Anda di halaman 1dari 14

Argumentasi Hukum

Oleh : Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS.

I. Argumentasi Hukum, Penalaran dan Logika

Argumentasi hukum merupakan pendapat atau pandangan hukum yang dirumuskan oleh
seseorang yang digunakan untuk menyelesaikan problem yuridis yang ada (legal problem
solving).

Dengan demikian argumentasi hukum pada hakekatnya adalah giving reason.

Dalam merumuskan suatu argumentasi harus didukung oleh ARS, baik dalam tataran
filsafat hukum, teori hukum maupun dogmatika hukum.

Dalam tataran filsafat hukum yang merupakan induk dari segala ilmu hukum yang
memecahkan masalah – masalah fundamental yang tidak bisa terselesaikan karena
melampaui kemampuan berfikir manusia.

Misalnya filsafat keabadian Aristoteles yang membahas tentang HAM.

Membicarakan pertanyaan – pertanyaan mendasar berkaitan dengan HAM yaitu : What,


Why, Who, How.

Dalam tataran teori hukum, berkaitan dengan penggunaan teori hukum yang tepat
untuk menyelesaikan problem yuridis yang ada.

Misalnya menyangkut teori kewenangan, teori penyelenggaraan Negara yang baik, teori
tanggung gugat pemerintah, dsb.

Dalam tataran dogmatika hukum ini sangat penting, oleh karena tidak mungkin seseorang
berargumen tanpa landasan hukum untuk menyelesaikan problem yuridis yang ada.

Argumentasi sangat penting bagi eksekutif, legislatif (wetgever) dan judisiil, para pihak
serta rechtsgeleerdheid.

1
Argumentasi sangat terkait dengan logika dan penalaran.

Menurut Soekadijo penalaran merupakan bentuk pemikiran yang berawal dari konsep,
proposisi dan norma.

Pertanyaannya :

Apa yang disebut konsep, proposisi dan norma ?

Logika merupakan tehnik atau metoda yang diciptakan untuk meneliti ketepatan
penalaran.

Argumentasi tanpa logika dan tidak berdasarkan penalaran bisa menyebabkan suatu
kesesatan atau fallacy.

II. Kesesatan (Fallacy) dalam Penalaran.

Dalam ilmu argumentasi, penalaran dan logika sangat penting karena penalaran
merupakan bentuk – bentuk pemikiran, dan logika digunakan untuk memilih atau
meneliti ketepatan penalaran.

Namun demikian dalam penalaran bisa terjadi suatu kesesatan atau fallacy.

1. Konsep Fallacy

Black`s Law Dictionary mengartikan fallacy sebagai ``…., deceptive, argument or


inference. Both ``formal and material`` fallacies occur in a variety of recognized
categories, knowledge of which is fundamental in the analysis of the validity of legal
reasoning employed in any legal argument, esp, in judicial opinions. The presence of a
fallacy in a legal argument is a defect…..

(…. argumen atau inferensi yang tidak benar. Baik kekeliruan formal dan materiil terjadi
dalam berbagai kategori yang diakui, pengetahuan yang mendasar dalam analisis
validitas penalaran hukum yang digunakan dalam setiap argumen, khususnya dalam
pendapat hukum. Terjadinya suatu kesalahan dalam penalaran hukum adalah merupakan
suatu kesesatan….)

Yang dimaksudkan dengan formal fallacy adalah `` a fallacy involving flaws in the form
of the argument, such as a violation of the formal rules of syllogistic reasoning``.

2
Yang dimaksud dengan materiil fallacy adalah `` a fallacy involving flaws in the factual
contain of logical argument.

Fallacy atau kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena sesuatu hal, kelihatan tidak
masuk akal.

Bila seseorang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan ia sendiri tidak melihat
kesesatannya, disebut paralogis.

Sofisme terjadi kalau penalaran yang sesat itu digunakan untuk menyesatkan orang lain.

Penalaran juga dapat sesat karena tidak ada hubungan premis dan konklusi. Ini disebut
kesesatan relevansi, yaitu mengenai materi penalaran. Model yang lain adalah kesesatan
bahasa.

2. Bentuk Fallacy

Menurut R. G. Soekadijo ada 5 bentuk fallacy :

1. Argumentum ad ignorantiam

2. Argumentum ad verecumdiam

3. Argumentum ad hominem

4. Argumentum ad misericordiam

5. Argumentum ad baculum

1. Argumentum ad ignorantiam

Bentuk kesesatan ini terjadi apabila orang berargumentasi suatu proposisi sebagai benar
karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti benar.

