tidak sembuh melainkan membekas dengan atau tanpa disertai jaringan parut.
Keluhan nyeri baru dirasakan jika sudah terbentuk luka. Riwayat alergi
disangkal.

Tujuan :
 Untuk menegakkan diagnosis
 Manajemen penatalaksanaan
Bahan Tinjauan pustaka Riset Kasus
bahasan Audit
Cara Diskusi Presentasi & Email
membahas diskusi Pos
Data Pasien: Nama: An. MAH Nomor Registrasi: 008913
Nama RS: RS Bakti Timah Terdaftar sejak: 7 Maret
Karimun 2020
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis
Pasien rawatan di ruang anak dengan keluhan kulit mengelupas di tangan
dan kaki. Keluarga mengaku keluhan ini sudah dialami sejak pasien bayi,
usia 14 hari dan sering terjadi di daerah sendi. Keluarga mengaku kulit
mengelupas ini dialami secara tiba-tiba, namun bisa juga dipicu karena
adanya benturan. Pasien mengaku kulit yang mengelupas tidak gatal. Kulit
yang mengelupas dapat berkembang menjadi luka dan lama kelamaan
menjadi hitam. Luka ini tidak sembuh melainkan membekas dengan atau
tanpa disertai jaringan parut. Keluhan nyeri baru dirasakan jika sudah
terbentuk luka. Riwayat alergi disangkal.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah mengalami keluhan yang sama sejak usia 14 hari
3. Riwayat Keluarga
Saudara kandung pasien memiliki keluhan yang sama dengan pasien
4. Riwayat Penggunaan Obat
Tidak ada
5. Riwayat Tumbuh Kembang
Prenatal
Ibu pasien ANC teratur selama trimester 1, 2 dan 3 ke dokter Sp.OG
dikatakan janin dalam keadaan normal. Pertumbuhan dan berat badan janin
sesuai masa kehamilan. Selama hamil ibu tidak mengeluhkan demam atau
keluhan sakit apapun. Riwayat mengkonsumsi obat selama hamil tidak
ada.
Natal
Pasien merupakan anak keempat (P4AH2). Pasien lahir secara
pervaginam di dokter Sp.OG, bayi lahir cukup bulan-sesuai masa
kehamilan (38 minggu) dengan BBL 2900 gram, dan bayi segera
menangis.
Postnatal
Pasien setelah lahir hingga sekarang memiliki riwayat perkembangan
yang sesuai dengan anak lain seusianya. Namun sejak usia 14 hari pasien
mengalami pengelupasan pada kulit paling sering pada daerah sendi yang
dipicu oleh trauma ringan. Keluhan terus berulang hingga usia pasien
sekarang.
6. Riwayat Pekerjaan dan Pendidikan
Pasien seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama
7. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital :
TD: 110/80 mmHg HR: 88x/i
RR: 20x/i T: 36,9℃
Data Antropometri
Berat Badan : 44 kg
Panjang Badan : 152 cm
IMT : 19 kg/m2
Status Gizi : Normal
Status Dermatologis
Regio : Ekstremitas superior et inferior
Deskripsi lesi : Tampak makula hipopigmentasi tertutup krusta tebal,
batas tidak tegas, tepi ireguler, jumlah multiple, susunan konfluens dan
distribusi generalisata.
Foto klinis :

