Anda di halaman 1dari 47

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Bakteri pada Unggas


Collibacilosis
Colibacillosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Escherichia
coli (E.coli). Pada unggas, infeksi E.coli dapat menyebabkan penyakit seperti
omphalitis, air sacculitis, peritonitis dan salphingitis. E.coli tergolong Gram
positif, tidak tahan asam, motil, memfermentasi laktosa, merupakan basil yang
tidak membentuk spora, berbentuk batang dengan ukuran 0,5x1.0-3.0 mikrometer.
E.coli mudah ditumbuhkan pada berbagai media laboratorium. Biakan di atas
media padat berbentuk granular halus (dengan diameter 1-3 mm) yang menjadi
kasar bila umur biakan menjadi bertambah tua. Pada medium agar Mac Conkey
pertumbuhan E.coli berwarna merah dadu. Dalam media cair pertumbuhannya
ditandai dengan kekeruhan dan adanya endapan dibagian bawah tabung.
Colisepticemia dapat menyerang ayam pada berbagai tingkatan umur, tetapi
biasanya menyerang ayam petelur berumur 3-5 minggu. Selain menyerang ayam,
colisepticemia juga dilaporkan dapat menyerang kalkun, dan itik.
E.coli tidak tahan terhadap keadaan kering atau desinfektan biasa. Kuman
inimati pada suhu 60°C selama 30 menit. Bakteri E.coli keluar bersama feses
daritubuh dalam jumlah besar dan mampu bertahan untuk beberapa hari sampai
beberapa minggu. Secara individual sel bakteri ini mampu bertahan sampai 6
bulan dalam es. Faktor-faktor predisposisi untuk timbulnya colibacillosis antara
lain infeksi CRD dan IB. Diketahui bahwa adanya infeksi dengan virusND juga
merupakan salah satu faktor predeposisi infeksi E.coli. Penyakit dapat
berkembang cepat dengan derajat kematian yang tinggi. Colibacillosis mempunyai
dampak yang penting dalam industri perunggasan, karena menyebabkan adanya
gangguan pertumbuhan, penurunan produksi, peningkatan jumlah ayam afkir,
penurunan kualitas karkas dan telur, penurunan daya tetas telur dan kualitas anak
ayam, dan menyebabkan mudahnya terjadinya kompleks penyakit yang
melibatkan sistem pernafasan sistem pencernaan atau sistem reproduksi yang sulit
untuk ditanggulangi.
Fowl Typhoid

Fowl typhoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri


Salmonella enterica subspecies enterica serovars Gallinarum biovars Gallinarum.
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada unggas semua golongan umur.
Penyebaran penyakit dapat melalui vertikal maupun horizontal. Penularan secara
vertikal dapat ditularkan dari induk ke anaknya melalui telur (egg transmitted),
sedangkan penularan secara horisontal terjadi secara oral atau respirasi
(Kementan, 2014)

Morfologi bakteri Salmonella mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut


berbentuk batang atau silindris. bersifat gram negatif berkembang biak dengan
cara membelah diri. Salmonella gallinarum juga memiliki faktor virulensi berupa
antigen O dan antigen H (Sannat et al., 2016)

Gejala klinis penyakit fowl typhoid ditandai dengan adanya septicaemia,


anemia, depresi, kesulitan bernafas, dan diare yang tidandai dengan adanya feses
yang menempel pada sekitar lubang kloaka. Penyakit pada unggas dewasa bersifat
akut septicemia. Lesi yang ditimbulkan pada hati dapat berupa pembengkakan,
rapuh, dan berwarna seperti empedu tanpa adanya fokal nekrosa. Pembengkakan
juga terjadi pada limpa dan ginjal, anemia serta enteritis (OIE, 2018)

Salmonella pullorum merupakan diagnosa banding utama karena gejala


yang ditimbulkan hampir sama. Pencegahan dapat dilakukan dengan
meningkatkan biosekuriti. Sama seperti infeksi Salmonella yang lain, unggas yang
sembuh dapat menjadi pembawa penyakit (carrier). Vaksin fowl typhoid dapat
berupa vaksin inaktif dan vaksin killed. Eliminasi reaktor positif pullorum dapat
menurunkan infeksi S.gallinarum. Evaluasi serologis untuk mengetahui kejadian
penyakit tersebut pada parent stock perlu dilakukan secara rutin (Kementan,
2014)

Pullorum

Salmonella pullorum termasuk dalam keluarga bakteri enterobacteriae dan


sangat tinggi adaptasinya terhadap host (inangnya). Bakteri ini tergolong dalam
serogroup D sesuai dengan skema kauffman-whiite. Umumnya strain dari
Salmonella pulorum sama pada level kromosom. Penyakit pullorum sudah sejak
lama tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia pullorum sering ditemukan terutama
di daerah yang banyak memelihara ayam ras, dengan angka kematian tertinggi
pada anak ayam yang baru menetas (Wigley et al., 2001).

Hewan-hewan yang rentan adalah ayam, kalkun, selain itu juga burung
gereja, itik, angsa, merpati, burung puyuh, termasuk juga burung liar. Faktor-
faktor predisposisi seperti udara kotor, sistem sanitasi yang tidak merata,
penyediaan makanan yang tidak baik, dan penyakit-penyakit lain pada waktu
bersamaan. Banyak menyerang pada anak ayam yang baru menetas dengan angka
morbiditas mencapai lebih dari 40% dan angka mortalitas tinggi dapat mencapai
85-100%. Pullorum lebih banyak menyerang pada anak ayam yang baru menetas
terutama pada umur minggu ke-2 dan ke-3, namun penyakit juga dapat menyerang
semua umur ayam (Barrow etc, 2011)

Cara penularan pullorum dapat terjadi melalui secara vertikal atau


kongenital yaitu penularan dari induk ayam betina kepada anaknya melalui telur,
secara horizontal penularan terjadi melalui kontak langsung yaitu antara unggas
yang secara klinis sakit dengan ayam carrier atau ayam sehat, secara tidak
langsung dapat terjadi melalui oral yakni melalui makanan dan minuman yang
tercemar, peralatan, kandang, litter dan pakaian, dari pegawai kandang yang
terkontaminasi. Secara aerogen, biasanya penularan terjadi dalam mesin tetas
melalui debu, bulu-bulu anak ayam, pecahan kulit telur, dan sebagainya.

Masa inkubasi penyakit pullorum berkisar 1 minggu. Gejala penyakit


yang terlihat pada ayam ialah kelihatan mengantuk (mata menutup), jengger
kebiruan, bergerombol, pada suatu tempat dan nafsu makan berkurang. Pada
umumnya memperlihatkan diare putih atau coklat kehijau-hijauan dan terdapat
gumpalan seperti pasta di sekitar kloaka disertai kelemahan kaki, sayap
menggantung kusam, lumpuh karena arthritis, dan nampak sesak nafas. Terjadi
pembengkakan pada sendi merupakan gambaran umum pullorum. Ayam-ayam
yang tahan hidup mengalami hambatan pertumbuhan. Pada ayam dewasa gejala
penyakit sukar dilihat, tetapi kadang-kadang terlihat adanya tanda-tanda depresi,
kekurusan, anemia, diare, dan produksi telur menurun (OIE, 2008).

Sedikit diketahui patogenesis penyakit pulorum, kemungkinan sehubungan


dengan tingginya kesuksesan dalam pembasmian penyakit tersebut. Ragamnya
bakteri salmonella, termasuk S pullorum yang mampu bertahan dan
bermultiplikasi dalam macam-macam organ sehubungan dengan tidak diketahui
mekanisme kontrol meliputi sistem retikuloendotelial. Lebih lanjut , S. pulorum
menunjukkan terget organnya pada bursa fabrisius terlebih dahulu untuk
mengeluarkan respon inflamasi di dalam usus halus anak ayam. Faktor molekuler
dari sifat patogen seperti adanya respon plasmid terhadap virulens dan faktor
virules seperti gene palsmid virulens dan gene invasi serta gen fimbrial. Virulens
merupakan kemampuan relatif dari parasit yang menyebabkan penyakit, faktor
ukurannya adalah daya invasi dan daya racunnya (toxicity). Salmonella umumnya
menggunakan kombinasi toksin dan factor virulens lainnya untuk meningkatkan
sifat patogenitasnya yaitu paling sedikit ada tiga macam toksin yaitu :
enterotoksin (AB) menghambat sintesis protein dan mengakibatkan diare,
endotoksin, cytotoksin (CT) : mengakibatkan hilangnya larutan dari sel, reaksinya
2+
diikuti dengan kehilangan Ca dari sel. Invasi bakteri menentukan sifat adhesi
atau sifat melekatnya bakteri pada permukaan sel. Faktornya adalah adanya
antigen O Polysacharida pada 9 permukaan sel. Dan antigen H pada flagelanya.
Adanya fimbria/flagella juga meningkatkan sifat adhesinya. Antigen vi capsule
(polysacharida) menghambat ikatan pelengkap dan membunuh media antibody.
Gen Inv salmonella sedikitnya terkode 10 macam protein yang berbeda dalam
inangnya masing-masing seperti : InvH, InvC, InvG, InvI, dan InvJ, dll. Gen
OxyR menetralisir oksigen racun yang dikeluarkan oleh makrofag, sehingga
salmonella dapat hidup didalam sel makrofag. Gen phoP dan phoQ menetralisir
molekul antimikroba dari makrofag yaitu defensin dan menetralisis produk
lainnya. Siderosphore, protein pengikat besi untuk rekasi pertama kali saat
menginfeksi sel. Siderophores dalam tubuh inang akan bersaing dalam
memanfaatkan besi yang juga dibutuhkan dalam pembentukan darah dan
pertumbuhan sel. Hal ini yang mendukung sifat adherencenya meningkat saat
memasuki dan menempel pada permukaan sel inangnya. Reaksi pengikatannya
seperti pada gambar dibawah ini. Lipopolisacharida yang terdapat pada
permukaan sel bakteri juga mengandung antigen O yang spesifik, pada bagian
corenya terdiri dari ketoxyoctonate (KDO), 7 gula carbon (heptosa), glukosa,
galaktosa, dan N asetylglusamin (Eckmann etc, 2001).

