Unggas yang dipakai yaitu: Jurnal 1: pada eksperimen pertama
menggunakan 18 ekor burung merpati (Columba livia domestica) dewasa dan eksperimen kedua, menggunakan 35 ekor burung merpati umur 4-5 minggu; Jurnal 2: sebanyak 31 ekor anak kalkun the British United Turkeys dengan 9 strain yang didapatkan dari unit peternakan konvensional di Perancis; Jurnal 3: 21 ekor elang jantan gyr-saker hybrid (F. rusticolus x F. cherrug) umur 2 bulan yang didapatkan dari pusat breeding elang komersial. Persiapan pembuatan A. fumigatus pada setiap jurnal berbeda. Pada jurnal 1: Strain A. fumigatus yang digunakan, diisolasi dari merpati pembalap yang kehilangan berat badan selama 4 minggu dan mengalami dyspnea. Kultur berumur 5 hari pada Sabouraud Dextrose Agar dicuci dengan 5 ml Tween 80 0,01% dalam Hank's Balanced Salt Solution (HBBS) untuk memanen konidia A. fumigatus. Konidia tersebut dicuci sebanyak 3 kali menggunakan Tween 80 0,01% dalam HBBS dan suspensi disesuaikan dengan konsentrasi 106 atau 108 konidia A. fumigatus/ml dalam HBBS dengan penghitungan hemacytometer. Pada jurnal 2, persiapan pembuatan A. fumigatus dilakukan dengan cara yaitu strain CBS 144,89, awalnya diisolasi dari pasien manusia dengan aspergillosis invasif di Perancis dan diperoleh dari Centraalbureau voor Schimmelculture, Utrecht, Belanda. Strain secara rutin dipertahankan pada Sabouraud dextrose agar ditambah dengan kloramfenikol (0,5 g / l). Untuk memperoleh spora aseksual (konidia), kultur ditanam pada agar YM (0,3% ekstrak ragi, 0,3% ekstrak malt, pepton 0,5%, dan agar 0,5%) pada suhu 37 oC. Setelah 3 hari pertumbuhan, sejumlah besar konidia dihasilkan dari sel-sel spesifik (phialids) yang memancar dari vesikel di atas hifa konidioforous. Konidia dipanen dengan membanjiri piring dengan air destilasi steril. Kemudian dipelet dengan sentrifugasi, dicuci saline fosfat-buffered (0,15 M) dan diukur menggunakan sel Malassez. Pada jurnal 3, persiapan pembuatan A. fumigatus dilakukan dengan cara yaitu strain A. fumigatus K125 (nomor aksesi rRNAdan gen ITS HE864321), diisolasi dari granuloma dari elang gyr-saker hybrid yang mati karena aspergillosis,disiapkan untuk inokulasi menurut sebelumnya studi (Van Waeyenberghe et al., 2012). Secara singkat, isolat dikultur selama lima hari pada suhu 37 ° C pada SAB. Untuk memanen konidia jamur biakan dicuci dengan 5 ml 0,01% Tween 20 dalam Hank's Balanced Salt Solution (HBSS). Conidia dicuci tiga kali dengan 0,01% Tween 20 dalam HBSS (sentrifugasi: 3200 × g selama 10 menit pada 4 ° C) sebelum suspensi disesuaikan dengan 10 7 , 106 , 105 , 104 , 103 , and 102 konidia/0.5 ml HBSS oleh hitungan haemocytometer. Untuk menentukan jumlah konidia yang viable 10- lipat pengenceran serial dikultur pada SAB di 0,01% Tween 20 dalam HBSS pada 37 ° C dan jumlah CFU per ½ mililiter dihitung setelah 24 jam inkubasi. Pada jurnal 1 tidak dijelaskan cara penghitungan dosis spora pada setiap kelompok perlakuan. Namun, eksperimen pertama yang dilakukan untuk tentukan dosis infeksi yang tepat. Tiga kelompok enam merpati diinokulasi secara intratrakeal baik dengan 0,2 ml dari 106 atau 108 suspensi A. fumigatus conidia / ml dalam HBSS atau dengan 0,2 ml HBSS. Percobaan kedua dilakukan