Anda di halaman 1dari 10

Nama : Zulkifli Pelana

NIM : 4415120305
Prodi : Pendidikan Sejarah (A)
MK : Filsafat Sejarah

Review
Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah
Karya F. R. Ankersmit

Pada Bab I, terdapat pembahasan mengenai istilah filsafat sejarah dan teori sejarah. Hal
itu dijelaskan berdasarkan pemikiran Prof. J. M. Romein yang berkata bahwa tugas dari teori
sejarah ialah menyusun kembali kepingan-kepingan masa silam sehingga dapat dikenali
kembali. Pernyataan itu memang tak bisa dipungkiri. Tetapi, Romein tidak berhasil menarik
garis perbatasan dengan filsafat sejarah di satu sisi dan pengkajian sejarah di sisi lain. Muncul
masalah-masalah yang menurut pendapatnya, bidang teori sejarah ternyata selalu merupakan
masalah filsafat sejarah atau masalah pengkajian sejarah, sehingga cukup beralasan bahwa
teori sejarah seperti pendapat Romein tidak dapat mandiri, karena bidang teori sejarah selalu
merupakan masalah filsafat sejarah. Maka dari itu, lebih baik melepaskan kedua konsep
tersebut dan hanya mempertahankan istilah filsafat sejarah.
Selain itu, ada tiga unsur filsafat sejarah, yakni filsafat sejarah yang deskriptif, filsafat
sejarah yang spekulatif, dan filsafat sejarah kritis. Filsafat sejarah yang deskriptif terkait apa
yang ditulis oleh ahli sejarah, yang biasa kita tahu dengan historiografi. Lalu, filsafat sejarah
yang spekulatif memandang arus sejarah faktual guna menemukan suatu struktur dasar dalam
yang tersembunyi dalam arus itu. Sedangkan filsafat sejarah kritis menyangkut penelitian
masa silam yang dilukiskan sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Guna filsafat sejarah salah satunya adalah melatih kepekaan kritis seorang peneliti
sejarah. Dalam hal ini, seorang peneliti sejarah lebih mampu mengadakan penilaian pribadi
dan koreksi mengenai pengkajian sejarah pada saat tertentu. Hal itu akan lebih bermakna dan
memuaskan sehingga kajian tentang sejarah akan lebih tuntas, menarik, dan bermakna bagi
kehidupan manusia hari ini dan hari esok.
Masuk pada Bab II, terdapat pembahasan mengenai filsafat sejarah spekulatif. Filsafat
sejarah spekulatif adalah perenungan filsafati mengenai sifat-sifat suatu proses sejarah.
Seorang filsuf sejarah spekulatif memandang proses sejarah faktual dalam keseluruhannya
dan berusaha menemukan suatu struktur dasar dalam proses sejarah itu. Filsafat sejarah
spekulatif mencari suatu struktur-dalam tersembunyi yang ada di dalam proses historis yang
menjelaskan mengapa sejarah berlangsung demikian.
Sumber dari spekulasi sejarah tersebut terdiri atas pengetahuan apriori dan aposteriori.
Pengetahuan apriori ialah pengetahuan yang tidak langsung berdasarkan pengalaman,
sedangkan pengetahuan aposteriori ialah pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman
dan pengamatan terhadap realitas.
Pada Bab III, terdapat pemaparan terkait filsafat sejarah dalam pandangan Hegel, yang
terdiri dari filsafat sejarah formal dan material. Filsafat sejarah formal membahas tentang
hakikat sejarah (bukan jalannya peristiwa-peristiwa sejarah) yang dipandang sebagai cabang
pengetahuan yang khusus. Filsafat ini berurusan dengan tujuan penyelidikan sejarah dan cara-
cara sejarawan menggambarkan dan mengklasifikasikan bahan mereka, serta cara mereka
sampai pada penjelasan-penjelasan yang menekankan tatacara penyelidikan dan hubungan
antara sejarah dengan bentuk-bentuk penyelidikan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa
filsafat sejarah formal bertujuan untuk menguji dan menghargai metode ilmu sejarah dan
kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.
