Anda di halaman 1dari 44

Sari Pustaka

STRANGULASI

Pembimbing :

dr. Agustinus Sitepu, M.Ked(For), Sp. F

Disusun Oleh:

Mischka Scalvinni Suvero Suyar 150100022

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN
MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Strangulasi”.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter


pembimbing dr. Agustinus Sitepu, M.Ked(For), Sp. F yang telah meluangkan
waktunya kepada kami dan memberikan bimbingan serta masukan dalam
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
makalah selanjutnya.

Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat menjadi
referensi dalam pengembangan wawasan di bidang medis.

Medan, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... i

Daftar Isi .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2 Tujuan ............................................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3

2.1. Asfiksia ........................................................................................................... 3

2.1.1 Definisi ................................................................................................. 3

2.1.2 Etiologi ................................................................................................. 3

2.1.3 Fisiologi ............................................................................................... 4

2.1.4 Patologi ................................................................................................ 5

2.1.5 Stadium Pada Asfiksia ......................................................................... 6

2.1.6 Tanda Kardinal Asfiksia ...................................................................... 7

2.1.7 Tanda Khusus Asfiksia ........................................................................ 9

2.2 Jenis Asfiksia ................................................................................................ 10

2.3.Strangulasi........................................................ …………………………….11

2.3.1 Definisi ............................................................................................... 11

2.3.2 Jenis Strangulasi................................................................................. 11

2.3.3 Mekanisme Kematian Pada Strangulasi............................................. 19

2.3.4 Temuan Pada Pemeriksaan Luar ........................................................ 23

2.3.5 Temuan Pada Pemeriksaan Dalam..................................................... 29

2.3.6 Aspek Medikolegal Pada Strangulasi ................................................ 29


2.3.7 Membedakan Mati Gantung Dengan Strangulasi ............................. 31

2.4. Asfiksia Mekanik Lainnya ............................................................................. 34


2.4.1 Penggantungan (Hanging).................................................................. 34
2.4.2 Penutupan Lubang Saluran Pernapasan Bagian Atas .................................. 35

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 39


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan
itu akan tejadi dengan mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat
dilihat setelah beberapa menit atau beberapa jam. Dalam kasus tertentu, salah satu
kewajiban dokter adalah membantu penyidik menegakan keadilan. Untuk itu dokter
sedapat mungkin membantu menentukan beberapa hal seperti saat kematian dan
penyebab kematian.
Saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda-
tanda dan gejala setelah kematian sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh
beberapa hal diantarannya umur, kondisi fisik pasien, penyakit fisik sebelumnya
maupun penyebab kematian itu sendiri.
Salah satu penyebab kematian adalah terjadinya gangguan pertukaran udara
pernafasan yang mengakibatkan suplai oksigen berkurang. Hal ini sering dikenal
dengan istilah asfiksia, Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering
diperiksa oleh dokter, hal tersebut menempati urutan ketiga setelah kecelakaan lalu
lintas dan traumatik mekanik.
Strangulasi (penjeratan) adalah salah satu kasus kematian yang terjadi akibat
asfiksia. Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai,
stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher
yang makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup. Berbeda
dengan gantung diri yang biasanya merupakan suicide (bunuh diri) maka penjeratan
biasanya adalah pembunuhan.
1.2 Tujuan Makalah
Tujuan Penulisan Makalah ialah:
a. Sebagai persyaratan mengikuti ujian akhir stase Forensik dan
medikolegal di RSUP Haji Adam Malik Medan.
b. Menjelaskan pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta memahami
gambaran post mortem pada berbagai kasus asfiksia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asfiksia
2.1.1. Definisi
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang
(hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan
demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan
terjadi kematian. 1 Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau
hipoksia. 2

2.1.2. Etiologi
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal 1:
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru
seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks
bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia
mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah
ataupun keracunan. 3
2.1.3. Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu2:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup,
kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk,
udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di
pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau
sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas
seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan,
pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal
dengan asfiksia mekanik.

2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)


Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini
didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan
ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar
ke pabrik.

3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)


Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini
bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini
tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar.
Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.

4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)


Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan
atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini
dibedakan atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada
keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom
oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada
keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung
perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena
penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan
zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan
sebagainya.
- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang
mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan
uremia.
- Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme
yang efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

2.1.4. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam
2 golongan, yaitu2:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan
oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak
oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap
kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel
serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal
dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau
primer tidak jelas.

2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari


tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen
yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri
dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan
tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian
berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
- Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.1.5. Stadium Pada Asfiksia


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 stadium, yaitu2:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2
akan merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan
ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-
otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata
menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini
berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot
tubuh, kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi
sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan
darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2 ini
terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.

3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan,
otot menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah
menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya
berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan.
Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut
beberapa saat lagi. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya
kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-5 menit.

