Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daerah Pegunungan selatan pulau Jawa merupakan daerah yang kaya akan

mineralisasi, daerah Ponorogo merupakan daerah yang termasuk dalam

Pegunungan Selatan. Pemilihan lokasi ini berdasarkan atas informasi bahwa

daerah ini merupakan daerah alterasi dan mineralisasi yang belum pernah

dilakukan penelitian dan karakteristik dari jenis mineralisasinya, oleh karena itu

daerah ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian.

Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Formasi Mandalika yang

terdiri dari perselingan breksi gunungapi, lava andesit, tuf , batupasir, batulanau, dan

batulempung. Proses magmatisme ditandai dengan adanya litologi lava dan intrusi

mengindikasikan adanya alterasi dan mineralisasi pada daerah penelitian.

Secara umum mineral-mineral terendapkan pada kekar-kekar batuan yang

terbentuk akibat pengaruh struktur geologi sebelum adanya larutan hidrotermal

yang mengisi, atau kekar-kekar yang terbentuk akibat pengaruh suhu dan tekanan

dari larutan hidrotermal itu sendiri. Kekar-kekar tersebut apabila terisi mineral

disebut urat/vein. Urat merupakan salah satu tempat dimana terjadinya proses

mineralisasi sekaligus sebagai tempat terendapkannya mineral-mineral ekonomis.

Pada hal ini endapan tersebut disebut sebagai endapat Epithermal. Endapan urat

epitermal tersebut terbentuk karena proses pengisian rongga (cavity filling) oleh

larutan hidtrotermal pada tubuh batuan yang dilewatinya. Tekstur urat dapat

digunakan untuk menentukan zona mineralisasi logam mulia dan logam dasar

1
2

(Morrison, dkk., 1990). Endapan urat pada sistem epitermal memiliki pola

distribusi tekstur yang konsisten sehingga dapat digunakan untuk membuat model

zonasi tekstur urat yang cukup fungsional dalam menentukan zona mineralisasi

logam mulia dan logam dasar (Morrison, dkk., 1990).

Urat kuarsa merupakan salah satu jenis urat yang paling sering dijumpai.

Urat kuarsa didominasi oleh mineral kuarsa dan beberapa mineral lainnya. Kajian

mengenai karakteristik urat kuarsa tentunya sangat penting dalam mempelajari

alterasi dan mineralisasi. Karakteristik urat pada umumnya sangat kompleks,

namun yang ditekankan dalam penelitian seminar ini adalah karakteristik berupa

pola tekstur urat kuarsa, asosiasi mineral ubahan dan mineral bijih yang terdapat

dalam urat kuarsa serta tekstur urat tersebut. Asosiasi mineral ubahan tertentu

dalam urat kuarsa serta tekstur urat kuarsa tertentu terbentuk pada zona tertentu

pula. Oleh karena itu, melalui studi pola tekstur urat kuarsa tersebut, kita dapat

menentukan zonasi endapan epitermal pada suatu daerah.

1.2. Maksud Dan Tujuan Seminar

Maksud dari penyusunan seminar ini adalah memenuhi salah satu

persyaratan akademik tingkat sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas

Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.

Tujuan dari penelitian seminar ini adalah untuk mengetahui pola tekstur

urat kuarsa dan bagaimana hubungannya dengan alterasi dan mineralisasi pada

daerah desa Temon dan sekitarnya, kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo,

Provinsi Jawa Timur.


3

1.3. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penulisan seminar ini berupa kajian

mengenai jenis tekstur urat kuarsa yang terbatas pada asosiasi mineral ubahan dan

mineral bijih yang hadir. Penelitian seminar ini penyusun juga menggunakan

metode analisis petrografi serta analisis mineragrafi untuk mengetahui himpunan

mineral ubahan dan mineral bijih dalam urat kuarsa tersebut. Selanjutnya akan

dihubungkan dengan parameter lainnya yaitu tekstur urat epithermal yang akan

digunakan untuk studi awal menentukan jenis endapan epithermal di daerah

penelitian.

1.4. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menggunakan pustaka-pustaka sebagai referensi awal dalam

melakukan penelitian seperti geologi regional daerah penelitian serta dasar teori

dan konsep yang diacu dalam melakukan penelitian.