dengan menggunakan tujuh kelompok empat merpati diinokulasi dengan 0,2 ml suspensi konidia A. fumigatus dengan 108 / ml dalam HBSS atau dengan 0,2 ml HBSS menggunakan salah satu rute inokulasi berikut: intratracheal, inokulasi di kantung udara toraks kanan dan inokulasi di bagian apikal kanan paru-paru. Pada jurnal 2 juga tidak dijelaskan cara penghitungan dosis spora, semua kelompok perlakuan A. fumigatus mendapat dosis yang sama yaitu inokulum yang mengandung sebanyak 107 spora A. Fumigates berumur 3 hari. Cara pemberiannya yaitu burung-burung kalkun diinokulasi dengan injeksi transkutan ke dalam kantung udara torachica caudal kanan dengan suspensi spora 100 µl. Pada jurnal 3 juga tidak dijelaskan cara penghitungan dosis spora. Adapun cara pemberiannya yaitu Enam kelompok tiga elang (B1-B6) masing-masing diinokulasi secara intratrakeal dengan konidia A. fumigatus 107 (B1), 106 (B2), 105 (B3), 104 (B4), 103 (B5), dan 102 (B6), masing-masing, dalam 0,5 ml HBSS. Gejala klinis yang muncul, berbeda pada setiap hewan. Pada jurnal 1 dijelaskan bahwa merpati yang diinokulasikan spora A. fumigatus mengalami penurunan berat badan, dispnea, bersin, dan stridor. Sedangkan kalkun (pada jurnal 2) terkena respiratory distress dan diare. Serta pada elang (jurnal 3) muncul perilaku mengacak-acak bulu, dyspnoea, mengeluarkan urat berwarna mint green, dan diare. Pada jurnal 1 ditemukan perubahan patologis seperti lesi yang paling menonjol terlihat pada saluran pernapasan dan organ visceral. Lesi kantung udara termasuk kehadiran granulomatosa foci dan keruh. Lesi paru-paru termasuk adanya granulomatosa dan haemorrhagic foci . Lesi pada pericardium termasuk adanya granulomatosa foci dan mengandung cairan kuning. Termasuk lesi granulomatous foci dan kongesti. Aspek pucat dari ginjal, granulomatosa foci besar di otak dan adanya aspek pucat dan foci granulomatosa pada otot-otot dada juga. Pada jurnal 2 dijelaskan adanya lesi yang terdiri dari nodul putih kecil protrusive (1 sampai 3 mm) pada permukaan paru-paru. Penebalan dinding kantung udara toraks dengan plak kecil. Tidak ada lesi makroskopis terdeteksi di hati atau otak secara eksperimental. Sedangkan pada jurnal 3, perubahan patologis berupa limpa yang sedikit bengkak atau jaringan paru-paru memerah, kantung udara yang menebal keruh dengan neovaskularisasi, lesi granulomatosa atau lesi berat lainnya. Pada ketiga jurnal tidak dijelaskan prosedur nekropsi yang dilakukan. Pada jurnal 1, organ yang diambil yaitu hati, trakea, paru-paru, kantung udara, jantung, perikardium, ginjal, otak, otot dada dan cairan abdominal. Sedangkan pada jurnal 2 sampel diambil yaitu membran kantung udara dan parenkim paru-paru. Pada jurnal 3 yaitu sampel dari hidung concha, trakea, paru- paru, jantung, hati, limpa, proventriculus, ventriculus, usus, ginjal, kloaka, bursa, otot dada, otak. Analisis mikologi dan histologis. Bagian paru-paru, hati dan otak diaplikasikan pada agar Sabouraud dextrose dengan 0,5% kloramfenikol dalam cawan Petri. Pengambilan sampel kantung udara toraks dilakukan dengan apusan kapas steril. Pelat diinkubasi selama 4 hari pada suhu 37C. Ketika koloni jamur berkembang, identifikasi spesies dilakukan oleh pemeriksaan