Anda di halaman 1dari 6

BAB II

LOGIKA DAN ARGUMENTASI HUKUM

1. KESALAHPAHAMAN TERHADAP PERAN LOGIKA

Teori mengenai argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan


suatu argumentasi secara cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria yang
dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. Tradisi yang
sudah sangat lama dalam argumentasi hukum adalah pendekatan formal logis.
Untuk analisa rasionalitas proposisi dikembangkan 3 model logika : Logika
silogistis Logika proposisi, Logika predikat, untuk analisa penalaran
dikembangkan logika diontis. Diantara para penulis terdapat perbedaan pendapat
mengenai peran logika formal dalam argumentasi hukum, logika hanya
mempunyai peran terbatas.

 Kesalahpahaman terhadap peran logika, berkaitan dengan keberatan


terhadap penggunaan logika silogistik (sylogistische logica). Terjadi
kesalahpahaman karena pendekatan tradisional dalam argumentasi hukum
yang mengandalkan model sillogisme.
 Kesalahpahaman yang kedua, berkaitan dengan peran logika dalam
proses pengambilan keputusan oleh hakim dan pertimbangan-
pertimbangan yang melandasi keputusan. Proses pengambilan
keputusan tidak selalu logis, bagi mereka yang mendukung logika
berpendirian bahwa antara proses pengambilan keputusan dan tanggung
jawab suatu keputusan tidak dapat dipisahkan. Bagi proses logika tidak
penting, tapi bagi pertimbangan logika keputusan sangat penting.
 Kesalahpahaman yang ketiga, berkaitan dengan alur logika formal
dalam menarik suatu kesimpulan.
 Kesalahpahaman yang keempat, logika tidak berkaitan dengan aspek
substansi dalam argumentasi hukum.
 Kesalahpahaman yang ke lima, menyangkut tidak adanya criteria formal
yang jelas tentang hakekat rasionalitas nilai didalam hukum.
2. KESESATAN (FALLACY)

Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat itu, karena sesuatu hal,
kelihatan tidak masuk akal. Penalaran yang sesat dan ia sendiri (orang) tidak
melihat kesesatannya, penalaran itu disebut paralogis. Jika penalran yang sesat itu
dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain, maka ini disebut
sofisme. Penalaran dapat sesat karena benuknya tidak sahih (tidak vailid).
Penalaran dapat sesat karena tidak ada hubungan logis antara permis dan konklusi.
Kesesatan demikian itu adalah kesesatan relevansi mengenai materi penalaran.
Untuk menggambarkan kesesatan dalam penalaran hukum R.G. Soekadijo
memaparkan lima model kesesatan hukum, yaitu :

1. Argumentum ad ignorantiam.

Kesesatan ini terjadi apabila orang mengargumentasikan suatu proposisi sebagai


benar karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi sebagai salah karena tidak
terbukti benar. Dalam bidang hukum, argumentum ad ignoratiam dapat dilakukan
apabila hal itu dimungkinkan oleh hukum secara bidang hukum tersebut. Bidang
gukum perdata dengan berpegangan pada pasal 1865 BW penggugat harus
membuktikan kebenaran dalilnya, sehingga apabila dia tidak dapat mengmukakan
bukti yang cukup, gugatan dapat ditolak dengan alasan bahwa si pemnggugat
tidak dapat membuktikan dalil gugatannya.

2. Argumentum ad vercumdiam.

Menolak atau menerima suatu argumentasi bukan karena nilai penalarannya,


tetapi karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa,
berkuasa, ahli, dapat dipercaya. Dalam bidang hukum argumentasi demikian tidak
sesat jika suatu yurisprudensi menjadi yurisprudensi tetap.

3. Argumentum ad hominem.

Menolak atau menerima suatu argumentasi atau usul bukan karena penalaran,
tetapi karena keadaan orangnya. Di dalam bidang hukum, argumentasi demikian
bukan kesesatan apabila digunakan untuk mendiskreditkan seseorang saksi yang
pada dasarnya tidak mengetahui secara pasti kejadian yang sebenarnya.

4. Argumentum ad misericordiam.

Suatu argumentasi yang bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan. Dala bidang
hukum, argumentasi semacam ini tidak sesat apabila digunakan untuk meminta
keringanan hukuman, dan sebaliknya jika digunakan pembuktian tidak bersalah,
maka merupakan suatu kesesatan.

5. Argumentum ad baculum.

Menerima atau menolak suatu argumentasi hanya karena suatu ancaman. Dalam
bidang hukum, cara itu tidak sesat apabila digunakan untuk mengingatkan orang
tentang suatu ketentuan hukum.