1.4.1. Geologi Regional

a. Fisiografi

Daerah penelitian secara fisiografis termasuk ke dalam Lajur Pegunungan

Selatan (Van Bemmelen, 1949). Geologi Pegunungan Selatan didominasi oleh

batuan hasil kegiatan magmatisme tertua ditandai dengan munculnya produk-

produk hasil gunungapi berumur Oligo – Miosen seperti lava andesit yang masuk

ke dalam “Old Andesite Formation”. Adanya kegiatan magmatisme di Lajur

Pegunungan Selatan yang dimulai pada kala Eosen Tengah dan berakhir pada

kala Miosen Awal. Samoedra dkk. (1992) menyebutkan kelompok batuan

malihan Pra-Tersier dan batuan Diorite Eosen, di atasnya diendapkan


4

perselingan batuan volkanik bersifat andesitan dan batuan sedimen berumur

Oligo-Miosen, kemudian ditutupi oleh batugamping Miosen, dan akhirnya

batuan - batuan tersebut sebagian ditutupi oleh batuan volkanik Kuarter. Batuan

terobosan yang menerobos zona selatan ini adalah tonalit, granodiorit dan diorit

(Oligosen), batuan granodiorit dan diorit (Miosen), dan batuan andesit dan dasit

(Mio-Pliosen). Adapun litostratigrafi yang menyusun daerah Ponorogo terdiri

dari 2 (dua) formasi yaitu Formasi Arjosari (sedimen), Formasi Mandalika

(volkanik Oligo-Miosen), adanya aktivitas magmatisme pada Formasi Mandalika

memungkinkan terbentuknya mineral-mineral logam.

Keberadaan endapan logam yang selalu berkaitan dengan aktivitas

magmatik, memberikan indikasi bahwa jalur Pegunungan Selatan tersebut

memiliki potensi untuk menghasilkan endapan logam. Hasil berbagai kegiatan

eksplorasi perusahaan tambang maupun penelitian dari banyak kalangan di

wilayah pegunungan ini, menunjukkan bahwa kawasan ini memang memiliki

potensi endapan mineral hidrotermal.

b. Geomorfologi

Morfologi Pegunungan Selatan bagian Timur hampir seluruhnya

didominasi oleh produk batuan gunungapi berumur Oligo-Miosen Formasi

Andesit Tua (Bemmelen, 1949). Pada daerah penelitian didominasi oleh

batuan beku baik intrusi maupun ekstrusi yang bersifat asam, intermediet

sampai basa yang membentuk dataran hingga pegunungan yang berjajar ke

arah timur – barat yang secara morfogenesis pegunungan ini dipengaruhi

oleh struktur dan litologi.


5

c. Stratigrafi

Batuan yang ada pada daerah penelitian merupakan batuan yang berumur

Oligosen akhir – Miosen awal yakni Formasi Besole yang dibagi menjadi 2

Formasi, yaitu Formasi Arjosari, Formasi Mandalika, Formasi Arjosari terdiri

klastika turbidit dan setempat mengandung batugamping dan napal, dan

berselingan dengan Satuan Batuan Gunungapi pada bagian atas (Gambar 2.4).

Formasi Mandalika terdiri atas perselingan breksi gunungapi dan lava

berkomposisi andesit dan basalt dan bersisipan dengan batupasir tufaan,

terbentuk pada lingkungan laut. Sebagian besar dari satuan batuan berumur

Oligosen-Miosen awal telah mengalami alterasi. Semua satuan batuan di atas

diterobos oleh andesit, dasit, diorit, dan basal yang berbentuk stock dan retas

yang diduga berumur Miosen Tengah yang menjadi awal dari mineralisasi di

Pacitan.

Gambar 1.1 Kolom kesebandingan satuan batuan daerah penelitan (kotak merah)
yang termasuk dalam lembar geologi Pacitan (Samoedra dkk, 1992)
6

d. Struktur Geologi

Secara regional kawasan Jawa Timur merupakan bagian dari ujung

Tenggara keratan Kraton Sunda yang batuan dasarnya berumur Kapur –

Tersier. Pola struktur regional berupa sesar mendatar berarah baratdaya –

timurlaut. Pola ini membentuk zona kekar yang erat kaitannya dengan

mineralisasi yang terbentuk. Adapun pola struktur daerah Pacitan yaitu: pola

sesar mendatar kiri, pola baratdaya timurlaut (Sesar Grindulu), pola barat-

timur. Bagian selatan dominan berpola baratlaut –tenggara dan timurlaut -

baratdaya.

Menurut Purwanto 1997 dalam Wiwik E., 2009 sesar yang mengarah

barat daya-timur laut diperkirakan merupakan sesar tua yang terbentuk pada

Miosen Tengah. Kehadiran tubuh-tubuh intrusi Miosen Tengah menyebabkan

adanya reorientasi gaya yang semula berarah utara – selatan menjadi timurlaut

– baratdaya dan memberikan pola struktur pada arah tersebut. Sesar tersebut

diduga berhubungan dengan aktivitas magmatik dan mengontrol penyebaran

mineralisasi logam mulia dan logam dasar di daerah Ponorogo dan sekitarnya.

