Anda di halaman 1dari 18

PENYAKIT DAN KECELAKAAN KERJA

DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RUMAH SAKIT

MATA KULIAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA


Dosen Pembimbing: Ns. Yuni Dwi Hastuti,S.Kep., M.Kep.

Oleh kelompok I:
Abul Hasan Al Asy’ari 22020118183002
Pandu Setyawan 22020118183003
Romi Natalina DJ. 22020118183005
Srimpi Kumayaningrum 22020118183012
Joko Eko Pramono 22020118183013
Dicky Zulfikar 22020118183019

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebuah pelaksanaan usaha dalam bidang apapun tidak bisa dilepaskan
dari munculnya penyakit dan insiden kecelakaan kerja. Sepanjang proses
produksi atau pelayanan jasa berlangsung, penyakit dan kecelakaan kerja akan
selalu mengintai. Mengutip data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja
sebanyak 105.182 kasus, yang mengakibatkan kematianmencapai 2.375 kasus
dari total jumlah kecelakaan kerja yang ada (BPJS Ketenagakerjaan, 2016).
Namun dari jumlah itu tidak dijelaskan secara detail, berapa jumlah insiden
yang terjadi di Rumah sakit.
Rumah sakit dalam perannya memberikan pelayanan professional
dalam bidang kesehatan, merupakan tempat berkumpulnya orang sakit dan
sehat dalam waktu bersamaan. Kondisi ini membuat rumah sakit menjadi
tempat yang berbahaya jika tidak dikelola dengan baik. Potensi buruknya bisa
menjadi peluang terjadinya penularan, atau munculnya penyakit lain
dikemudian hari. Baik itu terjadi pada pasien, keluarga, maupun tenaga medis,
paramedis dan penunjang pelayanan lainnya.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI dalam pernyataannya
memaparkan, jumlah kecelakaan kerja dari tahun ke tahun mengalami tren
peningkatan rata-rata mengalami peningkatan hingga 5% (BPJS
Ketenagakerjaan, 2016). Tentu data kejadian ini menjadi hal yang patut
dicermati. Karena Rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan
kesehatan yang merupakan tempat bekerjanya banyak orang profesional, akan
sangat tepat jika budaya keselamatan diterapkan.
Di bagian Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS misalnya, berbagai macam
penyakit yang ada, memungkinkan menjadi tempat penularan penyakit infeksi,
baik bagi pasien, pengunjung maupun petugas yang bekerja. Petugas di IGD
sangat beresiko kontak langsung dengan agent penyakit menular seperti darah,
sputum, urine, jarum suntik dalam pelaksanaan kerjanya.

1
IGD yang merupakan pelayanan terdepan RS, yang selalu dikunjungi
masyarakat setiap hari dan menerapkan sistem kerja 24 jam, sudah seharusnya
menerapkan budaya kesehatan dan keselamatan kerja disetiap lini pelaksanaan
aktifitasnya. Hal ini bermanfaat bagi tenaga kerja yang ada di IGD dan tenaga
kerja lain di RS, sehingga bisa terlindungi dari segala ancaman penyakit dan
kecelakaan kerja.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk penyakit dan kecelakaan kerja di lingkungan
IGD Rumah Sakit?
2. Bagaimanakah upaya-upaya kesehatan dan keselamatan kerja yang bisa
diterapkan untuk mencegahnya?
3. Apakah kendala-kendala yang muncul dalam proses penerapan upaya-
upaya pencegahan tersebut?

C. Tujuan
1. Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk penyakit dan kecelakaan kerja yang
ada di lingkungan IGD RS.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah pencegahan penyakit dan
kecelakaan kerja yang ada di lingkungan IGD RS
3. Untuk mengidentifikasi hambatan atau kendala yang mungkin muncul
dalam proses penerapan budaya kesehatan dan keselamatan kerja di
Rumah Sakit.

D. Manfaat
1. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami bentuk-bentuk penyakit dan
kecelakaan kerja yang muncul di lingkungan IGD RS
2. Agar mahasiswa bisa menerapkan langkah pencegahan jika nantinya
bekerja di Rumah sakit.
3. Agar mahasiswa bisa mencari solusi atas hambatan yang muncul saat
budaya pencegahan kesehatan dan keselamatan kerja dilakukan.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
PENYAKIT DAN KECELAKAAN AKIBAT KERJA

A. Definisi
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun
2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja, penyakit akibat
kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja
termasuk penyakit terkait kerja. Penyakit terkait kerja adalah penyakit yang
mempunyai beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan dan atau lingkungan
kerja memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya.

