Anda di halaman 1dari 60

LOGIKA DAN PENALARAN HUKUM

Muhammad Adiguna Bimasakti


(Hakim PTUN Jayapura)
Disampaikan pada Pembekalan Calon Hakim
15 Januari 2023
URGENSI PEMBELAJARAN
 (Penerapan) hukum harus sejalan dengan logika,
karena hakim dalam melakukan penerapan hukum
adalah konkretisasi dari norma yang bersifat abstrak
(Deduksi);
 Bahaya dalam kesalahan penerapan logika adalah
salah menerapkan hukum, yang menyebabkan tidak
tercapainya tujuan hukum, baik keadilan, kepastian
mau pun kemanfaatan;
PATUT DICAMKAN
Di dalam hukum tata negara Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan negara dibagikan
kepada beberapa lembaga negara, yakni:

1. Kekuasaan membuat undang-undang ada pada Presiden, DPR, dan


sebagian DPD RI (Pasal 20 UUD);
2. Kekuasaan pemerintahan ada pada Presiden (Pasal 4 UUD), dan sebagian
kekuasaan yang telah diserahkan/didistribusikan kepada Pemerintah
Daerah berdasarkan Pasal 18 dan 18A UUD 1945;
3. Kekuasaan kehakiman (mengadili) ada pada Mahkamah Agung dan
Badan-Badan Peradilan di bawahnya beserta sebuah Mahkamah
Konstitusi (Pasal 24-24C UUD);
INDONESIA TIDAK MENGANUT ASAS
PRESEDEN/STARE DECISIS
 Sistem Hukum Nasional Indonesia adalah civil law, sehingga sumber
hukum utama adalah UU, bukan yurisprudensi/preseden. kecuali dalam
pidana dan perdata adat/Islam yang sumber hukum utamanya adalah
wahyu ilahi dan adat. Ingat asas legalitas pidana Pasal 1 dan 2 UU 1/2023
(KUHP baru), pidana harus berdasarkan wettelijke
strafbepaling/perundang2an pidana;
 Dalam sejarah sistem hukum civil law, hakimnya adalah orang lokal
sedangkan hukumnya diimport dari pusat/negara penjajah. Sehingga
sumber hukum utamanya adalah UU. Yurisprudensi atau hukum tidak
tertulis bisa menjadi sumber hukum Ketika UU tidak mengatur, misalnya
Asas2 Umum Pemerintahan yang Baik (Algemene Beginselen van
Behoorlijke Bestuur);
 Sedangkan dalam sejarah sistem common law, hakimnya dikirim dari
pusat (Itinerant Justices) ke daerah2/tanah jajahan. Sehingga terjadilah
tradisi judge made law akibat banyaknya kaidah hukum tidak tertulis di
daerah2.
BAGIAN I
 LOGIKA DAN PENALARAN

 “Dubito, ergo sum, vel, quod idem


est, cogito, ergo sum.” (Rene
Descartes)
LOGIKA SEBAGAI ILMU

 Logika = Logikos = Logos (Yunani)