2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia


Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis
kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu3:
a. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara
akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena,
terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit
dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan
sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan
otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium,
peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan
intestinum.
b. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan
ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga
terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan
sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung,
terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang
mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung)
menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium.
Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan
rongga badan (terjadi oedema).

c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan
selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb
tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat
dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per
100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas
dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis
hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena
yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

d. Tetap cairnya darah


Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran
tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada
kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik.
Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian
adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan
bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
dalam diagnosis asfiksia
2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia
Didapati sesuai dengan jenis asfiksia, yaitu4:
a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung
dan mulut.
Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di
belakang bibir luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di
belakang kepala atau tengkuk akibat penekanan. Biasanya
korban anak-anak atau orang yang tidak berdaya. Bila dilakukan
dengan bahan halus, kadang-kadang sulit mendapatkan tanda-
tanda kekerasan.
b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh
pengaruh berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit
memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di
pinggir salah satu sudut mulut.
Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati
di kedua kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka
lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh. Muka
korban lebih sering pucat karena peristiwa kematian
berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses pembendungan.
Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan
darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan
dan oesophagus. Tanda- tanda pembendungan seperti pada
keadaan asfiksia yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah
adanya perdarahan berupa garis yang letaknya melintang pada
tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan tekanan
tali pada leher.
Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang
digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh dengan cara
asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang
baik.
2.2. Jenis Asfiksia
Berdasarkan aspek medikolegal, maka asfiksia secara umum dibagi
menjadi asfiksia mekanik dan asfiksia nonmekanik. 5
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan
terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang
bersifat mekanik), misalnya1:
a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti
pembekapan (smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan
(strangulation), pencekikan (manual strangulation, throttling) dan
gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

Asfiksia nonmekanik dapat diartikan sebagai hambatan fisiologis atau


gangguan di mana terjadi eksklusi oksigen, baik pengurangan kadar atau
penggantian oleh gas lain atau gangguan kimia yang berhubungan dengan
penyerapan oksigen dan penggunaan oksigen oleh tubuh itu sendiri atau di
mana kadar oksigen di atmosfer itu sendiri tidak adekuat. Contohnya seperti
keracunan karbon monoksida, keracunan sianida, dll.5

2.3. Strangulasi (Penjeratan)


2.3.1. Definisi
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang,
rantai, stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau
mengikat leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan
tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang biasanya merupakan suicide
(bunuh diri) maka penjeratan biasanya adalah pembunuhan. Mekanisme
kematian pada penjeratan adalah akibat asfiksia atau refleks vaso-vagal
(perangsangan reseptor pada carotid body). Pada gantung diri, semua arteri
di leher mungkin tertekan, sedangkan pada penjeratan, arteri vertebralis
biasanya tetap paten. Hal ini disebabkan oleh karena kekuatan atau beban
yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar.4
Asfiksia yang terjadi pada penjeratan berbeda dengan asfiksia yang
terjadi pada penggantungan. Pada penjeratan, ikatan yang terjadi pada waktu
penjeratan merupakan faktor yang menyebabkan terhalangnya jalan nafas,
sedangkan pada penggantungan, berat badan korban yang menjadi faktor
terpenting. 4
Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa
tekanan pada leher korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena
kekuatan lain bukan karena berat badan korban.1
Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa
tekanan pada leher korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau
lengan bawah.1

2.3.2. Jenis Strangulasi


Menurut caranya, penjeratan terbagi atas tiga jenis:
1. Ligature Strangulation adalah penjeratan yang dilakukan dengan
menggunakan pengikat (tali) dimana tali dapat melingkupi baik sebagian
maupun keseluruhan leher, mirip dengan penggantungan.
Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain:
- Arah jerat mendatar / horisontal.
- Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
- Jenis simpul penjerat.
- Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-
lain.
- Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang
digunakan untuk menjerat.

2. Manual Strangulation (throttling) atau pencekikan, dilakukan dengan


tangan dan tangan tidak perlu melingkari leher korban.
Pencekikan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:6
- Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
- Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang
korban.
- Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang
korban.
Ciri-ciri penjeratan dengan tangan adalah:
• Manual Strangulation biasa dilakukan bila korbanya lebih lemah dari si
pelaku, seperti orang tua, anak-anak, wanita gemuk.
• Adanya luka lecet pada bahu si pelaku berbentuk bulan sabit yang
disebabkan oleh kuku si pelaku.
• Patahnya tulang lidah disertai dengan resapan darah di jaringan ikat dan
otot sekitarnya.
• Sembabnya kutub pangkal tenggorokan (epiglotis) dan jaringan longgar
di sekitarnya dengan bintik-bintik pendarahan.
• Jika mekanisme kematiannya oleh asfiksia maka akan dijumpai tanda-
tanda asfiksia
• Jika mekanisme kematiannya inhibisi vagal, kelainan terbatas pada
bagian leher disertai tanda-tanda asfiksia.
• Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pencekikan sekitar 30 detik-
beberapa menit
3. Penjeratan bukan dengan tali maupun strangulasi manual, mencakup
mugging, garroting, bansdola, dan palmar strangulation. 5
Mugging (arm-locks) merupakan suatu istilah dimana tekanan
pada leher oleh lengan diberikan di sekitar tenggorokan. Tekanan itu
biasanya dilakukan dari belakang, dimana leher korban ditangkap di
lekukan siku dan tekanan diberikan sambil bagian depan dan samping laring
ditekan. Kematian dapat terjadi karena asfiksia atau refleks henti jantung
karena inhibisi vagal.

Garroting atau penjeratan dengan alat, dilakukan dengan


menyerang korban dari belakang dan menjeratnya dengan alat perjerat
(berupa suatu benang yang tipis). Pada garrotting, benang tipis dilingkarkan
dengan cepat ke sekeliling leher korban, yang diserang dari belakang.
Benang tipis ini kemudian dengan cepat dikencangkan dengan bantuan dua
batang yang diikat pada ujung bebas benang sehingga mencengkram leher
dengan kuat. Korban menjadi asfiksia dan tidak sadar dengan cepat dan
akhirnya mati. Metode ini biasanya digunakan di tempat-tempat sepi untuk
membunuh dan merampok korban (seperti kasus para penjahat di India di
masa lalu). Teknik ini dulunya merupakan metode resmi pengadilan untuk
menghukum kriminal di Spanyol, sehingga muncul istilah Spanish
Windlass.