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium :
Darah rutin (7/03/2020)
Hemoglobin: 12,8 (N: 10,7-15,6)
Hematokrit: 25,5 (N: 31-45)
Leukosit: 4040 (N: 5000-10.000)
Trombosit: 149000 (N: 150.000-400.000)
Eritrosit: 4,53x106 (N: 3,6-4,8x106)
Hitung Jenis
Basofil 0,1 (N: 3-6%)
Eosinofil 0,4 (N: 1-5%)
Monosit 9,0 (N: 1-6%)
Neutrofil Segmen: 70,1 (N: 25-60%)
Limfosit: 20,4 (N: 25-50%)
MCV : 78,3 (N: 80-96)
MCH : 28,1 (N: 28-33)
MCHC : 35,9 (N: 33-36)
Laboratorium (8/03/2020)
NS1 : Negatif
Darah rutin (10/03/2020)
Hemoglobin: 13,6 (N: 10,7-15,6)
Hematokrit: 27,9 (N: 31-45)
Leukosit: 3440 (N: 5000-10.000)
Trombosit: 158000 (N: 150.000-400.000)
Eritrosit: 4,84x106 (N: 3,6-4,8x106)
Hitung Jenis
Basofil 0,6 (N: 3-6%)
Eosinofil 0,0 (N: 1-5%)
Monosit 8,6 (N: 1-6%)
Neutrofil Segmen: 73,9 (N: 25-60%)
Limfosit: 16,7 (N: 25-50%)
MCV : 78,3 (N: 80-96)
MCH : 28,0 (N: 28-33)
MCHC : 35,8 (N: 33-36)
9. Follow up
Tanggal Follow up Terapi
09-03-2020 S : bulla pecah, gatal (-), Th/
luka mengering Threeway
O : KU : lemah Inj. Dexametason 5 mg/8
TD : 110/70 mmHg jam
HR : 86x/menit Gentamicin 0,1% zalf ue
RR : 20x/menit Topicare ceramide cream
T : 36,90C ue
s/l ar ekremitas superior
et inferior tampak P/
makula hipopigmentasi Cek IgE Total
tertutup krusta tebal,
batas tidak tegas, tepi
ireguler, jumlah
multiple, susunan
konfluens dan distribusi
generalisata.
A : Epidermolisis Bullosa
10-03-2020 S : luka mengering Bed rest
O : KU : lemah Th/
TD : 110/70 mmHg Threeway
HR : 86x/menit Inj. Cortidex 5 mg/8 jam
RR : 20x/menit Gentamicin 0,1% zalf ue
T : 36,90C Topicare ceramide cream
s/l ar ekremitas superior ue
et inferior tampak
makula hipopigmentasi P/
tertutup krusta, batas Tunggu hasil IgE Total
tidak tegas, tepi Pasien Acc Rawat jalan
ireguler, jumlah
multiple, susunan
konfluens dan distribusi
generalisata.
A : Epidermolisis Bullosa
Daftar Pustaka:
1. Aisah Siti. Epidermolisis bulosa. Dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editor: Ilmu penyakit kulit dan kelamin; edisi ke 5. Jakarta: Balai penerbit
FKUI. 2007: 218-25.
2. Fine JD. Inherited epidermolysis bullosa. Orphanet J Rare Dis 2010; 5: 12.
3. Hurwitz S. Bullous disorder of childhood. Dalam Clinical pediatric
dermatology, a textbook of skin disorders of chidhood and adolesence;
edisi ke-2. Philadelphia : W.B. Sauders. Co. 1993 : 432-5, 439-41.
4. Atherton DJ. Epidermolysis bullosa. Dalam Harper J. Oranje A, Prose N,
editor : Textbook of Pediatric Dermatology. London: Blackwell Science
Ltd. 2000 : 1075-80.
5. Kho YC, Rhodes LM, Robertson SJ, et al. Epidemiology of epidermolysis
bullosa in the antipodes: the Aaustralasian Epidermolysis Bullosa Registry
with a focus on Herlitz junctional epidermolysis bullosa. Arch Dermatol
2010; 146: 635.
6. Kelly-Mansuco G, Kopelan B, Azizkhan RG, Lucky AW. Junctional
epidermolysis bullosa incidence and survival; 5-year experience of the
Dystrophic Epidermolysis Bullosa Research Association of America
(DebRA) nurse educator, 2007-2011. Pediatr Dermatol 2014; 31-159.
7. Marinkovich Peter. Epidermolysis bullosa. 2014. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217 Diakses
pada 15 Maret 2020.
8. Fine DJ. Bullous Disease. Dalam: Mosechella, Hurley HJ, editor.
Dermatology. Edisi ke-3 Philadelphis: W.B. Sounders Co. 2002:681-9.
9. Elder D. Epidermolysis Bullosa. Dalam Elder D, LENISTSAS R.
Jaworsky Cara, Johanson B. Editor. Lever,s Histopathology of the skin.
Edisi ke-8 Philadelphia: Lippincott-Raven Publ 2008:128-31
10. Mahajan VK, Sharma NL and Sharma RC, Kindler syndrome. Orphanet
Encyclopedia. Mars 2005. Diunduh dari
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-kindler.pdf Diakses pada 15
Maret 2020.
11. Yiasemides E, Walton J, Marr P, et al. A comparative study between
transmission electron microscopy and immunofluorescence mapping in the
diagnosis of epidermolysis bullosa. Am J Dermatopathol 2006;28: 387-94.

