(Hakim PTUN Jayapura) Disampaikan pada Pembekalan Calon Hakim 15 Januari 2023 URGENSI PEMBELAJARAN (Penerapan) hukum harus sejalan dengan logika, karena hakim dalam melakukan penerapan hukum adalah konkretisasi dari norma yang bersifat abstrak (Deduksi); Bahaya dalam kesalahan penerapan logika adalah salah menerapkan hukum, yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan hukum, baik keadilan, kepastian mau pun kemanfaatan; PATUT DICAMKAN Di dalam hukum tata negara Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan negara dibagikan kepada beberapa lembaga negara, yakni:
1. Kekuasaan membuat undang-undang ada pada Presiden, DPR, dan
sebagian DPD RI (Pasal 20 UUD); 2. Kekuasaan pemerintahan ada pada Presiden (Pasal 4 UUD), dan sebagian kekuasaan yang telah diserahkan/didistribusikan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan Pasal 18 dan 18A UUD 1945; 3. Kekuasaan kehakiman (mengadili) ada pada Mahkamah Agung dan Badan-Badan Peradilan di bawahnya beserta sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24-24C UUD); INDONESIA TIDAK MENGANUT ASAS PRESEDEN/STARE DECISIS Sistem Hukum Nasional Indonesia adalah civil law, sehingga sumber hukum utama adalah UU, bukan yurisprudensi/preseden. kecuali dalam pidana dan perdata adat/Islam yang sumber hukum utamanya adalah wahyu ilahi dan adat. Ingat asas legalitas pidana Pasal 1 dan 2 UU 1/2023 (KUHP baru), pidana harus berdasarkan wettelijke strafbepaling/perundang2an pidana; Dalam sejarah sistem hukum civil law, hakimnya adalah orang lokal sedangkan hukumnya diimport dari pusat/negara penjajah. Sehingga sumber hukum utamanya adalah UU. Yurisprudensi atau hukum tidak tertulis bisa menjadi sumber hukum Ketika UU tidak mengatur, misalnya Asas2 Umum Pemerintahan yang Baik (Algemene Beginselen van Behoorlijke Bestuur); Sedangkan dalam sejarah sistem common law, hakimnya dikirim dari pusat (Itinerant Justices) ke daerah2/tanah jajahan. Sehingga terjadilah tradisi judge made law akibat banyaknya kaidah hukum tidak tertulis di daerah2. BAGIAN I LOGIKA DAN PENALARAN
“Dubito, ergo sum, vel, quod idem
est, cogito, ergo sum.” (Rene Descartes) LOGIKA SEBAGAI ILMU
Logika = Logikos = Logos (Yunani)
The Liang Gie (Dictionary of Logic - Kamus Logika) = logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan filsafat yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan penalaran yang benar atau dikenal dengan correct reasoning. Episteme Logikos = Ilmu Pengetahuan tentang Logika Intinya logika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana bernalar dengan metode “yang benar”. Lalu apa itu metode “yang benar”? Akal Sehat Akal yang Sehat (Common Sense) adalah akal yang berjalan sesuai dengan kenyataan, dapat memisahkan hal-hal yang nyata dari yang imajinasi. Ciri-Ciri akal sehat = dapat memilah mana pengetahuan mana yang bukan. Intinya akal sehat dapat menjustifikasi pengetahuan. Pengetahuan (Knowledge) = “Justified True Belief” (Plato). Pengetahuan adalah Keyakinan benar yang terjustifikasi. Lagi-lagi ada kata “Benar”. Lalu apa itu “benar”? Benar Adalah… Benar (true/right), adalah kondisi objektif, faktual, senyatanya. Misal: Pisang adalah buah berdimensi Panjang, kulitnya berwarna kuning, dan bertekstur lembut, dagingnya berwarna putih. Apakah definisi pisang tersebut benar? Tentu benar, karena faktanya pisang berdimensi Panjang, kulitnya berwarna kuning, dan bertekstur lembut, dagingnya berwarna putih. Jika ada pertanyaan “Buah apa yang berdimensi Panjang, kulitnya berwarna kuning, dan bertekstur lembut, dagingnya berwarna putih?” apakah jawabannya selalu pisang? Pisang vs Timun Suri GETTIER PROBLEM Bacaan Lanjutan Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?”, Analysis 23 (6), Juni 1963, pp. 121-123. ( https://moodle.swarthmore.edu/pluginfile.php/ 361177/mod_folder/content/0/Gettier.pdf?forc edownload=1 ) Jika Kebenaran = Objektif maka… Kebenaran harus dapat ditelaah secara lengkap/sesempurna mungkin. Jika tidak sempurna/lengkap maka kemungkinan besar akan jatuh kepada kesesatan, dan timbul