Bansdola dapat dianggap sebagai bentuk pencekikan di mana leher


diberikan kompresi dengan dua bambu atau batang lainnya, satu batang di
depan dan yang lainnya di belakang leher. Ujung-ujung batang ini lalu
disatukan dan diikat dengan tali di mana korban akan tercekik dan mati.
Terkadang hanya satu batang yang digunakan yang diletakkan melintang di
bagian depan leher dan penyerang berdiri dengan kaki di atas kedua ujung
batamg tersebut dan memberi tekanan untuk menyebabkan kematian.
Kadang-kadang, leher dapat dikompresi oleh kaki saja jika korban terlempar
ke tanah.
Palmar strangulation atau pencekikan, dilakukan dengan kedua
tangan, dimana tangan kanan pelaku ditekan horizontal pada mulut korban
dibantu tangan kiri yang menekan vertikal sehingga telapak tangan kiri
menekan leher korban bagian depannya.5
Ciri-ciri penjeratan dengan alat (garroting) adalah:
• Alat penjerat yang biasanya dibawa oleh pelaku seperti tali, kawat, dll.
Sedang, alat yang biasa dibawa korban seperti selendang, dasi, stocking
atau kain lainnya.
• Jumlah lilitan satu dengan simpul mati.
• Alat penjerat berjalan mendatar, luka lecet umumnya melingkari leher
secara keseluruhan.
• Dapat ditemukan luka bulan sabit, yang disebabkan oleh kuku (baik
kuku penjerat atau kuku korban)
• Resapan darah dalam otot dan jaringan ikat leher serta kelenjar gondok,
tergantung dari besar tekanan alat penjerat, dan luas permukaan alat.
• Patah tulang lidah (os. hyoid) tidak lazim kecuali didahului dengan
pencekikan.
• Bila mekanisme kematiannya Asfiksia, maka pada pemeriksaan dalam
dan luar akan ditemukan kelainan mayat akibat mati lemas: lebam
mayat yg lebih gelap dan luas, sianosis, bintik pendarahan di mata, busa
halus putih keluar dari mulut, darah tetap cair , dan sembabnya organ
dalam tubuh.
• Bila mekanisme kematiannya Inhibisi Vagal, maka kelainan yang
ditemukan terbatas pada alat penjerat dengan luka lecet tekan akibat alat
penjerat.
Gambar 2. 1 Strangulasi dengan tali dengan bekas jeratan horizontal mengelilingi leher.
Perhatikan juga luka pada wajah korban pada gambar kedua, yang juga terdapat abrasi.
Kedua korban ini juga mengalami kekerasan seksual.6

Gambar 2. 2 Ini merupakan kasus strangulasi dengan tali dengan motif bunuh diri pada
korban dengan riwayat depresi berkepanjangan yang ditemukan di apartemen yang
terkunci dengan sebuah surat bunuh diri. Perhatikan tali yang terikat erat di sekeliling
leher. Pada korban juga dijumpai proses pembusukan dengan kulit yang megelupas,
bloating, dan purging.6
Gambar 2. 3 Kasus manual strangulation. Perhatikan adanya kontusio yang mengalami
abrasi ireguler di leher. Dijumpai area multipel dengan perdarahan di otot dan tulang
hyoid yang patah. Gambar pertama menunjukkan bahwa korban sebelumnya mengalami
kekerasan seksual di apartemen dan ditinggalkan di tangga. Pakaian korban ditemukan di
samping gedung, dibuang dari jendela. Pada tubuh korban dijumpai ptekiae multipel
dengan perdarahan di sklera dan konjungtiva setiap mata.6
Gambar 2. 4 Kasus manual strangulation. Setiap korban dalam gambar ini mengalami
kekerasan seksual. Penting untuk melakukan pemeriksaan pemerkosaan pada seluruh
kasus strangulasi pembunuhan. Perhatikan rentang abrasi. Dijumpai pula abrasi tipis yang
konsisten dengan bekas kuku jari. 6
Gambar 2. 5 Kasus mugging (arm-lock). Penjeratan dimana penyerang menahan leher
korban di tekukan siku atau tekukan lutut.7

Gambar 2. 6 Kasus garroting. Strangulasi terjadi dengan kompresi pada leher dengan
menggunakan benang atau kawat tipis yang dikencangkan dengan cepat.7
Gambar 2. 7 Kasus garroting. Praktik penghukuman terpidana dengan teknik Spanish
Windlass dimana tali yang mengikat leher selanjutnya dkencangkan dengan cara dipelintir
dengan menggunakan batang kayu.7
2.3.3. Mekanisme Kematian pada Strangulasi

Sejumlah faktor anatomi dan fisiologis bervariasi dalam


menyebabkan kematian, itu sebabnya telah berulang kali ditunjukkan
meskipun dianggap kematian terutama disebabkan karena asfiksia, namun itu
bukan satu-satunya elemen yang terlibat. Faktor-faktor yang terlibat dalam
mekanisme kematian akibat dekompresi pada leher, termasuk strangulasi
adalah: 5,8

1. Oklusi saluran pernapasan


Obstruksi jalan napas dapat terjadi akibat kombinasi kompresi secara
langsung pada laring atau trakea dan juga mungkin mengangkat pangkal lidah
sehingga menghalangi faring. Brouardel telah menghitung bahwa tekanan di
atas 15 kg diperlukan untuk dapat menutup trakea.
Selanjutnya, diagram alur berikut menjelaskan secara ringkas
mengenai gambaran klinis yang mungkin terjadi karena asfiksia (oklusi
saluran napas).

