Sarpus-Strangulasi-Mischka Scalvinni 150100022-Dikonversi PDF
Sarpus-Strangulasi-Mischka Scalvinni 150100022-Dikonversi PDF
STRANGULASI
Pembimbing :
Disusun Oleh:
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Strangulasi”.
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat menjadi
referensi dalam pengembangan wawasan di bidang medis.
Penulis
DAFTAR ISI
2.3.Strangulasi........................................................ …………………………….11
2.1. Asfiksia
2.1.1. Definisi
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang
(hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan
demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan
terjadi kematian. 1 Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau
hipoksia. 2
2.1.2. Etiologi
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal 1:
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru
seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks
bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia
mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah
ataupun keracunan. 3
2.1.3. Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu2:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup,
kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk,
udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di
pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau
sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas
seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan,
pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal
dengan asfiksia mekanik.
2.1.4. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam
2 golongan, yaitu2:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan
oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak
oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap
kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel
serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal
dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau
primer tidak jelas.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan,
otot menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah
menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya
berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan.
Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut
beberapa saat lagi. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya
kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-5 menit.
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan
selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb
tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat
dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per
100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas
dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis
hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena
yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
Gambar 2. 2 Ini merupakan kasus strangulasi dengan tali dengan motif bunuh diri pada
korban dengan riwayat depresi berkepanjangan yang ditemukan di apartemen yang
terkunci dengan sebuah surat bunuh diri. Perhatikan tali yang terikat erat di sekeliling
leher. Pada korban juga dijumpai proses pembusukan dengan kulit yang megelupas,
bloating, dan purging.6
Gambar 2. 3 Kasus manual strangulation. Perhatikan adanya kontusio yang mengalami
abrasi ireguler di leher. Dijumpai area multipel dengan perdarahan di otot dan tulang
hyoid yang patah. Gambar pertama menunjukkan bahwa korban sebelumnya mengalami
kekerasan seksual di apartemen dan ditinggalkan di tangga. Pakaian korban ditemukan di
samping gedung, dibuang dari jendela. Pada tubuh korban dijumpai ptekiae multipel
dengan perdarahan di sklera dan konjungtiva setiap mata.6
Gambar 2. 4 Kasus manual strangulation. Setiap korban dalam gambar ini mengalami
kekerasan seksual. Penting untuk melakukan pemeriksaan pemerkosaan pada seluruh
kasus strangulasi pembunuhan. Perhatikan rentang abrasi. Dijumpai pula abrasi tipis yang
konsisten dengan bekas kuku jari. 6
Gambar 2. 5 Kasus mugging (arm-lock). Penjeratan dimana penyerang menahan leher
korban di tekukan siku atau tekukan lutut.7
Gambar 2. 6 Kasus garroting. Strangulasi terjadi dengan kompresi pada leher dengan
menggunakan benang atau kawat tipis yang dikencangkan dengan cepat.7
Gambar 2. 7 Kasus garroting. Praktik penghukuman terpidana dengan teknik Spanish
Windlass dimana tali yang mengikat leher selanjutnya dkencangkan dengan cara dipelintir
dengan menggunakan batang kayu.7
2.3.3. Mekanisme Kematian pada Strangulasi
Gambar 2. 8 Diagram alur gejala klinis yang dapat ditemui pada korban asfiksia.7
2. Oklusi pembuluh darah
Sistem pembuluh darah vena jugular berada di superfisial leher dan
lebih rentan daripada arteri karotis yang terletak lebih profunda. Selain
daripada itum arteri karotis dilindungi oleh otot sternokleidomastoideus dan
arteri vertebralis dilindungu oleh kanal-kanal tulang prosesus tranversum dari
vertebra. Sebagian besar temuan pada asfiksia pada kematian akibat kompresi
leher terjadi akibat oklusi vena ini. Pada eksperimen oleh Brouardel
disimpulkan bahwa tali dengan tegangan 2 kg dapat menghalangi aliran balik
darah di dalam vena jugular.5
Jika terjadi oklusi bilateral pada arteri karotis, maka akan segera
terjadi penurunan kesadaran karena suplai aliran darah arteri ke otak oleh
sirkulasi vertebral tidak cukup untuk mempertahankan fungsi kortikal, yang
sangat bergantung pada arteri serebri anterior dan media yang berasal dari
arteri karotis. 8
Hofmann merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa hal ini
merupakan mekanisme yang paling utama dalam menyebabkan kematian
pada kasus penggantungan berdasarkan observasi pada kasus penggantungan
yudisial dan eksperimen dengan mayat. Menurut Brouardel, sebuah tali
dengan tegangan 5 kg diperlukan untuk menyebabkan oklusi pada arteri
karotis dan tegangan 30 kg pada arteri vertebralis. Schwarzacher mengulangi
eksperimen Brouardel dan menyatakan bahwa tegangan 3,5 kg cukup untuk
menyebabkan oklusi pada arteri karotis dan 16,6 kg untuk menyebabkan
oklusi pada arteri vertebralis. Jika sirkulasi karotis dioklusi total selama
periode waktu 4 menit atau lebih tanpa terputus, maka kerusakan otak yang
ireversibel dapat terjadi.