 The Liang Gie (Dictionary of Logic - Kamus Logika) =
logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan
filsafat yang mempelajari secara teratur asas-asas
dan aturan-aturan penalaran yang benar atau dikenal
dengan correct reasoning.
 Episteme Logikos = Ilmu Pengetahuan tentang
Logika
 Intinya logika adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana bernalar dengan metode “yang benar”.
 Lalu apa itu metode “yang benar”?
Akal Sehat
 Akal yang Sehat (Common Sense) adalah akal yang
berjalan sesuai dengan kenyataan, dapat
memisahkan hal-hal yang nyata dari yang imajinasi.
 Ciri-Ciri akal sehat = dapat memilah mana
pengetahuan mana yang bukan. Intinya akal sehat
dapat menjustifikasi pengetahuan.
 Pengetahuan (Knowledge) = “Justified True Belief”
(Plato). Pengetahuan adalah Keyakinan benar yang
terjustifikasi.
 Lagi-lagi ada kata “Benar”. Lalu apa itu “benar”?
Benar Adalah…
 Benar (true/right), adalah kondisi objektif, faktual,
senyatanya.
 Misal: Pisang adalah buah berdimensi Panjang, kulitnya
berwarna kuning, dan bertekstur lembut, dagingnya
berwarna putih.
 Apakah definisi pisang tersebut benar? Tentu benar, karena
faktanya pisang berdimensi Panjang, kulitnya berwarna
kuning, dan bertekstur lembut, dagingnya berwarna putih.
 Jika ada pertanyaan “Buah apa yang berdimensi Panjang,
kulitnya berwarna kuning, dan bertekstur lembut, dagingnya
berwarna putih?” apakah jawabannya selalu pisang?
Pisang vs Timun Suri
 GETTIER PROBLEM
Bacaan Lanjutan
 Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief
Knowledge?”, Analysis 23 (6), Juni 1963, pp.
121-123. (
https://moodle.swarthmore.edu/pluginfile.php/
361177/mod_folder/content/0/Gettier.pdf?forc
edownload=1
)
Jika Kebenaran = Objektif maka…
 Kebenaran harus dapat ditelaah secara lengkap/sesempurna mungkin.
Jika tidak sempurna/lengkap maka kemungkinan besar akan jatuh
kepada kesesatan, dan timbul masalah seperti Gettier Problem.
 Dengan demikian kebenaran tidak selalu sama dengan kesepakatan
para ahli.
 Death of Expertise (?)
 Oleh karena itu dibutuhkan yang Namanya METODOLOGI. Bukan
hanya metode. Seseorang disebut ahli bukan hanya karena luasnya
pengetahuan tetapi juga penguasaan metode dan metodologi ilmiah.
 Metode adalah cara/jalan. Tujuan metode adalah untuk membuktikan
bahwa tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelaahan suatu
subjek dapat dipertanggungjawabkan, dan dapat diulangi dengan hasil
yang sama.
 Sedangkan metodologi bertujuan untuk mempertanggungjawabkan
kenapa seseorang memilih metode A ketimbang metode B.
Objective Truth/Reality dan
Metode yang Benar
 Kebenaran (mutlak) hanya milik Tuhan, sedangkan
manusia hanya berusaha mencapai kebenaran. Oleh
karena itu lahirlah metode dan metodologi.
 Metode yang benar harus dipilih untuk berusaha
mencapai kebenaran.
 Metode yang benar adalah metode yang dapat
dipertanggungjawabkan secara metodologis.
 Contoh, kajian mengenai penerapan hukum pada
masyarakat adat TIDAK AKAN COCOK dengan
metode yuridis normatif. Harusnya metode yang
dipilih adalah metode yuridis empiris.
Apakah Logika = Akal Sehat?
 Mari kita uji. Misalnya:
 Premis mayor = Jika malam tiba maka langit berwarna
hijau.
 Premis minor = malam tiba
 Kesimpulan = langit berwarna hijau
 Kesimpulan yang diambil adalah sah/valid (logis) karena
mengikuti kaidah metode yang benar, tetapi premis-
premisnya tidak masuk akal karena faktanya jika malam
tiba langit berwarna hitam atau kebiruan, bukan hijau.
 Kesimpulan: Logis tidak sama dengan sesuai akal sehat.
Untuk mencapai kesimpulan yang sah dan benar maka
premis harus masuk akal, metodenya pun harus benar.
Pernyataan Matematis
CONTOH
 Pasal 103 UU 5/1986 Keterangan ahli disampaikan baik tertulis mau
pun lisan (A atau B unsur alternatif). Jika Keterangan ahli tidak
disampaikan tertulis maka disampaikan secara lisan dan sebaliknya.
 Pasal 340 KUHP Unsur: Barangsiapa, Dengan Sengaja, dan dipikirkan
lebih dahulu, menghilangkan nyawa orang lain (A dan B dst unsur
kumulatif). Jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka tidak bisa kena
pidana.
 Pasal 340 KUHP jika semua unsur terpenuhi maka dipidana mati atau
penjara seumur hidup (Jika A maka B atau C).
 Pasal 87 UU 30/2014: Keputusan TUN dalam UU Peradilan TUN harus
dimaknai: a. Penetapan tertulis yang juga mencakup Tindakan Faktual;
b. c. d. dst (Untuk setiap x maka A(x) – unsur anggota). Maka
penetapan tidak tertulis bukan merupakan objek sengketa PTUN
karena ia bukan x maka bukan bagian dari A;
 Pasal 1 angka 10 UU 51/2009: Memasukkan Sengketa Kepegawaian
ke dalam definisi Sengketa TUN (Ada x di mana A(x) – unsur
anomali).
Tontonan Lebih Lanjut
 https://www.youtube.com/watch?v=7HInbGu
HG48
 https://www.youtube.com/watch?v=119c3hd5
eMA
 https://www.youtube.com/watch?v=moNLEW
q62iI
 https://www.youtube.com/watch?v=ZPRQfDH
bRg4
 https://www.youtube.com/watch?v=LSobxoK
VtMY
BAGIAN II
 PENALARAN HUKUM (LEGAL
REASONING)