Prosedur manajemen yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian


pullorum sebagai berikut : Ayam yang dihasilkan dari sumber yang bebas dari
pullorum, tidak ada pencampuran kelompok unggas yang bebas pullorum dengan
kelompok unggas yang dinyatakan bebas fowl typoid, sanitasi kandang dan
lingkungan, menggunakan pakan berbentuk pellet atau crumble untuk mengurangi
infeksi salmonella dalam pakan, menggunakan program biosecurity untuk
meminimalkan masuknya salmonella dari luar seperti : burung liar, tikus, kelinci,
anjing, dan kucing. Pengontrolan serangga, menggunakan air minum portable,
menggunakan 18 footwear dan pakaian yang selalu distrerilisasi saat masuk
kandang, perlengkapan, truk prosesing dan perlatan lain juga harus disterilkan dari
infeksi salmonella. Usaha pencegahan lainnya yaitu pengurangan ewan carriers
dan melakukan uji tes serologis pada kelopok hewan yang diduga terinfeksi
salmonella pullorum (OIE, 2008)

Pengambilan sampel dilakukan untuk menguatkan diagnosa apabila pada


pengujian pullorum di lapangan didapatkan hasil reaksi positif atau dubius. Dalam
hal ini sampel yang dikirim adalah ayam dalam keadaan hidup minimal 6 ekor.
Bila dijumpai kasus akut pada ayam muda atau dewasa di lapangan, dalam hal ini
yang dikirim adalah bangkai segar dalam keadaan dingin. Bila pengiriman
bangkai segar masih tidak mungkin dilaksanakan, maka sebagai gantinya dapat
beberapa organ tubuh, seperti jantung beserta pericard dan isinya, hati berikut
kantong empedu yang sudah dikeluarkan isinya, limpa, pancreas, ovarium, saluran
telur dan testis, usus dengan isinya. Organ-organ tubuh tersebut diambil secara
aseptic dimasukkan dalam botol steril dimasukkan ke dalam termos berisi es, atau
dimasukkan dalam botol yang berisi phosphate buffer glycerin atau glycerin NaCl
fisiologis dengan volume sama banyak. Selain organ tubuh tersebut yang perlu
dikirim juga adalah dinding tembolok, duodenum, dan bagian usus lain berikut
isinya serta tonsil caeca. Bersamaan dengan pengiriman organ-organ tersebut
harus juga dikirim darah dan serum secara terpisah yang berasal dari hewan-
hewan sekandang sejumlah 10% atau lebih dari populasi dan diambil sampel
diambil secara acak.

Pullorum tumbuh cepat pada media beef agar atau beef broth atau media
nutrien lainnya. Bakteri tersebut adalah aerobik dan anaerobik fakultatif dan
tumbuh baik pada suhu 37 oC. Salmonella pullorum kadang-kadang juga gagal
untuk tumbuh pada media selektif yang sudah pasti seperti Salmonella–shigela
tetapi tumbuh secara nyata diatas agar bismuth sulphite dan MacConkey agar.
Samonella tersebut tumbuh pada medium non selektif dan medium selektif yang
kaya nutrien akan mengandung bahan-bahan yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain. Untuk efisiensi digunakan media selektif dan non selektif
karena beberapa media mempunyai efek inhibitory tertentu dan bakteri ini
bervariasi dalam koloninya.

Media noninhibitory termasuk NA dan BA, koloni akan tampak halus,


transparan, tipis, dan diameternya kurang lebih 2 mm. Media-media selektif
seperti : MacConkey agar menghambat organisme nonenterik, membedakan
bakteri yang memfermentasi laktosa, (berkoloni merah muda) dan yang tidak bisa
memfermentasi laktosa (tidak berwarna). NaCl yang terkandung dapat
menghambat koloni bakteri proteus. Koloni salmonella halus dan tak berwarna.
Agar desoxycholate citrate menghambat mikroorganisme nonenterik, Pullorum
akan nampak berkoloni sangat kecil dan tumbuh tipis. Bakteri proteus dapat
tumbuh seperti pseudomonas. Agar brilliant green menghambat coliform dan
hampir semua strain proteus, baik untuk membedakan koloni mikroorganisme
enterik. Agar brilliant green sulphapyridine menghambat coliform dan proteus,
Sulphapyridine ditambahkan untuk menambah selektivitas. Media Liquid
enrichment dan media selektif lainnya yaitu : Selenite F Broth : menghambat
coliform tapi tidak menghambat proteus. Dikembangkan dengan menambahkan
brilliant green. Kehilangan aktifitas setelah 24 jam. Selenite csytein broth lebih
stabil. Tetrathionate/brilliant green broth: menghambat coliform dan proteus tapi
mungkin juga menghambat pullorum. Rappaport/Vassiliadis Soya Peptone broth
untuk selektivitas pengkayaan yang mengikuti pra-pengkayaan menggunakan 1
bagian inokulum terhadap 100 bagian media (Wigley, 2001).

Koloni typical salmonella pada media noninhibitory berbentuk bundar,


seperti kubah, halus dan 1-2 mm diameternya setelah 24-48 jam inkubasi. Pada
media selektif tampak bervariasi. Koloninya dapat lebih lanjut diuji dengan cara
serologis dan biokomia dan dilihat motilitasnya. Setelah inkubasi 20-24 jam,
subkultur distrik di atas NA, BA atau media selektif. Jika pertumbuhannya tipis
setelah 24 jam maka diinkubasi lagi selama 24 jam diuji lagi. Untuk uji biokimia
dan serologis dapat dikonfirmasikan dari setiap palet, lima koloni dipilih untuk
diuji. Jika ada koloni yang lebih dari koloni yang dimakasud maka diambil semua
untuk diuji.. Kemudian di strik di atas NA dalam wilayah yang terpisah. Laktosa
dan sukrosa juga ada yang bisa difermentasi. Saat ini juga sudah ditemukan
adanya S pullorum yang memiliki flagella dan bersifat motil, hal ini diduga terjadi
peningkatan patogenitas pullorum didalam tubuh organisme inangnya. Salmonella
pullorum dikategorikan dalam bakteri gram negatif saat dilakukan pewarnaan,
karena koloninya tampak berwarna merah setelah dilakukan pewarnaan gram, hal
ini tentunya menunjukkan bahwa kandungan lipid yang tinggi pada dinding selnya
yang larut dalam alkohol dan aseton sehingga terjadi pemucatan dan berwarna
merah muda. Disamping itu secara biokimia salmonella pullorum juga ternyata
mempunyai kemampuan untuk mengikat besi, hal ini terlihat terjadi reaksi
blackening diatas medium EMB (Barrow etc. 2011).

2.4 Paratifoid

Etiologi

Salmonellosis atau paratifoid disebabkan oleh Salmonella sp. Selain


Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum yang merupakan suatu kelompok
bakteri yang tidak mempunyai host yang spesifik. Kelompok Salmonella sp.
Penyebab paratifoid bersifat fakultatif anaerobe dan dapat tumbuh dengan mudah
pada agar daging sapi dan kaldu. Kelompok Salmonella yang menyebabkan
paratifoid bersifat gram-negatif, tidak membentuk spora dan mempunyai
keterkaitan pada uji serologisk. Kelompok Salmonella sp. berbentuk bacilli
dengan ukuran 0,4- 0,6x1-3 um, tetapi kadang-kadang kelompok bakteri tersebut
berbentuk filamen panjang. Kelompok bakteri tersebut bersifat motil, walaupun
bentuk varian yang bersifat non-motil dengan atau tanpa flagella dapat juga
ditemukan pada kondisi alami. Suhu optimum untuk pertumbuhan kelompok
Salmonella adalah 37o C. Salmonella enteritidis di berbagai negara merupakan
masalah dihubungkan dengan pencemaran pada telur yang diduga dapat menular
ke manusia. Beberapa jenis Salmonella sp. Lainnya mempunyai potensi untuk
menimbulkan infeksi pada manusia, walaupun tidak menimbulkan kerugian yang
signifikan pada peternakan ayam. Salmonella typhimurium bersifat lebih
patogenik pada ayam dan kalkun dibandingkan dengan jenis Salmonella sp.
penyebab paratifoid lainnya (Quiin et al, 2002).