masalah seperti Gettier Problem. Dengan demikian kebenaran tidak selalu sama dengan kesepakatan para ahli. Death of Expertise (?) Oleh karena itu dibutuhkan yang Namanya METODOLOGI. Bukan hanya metode. Seseorang disebut ahli bukan hanya karena luasnya pengetahuan tetapi juga penguasaan metode dan metodologi ilmiah. Metode adalah cara/jalan. Tujuan metode adalah untuk membuktikan bahwa tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelaahan suatu subjek dapat dipertanggungjawabkan, dan dapat diulangi dengan hasil yang sama. Sedangkan metodologi bertujuan untuk mempertanggungjawabkan kenapa seseorang memilih metode A ketimbang metode B. Objective Truth/Reality dan Metode yang Benar Kebenaran (mutlak) hanya milik Tuhan, sedangkan manusia hanya berusaha mencapai kebenaran. Oleh karena itu lahirlah metode dan metodologi. Metode yang benar harus dipilih untuk berusaha mencapai kebenaran. Metode yang benar adalah metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis. Contoh, kajian mengenai penerapan hukum pada masyarakat adat TIDAK AKAN COCOK dengan metode yuridis normatif. Harusnya metode yang dipilih adalah metode yuridis empiris. Apakah Logika = Akal Sehat? Mari kita uji. Misalnya: Premis mayor = Jika malam tiba maka langit berwarna hijau. Premis minor = malam tiba Kesimpulan = langit berwarna hijau Kesimpulan yang diambil adalah sah/valid (logis) karena mengikuti kaidah metode yang benar, tetapi premis- premisnya tidak masuk akal karena faktanya jika malam tiba langit berwarna hitam atau kebiruan, bukan hijau. Kesimpulan: Logis tidak sama dengan sesuai akal sehat. Untuk mencapai kesimpulan yang sah dan benar maka premis harus masuk akal, metodenya pun harus benar. Pernyataan Matematis CONTOH Pasal 103 UU 5/1986 Keterangan ahli disampaikan baik tertulis mau pun lisan (A atau B unsur alternatif). Jika Keterangan ahli tidak disampaikan tertulis maka disampaikan secara lisan dan sebaliknya. Pasal 340 KUHP Unsur: Barangsiapa, Dengan Sengaja, dan dipikirkan lebih dahulu, menghilangkan nyawa orang lain (A dan B dst unsur kumulatif). Jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka tidak bisa kena pidana. Pasal 340 KUHP jika semua unsur terpenuhi maka dipidana mati atau penjara seumur hidup (Jika A maka B atau C). Pasal 87 UU 30/2014: Keputusan TUN dalam UU Peradilan TUN harus dimaknai: a. Penetapan tertulis yang juga mencakup Tindakan Faktual; b. c. d. dst (Untuk setiap x maka A(x) – unsur anggota). Maka penetapan tidak tertulis bukan merupakan objek sengketa PTUN karena ia bukan x maka bukan bagian dari A; Pasal 1 angka 10 UU 51/2009: Memasukkan Sengketa Kepegawaian ke dalam definisi Sengketa TUN (Ada x di mana A(x) – unsur anomali). Tontonan Lebih Lanjut https://www.youtube.com/watch?v=7HInbGu HG48 https://www.youtube.com/watch?v=119c3hd5 eMA https://www.youtube.com/watch?v=moNLEW q62iI https://www.youtube.com/watch?v=ZPRQfDH bRg4 https://www.youtube.com/watch?v=LSobxoK VtMY BAGIAN II PENALARAN HUKUM (LEGAL REASONING)
“Once you eliminate the impossible,
whatever remains, no matter how improbable, must be the truth.” - Sherlock Homes (Sir Arthur Conan Doyle). Definisi Penalaran adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap term dalam suatu proposisi, menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan menarik kesimpulan atas dasar proposisi-proposisi tersebut. Ockham Razor Principle Ockham Razor Principle: the idea that, in trying to understand something, getting unnecessary information out of the way is the fastest way to the truth or to the best explanation. Gunakan segala data atau informasi yang relevan saja. Jangan cocoklogi. Principle of parsimony or the law of parsimony (Latin: lex parsimoniae), is the problem-solving principle that "entities should not be multiplied beyond necessity“. Model Penalaran Deduktif = Umum ke Khusus Terutama di negara2 Civil Law yang menggunakan UU sebagai sumber hukum utama. Hakim akan menarik kaidah hukum umum dalam UU untuk diterapkan kepada kasus2 konkret untuk diperoleh putusan yang bersifat