Penyakit Akibat Kerja
Penyakit Akibat Kerja
Oleh kelompok I:
Abul Hasan Al Asy’ari 22020118183002
Pandu Setyawan 22020118183003
Romi Natalina DJ. 22020118183005
Srimpi Kumayaningrum 22020118183012
Joko Eko Pramono 22020118183013
Dicky Zulfikar 22020118183019
A. Latar Belakang
Sebuah pelaksanaan usaha dalam bidang apapun tidak bisa dilepaskan
dari munculnya penyakit dan insiden kecelakaan kerja. Sepanjang proses
produksi atau pelayanan jasa berlangsung, penyakit dan kecelakaan kerja akan
selalu mengintai. Mengutip data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja
sebanyak 105.182 kasus, yang mengakibatkan kematianmencapai 2.375 kasus
dari total jumlah kecelakaan kerja yang ada (BPJS Ketenagakerjaan, 2016).
Namun dari jumlah itu tidak dijelaskan secara detail, berapa jumlah insiden
yang terjadi di Rumah sakit.
Rumah sakit dalam perannya memberikan pelayanan professional
dalam bidang kesehatan, merupakan tempat berkumpulnya orang sakit dan
sehat dalam waktu bersamaan. Kondisi ini membuat rumah sakit menjadi
tempat yang berbahaya jika tidak dikelola dengan baik. Potensi buruknya bisa
menjadi peluang terjadinya penularan, atau munculnya penyakit lain
dikemudian hari. Baik itu terjadi pada pasien, keluarga, maupun tenaga medis,
paramedis dan penunjang pelayanan lainnya.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI dalam pernyataannya
memaparkan, jumlah kecelakaan kerja dari tahun ke tahun mengalami tren
peningkatan rata-rata mengalami peningkatan hingga 5% (BPJS
Ketenagakerjaan, 2016). Tentu data kejadian ini menjadi hal yang patut
dicermati. Karena Rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan
kesehatan yang merupakan tempat bekerjanya banyak orang profesional, akan
sangat tepat jika budaya keselamatan diterapkan.
Di bagian Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS misalnya, berbagai macam
penyakit yang ada, memungkinkan menjadi tempat penularan penyakit infeksi,
baik bagi pasien, pengunjung maupun petugas yang bekerja. Petugas di IGD
sangat beresiko kontak langsung dengan agent penyakit menular seperti darah,
sputum, urine, jarum suntik dalam pelaksanaan kerjanya.
1
IGD yang merupakan pelayanan terdepan RS, yang selalu dikunjungi
masyarakat setiap hari dan menerapkan sistem kerja 24 jam, sudah seharusnya
menerapkan budaya kesehatan dan keselamatan kerja disetiap lini pelaksanaan
aktifitasnya. Hal ini bermanfaat bagi tenaga kerja yang ada di IGD dan tenaga
kerja lain di RS, sehingga bisa terlindungi dari segala ancaman penyakit dan
kecelakaan kerja.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk penyakit dan kecelakaan kerja di lingkungan
IGD Rumah Sakit?
2. Bagaimanakah upaya-upaya kesehatan dan keselamatan kerja yang bisa
diterapkan untuk mencegahnya?
3. Apakah kendala-kendala yang muncul dalam proses penerapan upaya-
upaya pencegahan tersebut?
C. Tujuan
1. Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk penyakit dan kecelakaan kerja yang
ada di lingkungan IGD RS.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah pencegahan penyakit dan
kecelakaan kerja yang ada di lingkungan IGD RS
3. Untuk mengidentifikasi hambatan atau kendala yang mungkin muncul
dalam proses penerapan budaya kesehatan dan keselamatan kerja di
Rumah Sakit.
D. Manfaat
1. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami bentuk-bentuk penyakit dan
kecelakaan kerja yang muncul di lingkungan IGD RS
2. Agar mahasiswa bisa menerapkan langkah pencegahan jika nantinya
bekerja di Rumah sakit.
3. Agar mahasiswa bisa mencari solusi atas hambatan yang muncul saat
budaya pencegahan kesehatan dan keselamatan kerja dilakukan.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
PENYAKIT DAN KECELAKAAN AKIBAT KERJA
A. Definisi
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun
2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja, penyakit akibat
kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja
termasuk penyakit terkait kerja. Penyakit terkait kerja adalah penyakit yang
mempunyai beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan dan atau lingkungan
kerja memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya.
3
3. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan promosi kesehatan
dan pencegahan penyakit.
1. Pendekatan manusia
4
2. Beban kerja
Beban kerja yang diberikan pada setiap pegawai harus disesuaikan dengan
kemampuan setiap pekerja, agar tidak terjadi kelebihan dan kekurangan beban
kerja. Sehingga dapat mengurangi gairah dalam bekerja.