Dalam filsafat sejarah material, penjelasan Hegel mengenai filsafat sejarah material
lebih luas daripada filsafat sejarah formal. Filsafat sejarah material ala Hegel menyerupai
sebuah “palimpsest”, empat struktur yang erat kaitannya, yang satu diletakkan di atas yang
lainnya. Pertama yang kita lihat ialah tiga bagian dalam proses sejarah, yakni sejarah Timur,
Yunani-Romawi, dan Germania. Pembagian ini berdasarkan atas trias Hegel (Roh Objektif,
Roh Subjektif dan Roh Mutlak). Dalam dunia Timur, terdapat Roh yang berkarya dalam
objektifitas. Pada dunia Yunani-Romawi muncullah subjektifitas, lalu Roh Mutlak dalam
Germania terdapat perukunan antara yang subjektif dan objektif.
Dalam Bab IV, dibahas mengenai kritik-kritik terhadap filsafat sejarah spekulatif, yang
antara lain: tidak dapat dipastikan benar atau tidaknya sistem spekulatif seperti dapat
dilakukan terhadap penafsiran-penafsiran sejarah. Lalu, sifat metafisis dalam sistem
spekulatif, ini terkait dengan tidak dapat diketahui bahwa kenyataan itu tidak benar, sekalipun
kelihatan tidak masuk akal. Sistem spekulatif tidak ilmiah, karena kata “ilmiah” tidak dapat
diberikan pada spekulasi tentang sejarah dan spekulasi berlainan dengan penyataan-
pernyataan ilmiah. Hukum evolusi bagi proses sejarah, dalam teori evolusi Darwin, tidak
terdapat suatu hukum evolusi, melainkan suatu penafsiran tentang proses unik yang hanya
terjadi sekali. Selain itu, ada arah perkembangan yang menyinggung proses historis dalam
sistem spekulatif menampakkan trend menuju kemajuan karena adanya kecenderungan tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya kondisi awal yang harus terpenuhi. Kemudian, Hukum-
hukum gerak atau hukum-hukum urutan yang dapat dirumuskan guna menopang proses
historis, sehingga berdasarkan hukum-hukum tersebut dapat diramalkan dengan jangkauan
jauh. Dalam wibawa sistem spekulatif ditegakkan kembali, penentuan tema dan bahan
penelitian setiap penelitian historis diserahkan ‘wibawa’nya pada filsafat sejarah spekulatif,
hal itulah yang membuktikan pentingnya filsafat sejarah spekulatif bagi penulisan sejarah.
Pada Bab V, diuraikan mengenai masalah-masalah yang digeluti oleh filsafat sejarah,
antara lain sejauh mana kita dapat memperoleh pengetahuan yang benar mengenai masa
silam dan bagaimana sifat pengetahuan itu. Selain itu, pertanyaan mengenai kebenaran dalam
pengkajian sejarah mengantar kita pada menelisik masalah benar atau tidaknya pernyataan-
pernyataan para ahli sejarah mengenai masa silam.
Dijelaskan pada Bab VI mengenai pertanyaan mungkinkah kita mengetahui masa
silam. Kesangsian terkait apakah masa silam memang pernah ada membentuk skeptisisme
historis. Jika memang kita menyangsikan bahwa masa silam itu pernah ada, kita pun harus
tahu apa yang kita sangsikan. Skeptisisme historis tersebut bisa dibungkam dengan
mempertanyakan jawaban apakah yang akan diberikan seorang skeptikus (misal: Betrand
Russel) pada esok hari seandainya kita bertanya “apakah ia tetap pada pendiriannya (tentang
sejarah tercipta baru-baru saja) seperti sekarang?”. Jika ia tetap pada pendiriannya, berarti ia
menerima sebagian dari masa silam (antara sekarang dan esok). Otomatis, skeptisisme
historisnya terbantahkan.