Di dalam hukum Argumentum ad ignorantiam ini dapat dilakukan apabila hal itu
dimungkinkan oleh hukum acara di bidang hukum tersebut.

3
2. Argumentum ad verecumdiam

Menolak atau menerima suatu argumentasi bukan karena nilai penalarannya, tetapi
karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli,
dapat dipercaya.

Dalam bidang hukum argumentasi demikian tidak sesat, jika suatu yurisprudensi menjadi
yurisprudensi tetap, contoh :

Putusan MA No. 838 / K / Sip / 1972 dalam kasus Yoso Pendojo

3. Argumentum ad hominem

Menolak atau menerima suatu argumentasi atau usul bukan karena penalarannya tapi
karena keadaan orangnya. Dalam hukum argumentasi demikian tidak sesat jika
argumentasi itu digunakan untuk mendeskriditkan seorang saksi yang tidak mengetahui
secara pasti kejadian yang sebenarnya.

4. Argumentum ad misericordiam

Suatu argumentasi yang dimaksudkan untuk mendapatkan belas kasihan.

Dalam hukum argumentasi semacam ini tidak sesat apabila digunakan untuk
meringankan hukuman.

5. Argumentum ad baculum

Menerima atau menolak suatu argumentasi hanya karena suatu ancaman.

III. Contoh tentang Fallacy

1. Perda kebersihan yang memberikan ancaman sanksi pada orang – orang yang
membuang sampah sembarangan…. ---> termasuk bentuk argumentum ad baculum ?

2. Perda yang mengatur pemberian sanksi terhadap pembawa obat - obat terlarang yang
biasanya diumumkan di bandara – bandara. Adanya ancaman dalam pemberian sanksi ini
adalah merupakan suatu argumentum ad baculum. Yang didalam hukum dikatakan tidak
merupakan suatu fallacy karena digunakan untuk memperingatkan.

3. UU MD3 yang mengatur tentang pemilihan anggota legislatif. Dalam masa kampanye
banyak didirikan baliho - baliho yang isinya menyatakan suatu pemikiran atau penalaran
seperti berikut :
4
Sangat banyak orang yang tidak jujur di Negara ini, maka pilihlah orang yang jujur,
dengan gambar calon anggota legislatif yang bersangkutan.( yang memberi pernyataan
bahwa banyak orang yang tidak jujur ).

Apakah didalam hukum pernyataan itu diperbolehkan? Kalau penalaran itu dipandang
Fallacy, maka bentuknya merupakan argumentum ad misericordiam, argumentum ad
verecundiam ataukah suatu bentuk sofisme saja ?

4. Ada contoh menarik dalam penalaran hukum yang lain

Seorang pengacara dalam membela klien yang sudah terbukti bersalah menyatakan pada
hakim di persidangan :

Dia memang bersalah, tapi dia sudah sangat menderita. Mohon menjadi pertimbangan
pemberian sanksi.

Apakah didalam hukum diperbolehkan dan apa bentuk fallacy yang dinyatakan oleh
pengacara tadi.

5. John F. Kennedy memberikan suatu pernyataan dalam tulisannya Unfinished Life :

Don’t ask what your country do for you, but…. ask what can you do for your country

----> bandingkan dengan St Augustinus (text book on Jurisprudence, Hilary Mc Coubrey)

6. Perda – Perda di berbagai daerah yang ditaruh di perempatan jalan yang isinya
mengatur larangan pemberian uang pada pengemis dan pengamen di perempatan atau
pertigaan jalan yang dipasang traffic light, untuk mengatur waktu berhenti kendaraan.

Perda – perda tersebut memberikan ancaman sanksi terhadap peminta dan pemberi
uang.

----> model Argumentum ad baculum atau bentuk fallacy yang lain?

IV. Membuat Legal Opinion

A. Susunan Legal Opinion :

1. Summary

2. Fakta Hukum

3. Isu Hukum
5
4. Analisis Isu Hukum

5. Kesimpulan (conclusion / opinion )

Susunan legal opinion bisa dalam bentuk yang lain :

1. Kasus posisi

2. Pewawancara dan terwawancara  lihat buku Argumentasi Hukum hal. 16 – 69

Dalam menganalisis isu hukum, didalamnya terdapat :

Filosofi, konsep, teori, landasan yuridis, asas atau prinsip hukum (recht beginsel).