Gambar 2. 8 Diagram alur gejala klinis yang dapat ditemui pada korban asfiksia.7
2. Oklusi pembuluh darah
Sistem pembuluh darah vena jugular berada di superfisial leher dan
lebih rentan daripada arteri karotis yang terletak lebih profunda. Selain
daripada itum arteri karotis dilindungi oleh otot sternokleidomastoideus dan
arteri vertebralis dilindungu oleh kanal-kanal tulang prosesus tranversum dari
vertebra. Sebagian besar temuan pada asfiksia pada kematian akibat kompresi
leher terjadi akibat oklusi vena ini. Pada eksperimen oleh Brouardel
disimpulkan bahwa tali dengan tegangan 2 kg dapat menghalangi aliran balik
darah di dalam vena jugular.5
Jika terjadi oklusi bilateral pada arteri karotis, maka akan segera
terjadi penurunan kesadaran karena suplai aliran darah arteri ke otak oleh
sirkulasi vertebral tidak cukup untuk mempertahankan fungsi kortikal, yang
sangat bergantung pada arteri serebri anterior dan media yang berasal dari
arteri karotis. 8
Hofmann merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa hal ini
merupakan mekanisme yang paling utama dalam menyebabkan kematian
pada kasus penggantungan berdasarkan observasi pada kasus penggantungan
yudisial dan eksperimen dengan mayat. Menurut Brouardel, sebuah tali
dengan tegangan 5 kg diperlukan untuk menyebabkan oklusi pada arteri
karotis dan tegangan 30 kg pada arteri vertebralis. Schwarzacher mengulangi
eksperimen Brouardel dan menyatakan bahwa tegangan 3,5 kg cukup untuk
menyebabkan oklusi pada arteri karotis dan 16,6 kg untuk menyebabkan
oklusi pada arteri vertebralis. Jika sirkulasi karotis dioklusi total selama
periode waktu 4 menit atau lebih tanpa terputus, maka kerusakan otak yang
ireversibel dapat terjadi.
Durasi waktu yang dibutuhkan agar hal ini terjadi masih menjadi
kontroversi, namun konsensus menyatakan bahwa kerusakan otak yang
permanen hampir tidak mungkin terjadi jika suplai darah telah dihentikan
secara terus-menerus selama kurang dari 4-5 menit. 8
3. Efek dari inervasi saraf di leher
Tekanan pada baroreseptor yang berada di sinus karotis, pembungkus
karotis, dan badan carotid dapat menyebabkan terjadinya bradikardia atau
bahkan henti jantung total yang diatur melalui persarafan parasimpatis. Sinus
karotis, yang berada di dalam kondisi ‘inhibisi vagal’ (vagal inhibition),
merupakan bagian dinding arteri karotis yang berdilatasi pada bifurkasionya
yang berada setentang batas atas kartilago tiroid dan mendapatkan persarafan
dari banyak ujung saraf nervus glosofaringeal (nervus kranialis IX).
Persarafan ini mengatur tekanan darah dan denyut jantung. Jika daerah ini
terkompresi, maka impuls akan dihantarkan ke otak melalui nervus
glosofaringeal ke nucleus vagal di batang otak (jalur aferen) dan impuls yang
dihantarkan dari otak akan kembali melalui cabang nervus vagus yang
mempersarafi jantung dan organ lain (jalur eferen). Akibat dari stimulasi
nervus vagus ini maka jantung dapat mengalami inhibisi atau tidak
beraktivitas sama sekali.5

4. Efek kombinasi
Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, berbagai faktor anatomi
dan fisiologi berpengaruh dalam menyebabkan kematian pada kasus
kompresi leher. Contoh paling umum dapat dijumpai pada strangulasi manual
(throttling) dimana tekanan di awal cukup untuk menyebabkan asfiksia saja,
namun dengan perubahan tekanan pada genggaman tangan dapat melibatkan
apparatus karotis dan menyebabkan kematian mendadak yang dramatis.5
Ilustrasi berikut di bawah merangkum mekanisme kematian dalam
penjeratan (dan semua kasus lain dimana terjadi kompresi pada leher).

Gambar 2. 9 Efek yang mungkin terjadi pada kompresi di leher: (a) reflex sinus karotis
menyebabkan henti jantung; (b) kompresi vena jugularis menyebabkan sianosis dan
ptekiae; (c) kompresi arteri karotis menyebabkan hilangnya kesadaran, dan (d) obstruksi
jalan napas menyebabkan hipoksia.5

Gambar 2. 10 Etiologi asfiksia mekanik 8


2.3.4. Temuan pada Pemeriksaan Luar
2.3.4.1. Penemuan Post Mortem
1. Strangulation marks
− Letaknya melintang dan melingkar, di bawah kartilago tiroid
− Letaknya miring karena tali ditarik dari belakang
− Tampak bekas jari pada leher, jika pelaku menggunakan tangan