Sistem sesar geser di daerah penelitian ini saling berpotongan dan membentuk

pola “V” dengan arah timur laut-barat daya dan barat laut-tenggara.
7

Gambar 1.2 Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (Pulunggono dan
Martodjojo, 1994 dalam Wiwik E., 2009)

1.4.2. Dasar Teori

a. Alterasi hidrotermal dan hubungan dengan urat (vein)

Alterasi hidrotermal adalah penggantian mineralogi dan komposisi kimia

yang terjadi ketika batuan berinteraksi dengan fluida hidrotermal (Corbett dan

Leacht, 1997). Alterasi terjadi sebagai proses kesetimbangan antara mineral-

mineral batuan yang berinteraksi dengan larutan fluida hidrotermal. Alterasi

umumnya terjadi bersama dengan terbentuknya pengisian rekahan-rekahan oleh

urat-urat atau gangue. Pengendapan/pembentukan mineral pada urat/vein terjadi

ketika larutan hidrotermal mengalami pendinginan (cooling) dan degassing, yang

dapat disebabkan oleh fluid mixing dan/atau boiling dan decompression. Endapan

mineral dijumpai berupa replacement, dissemination dan open space filling (vein,

stockworks). Istilah epigenetik, merupakan mineral logam yang terbentuk setelah

host rock-nya terbentuk. Contoh endapan epigenetik adalah endapan yang

berbentuk urat (vein). Kenampakan alterasi ini pada tubuh batuan memiliki pola
8

keteraturan maka kita bisa membaginya menjadi suatu zona yang disebut zona

alterasi.

Pembagian dari jenis-jenis alterasi yang terjadi di batuan, didasari oleh

asosiasi mineral-mineral ubahan yang terbentuk pada zona alterasi tersebut.

Adapun pembagian alterasi menurut Guilbert (1986) berdasarkan pembagian oleh

Meyer dan Hemley (1967) yaitu:

1. Zona alterasi potasik, merupakan zona laterasi yang berada dekat dengan intrusi

dengan temperatur hidrotermal lebih dari 300°C dan salinitas tinggi. Zona

alterasi ini dicirikan dengan pembentukan mineral sekunder berupa K-feldspar,

biotit, kuarsa dan magnetit dan umum terbentuk pada sistem endapan porfiri.

2. Zona alterasi propilitik, merupakan zona alterasi yang terbentuk pada kondisi

pH netral sampai alkali dengan temperatur berkisar antara 200-300°C. Mineral-

mineral penciri zona ini diantaranya adalah klorit, kalsit dan epidot yang dapat

disertai dengan kuarsa, adularia, albit, anhidrit dan serisit.

3. Zona alterasi filik, merupakan zona alterasi yang ditandai dengan kehadiran

mineral sekunder yang didominasi oleh serisit dan kuarsa. Selain itu, dapat

pula muncul pirit dan anhidrit. Tipe alterasi ini terbentuk akibat fluida netral-

asam pada temperatur sedang yang berkisar antara 200°C – 400°C. Biasanya

terbentuk pada daerah yang permeabel dan dekat dengan urat.

4. Tipe alterasi argilik, merupakan zona alterasi yang ditandai dengan

pembentukan mineral lempung bertemperatur rendah seperti kaolinit,

montmorilonit, smektit dan illit. Alterasi ini terbentuk pada pada kondisi fluida

netral-asam bertemperatur rendah (<230°C).


9

5. Zona alterasi argilik lanjut, merupakan zona alterasi yang terbentuk pada fluida

asam (pH<4) yang ditandai dengan hadirnya alunit, diaspor, pirofiliit, bersama

dengan kuarsa, kalsedon, kaolinit dan dikit.

Corbett dan Leach (1997) menggambarkan himpunan mineral yang

terbentuk pada kondisi pH dan temperatur tertentu serta tipe endapannya dalam

suatu sistem hidrotermal. Setiap mineral hanya akan terbentuk jika berada dalam

kondisi yang stabil. Oleh karena itu, beberapa mineral tertentu hanya akan

terbentuk pada kondisi pH dan temperatur tertentu (gambar 1.4)