B. Contoh legal opinion :

Kasus 1 :

Pendapat Hukum Dalam Pengadaan Paket Perikanan Tangkap T.A 2015

Oleh : Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS.

I. Kasus Posisi

Berkaitan dengan pengadaan paket perikanan tangkap T. A 2015, yang dilaksanakan pada
tahun 2015 diduga telah terdapat penyimpangan karena pejabat pelaksana telah
melakukan kelalaian.

II. Isu Hukum

Dengan adanya kasus di atas dapat dikemukakan beberapa isu hukum.

1. Legalitas Keputusan / Tindakan Pejabat TUN

2. Fungsi / Urgensi Tindakan TUN

3. Akibat hukum dari keputusan atau tindakan Tata Usaha Negara dalam Pengadaan

Paket Perikanan Tangkap T. A 2015

III. Analisis
6
1. Legalitas keputusan / tindakan Tata Usaha Negara

Dalam kajian hukum administrasi legalitas keputusan atau tindakan hukum terdiri atas ;
legalitas wewenang, legalitas prosedur dan legalitas substansial.

a. Legalitas wewenang bersumber dari atribusi, delegasi dan mandat.

- Wewenang atribusi adalah wewenang asal, yang melekat dalam jabatan. Wewenang
atribusi diatur oleh UUD dan UU (lihat Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Th 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan).

- Wewenang delegasi merupakan wewenang pelimpahan yang diatur oleh PP, PerPres,
dan / atau Perda (Pasal 13 ayat (2) huruf b).

- Wewenang mandat merupakan suatu penugasan dari atasan dan merupakan


pelaksanaan tugas rutin (Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b).

Kewenangan yang diberikan pada pejabat pengadaan yaitu PPK, PPTK, PPHP adalah
legal sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.

b. Legalitas prosedur berkaitan dengan persyaratan – persyaratan, batasan waktu,


dokumen – dokumen yang harus disertakan dan lain – lain. Kekurangan dalam
persyaratan yang ada menyebabkan cacat prosedur.

c. Legalitas substansial menyangkut substansi atau isi keputusan.

Dalam pengadaan paket perikanan tangkap, permasalahan terjadi pada pengadaan 62


mesin perahu 5,5 PK, yang dalam proposal ditentukan merk Honda GT.160T2. Namun
ternyata ada sejumlah mesin yang bermerk Honda GT.160H1.

Terhadap kasus ini ada cacat prosedur dikarenakan dalam pelaksanaan pengadaan itu
telah dilakukan secara tidak cermat, yang tidak mengerti perbedaan kedua merk tersebut.

Dalam kaitan ini, interpretasi tentang perbedaan merk Honda GT.160T2 dengan merk
Honda GT.160H1 harus oleh seorang expert yang mengerti tentang bidang itu. Adapun
penjelasan yang didapat dari dealer Honda agak membingungkan. Dengan demikian bisa
dimaklumi bahwa pelaksana pengadaan tidak mendapat kepastian tentang perbedaan
yang ada.

Adapun pertemuan DKPP dengan kelompok nelayan tentang penawaran sebagian barang
yang ada (Honda GT.160 H1) telah disetujui dan dituangkan dalam berita acara, tidak
boleh dikesampingkan. Oleh karena itu adalah bagian dari prosedur yang harus ada.

7
Pertemuan dengan kelompok nelayan itu berkaitan dengan asas keterbukaan, yang
dimaksudkan untuk mewujudkan inspraak (peran serta warga masyarakat) sebelum
kegiatan dilaksanakan.

2. Fungsi / Urgensi Tindakan TUN

Fungsi atau urgensi pengadaan paket perikanan tangkap (pengadaan 62 unit mesin merk
Honda adalah untuk meningkatkan perekonomian para nelayan). Dalam kaitan ini para
nelayan secara nyata telah menikmati kemanfaatan dari pengadaan mesin tersebut untuk
menunjang kehidupan perekonomian mereka.

Dengan demikian pengadaan unit mesin merk Honda tersebut benar – benar ada dan
bukan fiktif sehingga kalau ada perbedaan merk Honda tadi, harus menjadi pertimbangan
yang tidak boleh merugikan para pihak.