Gambar 2.11 Gambaran jejas pada leher korban terlihat jelas, kematian dikarenakan
gerakan tali yang melingkar di leher korban dan merangsang carotid bodies arteri karotid
Gambar 2.12 (a) Tampak alat jerat yang dipakai membunuh melingkar di leher korban.
(b) Setelah dibuka tampak bekas alat jerat melingkar horizontal sampai ke belakang leher
Gambar 2.13 (a) Jejas tali pada leher anak yang dibunuh, tampak dua jejas pada leher. (b)
Jejas penjeratan yang khas, jejas jerat tidak harus ada pada leher belakang korban

2. Gambaran akibat asfiksia


Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar otopsi yang dapat kita
temukan antara lain adanya sianotik, petekie, atau kongesti daerah kepala,
leher atau otak. Lebam mayat akan terlihat gelap.
− Wajah serta bibir sianosis dan bengkak
− Bola mata menonjol dan pupil melebar
− Lidah membengkak, terjulur kadang tergigit
− Tangan tergengga
− Inkontinensia urin dan feses
− Organ genitalia kongesti
3. Tanda Kekerasan pada Leher
Tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu bekas
kuku dan bantalan jari. Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent
mark, yaitu luka lecet berbentuk semilunar/bulan sabit. Terkadang kita
dapat menemukan sidik jari pelaku. Perhatikan pula tangan yang digunakan
pelaku, apakah tangan kanan (right handed) ataukah tangan kiri (left
handed). Arah pencekikan dan jumlah bekas kuku juga tak luput dari
perhatian kita.

4. Tanda Kekerasan pada tempat lain


Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir,
lidah, hidung, dan lain-lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita
bahwa korban melakukan perlawanan.

Gambar 2. 14 Kongesti yang ekstensif pada kulit dengan ptekiae di atas bekas jeratan pada
kasus strangulasi pembunuhan. 9
Gambar 2. 15 Perdarahan berupa ptekiae pada sklera dan konjungtiva pada kasus
strangulasi.6
Gambar 2. 16 Variasi perdarahan sklera dan konjungtiva. Tergantung pada derajat
penekanan leher yang terus berlangsung setelah terbentuk ptekiae, perdarahan menjadi
semakin progresif dan konfluen hingga terjadi kematian.6
2.3.5. Temuan pada Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam pada kasus strangulation dapat ditemukan:
− Tampak resapan darah
− Laserasi pada otot dan lapisan dalam dan tengah arteri karotis
− Fraktur tulang hyoid dan kartilago tiroid sering ditemukan
− Kongesti luas pada saluran nafas
− Kongesti paru, bercak perdarahan. Pada sayatan akan keluar darah
− Kongesti jantung dan organ abdomen

2.3.6. Aspek Medikolegal pada Strangulasi


Dari aspek medikolegal, penting untuk mengetahui dan membedakan
apakah strangulasi yang terjadi pada korban merupakan suatu tindakan bunuh diri
(suicide), kecelakaan (accident), atau pembunuhan (homicide). 5
1. Strangulasi bunuh diri (Suicidal/Self-strangulation)
Meskipun jarang, namun penjeratan mungkin dilakukan oleh diri
sendiri dengan pengikat (ligature). Selain tidak adanya tanda perlawanan
dan pemberontakan, luka pada struktur yang lebih dalam dari leher juga
tidak signifikan. Strangulasi pada diri sendiri dengan pengikat dapat terjadi
dengan beberapa cara:
- Sebuah pengikat mungkin dipasang secara ketat di sekeliling leher, sekali,
dua kali, atau lebih dan ujung bebas dari pengikat dibuat simpul dapat
menyebabkan kematian.
- Kadang-kadang, pengikat dapat juga dipasang dengan mekanisme torniket.
Hanya ada satu kali ikatan pada leher yang kemudian disimpul, lalu diambil
sebatang ranting atau batang kayu kecil yang diselipkan melalui pengikat
dan diputar sedemikian rupa seperti pengungkit. Saat kesadaran hilang,
ranting tersebut mungkin akan berputar balik namun tidak akan lepas karena
tersangkut rahang korban, sehingga kompresi tetap terjadi dan korban mati.
Hal ini disebut Spanish Windlass Technique.
- Korban mungkin memasang selang yang sedang mengalir ke leher dan
memasukkan ujung bebas selang ke dalam jalinan selang.
- Korban mungkin memasang tali yang panjang di sekitar leher, lalu
menggunakan pemberat di ujung bebasnya, lalu melemparnya ke ujung
kasur atau kursi dimana korban berbaring..