Gambar 1.3 Himpunan mineral berdasarkan pH dan temperatur pembentukannya


(Corbett dan Leach, 1997)
10

b. Definisi Urat

Urat atau biasanya juga disebut vein didefinisikan sebagai suatu pengisian

rekahan atau bidang sesar oleh gangue dan juga mineral bijih. Urat biasanya mengisi

celah pada suatu batuan, atau host rock/wallrock. Materi-materi pengisi urat adalah

mineral gangue berupa silikat, karbonat, oksida dan sulfida serta mineral-mineral

bijih yang mengisi di dalamnya. Istilah gangue digunakan untuk kenampakan

pengisian rekahan-rekahan pada batuan oleh mineral-mineral yang tidak bernilai

ekonomis. Pengamatan urat pada batuan akan sangat membantu kita dalam

mengidentifikasi mineralisasi yang terbentuk pada batuan dan mengetahui proses

zona alterasi yang bekerja pada pembentukan urat tersebut (Gambar 1.4)

Gambar 1.4 Contoh singkapan urat epitermal (adularia-serisit) dengan tekstur berlapis-
cockade/breccia di Hishikari, Jepang (Corbett, 1997)

Evans (1993), menyatakan urat pada umumnya merupakan tubuh bijih

dengan jenis tabular yang mempunyai ukuran pada dua sisi yang memanjang,

tetapi sisi ketiga relatif pendek. Bentuk tubuh bijih tabular, umumnya membentuk

urat/vein atau fissure-veins. Urat pada umumnya mempunyai kedudukan miring,


11

dan berasosiasi dengan struktur geologi yang memungkinkan fluida pembawa

bijih logam masuk ke rongga tersebut dan membentuk urat. Urat pada umumnya

terbentuk pada sistem rekahan yang memperlihatkan keteraturan pada arah

maupun kemiringan (Gambar 1.5).

Gambar 1.5 Skema pembentukan urat yang dipengaruhi oleh struktur yang berkembang
mulai dari ada area pelenturan hingga perlipatan (foliasi) sampai proses pengisian fluida
hidrothermal (cavity filling) (Evans, 1993)

c. Mineralogi urat

Pada pengisian rekahan batuan oleh larutan hidrotermal akan membawa mineral

sekunder yang terbentuk sebagai produk akhir pendinginan fluida. Mineral-mineral

silika merupakan salah satu mineral pengisi urat atau rekahan pada batuan, dengan

mineral kuarsa sebagai mineral yang paling stabil. Selain kuarsa juga ditemukan

kehadiran mineral-mineral sekunder selain mineral kuarsa yaitu:

a) Adularia, biasanya mineral ini berwarna merah jambu atau putih kemerahan.

Mineral ini juga dapat teramati sebagai agregat moss yang berasosiasi dengan
12

moss quartz dan kalsedon pada lapisan-lapisan crustiform serta sebagai agregat

dari bentukan jarum yang berbeda dengan bentukan lapisan crustiform. Pada

kebanyakan sampel mineral-mineral adularia akan tergantikan oleh mineral

kaolin atau mineral kuarsa.

b) Ametis, merupakan mineral yang tembus pandang atau mineral berwarna ungu

yang jernih, kehadiran warna ungu disebabkan oleh adanya zat pengotor

berupa kandungan Fe. Mineral ini umum dijumpai pada sistem epitermal,

terutama pada lapisan-lapian crustiform dan pada penggantian mineral kalsit

yang berbilah (bladed calcite). Tetapi mineral ini tidak dapat digunakan untuk

menunjukan zona-zona tekstur urat.

c) Mineral-mineral karbonat, umum dijumpai pada urat-urat epitermal dan tersusun

oleh komposisi berkisaran luas serta memiliki tekstur yang dapat digunakan untuk

menginterpretasikan zonanya. Selain itu, mineral-mineral ini dapat digantikan oleh

mineral-mineral kuarsa pada kondisi epitermal. Dengan tekstur kuarsa yang

berkembang menggantikan mineral karbonat dapat digunakan sebagai alat

interpretasi. Begitu juga mineral-mineral yang bersifat soluble lainnya seperti

fluorit, sulfat dan zeolit. Tetapi kehadiran mineral-mineral ini tidak dapat

digunakan untuk interpretasi zonasi pada sistem epitermal.

d) Mineral-mineral sulfida, didefenisikan sebagai salah satu bagian tersendiri dari

sistem epitermal (Buchanan, 1981). Pada pengamatan contoh setangan dapat

terlihat tekstur-tekstur tertentu seperti butiran-butiran mineral halus yang tersebar

dalam urat kalsedon, moss-saccharoidal kuarsa dan bladed quartz. Selain itu,

dapat dijumpai adanya butiran mineral-mineral sulfida dengan bentuk


13

euhedral seperti galena, arsenopirit, sfalerit, kalkopirit yang berasosiasi dengan

mineral kalsedon.