 “Once you eliminate the impossible,


whatever remains, no matter how
improbable, must be the truth.”
- Sherlock Homes (Sir Arthur
Conan Doyle).
Definisi
 Penalaran adalah kegiatan akal budi dalam
memahami makna setiap term dalam suatu
proposisi, menghubungkan suatu proposisi
dengan proposisi lain dan menarik
kesimpulan atas dasar proposisi-proposisi
tersebut.
Ockham Razor Principle
 Ockham Razor Principle: the idea that, in
trying to understand something, getting
unnecessary information out of the way is the
fastest way to the truth or to the best
explanation.
 Gunakan segala data atau informasi yang
relevan saja. Jangan cocoklogi.
 Principle of parsimony or the law of
parsimony (Latin: lex parsimoniae), is the
problem-solving principle that "entities should
not be multiplied beyond necessity“.
Model Penalaran
 Deduktif = Umum ke Khusus
 Terutama di negara2 Civil Law yang
menggunakan UU sebagai sumber hukum utama.
Hakim akan menarik kaidah hukum umum dalam
UU untuk diterapkan kepada kasus2 konkret untuk
diperoleh putusan yang bersifat konkret-individual.
 Induktif = Khusus ke Umum
 Terutama dalam negara2 Common Law, dengan
prinsip Judge Made Law, yakni hakim membentuk
hukum (umum) berdasarkan kasus2 konkret
(khusus), yang kemudian lahir kaidah hukum
umum berdasarkan putusan konkret tersebut.
Model Penalaran Hukum
 Terdapat 2 (dua) macam model penalaran hukum:
 Systematic legal reasoning, yakni kegiatan yang
bercorak normatif, yang dibangun di atas sistem
penalaran hukum, dan mengandung unsur
rasionalisme, positivisme hukum apriori, analisa,
deduksi, koherensi, penelitian hukum normatif, dan
berpikir sistemik.
 Critical legal reasoning, yakni kegiatan yang
unsurnya terdiri dari empirisme, historikal,
yurisprudensi, aposteriori, sintesa, induksi,
korespondensi, penelitian hukum sosiologis dan
berpikir kritis.
PENALARAN DEDUKTIF
Model Penarikan Kesimpulan
(Deduksi)
 Kegiatan Penarikan Kesimpulan disebut dengan Silogisme.
 Model penarikan kesimpulan (Silogisme):
 Modus Ponens, yakni pengambilan kesimpulan jika premis
kesatu berupa proposisi kondisional yang menyampaikan
hubungan sebab dan akibat (P maka Q) yang dikaitkan
dengan premis kedua peristiwa konkret agar dapat ditarik
kesimpulan.
 Modus Tollens, yakni pengambilan kesimpulan jika satu
premis masih berupa proposisi kondisional yang
menyampaikan hubungan sebab dan akibat (P maka Q),
hanya saja satu premis lainnya berupa negasi dari
konsekuensi di premis 1 (-Q).
1. Modus Ponens
2. Modus Tollens
Pasal 340 KUHP
 Premis Mayor: Barangsiapa dengan sengaja
dan dengan dipikirkan terlebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain (P), maka
dipidana mati atau penjara seumur hidup (Q).
 Premis Minor: Adi Terbukti secara sah dan
meyakinkan dengan sengaja dan dengan
dipikirkan terlebih dahulu menghilangkan
nyawa orang lain (P)
 Kesimpulan: Adi dipidana mati atau penjara
seumur hidup (Q)
Pasal 88 UU 5/1986
 Premis Mayor: Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah: a.
Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas
atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang
bersengketa; b. isteri atau suami salah seorang pihak yang
bersengketa meskipun sudah bercerai; c. anak yang belum berusia
tujuh belas tahun; d. orang sakit ingatan.
 Rumusan Premis = (P= a., b., c., d.; Q=Yang tidak boleh didengar
sebagai saksi). Jika P maka Q.
 Premis Minor: Adi bukanlah a. Keluarga sedarah atau semenda
menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke
dua dari salah satu pihak yang bersengketa; b. isteri atau suami salah
seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai; c. anak
yang belum berusia tujuh belas tahun; d. orang sakit ingatan. (-P)
 Kesimpulan: Adi boleh didengar sebagai saksi (-Q)
PENALARAN INDUKTIF
 Misalnya dalam kasus konstruksi hukum, hakim
membentuk hukum karena kekosongan hukum, lalu
menerapkan kaidah hukum yang telah dibuatnya ke dalam
peristiwa konkret;
 Contoh, analogi hukum dariPasal 1576 KUHPerdata,
jual beli tidak memutuskan sewa menyewa yang
telah ada. Hibah dianggap sama dengan jual beli
sebagai bentuk alienasi benda sehingga hibah juga
tidak menghapus sewa (>???).
BAGIAN III
 PENEMUAN HUKUM DAN
PREFERENSI HUKUM
PAUL SCHOLTEN
 Penemuan Hukum adalah istilah dari Paul Scholten
(Rechtsvinding) sebagai pembedaan dengan
Penerapan hukum (rechtstoepassing);
 Hakim pidana dan Perdata di Indonesia PASTI
menggunakan Penemuan hukum karena KUHP dan
KUH Perdata asli menggunakan Bahasa Belanda,
dan yang digunakan hakim adalah terjemahannya,
bukan naskah asli
 Ada istilah lain yakni Rechtsschepping (Penciptaan
hukum).
Aliran/Madzhab Penemuan
Hukum
 Aliran Hukum Legisme (asal dari Prancis) yakni
aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber
hukum adalah undang-undang, sehingga hakim wajib
menjadikan undang-undang sebagai satu-satunya
sumber hukum dalam putusannya;
 Aliran Begriffsjurisprudenz (asal dari Jerman) yang
mempercayai bahwa undang-undang tidaklah
lengkap dan di samping undang-undang masih ada
sumber-sumber hukum lain;
 Aliran Freirechtslehre yang lahir sebagai varian dari
Begriffsjurisprudenz yang menitikberatkan pada
kebebasan hakim dalam menentukan hukum karena
hukum lahir dari peradilan.
Metode Penemuan Hukum
- Metode Interpretasi atau Penafsiran, yang terdiri dari
Penafsiran Objektif dan Subjektif.

1. Penafsiran Objektif terdiri atas: Penafsiran Otentik,


Penafsiran Harafiah, Penafsiran Gramatikal dan Penafsiran
Sistematis.

2. Penafsiran Subjektif terdiri atas: Penafsiran Original atau


lazim disebut Original Intent, Penafsiran Historis,
Penafsiran Teleologis/Sosiologis, Penafsiran Futuristik,
serta Penafsiran Ekstensif (memperluas definisi) dan
Restriktif (mempersempit definisi).;
- Metode Konstruksi Hukum yang terdiri dari Argumentasi Analogi
(Argumentum Per-analogiam), Argumentasi Penyempitan Hukum
(Rechtsverfijning) , dan Argumentasi A Contrario (Argumentum A
Contrario); dan