Penyebab paratifoid Salmonella sp. bersifat peka terhadap panas dan


berbagai jenis desinfektan. Beberapa ahli melaporklan bahwa Salmonella
typhimurium akan mati dalam waktu 5 menit pada temperatur 60 o C. Salmonella
dapat hidup selama 13 bulan pada karkas yang disimpan pada temperatur -21 o C
setelah terlebih dahulu dibekukan pada temperatur -37o C. Beberapa desinfektan
yang sering digunakan pada peternakan ayam dapat digunakan untuk
memusnahkan Salmonella. Formaldehida atau campuran formadehida bersifat
sangat efektif untuk membunuh Salmonella pada tanah ataupun kandang sehingga
penggunaan desinfektan ini yang banyak digunakan di lapangan. Litter yang
menganding amoniak mempunyai efek “salmonellacidal” oleh karena dapat
membunuh bakteri tersebut. Beberapa ahli melaporkan bahwa Salmonella
typhimurium dapat hidup lebih lama pada temperatur 4oC dibandingkan dengan
pada temperatur kamar. Salmonella typhimurium dapat hidup di dalam pakan dan
litter selama paling sedikit 18 bulan pada temperatur 11oC; dan sekitar 40 hari
dalam pakan dan 13 hari dalam litter pada temperatur 38 oC. Salmonella sp. dapat
hidup selama berbulan-bulan di dalam kotoran pada suatu lapangan terbuka dan
selama 28 bulan di dalam feses unggas yang terinfeksi secara alami. Bakteri
Salmonella typhimurium dapat hidup dengan baik di dalam tanah yang
mengandung material organik (Direktur Kesehatan Hewan, 2014).

Salmonella sp. yang menginfeksi unggas mempunyai suatu variasi dalam


struktur antigenik somatik dan flagellar. Sifat patogenik dari Salmonella sp.
Dihubungkan dengan adanya endoktoksin yang erat hubungannya dengan bagian
somatik dari organisme tersebut. Beberapa ahli melaporkan bahwa Salmonella
enteritidis mempunyai kemampuan untuk menghasilakn enterotoksin pada kondisi
yang sesuai dengan kebutuhan kehidupannya.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh paratifoid sangat mirip dengan gejala
yang ditimbulkan oleh pulorum, fowl typhoid dan avian arizonosis. Ayam muda
yang terserang Salmonella sp. dapat menunjukkan gejala dan lesi yang mirip
dengan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri, misalnya
Escherichia coli. Infeksi persendian yang ditimbulkan oleh paratifoid dapat
dikelirukan dengan infectous synovitis atau arthritis yang disebabkan agen
infeksius lainnya. Pada dasarnya infeksi paratifoid merupakan penyakit pada
ayam muda, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya lingkungan,
frekuensi kontak dengan bakteri dan adanya infeksi campuran dengan agen
infeksius lainnya. Pada penyakit akut, yang disertai oleh kematian anak ayam di
dalam inkubator atau beberapa hari setelah menetas, biasanya tidak ditemukan
gejala tertentu. Pada keadaan tersebut, infeksi biasanya terjadi akibat penyebaran
melalui telur atau infeksi awal di dalam inkubator. Infeksi Salmonella sp. yang
tidak mempunyai host spesifik, biasanya ditemukan pada anak ayam dengan umur
<2 minggu dan jarang pada umur >4 minggu. Infeksi akut dapat ditemukan pada
ayam umur 7-21 hari, dengan puncak kematian sekitar umur 7-14 hari. Masa
inkubasi antara 4-5 hari dan biasanya gejala penyakit ini berlangsung 3-5 minggu
(Direktur Kesehatan Hewan, 2002).

Gejala klinis kadang tidak spesifik, anak ayam terlihat mengantuk, berdiri
pada satu kaki dengan kepala tertunduk, mata tertutup, sayap menggantung dan
bulu berdiri. Anak ayam akan kehilangan nafsu makan, tetapi konsumsi air
meningkat; diare prufus yang encer, disertai oleh material menyerupai pasta yang
melekat di daerah kloaka dan sekitarnya. Disamping itu, terlihat juga anak ayam
yang kedinginan dan cenderung untuk mengumpul dibawah pemanas. Kadang-
kadang terlihat adanya konjungtivis dan kebutaan akibat kekeruhan pada kornea
dan adanya eksudat kaseus di dalam bola mata. Infeksi pada ayam dewasa
umumnya tidak menunjukkan gejala klinis tertentu. Infeksi akut pada ayam dara
atau ayam dewasa jarang terjadi pada kondisi alami. gejala klinis yang terlihat
pada ayam yang terinfeksi dengan Salmonella typhimurium, meliputi diare yang
disertai oleh depresi dan kelemahan umum, sayap menggantung dan bulu berdiri
(Direktur Kesehatan Hewan, 2002).

Patologi

Pada ayam muda lesi mungkin tidak terlihat pada kasus yang sangat akut.
Pada kasus yang kurang akut, lesi yang terlihat meliputi emasiasi, dehidrasi,
kongesti hati dan limpa dengan jalur-jalur hemoragik atau foki nekrotik, kongesti
ginjal dan perikarditis yang disertai oleh perlekatan antara perikardium dan
jantung. Jika anak ayam yang terserang, maka akan dijumpai adanya yolk sac
yang belum terserap dan berisi eksudat radang berwarna cokelat kehijauan. Ayam
yang belum mati pada fase septisemik akut akan menunjukkan daerah nekrosis
yang multifokal di dalam paru, hati dan jantung. Terlihat juga adanya
perihepatitis, perikarditis, peritonitis dan enteritis hemoragika. Pada sekitar
sepertiga dari ayam yang mati karena salmonelosis, dapat ditemukan adanya
sekum yang mengalami distensi dengan lumen yang mengandung massa
menyerupai pasta, yang terdiri atas jaringan nekrosis yang mengeras dan berwarna
kelabu (Quinn et al, 2002).

Pada ayam yang terinfeksi Salmonella enteritidis biasanya ditemukan lesi


yang bersifat septisemik, perikarditis dan perihepatitis. Perikarditis ditandai oleh
penebalan dan peningkatan vaskularisasi perikardium dan adanya cairan yang
keruh di dalam kanting perikardium. Kadang-kadang terlihat juga adanya
panoftalmitis purulenta yang disertai oleh hiperplasia kornea. Lesi pada mata
dapat ditemukan pada konjungtiva, kornea dan pupil; didalam sudut mata anterior
dapat dijumpai adanya suatu massa berbentuk bulat berwarna kuning kelabu
(Quinn et al, 2002).

Pada ayam dewasa yang terinfeksi secara akut dapat menunjukkan adanya
pembengkakkan dan kongesti pada hati, limpa dan ginjal; enteritis hemoragika
atau enteritis nekrotikan, perikarditis dan peritonitis. Beberapa ahli melaporkan
tentang infeksi Salmonella stanley yang ditandai oleh lesi nekrotik dan
hiperplastik pada oviduk dan lesi nekrotik supuratif pada ovarium. Lesi pada
oviduk dan ovarium kerapkali melanjut menjadi peritonitis difus dan dapat
mendukung timbulnya infeksi Salmonella pullorum. Ayam dewasa yang terinfeksi
secara kronis dan merupakan carrier paratifoid biasanya menunjukkan lesi yang
meliputi emasiasi dan ulser pada usus, pembesaran hati, limpa dan ginjal, noduli
pada jantung dan bentuk abnormal pada ova. Perubahan pada jaringan ovarium
yang ditimbulkan oleh penyakit ini tidak separah lesi yang ditimbulkan oleh
pullorum. Ayam dewasa yang terinfeksi

secara kronis, terutama yang merupakan carrier intestinalis sering tidak


menunjukkna adanya lesi yang menciri (Direktur Kesehatan Hewan, 2014).

Pengobatan

Obat-obatan yang dapat dipergunakan untuk ayam yang terserang


salmonelosis adalah antibiotik ataupun antibakteri. Jika kesembuhan tidak tuntas,
maka risiko terjadinya carrier akan sangat besar. Uji sensivitas antibiotik
merupakan cara yang paling tepat untuk memilih obat yang sesuai. Berbagai jenis
obat yang dapat digunakan untuk menanggulangi paratifoid

antara lain adalah furazolidon, gentamisin, spektinomisin, sulfametazin dan


kelompok kuinolon (asam nalidiksik atau asam oksolinat, flumekuin,
enrofloksasin, norfloksasin). Pengobatan sebaiknya disertai oleh eliminasi faktor
pendukung terjadinya infeksi dan pelaksanaan sanitasi atau desinfeksi yang ketat
(Subronto, 2008).
BAB 3 METODOLOGI

METODE PENCERNAAN
Tempat dan Waktu
Pemeriksaaan dan isolasi bakteri dari saluran pencernaan dilaksanakan di
Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga Surabaya pada tanggal 29 April 2019-6 Mei 2019.

Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan yaitu cawan petri, ose bulat, ose lurus, bunsen,
mikroskop, objek glass, nampan, gunting, pinset, pipet, tabung reaksi, dan rak
tabung. Bahan yang digunakan yaitu media identifikasi bakteri MCA (Mac.
Conkey Agar), EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), SSA (salmonella Shigella
Agar), TSIA (Triple Sugar Iron Agar), SCA (Simmons Citrat Agar), Urea, SIM
(Sulfide Indol Motility), media gula-gula seperti laktosa, maltosa, sukrosa,
manitol, dan glukosa, pewarnaan gram kristal violet 1%, lugol, aceton alkohol,
dan safranin.