Identifikasi suatu tubuh urat digunakan pengamatan mineralogi urat untuk

mengidentifikasi asosiasi mineral yang hadir pada setiap tubuh urat. Mineralogi urat

dapat dibagi menjadi:

a) Mineral Logam

Mineral logam adalah mineral-mineral yang bernilai ekonomis,

mengandung unsur logam (metal) dan dapat diekstrak untuk kepentingan umat

manusia (Noetstaller, 1988 dalam Evans, 1993). Craig dan Vaughan (1981)

menyebut bahwa mineral bijih harus dapat dilakukan proses ekstraksi,

misalnya kalkopirit dapat diekstrak tembaganya. Walaupun suatu mineral

mengandung unsur logam, tetapi jika tidak dapat diekstrak, maka tidak

dikategorikan sebagai mineral bijih. Beberapa pengarang menggunakan istilah

mineral bijih sebagai sinonim mineral opak (opaque), karena istilah tersebut

bisa mencakup mineral-mineral seperti pirit maupun pirhotit yang tidak

bermanfaat tetapi hampir selalu ada pada endapan bijih.

Asosiasi mineral logam pada tubuh urat akan memberikan banyak informasi

geologi yang ada pada suatu daerah. Salah satu informasi tersebut adalah berkaitan

dengan genesa pembentukan larutan hidrotermal yang dapat diinterpretasi kisaran

suhu/temperatur larutan hidrotermal itu sendiri dan kondisi paleosurface dimasa

lampau. Oleh karena itu asosiasi mineral logam tertentu mengindikasikan

karakteristik tertentu dari larutan hidrotermal dalam hal ini berkaitan dengan

suhu/temperatur larutan hidrotermal tersebut. Contoh asosiasi


14

mineral logam (bijih) seperti emas, perak, tembaga, pirit, markasit, sfalerit,

galena, kalkopirit akan terbentuk pada suhu larutan hidrotermal dengan kisaran

o o
200 C – 250 C, tergolong ke dalam tipe endapan epitermal, sedangkan

asosiasi mineral logam seperti Native element (Au, Ag dan Pb), kalkopirit,

bornit, pirit, sfalerit, galena enargit, kalkosit, argentit, pitchblend, tennantite,

kobaltit, tetrahedrit, kovelit, akan cenderung berada pada kisaran

o o
suhu/temperatur antara 200 C – 300 C.

b) Mineral Gangue (Mineral Penyerta)

Mineral gangue adalah mineral-mineral yang hadir pada tubuh bijih, tetapi

tidak bernilai ekonomis. Mineral penyerta umumnya merupakan mineral dari

kelompok silika, silikat, oksida, karbonat, sampai dengan fosfat. Gangue mineral

juga merupakan mineral penciri suatu alterasi. Mineral gangue biasanya digunakan

untuk menginterpretasi genesa suatu endapan mineralisasi. Berkaitan dengan suhu

larutan hidrotermal mineral gangue dapat digunakan sebagai parameter yang

penting (Buchanan, 1981 dimodifikasi oleh Morrison, et. al, 1990). Contohnya

asosiasi mineral gangue kuarsa, chert, kalsedon, ametis, serisit, klorit rendah-Fe,

agate, ilmenit, karbonat, barit, zeolit, realgar, dan stibnit akan cenderung terbentuk

o o
pada suhu 150 C – 250 C, tergolong ke dalam tipe endapan epitermal.

Sedangkan asosiasi mineral gangue seperti kuarsa, serisit, karbonat, siderit, epidot,

hematit, jarosit, flourit dan adularia akan cenderung terbentuk pada

o o
suhu/temperatur antara 200 C – 300 C. Penggolongan ini berdasarkan klasifikasi

ciri-ciri endapan mineral hidrotermal menurut Buchanan (1981) dimodifikasi oleh

Morrison, et. al (1990) (Gambar 1.6)


15

Gambar 1.6 Gambar 3.14 Model zonasi mineralisasi sulfidasi rendah


(Buchanan, 1981 dimodifikasi oleh Morrison et al, 1990)

d. Tekstur urat

Urat merupakan tempat terendapkannya mineral bijih, tekstur urat akan dapat

bercerita banyak mengenai genesa atau sejarah pembentukan dari mineral bijih

(Sutarto, 2004). Interpretasi genesa mineral dari tekstur akan sangat sulit dan

harus teliti dalam mengidentifikasinya. Menurut Craig dan Vaughan (1981)

menyebutkan secara umum terdapat dua jenis tekstur yaitu tekstur primer

(bersamaan dengan magmatisme dan pengisian atau open space filling) dan

tekstur sekunder, yaitu tekstur replacement, exolution dan deformation. Pada

penyusunan seminar ini, hanya akan dibahas mengenai tekstur pengisian (open

space filling), replacement, dan exsolution.