3. Akibat hukum dari keputusan atau tindakan Tata Usaha Negara dalam Pengadaan
Paket Perikanan Tangkap T. A 2015

Akibat hukum dari tindakan pengadaan paket perikanan tangkap yang cacat yuridis
karena prosedurnya kurang lengkap atau tidak benar adalah dapat dibatalkan. Akibat
hukum dari tindakan pengadaan paket perikanan tangkap yang cacat substansi juga dapat
dibatalkan dan mengganti kerugian.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (1) huruf a dan b, serta ayat (5) UU No. 30
Th 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pelaksanaan pembatalan sesuai dengan ketentuan diatas tidak dapat dilakukan oleh
karena batasan waktu yaitu dilakukan tahun 2015 dan para nelayan sudah menggunakan
atau memanfaatkan barang yang dihibahkan . Dengan demikian waktu untuk pembatalan
keputusan atau tindakan pengadaan paket perikanan tangkap sudah lewat waktu atau
kadaluwarsa (verjaaring).

Dalam kaitan dengan tanggung jawab dalam pengadaan paket perikanan tangkap itu ada
tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab jabatan berkaitan
dengan legalitas tindakan.

8
Tindakan tidak cermat berkaitan dengan legalitas tindakan, sedangkan kelalaian berkaitan
dengan tanggung jawab pribadi karena melakukan tindak maladministrasi (exp,
penyalahgunaan wewenang).

Dalam kasus di atas, pemberian sanksi pada pejabat pelaksana pengadaan yang telah
bertindak tidak cermat di dalam hukum administrasi hendaknya diberikan sanksi ringan.
Hal ini karena karakter sanksi administratif adalah reparatoir (pembinaan atau pemulihan
dari hal yang tidak baik menjadi baik).

Karakter reparatoir bukanlah pemberian suatu nestapa tetapi pembinaan ke arah yang
baik.

Apalagi dalam kasus di atas masih dalam level dugaan adanya kelalaian. Kelalaian
berkaitan dengan maladministrasi (penyalahgunaan wewenang), dan itu masih harus
dibuktikan.

Kasus 2 :

Pendapat Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar No.
1/P/FP/2016/PTUN. DPS., Dalam Perkara Antara PT. Knightsbridge Luxury
Development Melawan PT. Nusantara Ragawisata.

Oleh : Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati SH., MS.

I. Kasus Posisi.

Dalam kasus keputusan Fiktif Positif atas diterbitkannya Putusan No.


1/P/FP/2016/PTUN. DPS pada PT. Knightsbridge Luxury Development oleh PTUN
Denpasar.

Atas putusan tersebut PT. Nusantara Ragawisata kemudian mengajukan Peninjauan


Kembali.

II. Rumusan Masalah dan Jawaban.

Rumusan Masalah :

9
1. Jika kita memahami dan/atau menjalankan undang – undang, yang harus dijadikan
acuan itu rumusan normanya ataukah kemauan penyusunnya?

Jawaban :

Dalam menjalankan UU yang harus dijadikan acuan adalah rumusan normanya. Norma

bersifat mewajibkan, melarang dan mengharuskan.

2. Jika menjalankan undang – undang, mana yang mempunyai kekuatan berlaku, norma
yang terumus dalam pasal – pasal ataukah kehendak dari penyusun UU yang tidak
terumuskan dalam pasal?

Jawaban :

Norma adalah isi dari suatu aturan hukum yang dirumuskan dalam pasal – pasal aturan
hukum tersebut. Norma yang merupakan isi aturan hukum dalam hal ini UU mengikat
setiap orang dan mempunyai kekuatan berlaku sejak saat diundangkannya UU tersebut.

3. Jika kita perhatikan UU NO. 30 Th 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, apakah


dalam Pasal 53 dan penjelasannya itu terumus ada larangan untuk membatalkan Surat
Keputusan?

Jawaban :

Dalam Pasal 53 UU No. 30 Th 2014 tidak ada rumusan norma yang melarang atau
membatalkan Surat Keputusan.

4. Dalam mengajukan Permohonan Fiktif Positif sebagaimana UU No. 30 Th 2014,


syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh Pemohon? Apakah diperbolehkan untuk
meminta / memohon agar suatu obyek dibatalkan atau dinyatakan tidak sah?

Jawaban :

1. Sesuai dengan Perma No. 5 Th 2014 :

- Kelengkapan syarat permohonannya.


10
- Permohonan legalisasi dokumen dan permohonan pernyataan clear and clean.