B. Penyebab Penyakit Akibat Kerja


Beberapa penyebab penyakit akibat kerja di IGD, dibagi menjadi 5 (lima)
golongan, yaitu:
1. Golongan fisik, penerangan yang kurang saat melakukan tindakan
keperawatan atau medis.
2. Radiasi pengion: Sinar X dari alat Radiologi yang berada di IGD
3. Golongan kimia. Cairan desinfektan dari pembersih lantai, cairan kimia
untuk mencuci alat-alat medis,
4. Golongan biologi:kuman TBC, Virus Hepatitis, Virus HIV,
5. Golongan ergonomic: posisi angkat angkut pasien yang salah,posisi
janggal dari tubuh saat menjahit luka atau perawatan luka.
6. Golongan psikososial: jadwal shift dalam kerja.

C. Prinsip-prinsip Penyakit Akibat Kerja


Dalam mendiagnosis penyakit akibat kerjaterdapat 3 (tiga) prinsip yang harus
diperhatikan:
1. Hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit
2. Frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada
pada masyarakat.

3
3. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan promosi kesehatan
dan pencegahan penyakit.

D. Penyakit-penyakit akibat kerja yang harus dilaporkan


Berdasarkan peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
PER.01/MEN/1981 tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja,ada
banyak penyakit yang harus dilaporkan. Namun beberapa diantaranya yang
sering muncul di IGD diantaranya adalah:
a. Asthma dan alergi, bisa disebabkan bedak sarung tangan karena
sensitivitas dalam proses pekerjaan.
b. Penyakit-penyakt kulit yang disebabkan cairan kimia desinfektan
c. Penyakit-penyakit infeksi atau parasit
d. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau suhu rendah atau
radiasi.

E. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja

     Upaya pencegahan kecelakaan kerja:

1. Pendekatan manusia

Pencegahan kecelakaan dipandang dari aspek manusianya harus berawal


pada hari pertama kerja. Setiap karyawan harus mengetahui fungsi, jabatan,
pekerjaan, dan tanggung jawab. Dengan demikian manajemen harus
menyeleksi calon karyawan dan mengadakan pelatihan agar dapat kualitas
sesuai dengan pekerjaannya. Misalnya, agar mendapat pekerjaan yang :

a. Terampil, harus diberikan pelatihan yang cukup.


b. Sesuai, dengan pimpinan yang benar.
c. Bergairah, dengan seleksi yang cukup dan sesuai.
d. Behati-hati dengan seleksi dan latihan yang cukup.
e. Tahu, dengan pendidikan yang cukup dan sesuai.
f. Sikap positif, dengan menciptakan hubungan yang baik.

4
2. Beban kerja

Beban kerja yang diberikan pada setiap pegawai harus disesuaikan dengan
kemampuan setiap pekerja, agar tidak terjadi kelebihan dan kekurangan beban
kerja. Sehingga dapat mengurangi gairah dalam bekerja.

3. Shift kerja

Permasalahan pada system shift adalah pekerja kesulitan untuk beradaptasi


dengan system shift. Misalnya, hanya bekerja pada shift malam. Oleh karena
itu, pihak manajemen berperan dalam menentukan shift, agar setiap pekerja
memperoleh jam istirahat yang cukup dalam menjalankan sistem shift.

4. Jam kerja

Sesuai UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 77 sampai


pasal 85, mewajibkan setiap pengusaha melaksanakan ketentuan jam kerja.
Ketentuan ini menganut 2 sistem, yaitu: pertama 7 jam kerja sehari, atau 40
jam/minggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu. Kedua 8 jam/hari atau 40
jam/minggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu. Apabila melebihi ketentuan
waktu kerja tersebut, maka pekerja harus mendapatkan kompensasi berupa
upah lembur (Pemerintah Indonesia, 2003).