Hasil Pembelajaran :
a. Definisi epidermolisis bullosa
b. Etiopatogenesis epidermolisis bullosa
c. Epidemiologi epidermolisis bullosa
d. Klasifikasi epidermolisis bullosa
e. Gambaran klinis epidermolisis bullosa
f. Pemeriksaan penunjang epidermolisis bullosa
g. Penatalaksanaan epidermolisis bullosa
h. Prognosis
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :
1. Subyektif
Pasien rawatan di ruang anak dengan keluhan kulit mengelupas di tangan dan
kaki. Keluarga mengaku keluhan ini sudah dialami sejak pasien bayi, usia 14
hari dan sering terjadi di daerah sendi. Keluarga mengaku kulit mengelupas
ini dialami secara tiba-tiba, namun bisa juga dipicu karena adanya benturan.
Pasien mengaku kulit yang mengelupas tidak gatal. Kulit yang mengelupas
dapat berkembang menjadi luka dan lama kelamaan menjadi hitam. Luka ini
tidak sembuh melainkan membekas dengan atau tanpa disertai jaringan parut.
Keluhan nyeri baru dirasakan jika sudah terbentuk luka. Riwayat alergi
disangkal.

2. Obyektif
Pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan umum : sakit sedang, kesadaran compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,90C
Dari pemeriksaan status dermatologis pada regio ekstremitas superior et
inferior ditemukan lesi berupa makula hipopigmentasi tertutup krusta tebal,
batas tidak tegas, tepi ireguler, jumlah multiple, susunan konfluens dan
distribusi generalisata.

3. Assessment
Definisi Epidermolisis Bullosa
Epidermolisis bulosa merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan
secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma
ringan. Penyakit ini ditandai dengan gangguan/ketidakmampuan kulit dan
epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi
tendensi terbentuknya vesikel atau bula karena terkena trauma ringan atau
gesekan ringan. Vesikel atau bula tidak hanya terletak di epidermis, tetapi juga
dapat mengenai mukosa.1,2
Etipatogenesis
Untuk dapat mengerti etiopatogenesis dan klasifikasi epidermolisis bulosa
maka penting untuk mengetahui struktur dan target protein di taut
dermoepidermal (Basement Membrane Zone=BMZ).

Gambar 1. Susunan skematis taut dermoepidermal2

Epidermolisis bulosa terbagi menjadi 4 tipe, yaitu epidermolisis bulosa


simplex (EBS), epidermolisis bulosa junctional (EBJ), epidermolisis bulosa
distrofik (EBD) dan sindrom Kindler.
Target protein dari EBS berada di desmosom yang menghubungkan
keratinosit yang satu dengan yang lainnya. Sebagian besar target protein yang
terlibat di EB di temukan di taut dermoepidermal. EBS memiliki bula
intraepidermal sebab memiliki target protein keratin 5 (K5) dan 14 (K14) serta
K15 dan K17 yang terletak di basal keratinosit di taut dermoepidermal.
Adanya mutasi pada gen keratin ini menyebabkan terbentuknya struktur
filamen keratin interseluler yang tidak stabil dan mudah rusak. Selain itu, EBS
dapat terjadi akibat pembentukan enzim sitolitik dan pembentukan protein
abnormal yang sensitif terhadap perubahan suhu. Sitolisis keratinosit dan bula
intradermal terjadi karena abnormalitas keratin.3 Penyebab lain juga diduga
akibat defisiensi enzim galatomsylhidroxylysyl-glocosyltransferase dan
gelatinase (enzim degradase kolagen). Selain itu juga terjadi mutasi pada gen
plektin. Plektin adalah proein yang terdapat di membran basal pada
attachment plaque/hemidesmosom yang berfungsi sebagai penghubung
filamen intermediate ke membran plasma. Hampir semua tipe EBS diturunkan
secara autosomal dominan kecuali pada EBS dengan muscular dystrophy, EBS
letal autosomal resesif dan kemungkinan EBS lokalisata.4 Patogenesis
terbentuknya bula pada EBS belum diketahui secara pasti, namun
kemungkinan karena adanya enzimatik struktural, biokimia, dan fungsional
serta defek antigenik. Pada umunya EBS mengalami eksaserbasi pada musim
panas, hal ini kemungkinan terjadi karena mutasi filamen keratin yang
menyebakan peningkatan termolabilitas.4
Bula yang terjadi pada EBJ terletak di intralamina lusida karena target
protein utamanya adalah laminin-332 yang menyusun anchoring filaments
serta kolagen tipe XVII dan integrin α6β4. Integrin tersebut terdapat di
hemidesmosom yang merupakan molekul adhesi laminin yang menyebabkan
attachment plaque tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, mutasi gen
pengkode antigen pemfigoid bulosa 2 (BPA-2) dijumpai pada EB junctional
ringan yang disertai atrofi. Pearson dan Scachner menduga EBJ terjadi akibat
membran abnormal sel pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik sehingga
terbentuk celah di lamina lusida.1
EBD mempunyai target protein kolagen tipe VII yang menyusun
anchoring fibrils di sublamina densa, sehingga bula pada EBD terbentuk di
sublamina densa. Pada EBD resesif terjadi peningkatan aktifitas kolagenase,
sedangkan pada yang dominan umumnya tidak terjadi.4
Pada sindrom Kindler, bula terbentuk pada lebih dari satu lapisan, yaitu di
intralamina lusida dan sublamina densa.5