Proses pengisian umumnya terbentuk pada batuan yang getas (brittle), pada

daerah dimana tekanan pada umumnya relatif rendah, sehingga rekahan atau kekar

cenderung bertahan. Tekstur pengisian dapat mencerminkan bentuk asli dari


16

porositas serta daerah tempat pergerakan fluida, serta dapat memberikan informasi

struktur geologi yang mengontrolnya (Gambar 1.7).

Gambar 1.7 Berbagai macam tekstur pengisian dengan arah orientasi pergerakan fluida
hidrotermal (a) tekstur comb; (b) urat crustform simetris dengan sekuen pengendapan
mineralnya a-b-a-c (w = batuan dinding); (c) breksiasi bijih. (Craig & Vaughan, 1981)

Mineral-mineral yang terbentuk dapat memberikan informasi tentang

komposisi fluida hidrotermal, maupun temperatur pembentukannya. Pengisian

dapat terbentuk dari presipitasi leburan silikat (magma) juga dapat terbentuk dari

presipitasi fluida hidrotermal itu sendiri. Kriteria tekstur pengisian dapat dikenali

dari kenampakan sebagai berikut:

a. Adanya vug atau cavities, sebagai rongga sisa karena pengisian yang tidak

selesai atau akibat dari proses pencucian oleh fluida (leaching) (Gambar 1.8).

Umunya adanya rongga tersebut diakibatkan oleh pH larutan hidrotermal

yang asam ( pH + 3 – 4) yang mencuci mineral-mineral yang tidak resisten,

sehingga mineral tersebut luruh dan tergantikan oleh mineral silika yang

dibawa oleh larutan hidrotermal tersebut.


17

Gambar 1.8 Kenampakan sampel urat di Queensland, Australia membentuk struktur


vuggy quartz akibat proses pada pengisian yang tidak sempurna (Roger Taylor, 2009)

b. Kristal-kristal yang terbentuk pada pori terbuka pada umumnya cenderung

euhedral seperti kuarsa, fluorit, feldspar, galena, sfalerit, pirit, arsenopirit, dan

karbonat (Gambar 1.9). Walupun demikian, mineral pirit, arsenopirit, dan

karbonat juga dapat terbentuk euhedral, walaupun pada tekstur penggantian

(replacement).

c. Adanya struktur zoning pada mineral, sebagai indikasi adanya proses

pengisian, seperti mineral andradit-grosularit. Struktur zoning pada mineral

sulit dikenali dengan pengamatan megaskopis. Pada Gambar 1.9 menjelaskan

kenampakan pada struktur zoning yang dipengaruhi oleh kehadiran kristal-

kristal euhedral seperti kuarsa yang saling bertumbuhan pada saat proses

pengisian berlangsung dan bersifat iregular (terisolasi) akibat dibatasi oleh

layer-layer karsiterit.
18

Gambar 1.9 Sampel dari Queensland, Australia dengan kenampakan kristal-kristal


euhedral yang dibatasi oleh layer mineral karsiterit dan siderit dengan struktur zoning
pada bagian tepi kristal (Roger Taylor, 2009)

d. Tekstur berlapis (bedding), dimana fluida akan sering membentuk kristal-

kristal halus, mulai dari dinding rongga, secara berulang-ulang, Tekstur

dibagi menjadi beberapa jenis menurut Morrison et, al (1990) yaitu:

1) Tekstur Crustiform merupakan salah satu tekstur yang sangat umum

dijumpai pada lingkungan epitermal. Memiliki ciri seperti lapisan pita

yang tersusun secara berulang dengan komposisi pada setiap lapisan

yang kadang berbeda. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi unsur dalam

larutan hidrotermal yang berfluktuasi selama pengendapan. Fluktuasi ini

pada umumnya disebabkan oleh kondisi zona boiling (pendidihan) pada

larutan hidrotermal (Gambar 1.10).


19

Gambar 1.10 Sayatan penampang urat yang memperlihatkan tekstur crustiform banding
dan rongga (vug) pada sampel urat di St. Patrick tln mine, Queensland, Australia (Roger
Taylor, 2009 dan Evans, 2003)

2) Tekstur Colloform, yaitu salah satu tekstur yang secara genesa hampir

sama pembentukannya dengan tekstur crustiform dan biasanya hadir

bersamaan. Namun, pada tekstur colloform terdapat tegangan yang kuat

pada permukaan larutan hidrotermal sehingga membentuk tekstur

perlapisan namun agak membulat seperti ginjal (Gambar 1.11).