Selain itu, masa silam memang sekarang tiada lagi, sehingga kita tak pernah bisa
mengecek sejauh mana ucapan historis dapat dipercaya. Oleh karena itu, menurut Oakeshott,
pengetahuan kita mengenai masa silam dapat dibenarkan dengan bukti-bukti historis, yang
kemudian dapat dikonstruksikan mengenai apa yang kemungkinan terjadi di masa silam.
Lalu, Goldstein menyatakan bahwa pengetahuan kita mengenai sejarah selalu tergantung
pada sifat-siat metode penelitian. Dari hal itu, konstruksi-konstruksi historis dapat dirangkai
dalam suatu metode penelitian guna mencapai pengetahuan mengenai sejarah yang cukup
terandalkan.
Skeptisisme historis dicoba dilawankan oleh R. G. Collingwood dengan cara re-
enactment of the past (masa silam dipentaskan kembali). Namun, pendapat Collingwood ini
terbantahkan dengan pernyataan bahwa meskipun saat ini kita mencoba melakukan hal sama
dengan para pelaku sejarah (di zamannya), tetap saja tak akan sama, karena kita bukan
berasal dari zaman si pelaku sejarah. Dari adanya skeptisisme historis tersebut tidak menjadi
kelemahan pokok dalam pengkajian sejarah. Berdasarkan pendapat Danto, sebaliknya, justru
pengkajian sejarah didasarkan atas kelemahan tersebut. Di sinilah peranan pengkajian sejarah
berandil dalam menjembatani jurang pemisah antara masa kini dan masa silam.
Lalu, dalam Bab VII dijelaskan mengenai empat teori kebenaran yang terkait dengan
pernyataan singular dalam pengkajian sejarah. Pertama, teori tindak bahasa, yang
mengatakan bahwa kebenaran adalah tidak ada perbedaan antara suatu pernyataan mengenai
sesuatu (p) dengan pernyataan lainnya mengenai (p). Kedua, teori pragmatis. Menurut teori
ini, sebuah ucapan benar bila ucapan itu terbukti merupakan pedoman yang dapat diandalkan.
Ketiga, teori korespondensi, di mana untuk menguji kebenaran bahwa suatu ucapan itu benar,
bila terdapat keserasian (korespondensi) antara apa yang diucapkan di dalam kenyatan
(historis). Keempat, teori koherensi, suatu ucapan benar, bilamana ucapan tersebut ada kaitan
(koheren) dengan sejumlah ucapan yang kebenarannya sudah diterima.
Dalam Bab VIII dijelaskan mengenai keterangan historis yang meliputi pembahasan
Covering Law Model, hermeneutika, dan kausalitas. Menurut pandangan pendukung
Covering Law Model (CLM), sebuah keterangan historis baru dapat diterima, jika didukung
oleh salah satu atau beberapa hukum umum. Sedangkan dalam hermeneutika dijelaskan
bahwa untuk menerangkan masa silam, seorang peneliti sejarah harus menghayati atau
menempatkan dirinya sendiri dalam batin para pelaku sejarah terlebih dahulu. Lalu,
berdasarkan narativisme, keterangan akan masa silam dari seorang peneliti sejarah
didapatkan dengan menyusunnya menurut suatu struktur atau dengan mengembangkan suatu
penafsiran.
Selanjutnya, pembahasan terkait historisme dan narativisme dipaparkan di Bab IX.
Permulaan, kita akan sedikit membahas tentang historisme. Ada empat arti mengenai istilah
historisme. Pertama, istilah historisme diartikan sebagai anggapan bahwa seorang peneliti
sejarah harus memahami masa silam, serta menghindarkan segala noda anakronisme. Kedua,
istilah historisme menuntut sejarawan untuk menghayati atau masuk ke dalam kulit pelaku
sejarah (hermeneutis). Ketiga, istilah historisme sering dipakai untuk menunjukkan sistem-
sistem spekulatif tentang sejarah. Pada arti keempat, historisme adalah pendapat, bahwa baru
pendekatan historis terhadap kenyataan (sosio-historis), membuka kemungkinan untuk
melacak hakikat objek-objek di dalam kenyataan (sosio-historis) itu. Dengan kata lain, esensi
objek-objek itu terletak dalam sejarah. Penelitian sejarah baru ada arti dan makna, jika
peneliti yakin bahwa hanya dengan pendekatan sejarah, kita dapat memahami hakikat objek-
objek penelitian di dalam kenyataan sosio-historis.