5. Pendekatan lingkungan

Lingkungan sangat berpengaruh dalam terjadinya kecelakaan. Sehingga


pendekatan lingkungan diharapkan dapat menghilangkan, mengendalikan
bahaya-bahaya yang mungkin dapat timbul. Bahaya tersebut dapat berupa
listrik, mekanik, fisik dan kimia. Pendekatan lingkungan dapat dilakukan
dengan pemakaian alat pelindung diri, penerangan yang cukup, pengendalian
temperatur, manajemen kebisingan dan lain-lain. 

6. Pendekatan manajemen

Manajemen merupakan sarung ilmu yang mencakup aspek sosial dan


eksak sehingga tidak terlepas dari tanggung jawab kesehatan dan keselamatan
kerja. Oleh karena itu, manajemen harus menyadari :

5
a. Adanya biaya pencegahan.
b. Kerugian akibat kecelakaan menimpa karyawan dan peralatan.
c. Terdapat selisih yang signifikan antara biaya pencegahan dan kerugian
akibat kecelakaan kerja.
d. Kecelakaan kerja selalu menyangkut manusia, peralatan dan proses.
e. Manusia merupakan faktor dominan dalam setiap kecelakaan.

Untuk keberhasilan pelaksanaan dan pengendalian terhadap keselamatan


kerja harus dirumuskan dalam suatu program :

a. Kebijakan keselamatan kerja.


b. Pembagian tanggung jawab dan tanggung gugat.
c. Panitia keselamatan kerja.
d. Peraturan standar dan prosedur keselamatan kerja.
e. Sistem menentukan bahaya dan penyelidikan kecelakaan.
f. Program motivasi kerja.
g. Perencanaan pengendalian darurat.
h. Progam pengendalian kebakaran.
i. Program pemilihan, penempatan dan pembinaan karyawan.
j. Pengawasan dan penekanan kebijakan keselamatan kerja.
k. Penilaian efektifitas program keselamatan kerja.

Dalam pelaksanaan program diatas, hendaknya berdasarkan prioritas yang


disesuaikan dengan kondisi Rumah Sakit. Jadi, setiap Rumah Sakit dapat
menentukan sendiri prioritas berdasarkan situasi dan kondisi yang ada.

F. Persyaratan Fisik Bangunan IGD


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
856/Menkes/SK/IX/2009 Tentang Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit, persyaratan fisik bangunan IGD adalah sebagai berikut:
1. Luas bangunan IGD disesuaikan dengan beban kerja RS dengan
memperhitungkan kemungkinan penanganan korban massal/bencana.
2. Lokasi gedung harus berada dibagian depan RS, mudah dijangkau oleh
masyarakat dengan tanda-tanda yang jelas dari dalam dan luar Rumah
Sakit.

6
3. Harus mempunyai pintu masuk dan keluar yang berbeda dengan pintu
utama (alur masuk kendaraan/pasien tidak sama dengan alur keluar)
kecuali pada klasifikasi IGD level I dan II.
4. Ambulans/kendaraan yang membawa pasien harus dapat sampai di
depan pintu yang areanya terlindung dari panas dan hujan (catatan: untuk
lantai IGD yang tidak sama tinggi dengan jalan ambulans harus membuat
ramp).
5. Pintu IGD harus dapat dilalui oleh brankar.
6. Memiliki area khusus parkir ambulans yang bisa menampung lebih dari 2
ambulans (sesuai dengan beban RS).
7. Susunan ruang harus sedemikian rupa sehingga arus pasien dapat lancar
dan tidak ada “cross infection”, dapat menampung korban bencana sesuai
dengan kemampuan RS, mudah dibersihkan, dan memudahkan kontrol
kegiatan oleh perawat kepala jaga.
8. Area dekontaminasi ditempatkan di depan/diluar IGD, atau terpisah
denganIGD.
9. Ruang triase harus dapat memuat minimal 2 (dua) brankar.
10.Mempunyai ruang tunggu untuk keluarga pasien.
11.Apotik 24 jam tersedia dekat IGD.
12.Memiliki ruang untuk istirahat petugas (dokter dan perawat)

G. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu


dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat
disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman:
1. Tentukan Diagnosis klinisnya
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya
dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit.
2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja

7
adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan
pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat
pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup:
– Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh
penderita secara khronologis
– Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan
– Bahan yang diproduksi
– Materi (bahan baku) yang digunakan
– Jumlah pajanannya
– Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
– Pola waktu terjadinya gejala
– Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami
gejala serupa)
– Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan
(MSDS, label, dan sebagainya)
3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit
tersebut. Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang
mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit
yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar
ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan
diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang
mendukung, perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan
sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah,
lama, dan sebagainya).
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut. Jika penyakit yang diderita hanya dapat
terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien
di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan
membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat
menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat
mempengaruhi. Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun

8
riwayat pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya,
misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya
sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat
kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih
rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit.
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah
penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan
penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu
dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya.
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan
berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan
penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya
memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu
dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu pekerjaan/pajanan
dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa melakukan
pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita
penyakit tersebut pada saat ini.

9
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Jenis Penyakit Dan Kecelakaan Akibat Kerja Di IGD


1. Golongan Penyakit Menular
Pada golongan penyakit yang menular, terdapat beberapa jenis penyakit
yang dapat terjadi diantara para tenaga kesehatan IGD RS antara lain HIV/
AIDS, hepatitis B/C, tuberculosis (TBC), influenza (ISPA). Hal tersebut terjadi
karena akibat dari resiko kerja di IGD antara lain, tertusuk jarum/ terpapar
produk darah dan paparan virus yang menular melalui udara/ airborne disease.
Selain itu, IGD merupakan tempat awal masuknya pasien yang terkadang
belum diketahui diagnose penyakitnya menular ataupun tidak.
Pada penelitian yang dilakukan Ramdan & Rahman (2017) nilai resiko
tindakan yang sangat tinggi di IGD adalah menjahit luka, memasang infuse,
mengambil sample darah, dan memberikan injeksi. (Sarastuti, 2016)
menekankan bahwa yang membahayakan dari resiko tertusuk jarum atau benda
tajam lainnya bukan dari luka fisik yang ditimbulkan, namun yang
membahayakan justru bahaya biologinya, yaitu terpaparnya virus, jamur atau
bakteri dari pasien pada karyawan rumah sakit. Jenis cidera tertusuk jarum
merupakan salah satu transmisi penularan melalui darah dan cairan tubuh
(bloodborne pathogen). Beberapa penyakit infeksi dengan kategori bloodborne
pathogen yaitu Hepatitis B, Hepatitis C dan HIV.

2. Golongan Penyakit Tidak Menular:


Pada golongan penyakit tidak menular, LBP (Low Back Pain) menempati
urutan pertama pada penyakit yang ditimbulkan akibat kerja di ruang IGD.
Kurniawidjaja et al., (2013) melalui hasil penelitiannya mengungkapkan
bahwa, Sebanyak 65% perawat di UGD RS Fatmawati Jakarta didiagnosis
menderita LBP. Hal tersebut terjadi karena di IGD aktivitas angkat angkut
pasien cukup tinggi. Tingkat resiko ergonomi terhadap aktivitas angkat angkut
pasien sangat tinggi, sedangkan pekerjaan yang dilakukan dengan
membungkuk, tingkat risiko ergonominya bervariasi.

10
3. Kecelakaan Kerja ( Kurniawidjaja et al., 2013; Sarastuti, 2016)
a. Tertusuk jarum bekas injeksi, atau jarum bekas infuse, jarum hecting,
dan terkena pecahan ampule.
b. Terkena cairan kimia dari obat-obatan injeksi, cairan kimia pembersih
lantai maupun cairan kimia pembersih alat-alat medis.
c. Terpeleset karena lantai basah di kamar mandi atau di sekitar tempat
cuci alat medis.
d. Cidera musculoskeletal seperti sprain dan strain
4. Keadaan Darurat di RS
Keadaan darurat adalah setiap kejadian yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap kelancaran operasi/kegiatan di lingkungan RS. Jenisnya yaitu :
 Kebakaran
 Gangguan tenaga, contoh: gangguan listrik, air, dll
 Gangguan keamanan, contoh: huru-hara, demonstrasi, pencurian
 Bencana alam, contoh: gempa bumi, angin topan, banjir, dll
 Keadaan darurat di ruangan, contoh: gagal jantung, gagal napas.