konkret-individual. Induktif = Khusus ke Umum Terutama dalam negara2 Common Law, dengan prinsip Judge Made Law, yakni hakim membentuk hukum (umum) berdasarkan kasus2 konkret (khusus), yang kemudian lahir kaidah hukum umum berdasarkan putusan konkret tersebut. Model Penalaran Hukum Terdapat 2 (dua) macam model penalaran hukum: Systematic legal reasoning, yakni kegiatan yang bercorak normatif, yang dibangun di atas sistem penalaran hukum, dan mengandung unsur rasionalisme, positivisme hukum apriori, analisa, deduksi, koherensi, penelitian hukum normatif, dan berpikir sistemik. Critical legal reasoning, yakni kegiatan yang unsurnya terdiri dari empirisme, historikal, yurisprudensi, aposteriori, sintesa, induksi, korespondensi, penelitian hukum sosiologis dan berpikir kritis. PENALARAN DEDUKTIF Model Penarikan Kesimpulan (Deduksi) Kegiatan Penarikan Kesimpulan disebut dengan Silogisme. Model penarikan kesimpulan (Silogisme): Modus Ponens, yakni pengambilan kesimpulan jika premis kesatu berupa proposisi kondisional yang menyampaikan hubungan sebab dan akibat (P maka Q) yang dikaitkan dengan premis kedua peristiwa konkret agar dapat ditarik kesimpulan. Modus Tollens, yakni pengambilan kesimpulan jika satu premis masih berupa proposisi kondisional yang menyampaikan hubungan sebab dan akibat (P maka Q), hanya saja satu premis lainnya berupa negasi dari konsekuensi di premis 1 (-Q). 1. Modus Ponens 2. Modus Tollens Pasal 340 KUHP Premis Mayor: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan dipikirkan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain (P), maka dipidana mati atau penjara seumur hidup (Q). Premis Minor: Adi Terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja dan dengan dipikirkan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain (P) Kesimpulan: Adi dipidana mati atau penjara seumur hidup (Q) Pasal 88 UU 5/1986 Premis Mayor: Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah: a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa; b. isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai; c. anak yang belum berusia tujuh belas tahun; d. orang sakit ingatan. Rumusan Premis = (P= a., b., c., d.; Q=Yang tidak boleh didengar sebagai saksi). Jika P maka Q. Premis Minor: Adi bukanlah a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa; b. isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai; c. anak yang belum berusia tujuh belas tahun; d. orang sakit ingatan. (-P) Kesimpulan: Adi boleh didengar sebagai saksi (-Q) PENALARAN INDUKTIF Misalnya dalam kasus konstruksi hukum, hakim membentuk hukum karena kekosongan hukum, lalu menerapkan kaidah hukum yang telah dibuatnya ke dalam peristiwa konkret; Contoh, analogi hukum dariPasal 1576 KUHPerdata, jual beli tidak memutuskan sewa menyewa yang telah ada. Hibah dianggap sama dengan jual beli sebagai bentuk alienasi benda sehingga hibah juga tidak menghapus sewa (>???). BAGIAN III PENEMUAN HUKUM DAN PREFERENSI HUKUM PAUL SCHOLTEN Penemuan Hukum adalah istilah dari Paul Scholten (Rechtsvinding) sebagai pembedaan dengan Penerapan hukum (rechtstoepassing); Hakim pidana dan Perdata di Indonesia PASTI menggunakan Penemuan hukum karena KUHP dan KUH Perdata asli menggunakan Bahasa Belanda, dan yang digunakan hakim adalah terjemahannya, bukan naskah asli Ada istilah lain yakni Rechtsschepping (Penciptaan hukum). Aliran/Madzhab Penemuan Hukum Aliran Hukum Legisme (asal dari Prancis) yakni aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sehingga hakim wajib menjadikan undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum dalam putusannya; Aliran Begriffsjurisprudenz (asal dari Jerman) yang mempercayai bahwa undang-undang tidaklah lengkap dan di samping undang-undang masih ada sumber-sumber hukum lain; Aliran Freirechtslehre yang lahir sebagai varian dari Begriffsjurisprudenz yang menitikberatkan pada kebebasan hakim dalam menentukan hukum karena hukum lahir dari peradilan. Metode Penemuan Hukum - Metode Interpretasi atau Penafsiran, yang terdiri dari Penafsiran Objektif dan Subjektif.