Durasi waktu yang dibutuhkan agar hal ini terjadi masih menjadi
kontroversi, namun konsensus menyatakan bahwa kerusakan otak yang
permanen hampir tidak mungkin terjadi jika suplai darah telah dihentikan
secara terus-menerus selama kurang dari 4-5 menit. 8
3. Efek dari inervasi saraf di leher
Tekanan pada baroreseptor yang berada di sinus karotis, pembungkus
karotis, dan badan carotid dapat menyebabkan terjadinya bradikardia atau
bahkan henti jantung total yang diatur melalui persarafan parasimpatis. Sinus
karotis, yang berada di dalam kondisi ‘inhibisi vagal’ (vagal inhibition),
merupakan bagian dinding arteri karotis yang berdilatasi pada bifurkasionya
yang berada setentang batas atas kartilago tiroid dan mendapatkan persarafan
dari banyak ujung saraf nervus glosofaringeal (nervus kranialis IX).
Persarafan ini mengatur tekanan darah dan denyut jantung. Jika daerah ini
terkompresi, maka impuls akan dihantarkan ke otak melalui nervus
glosofaringeal ke nucleus vagal di batang otak (jalur aferen) dan impuls yang
dihantarkan dari otak akan kembali melalui cabang nervus vagus yang
mempersarafi jantung dan organ lain (jalur eferen). Akibat dari stimulasi
nervus vagus ini maka jantung dapat mengalami inhibisi atau tidak
beraktivitas sama sekali.5
4. Efek kombinasi
Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, berbagai faktor anatomi
dan fisiologi berpengaruh dalam menyebabkan kematian pada kasus
kompresi leher. Contoh paling umum dapat dijumpai pada strangulasi manual
(throttling) dimana tekanan di awal cukup untuk menyebabkan asfiksia saja,
namun dengan perubahan tekanan pada genggaman tangan dapat melibatkan
apparatus karotis dan menyebabkan kematian mendadak yang dramatis.5
Ilustrasi berikut di bawah merangkum mekanisme kematian dalam
penjeratan (dan semua kasus lain dimana terjadi kompresi pada leher).
Gambar 2. 9 Efek yang mungkin terjadi pada kompresi di leher: (a) reflex sinus karotis
menyebabkan henti jantung; (b) kompresi vena jugularis menyebabkan sianosis dan
ptekiae; (c) kompresi arteri karotis menyebabkan hilangnya kesadaran, dan (d) obstruksi
jalan napas menyebabkan hipoksia.5
Gambar 2.11 Gambaran jejas pada leher korban terlihat jelas, kematian dikarenakan
gerakan tali yang melingkar di leher korban dan merangsang carotid bodies arteri karotid
Gambar 2.12 (a) Tampak alat jerat yang dipakai membunuh melingkar di leher korban.