mikroskopis konidiofor dan konidia, selain pengamatan morfologi koloni. A. fumigatus ditandai dengan konidia echinulate hijau, berdiameter 2 hingga 3 mm, diproduksi dalam rantai dari phialids kehijauan, 6 hingga 8 mm dengan 2 hingga 3 mm dalam ukuran. Semua organ dan jaringan selanjutnya diperbaiki dalam formaldehida 10%. Spesimen lilin yang disematkan parafin dipotong pada 4 mm dan diwarnai dengan hematoksilin −eosin − safran (HES), pewarnaan methenamine silver (MS) dan asam periodik chSiff. Pewarnaan immuno-histokimia dilakukan dengan immunostainer otomatis Ventana NexES pada bagian 4 mm menggunakan metode kompleks avidin −biotin − peroksidase dengan diaminobenzidine sebagai substrat dan haematoxylin sebagai counter-pewarnaan. Setelah deparaffinisasi, membuka kedok antigen dengan panas (microwave 750 W, 10 menit) dan penghambatan aktivitas peroksidase endogen. Hasil pada percobaan menunjukkan parabronchus diisi oleh eksudat yang kaya heterofil (asterisk) dan infiltrasi parenkim oleh heterofil dan sel- sel inflamasi mononuclear. Sampel yang sama menunjukkan hifa berwarna hitam di dalam sel raksasa berinti banyak. Konidia dan hifa yang banyak, bernoda dan berbatas tegas pada lesi eksudatif akut. Sampel dari trakea, syrinx, paru-paru, kantung udara toraks dan kaudal dada, kantung udara perut, darah jantung, hati, limpa, ginjal, bursa kloaka, hidung, otak, dan lesi jamur potensial dikultur pada SAB (Oksoid) pada suhu 37 ° C. C selama 72 jam. Sampel dari lesi darah jantung, hati, paru-paru, dan granulomatosa juga dikultur pada agar-agar darah domba Columbia (CSB) (Oxoid) dalam kondisi yang sama. Hasil pemeriksaan dibawah mikroskop Strain secara rutin dipertahankan pada pelat agar Sabouraud dextrose ditambah dengan kloramfenikol (0,5 g / l). Untuk mendapatkan spora aseksual (konidia), kultur ditanam pada agar YM (ragi 0,3%ekstrak, 0,3% ekstrak malt, pepton 0,5%, dan agar 0,5%) pada suhu 37C. Setelah 3 hari pertumbuhan, sejumlah besar konidia dihasilkan dari sel-sel spesifik (phialids) yang memancar dari vesikel di bagian atas konidioforous hifa. Konidia dipanen dengan membanjiri piring dengan air suling steril. Mereka kemudian dipeletkan dengan sentrifugasi, dicuci dalam larutan salin fosfat (0,15 M) dan dikuantifikasi menggunakan sel Malassez. Koloni berwarna abu-abu kehijauan terlihat seperti berasap. Beberapa isolasi mungkin terlihat seperti pigmen lavender. Koloni yang sangat matur berubah menjadi abu-abu batu. Teksturnya seperti benang wol atau kapas dan granular.
Pustaka
Fischer D, Waeyenberghe LV, Failing K,Martel A, Lierz M. 2017. Inokulasi
trakea tunggal Aspergillus fumigatus conidia diinduksi aspergillosis pada elang \ remaja (Falco spp.). Jurnal Patologi. Avian Pathology, DOI Femenia F, Fontaine J, Fulleringer SL, Berkova N, Huet D, Towanou N, Rakotovao F, Ibrahim GO, Loc'h GL, Arne’, Guillot J. 2007. Temuan klinis, mikologis dan patologis pada kalkun yang secara eksperimental terinfeksi oleh Aspergillus fumigatus, Jurnal Patologi. Avian Pathology. 36: 3. 213-219.
Jurnal Farmasi Sinta 4 UJI AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SENGKUANG Dracontomelon dao (Blume) Merr & Rofle TERHADAP CACING GELANG AYAM (Ascaridia galli)SECARA IN VITRO