2. Strangulasi akibat kecelakaan


Strangulasi jenis ini jarang dijumpai. Kasus yang terkenal contohnya
adalah penjeratan orang dengan selendang pada mesin yang sedang
bergerak, dikenal dengan the death of Isadora Duncan. Isadora Duncan
adalah penari Amerika yang mati mengenaskan. Pada suatu malam, dia
mengenakan selendang sutra di sekeliling lehernya dan ujung bebasnya
menjulur dengan lipatan panjang. Dia lalu menaiki mobil yang disewanya
(mobilnya tidak berpintu) dan tidak menyadari bahwa salah satu ujung
bebas selendang tersebut keluar dari mobil dan tersangkut di gigi mesin
belakang. Selendang tersebut lalu berputar mengikuti mesin dan korban
terpental keluar ke bagian samping mobil, dan membuatnya terjatuh
mengenai jalanan aspal. Dia lalu terseret beberapa kaki sebelum supir mobil
dapat berhenti. Dia mati di tempat pada saat itu juga. Kondisi-kondisi yang
juga dapat menyebabkan strangulasi secara kecelakaan antara lain:
- Sebelum atau pada saat proses melahirkan, beberapa bayi bisa terjerat tali
pusat sendiri.
- Anak-anak yang tidak sengaja terjerat saat sedang bermain.
- Orang-orang yang mabuk-mabukan.
- Saat sedang bekerja di dekat mesin, seorang pekerja bisa saja terjerat
karena pakaiannya (syal, selendang, dasi, dll.)
- Pencekikan yang tidak sengaja bisa terjadi jika tiba-tiba diberikan tekanan
oleh tangan, meskipun hanya bercanda. Kematian mendadak terjadi karena
inhibisi vagal. 5
3. Strangulasi pada pembunuhan
Ini merupakan bentuk umum pada pembunuhan. Strangulasi selalu di
dianggap sebagai pembunuhan sebelum dibuktikan bahwa itu bukan
pembunuhan. Pada umumnya, penyerang menggunakan tenaga yang jauh lebih
besar daripada yang sebenarnya diperlukan untuk membunuh dan oleh karena
itu luka yang dijumpai pada struktur leher lebih berat dan ekstensif. Bukti
berupa tanda-tanda perlawanan, baik pada lokasi tempat kejadian perkara dan
pada tubuh korban, biasanya dijumpai kecuali jika pasien dibuat tidak sadar
dengan memukul kepalanya atau memberikan obat-obatan.
Seringkali, bukti kekerasan seksual atau percobaan pemerkosaan
dijumpai dan strangulasi dilakukan untuk membungkam suara jeritan atau
mencegah korban berteriak. Pembunuhan bayi dengan pencekikan dapat
dilakukan dengan melilitkan tali pusat di sekeliling leher bayi, dimana
dijumpainya Wharton’s jelly merupakan bukti kuat disertai dengan tanda
kekerasan yang lain.5

2.3.7. Membedakan Mati Gantung dengan Strangulasi


Kematian karena penggantungan terjadi karena kompresi pada leher
sebagai akibat dari suspensi tubuh dalam arti tali dalam keadaan sedemikian rupa
sehingga berat tubuh berperan sebagai tenaga untuk kompresi ini, sementara
strangulasi tidak ada hubungannya dengan berat tubuh. Pembedaan ini perlu
karena penggantungan umumnya diasumsikan sebagai bunuh diri, sementara
strangulasi umumnya diasumsikan sebagai pembunuhan. Tabel berikut di bawah
merangkum perbedaan antara penggantungan dan strangulasi.5
Tabel 2. 1 Perbedaan antara Penggantungan dan Strangulasi dengan tali5
Strangulasi dengan tali
Karakteristik Penggantungan (Hanging)
(Strangulation by Ligature)
Usia Umumnya pada remaja dan Tidak ada batasan usia
dewasa muda atau tua
Sifat kematian Umumnya bunuh diri (suicidal) Umumnya pembunuhan (homicidal)
Wajah Pucat dan ptekiae jarang ditemui Kongesti, livid, dan ditandai dengan
ptekiae
Lidah Jarang bengkak dan protrusi Bengkak dan protrusi umum ditemui
Perdarahan Perdarahan dari hidung, mulut, Perdarahan dari hidung, mulut, teling
telinga jarang dijumpai bisa dijumpai
Saliva Sering menetes keluar dari mulut Jarang menetes
Leher Teregang dan memanjang pada Tidak teregang dan memanjang
mayat yang masih baru
Tanda eksternal Jarang ditemui Umum ditemui, kecuali pada kasus
asfiksia kematian karena efek vagal dan sinus
karotis.
Bekas jeratan Oblik, tidak kontinu, terletak Horisontal atau transversal, kontinu
tinggi di leher di antara dagu dan di sekeliling leher, di bagian leher
laring. Tepi bawah alur jeratan lebih bawah atau setentang tiroid.
keras, kuning, dan seperti kertas Tepi bawah alur jeratan lembut dan
kulit. Jaringan subkutan di bawah kemerahan. Jaringan subkutan di
bekas jeratan umumnya keras, bawah bekas jeratan bisa mengalami
putih, dan mengkilat. ekimosis.
Abrasi dan (a) Abrasi dan ekimosis di sekitar (a) Abrasi dan ekimosis dapat
ekimosis tepi jeratan jarang dijumpai. dijumpai di sekitar tepi jeratan.
(b) Goresan, abrasi, dan lebam (b) Goresan, abrasi, bekas kuku, dan
pada wajah, leher, dan bagian lebam pada wajah, leher, dan
tubuh lain umumnya tidak bagian tubuh lain dapat dijumpai.
dijumpai.
Luka pada otot Jarang dijumpai Umum dijumpai
leher
Arteri karotis Pembungkus internal arteri Jarang dijumpai ruptur pada
umumnya ruptur pada kasus jatuh pembungkus internal arteri
dari ketinggian
Laring dan trakea Fraktur pada laring dan trakea Fraktur pada laring dan trakea lebih
jarang dijumpai umum dijumpai
Tulang hyoid Fraktur tulang hyoid jarang Bisa dijumpai pada kasus strangulasi
dijumpai manual (throttling)
Kartilago tiroid Jarang dijumpai fraktur Lebih umum dijumpai fraktur
Vertebra servikalis Fraktur dan/atau dislokasi umum Jarang dijumpai
dijumpai pada judicial hanging.
Kekerasan seksual Jarang dijumpai bukti kekerasan Kadang-kadang dijumpai bukti
seksual meskipun pada kekerasan seksual.
penggantungan yang bersifat
pembunhan (homicidal).
2.4. Asfiksia Mekanik Lainnya
2.4.1. Penggantungan (Hanging)
Gantung diri adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher
oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian
oleh pengaruh gaya tarik berat badan sendiri. Kekuatan kontriksi ini akan
menyebabkan terjadinya asfiksia.. Selain gantung diri, kematian akibat
asfiksia juga disebabkan oleh pencekikan, kekurangan napas, dan
tenggelam. Gaya berat minimal alat yang dapat menyebabkan
pembendungan leher. 9
Berdasarkan kekuatan konstriksi, gantung diri dapat dibagi 2 yaitu:
1. Tergantung total (complete hanging), jika kedua kaki tidak menyentuh
tanah dan sepenuhnya dipengaruhi oleh berat badan korban.
2. Setengah tergantung (partial hanging), jika kedua kaki menyentuh
tanah dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh berat badan korban,
misalnya pada korban yang tergantung dengan posisi berlutut partial
gantung diri hampir selamanya karena bunuh diri.
Istilah ini digunakan jika berat badan tubuh tidak sepenuhnya menjadi
kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang tergantung
dengan posisi berlutut. Pada kasus tersebut berat badan tubuh tidak
seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan
parsial.
Pada kebanyakan kasus korban yang meninggal. Gejalanya yang
penting sehubungan dengan penggantungan adalah:
1. Kehilangan tenaga dan perasaan subyektif.
2. Perasaan melihat kilatan cahaya.
3. Kehilangan kesadaran,bisa disertai dengan kejang- kejang.
4. Keadaan tersebut disertai dengan terhentinya fungsi jantung dan
pernafasan.