Lalu, kita lanjut ke pembahasan tentang narativisme. Istilah “narativisme” menurut
kebahasaan, berasal dari bahasa latin, narratio yang berarti cerita. Akan tetapi, narativisme
merupakan suatu teori mengenai penafsiran masa silam dan tidak terbatas pada laporan-
laporan yang tersusun kronologis. Narasi yang baik mengenai suatu peristiwa adalah narasi
yang banyak mengandung rincian fakta-fakta. Namun demikian, narativisme bukan hanya
menafsirkan masa silam dan menyusun laporan secara kronologis, melainkan narativisme
juga ingin melukiskan sifat-sifat khas bagi suatu masa tertentu.
Menuju Bab X, terdapat perdebatan mengenai adakah pengkajian sejarah itu suatu ilmu
atau tidak. Namun, yang penting dari bab ini yakni, pendapat mengenai sifat ilmiah
pengkajian sejarah. Pengkajian sejarah dapat dibilang ilmiah jika dihubungkan dengan ilmu-
ilmu lainnya, yakni ilmu-ilmu sosial. Selain itu, saling mempengaruhinya pengkajian sejarah
dengan ilmu-ilmu sosial dan sebaliknya dapat membuktikan keilmiahan pengkajian sejarah.
Oleh karena itu, peneliti sejarah harus menggunakan teori-teori sosial untuk membantunya
dalam melukiskan masa silam. Dalam bab ini, pengkajian sejarah terkait bantuan dari ilmu-
ilmu sosial, yang meliputi psikologi, sosiologi, ekonomi, dan filsafat.
Hubungan sejarah dengan psikologi. Pengkajian sejarah terkait mempelajari kejiwaan
dan perilaku manusia di masa silam yang meliputi kejiwaan dan perilaku kelompok-
kelompok orang dan orang secara individu. Kejiwaan dan perilaku para pelaku sejarah
dipelajari dan oleh para sejarawan agar dari kejiwaan dan perilaku tersebut dapat ditelaah
perkembangan sejarah kehidupan para pelaku sejarah.
Hubungan sejarah dengan sosiologi. Pengkajian sejarah terkait mempelajari berbagai
interaksi manusia, baik antar individu, individu dengan kelompok manusia, dan kelompok
manusia dengan kelompok manusia lainnya di masa silam. Hubungan interaksi manusia dan
pola-pola perilakunya dikaji melalui pendekatan makro dan pendekatan mikro sosiologis dan
ditunjang pula dengan teori-teori sosiologis.
Hubungan sejarah dengan ekonomi. Pengkajian sejarah terkait mempelajari bagaimana
cara manusia di masa silam dalam pemenuhan kebutuhan material hidupnya sehari-hari.
Dalam pengkajian sejarah modern, terdapat dua aliran yang bekerja sama erat, yakni aliran
Annales yang lebih tertarik pada aspek ekonomis masa silam dan aliran New Economic
History yang sudah memakai teori-teori ekonomis lebih mutakhir.
Hubungan sejarah dengan filsafat (intelektual). Pengkajian sejarah terkait tentang
mempelajari perkembangan pemikiran manusia di masa silam yang berhubungan dengan
nalar (rasionalisme) dan pemahaman mengenai pengalaman (empirisme). Perkembangan ide-
ide dari alam pikiran manusia menunjukkan jalan dalam memahami hakikat suatu kebenaran
yang dihubungkan dengan bahasa baik secara tekstual maupun kontekstual.