B. Analisis Pembahasan
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab XII
Pasal 164 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang
mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau
mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang.
Berdasarkan pasal dalam UU di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit
(RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya
yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku
langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung
Rumah Sakit. Sehingga sudah seharusnya pihak manajemen RS menerapkan
upaya-upaya K3 di Rumah Sakit.

11
1. Contoh Kasus:
Perawat A usia 40 tahun, berpendidikan D3 Keperawatan. Telah bekerja
selama 17 tahun di Rumah Sakit, dan 10 tahun terakhir berdinas di Instalasi
Gawat Darurat (IGD). 2 mingguan ini, perawat A mulai mengeluhkan nyeri
pinggang bawah Low Back Pain (LBP). Sebelumnya sudah coba dipijat namun
belum mengalami perbaikan. Berobat ke Poli Ortopedi RS setempat dilakukan
pemeriksaan X-Ray dan MRI. Hasilnya ditemukan adanya Hernia Nucleus
Pulposes.
Hasil temuan ini dilaporkan ke Kepala Ruangan IGD, kemudian diteruskan
ke pihak manajemen Rumah Sakit. Sementara belum ada tindak lanjut yang
signifikan. Perawat A diminta untuk meneruskan pengobatan dan istirahat
untuk memulihkan kondisinya. Hingga 2 minggu berselang, belum ada lanjutan
dalam kejadian ini. Belum dilakukan diagnosis apakah HNP yang dialami
perawat A merupakan kasus yang merupakan penyakit akibat kerja.
Kejadian-kejadian semacam ini seringkali terjadi dikalangan karyawan
Rumah Sakit. Begitu karyawan sakit, yang kuat dugaan karena sakit akibat
kerja, tindakan hanya berupa pengobatan dan pemulihan. Belum ada analisis
evaluasi munculnya kejadian penyakit maupun keluhan lain dalam sistem kerja
yang berjalan.
2. Penanganan LBP karena HNP (Hernia Nucleus Pulposus)
Sesuai bahan ajar ke-IV tentang HNP Universitas Hasanudin (2016)
dijelaskan, penanganan LBP ada beberapa langkah. Diantaranya adalah:
a. Terapi fisik pasif.
b. Latihan dan modifikasi gaya hidup.
c. Terapi farmakologis obat-obatan Non Steroid Anti Inflamasi Drug’s
(NSAID), muscle relaxant, opioid, analgetik ajuvan, kortikosteroid oral.
d. Terapi operatif.

3. Pengendalian Resiko Ergonomi

12
Untuk menurunkan resiko ergonomi yang diperkirakan berhubungan
dengan LBP, pihak manajemen rumah sakit (RS) sebaiknya dapat melakukan
(Kurniawidjaja et al., 2013):

a. Pengendalian teknik
Pengendalian teknik yaitu dengan memakai tempat tidur dan brankar
transportasi yang adjustable sebagai pengganti brankar statis. Selain itu
penggunaan sarana yang memudahkan dalam memindahkan pasien seperti
easy move.
b. Pengendalian administratif
Pengendalian administratif yaitu mengurangi beban dan frekuensi tugas
berisiko LBP dengan memenuhi rasio perawat-pasien minimal, menyusun
SOP, memberikan pendidikan dan pelatihan teknik pengendalian risiko
yaitu minimal tentang komunikasi hazard, teknik angkat angkut pasien,
teknik peregangan otot, tidak merokok, melakukan kegiatan olahraga
teratur untuk dapat meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot penyangga
tulang belakang, dan berperilaku kerja yang baik dengan mengikuti SOP.

13
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap hari kontak langsung dengan pasien dalam waktu cukup lama
(6-8 jam/hari), membuat perawat, dan dokter beresiko tinggi terpajan
mikroorganisme patogen dari pasien yang sakit. Tidak hanya karena kuman
patogen, petugas yang berjaga di Instalasi Gawat Darurat juga berpotensi,
menderita sakit jenis lain akibat proses kerjanya. Ada beberapa penyakit
menular yang rawan muncul di IGD, diantaranya adalah penyakit HIV AIDS,
Hepatitis, ISPA, cacar air, diare dll.