Berdasarkan titik gantung, gantung diri dapat dibagi 2 yaitu :


1. Tipikal (typical hanging) titik gantung berada tepat di atas pertengahan
tulang oksipital. Dalam hal ini terjadi penekanan arteri dan saluran
nafas secara maksimum di daerah leher.
2. Atipikal, titik gantung berada di semua tempat selain dari pada
pertengahan tulang oksipital. Contohnya saat penggantungan korban
terjatuh dari anak tangga yang sedang dinaikinya.
Ada 2 jenis simpul yang dapat ditemukan pada kasus gantung diri,
yaitu:
1. Simpul hidup (running noose).
2. Simpul mati (satu atau lebih).

Pemeriksaan jenis dan panjang bahan yang dipakai, serta jenis simpul
dapat membantu menentukan cara kematian. Pada waktu membebas lilitan
dari leher korban, tidak boleh membuka simpul, tetapi lilitan dipotong diluar
simpul, karena bentuk simpul bisa membantu penentuan kematian secara
medikolegal.10

2.4.2. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas


2.4.2.1. Pembekapan (Smothering)
Ini dapat disebabkan oleh keadaan apa pun yang mencegah bernafas karena
adanya sumbatan hidung dan mulut. Benda yang biasa berperan biasanya
kain, bantal atau tangan. Terkadang, pasir, biji-bijian, lumpur, tepung,
rumput tebal atau tumbuh-tumbuhan mungkin dapat mengoklusi saluran
napas. 5
a. Pembekapan bunuh diri
Mungkin terjadi dengan menelungkupkan wajah di kasur atau
dengan berbaring terhadap sprei tempat tidur sehingga menghalangi hidung
dan mulut, terutama ketika berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-
obatan.
Para korban biasanya adalah pasien jiwa atau tahanan. Bunuh diri juga dapat
dilakukan dengan mengikat kantong plastik atau sejenisnya di atas kepala
dan wajah. Dalam kasus seperti itu, gambaran hipoksia dapat terjadi menjadi
sedikit. Mungkin ada beberapa perdarahan petekie di kelopak mata. Secara
internal, dapat ditemukan petechiae subepicardial. Keadaan di mana tubuh
ditemukan biasanya aktivitas auto-erotis. Prosesnya terkadang
dikombinasikan dengan dengan inhalasi zat eter, amil, nitrat, dll.
b. Pembekapan pembunuhan
Agar dapat melakukan pembunuhan pada orang dewasa, diperlukan
kesenjangan fisik yang besar antara penyerang dan korban atau sebagai
alternatif, korban harus dilumpuhkan oleh pengaruh penyakit, usia,
minuman atau obat-obatan. Tetapi juga bisa dilakukan jika
korban trauma oleh pukulan sebelum tindakan. Biasanya mulut
dan hidung ditutup dengan tangan atau pakaian atau wajah mungkin
ditekan oleh bantal. Namun, pembekapan dapat dilakukan pada orang
dewasa normal dalam kesadaran penuh jika jumlah penyerang lebih
banyak.5
c. Pembekapan kecelakaan
Keadaan dapat bervariasi sesuai dengan usia subjek, seperti
berikut:
- Bayi: Bayi, terutama saat prematur, mungkin terbekap hanya karena
beratnya pakaian tidur hidung dan mulut atau bayi 'born in a caul' mungkin
sengaja dicekik oleh kantung ketuban yang utuh. Seorang anak
mungkin mati lemas saat memalingkan wajahnya di ranjang, wajahnya
terbenam di dalam sprei tempat tidur atau bantal atau kasur, dll.
- Anak-anak dan dewasa muda: Anak-anak mungkin mengalami kecelakaan
mati lemas saat bermain dengan kantong plastik dan meletakkannya
di atas wajah mereka dan menempel di wajah. Seorang anak penderita
epilepsi kadang-kadang mati lemas karena wajahnya terbenam di bantal atau
pakaian tidur.
- Dewasa: Pembekapan secara tidak sengaja dapat terjadi pada pekerja
selama mereka bekerja. Seorang pekerja bisa jatuh dan terkubur menjadi
bahan setengah padat atau halus seperti pasir, abu, kapas, lumpur, wol,
tepung, debu batu bara, biji-bijian, gandum atau abu, dll., dan menyumbat
mulut dan hidung. Kematian orang dewasa mungkin sering terjadi ketika
individu sudah lemah atau tidak sadar karena pengaruh obat atau penyakit.5