Pada Bab XI, terdapat penjelasan mengenai kebebasan dan keniscayaan. Istilah
“keniscayaan” mempunyai dua arti. Pertama, apa yang terjadi pada masa silam, masa kini,
dan masa depan niscaya, karena arus sejarah secara niscaya mengikuti suatu garis yang tak
dapat diubah. Tapi, menurut arti kedua, bahwa masa kini, masa silam, dan masa depan
niscaya terjadi demikian, karena pada prinsipnya segala sesuatu yang terjadi pada masa silam
maupun mendatang, dapat diterangkan secara rasional. Penafsiran pertama mengenai konsep
keniscayaan dikenal sebagai doktrin sejarah yang tak terelakkan, sedangkan penafsiran
kedua dikenal sebagai tesis mengenai determinisme.
Umumnya, penalaran terkait sejarah yang tak terelakkan, lepas dari usaha manusia.
Lalu, paham mengenai sejarah yang tak terelakkan dan paham determinisme memiliki status
logis yang beda. Paham mengenai sejarah yang tak terelakkan merupakan suatu teori
metafisis mengenai sifat proses historis, di dalamnya pun terdapat perkembangan yang tak
terelakkan. Sedangkan determinisme merupakan suatu teori mengenai sifat pengetahuan kita
mengenai kenyataan, yakni menurut konsep sebab dan akibat.
Segala sesuatu yang sedang terjadi dalam sejarah dan sudah terjadi dapat diterangkan
secara kausal menurut bagian-bagiannya, tapi tidak dalam keseluruhannya yang sangat
majemuk. Dalam buku karya Ankersmit ini, dipaparkan bahwa paham mengenai sejarah yang
tak terelakkan merupakan suatu teori yang sangat tidak masuk akal, karena melepaskan
perkembangan sejarah dari perbuatan kita sebagai manusia.
Determinisme bukanlah suatu pola hukum, bukan juga suatu pernyataan mengenai
susunan kenyataan, melainkan suatu sikap terhadap kenyataan. Kemudian, ada keberatan
yang paling umum diajukan terhadap determinisme, yakni determinisme melenyapkan
kebebasan manusia dan tanggung jawab moralnya. Andaikan sejarah memang memilih jalan
yang tak terelakkan, sedangkan usaha manusia baik individual ataupun kolektif, tidak dapat
mengubah jalan sejarah itu, maka kebebasan memilih dan tanggung jawab moral tinggal
bayangan saja. Kita tidak bertanggung jawab mengenai hal-hal yang terjadi di luar kekuasaan
kita.
Lalu, perlu dipaparkan lebih lanjut terkait konsep kebebasan. Siapa yang kita sebut
bebas? Orang yang melakukan sesuatu karena tidak terpaksa, pertama paksaan dari luar,
kemudian juga paksaan dari dalam, misalnya karena kelainan jiwa. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa paham determinisme tidak bertentangan dengan konsep kebebasan dan
tanggung jawab moral, melainkan justru merupakan dasarnya.
Kemudian, di Bab XII dijelaskan tentang subjektivitas dan objektivitas: nilai-nilai
dalam pengkajian sejarah. Sebuah pelukisan sejarah disebut subjektif, jika subjek yang tahu
(sejarawan) jelas hadir di dalamnya. Sedangkan pelukisan sejarah disebut objektif, jika hanya
objek penulisan sejarah dapat diamati. Salah satu cara suatu penulisan sejarah dapat bersifat
subjektif ialah jika sejarawan membiarkan keyakinan politik atau etisnya turut berperan,
ringkasnya jika “nilai-nilainya” turut berperan. Lalu, pengertian “subjektif” dan “objektif”
dapat disamakan dengan “terpengaruh tidaknya seorang sejarawan oleh nilai-nilai tertentu”.