1. Penafsiran Objektif terdiri atas: Penafsiran Otentik,
Penafsiran Harafiah, Penafsiran Gramatikal dan Penafsiran Sistematis.
2. Penafsiran Subjektif terdiri atas: Penafsiran Original atau
lazim disebut Original Intent, Penafsiran Historis, Penafsiran Teleologis/Sosiologis, Penafsiran Futuristik, serta Penafsiran Ekstensif (memperluas definisi) dan Restriktif (mempersempit definisi).; - Metode Konstruksi Hukum yang terdiri dari Argumentasi Analogi (Argumentum Per-analogiam), Argumentasi Penyempitan Hukum (Rechtsverfijning) , dan Argumentasi A Contrario (Argumentum A Contrario); dan
- Metode Pemuan Hukum Bebas (freierechtbewegung) yang berarti
hakim bebas menemukan hukum berdasarkan pemahamannya dengan asumsi hukum tertulis selalu tertinggal dari perkembangan zaman sehingga hakim tidak wajib mengikutinya karena hakim bukanlah la buche de la loi (mulut undang-undang) dan hakimlah yang menciptakan hukum, dan undang-undang hanyalah sebagai argumentasi dari hukum yang diciptakannya. Asumsi-Asumsi dalam Penemuan Hukum The end of law is not to abolish or restrain but to preserve and enlarge freedom. (John Locke) Asas Legalitas dalam hukum publik: Nullum delictum nulla poena sine praevia leges poenali dan Rechtmatigheid van Bestuur; Asas Kebebasan dalam hukum privat: pacta sunt servanda, contract vrijheid. Asas adalah metanorma (melampaui norma) sehingga penerapan/penafsiran norma hukum harus sesuai dengan asas-asas yang berlaku umum (axioma). A. PENAFSIRAN Penafsiran (KBBI) adalah proses, cara, perbuatan menafsirkan; upaya untuk menjelaskan arti sesuatu. Penafsiran, dalam bahasa Inggris biasa juga disebut Interpretation (Belanda: Interpretatie). Namun dikenal pula suatu istilah lain yakni Exegesis (yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Eksegesis). Kata Eksegesis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yakni Ex (luar) dan hēgeisthai (menarik – lead out) dan jika digabungkan berarti “menarik keluar”. Lawan kata dari Eksegesis adalah Eisegesis yang berarti memasukkan ke dalam. Baik eksegesis mau pun eisegesis merupakan bagian dari interpretasi. “clara non sunt interpretanda” (Sesuatu yang sudah jelas tidak boleh menjadi objek penafsiran). Sehingga penafsiran hanya dilakukan Ketika ada norma yang TIDAK JELAS MAKNANYA. Penafsiran: Eksegesis vs Eisegesis; Eksegesis: Menarik keluar makna dari dalam objek. (√) Eisegesis: Memasukkan makna baru ke dalam suatu objek. (X) Isu Perkosaan Pasal 285 KUHP Hij die door geweld of bedreiging met geweld eene vrouw dwingt met hem buiten echt vleeschelijke gemeenschap te hebben, wordt, als schuldig aan verkrachting, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste twaalf jaren. INGAT ada unsur MEMAKSA SEORANG WANITA DENGAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN Pasal 285 KUHP unsurnya jelas “Wanita” (VROUW). Apakah bisa diekstensifikasi menjadi “Setiap orang” (Baik pria/wanita?)? Apakah kata “Geweld” (kekerasan fisik/violence) dan “bedreiging met geweld” (ancaman kekerasan) bisa ditafsirkan ekstensif menjadi kekerasan dalam arti umum, (fisik/psikis)? Apakah Ekstensifikasi makna tergolong eksegesis (penafsiran) atau eisegesis (memaksakan makna)? Eisegesis vs Salah Tafsir/Terjemah Pasal 340 KUHP --- Unsur Met voorbedachten rade di literatur2 Indonesia diterjemahkan “Dengan rencana terlebih dahulu”; Padahal harusnya diterjemahkan “Dengan dipikirkan terlebih dahulu”, bukan “direncanakan terlebih dahulu”. Kesalahan terjemahan menyebabkan salah tafsir sehingga seolah