Epidemiologi
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Koebner tahun 1986. Insidensi
penyakit ini jarang, diperkirakan 1:50.000 kelahiran pertahun. Selama tahun
1986-1990, prevalensi penyakit EB di AS berkisar 19,6 kelahiran hidup
persatu juta kelahiran terdiri dari EBS 10,8, EBJ 2,0, EBD subtipe dominan
2,0 dan EBD subtipe resesif 2,0.6
Menurut data dari Dystrophic Epidermolysis Bullosa Research
Association of America (DebRA), insiden dari EBJ sebesar 3.86 per satu juta
kelahiran hidup per tahun selama tahun 2007-2011. Pada studi yang
dilakukan oleh Australasian EB Registry selama Januari 2006 hingga
Desember 2008, dari total 259 pasien yang diikutsertakan dalam penelitian,
yang menderita EBS sebanyak 139, EBJ sebanyak 28, EBD sebanyak 91, dan
sindrom Kindler sebanyak 1 orang. Usia rata-rata pasien EBS dan EBD
adalah 24 tahun dan rata-rata usia yang lebih muda ditemukan pada pasien
EBJ.5

Klasifikasi
Pengklasifikasian EB awalnya dibuat berdasarkan jaringan parut yang
terbentuk, terdiri dari EB nondistrofik (bula terdapat di stratum basal) dan
distrofik (bula terletak di bawah stratum basal). Adanya perkembangan di
bidang imunologi dan pemeriksaan imunohistokimia, dibuat
pengklasifikasian lebih rinci yang disesuaikan berdasarkan letak bula
terhadap taut dermo epidermal, meliputi3,4:

a. EB Simplek, terbagi menjadi:


1. EBS lokalisata pada tangan dan kaki (Weber Cockayne);
2. EBS generalisata (Kobner);
3. EBS herpetiformis (Dowling-Meara)
b. EB Junctiona, terbagi menjadi:
1. Bentuk letal (gravis, Herlitz);
2. Nonletal (mitis, non-Herlitz);
3. EB inversa

c. EB Distrofik
1. EBD (dermolitik) dominan;
2. EBD resesif generalisata;
3. EBD resesif lokalisata;
4. Bentuk varian

Gambaran Klinis
Gejala klinis menjadi kunci utama dalam penegakan diagnosis EB yang
didasarkan pada lokalisasi terbentuknya bula serta ada tidaknya jaringan parut
setelah sembuh. Berikut manifestasi klinis EB berdasarkan klasifikasinya4,7:
1. EBS lokalisata pada tangan dan kaki (Weber Cockayne)
EBS tipe ini bisa diturunkan secara otosomal dominan maupun resesif.
Pada tipe ini, bula timbul pertama kali sekitar usia 3-12 bulan awal
kehidupan sampai usia 2 tahun. Hal ini berhubungan dengan aktivitas
motorik anak yang jarang pada usia yang lebih tua atau dewasa. Bula
pada tipe ini biasanya terletak di kedua tangan dan kaki (palmaplantar).
Bula timbul berulang dapat disebabkan oleh trauma mekanik seperti
gesekan kaki/tangan dengan benda tumpul disekitarnya. Bula dapat pecah
sehingga menyebabkan erosi dengan atau tanpa disertai infeksi sekunder.
Umumnya lesi dapat membaik tanpa meninggalkan jaringan parut
ataupun atrofi. Kelainan kulit berupa distrofi, kelainan gigi dan mukosa
mulut sangat jarang dijumpai pada tipe ini.

Gambar 2. Epidermolisis bulosa simplex subtipe Weber-Cockayne7

2. EBS generalisata (Kobner)


EBS tipe ini timbul lebih awal pada periode perinata atau beberapa
bulan pertama kehidupan, tidak jarang dijumpai setelah lahir. Lesi kulit
cepat membaik tanpa jaringan parut dan lesi baru timbul pada daerah
yang sering terkena gesekan terutama napkin area. EBS tipe ini dapat
terjadi hingga dewasa.
Pada tipe ini, bula berisi cairan serosa tampak tegang dan tanda
Nikolsky negatif. Bula sering timbul pada cuaca panas dan bila tidak
disertai infeksi sekunder lesi cepat menyembuh tanpa meninggalkan
jaringan parut. Kelainan kuku berupa distrofi dapat dijumpai sekitar 20
%, namun pertumbuhan gigi dan rambul normal.