3. Shift kerja
4. Jam kerja
5. Pendekatan lingkungan
6. Pendekatan manajemen
5
a. Adanya biaya pencegahan.
b. Kerugian akibat kecelakaan menimpa karyawan dan peralatan.
c. Terdapat selisih yang signifikan antara biaya pencegahan dan kerugian
akibat kecelakaan kerja.
d. Kecelakaan kerja selalu menyangkut manusia, peralatan dan proses.
e. Manusia merupakan faktor dominan dalam setiap kecelakaan.
6
3. Harus mempunyai pintu masuk dan keluar yang berbeda dengan pintu
utama (alur masuk kendaraan/pasien tidak sama dengan alur keluar)
kecuali pada klasifikasi IGD level I dan II.
4. Ambulans/kendaraan yang membawa pasien harus dapat sampai di
depan pintu yang areanya terlindung dari panas dan hujan (catatan: untuk
lantai IGD yang tidak sama tinggi dengan jalan ambulans harus membuat
ramp).
5. Pintu IGD harus dapat dilalui oleh brankar.
6. Memiliki area khusus parkir ambulans yang bisa menampung lebih dari 2
ambulans (sesuai dengan beban RS).
7. Susunan ruang harus sedemikian rupa sehingga arus pasien dapat lancar
dan tidak ada “cross infection”, dapat menampung korban bencana sesuai
dengan kemampuan RS, mudah dibersihkan, dan memudahkan kontrol
kegiatan oleh perawat kepala jaga.
8. Area dekontaminasi ditempatkan di depan/diluar IGD, atau terpisah
denganIGD.
9. Ruang triase harus dapat memuat minimal 2 (dua) brankar.
10.Mempunyai ruang tunggu untuk keluarga pasien.
11.Apotik 24 jam tersedia dekat IGD.
12.Memiliki ruang untuk istirahat petugas (dokter dan perawat)
7
adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan
pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat
pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup:
– Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh
penderita secara khronologis
– Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan
– Bahan yang diproduksi
– Materi (bahan baku) yang digunakan
– Jumlah pajanannya
– Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
– Pola waktu terjadinya gejala
– Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami
gejala serupa)
– Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan
(MSDS, label, dan sebagainya)
3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit
tersebut. Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang
mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit
yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar
ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan
diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang
mendukung, perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan
sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah,
lama, dan sebagainya).
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut. Jika penyakit yang diderita hanya dapat
terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien
di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan
membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat
menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat
mempengaruhi. Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun
8
riwayat pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya,
misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya
sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat
kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih
rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit.
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah
penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan
penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu
dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya.
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan
berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan
penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya
memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu
dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu pekerjaan/pajanan
dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa melakukan
pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita
penyakit tersebut pada saat ini.
9
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
10
3. Kecelakaan Kerja ( Kurniawidjaja et al., 2013; Sarastuti, 2016)
a. Tertusuk jarum bekas injeksi, atau jarum bekas infuse, jarum hecting,
dan terkena pecahan ampule.
b. Terkena cairan kimia dari obat-obatan injeksi, cairan kimia pembersih
lantai maupun cairan kimia pembersih alat-alat medis.
c. Terpeleset karena lantai basah di kamar mandi atau di sekitar tempat
cuci alat medis.
d. Cidera musculoskeletal seperti sprain dan strain
4. Keadaan Darurat di RS
Keadaan darurat adalah setiap kejadian yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap kelancaran operasi/kegiatan di lingkungan RS. Jenisnya yaitu :
Kebakaran
Gangguan tenaga, contoh: gangguan listrik, air, dll
Gangguan keamanan, contoh: huru-hara, demonstrasi, pencurian
Bencana alam, contoh: gempa bumi, angin topan, banjir, dll
Keadaan darurat di ruangan, contoh: gagal jantung, gagal napas.
B. Analisis Pembahasan
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab XII
Pasal 164 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang
mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau
mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang.
Berdasarkan pasal dalam UU di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit
(RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya
yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku
langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung
Rumah Sakit. Sehingga sudah seharusnya pihak manajemen RS menerapkan
upaya-upaya K3 di Rumah Sakit.
11
1. Contoh Kasus:
Perawat A usia 40 tahun, berpendidikan D3 Keperawatan. Telah bekerja
selama 17 tahun di Rumah Sakit, dan 10 tahun terakhir berdinas di Instalasi
Gawat Darurat (IGD). 2 mingguan ini, perawat A mulai mengeluhkan nyeri
pinggang bawah Low Back Pain (LBP). Sebelumnya sudah coba dipijat namun
belum mengalami perbaikan. Berobat ke Poli Ortopedi RS setempat dilakukan
pemeriksaan X-Ray dan MRI. Hasilnya ditemukan adanya Hernia Nucleus
Pulposes.