Nekropsi Ayam dan Pengambilan Sampel


Isolasi bakteri dari saluran pencernaan dilakukan dengan cara memilih
ayam dengan gejala klinis diare. Prosedur nekropsi dilakukan untuk melihat
saluran pencernaan untuk diisolasi, ayam dimatikan terlebih dahulu dengan cara
emboli pada foramen magnum. Ayam diletakkan pada nampan dengan posisi
rebah dorsal. Insisi didaerah kulit yang longgar diantara permukaan medial dari
tiap paha dan abdomen. Kaki dilebarkan lateral dan kuakkan sendi coxofemoral.
Insisi kulit secara transversal di tengah abdomen dan kuakkan kulit lalu hadapkan
bagian cranial menuju thoraks dan bagian caudal menuju abdomen. Buat insisi
longitudinal pada musculus pectoralis pada setiap sisi sternum sehingga
costochondral junction cavum abdomen dibuka dengan gunting, lanjutkan
area insisi ke anterior melalui costoschondral junction, potong os. coracoid dan
os. Clavicula. Lakukan insisi kebagian dalam sampai semua organ terlihat dan
periksa organ-organ target yang mengalami atau tampak adanya perubahan
patologis. Saluran pencernaan dikeluarkan dengan cara memotong esophagus
kemudian tarik seluruh saluran pencernaan ke arah posterior dengan memotong
kloaka (Weli, 2011). Diamati bagian saluran pencernaan yang mengalami
perubahan patologi. Sampel organ yang diambil yaitu usus halus dan colon
dengan cara memotong bagian yang mengalami perubahan ±2 cm. Spesimen
isolasi diletakkan dalam cawan petri streril.

Inokulasi
Inokulasi Bakteri pada Media Tetrathionate broth
Media Tetrathionate broth merupakan media enrichment yang digunakan
sebagai media pertumbuhan bakteri. Penanaman pada media tetrathionate
dilakukan dengan mengambil potongan organ usus halus kemudian dimasukkan
ke dalam media tetrathionate broth. Inkubasi selama 24 jam dengan suhu 37oC.
Dilakukan pengamatan koloni yang tumbuh ditandai dengan adanya perubahan
kekeruhan pada media Tetrathionate broth. Kemudian dilanjutkan isolasi bakteri
ke media Salmonella Shigella Agar (SSA).

Inokulasi Bakteri pada media MCA dan EMBA


Media Mac Conkey Agar (MCA) merupakan media selektif dan
differensial jenis mikroba tertentu akan membentuk koloni dengan ciri khas
tertentu. Media MCA mengandung laktosa, garam empedu, dan merah netral
sebagai indikator warna. Garam empedu akan menghambat pertumbuhan bakteri
Gram positif, sedangkan bakteri Gram negatif yang tumbuh dapat dibedakan
berdasarkan kemampuan dalam memfermentasi laktosa. Koloni bakteri yang
dapat memfermentasi laktosa memiliki warna merah bata sedangkan bakteri yang
tidak dapat memfermentasi laktosa tidak memperlihatkan perubahan pada media
dan warna koloninya sama dengan media. Bakteri yang positif dalam
memfermentasi laktosa misalnya Escherichia coli warna koloni merah dikelilingi
zona keruh, Klebsiella dan Enterobacter warna koloni merah muda dengan
mukoid. Sedangkan bakteri yang tidak memfermentasi laktosa (colourless)
misalnya Salmonella, Shigella, Proteus, Psuedomonas.
Media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) juga merupakan media
selektif diferensial yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri Gram negatif
dari golongan Enterobacteriaceae. untuk membedakan antara koloni bakteri yang
dapat memfermentasi laktosa dengan yang tidak dapat memfermentasi laktosa. Di
media EMB juga ditambahkan sukrosa untuk membedakan antara koloni bakteri
coliform yang mampu memfermentasi sukrosa lebih cepat dari laktosa dengan
koloni bakteri yang tidak mampu memfermentasi sukrosa. Bakteri gram negatif
yang memfermentasi laktosa (umumnya bakteri usus) dapat menghasilkan asam,
dalam kondisi asam akan menghasilkan warna kompleks berwarna ungu gelap
atau warna hijau metalik. Warna hijau metalik ini merupakan indikator dari
bakteri yang dapat memfermtasi laktosa dengan kuat dan/atau bakteri yang dapat
memfermentasi sukrosa (khas pada bakteri coliform fecal). Pada bakteri yang
memfermentasi laktosa dengan lambat akan menghasilkan asam dengan jumlah
yang sedikit sehingga koloni akan berwarna coklat atau merah muda. Pada bakteri
yang tidak dapat memfermentasi laktosa koloni akan berwarna merah muda atau
transparan.

Berikut ini tahapan isolasi bakteri pada media MCA dan EMBA

1. Ose bulat yang telah dipanaskan ditempelkan pada mukosa saluran


pencernaan yang telah diisolasi yaitu duodenum dan kolon
2. Penanaman dilakukan dengan cara streak pada media MCA dan EMBA
3. Inokulasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37C

Identifikasi Bakteri
Pemeriksaan Makroskopis
Pemeriksaan makroskopis dilakukan dengan cara mengamati koloni
bakteri yang tumbuh pada media MCA dan EMBA. Pemeriksaan makroskopis
koloni yang dinilai dari bentuk (punciform, irregular, filamentous, atau rhizoid),
ukuran (besar, sedang, kecil), warna (putih, kuning, hitam, merah, hijau),
permukaan (datar, cembung, cekung, kasar/rough, halus/smooth, mukoid), sifat
(keruh, jernih, kering, hemolitis, anhemolitis).

Pemeriksaan Mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan mengamati bentuk dan sifat


gramnya yaitu bakteri Gram positif atau bakteri Gram negatif. Sehingga dilakukan
pewarnaan Gram sebagai berikut :

1. Diambil satu ose NaCl Fisiologis dan diletakkan pada objek glass
2. Ose disterilkan kembali dengan cara dipanaskan pada api bunsen sampai
berpijar, setelah dingin diambil sedikit bakteri dan disuspensikan dengan
NaCl Fisiologis.
3. Dibuat apusan setipis mungkin.
4. Dilakukan fiksasi dengan melewatkan preparat di atas api bunsen.
5. Preparat ditetesi pewarna kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit.
6. Pewarna dibuang dan dibilas dengan air.
7. Preparat ditetesi dengan Lugol dan dibiarkan selama 1 menit.
8. Lugol dibuang dan dibilas dengan air.
9. Preparat ditetesi dengan alkohol dan dibiarkan selama 1 menit.
10. Alkohol dibuang dan dibilas dengan air.
11. Preparat ditetesi dengan pewarna safranin dan dibiarkan selama 1 menit.
12. Pewarna dibuang dan dibilas dengan air.
13. Preparat dikeringkan dengan kertas penghisap atau tissue halus.
14. Preparat diamati menggunakan mikroskop perbesaran 1000x dengan
bantuan minyak emersi.

Uji Biokimiawi

Uji biokimia bakteri bertujuan untuk mengidentifikasi sifat bakteri


berdasarkan reaksi biokimianya pada berbagai macam media seperti SS agar,
Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea Agar, Simmons Citrat Agar (SCA), Sulfide
Indol Motility (SIM), media gula-gula (Glukosa, Sukrosa, Laktosa, Maltosa,
Manitol).
Salmonella dan Shigella Agar (SSA)

Media Salmonella dan Shigella Agar (SSA) merupakan media selektif


untuk mengisolasi bakteri Salmonella dan Shigella. Media ini digunakan setelah
isolasi bakteri menggunakan media enrichment seperti Tetrathinate broth. Media
ini digunakan sebelum pengujian menggunakan media Triple Sugar Iron Agar
(TSIA), Urea Agar, Simmons Citrat Agar (SCA), Sulfide Indol Motility (SIM),
media gula-gula (Glukosa, Sukrosa, Laktosa, Maltosa, Manitol). SSA
mengandung garam empedu Na-sitrat, dan brilliant green yang menghambat
pertumbuhan bakteri Gram Positif dan beberapa Gram negative. Jika bakteri
tumbuh dan memfermentasikan laktosa pada media ini maka akan menghasilkan
asam dan mengubah indicator warna menjai merah muda atau merah. Berikut
merupakan cara pemeriksaan menggunakan media Salmonella dan Shigella Agar
(SSA):

1. Ose bulat dipanaskan, setelah dingin dimasukkan ke dalam media


Tetrathionate Broth yang telah dimasukkan potongan organ dan diinkubai
sebelumnya.
2. dilakukan pengadukan kemudian ose dipindah dan dilakukan streak pada
media SSA.
3. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37oC.
4. Dilakukan pengamatan.

Triple Sugar Iron Agar (TSIA)

Media Triple Sugar Iron Agar (TSIA) digunakan untuk mengetahui


karakter bakteri dalam memanfaatkan 3 (tiga) macam gula yaitu glokosa , laktosa
dan sukrosa. Indikator yang digunakan adalah phenol red untuk menunjukan
perubahan pH dan ferro sulfat untuk mengetahui produksi H 2S. Berikut metode
pemeriksaan dengan media TSIA :

1. Koloni tunggal diambil dengan menggunakan ose lurus


2. Ditusukkan sampai ± 0,2 cm dari dasar tabung, kemudian cabut tusukkan
secara perlahan lalu streak pada permukaan miring pada media TSIA
3. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam
4. Dilakukan pengamatan

Interpretasi hasil pada media ini yaitu :

1. Asam (warna kuning) : Jika bakteri dapat memproduksi asam dari hasil
fermentasi gula glukosa, dan atau laktosa, dan atau sukrosa
2. Alkalis (warna merah) : jika bakteri memproduksi alkalis dari gula,
laktosa, atau sukrosa yang tidak difermentasi
3. Asam/alkali (kuning/merah) : jika bakteri hanya dpat memfermentasikan
satu jenis gula
4. Gas positif/negatif : adannya gas dapat dideteksi dengan terbentuk
gelembung udara pada agar, agar pecah atau terangkat pada bagian tegak.
5. H2S positif/negative : adanya H2S dapat dideteksi dari adanya endapan
hitam pada tabung.

