Dokumen - Tips - Referat Dermatitis Kontak Alergi
Dokumen - Tips - Referat Dermatitis Kontak Alergi
Kelompok 4
Tutor : dr. Susiana Candrawati, SpKO
Anggota Kelompok :
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012
1
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok 5
Imelda Widyasari Situmorang G1A011002
Fiska Praktika Widyawibowo G1A011010
Yefta G1A011066
Previasari Zahra P G1A011068
M Haris Yoga I G1A011069
Dzurratun Naseha G1A011076
Daniel Pramandana Lumunon G1A011081
Aulia Tri Puspitasari Widodo G1A011085
Elena Wandantyas G1A011100
Kania Kanistia G1A011114
Ika Suhartati G1A008009
ii
2
DAFTAR ISI
Judul.....................................................................................................................i
Halaman Pengesahan..........................................................................................ii
Daftar Isi..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Tujuan.....................................................................................................2
BAB II ISI...........................................................................................................4
A. Definisi....................................................................................................4
B. Etiologi dan Predisposisi.........................................................................4
C. Patofisiologi ...........................................................................5
D. Penegakan Diagnosis .............................................................................9
1. Anamnesa..........................................................................................9
2. Pemeriksaan Fisik.............................................................................10
3. Pemeriksaan Penunjang....................................................................14
4. Gold Standard Diagnosis ..................................................................19
E. Penatalaksanaan......................................................................................20
F. Prognosis.................................................................................................21
G. Komplikasi..............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................24
iii
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema,
edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda
polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya
beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis
(Sularsito, dkk, 2011).
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan
atau substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis
dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis
kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun kronik.
Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik,
sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang
yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk,
2011).
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih
sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin
bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung
bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi mengenai
prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga
berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat (Sularsito, dkk,
2011).
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak
80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi
yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan dari satu penelitian
ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering dari
4
pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia tidak mempengaruhi
timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui pada anak-
anak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki.
Bangsa kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain
(Sumantri, dkk, 2005).
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang
belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat
menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya
(sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya
potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah yang terkena,
lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan
pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak
(keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik
(misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari) (Sularsito, dkk,
2011).
Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA
bertujuan untuk menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi
bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen
(dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau terpajan oleh
alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan penderita) dapat
menyebabkan prognosis menjadi kurang baik. Oleh karena itu penting
untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat menurunkan
morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA.
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Dermatitis
Kontak Alergi
2. Mengetahui etiologi dan predisposisi pada penyakit Dermatitis Kontak
Alergi
3. Mengetahui patofisiologi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
5
4. Mengetahui penegakan diagnosis pada penyakit Dermatitis Kontak
Alergi
5. Mengetahui penatalaksanaan pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
6. Mengetahui prognosis pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
7. Mengetahui komplikasi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi
(Siregar, 2004).
B. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling
sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000
Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami
sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya
poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung
urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl
cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam),
potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin
(cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
2. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.
Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
7
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi
C. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia
yang sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus
lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
8
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening
yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali
konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya
sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh
limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan
fase elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini
akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα,
leukotrien, IFNγ, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang
mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan
menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti
dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh
alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan
beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus,
kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya
vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang
mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau
ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel
lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang
berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki
rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).
9
Skema Patogenesis DKA
Sitokin akan
Difagosit oleh sel memproliferasi sel T
Langerhans dengan dan menjadi lebih
pinositosis banyak dan memiliki
sel T memori
Hapten + HLA-DR
Membentuk antigen
Beredar ke seluruh
tubuh
Dikenalkan ke limfosit
T melalui CD4
Individu tersensitisasi
2-3 minggu
10
Fase Elitisasi (II)
24-48 jam
Pajanan ulang
Sel T memori
11
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat
dan pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal
(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami,
riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik
12
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi
dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel
2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam
tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen
(Sularsito, 2010).
13
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum
dapat diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada
beberapa gambar berikut :
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada
bibir
14
Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta
bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis
pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada
emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada
dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian
leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan
plastik
15
vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat
eritema
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
16
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi
(Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut
dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak
mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila
pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi,
maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut
yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn
chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5
sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi (Sularsito, 2010).
17
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau
‘excited skin’ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.
18
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)
T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.
19
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi
tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).
b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,
kulit normal tidak perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X
volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi
20
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini
ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan
spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema
21
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa
bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal
dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh
karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan
bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).
E. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan
infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM)
sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09
mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak – anak untuk menghilangkan
rasa gatal
b. Sistemik
22
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
23
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku
menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga
menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan
kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen
simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
26