Gambar 2. Bula herpetiform pada EBS Dowling-Meara7

3. EBS herpetiformis (Dowling-Meara)


Tipe ini jarang ditemukan dan sering menyebabkan kematian karena
luasnya erosi yang sudah terjadi mulai dari masa neonatus. Gambaran
klinis lesi menyerupai dermatitis herpetiformis, yaitu tersusun
herpetiformis, kadang sirsiner, anular dan arsinar, berukuran besar. Lesi
dapat timbul secara spontan ataupun setelah trauma. Pada orang dewasa,
lesi jarang terjadi secara spontan sebagian besar bula terjadi karena
trauma. Lesi kulit yang menyembuh biasanya meninggalkan makula hipo
atau piperpigmentasi, jarang menimbukkan jaringan parut atau milia.
Gambar 3. Bula herpetiform pada EBS Dowling-Meara7

4. EBJ bentuk letal (gravis, Herlitz)


Herlitz merupkan tipe EBJ yang paling berat ditandai dengan bula
besar-besar di bokong, badan, dan kepala tanpa meninggalkan sikatriks
dan milia kecuali bila diikuti infeksi sekunder. Lesi pada tipe ini biasanya
tidak muncul di tangan dan kaki. Tanda khas yang dapat ditemukan pada
tipe ini ialah displasia gigi serta permukaannya berbenjol-benjol
(coblestone appearance), retardasi mental dan anemia rekalsitan.
Penyebab kematian pada tipe ini belum diketahui.

Gambar 4. Bayi dengan EBJ subtipe Herlitz7

5. EBJ Nonletal (mitis, non-Herlitz)


Pada tipe ini dimulai dengan pembentukan bula serosa atau hemoragik
saat lahir dan meninggalkan kulit yang rapuh tanpa pembentukan
sikatriks dan milia. EBJ tipe ini dapat sembuh seiring bertambah umur.
Secara umum, gejala klinis serupa dengan Herlitz, namun pada tipe ini
tidak ditemukan retardasi mental dan anemia.

Gambar 5. Gigi pasien dengan EBJ Generalized non-Herlitz7

6. EBJ Inversa
Tipe ini terjadi pada masa neonatal, klinis mirip pioderma
generalisata. Pembentukan bula lebih banyak di daerah aksila, leher, dan
perianal (inversa).
7. EBD Dominan
Pada tipe ini, bula timbul di bagian dorsal ekstremitas dan
meninggalkan bekas sikatriks disertai pembentukan milia. Bentuk ini
lebih berat dibanding EBS tetapi lebih ringan daripada bentuk EBD
resesif. Kasus ini sering terjadi saat lahir atau segera setelah lahir.
8. EBD Resesif
EBD resesif terbagi atas bentuk ringan, berat dan varian inversa. Pada
EBD resesif bentuk berat terjadi pembentuka bula diikuti pembentuka
sikatriks, serta mukosa mengalami gangguan berat. Erosi segera tampak
saat lahir, bula spontan terjadi terutama ditempat yang mengalami
trauma, misalnya kaki, bokong, skapula, muka, oksiput, siku, dan lutut.
Dijumpai tanda Nikolsky positif. Bayi mudah mengalami infeksi
sekunderdan sepsis, sehingga tipe ini paling sering menyebabkan
kematianpada neonatus atau anak akibat kurang nutrisi, kehilangan
cairan, infeksi bakteri ata penumonia.
Gambar 6. Polisindaktil pada pasien dengan EBD7