Sulfide Indol Motility (SIM)

Media Sulfide Indol Motility (SIM) digunakan untuk mengetahui motilitas


bakteri, pembebasan sulfit (H2S), dan pembentukan indol. Berikut metode
pemeriksaan menggunakan media SIM :

1. Koloni tunggal diambil dengan menggunakan ose lurus


2. Ose ditusukkan sampai 2/3 dari permukaan media
3. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam
4. Dilakukan pengamatan
5. Setelah diamati motilitasnya, dilakukan uji indol dengan cara
menambahkan 1 ml chloroform dan 1ml reagen Kovacs
6. Diamati ada tidaknya cincin merah

Berikut merupakan interpretasi pada media ini :

1. Adanya H2S ditandai dengan perubahan warna pada bagian dasar media
menjadi warna hitam. Hal ini merupakan hasil reaksi H 2S dengan Fe
menjadi FeS
2. Motilitas terlihat adanya penyebaran pertumbuhan bakteri di sekitar
tusukan dengan bentuk menjalar, serta adanya warna keruh pada agar
3. Indol positif apabila terbentuk cincin merah

Simon Citrat Agar (SCA)


Berikut metode pemeriksaan menggunakan Simon Citrat Agar (SCA) :
1. Diambil koloni tunggal dengan menggunakan ose ujung bulat.
2. Dilakukan streak pada permukaan miring media.
3. Dilakukan inkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.
4. Dilakukan pengamatan pada media.
Urea Agar
Berikut metode pemeriksaan dengan media Urea Agar :
1. Ambil koloni tunggal dengan menggunakan ose ujung bulat.
2. Dilakukan streak pada permukaan miring media.
3. Dilakukan inkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.
4. Dilakukan pengamatan pada media.
Gula - Gula
Berikut metode pemeriksaan menggunakan media gula-gula:
1. Diambil koloni tunggal dengan menggunakan ose ujung bulat.
2. Dilakukan penanaman pada media dengan megaduk-aduk pada larutan gula-
gula.
3. Dilakukan inkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.
4. Dilakukan pengamatan.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Anamnesa

Gambar 1. Ayam lethargy dan diare

Ayam didapatkan dari pasar keputran selatan kota surabaya dengan gejala
klinis ayam diare, lethargy, bulu kusam, dan bagian anus tampak kotor.

Signalemen
Jenis hewan : Ayam
Ras : Broiler
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 30 hari
Warna : Putih
Asal hewan : Pasar Keputran Selatan

Temuan Klinis
Ayam mengalami diare dan bulu tampak kusam setelah dilakukan
nekropsi pada organ usus halus mengalami hemorargi.

Pemeriksaan Makroskopis Ayam


Ayam dibawa ke Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dalam keadaan hidup kemudian
dilakukan nekropsi pada ayam dan diamati organ pencernaan yang mengalami
perubahan patologis. Pada usus halus mengalami hemorargi dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Usus halus mengalami hemorargi

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan mengambil sampel berupa
usus halus dan kolon. Sampel usus halus ditanam pada media TTB (Tetrathionate
broth) kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Sampel kolon
ditanam pada media MCA (Mac. Conkey Agar) dan EMBA (Eosin Methyline
Blue Agar) diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Hasil enrichment pada
media TTB diinokulasikan pada media SSA (Salmonella Shigella Agar) kemudian
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Hasil dari koloni media MCA dan
EMBA dilakukan pemurnian dengan cara diambil satu koloni yang terpisah
kemudian ditanam ke media yang sama diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Diamati hasil koloni yang terbentuk dari media SSA dan dilakukan pewarnaan
gram. Pada koloni yang terbentuk dari media MCA dan EMBA diamati dan
dilakukan pewarnaan gram. Pewarnaan gram dilakukan untuk mengetahui bentuk
bakteri dan sifat gram dari bakteri tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan
identifikasi bakteri untuk menguji sifat-sifat bakteri dengan uji biokimia. Media
identifikasi yang digunakan yaitu TSIA (Triple Sugar Iron Agar), SCA (Simmons
Citrat Agar), Urea Agar, SIM (Sulfide Indol Motility), media gula-gula seperti
laktosa, maltosa, sukrosa, manitol, dan glukosa.
Tabel 4. Hasil Pertumbuhan Koloni dan Pewarnaan Gram
Organ Media Koloni Pewarnaan Gram
Usus SSA
Halus

Blackspot Gram negatif, basil


Colon MCA

Koloni berwarna merah Gram negatif, basil


Colon MCA

Koloni berwarna transparan Gram negatif, basil


Colon EMBA

Koloni berwarna hijau metalik Gram negatif, basil

Tabel 5. Hasil Uji Biokimia pada Koloni Hijau Metalik


Media Hasil Keterangan
TSIA - Ada gas (+)
- H2S tidak ada
- Permukaan kuning (Acid-acid)

Citrat Agar - Tidak ada perubahan warna (-)


Urea - Tidak ada perubahan warna (-)

SIM - Motil
- Terdapat cincin berwarna merah
- Ada H2S

Manitol - Ada fermentasi (warna kuning)


- Ada gas di tabung durham
Maltosa - Ada fermentasi (warna kuning)
- Ada gas di tabung durham

Glukosa - Ada fermentasi (warna kuning)


- Ada gas di tabung durham

Laktosa - Ada fermentasi (warna kuning)


- Ada gas di tabung durham

Sukrosa - Tidak ada fermentasi


- Tidak ada gas di tabung durham

Tabel 6. Hasil Uji Biokimia pada Koloni Blackspot


Media Hasil Keterangan
TSIA - Tidak ada gas (-)
- Ada H2S
- Berwarna merah (Alkali)

Urea - Tidak ada perubahan warna (-)

Citrat Agar - Ada perubahan warna (+)


SIM - Motil
- Tidak ada cincin berwarna merah
- Ada H2S

Manitol - Ada fermentasi


- Ada gas di tabung durham

Maltosa - Ada fermentasi


- Ada gas di tabung durham
Glukosa - Ada fermentasi (warna kuning)
- Ada gas di tabung durham

Laktosa - Ada fermentasi (warna kuning)


- Ada gas di tabung durham

Sukrosa - Ada fermentasi


- Ada gas di tabung durham

Tabel 5. Hasil Uji Biokimia pada Koloni Tidak Berwarna


Media Hasil Keterangan
TSIA - Tidak ada gas (-)
- H2S tidak ada
- Permukaan kuning-merah (Alkali-
acid)

Citrat Agar - Tidak ada perubahan warna (-)

Urea - Tidak ada perubahan warna (-)

SIM - Motil
- Terdapat cincin berwarna merah
- Tidak ada H2S
Manitol - Tidak ada fermentasi (-)

Maltosa - Ada fermentasi (warna kuning)


- Ada gas di tabung durham

Glukosa - Ada fermentasi (warna kuning)


- Ada gas di tabung durham

Laktosa - Ada fermentasi (warna kuning)


- Ada gas di tabung durham
Sukrosa - Tidak ada fermentasi
- Tidak ada gas di tabung durham

Pembahasan
Inokulasi Bakteri pada media Tetrathionate Broth
Media Tetrathionate Broth (TTP) merupakan media enrichment yang
digunakan untuk mengisolasi bakteri Salmonella. Media TTP mengandung garam
empedu yang dapat menghambat bakteri Gram positif dan Gram negatif selain
bakteri Salmonella. Penanaman pada media TTP dilakukan dengan cara
mengambil potongan usus halus dan memasukkan ke dalam media tersebut.
Kemudian dilakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37C. Setelah itu
dilakukan pengamatan koloni yang tumbuh ditandai dengan adanya perubahan
menjadi kekeruhan pada media TTP.
Organ yang diisolasi pada kelompok kami berupa duodenum, setelah itu
organ dimasukkan ke dalam media TTP lalu diinkubasi selama 24 jam dengan
suhu 37C. Hasil isolasi organ pada media TTP menunjukkan adanya perubahan
warna suspensi menjadi kekeruhan yang berarti adanya bakteri. Hasil positif ini
dilanjutkan dengan cara menginokulasi suspensi media TTP ke media Salmonella
dan Shigella Agar (SSA) untuk mengkonfimasi bakteri yang dihasilkan pada
media TTP.
Gambar 4.1 Hasil isolasi pada media Tetrathionate Broth (Dokumentasi pribadi,
2019)
Inokulasi Bakteri pada media MCA dan EMBA
Media Mac Conkey Agar
Media Mac Conkey Agar (MCA) merupakan media selektif dan diferensial
pada bakteri golongan Enterobacteriaceae yang mampu memfermentasi laktosa
(lactose fermented) dan tidak memfermentasi laktosa (non lactose fermented) dari
bakteri berbentuk batang, Gram negatif. Media ini mengandung laktosa, garam
empedu dan neutral red sebagai indikator warna. Sehingga bakteri yang dapat
memfermentasi lactosa (positif) akan menghasilkan warna merah, sedangkan yang
negatif bersifat colourless.
Media MCA kita gunakan untuk mengisolasi bakteri yang ada di organ
kolon. Tahap isolasi dimulai dengan mengincisi kolon dan di strik pada bagian
mukosa dengan menggunakan ose bulat, kemudian dilakukan inokulasi pada
media MCA dan di inkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Hasil menunjukkan
adanya pertumbuhan koloni bakteri. Bakteri yang ditumbuh pada media MCA
berupa koloni berwarna merah dan colourless.
Merah

colourless

Gambar 4.2 Hasil isolasi pada media MCA dari mukosa kolon (Dokumentasi
pribadi, 2019)
Bakteri colourless (negatif) pada media MCA misalnya Salmonella,
Shigella, Proteus, Pseudomonas dan bakteri yang positif pada media MCA
misalnya Escherichia coli, Klebsiella, Enterobacter. Hasil koloni bakteri perlu
dilakukan uji lanjutan agar bisa mengkonfirmasi bakteri yang terdapat pada kolon
tersebut. Uji lanjutan yang dilakukan dengan cara menginokulasikan koloni yang
tak berwarna (colourless) ke media MCA untuk dilakukan pemurnian bakteri.
Sedangkan koloni yang berwarna merah dilakukan inokulasi lanjutan dengan cara
menginokulasikan pada media EMBA.