- Metode Pemuan Hukum Bebas (freierechtbewegung) yang berarti


hakim bebas menemukan hukum berdasarkan pemahamannya dengan
asumsi hukum tertulis selalu tertinggal dari perkembangan zaman
sehingga hakim tidak wajib mengikutinya karena hakim bukanlah la
buche de la loi (mulut undang-undang) dan hakimlah yang menciptakan
hukum, dan undang-undang hanyalah sebagai argumentasi dari hukum
yang diciptakannya.
Asumsi-Asumsi dalam Penemuan
Hukum
 The end of law is not to abolish or restrain but to
preserve and enlarge freedom. (John Locke)
 Asas Legalitas dalam hukum publik: Nullum delictum
nulla poena sine praevia leges poenali dan
Rechtmatigheid van Bestuur;
 Asas Kebebasan dalam hukum privat: pacta sunt
servanda, contract vrijheid.
 Asas adalah metanorma (melampaui norma)
sehingga penerapan/penafsiran norma hukum harus
sesuai dengan asas-asas yang berlaku umum
(axioma).
A. PENAFSIRAN
 Penafsiran (KBBI) adalah proses, cara, perbuatan menafsirkan;
upaya untuk menjelaskan arti sesuatu.
 Penafsiran, dalam bahasa Inggris biasa juga disebut
Interpretation (Belanda: Interpretatie). Namun dikenal pula
suatu istilah lain yakni Exegesis (yang diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi Eksegesis).
 Kata Eksegesis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa
Yunani yakni Ex (luar) dan hēgeisthai (menarik – lead out) dan
jika digabungkan berarti “menarik keluar”.
 Lawan kata dari Eksegesis adalah Eisegesis yang berarti
memasukkan ke dalam. Baik eksegesis mau pun eisegesis
merupakan bagian dari interpretasi.
 “clara non sunt interpretanda” (Sesuatu yang
sudah jelas tidak boleh menjadi objek
penafsiran).
 Sehingga penafsiran hanya dilakukan Ketika
ada norma yang TIDAK JELAS MAKNANYA.
 Penafsiran: Eksegesis vs Eisegesis;
 Eksegesis: Menarik keluar makna dari dalam
objek. (√)
 Eisegesis: Memasukkan makna baru ke
dalam suatu objek. (X)
Isu Perkosaan Pasal 285 KUHP
 Hij die door geweld of bedreiging met geweld eene vrouw
dwingt met hem buiten echt vleeschelijke gemeenschap te
hebben, wordt, als schuldig aan verkrachting, gestraft met
gevangenisstraf van ten hoogste twaalf jaren.
 INGAT ada unsur MEMAKSA SEORANG WANITA DENGAN
KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN
 Pasal 285 KUHP unsurnya jelas “Wanita” (VROUW). Apakah
bisa diekstensifikasi menjadi “Setiap orang” (Baik pria/wanita?)?
 Apakah kata “Geweld” (kekerasan fisik/violence) dan
“bedreiging met geweld” (ancaman kekerasan) bisa ditafsirkan
ekstensif menjadi kekerasan dalam arti umum, (fisik/psikis)?
 Apakah Ekstensifikasi makna tergolong eksegesis (penafsiran)
atau eisegesis (memaksakan makna)?
Eisegesis vs Salah Tafsir/Terjemah
 Pasal 340 KUHP --- Unsur Met
voorbedachten rade di literatur2 Indonesia
diterjemahkan “Dengan rencana terlebih
dahulu”;
 Padahal harusnya diterjemahkan “Dengan
dipikirkan terlebih dahulu”, bukan
“direncanakan terlebih dahulu”.
 Kesalahan terjemahan menyebabkan salah
tafsir sehingga seolah terjadi eisegesis.
MACAM PENAFSIRAN
HUKUM
 Penafsiran Otentik: Sesuai maksud pembuat
undang-undang. Lihat di dalam UU tsb. Misalnya
melalui definisi2 di Pasal 1 dalam UU.
 Penafsiran Harafiah: Melihat makna per kata
berdasarkan arti harafiah, MISAL dengan KBBI,
kamus hukum dll.
 Penafsiran Gramatikal: Melihat makna dari susunan
kata atau gramatika.
 Penafsiran Sistematis: Melihat makna dengan
