Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

Disusun Oleh:

Oleh:
M Nia Anugrawati
19360114

Pembimbing:
dr. Astri Pinilih, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT BINTANG AMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHATI
BANDAR LAMPUNG
2019
BAB II
ANALISA KASUS

Kasus:
Pasien datang ke IGD RSPBA diantar oleh keluarganya pada tanggal 24
November 2019 pukul 08.00 WIB. Pasien mengeluhkan mual muntah sejak 4 hari
yang lalu. Muntah disertai darah (+), nyeri ulu hati seperti rasa terbakar, BAB
normal, demam (-), tidak mau makan dan minum disertai keluhan lemas. Os
mengatakan mempunyai kebiasaan setelah makan langsung tidur 5 hari yang lalu.
Os mengatakan belum pernah sakit seperti ini sebelumnya.

2.1. Definisi
Refluks Gastroesofageal (RGE) (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi
disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi
lambung ke dalam esofagus. Makanan yang kembali dari lambung ke esogafus
tersebut, mungkin masuk kembali ke dalam lambung atau dikeluarkan melalui
mulut menyerupai “muntah”.1 Refluks ini secara klinis dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu refluks fisiologis dan patologis. Refluks fisiologis dapat terjadi
berulang-ulang sepanjang hidup, terutama pada anak, tetapi umumnya tanpa
mengakibatkan suatu kelainan yang berarti, sedangkan refluks patologis dapat
mengakibatkan berbagai kelainan respiratorik akibat aspirasi asam lambung.
Refluks yang terjadi patologis ini dinamakanl Gastroesophageal reflux disease
(GERD)2

2.2. Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Sementara di
Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini, namun di
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.
RGE dapat terjadi pada semua usia, dengan prevalens tertinggi pada bayi
kemudian menurun dan menghilang pada usia 12-15 bulan.2
Refluks gastroesofageal fisiologis biasanya terjadi setelah makan (33%
pada dua jam pertama setelah makan), dan kadang-kadang terjadi ketika tidur.
Refluks gastroesofageal yang patologis, GERD jarang terjadi yaitu (0,3% dari
seluruh refluks, umumnya terjadi dua jam setelah makan ) , dan sebagian kecil
terjadi ketika tidur.2,11
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan
wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1. GERD pada negara
berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD.

2.3. Anatomi dan Fisiologi


a. Faring
Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring dan
Laringofaring. Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktu
menelan, resonansi suara dan artikulasi. bagian faring yang digunakan saat
menelan adalah orofaring dan laringofaring.

b. Esophagus .
Esofagus bertemu dengan faring – yang menghubungkan esofagus dengan
rongga mulut pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus
dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah otot
rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian
inferior (terutama terdiri dari otot halus).
Esofagus merupakan suatu organ berongga dengan panjang sekitar 25
cm dan diameter 2 cm. Terbentang dari hipofaring atau laringofaring hingga
bagian kardia dari lambung. Esofagus terletak posterior dari trakea dan
jantung, anterior terhadap vertebrae. Esofagus terutama berfungsi
menghantarkan bahan makanan dari faring ke lambung.