Hasil inokulasi bakteri colourless ke media MCA berhasil dilakukan yang


ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni bakteri colourless tanpa adanya
pertumbuhan bakteri dengan koloni berwarna lainnya. Pemurnian koloni bakteri
ini kemudian dilakukan pengujian lanjutan ke media TSIA dan pengujian gula-
gula agar dapat mengidentifikasi dan menyimpulkan jenis bakteri yang ditemukan
pada kolon ayam.
Gambar 4.3 Hasil isolasi koloni colourless pada MCA (Dokumentasi pribadi,
2019)

Media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA)


Media EMBA merupakan media selektif diferensial yang digunakan untuk
menumbuhkan bakteri Gram negatif dari golongan Enterobacteriaceae
(Vandekerchove, 2004). Media ini kita gunakan untuk menginokulasi bakteri
yang berada di kolon dan juga digunakan untuk menginokulasi bakteri yang
berada di media MCA yang berwarna merah. Hasil yang didapatkan berupa
pertumbuhan koloni dengan warna hijau metalik.

Gambar 4.3 Hasil isolasi koloni bakteri dari kolon (Dokumentasi pribadi,
2019)
Gambar 4.3 Hasil isolasi koloni bakteri dari media MCA dengan koloni merah ke
media EMBA (Dokumentasi pribadi, 2019)

Coloni bakteri pada media EMBA dengan warna hijau metalik


mengindikasikan adanya bakteri Escherichia coli. Namun untuk memastikannya
maka dilakukan uji lanjutan dengan uji TSIA, uji SIM, urea agar, sitrat agar, dan
media gula-gula.

Identifikasi Bakteri
Pemeriksaan Makroskopis
Ayam dibawa ke laboratorium Bakteriologi dan Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya dalam keadaan hidup. Ayam
disembelih lalu dilakukan nekropsi. Perubahan patologis yang dapat diamati dari
organ yang didapatkan dari sampel ayam adalah ada lesi kemerahan/hemoragik di
usus halus duodenum.
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan mengambil sampel berupa


organ usus dan organ yang diambil adalah duodenum dan kolon. Sampel dari
kolon ditanam pada media MCA (Mac Conkey Agar) dan EMBA (Eosin
Methyline Blue Agar) dengan cara distrik sedangkan organ duodenum
dimasukkan ke dalam media TTB (Tetrathionat Broth), selanjutnya disimpan di
inkubator selama 24 jam. Bakteri yang tumbuh dimurnikan dengan cara
ditumbuhkan pada media yang sama dengan cara diambil satu koloni yang
terpisah lalu distrik kembali pada media yang sejenis lalu diinkubasi ulang.
Selanjutnya koloni yang tumbuh pada media MCA dan hasil enrichment pada
media TTB diinokulasikan pada media SSA (Salmonella Shigella Agar).
Selanjutnya dilakukan pengamatan koloni yang tumbuh dan pewarnaan gram
untuk mengetahui bentuk bakteri dan sifat gram dari bakteri tersebut. Kemudian
dilanjutkan dengan identifikasi untuk menguji sifat-sifat bakteri yang diperiksa
dengan berbagai macam uji biokimia. Media identifikasi yang digunakan yaitu
TSIA (Triple Sugar Iron Agar), Urea Agar, SIM (Sulfide Indol Motility), SCA
(Simon Citrat Agar), dan gula-gula yang meliputi glukosa, sukrosa, manitol,
laktosa, dan maltose.

Pembahasan

Ayam yang didapatkan dari Pasar Bratang, Surabaya setelah dinekropsi,


diamati dan diambil organ duodenum dan kolon untuk pengujian bakteriologi.
Pengambilan organ dilakukan secara aseptis untuk mencegah adanya kontaminasi
dari lingkungan ke organ yang diambil (Machmud, 2008). Sampel dari duodenum
kemudian distrik ke media MCA (Mac Conkey Agar), serta EMBA (Eosin
Methylene Blue Agar), sedangkan potongan organ dari duodenum dimasukkan ke
media TTB (Tetrathionate Broth). TTB merupakan media enrichment selektif
untuk Salmonella (Buttiaux, 1961). Selanjutnya media diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 28-30oC lalu diamati pertumbuhan mikroba di media tersebut (Pratiwi,
2008). Setelah diinkubasi selama 24 jam, hasil biakan bakteri di media TTB
distrik ke media SSA (Salmonella Shigella Agar) dan diinkubasi kembali selama
24 jam.

Sampel yang ditanam di media EMBA menunjukan ada satu jenis koloni
yang tumbuh, yaitu koloni berwarna hijau metalik. EMBA merupakan media yang
digunakan untuk diferensiasi Escherichia coli dan bakteri gram negatif lainnya
yang mampu ataupun tidak mampu memfermentasikan laktosa, sehingga EMBA
dapat mengidentifikasi adanya bakteri coliform dari sampel (Arulanantham etc,
2012). Mikroba yang dapat memfermentasi laktosa dan menunjukan hasil adanya
koloni berwarna hijau metalik dan merupakan bakteri golongan Enterobactericeae.
Dari hasil penanaman sampel, menunjukan bahwa koloni berwarna hijau metalik
diduga merupakan koloni dari Escherichia coli. Hal ini didukung dari pengamatan
secara mikroskopik setelah koloni dilakukan pewarnaan gram menunjukan hasil
koloni tersebut merupakan bakteri batang gram negatif.

Sampel yang ditanam di media MCA (Mac Conkey Agar) menunjukan ada
dua jenis koloni yang tumbuh yaitu koloni tidak berwarna dan koloni berwarna
kemerahan. MCA adalah salah satu jenis media yang digunakan untuk identifikasi
mikroorganisme, termasuk dalam media selektif dan diferensial bagi mikroba.
Jenis mikroba tertentu akan membentuk koloni dengan ciri tertentu yang khas
apabila ditumbuhkan pada media ini. Bakteri gram negatif yang tumbuh dapat
dibedakan dalam kemampuannya memfermentasikan laktosa. Koloni bakteri yang
memfermentasikan laktosa berwarna merah. Bakteri yang tidak
memfermentasikan laktosa biasanya bersifat pathogen. Hasil penanaman dari
sampel yang menunjukan koloni berwarna merah diduga merupakan koloni dari
Escherichia coli, sedangkan koloni tidak berwarna diduga Salmonella sp. atau
Shigella sp. Selanjutnya dua koloni berbeda warna ini dimurnikan, koloni
transparan ditanam kembali ke media MCA, koloni berwarna merah dimurnikan
di media EMBA agar didapatkan koloni yang seragam di dalam satu plate.

Setelah didapatkan koloni yang seragam di satu plate MCA dan EMBA.
Pada media MCA, bakteri yang tidak memfermentasi laktosa akan membentuk
koloni transparan tidak berwarna. Pada media SSA bakteri Salmonella akan
menunjukkan karakteristik koloni tidak berwarna dengan inti koloni berwarna
hitam. Adanya warna hitam pada bagian tengah koloni menunjukan adanya H2S
yang dihasilkan oleh koloni dan berikatan dengan Ferric citrate yang terdapat
pada media SSA. Dari hasil penanaman di media SSA didapat adanya koloni tidak
berwarna dengan inti koloni berwarna hitam, dan diduga merupakan bakteri
Salmonella sp.

Setelah didapatkan koloni murni dari media EMBA, MCA, SSA,


dilakukan uji biokimia. Uji biokimia bakteri merupakan suatu cara atau perlakuan
yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendeterminasi suatu biakan murni
bakteri hasil isolasi melalui sifat-sifat fisiologinya. Proses biokimia erat kaitannya
dengan metabolisme sel, yakni selama reaksi kimiawi yang dilakukan oleh sel
yang menghasilkan energi maupun yang menggunakan energi untuk sintesis
komponen-komponen sel dan untuk kegiatan seluler, seperti motilitas (Hosseini
etc, 2007). Ada beberapa uji biokimia yang dilakukan untuk identifikasi bakteri
gram negatif ini, antara lain adalah TSIA (Triple Iron Sugar Agar), Urea Agar,
SCA (Simon Citrate Agar), SIM (Sulfide Indol Motility) dan Gula-gula (Glukosa,
Sukrosa, Maltosa, Laktosa, Manitol).