Hasil temuan ini dilaporkan ke Kepala Ruangan IGD, kemudian diteruskan
ke pihak manajemen Rumah Sakit. Sementara belum ada tindak lanjut yang
signifikan. Perawat A diminta untuk meneruskan pengobatan dan istirahat
untuk memulihkan kondisinya. Hingga 2 minggu berselang, belum ada lanjutan
dalam kejadian ini. Belum dilakukan diagnosis apakah HNP yang dialami
perawat A merupakan kasus yang merupakan penyakit akibat kerja.
Kejadian-kejadian semacam ini seringkali terjadi dikalangan karyawan
Rumah Sakit. Begitu karyawan sakit, yang kuat dugaan karena sakit akibat
kerja, tindakan hanya berupa pengobatan dan pemulihan. Belum ada analisis
evaluasi munculnya kejadian penyakit maupun keluhan lain dalam sistem kerja
yang berjalan.
2. Penanganan LBP karena HNP (Hernia Nucleus Pulposus)
Sesuai bahan ajar ke-IV tentang HNP Universitas Hasanudin (2016)
dijelaskan, penanganan LBP ada beberapa langkah. Diantaranya adalah:
a. Terapi fisik pasif.
b. Latihan dan modifikasi gaya hidup.
c. Terapi farmakologis obat-obatan Non Steroid Anti Inflamasi Drug’s
(NSAID), muscle relaxant, opioid, analgetik ajuvan, kortikosteroid oral.
d. Terapi operatif.
12
Untuk menurunkan resiko ergonomi yang diperkirakan berhubungan
dengan LBP, pihak manajemen rumah sakit (RS) sebaiknya dapat melakukan
(Kurniawidjaja et al., 2013):
a. Pengendalian teknik
Pengendalian teknik yaitu dengan memakai tempat tidur dan brankar
transportasi yang adjustable sebagai pengganti brankar statis. Selain itu
penggunaan sarana yang memudahkan dalam memindahkan pasien seperti
easy move.
b. Pengendalian administratif
Pengendalian administratif yaitu mengurangi beban dan frekuensi tugas
berisiko LBP dengan memenuhi rasio perawat-pasien minimal, menyusun
SOP, memberikan pendidikan dan pelatihan teknik pengendalian risiko
yaitu minimal tentang komunikasi hazard, teknik angkat angkut pasien,
teknik peregangan otot, tidak merokok, melakukan kegiatan olahraga
teratur untuk dapat meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot penyangga
tulang belakang, dan berperilaku kerja yang baik dengan mengikuti SOP.
13
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap hari kontak langsung dengan pasien dalam waktu cukup lama
(6-8 jam/hari), membuat perawat, dan dokter beresiko tinggi terpajan
mikroorganisme patogen dari pasien yang sakit. Tidak hanya karena kuman
patogen, petugas yang berjaga di Instalasi Gawat Darurat juga berpotensi,
menderita sakit jenis lain akibat proses kerjanya. Ada beberapa penyakit
menular yang rawan muncul di IGD, diantaranya adalah penyakit HIV AIDS,
Hepatitis, ISPA, cacar air, diare dll.
Selain langkah pencegahan itu, budaya kerja yang aman di RS, patut
dilaksanakan. Diantaranya adalah: penggunaan alat pelindung diri
(APD),komunikasi, dengan cara pertemuan singkat sebelum bekerja (safety
talk), pemasangan poster mengenai keselamatan kerja, pengawasan dan
monitoring terhadap bahan berbahaya, dan survei ruangan kerja dan
lingkungan kerja secara berkala untuk menilai ancaman/resiko yang ada.
B. Saran
14
1. Bagi perawat agar senantiasa menerapkan prinsip kerja yang benar
sehingga tidak mengalami cidera.
2. Perawat selalu menerapkan budaya kesehatan dan keselamatan kerja untuk
mencegah terjadinya penyakit dan kecelakaan kerja.
3. Bagi manajemen Rumah Sakit agar melakukan medical check up secara
berkala kepada karyawannya.
4. Melakukan seleksi terhadap karyawan baru sesuai dengan kemampuan dan
keterampilannya.
5. Segera melakukan tindakan pengobatan dan rehabilitasi kepada karyawan
yang sakit atau cidera.
15
DAFTAR PUSTAKA
16
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI PER.01/MEN/1981tentang
Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja.Diakses di www.esaco.co.id
tanggal 15November 2018 pukul 06.30 WIB.
Ramdan, I. M., & Rahman, A. (2004). Analisis Risiko Kesehatan dan
Keselamatan Kerja ( K3 ) pada Perawat Analysis of Health and Work
Safety Risk ( K3 ) on Nurse, 5(C), 229–241.
Sarastuti, D., Studi, P., Masyarakat, K., Kesehatan, F. I., & Surakarta, U. M.
(2016). Analisis kecelakaan kerja di rumah sakit universitas gadjah mada
yogyakarta publikasi ilmiah.
17