20

Gambar 1.11 Sampel urat dari Queensland, Australia dengan


kenampakan tekstur seperti colloform, crustform dan comb pada
satu jalur tubuh urat dengan ukuran kristal kuarsa yang halus
(fine grained) (Morrison, et al.,1990)

3) Tekstur Comb, terbentuk apabila terjadi pengintian kristal yang besar. Hal

ini disebabkan oleh sistem pendinginan pada larutan hidrotermal yang

terjadi secara lambat menyebabkan pertumbuhan kristal-kristal sepanjang

dinding batuan yang dilewati oleh larutan hidrotermal (Gambar 1.11).

4) Tekstur Cockade, atau terkadang disebut tekstur triangular terbentuk ketika

larutan hidrotermal melewati suatu tubuh breksi dalam lingkungan

epithermal. Matriks breksi yang berpori menjadi salah satu jalan bagi larutan

hidrotermal untuk menuju kepermukaan. Hal ini menyebabkan secara

megaskopis tekstur cockade memperlihatkan adanya mineral ubahan yang

menyelimuti fragmen-fragmen dari batuan asal (Gambar 1.12).


21

Gambar 1.12 Tekstur triangular dengan tekstur brecciated/cockade di


Wirralie gold mine, Queensland, Australia (Roger Taylor, 2009)

Pengamatan jenis tekstur urat akan memberikan tambahan informasi

geologi agar dapat menginterpretasikan proses alterasi-mineralisasi yang

berkembang dan karakteristik dari urat tersebut serta kondisi larutan

hidrotermal. Kondisi dan karakteristik larutan hidrotermal yang dimaksud

salah satunya mengenai suhu/temperatur serta tekanan pembentukan

mineralisasi pada saat larutan hidrotermal bereaksi dengan batuan dinding.

Lebih jauh lagi pengamatan jenis tekstur urat mineralisasi selain dapat

menginterpretasi karakteristik larutan (fluida) hidrotermal, juga dapat

digunakan sebagai parameter untuk menentukan sejauh mana kedalaman

mineralisasi yang terjadi pada suatu daerah mineralisasi. (Lindgren, 1933)

membuat klasifikasi ciri-ciri endapan mineral. Klasifikasi tersebut memuat

berbagai parameter, salah satunya adalah jenis tekstur urat kuarsa yang

dapat dikaitkan dengan suhu/temperatur pembentukan larutan hidrotermal.

Contohnya jenis tekstur seperti kristal kasar (euhedral crystal), yang kadang

berlapis dan inklusi fluida hadir pada urat kuarsa akan cenderung terbentuk
22

o o
pada suhu antara 300 C – 500 C dan tergolong ke dalam endapan

hipotermal. Jenis tekstur urat seperti crustification (banding), cockade, vugs,


urat terbreksikan menurut Lindgren (1933) akan cenderung terbentuk pada

o o
suhu antara 200 C – 250 C dan tergolong ke dalam endapan epitermal.

e. Larutan hidrotermal

Larutan hidrotermal merupakan suatu material sisa magma yang mengandung

unsur-unsur logam. Sistem hidrotermal dapat didefinisikan sebagai sirkulasi fluida

panas (50°sampai >500°C), secara lateral dan vertikal pada suhu/temperatur dan

tekanan yang bervarisasi, dibawah permukaan bumi (Pirajno, 1992 dalam Sutarto,

2004). Sistem ini mengandung dua komponen utama, yaitu sumber panas dan

sumber fluida. Sirkulasi fluida hidrotermal menyebabkan himpunan mineral pada

batuan dinding menjadi tidak stabil, dan cenderung menyesuaikan kesetimbangan

baru dengan membentuk himpunan mineral yang sesuai dengan kondisi yang

baru, yang dikenal sebagai alterasi (ubahan) hidrotermal. Parameter sistem

hidrotermal utama adalah konsentrasi, serta lamanya aktifitas hidrotermal tersebut

(Browne, 1991 dalam Corbett dan Leach, 1997). Suhu dan kimia fluida

merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses ubahan hidrotermal

(Corbett dan Leach, 1996).

f. Endapan epitermal

Sebagian besar cadangan deposit mineral bijih (seperti emas, perak dan tembaga)

di dunia berasal dari endapan-endapan hasil mineralisasi yang berasosiasi dengan

tubuh urat di batuan (Evans, 1993). Salah satunya adalah endapan mineral bijih

yang berasal dari endapan epitermal. Endapan epitermal adalah hasil aktivitas
23

larutan hidrotermal yang berkaitan dengan proses vulkanisme pada kedalaman

dangkal dengan temperatur rendah, dengan kedalaman berkisar 1 – 1,5 km dan

suhu antara 50°C – 200°C (Guilbert, 1986; Hedenquist et al, 2000 dalam Anonim,

2011). Istilah ini pertama kali dinyatakan oleh Lindgren pada tahun 1933.