TSIA (Triple Iron Sugar Agar) merupakan media yang digunakan untuk
mengidentifikasi kemampuan bakteri untuk memfermentasikan karbohidrat. Pada
media TSIA berisi 3 macam karbohidrat yaitu glukosa, laktosa, dan sukrosa.
Indikatornya adalah phenol red yang menyebabkan perubahan warna dari merah
orange menjadi kuning dalam suasana asam. Glukosa berada di dasar media
sedangkan laktosa dan sukrosa berada di bagian lereng. Media TSIA juga dapat
digunakan untuk mengetahui pembentukan H2S yaitu melihat apakah bakteri
memfermentasi metionin dan sistein (Asam amino yang mempunyai gugus). Pada
media TSIA terdapat asam amino metionin dan sistein, jika bakteri
memfermentasi kedua asam amino ini maka gugus S akan keluar dan gugus S
akan bergabung dengan H2O membentuk H2S. Selanjutnya H2S bergabung
dengan Fe2+ membentuk FeS berwarna hitam dan mengendap (Gupta etc, 2011).

Dari hasil penanaman koloni bakteri di EMBA didapatkan hasil adanya


gas yang ditandai dengan terangkatnya sebagian media dan menunjukan adanya
celah di tabung reaksi, serta perubahan warna agar menjadi kuning (acid-acid)
serta tidak ditemukan adanya H2S yang berwarna kehitaman di media. Sehingga
dapat diketahui bahwa koloni berwarna hijau metalik di media EMBA tersebut
memfermentasikan secara sempurna karbohidrat yang terdapat di media TSIA
(glukosa, laktosa, dan sukrosa) ditandai dengan adanya perubahan agar menjadi
kuning serta adanya gas terbentuk di antara agar dan tabung, sehingga dapat
diidentifikasikan bahwa bakteri tersebut adalah Escherichia Coli.
Dari hasil penanaman koloni bakteri berwarna merah di MCA didapatkan
hasil tidak adanya gas yang terlihat di tabung reaksi, terlihat perubahan warna
agar menjadi kuning bercampur merah (acid-alkalis) serta tidak ditemukan adanya
H2S yang berwarna kehitaman di media. Sehingga dapat diketahui bahwa koloni
berwarna merah di media MCA tersebut tidak memfermentasikan secara
sempurna karbohidrat yang terdapat di media TSIA (glukosa, laktosa, dan
sukrosa) ditandai dengan adanya perubahan agar menjadi kuning bercampur
merah muda dan tidak adanya gas terbentuk di antara agar dan tabung, sehingga
dapat diidentifikasikan bahwa bakteri tersebut adalah Shigella sp.

Dari hasil penanaman koloni bakteri transparan dengan inti berwarna


hitam di SSA didapatkan hasil adanya gas yang ditandai dengan terangkatnya
sebagian media dan menunjukan adanya celah di tabung reaksi, serta perubahan
warna agar menjadi merah muda (alkalis) serta ditemukan adanya H 2S yang
berwarna kehitaman di media. Sehingga dapat diketahui bahwa koloni bakteri
transparan dengan inti berwarna hitam di SSA tersebut tidak memfermentasikan
karbohidrat yang terdapat di media TSIA (glukosa, laktosa, dan sukrosa) ditandai
dengan adanya perubahan agar menjadi merah serta tidak adanya gas yang
terbentuk, sehingga dapat diidentifikasikan bahwa bakteri tersebut adalah Proteus
sp.

E. coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang pendek yang


memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm dan bersifat
anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus
dengan tepi yang nyata (Fakhoury, 2014). Menurut Tarmudji (2003), menyatakan
bakteri E. coli pada media EMBA membentuk koloni khas berwarna hijau metalik
dengan pusat koloni berwarna gelap. Pada media SIM, bakteri E. coli bersifat
motil dan menghasilkan indol. E. coli secara khas memberi hasil positif pada tes
indol, lisin, dekarboksilase dan peragian manitol serta membentuk gas dari
glukosa.

Isolasi dan identifikasi E. coli terhadap sampel feses sapi yang sakit dapat
menjadi diagnosa dari kasus collibacilosis. Kejadian collibacillosis belakangan ini
sangat menonjol hewan-hewan ternak muda pada sapi, babi, domba, kambing, dan
kuda. Collibacillosis menyerang semua umur, kebanyakan dilaporkan terjadi pada
hewan yang dipelihara dalam keadaan sanitasi yang sangat rendah (Barrow and
Feltham, 2003). Tanda klinis Colibacillosis tidak spesifik dan dipengaruhi oleh
umur, lama infeksi, organ yang terserang dan adanya penyakit lain bersamanya.
Pada sapi muda dapat terjadi septicemia akut dan menimbulkan kematian, yang
didahului dengan hilangnya nafsu makan, malas bergerak/inaktif dan mengantuk
(Tarmudi, 2003). Pada umumnya E. coli merupakan mikroflora normal pada usus
manusia dan hewan, tetapi beberapa galur bersifat patogenik (Gyles, 1983).

Pada uji TSIA, dibagian butt (bawah) bewarna kuning demikian pula pada
bagian slant (miring) juga bewarna kuning, hal ini menunjukkan suasana yang
asam pada butt dan slant. Hal ini sesuai pendapat Lebofee (2011) hasil dari uji
TSIA pada E. coli menghasilkan warna kuning. Hal ini dikarenakan E. coli pada
media TSIA dapat memfermentasi glukosa, laktosa dan sukrosa. Untuk Uji sitrat,
uji ini dapat melihat kemampuan bakteri menggunakan sitrat sebagai satu-satunya
sumber karbon. Jika bakteri mampu menggunakan sitrat sebagai sumber
karbonnya maka akan menaikkan pH dan mengubah warna medium biakan dari
hijau menjadi biru. Pada penelitian ini hasilnya negatif karena E. coli tidak dapat
menggunakan sitrat sebagai sumber karbon (Fatimawati, 2014).
Hasil uji biokimia pada sampel menunjukkan hasil positif adanya E. coli.
Pentingnya uji biokimia ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
mikroorganisme secara fisiologis berdasarkan reaksi biokimia. Jenis uji biokimia
akan dipengaruhi oleh faktor atau sifat mikroorganisme, jenis media atau faktor
lingkungan (Harti, 2015). Uji biokimia ini dilakukan untuk menguatkan dugaan
bahwa bakteri yang di isolasi merupakan bakteri E. coli. Selain di uji dengan uji
biokimia, bakteri yang bersifat Gram negatif ini juga perlu di uji dengan uji gula-
gula dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan fermentasi bakteri terhadap
karbohidrat.
Menurut Cappucino dkk., (2002) uji gula-gula ini merupakan salah satu uji
biokimia untuk mengisolasi bakteri E. coli dengan cara mengetahui kemampuan
bakteri tersebut memfermentasi karbohidrat. Uji gula-gula yang di gunakan ini
adalah sukrosa, manitol, glukosa dan sukrosa. Uji gula-gula menunjukkan reaksi
positif dengan terjadinya perubahan warna menjadi kuning dan menghasilkan gas.
Ini menunjukkan bahwa bakteri ini mampu memfermentasi karbohidrat. Tetapi
pada sukrosa tidak menunjukkan reaksi psitif, hal ini dikarenakan saat
pengambilan bakteri pada media emba ose masih dalam keadaan panas. Sehingga
menyebabkan bakteri mati.
Proteus sp. merupakan salah satu genus bakteri patogen yang berbahaya
bagi manusia dan hewan lainnya, habitat utama Proteus sp. adalah saluran usus
hewan (burung, reptil, hama tanaman) dan manusia (Meybey, 2014). Proteus sp.
merupakan bakteri batang lurus, gram negatif, tidak membentuk spora, hidup
secara anaerobik fakultatif, bergerak dengan flagel (Bergey 1974). Dalam
pembagian Enterobacteriacea Proteus sp. masuk dalam genus X dengan
karakteristik biokimia dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Uji Biokimia dan Gula Proteus sp (Bergey, 1974)

Pada media Salmonella Shigella Agar (SSA) Proteus sp. memiliki koloni
dengan lingkaran hitam ditengahnya atau adanya H2S serta koloni tumbuh
menyebar, dan pada MacConkey Agar memiliki tidak berwarna/colourless (Zimro
MJ et al. 2009). Hasil yang didapatkan dari biakan media SSA yaitu semua uji
menunjukkan hasil reaksi positif, terkecuali uji indol menunjukkan hasil negative
(tidak ada cincin merah muda). Dari hasil tersebut bisa diduga bakteri ini yaitu
Proteus mirabilis.