Selain penyakit menular, contoh penyakit akibat kerja bisa berupa


cedera sprain dan strain dari otot lengan maupun kaki akibat mengangkat
terlalu berat, atau mendorong terlalu kuat, keluhan lain berupa nyeri pinggang.
Diperlukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam
menangani masalah tersebut. Beberapa langkah pencegahan bisa dilakukan,
diantaranya pemeriksaan kesehatan awal dan berkala pada tenaga kerja
tertentu, imunisasi Hepatitis B bagi perawat pengobatan tenaga kerja yang
sakit, untuk menghentikan perjalanan penyakit dan komplikasinya. 

Selain langkah pencegahan itu, budaya kerja yang aman di RS, patut
dilaksanakan. Diantaranya adalah: penggunaan alat pelindung diri
(APD),komunikasi, dengan cara pertemuan singkat sebelum bekerja (safety
talk), pemasangan poster mengenai keselamatan kerja, pengawasan dan
monitoring terhadap bahan berbahaya, dan survei ruangan kerja dan
lingkungan kerja secara berkala untuk menilai ancaman/resiko yang ada. 

B. Saran

14
1. Bagi perawat agar senantiasa menerapkan prinsip kerja yang benar
sehingga tidak mengalami cidera.
2. Perawat selalu menerapkan budaya kesehatan dan keselamatan kerja untuk
mencegah terjadinya penyakit dan kecelakaan kerja.
3. Bagi manajemen Rumah Sakit agar melakukan medical check up secara
berkala kepada karyawannya.
4. Melakukan seleksi terhadap karyawan baru sesuai dengan kemampuan dan
keterampilannya.
5. Segera melakukan tindakan pengobatan dan rehabilitasi kepada karyawan
yang sakit atau cidera.

15
DAFTAR PUSTAKA

BPJS Ketenagakerjaan. 2016. Jumlah kecelakaan kerja di Indonesia. Diakses


tanggal 30 Oktober 2018 pukul 21.30 WIB, dari;
www.bpjsketenagakerjaan.go.id
BPJS Ketenagakerjaan. 2016.Kecelakaan Kerja. Diakses tanggal 30 Oktober 2018
pukul 21.00 WIB; www.bpjsketenagakerjaan.go.id.

Departemen Kesehatan. 2014. Satu orang pekerja di dunia meninggal setiap 15


detik karena kecelakaan kerja. Diakses 15 November 2018 pukul 06.00
WIB, dari; www.depkes.go.id
Fakultas Kedokteran Unhas. 2016. Bahan ajar IV Nernia Nucleus Pulposus
diakses tanggal 5 November 2018 pukul 12.35 WIB, dari:
https://med.unhas.ac.id
Kurniawidjaja, L. M., Purnomo, E., Maretti, N., Pujiriani, I., Kajian, P., Kerja, K.,
… Keselamatan, M. (2013). Pengendalian Risiko Ergonomi Kasus Low
Back Pain pada Perawat di Rumah Sakit Ergonomic Risk Control on Low
Back Pain among Hospitals ’ Nurses, 46(4), 225–233.
Menap. 2018. Manajemen Risiko Klinik (Bangsal Keperawatan Rumah Sakit dan
Keselamatan Pasien). Yogyakarta: Husada Mandiri.
Pemerintah Indonesia. 2003. Undang-undang RI No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Diakses di tanggal 5 November 2018 pukul 10.16 WIB,
dari; www.kemenperin.go.id.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Pemerintah Indonesia. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar Instalasi Gawat Darurat
(IGD) Rumah Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 tentang
penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja.

16
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI PER.01/MEN/1981tentang
Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja.Diakses di www.esaco.co.id
tanggal 15November 2018 pukul 06.30 WIB.
Ramdan, I. M., & Rahman, A. (2004). Analisis Risiko Kesehatan dan
Keselamatan Kerja ( K3 ) pada Perawat Analysis of Health and Work
Safety Risk ( K3 ) on Nurse, 5(C), 229–241.

Sarastuti, D., Studi, P., Masyarakat, K., Kesehatan, F. I., & Surakarta, U. M.
(2016). Analisis kecelakaan kerja di rumah sakit universitas gadjah mada
yogyakarta publikasi ilmiah.

17

Anda mungkin juga menyukai