3. KEKHUSUSAN LOGIKA HUKUM

Arti penting makna logika bagi hukum juga dipaparkan oleh A. Soeteman dan
P.W. Brouwer. Suatu dalil yang kuat : satu argumentasi bermakna hanya dibangun
atas dasar logika. Dengan kata lain adalah suatu “Conditiosine qua non” agar
suatu keputusan dapat diterima adalah apabila didasarkan pada proses nalar,
sesuai dengan system logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam
berargumentasi. Argumentasi yurudis merupakan suatu model argumentasi
khusus. Ada 2 hal yang menjadi dasar :

1. Tidak ada hakim atapun pengacara, yang mulai berargumentasi hukum


positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup
atapun statis, akan tetapi merupakan suatu perkembangan yang berlanjut.
Dalam ketektuan hukum positif yurisprudensi akan menentukan norma-
norma baru.
2. Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum
berkaitan dengan kerangka procedural, yang di dalamnya berlangsung
argumentasi rasional dan diskusi rasional.
Dalam kaitan itu tida lapisan argumentasi hukum yang rational adalah seperti
yang digambarkan oleh E.T. Feteris et.al.
1. Lapisan logika (logische niveau)
Lapisan ini untuk struktur intern dari suatu argumentasi. Lapisan ini
merupakan bagian dari logika tradisional. Berkaitan dengan premis-premis
yang digunakan dalam menarik suatu kesimpulan yang logis, dan langkah-
langkah dalam menarik kesimpulan.
2. Lapisan dialektik (dialectische niveau)
Lapisan ini membandingkan argumentasi baik pro maupun kontra.
3. Lapisan procedural (procedurele niveau)
Prosedur tidak hanya mengatur perdebatan, tetapi perdebatan itupun menentukan
prosedur. Suatu aturan dialog harus berdasarkan pada aturan main yang sudah
ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan syara penyelesaian
sengketa yang jelas.
Pengertian legal reasoning digunakan dalam 2 arti yaitu dalam arti luas dan
sempit. Dalam arti luas legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang
dilakukan hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapinya.
Studi legal reasoning dalam arti luas menyangkut aspek psikologi dan aspek
biographi. Legal reasoning dalam arti sempit berkaitan dengan argumentasi
yang melandasi suatu keputusan. Studi ini meyangkut kajian logika suatu
keputusan. Tipe argumentasi dibedakan dengan 2 cara :
1. Dari bentuk attau struktur
2. Dari jenis-jenis alasan yang digunakan untuk mendukung konklusi.
Dua bentuk tersebut dapat ditelusuri kembali ke pola logika Aristoteles. Bentuk-
bentuk logika dalam argumentasi dibedakan atas argumentasi deduksi dan non
deduksi dan beberapa karakteristik logic yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
tersebut.
Pendapat :
Pendapat saya mengenai Logika dan Argumentasi Hukum ini, antara logika
dengan argumentasi hukum memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, yang
dimna antara logika dengan argumentasi tidak dapat di pisahkan, di karenakan
sebuah argumentasi hukum yang tidak didukung dengan logika yang jelas maka
argumentasi tersebut tidak memiliki landasan yang kuat, sebaliknya jika sebuah
argumentasi memiliki logika yang jelas maka argumentasi tersebut memiliki
landasan yang kuat. Argumentasi hukum merupakan cerminan seorang ahli
hukum tentang pengetahuannya, atau sampai mana seorang ahli tersebut telah
menguasai hukum itu sendiri. Jadi seorang ahli hukum yang baik diharapkan
dapat berargumen sesuai dengan etika yang ada dan argumentasi tersebut di dasari
logika hukum yang kuat, dan dapat dipertanggung jawabkan.

Kesimpulan :
Keimpulan dari materi Logika dan Argumentasi Hukum yaitu, kesalahpahaman
terhadap peran logika terdapat 5 kesalahpahaman, yang pertama kesalahpahaman
terhadap peran logika yang berkaitan dengan penggunaan logika silogistik, yang
kedua kesalahpahaman yang berkaitan dengan peran logika dalam proses
pengambilan keputusan oleh hakim, yang ketiga kesalahpahaman berkaitan
dengan alur logika formal dalam menarik suatu kesimpulan, yang keempat
kesalahpamahan logika tidak berkaitan dengan aspek substansi dalam argumentasi
hukum, yang kelima kesalahpamahan menyangkut adanya criteria formal tentang
hakekat rasionalitas.

Kesesatan adalah model yang digunakan oleh seseorang dalam berbuat sesuatu
yang baik ataupun buruk, kesesatan ini memiliki 5 model dalam penalaran hukum,
yaitu : Argumentum ad ignorantiam, Argumentum ad verecumdiam, Argumentum
ad hominem, Argumentum ad misericordiam, Argumentum ad baculum.

Kekhususan Logika Hukum, memiliki 2 kekhususan yaitu : Tidak ada hakim


atapun pengacara, yang mulai berargumentasi hukum positif. Hukum positif
bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup atapun statis, akan tetapi
merupakan suatu perkembangan yang berlanjut. Dalam ketektuan hukum positif
yurisprudensi akan menentukan norma-norma baru. Kekhususan yang kedua
dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum berkaitan dengan kerangka
procedural, yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional dan diskusi
rasional.

Pertanyaan :
1. Mengapa Logika Hukum memiliki kekhususannya tersendiri?
2. Apakah kesesatan yang dibenarkan selalu pasti dapat memberikan keadaan
yang baik?

Anda mungkin juga menyukai