membandingkan dengan pengaturan di dalam
peraturan atau pasal lain.
 Penafsiran Original atau lazim disebut Original Intent.
Menyerempet pada sejarah UU, yakni tujuan awal dibuatnya
suatu UU;
 Penafsiran Historis (melihat pada sejarah pembentukan
undang-undang dan sejarah hukumnya);
 Penafsiran Teleologis/Sosiologis (melihat makna norma
hukum berdasarkan perspektif masyarakat);
 Penafsiran Futuristik (melihat penafsiran berdasarkan
norma yang akan diberlakukan di masa depan / Ius
Constituendum). Menyerempet pada penafsiran ekstensif
dan restriktif;
 Penafsiran Ekstensif (memperluas definisi) dan Restriktif
(mempersempit definisi). MENURUT SAYA INI BUKAN
PENAFSIRAN TAPI KONSTRUKSI HUKUM.
B. KONSTRUKSI HUKUM
 Konstruksi hukum dilakukan Ketika terjadi kekosongan hukum
dalam penyelesaian kasus konkret;
 Argumentasi Analogi (Argumentum Per-analogiam).
Misalnya dalam kasus sewa menyewa yang terjadi dalam masa
hibah tidak diatur KUH Perdata, lalu hakim menganalogikan
hibah dengan jual beli berdasarkan Pasal 1576 KUHPerdata,
jual beli tidak memutuskan sewa menyewa yang telah ada
(>???);
 Argumentasi Penyempitan/Perluasan Hukum
(Rechtsverfijning/Ekstensifikasi). Misalnya penyempitan
makna melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata (1401
BW Belanda) oleh Arrest Hogeraad 31 Jan 1919;
 Argumentasi A Contrario (Argumentum A Contrario).
Misalnya masa tunggu pasca putusnya perkawinan dalam UU
No. 1 Tahun 1974 hanya berlaku untuk perempuan, maka laki2
tidak ada masa tunggu;
C. PREFERENSI HUKUM
 Preferensi dilakukan ketika terjadi antinomi norma
(Pertentangan norma) dalam suatu peristiwa hukum.
 Pertama Lex Superior derogat Legi Inferiori, hukum
yang tinggi mengesampingkan hukum yang lebih
rendah;
 Kemudian jika sama tinggi, maka gunakan Lex
specialis derograt legi generali, hukum yang khusus
mengesampingkan yang umum;
 Terakhir barulah jika sama khusus/umumnya,
gunakan Lex posterior derogat legi priori, Hukum
yang baru mengesampingkan yang lama.
BAGIAN IV
 SESAT PIKIR (LOGICAL
FALLACIES)
Karakteristik Sesat Pikir
• Terdapat kesalahan dalam logika berpikir
• Biasanya diterapkan dalam argumen
• Ada indikasi kesan menipu kepada orang lain
Macam-Macam Sesat Pikir
 1. argumentum ad hominem. merupakan sesat pikir di mana
saat dua pihak sedang melontarkan argumen, satu pihak akan
membahas kepribadian orang lain yang tidak ada kaitannya
dengan pembahasan yang sedang berlangsung.;
 2. Hasty generalization (overgeneralization) ;
 3. Strawman Fallacy. merupakan suatu keadaan di mana saat
dua pihak sedang berbicara, pihak yang lain menyimpulkan
argumen orang lain secara salah dan menimbulkan
kesalahpahaman.;
 4. Post Hoc Argumentation. merupakan sebuah argumen di
mana seseorang melebih-lebihkan sesuatu dan terlalu
mempercayai suatu hal.;
 5. Circular reasoning. argumennya hanya berputar-putar di
sana tanpa ada opini lain yang menguatkan.;
 6. Burden of proof. sesat pikir dengan suatu keadaan di mana pihak
pertama yang telah mengeluarkan argumen menantang kepada pihak
kedua untuk memberikan bukti kalau argumennya itu tidak valid.
 7. Begging the question. ketika seseorang mengungkapkan argumen,
terdengar seakan-akan tidak jelas atau ambigu antara pernyataan atau
pertanyaan.
 8. False Dilemma. merupakan salah satu kesesatan berpikir yang
membuat pihak pertama seolah-olah hanya memberikan dua pilihan