terjadi eisegesis. MACAM PENAFSIRAN HUKUM Penafsiran Otentik: Sesuai maksud pembuat undang-undang. Lihat di dalam UU tsb. Misalnya melalui definisi2 di Pasal 1 dalam UU. Penafsiran Harafiah: Melihat makna per kata berdasarkan arti harafiah, MISAL dengan KBBI, kamus hukum dll. Penafsiran Gramatikal: Melihat makna dari susunan kata atau gramatika. Penafsiran Sistematis: Melihat makna dengan membandingkan dengan pengaturan di dalam peraturan atau pasal lain. Penafsiran Original atau lazim disebut Original Intent. Menyerempet pada sejarah UU, yakni tujuan awal dibuatnya suatu UU; Penafsiran Historis (melihat pada sejarah pembentukan undang-undang dan sejarah hukumnya); Penafsiran Teleologis/Sosiologis (melihat makna norma hukum berdasarkan perspektif masyarakat); Penafsiran Futuristik (melihat penafsiran berdasarkan norma yang akan diberlakukan di masa depan / Ius Constituendum). Menyerempet pada penafsiran ekstensif dan restriktif; Penafsiran Ekstensif (memperluas definisi) dan Restriktif (mempersempit definisi). MENURUT SAYA INI BUKAN PENAFSIRAN TAPI KONSTRUKSI HUKUM. B. KONSTRUKSI HUKUM Konstruksi hukum dilakukan Ketika terjadi kekosongan hukum dalam penyelesaian kasus konkret; Argumentasi Analogi (Argumentum Per-analogiam). Misalnya dalam kasus sewa menyewa yang terjadi dalam masa hibah tidak diatur KUH Perdata, lalu hakim menganalogikan hibah dengan jual beli berdasarkan Pasal 1576 KUHPerdata, jual beli tidak memutuskan sewa menyewa yang telah ada (>???); Argumentasi Penyempitan/Perluasan Hukum (Rechtsverfijning/Ekstensifikasi). Misalnya penyempitan makna melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata (1401 BW Belanda) oleh Arrest Hogeraad 31 Jan 1919; Argumentasi A Contrario (Argumentum A Contrario). Misalnya masa tunggu pasca putusnya perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 hanya berlaku untuk perempuan, maka laki2 tidak ada masa tunggu; C. PREFERENSI HUKUM Preferensi dilakukan ketika terjadi antinomi norma (Pertentangan norma) dalam suatu peristiwa hukum. Pertama Lex Superior derogat Legi Inferiori, hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah; Kemudian jika sama tinggi, maka gunakan Lex specialis derograt legi generali, hukum yang khusus mengesampingkan yang umum; Terakhir barulah jika sama khusus/umumnya, gunakan Lex posterior derogat legi priori, Hukum yang baru mengesampingkan yang lama. BAGIAN IV SESAT PIKIR (LOGICAL FALLACIES) Karakteristik Sesat Pikir • Terdapat kesalahan dalam logika berpikir • Biasanya diterapkan dalam argumen • Ada indikasi kesan menipu kepada orang lain Macam-Macam Sesat Pikir 1. argumentum ad hominem. merupakan sesat pikir di mana saat dua pihak sedang melontarkan argumen, satu pihak akan membahas kepribadian orang lain yang tidak ada kaitannya dengan pembahasan yang sedang berlangsung.; 2. Hasty generalization (overgeneralization) ; 3. Strawman Fallacy. merupakan suatu keadaan di mana saat dua pihak sedang berbicara, pihak yang lain menyimpulkan argumen orang lain secara salah dan menimbulkan kesalahpahaman.; 4. Post Hoc Argumentation. merupakan sebuah argumen di mana seseorang melebih-lebihkan sesuatu dan terlalu mempercayai suatu hal.; 5. Circular reasoning. argumennya hanya berputar-putar di sana tanpa ada opini lain yang menguatkan.; 6. Burden of proof. sesat pikir dengan suatu keadaan di mana pihak pertama yang telah mengeluarkan argumen menantang kepada pihak kedua untuk memberikan bukti kalau argumennya itu tidak valid. 