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap bertujuan untuk melihat apakah terjadi
infeksi bakteri atau virus yang menyertai EB serta untuk menyingkirkan
diagnosis banding, dengan melihat jumlah leukosit dan hitung jenis.
Darah lengkap juga digunakan untuk melihat apakah pasien sedang
menderita anemia yang biasanya ada pada pasien EBD resesif. Pada EBS
hasil laboratorium darah biasanya normal. Namun, pada EBS with
muscula dysropathy dapat dijumpai kombinasi anemia defiensi besi dan
anemia penyakit kronik. Pada beberapa kasus EBS lain bisa saja dijumpai
anemia yang biasanya berhubungan dengan pertumbuhan dan
malabsorpsi.8
2. Patologi Anatomi
Teknik biopsi jaringan pada pasien EBS sangat penting. Biopsi
sebaiknya diambil dari tepi bula yang baru. Jika biopsi dari bula yang
lama maka kemungkinan letak bula telah berubah karena regenerasi
keratinosit pada dasar bula atau karena keratinosit di atas bula. Bula baru
dapat diinduksi dengan cara menggesekkan kulit dengan jari atau karet
beberapa menit sebelum biopsi. Lebih baik digunakan teknik biopsi shave
atau elips. Biopsi shave lebih baik untuk mendapatkan bahan pemeriksaan
karena sedikit artefak. Fiksasinya cepat dan penyembuhan baik. Biopsi
plong tidak direkomendasikan karena sering kali menyebabkan
terpisahnya jaringan epidermis.9
Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop
cahaya, mikroskop elektron, serta pemeriksaan imun histokimia.
Mikroskop elektron merupakan baku emas diagnostik EB. Keuntungan
pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron ialah mampu melihat
ultrastruktur serta protein-protein di taut dermo-epidermal yang
mengalami defek sehingga dapat ditentukan klasifikasi tipe EB.1 Pada
EBD biopsi kulit menunjukkan bula sub lamina densa dan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan penurunan atau tidak
didaptkan anchoring fibril/ kolagen tipe VII pada tempat bula terjadi,
sedangkan pada tempat non bula anchoring fibril normal.1,10
Adanya kemajuan ilmu di bidang patologi, telah banyak ditemukan
antibodi untuk masing-masing target protein yang mengalami defek pada
EB sehingga dengan bantuan mikroskop imunofluoresens dapat
ditentukan klasifikasi dari EB berdasarkan target proteinnya. Pemeriksaan
ini dilaporkan memiliki sensitivitas dan spesitifitas yang lebih baik
dibandingkan mikroskop elektron (97% vs 71%) dan (100% vs 81%).10,11
3. Pemeriksaan DNA
Pemeriksaan analisis DNA menggunakan metode PCR. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk melihat adanya mutasi pada gen pengkode protein
pada DNA. DNA pasien dan kedua orang tua diambil dan diekstrak untuk
dlakukan pemeriksaan mutasi tersebut. Dengan pemeriksaan ini, berbagai
diagnosis subtipe EB dapat ditegakkan, khususnya dari kelompok dengan
penurunan autosom dominan seperti mutasi K5 dan K14 pada EBS, dan
mutasi kolagen tipe VII pada EBD subtipe dominan.11