(b) Setelah dibuka tampak bekas alat jerat melingkar horizontal sampai ke belakang leher
Gambar 2.13 (a) Jejas tali pada leher anak yang dibunuh, tampak dua jejas pada leher. (b)
Jejas penjeratan yang khas, jejas jerat tidak harus ada pada leher belakang korban
Gambar 2. 14 Kongesti yang ekstensif pada kulit dengan ptekiae di atas bekas jeratan pada
kasus strangulasi pembunuhan. 9
Gambar 2. 15 Perdarahan berupa ptekiae pada sklera dan konjungtiva pada kasus
strangulasi.6
Gambar 2. 16 Variasi perdarahan sklera dan konjungtiva. Tergantung pada derajat
penekanan leher yang terus berlangsung setelah terbentuk ptekiae, perdarahan menjadi
semakin progresif dan konfluen hingga terjadi kematian.6
2.3.5. Temuan pada Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam pada kasus strangulation dapat ditemukan:
− Tampak resapan darah
− Laserasi pada otot dan lapisan dalam dan tengah arteri karotis
− Fraktur tulang hyoid dan kartilago tiroid sering ditemukan
− Kongesti luas pada saluran nafas
− Kongesti paru, bercak perdarahan. Pada sayatan akan keluar darah
− Kongesti jantung dan organ abdomen
Pemeriksaan jenis dan panjang bahan yang dipakai, serta jenis simpul
dapat membantu menentukan cara kematian. Pada waktu membebas lilitan
dari leher korban, tidak boleh membuka simpul, tetapi lilitan dipotong diluar
simpul, karena bentuk simpul bisa membantu penentuan kematian secara
medikolegal.10
2.4.2.2.Gagging
Ini disebabkan ketika beberapa bantalan atau selembar kain
didorong ke dalam mulut. Biasanya dilakukan untuk mencegah korban dari
berteriak minta tolong, dan kematian biasanya tidak dimaksudkan untuk
terjadi. Oleh karena itu, kadang-kadang tangan dan kaki korban dapat
ditemukan terikat untuk mencegahnya mengeluarkan kain yang
disumpalkan di mulut tersebut dan berjalan untuk mencari bantuan.
Sumpalan kain tersebut tidak hanya menghalangi mulut tetapi juga
mencegah masuknya udara melalui bagian belakang tenggorokan yang
datang melalui lubang hidung. Udara tersebut segera dilembabkan dengan
air liur, lendir dan cairan edema dan mungkin juga semakin tersedot karena
napas korban terengah-engah, dan dengan demikian semakin menyebabkan
obstruksi total. Karenanya, kematian di kasus-kasus seperti itu lebih
mungkin disebabkan oleh obstruksi faring. Temuan otopsi akan tergantung
pada intensitas perlawanan untuk bernafas dan kadang-kadang dapat
diabaikan atau tidak ada.5
Jika kain sumpalan telah diangkat, memar mukosa, lecet atau
laserasi mungkin terlihat jelas di bibir, langit-langit lunak dan di faring.
Untuk mengetahui apakah materi tertentu telah digunakan dalam
proses gagging, dapat diperiksa apakah ada sel epitel bukal. Saliva normal
mengandung antara 200-2000 sel epitel bukal per mm3 dan jika bahan telah
kontak dengan mulut, sel-sel ini dapat ditemukan.
2.4.2.3. Choking
Istilah ini mengacu pada penyumbatan saluran pernapasan atas
bagian dalam oleh bahan padat / semi-padat. Agen umum dapat berupa
sepotong makanan, gumpalan daging, koin, kancing, set gigi palsu,
kelereng, jagung, dll, dimana korban tersedak oleh bahan atau agen yang
disebutkan tadi.5
Makanan dapat jatuh ke laring, baik saat berjalan turun di mulut
pada saat menelan atau mungkin dimuntahkan dari perut. Dalam kasus
pertama, makanan yang belum tercerna dapat ditemukan di saluran udara.
Ini biasanya terlihat pada orang tua dan orang yang mengalami gangguan
mental, tetapi dapat terjadi pada semua kelompok umur.
Istilah populer 'kafe koroner' diciptakan oleh Roger Haugen,
Pemeriksa Medis di Broward County, Florida untuk pemaksaan makanan
masuk ke saluran pernapasan. Korban terlihat tiba-tiba merosot di atas
meja makan atau runtuh tiba-tiba sambil berjalan melintasi ruangan setelah
makan, tanpa tanda-tanda gangguan pernapasan. Ada serial asli kematian
yang melibatkan pengusaha yang baik dan sekarat tiba-tiba dan tiba-tiba di
restoran dan kafe, dimana korban pengusaha tersebut sambil duduk atau
tak lama setelah duduk di kursi mereka, tiba-tiba mati seolah-olah mereka
mati karena serangan jantung. Oleh sebab itu, fenomena ini populer
dengan istilah ‘kafe koroner/cafe coronary’.5
DAFTAR PUSTAKA