Adanya tuntutan terhadap sejarawan yang mana ia harus memberi sumbangan-
sumbangan untuk memecahkan masalah saat ini menunjukkan bahwa subjektivisme dalam
penulisan sejarah mulai merasuk. Hal ini sejalan dengan pemikiran filsuf sejarah berhaluan
marxis yang berpendapat bahwa penulisan sejarah yang objektif tidak mungkin dan tidak
perlu dicita-citakan.
Berikutnya akan dibahas terkait beberapa alasan yang membela subjektivisme,
objektivisme, dan pandangan yang berhaluan tengah.
Beberapa alasan yang membela subjektivisme, yaitu:
(1) Alasan induksi, menurut G. Myrdal bahwa penulisan sejarah selalu bersifat
subjektif. Jika telaah historis t1 bersifat subjektif, demikian juga t2 dan seterusnya.
(2) Alasan relativisme, dalam hal ini Ch. Beard dan J. Romein membedakan antara: (a)
masa silam sendiri; (b) bekas-bekas yang ditinggalkan masa silam; (c) bagaimana
kita menggambarkan masa silam itu.
Dari (a) ke (b) sudah menjuruskan ke arah subjektif, karena sumber-sumber dari
masa silam umumnya mengenai apa yang orang-orang pada zaman dulu anggap
penting. Lalu, unsur subjektif dari (b) ke (c) tidak dapat disingkirkan.
(3) Alasan bahasa, menurut pandangan L. Strauss maupun A. R. Louch, subjektivitas
seorang sejarawan tidak hanya tak dapat disingkirkan, melainkan merupakan suatu
faktor yang pantas dicita-citakan. Sifat bahasa yang dipakai seorang sejarawan
memaksanya melukiskan masa silam secara subjektif.
(4) Alasan idealistis, menurut paham idealisme, kenyataan merupakan hasil dari budi
manusia. Hal itu didalilkan oleh penganut idealisme bahwa kenyataan itu hanya
ada sejauh kita menyadari kenyataan (“to be is to be perceived”), kata Berkeley.
(5) Alasan marxis, pada alasan ini, ada kesamaan pendapat antara para idealis dan
marxis, yang menyatakan bahwa tak mungkin memisahkan subjek yang mengenal
dari objek yang dikenal. Namun, ada pula perbedaan jalan pikiran seorang marxis
dan seorang idealis. Bagi marxis, kenyataan itu bukanlah kenyataan fisik ataupun
historis yang secara pasif berhadapan di muka kita, melainkan kenyataan yang
beraksi terhadap sentuhan penelitian kita.
Beberapa alasan yang membela objektivisme, yaitu:
(1) Memilih objek penelitian, walaupun dalam memilih topik penelitiannya, sejarawan
memakai subjektivitas, tapi tetap saja hasil penelitiannya belum tentu subjektif.
(2) “Wertung” dan “Wertbeziehung” (pertalian dengan nilai-nilai), dalam “Wertung”
dinyatakan bahwa penilaian sejarawan terhadap tokoh sejarah diilhami oleh nilai
tertentu. Sedangkan dalam “Wertbeziehung” dinyatakan bahwa kita menerangkan
perbuatan pelaku sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai-nilai
umum yang dianut masyarakat zaman itu.
(3) Alasan seleksi, dengan mengadakan seleksi (bahan) dalam penelitian sejarah, dapat
mengacaukan sifat asli dari masa silam dan membuktikan subjektivitas sejarawan.
(4) Alasan antiskeptisisme atau antirelativisme, subjektivisme menjurus ke relativisme
dan itu mengantar kita ke skeptisisme historis (pendapat yang menyatakan bahwa
pengkajian sejarah tidak menghasilkan pengetahuan yang terandalkan). Seorang
skeptikus yang menganggap segala tulisan sejarah relatif dan terpengaruh nilai-
nilai, harus membuktinya nilai-nilai mana yang mempengaruhi penulisan sejarah.
(5) Alasan dan sebab musabab, ini adalah alasan paling terkenal dalam menghadapi
subjektivisme. Sejarawan dapat membela pendapat-pendapat tertentu, meskipun
kita belum tahu pendapatnya benar atau tidak. Jika alasan-alasan yang diberikan
orang lain tidak tahan uji, kita dapat menolak pendapatnya.