dari argumennya kepada pihak kedua.;
 9. Appeal to nature. Jenis sesat pikir yang satu ini membuat orang
berpendapat kalau semua hal yang alami adalah baik, benar, dan tidak
terbantahkan sama sekali.;
 10. Anecdotal Argumentation. menggunakan pengalaman pribadi
ataupun sampel tertentu secara subjektif untuk dijadikan sebagai
argumen yang berkaitan dengan seluruh orang atau populasi.
 11. Ad ignorantum. Sesat pikir ini sejatinya hampir sama seperti
menggeneralisasikan sesuatu, tetapi hanya terpaku pada satu
subjek saja.;
 12. The gambler’s fallacy. Secara garis besar, gambler’s fallacy
merupakan pola pikir, di mana seseorang percaya bahwa
kebetulan jangka pendek akan terkoreksi secara alami.;
 13. Middle ground. Pemikiran yang beranggapan kalau saat
berada di tengah-tengah pertentangan, ia beranggapan kalau
berada di titik tengah adalah suatu kebenaran.;
 14. False Cause. Ini terjadi ketika seseorang disajikan dengan
dua hal yang terjadi secara bersamaan, lalu orang itu berpikir
dua hal tersebut saling berkaitan atau mempunyai sebab akibat.
 15. Appeal to popularity (Argumentum ad Populum). Ini terjadi
ketika seseorang mempercayai suatu argumen yang disetujui
oleh sebagian besar masyarakat.;
 16. Slippery slope. Yakni kesalahan berpikir mengenai sebab
akibat.;
 17. The fallacy fallacy. Dalam kasus ini, jika suatu klaim atau
argumen dipertahankan dengan buruk, otomatis klaim atau
argumen tersebut sudah pasti salah.;
 18. Appeal to emotion (Argumentum ad Misericordiam)
merupakan suatu keadaan di mana pihak satu mencoba untuk
memanipulasi perasaan atau emosinya supaya lawan bicara
ikut merasakan sedih, marah, atau emosi yang lainnya. Korban
perkosaan tanpa bukti;
 19. ambiguity. Yakni merupakan jenis logical fallacy yang
membuat seseorang tidak jelas menyampaikan suatu
kebenaran.;
 20. Personal incredulity. Jika sulit dimengerti pasti salah.;
 21. Tu quoque yakni cenderung menghindari sebuah
kritikan. Ia justru membalas kritikan dari orang lain
dengan kritikan juga.;
 22. Genetic Fallacy. Yakni menganggap bahwa suatu
argumen tidak valid atau tidak bisa dipercaya hanya
karena datang dari siapa yang berbicara atau dari
mana datangnya.;
 23. Special pleading. Jenis yang ini cenderung
membela dirinya sendiri dengan membuat
pengecualian dari argumen atau klaimnya yang
terbukti salah.
 24. Argumentum ad baculum. Kebenaran
argumentasi dipaksakan karena kuasa
seseorang kepada orang lain.;
 24. Argumentum ad Verecundiam, yakni
kebenaran argumentasi karena wibawa
seseorang.
KESIMPULAN
 Untuk melakukan penalaran hukum yang benar harus sesuai
prinsip logika yang telah umum disepakati (aksiomatik);
 Untuk usaha mencapai pengetahuan yang benar maka harus
berasal dari informasi komprehensif dan terkonfirmasi oleh akal
sehat (Common sense);
 Setelah memperoleh informasi komprehensif dan terkonfirmasi akal
sehat, maka segera eliminasi fakta atau informasi yang tidak
relevan;
 Gunakan metode dan metodologi yang tepat dan sebisa mungkin
hindari sesat pikir;
 Jangan memaksakan kehendak dalam bernalar. Jika hendak
mendobrak doktrin maka dobrak dengan cara yang benar, misalnya
buat tulisan ilmiah dan teruji oleh ahli-ahli melalui
tesis/disertasi/artikel jurnal, atau pun pertimbangan putusan hakim,
karena doktrin yang telah ada dibuat dengan cara2 tsb.

Anda mungkin juga menyukai