2.4.2.2.Gagging
Ini disebabkan ketika beberapa bantalan atau selembar kain
didorong ke dalam mulut. Biasanya dilakukan untuk mencegah korban dari
berteriak minta tolong, dan kematian biasanya tidak dimaksudkan untuk
terjadi. Oleh karena itu, kadang-kadang tangan dan kaki korban dapat
ditemukan terikat untuk mencegahnya mengeluarkan kain yang
disumpalkan di mulut tersebut dan berjalan untuk mencari bantuan.
Sumpalan kain tersebut tidak hanya menghalangi mulut tetapi juga
mencegah masuknya udara melalui bagian belakang tenggorokan yang
datang melalui lubang hidung. Udara tersebut segera dilembabkan dengan
air liur, lendir dan cairan edema dan mungkin juga semakin tersedot karena
napas korban terengah-engah, dan dengan demikian semakin menyebabkan
obstruksi total. Karenanya, kematian di kasus-kasus seperti itu lebih
mungkin disebabkan oleh obstruksi faring. Temuan otopsi akan tergantung
pada intensitas perlawanan untuk bernafas dan kadang-kadang dapat
diabaikan atau tidak ada.5
Jika kain sumpalan telah diangkat, memar mukosa, lecet atau
laserasi mungkin terlihat jelas di bibir, langit-langit lunak dan di faring.
Untuk mengetahui apakah materi tertentu telah digunakan dalam
proses gagging, dapat diperiksa apakah ada sel epitel bukal. Saliva normal
mengandung antara 200-2000 sel epitel bukal per mm3 dan jika bahan telah
kontak dengan mulut, sel-sel ini dapat ditemukan.

2.4.2.3. Choking
Istilah ini mengacu pada penyumbatan saluran pernapasan atas
bagian dalam oleh bahan padat / semi-padat. Agen umum dapat berupa
sepotong makanan, gumpalan daging, koin, kancing, set gigi palsu,
kelereng, jagung, dll, dimana korban tersedak oleh bahan atau agen yang
disebutkan tadi.5
Makanan dapat jatuh ke laring, baik saat berjalan turun di mulut
pada saat menelan atau mungkin dimuntahkan dari perut. Dalam kasus
pertama, makanan yang belum tercerna dapat ditemukan di saluran udara.
Ini biasanya terlihat pada orang tua dan orang yang mengalami gangguan
mental, tetapi dapat terjadi pada semua kelompok umur.
Istilah populer 'kafe koroner' diciptakan oleh Roger Haugen,
Pemeriksa Medis di Broward County, Florida untuk pemaksaan makanan
masuk ke saluran pernapasan. Korban terlihat tiba-tiba merosot di atas
meja makan atau runtuh tiba-tiba sambil berjalan melintasi ruangan setelah
makan, tanpa tanda-tanda gangguan pernapasan. Ada serial asli kematian
yang melibatkan pengusaha yang baik dan sekarat tiba-tiba dan tiba-tiba di
restoran dan kafe, dimana korban pengusaha tersebut sambil duduk atau
tak lama setelah duduk di kursi mereka, tiba-tiba mati seolah-olah mereka
mati karena serangan jantung. Oleh sebab itu, fenomena ini populer
dengan istilah ‘kafe koroner/cafe coronary’.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Kedokteran Forensik. 1997. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. In:


Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 55-64.
2. Amir, A. 2008. Sebab Kematian. In: Amir, A., 2nd ed. Rangkaian Ilmu
Kedokteran Forensik. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
3. Knight, B., 1996. Forensic Pathology. 2nd ed. New York: Oxford
University Press, Inc.
4. Amir, A., 2007. Korban Kematian Asfiksia. In: Amir, A., 2nd ed. Autopsi
Medikolegal. Medan: Ramadhan, 43-44.
5. Vij, K. 2011. Asphyxial Deaths. In: Textbook of Forensic Medicine and
Toxicology Principles and Practice. 5th ed. India: Elsevier.
6. Catanese, C. 2016. Asphyxia. In: Color Atlas of Forensic Medicine and
Pathology. 2nd Ed. Boca Raton: CRC Press.
7. Chowdhry, S., Sharma, S. 2012. Asphyxial Conditions. Available online
from: https://www.slideshare.net/SunilSharma53/asphyxial-conditions
(Accessed: 30/06/2019)
8. Saukko, P., Knight, B. 2016. Knight’s Forensic Pathology. 4th Ed. Boca
Raton: CRC Press.
9. Meel, BI., 2006. Epidemiology of Suicide by Hanging in Transkei, South
Africa. Am J Forensic Med Pathol 27; 75-78.
10. Spitz, W.U., 2007. Asphyxia. In:Fisher, R. U., ed. Medicolegal
Investigation of Death Guidlines for the Aplication of Pathology to Crime
Investigation. USA: Charles C. Thomas, 270-277.
11. Prahlow JA., Byard RW. 2012. Atlas of Forensic Pathology. New York:
Springer, Humana Press.

Anda mungkin juga menyukai