Penatalaksanaan
1. Promotif
Penatalaksanaan promotif adalah dengan memberikan edukasi pada
masyarakat tentang apa itu epidermolisis bulosa dan bagaimana
mengenali gejala dari penyakit ini. Diedukasikan juga bagi keluarga yang
memiliki riwayat epidermolisis bulosa untuk melakukan konseling
genetik bagi yang hendak memiliki anak.1,2
2. Preventif
Tindakan preventif yang dapat dilakukan, yaitu (1) konseling genetik
bagi pasangan yang memiliki riwayat penyakit epidermolisis bulosa di
keluarganya. Pasangan diberitahukan bahwa saat ini sebagai deteksi awal
untuk melihat apakah janin menderita epidermolisis bulosa, janin viabel
atau tidak dapat diambil sampel dari vili korionik pada minggu 8-10 atau
cairan amnion pada kehamilan trimester kedua; (2) edukasi bagi eluarga
yang memiliki anak dengan epidermolisis bulosa, mengenai kondisi dan
perawatan yang diperlukan oleh anak, pencegahan trauma dengan
memakai bantalan pada ekstremitas untuk mencegah terjadinya bula, serta
nutrisi yang baik yang diperlukan oleh anak untuk mencegah terjadinya
erosi mukosa oral dan esofagus. Untuk pencegahan masalah di mulut,
kunjungan teratur ke dokter gigi sangat disarankan karena pasien dengan
EBJ dan EBD sering mengalami masalah gigi karena defek enamel.1,2
3. Kuratif
1) Medikamentosa
Pengobatan yang ideal sampai saat ini belum ada, umumnya
pengobatan secara paliatif. Sebagai pengobatan topikal dapat
diberikan kortikosteroid potensi sedang dan antibiotik bila terdapat
infeksi sekunder. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat diberikan
pada kasus yang berat dan fatal. Pemberian vitamin E juga dapat
dipertimbangkan untuk menghambat aktivitas kolagenase atau
merangsang produksi enzim lain yang dapat merusak kolagenase.
Dosis efektif 600-2000 iu/hari. Pemberian difenilhidantion 2,5-
5,0mg/kgBB/hari, dosis maksimal 30 mg/hari juga dapat diberikan
sebagai pengganti Vitamin E.2,7
2) Bedah
Tata laksana secara bedah diperlukan apabila sudah terjadi striktur
esofagus, fusi jari-jari tangan atau pseudosindaktil, dan karsinoma sel
skuamosa.1
3) Perawatan
Dokter berperan penting sebagai edukator pada keluarga pasien atau
perawat. Perawatan memerlukan kesabaran dan ketelitian, hindari
trauma dan gesekan. Jenis kain pakaian yg dipilih harus yang ringan
dan lembut. Hindari penggunaan plester sehingga mencegah
terjadinya fusi jari-jari. Bula dipecahkan dengan jarum steril yang
ditusukkan dan atapnya dibiarkan. Pada anak-anak, sebaiknya
dipilihkan jenis sepatu yang lunak dan hindari sepatu yang sempit.
Kaos kaki dari bahan katun untuk membantu menyerap keringat dan
menghindari gesekan. Hindari gosokan pada saat memandikan pasien.
Suhu lingkungan diupayakan agar cukup dingin, karena bula mudah
terjadi pada suhu panas. Bagian yang erosi diolesi krim atau salep
antibiotik, perawatan jari tangan harus hati-hati, upayakan mencegah
terjadinya kontraktur dan fusi jari-jari dengan menggunakan bidai jari-
jari tangan pada saat malam hari.1,2
4) Diet
Sebaiknya diberikan makanan tinggi kaori dan tinggi protein dalam
bentuk lunak yang mudah ditelan, terutama apabila terdapat luka di
daerah mulut. Hindari penggunaan dot pada bayi. Perlu
dipertimbangkan setiap tindakan sewaktu pemberian makanan yang
memicu gesekan sehingga menimbulkan bula.7
5) Rehabilitatif
Pasien dengan epidermolisis bulosa perlu mendapatkan perawatan
yang ketat untuk luka dan nutrisinya. Inaktivitas karena nyeri dan
pembentukan jaringan parut dapat memicu terjadinya kontraktur.
Terapi fisik diperlukan untuk mencegah terjadinya kontraktur
ekstremitas. Whirlpool therapy bisa digunakan untuk membantu
membersihkan luka, sehingga membantu penyembuhan luka.7

Prognosis
Secara umum prognosis EB baik walaupun perjalanan penyakitnya
kronis. Prognosis EBS Downling-Meara, EBS with muscular dysrtophy dan
EBS autosomal resesif kurang baik, karena ada kemungkinan terjadi kematian
pada masa bayi.4