2. Dalam permohonan Fiktif Positif tidak dapat memohon suatu obyek untuk

dibatalkan.

5. Manakala suatu Permohonan Fiktif Positif sudah diputus, dan telah dilakukan
Eksekusi, dan telah pula dilakukan Upaya Hukum PK, ternyata permohonan PK tersebut
dinyatakan ditolak, bagaimana esensi dai Putusan Fiktif tersebut?

Jawaban :

Keputusan yang lahir atas Permohonan Fiktif Positif yang sudah diputus dan sudah di
eksekusi serta diajukan PK dan bila ternyata PK ditolak, maka putusan Fiktif Positif
tersebut mempunyai kekuatan berlaku dan mengikat sebagaimana ditentukan dalam
ketentuan Pasal 2 butir e UU No. 5 Th 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa
itu merupakan keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan
yang berlaku.

6. Apakah diperbolehkan Pihak lain yang BUKAN Pihak dalam permohonan Fiktif
Positif, mempersoalkan Putusan Fiktif Positif dimaksud?

Jawaban :

Apabila ada pihak lain yang bukan pihak dalam kasus putusan Fiktif Positif maka yang
bersangkutan dalam status a quo tidak mempunyai legal standing untuk menggugat atau
mempersoalkan putusan a quo.

7. Manakala telah ada Putusan Fiktif Positif, ternyata putusan tersebut ``merugikan``
Pihak lain, upaya hukum apa yang bisa dilakukan, dan kemana upaya hukum itu
diajukan (lembaga mana yang punya kewenangan)?

Jawaban :

Belum terdapat ketentuan pelaksanaan tentang hal itu.

Putusan Fiktif Positif bersifat final dan mengikat, dan tidak ada upaya hukum lain.
11
8. Bahwa sesuai azas hukum ``Nemo Judex in resua`` apakah Pengadilan boleh
``Menguji atau Membatalkan`` terhadap Putusannya sendiri?

Jawaban :

Azas itu mengandung makna seseorang tidak boleh menjadi hakim atas perkaranya
sendiri.

Dengan demikian pengadilan tidak boleh menguji atau membatalkan terhadap


putusannya sendiri.

9. Manakala yang digugat adalah ``Suatu Keputusan`` dimana Keputusan tersebut adalah
menjalankan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan Hukum tetap, apakah hal
tersebut boleh dijadikan ``Obyek Sengketa``?

Jawaban :

Suatu keputusan untuk menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan


hukum tetap tidak boleh dijadikan obyek sengketa oleh karena keputusan a quo bukan
merupakan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara seperti yang dimaksud oleh
Ketentuan Pasal 2 huruf e, UU No. 5 Th 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

10. Apakah terhadap UU Peratun dengan UU Administrasi Pemerintahan ada perbedaan


untuk menghitung jangka waktu?

Jawaban :

Ya, ada perbedaan.

Dalam UU No. 5 Th 1986 tentang PTUN, Pasal 3 ayat (3) menentukan bahwa :

Dalam hal peraturan per. UU. an yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
seperti dimaksud dalam ayat (2) maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak
diterimanya permohonan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan Keputusan Penolakan.

12
Di dalam UU No. 30 Th 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 53 ayat (2)
menentukan jika ketentuan peraturan per. UU. an tidak menentukan batas waktu seperti
dimaksud ayat 1 maka badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.

Pasal 53 ayat (3) menentukan :

Apabila dalam batas waktu sebagaiman dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.

11. Apa yang membedakan pertanggung gugatan antara delegasi dan mandat?

Jawaban :

Dalam delegasi terjadi peralihan wewenang kepada pejabat yang diberi wewenang,
sedangkan pada konsep mandat tidak terjadi peralihan wewenang. Dengan demikian
manakala terdapat gugatan ke pengadilan, yang bertanggung jawab adalah pejabat yang
memberikan mandat, atau pejabat yang mendapat wewenang delegasi.

Dalam UU No. 30 Th 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, ketentuan tentang


wewenang delegasi diatur dalam Pasal 13, sedangkan pada wewenang mandat diatur
dalam Pasal 14.

Kendari, 4 September 2022

Rujukan :

- Argumentasi Hukum, P. M., Hadjon

- Text Book on Jurisprudence, Hilary Mc Coubrey

- Unfinished Life, John F. Kennedy

13
14

Anda mungkin juga menyukai