7. Begging the question. ketika seseorang mengungkapkan argumen, terdengar seakan-akan tidak jelas atau ambigu antara pernyataan atau pertanyaan. 8. False Dilemma. merupakan salah satu kesesatan berpikir yang membuat pihak pertama seolah-olah hanya memberikan dua pilihan dari argumennya kepada pihak kedua.; 9. Appeal to nature. Jenis sesat pikir yang satu ini membuat orang berpendapat kalau semua hal yang alami adalah baik, benar, dan tidak terbantahkan sama sekali.; 10. Anecdotal Argumentation. menggunakan pengalaman pribadi ataupun sampel tertentu secara subjektif untuk dijadikan sebagai argumen yang berkaitan dengan seluruh orang atau populasi. 11. Ad ignorantum. Sesat pikir ini sejatinya hampir sama seperti menggeneralisasikan sesuatu, tetapi hanya terpaku pada satu subjek saja.; 12. The gambler’s fallacy. Secara garis besar, gambler’s fallacy merupakan pola pikir, di mana seseorang percaya bahwa kebetulan jangka pendek akan terkoreksi secara alami.; 13. Middle ground. Pemikiran yang beranggapan kalau saat berada di tengah-tengah pertentangan, ia beranggapan kalau berada di titik tengah adalah suatu kebenaran.; 14. False Cause. Ini terjadi ketika seseorang disajikan dengan dua hal yang terjadi secara bersamaan, lalu orang itu berpikir dua hal tersebut saling berkaitan atau mempunyai sebab akibat. 15. Appeal to popularity (Argumentum ad Populum). Ini terjadi ketika seseorang mempercayai suatu argumen yang disetujui oleh sebagian besar masyarakat.; 16. Slippery slope. Yakni kesalahan berpikir mengenai sebab akibat.; 17. The fallacy fallacy. Dalam kasus ini, jika suatu klaim atau argumen dipertahankan dengan buruk, otomatis klaim atau argumen tersebut sudah pasti salah.; 18. Appeal to emotion (Argumentum ad Misericordiam) merupakan suatu keadaan di mana pihak satu mencoba untuk memanipulasi perasaan atau emosinya supaya lawan bicara ikut merasakan sedih, marah, atau emosi yang lainnya. Korban perkosaan tanpa bukti; 19. ambiguity. Yakni merupakan jenis logical fallacy yang membuat seseorang tidak jelas menyampaikan suatu kebenaran.; 20. Personal incredulity. Jika sulit dimengerti pasti salah.; 21. Tu quoque yakni cenderung menghindari sebuah kritikan. Ia justru membalas kritikan dari orang lain dengan kritikan juga.; 22. Genetic Fallacy. Yakni menganggap bahwa suatu argumen tidak valid atau tidak bisa dipercaya hanya karena datang dari siapa yang berbicara atau dari mana datangnya.; 23. Special pleading. Jenis yang ini cenderung membela dirinya sendiri dengan membuat pengecualian dari argumen atau klaimnya yang terbukti salah. 24. Argumentum ad baculum. Kebenaran argumentasi dipaksakan karena kuasa seseorang kepada orang lain.; 24. Argumentum ad Verecundiam, yakni kebenaran argumentasi karena wibawa seseorang. KESIMPULAN Untuk melakukan penalaran hukum yang benar harus sesuai prinsip logika yang telah umum disepakati (aksiomatik); Untuk usaha mencapai pengetahuan yang benar maka harus berasal dari informasi komprehensif dan terkonfirmasi oleh akal sehat (Common sense); Setelah memperoleh informasi komprehensif dan terkonfirmasi akal sehat, maka segera eliminasi fakta atau informasi yang tidak relevan; Gunakan metode dan metodologi yang tepat dan sebisa mungkin hindari sesat pikir; Jangan memaksakan kehendak dalam bernalar. Jika hendak mendobrak doktrin maka dobrak dengan cara yang benar, misalnya buat tulisan ilmiah dan teruji oleh ahli-ahli melalui tesis/disertasi/artikel jurnal, atau pun pertimbangan putusan hakim, karena doktrin yang telah ada dibuat dengan cara2 tsb.