Pada Esofagus terdapat beberapa tempat penyempitan yang dapat


dilihat pada saat dilakukan esofagoskopi. Penyempitan di bagian proksimal
disebabkan oleh otot krikofaring dan kartilago krikoid. Diameter transversal
23 milimeter dan antero-posterior 17 milimeter.3
Penyempitan kedua adalah pada sebelah kiri setinggi arkus aorta yang
mentilang esofagus. Didaerah ini dapat terlihat pulsasi aorta saat di lakukan
esofagoskopi. Penyempitan ketiga adalah pada dinding anterior kiri yang
disebabkan oleh penekanan bronkus kiri. Dan penyempitan keempat adalah
pada saat esofagus menembus diafragma.3
Pada kedua ujung esofagus terdapat sfingter. Dalam keadaan normal
berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada saat menelan. SEB
(Sfingter esofagus bawah) berfungsi sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke esofagus. Dalam keadaan normal SEB menutup kecuali bila
makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bersendawa atau muntah.
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, mukosa, submukosa,
muskularis dan lapisan luar. Mukosa esofagus terbentuk dari epitel berlapis
gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel ini mengalami perubahan
pada perbatasan esofagus dan lambung dan menjadi epitel selapis toraks.
Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkalis dan tidak tahan
terhadap isi lambung yang asam. Lapisan submukosa mengandung sel
sekretorius yang mengandung mukus. Mukus ini mempermudah jalannya
makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera kimia.
Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun
sirkular. Otot pada 5 % bagian atas esofagus merupakan otot rangka
sedangkan pada separuh bagian bawahnya merupakan otot polos. Dan
diantaranya campuran otot polos dan otot rangka. Bagian luar esofagus tidak
memiliki lapisan serosa, melainkan terdiri dari lapisan jaringan ikat jarang
yang menghubungkan esofagus dengan struktur yang berdekatan. Tidak
adanya serosa menyebabkan penyebaran sel tumor lebih cepat.
Persyarafan esofagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis.
Serabut simpatis dibawa oleh n.vagus yang merupakan saraf motorik esofagus.
Fungsi serabut simpatis kurang diketahui. Selain persarafn ekstrinsik tersebut,
terdapat serabut saraf intramural intrinsik diantara lapisan otot sirkular dan
otot longitudinal (pleksus auerbach) yang berfungsi sebagai mengatur
peristaltik normal esofagus.
Bagian atas esofagus diperdarahi oleh cabang A. tiroidea inferior dan
A. subklavia. Bagian tengah dipendarahai oleh cabang segmental aorta dan A.
Bronchiale, sedangkan bagian subdiafragma disuplai oleh A. Gastrica sinistra.
Vena esofagus daerah leher mengalirkan darah ke v. azygos dan hemiazygos
dan dibawah diafragma V. esofagika ke dalam V. gastrika sinistra.
c. Menelan
Terdapat tiga fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase
esofageal. Pada fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring.
Gerakan disini disengaja atau volunter. Fase faringeal yaitu pada waktu
transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja, yaitu
pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju
lambung atau fase esofageal.
 Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan yang telah dikunyah membentuk bolus makanan. Bolus ini
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah
akibat kontraksi otot intrinsik lidah.7
Kontraksi dari m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada
lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas
dinding posterior faring ternagkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat keatas. Berasamaan dengan ini terjadi penutupannasofaring
sebagai akibat dari kontraksi m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi
kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke
rongga mulut.
 Fase Faringeal
Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpidahan
bolus makanan dari faring ke esofagus.
Faring dan laring bergerak keatas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfingofaring, m.tirohioid, dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup oleh
epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan pika vokalis tertutup karena kontraksi dari m.ariepiglotika
dan m.aritenoid obliquus. Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian
udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus
makanan tidak akan sampai masuk ke dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus
makanan akan meluncur ke arah eofagus, karena valekula dan sinus piriformis
sudah dalam keadaan lurus.7

 Fase Esofageal
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus tertutup, namun dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus
makanan bisa masuk.7
Setelah bolus lewat, maka SEA akan berkontraksi lebih kuat melebihi
tonus introitus esofagus saat istirtahat, sehingga makanan tidak akan kembali
ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.7
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya
bolus makanan akan didorong ke distal oleh peristaltik esofagus.7
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata2 8 mmHg lebih dri tekanan dalam lambung sehingga
tidak akan terjadi regurgitasi. Pada akhir fase esofageal, SEB ini akan terbuka
secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk
mendorong makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat,
maka sfingter ini akan menutup kembali.7

2.4. Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan
fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan
esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower
Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus,
resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum,
baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan
cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung
merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak
asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan
kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan
penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir
selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada
tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient
sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses
menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi
kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat
memperberat keadaan.Faktor hormonal, makanan berlemak, juga
menyebabkan turunnya tonus LES.5
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme,
yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik
oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid
clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula
peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat
mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk
sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus
sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang
masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya gravitasi
dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling
merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu,
salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu
peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di
esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses
pembersihan tersebut.5
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks
mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan
tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien
GERD.5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada
keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya
refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya
pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan refluks
tadi.5
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis
dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.

2.5. Patofisiologi
Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih
pada disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus. 7
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang
cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga
akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun
kontak dengan refluksat tidak terlalu lama.4 Selain itu penurunan tekanan otot
sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol
juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.3
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan
oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan
dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau
retrogard (muntah atau sendawa).4
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah.3,4Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus
bawah.3 Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. 4Sedangkan
pada orang normal 25-35 mmHg.7
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus
bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan
intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus
dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika
isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring,
laring, mulut atau nasofaring.3
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat.4 Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:

Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Menurunnya
tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi
peningkatan tekanan intraabdomen.4
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal.
Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain :3,4
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan
lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat
menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa
pada kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh
terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat
spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada
beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan
lambung dan dilatasi lambung.3,4
Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena
banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak
menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan
tonus SEB.4

Bersihan asam dari lumen esofagus


Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar
bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus4
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu
bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan
makin besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD
memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya
refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal4
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak
aktif4

Ketahanan Epitelial Esofagus.


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus untuk melindungi mukosa esofagus4
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari4 :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H + dan
Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel
esofagus. Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel
terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak
refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan
mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam
empedu, enzim pancreas.4
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2,
atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling
memiliki daya rusak tinggi.4
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain :
dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan
lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD
relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang.4
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab
GERD. Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari
lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster.
Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB.
Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah
refluks.9
Peran Sfingter Atas Esofagus
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke
larinofaring.Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi
terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA
menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.10

Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus(7)


Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus.
Mekanisme tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus
proximal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring
dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang
menyebabakan spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan
inflamasi pada faring dan laring.

2.6. Manifestasi Klinik


Gejala klinik tipical yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak seperti
terbakar di epigatrium atau retrosternal bagian bawah, kadang-kadang bercampur
gejala disfagia, mual/regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Gejala tersebut muncul pada
orang dewasa. Pasien anak dengan refluks gastroesophageal (RGE) biasanya
menangis dan gangguan tidur serta penurunan nafsu makan. Berikut ini adalah
beberapa dari tanda-tanda umum dan gejala refluks gastroesofagus pada populasi
anak-anak:11
Tanda dan gejala gastroesophageal reflux pada bayi dan anak kecil :
 Kurang nafsu makan
 Muntah
 Mengi (wheezing)
 Nyeri perut / dada
 Sakit tenggorokan
 Batuk kronis
 Suara serak / laringitis
Tanda dan gejala pada anak yang lebih tua - Semua yang diatas, ditambah
heartburn dan riwayat muntah, regurgitasi, gigi tidak sehat, dan mulut berbau
(halitosis).11
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma 3. Manifestasi non
esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma,
pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay). 6
Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena
penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB misalnya theofilin.6
Sedangkan Gejala yang sering ditemukan pada kasus RGE adalah gagal tumbuh
kembang (failure to thrive). Gagal tumbuh kembang ini terjadi karena ‘muntah’ yang
berat dan terus menerus sehingga makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan bayi
terbuang percuma.1 Gejala klinis biasanya hanya ‘muntah’ tidak projektil, sehingga
kebanyakan orang tua menganggapnya suatu hal yang normal, dan tidak merisaukan
keadaan bayinya kecuali jika ‘muntah’ nya terus menerus. Gejala klinis lainnya yaitu
adanya infeksi paru berulang tanpa adanya gejala muntah yang menonjol.1

2.7. Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien
GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux disease
(NERD).7
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala
heartburn atau regurgutasi memang karena GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya
pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
a. Klasifikasi Los Angeles4
Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa
saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi seuruh
lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/ mengelilingi
seluruh lumen esofagus.

Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan.Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada beberapa kasus, pemeriksaan
memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan hiatus
henia.2,4
Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus.Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal.ph dibawah 4 pada
jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.3,4
Pemantuan pH esofagus (pH metri): meski hasil pemeriksaan kadangkala tidak
--berkorelasi dengan beratnya gejala klinis/komplikasi, tetapi pH metri masih
digunakan untuk mendeteksi GERD asam. Nilai indeks refluks (IR) 5-7% normal,
IR < 4 sangat asam, IR > 8 patologis dengan kemungkinan terjadi esofagitis.9

Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada
pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri.Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan
pada esofagus4.

Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.3,4

Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut.
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4
Tes supresi asam
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari
GERD.Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat
respon yang terjadi.Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti
endoskopi dan ph metri tidak tersedia.Tes ini dianggap positif jika terdapat
perbaikan dari 50-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah
satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan
kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB
turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga
dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.4
Diagnosis Refluks Ekstraesofagus
Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai
riwayat penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan tes
diagnosis. Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada esofagus bagian
atas (minimal 1 probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik,
videolaringoskopi, video stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan
pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks ekstraesofagus.4

2.8. Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi
pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis,
Striktura esofagus dan esofagus Barret7,9.
 Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari
50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara
lambung dan esophagus.9
 Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat
refluks.9 Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada
gastroesophageal junction.Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang
bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat.Seringkali
keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier
refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm.
Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat
dilakukan operasi.7
 Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti
menjadi epitel kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor
Adenokarsinoma esophagus.7 Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien
GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan
regurgutasi.Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini
diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan
tampaknya segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna
kemerahan meluas ke proksimal melampaui “gastroesophageal junction” dan
tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan mengkilat dari
esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa.7

2.9. Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi
modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-
akhir ini mulai dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.4,5.

Modifikasi gaya hidup


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun
demikian bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini bertujuan untuk
mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan.4,5
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan
sebelum tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung
selama tidur serta mencegah refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada
tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di
makan karena dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk
mengurangi tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, teh kopi dan minuman
soda karena dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memungkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam,
antagonis kalsium, progesteron.
Terapi Medikamentosa
Terapi obat dalam penatalaksanaan GERD antara lain: golongan penghambat
pompa proton (proton pump inhibitors, PPIs) dan penghambat H2 [H2 blockers
atau antagonis reseptor H2 (H2-receptor antagonists, H2RAs) dan obat
prokinetik.
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk menetralisir asam lambung, obat ini juga
dapat memperkuat tekanan SEB.4,5 Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya
kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium
serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu
penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal.Dosis
sehari 4x1 sendok makan. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat),
obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung, melainkan berefek
pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di
esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman karena bersifat topical..3,4

Antagonis Reseptor H2
Obat ini akan menghambat sekresi asam lambung yang dihasilkan oleh
reseptor histamin tetapi tidak memiliki efek pada sekresi asam yang dihasilkan
asetilkoli atau gastrinObat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD, yang
termasuk obat golongan ini adalah ranitidin, crimetidin, famotidin dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis
untuk terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang
berat, misalnya dengan barrett’s esophagus.5
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi.4

Obat prokinetik
Obat ini berfungsi untuk meningkatkan tekanan tonus SEB dan mempercepat
pengosongan gaster.
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan
dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan
antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid)
hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek
sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan
lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)


Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan
drug of choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir
proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis
erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H2. Obat-obat PPI
adalah omeprazole dan lansoprasol yang penggunaannya telah diizinkan FDA
pada pasien anak.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung
esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan
prokinetik.

Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar,
pasien GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan
mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s
esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan
adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil
yang tidak memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi
modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan
yang dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5

Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil.
Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama.Teknik
operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah
memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan
cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.12
Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi
medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI,
Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada
pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan
pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam
lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang terbukti
secara histologis menderita esofagus barret.

Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir
ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu,
penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi
endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian
distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.4
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal
pasien suspek GERD dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat
untuk terapi medic.10

2.10. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan membaik dengan pengobatan,
walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi
medis yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi,
penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi
pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya baik.Meskipun begitu,
mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah
medis yang kompleks.
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta


2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan
endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten
sedang di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited March 8 2016.
Available :http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1,
Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From
pathophysiology to treatment.World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30):
3745-3749.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S,
editor, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007
7. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009
8. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M,
Tedjasaputra.2013. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit
refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease/ GERD) di
Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
9. Pudjadi, Antonius.Ikatan Dokter Anak Indonesia cetakan pertama jilid II.2011
10. Kemenkes RI. Pedoman Interpretasi Data Klinik.Kemenkes.2011
11. Jaksic T. Pediatric Gastroesophageal Reflux Surgery Treatment and
Management.2010.http://emedicine.medscape.com/article/936596-treatmenta

Anda mungkin juga menyukai