Pembahasan
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien ini, pasien
dicurigai mengalami epidermolisis bullosa yaitu penyakit bulosa kronik yang
diturunkan secara genetik autosom.
Pada anamnesis pasien mengeluhkan kulit mengelupas di tangan dan kaki.
Keluarga mengaku sebelum terjadi pengelupasan kulit, muncul bintik air
yang kemudian pecah. Hal ini dapat dialami secara tiba-tiba, namun bisa juga
dipicu karena adanya benturan. Patofisiologi munculnya bula belum diketahui
secara pasti, namun beberapa penelitian mengatakan bula yg timbul pada
penderita EB terkait dengan trauma yang memicu respon autoantibodi pada
salah satu bagian dermal-epidermal junction. Bagian dari dermal-epidermal
junction yang mengalami proses autoantibodi menentukan jenis EB yang
dialami.
Secara klinis, pasien termasuk dalam kategori EBS tipe generalisata.
Temuan klinis yang tidak ditemukan pada pasien ini, sehingga dapat
menyingkirkan EBS tipe lain, EBJ dan EBD ialah lokasi bula, periode
munculnya bula, temuan displasia gigi, retardasi mental dan anemia rekalsitan
Jika mengacu pada EBS, patofisiologi munculnya bula pada pasien ini terkait
dengan proses autoimun terhadap keratin dan plectin yang merupakan
penyusun hemidesmosome-keratin intermediate filamen complex. Keratin 5
(K5) dan 14 (K14) serta K15 dan K17 yang terletak di basal keratinosit
mengalami mutasi yang menyebabkan terbentuknya struktur filamen keratin
interseluler yang tidak stabil, mudah rusak, dan sitolisis keratinosit dan
pembentukan bula intradermal. Plektin adalah proein yang terdapat di
membran basal pada attachment plaque/hemidesmosom yang berfungsi
sebagai penghubung filamen intermediate ke membran plasma. Pada kasus
EBS, plectin mengalami mutasi yang menyebabkan peningkatan termolabilitas
yang menjadi kondisi potensial munculnya bula. Selain itu, muncul bula pada
EBS juga dikaitkan dengan defisiensi enzim galatomsylhidroxylysyl-
glocosyltransferase dan gelatinase (enzim degradase kolagen).
Namun, idealnya bagian mana dari dermal-epidermal junction yang
mengalami proses autoantibodi sehingga menentukan diagnosis EB harus
dilakukan pemeriksaan biopsi yang kemudian hasilnya dilihat dibawah
mikroskop. Temuan klinis hanya mendukung hasil dari biopsi.
Keluarga mengaku keluhan ini sudah dialami sejak pasien bayi, usia 14
hari hingga sekarang. Munculnya bintik berisi air sering di daerah sendi.
Pasien mengaku kulit yang mengelupas tidak gatal. Kulit yang mengelupas
dapat berkembang menjadi luka dan lama kelamaan menjadi hitam. Luka ini
tidak sembuh melainkan membekas tanpa disertai jaringan parut. Keluhan
nyeri baru dirasakan jika sudah terbentuk luka. Riwayat alergi disangkal.
Pada pemeriksaan status dermatologis tampak makula hipopigmentasi
tertutup krusta tebal, batas tidak tegas, tepi ireguler, jumlah multiple, susunan
konfluens dan distribusi generalisata. Berdasarkan literatur, pada usia berapa
mulai terbentuk bula dan predileksi munculnya bula dapat mendukung
diagnosis EB. Keluhan nyeri yang timbul merupakan respon mediator
inflamasi akibat bula pecah yang menimbulkan luka.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan IgE total dan masih menunggu hasil.
Pemeriksaan IgE total bertujuan untuk mengukur kadar antibodi IgE di dalam
darah. IgE merupakan antibodi yang dihasilkan sistem imun dan berperan
dalam melawan zat sebagai ancaman bagi tubuh. Peningkatan IgE di dalam
darah dapat menunjukkan adanya suatu reaksi alergi ataupun infeksi parasit.
Sebaliknya, jika terjadi suatu proses autoimun kadar IgE cenderung turun.
Pemeriksaan IgE pada pasien ini dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding tersebut, dengan harapan kadar IgE total menurun.
Baku emas pemeriksaan yang dianjurkan untuk penegakan diagnosis EB
ialah biopsi yang kemudian diinterpretasi menggunakan mikroskop
imunofluoresens. Pada pasien, pemeriksaan ini tidak dilakukan karena
keterbatasan biaya.
Terapi yang diberikan untuk mengurangi inflamasi pada pasien ialah
injeksi Dexametason, merupakan golongan kortikosteroid yang dapat
menghambat fosfolipase A2 sehingga tidak terbentuknya mediator inflamasi
seperti leukotrien dan prostaglandin. Selain itu, obat ini dapat melewati
membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid di sitoplasma
sehingga dapat berikatan dengan DNA, menyebakan modifikasi transkripsi
dan sintesis protein. Akibatnya, infiltrasi leukosit terhambat, mediator
inflamasi terhambat, dan edema jaringan berkurang. Pemberian kortikosteroi
injeksi menjadi pilihan karena distribusi lesi yang bersifat generalisata.
Pasien diberikan salep Gentamisin sulfate 0,1 %, merupakan antibiotik
golongan aminoglikosida yang menghambat pertumbuhan kuma-kuman
penyebeb infeksi kulit, baik itu infeksi primer maupun sekunder. Salep ini
bersifat bakterisidal yang dapat mehambat sintesi protein pada bakteri yang
rentan. Pada pasien, pemberian salep ini untuk mengurangi infeksi pada kulit
yang luka.
Pasien diberikan terapi berupa krim Topicare Ceramide, yaitu krim yang
mengandung salix alba bark extract, aloe berbandesis leaf extract, asam
hialuronat dan ceramid. Krim ini bertujuan untuk meningkatkan kelembapan
pada kulit kering, mengurangi rasa gatal pada kulit kering dan iritasi, serta
mencegah kerusakan kulit akibat kekeringan. Pemberian krim ini pada pasien
diharapkan dapat meningkatkan kelembapan kulit pada daerah kulit yang
mengelupas sehingga mengurangi resiko muncul lesi sekunder yang
meningkatkan kejadian infeksi.

Anda mungkin juga menyukai