(6) Alasan propaganda, pada alasan ini, subjektivis bisa dibilang unggul (walau tidak
sepenuhnya), karena menulis sejarah secara objektif murni mustahil dilakukan jika
nilai-nilai menopang penalaran dalam penulisan sejarah. Nilai-nilai tersebut pun
dikaitkan dengan propaganda. Namun, jika setiap orang membaca uraian
propagandistis, pasti tidak terkesan dengan mutu ilmiahnya. Inilah yang membuat
objektivis bisa mematahkan keunggulan subjektivis tadi. Propaganda selalu
bertujuan mengalihkan nilai-nilai kepada orang-orang yang belum menganut nilai-
nilai itu.
(7) Alasan analogi, para objektivis membela kadar objektivitas dalam pengetahuan
sejarah dengan membandingkan pengkajian sejarah dengan ilmu eksakta.
Demikian, pendapat dari J. A. Passmore yang terkadang terkesan agak dibuat-buat
dalam membela objektivitas dalam pengetahuan sejarah.
Beberapa alasan yang membela jalan tengah, yaitu:
(1) Wals dan Danto, adanya perbedaan perspektif terkait pengkajian sejarah tak perlu
terlalu digemparkan, karena nilai atau pandangan tersebutlah mengilhami
sejarawan untuk bagaimananya mendekati masa silam. Kenyataan bahwa dengan
menganut nilai-nilai yang berbeda, para ahli sejarah dapat memberi penafsiran
berbeda tentang masa silam, belum merupakan alasan untuk meragukan
kemungkinan mengadakan penelitian historis yang objektif.
(2) Alasan bahasa sehari-hari, dalam bahasa keseharian memang terdapat sesuatu
yang kita namakan “objektif” atau “subjektif”, ini didasari oleh pertanyaan: “Apa
gunanya kita memakai kata-kata yang tiada sangkut pautnya dengan kenyataan?”
Selanjutnya, kesadaran historis dibahas pada Bab XIII dalam buku ini. Kesadaran
historis terkadang dibayangkan sebagai kesadaran mengenai sifat dunia ciptaan manusia yang
selalu berubah-ubah. Kesadaran historis terkait dengan perubahan, di mana kesadaran historis
di satu sisi memperlihatkan kebhinekaan berbagai periode dalam masa silam, di sisi lain
mengungkapkan sesuatu yang tak berubah dalam proses sejarah.
Kesadaran historis dalam kasus Fortuna (nasib) dan Virtu (kekuatan) memperlihatkan
kepada para ahli sejarah zaman Renaissance betapa hal-ikhwal di dunia ini terus-menerus
berubah, atau dengan kata lain, taman indah politik yang dipelihara dengan penuh perhatian,
selalu ada kecenderung menjadi taman liar seperti pada Abad Pertengahan, tunduk pada tata
tertib alami yang berada di luar putaran waktu.
Lalu, kesadaran historis pada masa kini masih ada dikarenakan rasa ingin tahu
mengenai hal-hal yang aneh (unik) seperti yang dipamerkan dalam museum etnologi.
Dalam Bab XIV, terdapat pembahasan terkait keterlibatan. Maksudnya, dalam
penulisan sejarah kerap kali aspek “keterlibatan” ini dipakai sebagai sesuatu yang diharapkan
dalam pengkajian sejarah, seperti sejarah dapat memberi sumbangan bagi suatu masyarakat
yang lebih baik. Hal itu didasari adanya harapan kita akan ilmu pengetahuan yang nantinya
bisa bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, dapat kita telaah bahwa
pengkajian sejarah mendekati adanya suatu subjektivitas di dalamnya. Hal itu disebabkan
oleh adanya pengharapan bahwa sejarah harus memenuhi suatu tuntutan zamannya.