Proteus mirabilis
Proteus mirabilis bersifat gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak berspora,
umumnya bergerak dengan flagella peritrikus, koloni menyebar pada media agar.
Tumbuh dan menghasilkan H2S pada media Salmonella Shigella Agar, Proteus
mirabilis tidak memfermentasi laktosa akan tetapi memfermentasi glukosa
dengan adanya gas (Manos J et al.2006). Berikut karakteristik biokimia dapat
dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Uji Biokimia dan Gula Proteus sp (Manos, 2006)


Sumber utama terjadinya infeksi Proteus mirabilis pada manusia karena
mengonsumsi produk asal ternak yang terkontaminasi, misalnya dengan memakan
telur atau daging ayam yang terkontaminasi dan tidak dimasak sempurna atau
setengah matang, maka akan mengakibatkan gastroenteritis pada manusia (Cherry
WB et al.1946). Mengurangi keberadaan Proteus mirabilis pada produk asal
ternak secara signifikan juga akan mengurangi paparan bakteri tersebut pada
manusia. Salah satu pengendalian yang penting adalah menjaga kebersihan
peternakan. Sebaiknya telur, daging, susu, dan bahan olahan lainnya diolah
dengan baik dengan cara dimasak sampai matang dan apabila belum diolah
disimpan pada lemari pendingin untuk keamanan produk peternakan (Blossom C
2014). Kultur bakteri dilakukan dengan menggunakan medium Salmonella
Shigella Agar (SSA). Menurut Zimro MJ et al. (2009), bentuk koloni Proteus
mirabilis dan Salmonella sangat mirip yaitu tidak berwarna/colourless dengan
adanya lingkaran hitam ditengah. Hal ini yang menjadi alasan untuk melakukan
uji konfirmasi dengan menggunakan uji biokimia.
Shigella adalah bakteri patogen usus yang dikenal sebagai agen penyebab
penyakit disentri basiler. Bakteri ini menginfeksi saluran pencernaan dan
menyebabkan diare. (Jawetz, 2005). Shigella sp merupakan bakteri berbentuk
batang dengan pengecatan gram bersifat negatif ramping dengan ukuran 0,5 – 0,7
µm x 2 -3 µm, tidak mempunyai Flagel sehingga tidak dapat bergerak dan tidak
berspora. Pertumbuhan cepat pada suhu 370 C pada Mac Conkey, SSA, EMBA
dan Endo. Tampak koloni kecil dan transparan tidak dapat meragikan laktosa
kecuali pada Shigella sonnei bersifat laktosa fermenter lambat.
(Brooks,dkk,2001).

Pada uji Citrat adanya perubahan warna hijau ke biru karena kuman
tersebut menggunakan sitrat sebagai sumber karbon. (Brooks,dkk, 2001). Bakteri
ini tidak meragi laktosa, kecuali Shigella sonnei. Ketidakmampuannya untuk
meragikan laktosa membedakan bakteri Shigella pada perbenihan diferensial.
Shigella juga dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian yang dapat
memfermentasi manitol dan yang tidak dapat memfermentasi manitol (Jawetz et
al., 2005).

Hasil yang didapatkan dari uji urea, sitrat menujukka hasil negatif. TSIA
bersifat alkali asam, gas (-) dan H2S (-). Indol menunjukkan reaksi positif, H2S (-)
dan bersifat motil. Untuk uji gula didapatkan hasil positif pada glukosa, laktosa
dan maltose dan hasil negative pada sukrosa dan manitol.

Semua Shigella memfermentasikan glukosa. Kecuali Shigella sonnei,


shigella tidak memfermentasikan laktosa. Ketidakmampuannya
memfermentasikan laktosa membedakan shigella pada medium diferensial.
Shigella membentuk asam dari karbohidrat tetapi jarang menghasilkan gas
(Nygren, dkk, 2012). Sifat biokimia yang khas adalah negative pada reaksi
adonitol tidak membentuk gas pada fermentasi glukosa, tidak membentuk H2S
kecuali S.flexneri, negative terhadap sitrat, DNase, lisin, fenilalanin, sukrosa,
urease, VP, manitol, xylosa dan negative pada test motilitas. Sifat koloni kuman
adalah sebagai berikut : kecil, halus, tidak berwarna, bila ditanam pada media agar
SS, EMB, Endo, Mac Conkey (Lampel & Maurelli, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, D., C, Yulvizar, N. Risa. 2013. Isolasi dan karakterisasi bakteri pada
ikan kembung (Rastrelliger sp) asin Berkitosan. Biospecies Vol. 6(1): 15-19
Arulanantham, R., Pathmanathan, S., Ravimannan, N., & Niranjan, K. (2012).
Alternative Culture Media for Bacterial Growth Using Different
Formulation of Protein Sources. Journal of Natural Product and Plant
Resourse, 2 (6): 697-700
Barrow PA, Freitas Neto OC. 2011. Pullorum disease and fowl typhoid—new
thoughts on old diseases: a review. Avian Pathol. 40:1–13.
Barrow, G.I and Feltham, R.K.A. 2003. Cowan and Steel’s, Manual for The
Identification of Medical Bacteria. Cambridge University Press. Cambridge.
Bergey. 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Baltimore.
Amerika Serikat.
Blossom C. 2014. Penyimpanan Bahan Makanan Hewani. [diunduh 16 Mei 2019].
Tersedia pada http://elyunizar.blogspot.com/2014/03/penyimpanan-bahan-
makanan-hewani.html
Brooks, G. F., Butel, J. S., & Morse, S. A., 2001, Mikrobiologi Kedokteran
(Medical Microbiology) Edisi XXII, diterjemahkan oleh Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Penerbit
Salemba Medika, Jakarta.
Cappucino, JG, N. Sherman. Microbiology A Laboratory Manual Edition 9th.
California: The Benjamin Cummings Publishing Company; 2012. P 323-
327
Cherry WB, Lentz PL, and Barnes LA. 1946. Implication of Proteus mirabilis in
an Outbreak of Gastroenteritis. Am J Public Health Nations Health. May
1946; 36(5): 484–488. PMCID: PMC1625797
Direktur Kesehatan Hewan, 2002. Manual Penyakit Hewan Unggas. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Direktur Kesehatan Hewan, 2014. Manual Penyakit Hewan Unggas. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Eckmann L, Kagnoff MF. 2001. Cytokines in host defense against Salmonella.
Microb. Infect. 3: 1191–1200.
Fakhoury, M., Negrulj, R., Mooranian, A., and Al-Salami, H. 2014. Inflammatory
Bowel Disease : Clinical Aspects and Treatments. Journal of Inflammation
Research, Dove Press Journal. Montreal.
Fatimawati, A. G. Bambang dan N. S. Kojong. 2014. Analisis cemaran bakteri
coliform dan identifikasi E. coli pada air isi ulang dari depot di Kota
Manado. Jurnal ilmiah Farmasi UNSRAT.
Gupta RK, Ali S, Shoket H, Mishra VK. 2014. PCR-RFLP Differentiation of
Multidrug Resistant Proteus sp. Strains from Raw Beef. Current Research
inMicrobiology and Biotechnology Vol. 2, No. 4 (2014): 426-430
Gyles, CL. 1983. Escherichia coli. Dalam Pathogenesis of Bacterial Infection in
Animal. 2nd Edition. Ames: Iowa State University Press. Hal. 164-187.
Harti, A. S. 2015. Mikrobiologi Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Andi
Hosseini, M.J., R. Ranjbar, H. Ghasemi, dan H.R. Jalalian. 2007. The prevalence
and antibiotic resistance of Shigella sp recovered from patients admitted to
bouali hospital, tehran, iran during 1999-2001. Pakistan Journal of
Biological Sciences. 10(160):2778-2780
Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2005. Medical Microbiologi. Salemba Medica
Page: 353-357
Kementerian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Unggas. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta : hlm 133-135.
Lampel KA, Maurelli AT . 2003. Shigella Species Chapter 11. Dalam: Miliotis
MD, Bier JW, penyunting. International Handbook Of Foodborne
Pathogens. Marcel Dekker. New York. 167–180
Lewerissa, F dan Kaihena, M., 2014. Analisis kualitatif Bakteri Coliform dan
Fecal Coliform Pada Mata Air Desa Saparua Kecamatan Saparua
Kabupaten Maluku Tengah.
Manos J and Belas R. 2006. The Genera Proteus, Providencia, and Morganella.
Chapter 3.3.12, 10.1007/0-387-30746-x_12
Meyby ,E. 2014. Identifikasi Proteus Mirabilis Dan Resistensinya Terhadap
Antibiotik Imipenem, Klorampenikol, Sefotaksim, Dan Siprofoksasin Pada
Daging Ayam Di Kota Makassar. Makassar. Universitas Hasanuddin
Nygren Bl, Schilling KA, Blanton EM, Silk BJ, Cole DJ, Mintz ED. 2012.
Foodborne Outbreaks Of Shigellosis. Dalam : Epidemiology And Infection.
The USA. New York. 141(2): 233–241.
OIE (Office International des Epizooties). 2008. Fowl typhoid and pullorum
disease. OIE Terrestrial Manual, Office International des Epizooties, Paris,
France.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D
2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science
Ltd. Australia.
Sannat, Chandrahas., Anil Patyal., Nidhi Rawat., R. C. Ghosh., D. K. Jolhe., R.
K. Shende., S. D. Hirpurkar1 and Sanjay Shakya. 2016. Characterization of
Salmonella Gallinarum from an outbreak in Raigarh, Chhattisgarh.
Veterinary World, EISSN: 2231-0916
Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III Farmakologi Veteriner:
Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.
Tarmudji, 2003. Kolibasilosis pada Ayam: Etiologi, Patologi dan
Pengendaliannya. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa Vol.13 No.2.Bogor.
Vandekerchove, Laevens H, Pasmans F 2004. Colibacillosis In Caged Layer
Hens: Characteristics Of The Disease and The Aetiological Agent. Avian
Pathology Volume 33, Issue 2 pages 117-125
Wigley P, Berchieri A Jr, Page KL, Smith AL, Barrow PA. 2001.Salmonella
enteric serovar Pullorum persists in splenic macrophages and in the
reproductive tract during persistent disease-free carriage in chickens. Infect.
Immun. 69:7873–7879.
World Organisation For Animal Health. 2018. Fowl Thypoid and Pullorum
Disease. Chapter 2. 3. 11.
Zimro MJ, Power DA, Miller SM, Wilson GE, Johnson JA. 2009. Difco and BBL
Manual of Microbiology Culture Media. United States (ISBN 0-9727207-
1- 5):Becton, Dickinson and Company. Ed. Ke-2

Anda mungkin juga menyukai