Istilah epitermal diperoleh dari pengamatan yang dilakukan oleh Lindgren

(1933) terhadap mineralogi dari bijih dan tipe-tipe alterasi di batuan, dan tekstur

dari mineral-mineral bijih yang terbentuk serta alterasi bawaannya. Dari

pengamatan tersebut diperoleh interpretasi mengenai suhu pembentukan endapan

dan kedalaman pembentukannya. Menurut White (2009) endapan epitermal dapat

diketahui berdasarkan:

a. Karakteristik mineral dan tekstur uratnya.

b. Mineralogi alterasi hidrotermal dan zona pembentukannya.

Berdasarkan kandungan sulfida pada asosiasi endapannya, Corbett dan

Leach (1996) mengelompokkan jenis-jenis endapannya menjadi dua jenis yaitu :

a. Endapan epitermal sulfidasi rendah (Epithermal Low Sulfidation)

b. Endapan epitermal sulfidasi tinggi (Epithermal High Sulfidation)

Ransome 1907 dalam Hedenquist et al, 2000 menemukan dari pengamatan yang

dijumpai pada endapan-endapan di sekitar kolam air panas dan fumarol pada gunung

api, dimana dia menyimpulkan bahwa endapan yang terbentuk pada kondisi reduksi

dengan pH air netral disebut sebagai pembawa endapan-endapan sulfidasi rendah

sedangkan kondisi asam dan teroksidasi disebut sebagai pembawa endapan-endapan

sulfidasi tinggi. Terdapat asosiasi mineral-mineral tertentu yang dapat digunakan

sebagai penciri tipe-tipe endapan sulfidasinya. Endapan sulfidasi rendah


24

dicirikan oleh adanya asosiasi mineral-mineral sulfida seperti pirit–pirortit–

arsenopirit–sfalerit (kaya akan Fe) sedangkan sulfidasi tinggi dicirikan oleh

asosiasi mineral-mineral enargite–luzonit-kovelit-kelimpahan mineral pirit (Tabel

1.1 dan Tabel 1.2).

Tabel 1.1 Asosiasi mineral bijih pada endapan epithermal


(White dan Hedenquist, 1995)
Mineral Low Sulphidation High Sulphidation

pyrite Ubiquitous (abundant) Ubiquitous


sphalerite Common (variable) (abundant)

galena Common (variable) Common (very

chalcopyrite Common (very minor) minor)

enargite-luzonite Rare (very minor) Common (very

tennantite- Common (very minor) minor)

tetrahedrit Uncommon (very Common (minor)

covellite minor) Ubiquitous (variable)

stibnite Uncommon (very Common (variable)

orpiment minor) Common (minor)

realgar Rare (very minor) Rare (very minor)

arsenopyrite Rare (very minor) Rare (very minor)

cinnabar Common (minor) Rare (very minor)

electrum Uncommon (minor) Rare (very minor)

native gold Uncommon (variable) Rare (very minor)

tellurides-selenides Common (very minor) Common (minor)


25

Common (very minor) Common (minor)

Uncommon

(variable)

Tabel 1.2 Asosiasi mineral-mineral sekunder pengisi gangue


(White dan Hedenquist, 1995)
Mineral Low Sulphidation High Sulphidation

quartz Ubiquitous (abundant) Ubiquitous (abundant)


chalcedony Common (variable) Uncommon (minor)

calcite Common (variable) Absent (except

adularia Common (variable) overprint)

illite Common (variable) Absent

kaolinite Rare (except overprint) Uncommon (minor)

pyrophillite- Absent (except Common (minor)

diaspore overprint) Common (variable)

alunite Absent (except Common (minor)

barite overprint) Common (minor)

Common (very minor)

Memahami asosiasi mineral bijih, mineral sekunder dan zona-zona tekstur

pada urat di batuan maka dapat digunakan sebagai alat interpretasi zonasi

pengendapan mineral (paleosurface) terbentuknya urat (Buchanan, 1981) lihat

Gambar 1.13.
26

Gambar 1.13 Model tipe epitermal sulfida rendah (Epithermal Low Sulfidation)
(Buchanan, 1981 dimodifikasi Morrison, et al., 1990)

Anda mungkin juga menyukai