Keterlibatan sejarah akan pengharapan sisi manfaatnya dalam kebutuhan-kebutuhan
pada kehidupan masyarakat masa kini sejalan dengan pemikiran H. Zinn, sehingga
pengkajian sejarah mengandung aspek-aspek masa silam mana yang paling berguna untuk
diteliti. Dengan begitu, kita dapat menyetujui pemikiran Zinn, supaya seorang sejarawan
tetap sadar akan tanggung jawab sosial dan kultural pada zamannya, lalu cukup curiga
terhadap pengkajian sejarah yang teramat terspesialistis atau yang ingin makin
“mengilmiahkan”-nya.
Setelah itu, fakta-fakta dari masa silam sering tidak serasi dengan keterlibatan seorang
peneliti sejarah. Ia lalu harus memilih antara keterlibatan dan kemurnian, serta objektivitas
penelitian. Selain itu, ada kelemahan lain dalam penulisan sejarah yang terlibat. Menurut
Nipperdey, keterlibatan yang digunakan sejarah sebagai sarana untuk membangun masa
depan yang lebih baik, mengurangi keterbukaan dan penerimaan kita bagi perspektif-
perspektif baru dan tak terduga untuk membangun masa depan itu. Kemudian, ada kelemahan
dalam penulisan sejarah yang terlibat, yakni seorang sejarawan yang terlibat bertitik tolak
pada suatu pendapat yang masih harus dibuktikan. Menentukan apakah sesuatu relevan bagi
masa kini, merupakan hasil penelitian historis, bukannya titik pangkalnya.
Namun, ilmu sendiri tidak memilih tujuan, tapi manusialah yang memilih tujuan itu.
Ilmu dan akal budi tidak memihak. Pada hakikatnya, akal budi dan ilmu bersifat “kritis”,
artinya secara implisit mengandung sebuah kritik terhadap tata masyarakat kita yang tidak
sempurna. Lalu, adapun tujuan akhir dari penulisan sejarah yang terlibat itu ialah mencapai
suatu masyarakat di mana mawas diri tidak lagi diselenggarakan oleh hubungan kekuasaan
yang tidak dapat dihalalkan.
Dan, di Bab XV, yang merupakan bab terakhir dalam buku ini, dijelaskan mengenai
makna sejarah. Sebelum membahas makna sejarah, kita lebih dahulu mengkaji arti kata
“makna”. Kata “makna” memiliki dua arti. Pertama, kata “makna” merujuk pada adanya
suatu tujuan tertentu. Kedua, kata “makna” dapat disamakan dengan arti.
Dengan demikian, “makna sejarah” dapat diberi empat macam penafsiran. Pertama,
makna sejarah sebagai tujuan terakhir dalam perjalanan proses sejarah. Kedua, arti proses
sejarah. Ketiga, tujuan dan gunanya pengkajian sejarah. Keempat, arti pengkajian sejarah.
Menurut penafsiran pertama mengenai istilah “makna sejarah”, kita baru dapat
menjawab pertanyaan mengenai makna sejarah, jika kita mengetahui tujuan proses historis.
Penafsiran kedua yang terkait arti proses sejarah sebenarnya sama dengan adanya pertanyaan
yang dihadapi oleh seorang sejarawan dalam penelitian historis biasa. Lalu, penafsiran ketiga
mengenai istilah “makna sejarah” tidak menimbulkan persoalan apapun, bahkan merupakan
sumber ilham bagi penelitian sejarah.
Sampailah kita pada apa gunanya pengetahuan sejarah. Mencari dan memperoleh
pengetahuan sejarah menghasilkan kepuasan intelektual. Di samping itu, sejarah dapat
digunakan sebagai bahan pelajaran guna kita pilih mana hikmah yang dapat kita petik dalam
peristiwa masa silam. Kemudian, pengkajian sejarah dapat mengajarkan pada kita, bagaimana
dalam situasi tertentu kita harus bertindak. Inilah yang latar belakang pepatah “historia
magistra vitae”, sejarah bertindak sebagai guru mengenai kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai