Anda di halaman 1dari 88

BUKU MODUL 1

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR

Disusun oleh :
Dr Ir. Noor Salim, M.Eng

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

11 Latar Belakang

Seperti yang telah kita ketahui bahwa air adalah suatu hal yang vital di planet yang kita
tempati. Banyak fenomena-fenomena yang terjadi pada hal ini. Peningkatan dan perkembangan
pembangunan di berbagai sektor menuntut pemenuhan akan pelayanan Sumber Daya Air. Hal ini
memberikan implikasi berkembangnya sistem Pengembangan Sumber Daya Air yang makin
kompleks dan rumit.

Bagaimanapun, air bisa kita ambil manfaatnya jika kita bisa mengendalikannya. Hal yang
berbeda tentu akan terjadi jika kita tak bisa mengendalikannya. Setidaknya ada tiga kondisi di
mana air bisa memberikan efek negatif :

1. Jika air terlalu banyak, menyebabkan banjir.


2. Jika air terlalu sedikit, menyebabkan kekeringan.
3. Jika air tercemar, tidak cocok untuk peruntukan penggunaan.

Untuk di daratan kita mengenal banyak pemanfaatannya. Jadi untuk kali ini, berkaitan
dengan Teknik Kesipilan, saya akan menulis tentang PSDA di darat. Baik Waduk, Situ, Irigasi dan
sebagainya mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya.

1.2 Pengertian Pengembangan Sumber Daya Air (PSDA)\

1.2.1 Sejarah Perkembangan Pemanfaatan Air

Untuk Umat ManusiaPersediaan air segar dunia hampir seluruhnya berasal dari hujan
sebagai hasilpenguapan dari air laut. Siklus Hidrologi adalah proses peralihan daripenguapan
air laut bergerak keatas menjadi dingin, membeku menjadi titik – titikair yang berkumpul banyak
dan turun menjadi hujan.

2
Di China

± 4.000 tahun Sebelum Masehi air untuk irigasi.

± 200 tahun Sebelum Masehi Bendungan Tzu Kiang (sungai Huang Ho) airuntuk irigasi ± 200.000
Ha.

± Abad 7, dibangun Saluran Induk 1.120 KM.

Di Mesir

± 3.200 tahun Sebelum Masehi, Air Sungai Nil untuk irigasi, bangunan peluap/pelimpah.

± 500 tahun Sebelum Masehi, Bendungan dengan panjang ± 100 M, tinggi 12 M untuk irigasi
±100 Ha

Di Indonesia

:± 300 tahun Sebelum Masehi, Air untuk irigasi di Pulau Jawa.

Tahun ± 1852, Bendungan Glapen di Kali Tuntang , Jawa Tengah untuk perkebunan kapas
± 14.000 Ha

Tahun ± 1908, Bendung Lengkong di Kali Brantas, Jawa Timur untuk tanaman tebu dan irigasi
pertanian ± 40.000 Ha.

Irigasi Banjar Cahyana di Banyumas, Waduk Pejalin di Malahayu Brebes dan irigasi Pemali –
Comal di Pekalongan

Tahun 1957, Bendungan Serbaguna Jatiluhur Kali Citarum untuk irigasi 230.000 Ha dan PLTA
125 MW.

Setelah tahun 1970, banyak Bendung, Bendungan dibangun seperti Sengguruh, Karang Kates,
Wlingi , Lodoyo, Wonorejo, Widas, Gunung Sari (kali Brantas),Saguling, Cirata, Curuk (kali
Citarum), Sempor (di Gombong Jawa Tengah),Riam Kanan (Kalimantan), Garugu, Bakaru

3
(Sulawesi Selatan), Batang Agam,Maninjau, Tes, Besai, Tangga, Renun, Koto Panjang (Sumatera)
dan lain – lain.

1.2.2 Pengertian Dasar Sumber Daya Air

Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang.

Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun


dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan
memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomisecara selaras

Pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan
yang harmonis antarwilayah, antar sektor, dan antar generasi.

Sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan


kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam
pengelolaan sumber daya air

Didasarkan pada pertimbangan diatas, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia


dan Presiden Republik Indonesia memutuskan : Menetapkan Undang – Undang Tentang Sumber
Daya Air Nomor 7 tahun 2004

1.2.3 Definisi Sumber Daya Air

Definisi sumber daya air dapat dilihat didalam Undang – Undang Sumber Daya Air Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 :

- Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.

- Air adalah semua air yang terdapat pada, diatas, ataupun dibawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat

- Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.

4
- Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah. -
Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan atau buatan yang terdapat pada, di atas,
ataupun di bawah permukaan tanah.

- Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan atau pada sumber daya air yang dapat
memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta
lingkungannya.

- Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air.

Dari definisi diatas terlihat bahwa mata kuliah Sumber Daya Air dimaksudkan untuk memahami
dan menerapkan pengetahuan Sumber Daya Air mulai dar tahap perencanaan, pendayagunaan,
pembangunan, pemeliharaan dan pengendalian terhadap daya rusak air.

`Pengembangan Sumber Daya Air mempunyai pengertian sebagai ilmu yang mempelajari
tentang Teknik Sumber Daya Air yaitu : tentang cara – cara memahami kuantitas, kualitas, jadwal
ketersediaan dan kebutuhan sumber daya air serta penanggulangan permasalahan yang ada,
sehingga dapat di-kembangkan pemanfaatan, kelestarian dan pengelolaan sumber daya air tersebut
untuk kesejahteraan kehidupan manusia beserta alamnya.

Tujuannya sudah jelas, bahwa untuk kelanjutan perkembangan pembangunan. Saya lebih suka
disebut sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainabele development). Tapi banyak usaha-
usaha dari pemerintah dunia yang bertentangan dengan hal tersebut. Well, itu pendapat pribadi.
Jadi mohon jangan memasukkan ke dalam referensi anda jika anda membaca tulisan ini.

Untuk pembangunan sendiri, saya mengenal tiga konsep dasar, yakni pengadaan barang dan jasa
melalui berbagai kombinasi faktor produksi, perubahan sosial dan ekonomi masyarakat, serta
hubungan antara manusia dengan lingkungan.

Dan sebagai pembatas perkembangan, sedikitnya ada lima faktor, yaitu pendudukan, produksi
pertanian, produksi industri, sumber daya alam dan pencemaran. Kelima hal ini yang dianggap

5
berpengaruh terhadap PSDA. Jadi yang akan mempelajari PSDA lebih lanjut tentu harus
memperhatikan hal-hal tersebut.

Kembali kepada sumber daya air. Hal yang perlu kita ketahui bahwa PSDA ini tidak bisa terlepas
dari sumber daya alam lainnya. Pengembangan sumber daya air sendiri pada saat ini hanya 20%
dari jumlah yang ada. Kita dapat melihat pengembangannya dari pemanfaatan waduk, irigasi, air
baku, pengendalian banjir dan sebagainya. Ini yang kita anggap sebagai kebutuhan aliran air.

1.3 Unsur-unsur Pokok pada Pengembangan Sumber Daya Air

PSDA juga mempunyai unsure-unsur pokok tersendiri. Kebutuhan manusia terhadap air telah
mengalami perkembangan untuk berbagai jenis keperluan. Sehingga kebutuhan air meningkat dan
berkembang, sedangkan sumber daya air masih banyak yang tersedia. Namun menyangkut banyak
aspek yang masih perlu dioptimalkan utnuk menangani permasalahan unsure-unsur pokok PSDA
yang ada.

Permasalahan usnur-unsur pokok PSDA, diantaranya :

1. Pengendalian banjir
2. Irigasi dan drainase
3. Sedimnetasi
4. Pengaturan DAS yang menyangkut pencegahan erosi
5. Lalu-lintas air
6. Penyediaan air untuk rumah tangga
7. Listrik tenaga air
8. Peikanan dan kesatwaan
9. Pencemaran
10. Pembuatan hujan
11. Penggunaan sumber daya air untuk rekreasi.

6
BAB II
KEBIJAKAN DAN PENDAYAGUNAAN P S D A

2.1 Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Air

Dalam pelaksanaan Pengembangan Sumber Daya Air, dasar utama kebijakan yang akan
diambil harus mengacu kepada Undang – Undang Sumber Daya Air Nomor 7tahun 2004.

Mengingat bahwa didalam Undang – Undang Sumber Daya Air Nomor 7 tahun 2004
mencakup semua dasar kebijakan untuk semua bidang dalam pemerintahan yang terkait
permasalahan sumber daya air, namun didalam pembahasan lebih rinci akan di titikberatkan
kepada kebijakan Sumber Daya Air dibawah Departemen Pekerjaan Umum.

Masing – masing kebutuhan Departemen yang terkait dengan Undang – Undang Sumber
Daya Air No. 7 tahun 2004 akan dijabarkan kedalam Peraturan Pemerintah.Sedangkan ketentuan
– ketentuan yang bersifat Nasional akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pembagian Wewenang dan tanggung jawab dapat dilihat pada uraian dibawah ini :

A. Wilayah sungai dan cekungan air tanah ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih
daerah aliran sungai dan/atau pulau – pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan
2.000 km2

Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat
semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air
tanah berlangsung

B. Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Sumber Daya Air Nasional.

7
Kebijakan Pembangunan Sumber Daya Air
Undang – Undang Sumber Daya Air
Nomor 7 Tahun 2004

Pertambangan Perhubungan Pekerjaan Pertanian Perikanan Dan


dan Umum Seterusnya
Energi

A A Wilayah A Wilayah B Wilayah C A A Dst

Rencana Pengembangan

Sumber Daya Air Regional

Otonomi Daerah Otonomi Daerah Otonomi Daerah Dan

Tingkat II Tingkat II Tingkat II Seterusnya

OTONOMI DAERAH
TINGKAT SATU
(PROPINSI)

Gambar 2.1 Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Air


8
Koordinasi pada tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional yang
dibentuk oleh Pemerintah, dan pada tingkat provinsi dilakukan oleh wadah koordinasi dengan
nama dewan sumber daya air provinsi atau dengan nama lain yang dibentuk oleh pemerintah
provinsi.

Koordinasi pada tingkat kabupaten/kota dapat dibentuk wadah koordinasi dengan nama
dewan sumber daya air kabupaten/kota atau dengan nama lain oleh pemerintah kabupaten/kota.

Wadah koordinasi pada wilayah sungai dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Hubungan kerja antarwadah koordinasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan


wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif.

Pedoman mengenai pembentukan wadah koordinasi pada tingkat provinsi, kabupaten/kota,


dan wilayah sungai diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri yang membidangi sumber
daya air.

Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penetapan wilayah sungai dan cekungan air
tanah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

C. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintahan terdiri dari :


1. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah meliputi :
a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungailintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber daya air pada wilayah sungai lintas
provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

9
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan,
dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai
lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan
cekungan air tanah lintas negara;
h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air wilayah sungai
lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai strategis nasional;
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air;
j. menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengelolaan sumber daya air;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah
sungai strategis nasional; dan l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber
daya air kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

2. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi meliputi :


a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan
kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi
sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota
dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan,
dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan,
pengambilan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air
tanah lintas kabupaten/kota;
10
h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air wilayah sungai
lintas kabupaten/kota;i.
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber
daya air;
j. membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat atas air;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada
pemerintah kabupaten/kota.

3. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/kota meliputi :

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan


kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi
dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten / kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten / kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten
/ kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten /kota sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan,
dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten / kota;
g. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat kabupaten / kota
dan / atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten /kota;
h. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari – hari atas air bagi masyarakat di
wilayahnya; dan

11
i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

4. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Desa atau yang disebut nama lain meliputi :
a. mengelola sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh masyarakat
dan / atau pemerintahan diatasnya dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan
umum;
b. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber
daya air yang menjadi kewenangannya;
c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari - hari warga desa atas air sesuai dengan
ketersediaan air yang ada; dan
d. memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya
air di wilayahnya.

Sebagian wewenang Pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya air dapat diselenggarakan
oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam hal pemerintah
daerah belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya, pemerintah daerah dapat
menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah diatasnya sesuai peraturan perundang-
undangan. Pelaksanaan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air oleh Pemerintah
daerah diambil oleh pemerintah diatasnya dalam hal :

a. pemerintah daerah tidak melaksanakan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air
sehingga dapat membahayakan kepentingan umum; dan/atau
b. adanya sengketa antarprovinsi atau antar kabupaten/kota.

Dalam rangka menjamin terselenggaranya tata pengaturan air secara nasional yang dapat
memberikan manfaat sebesar - besarnya bagi masyarakat dan menjamin koordinasi antara
Pemerintah dengan Pengelola Sumber Daya Air dapat berjalan dengan baik maka diatur
didalam Peraturan Pemerintah. Dalam hal tentang Sumber Daya Air ditetapkan oleh Menteri
Pekerjaan Umum, misal :
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRT/1989 tentang Pembagi Wila yah Sungai

12
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/KPR/1993 tentang Garis Sepadan Sungai,
Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 98/KPRS/1993 tentang Organisasi Keamanan
Bendungan
Pemerintah Pusat (disebut Pemerintah) adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang terdiri atas Presiden beserta para menteri. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah
beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.

2.2. Contoh Kebijkakan


Contoh-contoh dari kebijakan yang lahir dari Undang-undang Sumber Daya Air,
diantaranya adalah :
• Pembagian Wilayah Sungai ; diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
39/PRT/1989, tentang “Pembagian Wilayah Sungai”. Dari seluruh Wilayah Indonesia
dibagi menjadi 90 Nama Wilayah Sungai dan dikelompokkan menjadi 07 Kode Wilayah
Sungai.
• Kebijakan Pemerintah dibidang operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi diserahkan
kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 42/PRT/1989, tentang “Tata Laksana Penyerahan Jaringan Irigasi Kecil berikut
Wewenang Pengurusannya kepada Perkumpulan petani Pemakai Air (P3A)”
• Kebijakan untuk melaksanakan koordinasi tata pengaturan air di Wilayah Provinsi Daerah
Tingkat I ; diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 67/PRT/1993, tentang
“Panitia Tata Pengaturan Air Provinsi Daerah Tingkat I”.
Contoh lain dapat dilihat pada Undang-undang Sumber Daya Air No. 7 tahun 2004 dan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum yang sesuai dengan pokok bahasan terkait.

2.3 Perencanaan Pengembangan Sumber daya Air

a. Tujuan Pembangunan Nasional adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya, artinya


:
• Pembangunan Fisik
• Pembangunan Jasmani

13
• Pembangunan Rohani
Pembangunan fisik dimaksudkan pembangunan sarana dan prasarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia berdasarkan norma, standar, pedoman dan manual dengan
memanfaatkan teknologi dan sumber daya alam lokal serta mengutamakan keselamatan,
keamanan kerja, dan berkelanjutan fungsi ekologis sesuai dengan peraturan perundang -
undangan. Pembangunan jasmani dimaksudkan pembangunan jasad manusia berdasarkan
norma dan standar kesehatan agar tumbuh berkembang membentuk jasmani unggul dan
tahan terhadap gangguan lingkungan disekitarnya. Pembangunan rohani dimaksudkan
pembangunan mental spiritual didasarkankepada norma, aturan, budaya dan ketentuan
agama yang dianutnya agar membentuk kesehatan rohani yang tahan terhadap gangguan
atau situasi lingkungan disekitarnya yang sesat.

b. Sasaran dari Pembangunan Nasional adalah agar tercapainya kehidupan yang selalu lebih
baik di Dunia dan di Akhirat.
c. Kriteria untuk pencapaian Perencanaan Sumber Daya Air adalah Sumber Daya Manusia
dan Sumber Daya Alam yang dimiliki.
➢ Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Air Nasional meliputi :
- Pembangunan Nasional
- Peningkatan Nilai Hidup / Kwalitas Hidup
- Perbaikan Lingkungan
- Pemerataan Keseimbangan Pembangunan
➢ Hubungan Antara Proses Pembuat Keputusan dengan Proses Pengembangan Sumber
Daya Air.
Proses Membuat Suatu Keputusan, diantaranya melalui tahapan sebagai berikut:
- Identifikasi Permasalahan
• Analisis Permasalahan
• Analisis Alternatif Solus
• Pemilihan dan Penetapan Alternatif Solusi Terbaik
• Tindakan Terhadap Masalah
• Pengecekan Terhadap Tindakan
• Perbaikan Terhadap Tindakan Masalah

14
Sedangkan Proses Pengembangan Sumber Daya Air, diantaranya melaluitahapan sebagai
berikut :
- Kebutuhan yang diperlukan masyarakat
• Penetapan kebutuhan masyarakat (objektifitas)
• Penetapan kriteria dan persyaratan terhadap kebutuhan
• Pemilihan pemakaian formula perencanaan
• Dilakukan kajian kelayakan Pengembangan Sumber Daya Air
• Perencanaan Rinci untuk dilaksanakan

Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Air merupakan tugas yang melibatkan berbagai
Ahli, diantaranya bidang keahlian Teknik Sipil, Geologi, Geodesi, Pengembangan Wilayah /
kota (Planologi), Lingkungan, Teknik Mesin, Teknik Listrik, Ilmu Sosial, Politik, dll.
Disamping itu dalam perencanaan Pengembangan Sumber Daya Air harus memperhatikan
semua tahapan Pengembangan Sumber Daya Air mulai dari tahap perencanaan,
pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, dan konservasi Sumber Daya Air, Pengendalian
daya rusak air termasuk hak peran dan peran masyarakat secara keseluruhan harus
diperhatikan.

2.4 Pendayagunaan Pengembangan Sumber daya Air

a. Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan,


penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola
pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
b. Pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara
berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat
secara adil.
c. Pendayagunaan sumber daya air dikecualikan pada kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam.
d. Pendayagunaan sumber daya air diselenggarakan secara terpadu dan adil, baik antarsektor,
antarwilayah maupun antar kelompok masyarakat dengan mendorong pola kerjasama.
e. Pendayagunaan sumber daya air didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air
permukaan, dan air tanah dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.

15
f. Setiap orang berkewajiban menggunakan air sehemat mungkin
g. Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi social untuk
mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa
pengelolaan sumber daya air dan dengan melibatkan peran masyarakat.

Dalam pelaksanaannya pendayagunaan sumber daya air mempunyai bidang usaha yang sangat
luas, mulai dari pemenuhan kebutuhan air untuk kepentingan primer manusia, seperti untuk
air minum dan kebutuhan untuk utility, sampai kebutuhan air untuk irigasi, perhubungan,
pembangkit listrik, industri, dan lain-lain.Sedangkan untuk dapat mengusahakan sumber daya
air melibatkan berbagai institusi, baik pemerintah maupun swasta, seperti peninjauan dari
instansi terkait, perbankan, konsultan perencana, laboratorium, jasa konstruksi, dan lain-lain.

16
BAB III
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
AIR PERMUKAAN (SUNGAI)

3.1 Air Permukaan

Air permukaan yaitu sumber air yang terdapat di atas permukaan bumi, dapat dilihat secara
visual dengan tidak menggunakan peralatan tertentu. Air permukaan sebagian besar terdiri dari
:

• air sungai,
• air waduk dan
• air yang terdapat di dalam danau.

Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Salah satu
fungsi air permukaan adalah sumber terbesar untuk air bersih. Berpotensi atau tidaknya
sumberdaya air permukaan sangat tergantung menurut kebutuhannya.
Pola pengelolaan sumberdaya air disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip
keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Disusun berdasarkan tujuan-tujuan
pengembangansumberdaya air. Sarana dasar untuk mencapai tujuan adalah perencanaan jangka
panjang pengembangan sumberdaya air yang meliputi beberapa kegiatan utama mulai dari tahap
inventarisasi sumberdaya air sampai dengan tahapevaluasi dan pembaharuan (updating) produk
perencanaan yang dapat berupa modifikasi atau perubahan/penggantian. \
Prinsip-prinsip pelaksanaan kegiatan tersebut adalah:
• Harmonisasi
• Konservasi
• Optimasi
Sebagai salah satu sumber alam, sungai merupakan salah satu sumber air yang pokok diantara
sumber-sumber air yang lain.
Beberapa kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia disediakan oleh sungai antara lain :
17
• Bahan baku untuk air bersih (keperluan rumah tangga) dan air pertanian.
• Sumber tenaga pembangkit listrik
• Sarana lalu-lintas
• Penggelontoran air buangan
• Dan sebagainya
Disamping menguntungkan buat kehidupan manusia sungai dapat pula memberikan aspek negatif
terhadap kehidupan manusia, seperti:
• Banjir
• Gerusan
• Pengendapan
• Gangguan pada lalu lintas air
• Dan lain-lain

Hak yang penting untuk diperhatikan adalah rekayasa sungai. Tujuan utama dari Rekayasa
sungai adalah bagaimana mendapatkan manfaat dari sungai untuk kehidupan manusia dan
mengurangi/mencegah aspek negatif yang ditimbulkannya serta untuk menjaga kelestarian sungai
tersebut. Rekayasa sungai sangat erat kaitannya dengan cabang ilmu2 lain seperti :

• Hidrologi
• Hidrolika
• Geologi
• Angkutan sedimen dan Morfologi

Teknik persungaian dapat dibagi dalam tiga kelompok utama :


• Pengaturan alur sungai
• Pengaturan debit
• Pengaturan muka air

Bangunan air sungai mempunyai berbagai sasaran seperti Irigasi, tenaga air, lalu-lintas air,
penanggulangan banjir dan sebagainya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat

18
menunjang tugas dari para ahli teknik persungaian. Gejala dan proses alam lebih banyak diketahui,
sedangkan sarana penunjang seperti model fisik dan model matematik mengalami banyak
perkembangan.

3.2 Siklus Hidrologi


Sirkulasi air dari lautan melalui atmosfir dan permukaan daratan untuk kemudian kembali
lagi ke lautan disebut daur/siklus hidrologi. Gerak dari daur tersebut dibatasi oleh suatu hubungan
yang rumit antara beberapa fenomena pengangkutan dengan berbagai unsur penimbunan.
` Bagi ahli hidrolgi semua tingkatan dari daur hidrologi adalah penting. Namun bagi ahli
persungaian yang penting hanya sebahagian saja dari daur hidrologi yaitu proses limpasan di
daerah pengaliran. Sebagian dari presipitasi merembes ke dalam tanah dan mengalir dengan lambat
diantara lapisan tanah dan menuju ke sungai dan anak sungai dan terus menuju ke laut. Air kembali
menjadi air permukaan. Selama dalam proses ada air yang hilang akibat penguapan dari air
permukaan, tanah dan tumbuh-tumbuhan. Siklus hidrologi dapat diilustrasikan dalam Gambarv
3,1 .
Peristiwa penguapan (evaporasi) dari permukaan air laut berlansung secara menerus, uap
air naik keatas berubah menjadi awan-awan tertiup angin ke wilayah daratan setelah mencapai titik
kondensasi akan turun sebagai hujan. Air yang jatuh sebagai hujan akan mengalami beberapa
peristiwa perjalanan antara lain :
• Ada sebagaian air yang tersimpan pada tumbuhan (pohon-pohonan) atau vegatasi
disebut Intersepsi (Peristiwa tertahannya air hujan oleh ujung daun).
• Sebagian lagi tertahan dan tersimpan pada tempat2 yang rendah yg disebut dengan
Retensi.
• Sebagian air hujan menguap akan menguap kembali ke atmosfir yang disebut dengan
Evaporasi.
• Sebagian air menguap melalui tumbuhan yang disebut dengan Transpirasi.
• Sebagian air akan mengalir pada permukaan tanah dan akan mengisi sungai, danau dan
waduk, aliran ini disebut dengan surface run off.
• Sebagian air akan meresap masuk ke dalam tanah yang disebut dengan Infiltrasi.
• Sebagian air akan mengalir di bawah muka tanah yang disebut aliran bawah
permukaan atau sub surface run off.

19
• Sebagian lagi menyusup lebih dalam lagi ke dalam tanah yang disebut dengan
perkolasi. Dan ini memberikan sumbangan terhadap kejadian aliran air tanah untuk
selanjutnya kembali lagi ke lautan.

Gambar 3,1

Jadi air limpasan (run off) pada suatu daerah pengaliran tergantung dari :
• Faktor hidrometereologi
• Karakteristik fisik dari daerah pengaliran
Atau dapat digambarkan dengan rumus :
R = P - E + S
dimana :
R = Air limpasan (run off)
P = Presipitasi
E = Evaporasi
 S = Penimbunan air (storage)
Dari rumus tersebut di atas dapat dilihat bahwa air limpasan dari suatu sungai dapat
dihitung data data curah hujan dan penguapan. Untuk perhitungan ini terdapat beberapa cara.
Namun karena karakteristik dari daerah pengaliran tidak seragam perlu didukung oleh suatu studi

20
yang mendalam. Karena curah hujan dan debit mempunyai sifat stokastik diperlukan suatu
elaborasi statistik sebelum kita mendapatkan korelasi antara curah hujan dan debit.
Namun yang lebih penting bagi seorang ahli teknik persungaian adalah korelasi antara debit dan
tinggi muka air. Banyak fenomena sungai yang dapat dikaitkan dengan tinggi muka air yang
dijabarkan dalam bentuk hidrograf (diagram tinggi muka air vs waktu) yang merupakan informasi
dasar untuk teknik persungaian.

3,2.1 Penggolongan sungai


Tergantung dari karakteristik curah hujan dan daerah pengaliran dapat dibedakan 3 macam
sungai, yaitu:
1. Sungai Ephemeral
Adalah sungai yang mengalir hanya pada saat ada hujan saja.

Gambar 3,2

2. Sungai Intermitten
Adalah sungai yang mengalirkan air pada musim hujan saja, sedang musim kemarau tidak
mengalirkan air (kecuali air dari hujan), karena MAT penghujan di atas dasar sungai dan MAT
musim kemarau di bawah dasar sungai.

21
Gambar 3,3

3. Sungai Perennial

Adalah sungai yang mengalirkan airnya sepanjang tahun, karena MAT tidak pernah dibawah
dasar sungai.

Gambar 3,4

3.2.2. Presipitasi
Untuk suatu daerah aliran sungai di Indonesia, variasi musim dapat mempunyai curah
hujan sebesar :
• musim basah : 2000 – 3000 mm
• musim kering : < 50 mm
Sedangkan variasi tahunan di Indonesia umumnya berkisar antara 2000 – 3000 mm per tahun.
Dengan demikian dapat dibayangkan betapa besarnya debit sungai-sungai di Indonesia pada
musim hujan, serta betapa keringnya pada musim kemarau. Hujan maksimum untuk daerah
dengan dua musim akan terjadi sekitar 1 – 2 bulan sesudah matahari mencapai ketinggian
maksimum.
3.2.3. Akumulasi
Jenis akumulasi air dapat dipisahkan menjadi :

22
a) Akumulasi air tanah, besarnya tergantung pada kemiringan daerah aliran sungai, struktur antara
lapis tanah, dan struktur butir tanah.
b) Akumulasi air permukaan, berupa cekungan-cekungan dipermukaan, baik alami maupun buatan
(waduk).
c) Akumulasi air dalam bentuk salju atau es (di Indonesia tidak banyak).

3.2.4.Evaporasi
Besarnya evaporasi (pengauapan) akan mempengaruhi terhadap besarnya koefisien pengaliran ().
Misal suatu sungai dengan iklim basah dengan penguapan besar, maka koefisien pengaliran ()
akan kecil. Dengan adanya penguapan maka praktis koefisien pengaliran tidak mungkin =1.
Mungkinkah koefisien pengaliran () = 0?, hal ini hanya mungkin terjadi pada sungai di daerah
gurun pasir, atau sungai di bawah tanah, dimana curah hujan yang akan jatuh akan langsung masuk
ke bawah.

3.3 Pengertian Sungai


Pengertian sungai :
1. PP. No.35/1991: Adalah sebagai suatu tempat atau wadah serta jaringan pengaliran air mulai
dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta disepanjang
pengalirannya oleh garis sempadan.

2. Sungai adalah suatu alur alamiah yg panjang di atas permukaan bumi yg mengalirkan air dan
sedimen dari daerah tangkapan hujannya, yg kemudian bermuara ke danau dan laut.

Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS)/Catchment Area


1. FAO(Food and Agricultural Organization, 1962): DAS adalah suatu kawasan yang
mengalirkan air yang jatuh diatasnya kedalam suatu sistem aliran sungai yang mengalir dari
hulu menuju ke muara atau tempat2 tertentu atau pada suatu tempat pengukuran arus.
2. Das adalah suatu wilayah atau kawasan dimana topografinya, yaitu kemiringan lereng yang
bervariasi dengan dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, yang dapat menampung seluruh

23
curah hujan yang terjadi dan mengalirkannya ke sungai utama maupun anak sungainya yang
pada akhirnya akan bermuara ke laut.

Jadi garis batas Daerah Aliran Sungai adalah punggung permukaan bumi yang dapat memisahkan
dan membagi air hujan menjadi aliran permukaan ke masing-masing DAS.

3.4 Pola Aliran


Sungai di dalam semua daerah DAS mengikuti suatu aturan bahwa aliran sungai
dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak sungai mengalir ke dalam
sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Pola ini tergantung dari pada
kondisi topografi, geologi, iklim, vegetasi yang terdapat didalam DAS yang bersangkutan.
Secara keseluruhan kondisis tersebut akan menentukan karakteristik sungai didalam bentuk
polanya.
Beberapa pola aliran yang terdapat di Indonesia :
1. Radial
Pola ini biasanya dijumpai di daerah lereng Gunung Api atau daerah dengan topografi
berbentuk kubah.
Contoh: G.Semeru dan Ijen di Jawa Timur, Gunung Merapi dan Slamet di DI.Jogya
2. Rectangular
Terdapat di daerah batuan kapur, missal di daerah gunung gidul di propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
3. Trellis
Biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di daerah pegunungan lipatan di
Sumbar dan Jateng.
4. Dendritik
Pola ini pada umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan penyebarannya luas.
Misalnya suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan terletak pada suatu bidang
horizontal di daerah dataran rendah bagian timur Sumatera & Kalimantan.

3.5 Bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS)

24
Pola sungai menentukan bentuk suatu DAS. Bentuk DAS mempunyai arti penting dalam
hubungannya dengan aliran sungai, yaitu berpengaruh terhadap kecepatan terpusatnya aliran.
Setelah DAS ditentukan batasnya, maka bentuk DAS dapat diketahui ,yaitu :
▪ Memanjang
▪ Radial
▪ Paralel
▪ Komplek

1. Bentuk Memanjang
Biasanya Induk sungainya akan memanjang dengan anak2 sungai lansung masuk ke induk
sungai. Kadang-kadang berbentuk seperti bulu burung. Bentuk ini biasanya akan menyebabkan
debit banjirnya relatif kecil karena perjalanan banjir dari anak sungai berbeda-beda waktunya.

2. Bentuk Radial
Bentuk ini terjadi karena arah alur sungai seolah-olah memusat pada satu titik sehingga
menggambarkan adanya bentuk Radial. Kadang-kadang gambaran tersebut berbentuk kipas atau
lingkaran. Akibat bentuk tersebut maka waktu aliran yang datang dari segala penjuru arah alur
sungai memerlukan waktu yang bersamaan. Apabila terjadi hujan lebat akan menyebabkan banjir
besar.

3. Bentuk Parallel
DAS ini dibentuk oleh dua jalur Sub DAS yang bersatu dibagian hilirnya.
Banjir dapat terjadi dihilir setelah titik pertemuan kedua Sub DAS tersebut.

4. Bentuk Komplek
Merupakan gabungan dasar dua atau lebih bentuk DAS.

3.6 Alur Sungai


Secara sederhana alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

25
▪ Bagian hulu/Daerah pegunungan (Upper regime)
▪ Bagian tengah/Daerah transisi (Middle Regime)
▪ Bagian hilir/Daerah Dataran (Lower regime)

1. Bagian hulu/Daerah pegunungan (Upper regime)


Ciri-ciri sungai pada bagian hulu ini adalah :
a. Kemiringan dasar sungai besar (curam)
b. Potongan melintang berbentuk V
c. Palung sungai sempit
d. Tebing sungai tinggi
e. Kecepatan aliran besar
f. Erosinya tinggi
g. Sungai terdiri dari batuan cadas, kerikil dan tanah.

2. Bagian tengah/Daerah transisi (Middle Regime)


Ciri-ciri sungai pada bagian ini adalah :
a. Kemiringan dasar sungai agak landai
b. Potongan melintang berbentuk V dan U
c. Lebar palung sungai besar
d. Tebing sungai agak rendah
e. Kecepatan aliran tidak terlalu besar
f. Merupakan daerah keseimbangan erosi dan pengendapan
g. Alur sungai berupa endapan sedimen, bentuk endapan melebar kearah hulu dengan
material kasar di hulu dan material halus di hilir.
h. Arah aliran berubah-ubah sehingga alurnya mempunyai pola berjalin (braided)

3. Bagian hilir/Daerah dataran (lower regime)


Ciri-ciri sungai pada bagian ini adalah :
a. Kemiringan dasar sungai landai
b. Lebar palung sungai besar
c. Alur sungai berbelok-belok (meander)

26
d. Tebing sungai agak rendah
e. Banyak terjadi endapan (sedimentasi)
f. Kecepatan aliran lambat

- Panjang dan Kemiringan Sungai


Panjang sungai diukur dari titik muara sampai ujung bagian hulu sungai utama. Penentuan
sungai utama dipilih dengan cara menyelusuri percabangan alur sungai yang memberikan luas
DAS yang paling besar. Panjang sungai utama dinyatakan dalam (km). Pengukuran dapat
dilakukan dengan menggunakan peta topografi. Kemiringan sungai dihitungkan berdasarkan
selisih ketinggian dua kontur ketinggian terhadap panjang sungai.

3.7 Parameter Daerah Aliran Sungai


Ada beberapa parameter DAS yang menyatakan keadaan jaringan alur sungai secara
kuantitatif :
• Luas
• Panjang dan lebar
• Kemiringan
• Orde dan tingakat percabangan sungai
• Koefisien bentuk
• Kerapatan sungai

1. Luas
Garis batas antara DAS adalah punggung permukaan bumi yang dapat memisahkan dan membagi
air hujan ke masing-masing DAS. Garis batas tersebut ditentukan dengan berdasarkan perubahan
kontur dari peta topografi sedangkan luas DAS dapat diukur dengan planimetri. Skala peta yang
digunakan akan mempengaruhi ketelitian perhitungan luasnya.

Tabel 3.1 Batasan penggunaan peta Topografi untuk menghitung luas DAS:

27
Skala Peta Luas DAS minimal (Km2) Interval Kontur
1 : 250.000 40 50
1 : 150.000 25 40
1 : 100.000 7 25
1 : 50.000 1,6 25
1 : 25.000 0,4 12,5
1 : 20.000 0,25 10
1 : 10.000 0,07 5

2. Panjang dan Lebar


Panjang DAS adalah sama dengan jarak datar dari muara kearah hulu sepanjang sungai
utama.
Lebar adalah luas DAS dibagi dengan panjangnya.

3. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng antara dua lokasi ketinggian dapat dihitung dengan persamaan berikut:

SL = dk/T
Dimana:
SL = kemiringan lereng (m/km)
dk = interval kontur (m)
T = AL/LR
TL = luas bidang diantara 2 kontur (km2)
LR = Panjang rata2 dua kontur (km)

4. Orde Sungai
Alur sungai didalam suatu DAS dapat dibagi dalam beberapa orde sungai.
Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai didalam urutannya terhadap induk sungai
didalam suatu DAS. Makin banyak orde sungai akan semakin luas pula DASnya dan semakin
panjang pula Alur sungainya. Menurut Strahler alur sungai paling hulu yang tidak mempunyai

28
cabang disebut dengan orde pertama, pertemuan antara 2 orde pertama disebut dengan orde kedua,
pertemuan orde pertama dengan orde kedua disebut juga orde kedua. Demikian seterusnya sampai
pada sungai utama ditandai dengan nomor orde yang paling besar.
Pemberian nomor orde ini harus menggunakan peta topografi.

5. Koefisien bentuk
Koefisien ini memperlihat perbandingan antara luas daerah pengaliran itu dengan panjang
sungainya.
F = A/L2
F = Koefisien corak
A=Luas daerah pengaliran (km2)
L=Panjang Sungai Utama (km)
Makin besar harga F, makin lebar daerah pengalirannya.

6. Kerapatan Sungai
Kerapatan sungai adalah suatu angka indek yang menunjukan banyaknya anak sungai
didalam suatu DAS. Indeks tersebut diperoleh dari persamaan sebagai berikut :
r = Ls/A
r = Indek kerapatan sungai (km/km2)
Ls = Jumlah panjang sungai termasuk panjang anak2 sungainya (km)
A = luas DAS (km2)
Ada suatu batasan yang menyatakan besarnya indek kerapatan sungai, yaitu :
a. kurang dari 0,25 km/km2 maka disebut rendah
b. 0,25 – 10 km/km2 disebut sedang
c. 10 – 25 km/km2 disebut tinggi
d. Lebih dari 25 km/km2 disebut sangat tinggi

Berdasarkan batasan tersebut di atas dapat diperkirakan suatu gejala yang berhubungan dengan
aliran sungai sbb:

29
1. Jika nilai r rendah, alur sungai melewati batuan dengan resistensi keras, maka angkutan
sedimen yang terangkut aliran sungai lebih kecil jika dibandingkan pada alur sungai yang
melewati batuan dengan resistensi lebih lunak, apabila kondisi lain yang mempengaruhi
sama.
2. Jika r sangat tinggi, alur sungai melewati batuan yang kedap air. Keadaan ini akan menunjukan
bahwa air hujan yang menjadi aliran akan lebih besar jika dibandingkan suatu daerah dengan
r rendah melewati batuan yang permeabilitasnya lebih besar.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa air adalah suatu hal yang vital di planet yang kita
tempati. Banyak fenomena-fenomena yang terjadi pada hal ini. Peningkatan dan perkembangan
pembangunan di berbagai sektor menuntut pemenuhan akan pelayanan Sumber Daya Air. Hal ini
memberikan implikasi berkembangnya sistem Pengembangan Sumber Daya Air yang makin
kompleks dan rumit.

30
BAB IV
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
AIR PERMUKAAN (DANAU DAN WADUK)

4.1 Danau

4.1.1 Pengertian Danau

Danau adalah sejumlah air (tawar atau asin) yang terakumulasi di suatu tempat yang cukup
luas, yang terjadi karena mencairnya gletser, aliran sungai, atau karena adanya mata air.

Biasanya danau dapat dipakai sebagai sarana rekreasi, dan olahraga. Danau adalah
cekungan besar di permukaan bumi yang digenangi oleh air bisa tawar ataupun asin yang seluruh
cekungan tersebut dikelilingi oleh daratan. Kebanyakan danau adalah air tawar dan juga banyak
berada di belahan bumi utara pada ketinggian yang lebih atas

Sebuah danau periglasial adalah danau yang di salah satunya terbentuk lapisan es, "ice cap"
atau gletser, es ini menutupi aliran air keluar danau. Istilah danau juga digunakan untuk
menggambarkan fenomena seperti Danau Eyre, di mana danau ini kering di banyak waktu dan
hanya terisi pada saat musim hujan. Banyak danau adalah buatan dan sengaja dibangun untuk
penyediaan tenaga listrik-hidro, rekreasi (berenang, selancar angin, dll), persediaan air, dll.

Finlandia dikenal sebagai "Tanah Seribu Danau" dan Minnesota dikenal sebagai "Tanah
Sepuluh Ribu Danau". Great Lakes di Amerika Utara juga memiliki asal dari zaman es. Sekitar
60% danau dunia terletak di Kanada; ini dikarenakan sistem pengaliran kacau yang mendominasi
negara ini.

Di bulan ada wilayah gelap berbasal, mirip mare bulan tetapi lebih kecil, yang disebut
lacus (dari bahasa Latin yang berarti "danau"). Mereka diperkirakan oleh para astronom sebagai
danau.

31
4.1.2 Proses Terjadinya Danau

Berdasarkan proses terjadinya, danau dibedakan :

1. danau tektonik yaitu danau yang terbentuk akibat penurunan muka bumi karena pergeseran
/ patahan
2. danau vulkanik yaitu danau yang terbentuk akibat aktivitas vulkanisme / gunung berapi
3. danau tektovulkanik yaitu danau yang terbentuk akibat percampuran aktivitas tektonisme
dan vulkanisme
4. danau bendungan alami yaitu danau yang terbentuk akibat lembah sungai terbendung oleh
aliran lava saat erupsi terjadi
5. danau karst yaitu danau yang terbentuk akibat pelarutan tanah kapur
6. danau glasial yaitu danau yang terbentuk akibat mencairnya es / keringnya daerah es yang
kemudian terisi air
7. danau buatan yaitu danau yang terbentuk akibat aktivitas manusia

4.1.3 Danau Yang Terkenal

• Danau terbesar di dunia adalah Laut Kaspia. Dengan luas permukaan 394.299 km², ia
memiliki wilayah yang lebih besar dari enam danau terbesar berikut digabungkan menjadi
satu.
• Danau air tawar terbesar, dan kedua terbesar adalah Danau Superior dengan luas
permukaan 82.414 km².
• Danau terdalam adalah Danau Baikal di Siberia, dengan kedalaman 1.741 meter
• Danau tertinggi yang dapat dinavigasi adalah Danau Titicaca, pada ketinggian 3.821 m di
atas permukaan laut. Dia juga merupakan danau terbesar kedua di Amerika Selatan.
• Danau terendah di dunia adalah Laut Mati, pada 396 m (1.302 kaki) di bawah permukaan
laut. Dia juga merupakan danau yang memiliki konsentrasi garam paling tinggi.
• Pulau terbesar di tengah danau air tawar adalah Pulau Manitoulin di Danau Huron, dengan
luas permukaan 2.766 km².
• Danau terbesar yang terletak di pulau adalah Danau Nettiling di Pulau Baffin.
• Danau Toba di pulau Sumatra kemungkinan terletak di kawah gunung berapi pasif
terbesar di dunia.

32
4.2 Waduk

4.2.1 Pengertian dan Fungsi Waduk

➢ Waduk/embung adalah salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua
makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia.
➢ Fungsi utama waduk adalah untuk memantapkan aliran air, baik dengan cara pengaturan
persediaan air yang berubah-ubah pada suatu sungai alamiah, maupun dengan cara
memenuhi tuntutan kebutuhan yang berubah-ubah dari para konsumen (irigasi, air baku,
PLTA dan rekreasi).

4,2,2. Ciri Fisik Waduk

➢ Fungsi utama waduk adalah untuk menyediakan tampungan.

➢ Ciri fisik waduk adalah kapasitas tampungan.

➢ Kapasitas waduk yang bentuknya beraturan dapat dihitung dengan rumus-rumus untuk
menghitung volume benda padat.

➢ Kapasitas waduk yang bentuknya alamiah haruslah ditetapkan berdasarkan pengukuran


topografi.

➢ Suatu lengkung luas elevasi dibentuk dengan cara mengukur luas yang diapit oleh tiap-
tiap garis kontur didalam kedudukan waduk dengan planimeter

Gambar 4.1 Sketsa Waduk

33
ntegral dari lengkung luas-elevasi merupakan lengkung tampungan atau lengkung
dari kapasitas waduk tersebut.

Pertambahan tampungan antara dua buah elevasi biasanya dihitung dengan


mengalikan luas rata-rata pada kedua elevasi tersebut dengan perbedaan elevasinya.

Jumlah seluruh pertambahan dibawah suatu elevasi adalah merupakan volume


tampungan di bawah ketinggian tersebut.

L uas-1000 Acres

5 4 4 4 3 3 2 2 2 1 1 8 4 0
1100
2 8 4 0 6 2 8 4 0 6 2
1080
E levasi diatas permukaan laut

1060 T inggi operas i


maksimum - Mercu pelimpah banjir
1040
1020 - K etinggian pengendali
V olum L uas
1000 banjir-
- T inggi operas i minimum-
e
- G aris pus at pipa pes at-
980
- G aris pus at terbuang-
960 - G aris pus at turbin-
940 - G enangan terendah-
(ft)

920
900
0 2 4 6 8 10 1 1 1 1 2 2 2 2
2 4 Acre-ft
V olume-100.000 6 8 0 2 4 6

L eng kung E levas i- tampung an dan leng kung elevas i –luas waduk
Gambar 4.2 Hubungan antara Lengkung Elevasi

- tampungan dan Lengkung Elevasi – Luas Waduk

34
Permukaan Genangan pada Banjir
Mercu Pelimpah
Kapasitas Rencana
Tambahan Permukaan Genangan
Normal Bendungan

Tam
pun Kapasitas Berguna
gan
L em
bah Permukaan Genangan
Minimum Alur
Dasar Sungai Pembuang

Kapasitas mati
Permukaan Sungai Alamiah di
hulu Bendungan

Daerah-daerah Tampungan di dalam Waduk


Gambar 4.3 Daerah-daerah Tampungan di dalam Waduk

4.2.3 Istilah daerah-daerah tampungan dalam Waduk :

Permukaan genangan normal adalah elevasi maksimum yang dicapai oleh kenaikan
permukaan waduk pada kondisi operasi biasa. Permukaan genangan normal ditentukan
oleh elevasi mercu palimpah atau pintu pelimpah.

Permukaan genangan minimum adalah elevasi terendah yang dapat diperoleh bila
genangan dilepaskan pada kondisi normal. Permukaan genangan minimum ditentukan oleh
elevasi dari bangunan pelepasan yang terendah di dalam bendungan atau pada bangunan
PLTA.

Kapasitas berguna adalah volume tampungan yang terletak antara permukaan genangan minimum
dan permukaan genangan normal.

35
Gambar 4.4 Contoh sebuah Waduk

Kapasitas berguna terbagai menjadi dua bagian yaitu kapasitas konservasi dan kapasitas
pengurangan banjir.

Kapasitas mati adalah kapasitas air yang ditahan dibawah permukaan genangan
minimum.

Pertambahan bersih dari kapasitas tampungan yang berasal dari pembangunan waduk adalah
kapasitas keseluruhan dikurangi dengan tampungan lembah alamiah

4.2.4 Produksi Waduk

➢ Produksi adalah jumlah air yang dapat disediakan oleh waduk dalam suatu jarak waktu
tertentu (mulai dari satu hari sampai setahun lebih tergantung dari tampungan waduk).

➢ Produksi waduk ----→ Kapasitas waduk

➢ Produksi tergantung pada aliran yang masuk kedalam waduk

36
Produksi yang aman pada suatu waduk apabila jumlah air maksimum yang dapat dijamin
penyadapannya selama suatu jangka waktu kering yang kritis ( waktu aliran alamiah terendah
yang tercatat pada suatu sungai).

4.2.5 Kapasitas waduk

4.2.5. 1. Kapasitas waduk distribusi untuk produksi tertentu

Perencanaan suatu proyeksi seringkali menuntut penetapan kapasitas waduk yang


dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tertantu.

Contoh : Penyediaan air kota atau irigasi jika diinginkan untuk mengairi suatu daerah
tertentu

Penetapan kapasitas guna untuk menyediakan produksi didasarkan pada persamaan tampungan

I − S = O -----→Persamaan Tampungan

❖ Suatu waduk tidaklah menghasilkan air, melainkan hanya memungkinkan pengaturan


kembali distribusinya di dalam kerangka waktu.

❖ Contoh : pemilihan kapasitas waduk tampungan

❖ Soal : Persediaan air untuk suatu kota dipompa dari sumur-sumur kedalam suatu waduk
distribusi. Perkiraan kebutuhan air jam-jaman untuk hari maksimum diperlihatkan pada
tabel berikut. Bila pompa-pompa bekerja dengan laju yang seragam, berapakah kapasitas
waduk distribusi yang dibutuhkan?

Laju aliran (m3/jam)


Akhir Laju Dibutuhkan
Kebutuhan
Jam pemompaan dari waduk

1 273 529.3 0

2 206 529.3 0

37
3 256 529.3 0

4 237 529.3 0

5 257 529.3 0

6 312 529.3 0

7 438 529.3 0

8 627 529.3 98

9 817 529.3 288

10 875 529.3 346

11 820 529.3 291

12 773 529.3 244

13 759 529.3 230

14 764 529.3 235

15 729 529.3 200

16 671 529.3 142

17 670 529.3 141

18 657 529.3 128

19 612 529.3 83

20 525 529.3 0

21 423 529.3 0

22 365 529.3 0

23 328 529.3 0

24 313 529.3 0

Jumlah 12.703 12.703 2426

38
Penyelesaian :

➢ Laju aliran rata-rata ditetapkan dengan cara membagi seluruh jumlah pemompaan
dengan 24 jam.

➢ Kapasitas waduk diperoleh dari jumlah dari seluruh kebutuhan jam-jaman dari
tampungan = 2426 m3/jam

➢ Kapasitas waduk dapat diperoleh dari integral dari aliran keluar (kebutuhan) dan aliran
masuk (laju pemompaan)
b

 (O − I )dt
a

Tampungan yang diperlukan

a b Pemompaan rata-rata

Gambar 4.5 Kapasitas Waduk

39
4.3.5.2 Pemilihan Kapasitas untuk Waduk Sungai

Penetapan kapasitas untuk suatu waduk sungai biasanya disebut dengan suatu penelaahan
operasi (operation study) dan merupakan suatu simulasi dari pengoperasian waduk untuk
suatu jangka waktu.

Penelaahan operasi hanya menganalisis suatu masa kritis yang dipilih (pada waktu aliran
rendah), tetapi praktek modern lebih banyak memanfaatkan data sintetis yang panjang
(data bangkitan)

Penelaahan operasi dapat dikerjakan berdasarkan interval tahunan, bulanan atau harian,
tetapi yang paling umum digunakan adalah data bulanan.

Untuk suatu waduk yang besar, data tahunan yang lebih banyak digunakan.

Untuk waduk yang kecil, data yang dipakai adalah data harian atau mingguan.

➢ Jika data sintetis yang panjang harus dianalisis, maka dapat diselesaikan dengan
menggunakan komputer dan biasanya dipergunakan algoritma puncak urutan (sequent
peak algorithm)

4.2.6 Sedimentasi Waduk

 Permasalahan sedimentasi waduk banyak terjadi di Indonesia, yang berdampak pada


pengurangan usia operasi waduk.

 Sumber utama sedimentasi waduk : Erosi di Daerah Tangkapan Waduk.

 Permasalahan sedimentasi waduk tidak terlepas dari berbagai kendala yg dihadapi, baik
pada waktu perencanaan maupun pada waktu waduk sudah beroperasi, misal :

➢ data sedimen tidak akurat, yg disebabkan karena :

✓ terbatasnya data sedimen yang dapat digunakan,

✓ metode pengambilan sampel sedimen di sungai yang tidak sesuai standar

tidak berhasilnya program konservasi tanah di daerah tangkapan waduk.

40
Permasalahan Umum

 Informasi Sedimen yang masuk waduk diperoleh :.

1. Angkutan sedimen di sungai (suspensi dan Bed Load)

2. Pengukuran Echo-sounding di waduk

3. Perhitungan erosi di Daerah Tangkapan Waduk

No. 1 → Baik untuk Perencanaan (di dukung No. 3)

No. 2 → Baik untuk Verifikasi / Monitoring

No. 3 → Baik untuk Pengendalian (di dukung No. 1 dan 2)

Tahap Perencanaan : No. 1 + 3

Tahap Operasional : No. 1 + 2 + 3

Gambar 4.6 Proses Pengendapan Sedimen dalam Waduk

41
➢ Setiap sungai membawa sejumlah sedimen terapung (suspended sediment) serta
menggerakkan bahan padat di sepanjang dasar sungai sebagai muatan dasar (bed load)

➢ Muatan sedimen terapung pada sungai-sungai diukur dengan cara mengambil contoh air,
menyaringnya untuk memisahkan sedimen, mengeringkannya dan kemudian menimbang
bahan-bahan yang disaring tersebut.

➢ Muatan sedimen dinyatakan dalam parts per million (ppm)

Muatan sedimen dihitung dengan cara membagi berat sedimen dengan berat sedimen bersama
dengan airnya dan mengalikan hasil bagi dengan 106

➢ Contoh air biasanya diambil didalam botol yang dipasang pada sebuah pengambil contoh,
yang direncanakan sedemikian rupa untuk menghindari distorsi garis-garis arus aliran agar
dapat mengambil contoh yang tepat dari air yang mengandung air tersebut

Persamaan yang digunakan untuk menghitung angkutan muatan terapung :

Qs = kQn

Dengan

Q = aliran sungai

n = konstanta (berkisar antara 2 dan 3)

4.2.7 Gelombang di waduk

➢ Gelombang didalam waduk dapat pula menyebabkan kerusakan pada bangunan dan
tanggul yang berdekatan dengan air

➢ Salah satu bagian dari perencanaan bendungan adalah perkiraan tentang dorongan angin
serta tinggi gelombang

42
Dorongan angin adalah miringnya permukaan air waduk karena gerakan air permukaan ke arah
tebing pantai yang terletak di bawah angin akibat tiupan angin

Dorongan angin dapat diperkirakan dengan rumus sbb:

2
Vw F
Zs =
63200d

Dengan :

Zs = kenaikan diatas permukaan air tenang (m)

Vw = kecepatan angin (km/jam)

F = panjang permukaan air yang terkena tiupan

angin (km)

d = kedalaman rata-rata dari genangan waduk (m)

➢ Bila angin mulai bertiup diatas permukaan yang halus, maka akan timbul gelombang-
gelombang kecil sebagai akibat dari adanya pusaran-pusaran turbulen pada aliran angin
tersebut (gelombang kapiler).

➢ Lamanya angin, saat terjadinya serta arah tiupannya merupakan faktor-faktor penting
bagi tingginya puncak gelombang

Tinggi gelombang dapat diketahui dari persamaan sbb

zw = 0.005Vw1.06 F 0.47
Dengan :

zw = tinggi gelombang (m)

Vw = kecepatan rata-rataa (km/jam)

F = panjang permukaan airyang terkena tiupan angin (km)

43
Panjang gelombang dapat diketahui dari persamaan sbb:

 = 1.56tw2

tw = 0.46Vw
0.44
F 0.28
tw = jangka waktu gelombang

4.2.8 Pembersihan waduk

➢ Pembuangan pohon-pohonan serta puing-puing dari suatu kedudukan waduk adalah sutu
pekerjaan yang mahal dan seringkali sulit dibenarkan berdasarkan pertimbangan ekonomi

➢ Kerugian utama dari membiarkan tanaman dalam waduk:

1. Pohon-pohon pada akhirny akan mengambang dan menimbulkan masalah sampah di


bendungan

2. Pembusukan bahan-bahan organik dapat menimbulkan bau atau rasa yang tidak sedap pada
waduk-waduk penyediaan air

3. Pohon-pohon yang menyembul diatas permukaan air dapat menimbulkan pandangan yang
tidak nyaman serta menghalangi pemanfaatan waduk untuk rekreasi

4.2.9 Operasi waduk

Sistem Pengelolaan Air Waduk

➢ Sistem adalah suatu kumpulan banyaknya subsistem yang membentuk suatu fungsi.

➢ Contoh : suatu kendaraan subsistem (roda belakang,depan,mesin), jika mesin dilepas dari
sepeda motor, maka akan bisa menjadi sepeda, jadi subsistemnya adalah sepeda dan mesin.

➢ Subsistem dari operasi waduk:

a. Subsistem Internal:

44
▪ Subsistem prasarana

▪ Subsistem sumber daya manusia

- human hardware

- brain hardware (pengetahuan yang mendukung suatu fungsi)

- heart ware (komitmen disiplin) yang menentukan kualitas.

b. Subsistem Eksternal

Subsistem “kebutuhan” bagaimana memprofilkan faktor kebutuhan

Kebutuhan berupa :

- irigasi (pertanian, perikanan, perkebunan)

- air bersih (manusia)

- industri

- lingkungan dan kesehatan

- pengendalian bencana (waduk di Jatiluhur yang berfungsi sebagai waduk serbaguna)

Sistem Energi (Uang) Atmosfer (suasana kerja)

Sistem Manajemen Waduk Air


Air

Internal Eksternal

Gambar 4.7 Sistem Manajemen Waduk

Pengertian sistem operasi waduk:

45
1. Cakupan sistem termasuk tujuan dan fungsinya.

2. Gambaran umum antara hubungan antara subsistem

Contoh : operasi waduk tidak dapat berdiri sendiri hubungannya berupa independen dan
dependen

Contoh : Waduk di Jatiluhur selain bisa untuk irigasi bisa juga digunakan untuk air bersih.

3. Harus mampu menyusun skenario manajemen

Model operasi waduk berupa taksiran, gambaran yang


Modelmenyajikan tiruantaksiran,
operasi waduk berupa dari gambaran
kondisiyang
nyata, tentang
menyajikan deskripsi
tiruan dari kondisi nyata,
tentang deskripsi hubungan perilaku subsistem, interaksi subsistem dan proses yang ada didalam
hubungan perilaku subsistem, interaksi subsistem dan
model.
proses yang ada didalam model.
Air
sistem melimpah

Output (air)

meresap

Gambar 4.8 hubungan perilaku subsistem, interaksi subsistem dan proses

➢ Untuk memudahkan kinerja subsistem maka dibuatlah model operasi waduk

➢ Model operasi waduk berupa taksiran, gambaran yang menyajikan tiruan dari kondisi
nyata, tentang deskripsi hubungan perilaku subsistem, interaksi subsistem dan proses yang
ada didalam model

46
s ubs is tem dan pros es yang ada didalam model

Sarana Operasi Waduk


Input (unregulated) Regulated (ditutup)
Output 2

Output 1
Unregulated tergantung dari
hujan dan hidrometeorologi

Gambar 4.9 Sasaran Operaso Waduk


➢O utput 1 dan 2 merupakan regulated fungsi dari kebutuhan
➢ Output 1 dan 2 merupakan regulated fungsi dari kebutuhan
➢C ontoh regulated : ada pintu air (output 1) dan s pillway (pelimpah)
➢ Contoh regulated : ada pintu air (output 1) dan spillway (pelimpah)
➢O utput 2 terjadi ketika ada spillway dan input > output
Output 2 terjadi ketika ada spillway dan input > output

V
D

Gambar 4.10 Regulasi waduk

Tujuan dari operasi waduk :

1. Untuk mengendalikan banjir

2. Untuk pembangkit tenaga listrik

3. Untuk irigasi

4. Untuk memenuhi kebutuhan air baku

➢ Waduk dioperasikan secara optimal jika ada reservoar operating rule (mengatur pelepasan
air dan monitoring

47
BAB V
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR TANAH

5.1Pengenalan Air Tanah.

Air merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dasar
maupun untuk menunjang pembangunan. Seluruh aspek kehidupan membutuhkan air bersih.
Kebutuhan akan air selalu mengalami peningkatan sejalan dengan pertumbuhan penduduk untuk
memanfaatkannya dalam berbagai kebutuhan seperti untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian,
industri dll.
Pada masa yang akan datang, pengadaan air bersih akan menjadi suatu masalah pelik jika
pemanfaatannya tidak dikelola dengan baik mulai saat ini. Masalah ini dapat diatasi jika
penggunaan air sudah diketahui dan dimanfaatkan secara efisien disamping mencari sumber-
sumber lain.
Salah satu sumber daya air adalah air tanah. Secara global jika dilihat dari segi volume, air
tanah merupakan sumber air yang penting dan potensial karena kapasitasnya paling besar (30,61%)
dibandingkan dengan sumber air tawar lainnya. Ilmu yang mempelajari air tanah adalah
hidrogeologi. Aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Propinsi dalam melaksanakan
tugasnya perlu dibekali hidrogeologi, disesuaikan dengan tugas fungsinya.
Hidrogeologi (hidro- berarti air, dan -geologi berarti ilmu mengenai batuan) merupakan
bagian dari hidrologi yang mempelajari penyebaran dan pergerakan air tanah dalam tanah dan
batuan di kerak Bumi. Dalam prosesnya studi ini menyangkut aspek-aspek fisika dan kimia yang
terjadi di dekat atau di bawah permukaan tanah mencakup keterdapatan, transportasi material
(aliran), penyebaran, reaksi kimia, perubahan temperatur, perubahan topografi dan lainnya.
Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan di bawah permukaan
tanah. Air tanah merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan
kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.
Selain air sungai dan air hujan, air tanah juga mempunyai peranan yang sangat penting
terutama dalam menjaga keseimbangan dan ketersediaan bahan baku air untuk kepentingan rumah

48
tangga (domestik) maupun untuk kepentingan industri. Dibeberapa daerah, ketergantungan
pasokan air bersih dan air tanah telah mencapai ± 70%.

5.2 Pengertian Air Tanah

Ada banyak pengertian atau definisi mengenai air tanah. Undang Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air (UU No. 7/2004) mendefinisikan air tanah sebagai air yang
terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Sementara beberapa ahli di
dalam buku-buku teks memberikan definisi seperti berikut:

Air tanah adalah sejumlah air di bawah permukaan bumi yang dapat dikumpulkan dengan
sumur-sumur, terowongan atau sistem drainase atau dengan pemompaan. Dapat juga disebut
aliran yang secara alami mengalir ke permukaan tanah melalui pancaran atau rembesan (Bouwer,
1978; Freeze dan Cherry, 1979; Kodoatie, 1996). Sedangkan menurut Soemarto (1989) air
tanah adalah air yang menempati rongga-rongga dalam lapisan geologi. Lapisan tanah yang
terletak di bawah permukaan tanah dinamakan lajur jenuh (saturated zone), dan lajur tidak jenuh
terletak di atas lajur jenuh sampai ke permukaan tanah, yang rongga-rongganya berisi air dan
udara.

Air yang berada pada lajur jenuh adalah bagian dari keseluruhan air bawah
permukaan yang biasa disebut air tanah (groundwater). Air bawah bawah tanah (underground
water dan sub terranean water) adalah istilah lain yang digunakan untuk air yang berada pada
lajur jenuh, namun istilah yang lazim digunakan adalah air tanah (Johnson, 1972).

Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan mulai terisi air dan mulai jenuh. Batas
atas lajur jenuh air disebut dengan muka air tanah (water table). Air yang tersimpan pada
lajur jenuh disebut dengan air tanah, yang kemudian bergerak sebagai aliran air tanah melalui
batuan dan lapisan-lapisan tanah yang ada di bumi sampai air tersebut keluar sebagai mata air, atau
terkumpul masuk ke kolam, danau, sungai, dan laut (Fetter, 1994).

Air bawah permukaan adalah segala bentuk aliran air hujan yang mengalir di bawah
permukaan tanah sebagai akibat struktur perlapisan geologi, beda potensi kelembaban tanah, dan

49
gaya gravitasi bumi. Air bawah permukaan tersebut biasa dikenal dengan air tanah (Asdak, 2002).
Air yang berada di bawah muka air pada umumnya disebut air tanah, dan lajur di bawahnya
disebut sebagai lajur jenuh.

Curah hujan yang masuk ke dalam tanah dan meresap ke lapisan yang ada di bawahnya,
yang kemudian tertampung pada lapisan di bawah pemukaan tanah disebut air tanah (Wilson,
1993). Jumlah air tawar yang terbesar, menurut catatan yang ada, tersimpan di dalam perut bumi,
yang dikenal sebagai air tanah (Chow, 1978). Berdasarkan Perkiraan Jumlah Air di Bumi
(UNESCO, 1978 dalam Chow et al, 1988) dijelaskan bahwa jumlah air tanah yang ada di bumi ini
jauh lebih besar dibanding jumlah air permukaan (98% dari semua air di daratan tersembunyi di
bawah permukaan tanah dalam pori-pori batuan dan bahan-bahan butiran).

Air tanah mempunyai 3 (tiga) fungsi bagi manusia (Toth, 1990) yaitu:

1. Sebagai sumber alam yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia.


2. Bagian dari hidrologi dalam tanah yang mempengaruhi keseimbangan siklus hidrologi
global.
3. Sebagai anggota/agen dari geologi.

Ada dua sumber air tanah yaitu:

1. Air hujan yang meresap ke dalam tanah melalui pori-pori atau retakan dalam
formasi batuan dan akhirnya mencapai muka air tanah.
2. Air dari aliran air permukaan seperti sungai, danau, dan reservoir yang meresap melalui
tanah ke dalam lajur jenuh.

Air tanah dan air permukaan merupakan sumber air yang mempunyai ketergantungan satu
sama lain, Air tanah adalah sumber persediaan air yang sangat penting, terutama di daerah-daerah
di mana musim kemarau atau kekeringan yang panjang menyebabkan berhentinya aliran sungai.

Banyak sungai di permukaan tanah yang sebagian besar alirannya berasal dari air tanah,
sebaliknya juga aliran air sungai merupakan sumber utama untuk imbuhan air tanah. Pembentukan
air tanah mengikuti siklus peredaran air di bumi yang disebut daur hidrologi, yakni proses alamiah

50
yang berlangsung pada air di alam, yang mengalami perpindahan tempat secara berurutan dan terus
menerus.

5.3 Dasar Hukum Pengelolaan Air Tanah.


Sebagai kekayaan nasional yang berperan vital bagi kehidupan rakyat, air tanah di
Indonesia dikuasai oleh Negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat di
segala bidang sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik maupun ketahanan nasional.
Oleh karenanya air tanah harus dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan,
kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan
akuntabilitas. Berdasarkan asas tersebut maka air tanah harus dikelola secara menyeluruh, terpadu
dan berwawasan lingkungan.
Pengelolaan air tanah dilaksanakan dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan
ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras, serta pengelolaan air tanah
didasarkan pada cekungan air tanah.
Dalam melakukan pengelolaan air tanah, aspek hukum yang melandasi pengelolaan air tanah
di Indonesia meliputi :

1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3). Disini tersirat bahwa air yang terkandung
di dalam buku ini perlu dikelola dan dilindungi agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat.
2. Ketetapan MPR, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam GBHN diamanatkan
bahwa dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
pengembangan tata guna air (termasuk air tanah) perlu diberikan pada penyediaan air yang
cukup dan bersih serta berkesinambungan, mencegah kemerosotan mutu dan kelestarian
air serta setiap perubahan keadaan dan fungsi lingkungan berikut unsurnya perlu terus
dinilai dan dikendalikan secara seksama agar pengamanan dan perlindungannya dapat
dilaksanakan setepat mungkin.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Sebagai Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

51
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah
Sebagai Pelaksana ketentuan Pasal 10, Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (5), Pasal 37 ayat
(3), Pasal 57 ayat (3), Pasal 58 ayat (2), Pasal 60, Pasal 69, dan Pasal 76 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
5. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1451.K/10/MEM/2000
Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air
Tanah.

Khusus di Provinsi Maluku, telah ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 08
Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
serta Peraturan Gubernur Maluku No. 383 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanan Peraturan
Daerah Provinsi Maluku No. 08 Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan.

5.4 Profil Air Tanah

Kita tentu membutuhkan air dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi dari mana sih asal
air tersebut?Ko bisa air berada di bawah permukaan tanah?Apakah air dibawah tanah tersebut
mengalir deras juga seperti sungai?Mungkin itu pertanyaan yang sering kita pikirkan tentang air
tanah.
Air tanah pada hakikatnya merupakan air yang terdapat pada lapisan tanah dan bebatuan
di bawah permukaan bumi. Banyak sedikitnya air di dalam tanah dipengaruhi oleh sejarah dan
konsisi geologi wilayah tersebut, delinasi dan kondisi formasi batuan di daerah tersebut. Jadi
jangan heran di Indonesia jika musim kemarau tiba sering terdapat wilayah yang dilanda
kekeringan akibat hilangnya sumber mata air, selain itu ada pula daerah yang tetap memiliki
sumber daya air tanah. Itulah karakteristik air tanah di berbagi tempat berbeda-beda. Jadi
bagaimana gambaran air tanah itu sebenarnya? Kita lihat pada gambar di bawah ini
Dalam gambar 5.1 dapat dilihat bahwa air dalam tanah itu berada pada sela-sela butir
pasir/batuan di bawah tanah, bukan mengalir seperti air sungai yang deras. Manusia dapat
mengambil air tersebut salah satunya dengan membuat sumur buatan. Sedang untuk melihat
penampang air tanah secara luas diperlihatkan pada gambar 5.2

52
Gambar 5,1 Air Dalam Pori TanaH

Gambar 5,2 Profil Air Tanah

Gambar 5.2 di atas menunjukkan profil air tanah dalam skala luas. Terdapat beberapa zona
dengan karakteristik tertentu. Zona tersebut diantaranya adalah

53
1. Aquifer (Akuifer) adalah formasi geologi /grup formasi yang mengandung air dan secara
signifikan mampu mengalirkan air melalui kondisi alaminya. (lapisan pembawa air)
2. Aqueiclud adalah formasi geologi yang mungkin mengandung air, tetapi dalam kondisi
alami tidak mampu mengalirkannya, misalnya lapisan lempung. (lapisan kedap air)
3. Aquitard adalah formasi geologi yang semikedap, mampu mengalirkan air tetapi dengan
laju yang sangat lambat jika dibandingkan dengan akuifer. Meskipun demikian dalam
daerah yang sangat luas, mungkin mampu membawa sejumlah besar air antara akuifer yang
satu dengan lainnya
4. Aquifuge merupakan formasi kedap yang tidak mengandung dan tidak mampu
mengalirkan air.

5. 5 Identifikasi Air Tanah

1. Pengukuran karakteristik air tanah dilakukan dengan menggunakan alat resistivity


meter/terameter. Pengukuran dilakukan di lapangan dengan menentukan titik deteksi
terameter berdasarkan jenis tanah, kondisi geologi, dan hidrogeologinya. Untuk ketepatan
penentuan titik dan mempermudah deteksi terlebih dahulu dilakukan penentuan posisi titik
menggunakan GPS (Geo Posizioning System) selanjutnya dilakukan deteksi untuk
menentukan ketahanan jenis semu dan kedalaman overburden dan akuifernya di lapangan.
Titik yang dideteksi adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) berada pada
hamparan 600 m dengan topografi datar, (b) jauh dari kawat berduri dan besi dalam tanah,
dan (c) jauh dari tegangan tinggi.
2. Terameter bekerja dengan cara menembakkan arus listrik ke dalam tanah dengan memakai
elektrode-elektrode ke dalam tanah dan mengambil nilai hambatannya dalam dimensi
waktu respon, alat ini dapat menunjukkan material di bawah permukaan bumi pada
kedalaman lebih dari 200 meter tanpa melalui pengeboran. Dari data sifat kelistrikan
material bawah tanah terutama batuan yang berupa besaran tahanan jenis (resistivity),
masing-masing dikelompokkan dan ditafsirkan dengan mempertimbangkan data kondisi
geologi setempat yang ada.
3. Perbedaan sifat kelistrikan batuan antara lain disebabkan oleh perbedaan macam mineral
penyusun, porositas dan permeabilitas batuan, kandungan air, suhu, dan
sebagainya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor di atas, dapat diintepretasikan

54
kondisi air bawah tanah di suatu daerah, yaitu dengan melokalisir lapisan batuan berpotensi
air bawah tanah.
4. Pengukuran besarnya tahanan jenis batuan di bawah permukaan tanah dengan
menggunakan metode Vertical Electrical Sounding (VES) dilakukan untuk mengetahui
susunan lapisan batuan bawah tanah secara vertikal, yaitu dengan cara memberikan arus
listrik ke dalam tanah dan mencatat perbedaan potensial terukur. Nilai tahanan jenis batuan
yang diukur langsung di lapangan adalah nilai tahanan jenis semu (apparent resistivity),
dengan demikian nilai tahanan jenis di lapangan harus dihitung dan dianalisis untuk
mendapatkan nilai tahanan jenis sebenarnya (true resistivity) dengan metode
Schlumberger. Selanjutnya untuk pengolahan dan perhitungan data lapangan untuk
mendapatkan nilai tahanan jenis yang sebenarnya, serta intepretasi kedalaman dan
ketebalannya digunakan perangkat lunak komputer. Berdasarkan nilai tahanan jenis
sebenarnya, maka dapat dilakukan interpretasi macam batuan, kedalaman, ketebalan, dan
kemungkinan kandungan air bawah tanahnya, sehingga didapatkan gambaran daerah-
daerah yang berpotensi mengandung air bawah tanah serta dapat ditentukan rencana titik-
titik pemboran air bawah tanah.
5. Berdasarkan letak dan potensinya akuifer dibedakan menjadi akuifer bebas, akuifer
setengah tertekan dan akuifer tertekan.
6. Akuifer bebas adalah akuifer yang mempunyai bidang bagian atas berupa zona tidak jenuh
air dan dibatasi oleh muka air bawah tanah. Besarnya kandungan dan luas penyebaran air
bawah tanah yang tersimpan di dalam akuifer bebas sangat dipengaruhi oleh iklim terutama
curah hujan, relief dan kemiringan lahan, jenis litologi, vegetasi dan kondisi lingkungan,
dengan demikian debitnya sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara imbuhan
(recharge) dari lingkungan sekitarnya (air hujan dan rembesan samping) dengan volume
yang di eksploitasi.
7. Akuifer setengah tertekan adalah Merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh
lapisan atas berupa aquitard dan lapisan bawahnya merupakan aquiclude. Pada lapisan
pembatas di bagian atasnya karena bersifat aquitard masih ada air yang mengalir ke akuifer
tersebut (influx) walaupun hidraulik konduktivitasnya jauh lebih kecil dibandingkan
hidraulik konduktivitas akuifer. Tekanan airnya pada akuifer lebih besar dari tekanan
atmosfir.

55
8. Akuifer tertekan adalah Merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas
dan bawahnya merupakan aquiclude dan tekanan airnya lebih besar dari tekanan atmosfir.
Pada lapisan pembatasnya tidak ada air yang mengalir (no flux).

5.6 Manfaat Air Tanah dan Hasil Pengukuranya


5.6.1 Kebutuhan dari Air Tanah

1. Kebutuhan pokok (air minum dan rumah tangga), lebih dari 70% penduduk masih
memanfaatkan air tanah.
2. Kebutuhan industri, sekitar 90% masih menggantungkan pada air tanah.
3. Kebutuhan untuk pertanian, dibeberapa daerah banyak dikembangkan dari air tanah
(P2AT);
4. Kebutuhan air bersih untuk perkotaan dan pedesaan banyak yang dipenuhi dari air tanah
(PDAM, PPSAB, DGSDM);
5. Kebutuhan untuk perkebunan, banyak dikembangkan oleh perkebunan tebu, kelapa sawit,
teh, karet;
6. Kebutuhan dalam pertambangan : pencucian, dewatering, dan untuk fasilitas umum;
7. Fasilitas umum (MCK, air minum), dibanyak perkantoran, peribadatan, rumah sakit, panti
asuhan, dll;

\5.6.2 Pemanfaatan data hasil pengukuran air tanah


Data hasil pengukuran air tanah dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan titik
lokasi pembuatan sumur bor terutama untuk mengeksploitasi air tanah dalam. Di bidang pertanian
penggunaan air tanah dalam sebagai alternatif irigasi suplementer merupakan salah satu pilihan
untuk kawasan pertanian yang mempunyai kendala keterbatasan air permukaan. Berdasarkan data
hasil pengukuran air tanah, lokasi yang disarankan untuk dilakukan pengeboran adalah air tanah
dalam (akuifer tertekan) yang mempunyai kedalaman lebih dari 40 meter, pertimbangannya adalah
pada kedalaman tersebut secara hidrogeologi umumnya air tanahnya merupakan air tanah dalam
yang tidak dipengaruhi oleh kondisi fluktuasi air permukaan. Dengan demikian eksploitasi air
tanah yang akan dilakukan tidak akan menjadi kompetitor pemanfaatan air untuk keperluan
domestik. Untuk mengetahui potensi debit sumur yang akan dieksploitasi dilakukan uji pompa

56
(pumping test) menggunakan pompa irigasi, alat pengukur kedalaman muka air tanah (contack
gauge) serta stopwatch.

5.6.3 Pemanfaatan air tanah dalam sebagai alternatif irigasi suplementer


Dengan semakin terbatasnya ketersediaan air perrmukaan, pemanfaatan air tanah sebagai
irigasi suplementer pada budidaya pertanian menjadi alternatif yang tidak terelakan. Tergantung
kandungan potensinya, air tanah tidak hanya dimanfaatkan untuk irigasi suplementer tanaman
semusim akan tetapi juga dapat dijadikan sebagai solusi irigasi untuk tanaman tahunan. Tentu saja
agar pemanfaatan air tanah dalam untuk irigasi suplementer menjadi lebih efisien diperlukan
dukungan analisis kebutuhan air tanaman untuk mendapatkan saat tanam yang optimal agar defisit
air pada fase kritis pertumbuhan tanaman dapat dihindari sehingga dapat ditekan kehilangan hasil
pada daerah-daerah yang pasokan airnya terbatas.
Beberapa contoh pemanfaatan air tanah dalam untuk menjamin kesinambungan produksi
dan produktivitas antara lain adalah budidaya pertanian terpadu dengan komoditas jagung hibrida,
sayuran, pakan ternak dan jarak pagar seluas 5 ha di Desa Bayan, Lombok Nusa Tenggara Barat
dapat dilihat pada Gambar 5.3.

57
Gambar 5.3 Pemanfaatan air tanah dalam sebagai alternatif irigasi suplementer pada
budidaya pertanian terpadu dengan komoditas jagung hibrida, sayuran,
pakan ternak dan jarak pagar seluas 5 ha di Desa Bayan, Lombok Nusa
Tenggara Barat.

Contoh Upaya pemanfaatan air tanah dalam sebagai alternatif irigasi suplementer pada
kebun bibit kelapa sawit PT. Sampoerna Agro, TBK., di Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera
Selatan diperlihatkan pada Gambar 5.4

Gambar 5.4 . Pemanfaatan air tanah dalam sebagai alternatif irigasi suplementer pada
kebun bibit kelapa sawit PT. Sampoerno Agro, TBK., di Kecamatan
Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

.Pada contoh pendayagunaan sumberdaya air tanah untuk pengembangan komoditas


sayuran, jagung dan kelapa di Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa
Tenggara Timur diperlihatkan pada Gambar 5.5.

58
Gambar 5.5. Pendayagunaan sumberdaya air tanah untuk pengembangan komoditas
sayuran, jagung dan kelapa di Amanuban Selatan, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur

5.7 Dampak Negatif Pengambilan Air Tanah


Karena air tanah adalah salah satu sumber daya alam yang terbaharui (renewable), maka
pengertian ini sering menimbulkan pemahaman yang keliru dari para pengguna air tanah. Kita
memang dikaruniai oleh Tuhan curah hujan yang melimpah, sebagai sumber utama imbuhan
(recharge) air tanah, namun tidak semua air hujan tersebut meresap ke dalam tanah dan mengisi
kembali akuifer tergantung pada kondisi / faktor hidrogeologi, faktor penggunaan lahan di
permukaan, dan bahkan perilaku manusia yang bermukim dan bekerja di atasnya. Oleh sebab itu
pengisian kembali tersebut umumnya berlangsung seketika, dalam bilangan hari, bulan, tahun,
dekade, abad, bahkan milenium. Jadi air tanah memang terbaharui, tapi sangat relatif waktu
pembaharuannya.

59
Mengingat sifat air tanah seperti telah disinggung diatas, maka tidak seperti halnya air
permukaan, pemulihan terhadap air tanah yang telah mengalami penurunan, baik kuantitas maupun
kualitasnya, akan membutuhkan keahlian yang tinggi, biaya yang mahal, dan waktu yang lama.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman negara lain, usaha-usaha pemulihan (restorasi) teresebut
tidak akan pernah dapat mengembalikan air tanah pada kondisi awalnya (initial state).
Pengambilan air tanah yang hanya menekankan asas kemanfaatan, tetapi kurang memberi
perhatian kepada asas keseimbangan dan kelestarian akan memberikan dampak negatif terhadap
sumber daya tersebut, yang berupa degradasi kuantitas maupun kualitas air tanah, yang pada
akhirnya dapat juga mengakibatkan kerusakan lingkungan sekitar.
Dampak negatif dari pengambilan air tanah secara berlebihan terhadap air tanah itu sendiri
dan lingkungan sekitar adalah : Penurunan Muka Air Tanah, Pencemaran Air Tanah. & Amblesan
Tanah.
• Penurunan Muka Air Tanah.
Pengambilan air tanah yang terus meningkat di daerah pengambilan air tanah intesif akan
menyebabkan penurunan muka air tanah secara meluas yang mencerminkan terjadinya
penurunan kuantitas air tanah.
• Pencemaran Air Tanah.
Akibat pengambilan air tanah yang intensif di daerah tertentu dapat menimbulkan pencemaran
air tanah dalam yang berasal dari air tanah dangkal, sehingga kualitas air tanah yang semula
baik menjadi menurun dan bahkan tidak dapat dipergunakan sebagai bahan baku air minum.
Sedangkan di daerah dataran pantai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya intrusi air laut karena pergerakan air laut ke air tanah.
• Amblesan Tanah.
Amblesan tanah (land subsidence) timbul akibat pengambilan air tanah yang berlebihan pada
lapisan pembawa air (akuifer) yang tertekan (confined aquifers), air tanah yang tersimpan
dalam pori-pori lapisan penutup akuifer akan terperas keluar yang mengakibatkan penyusutan
lapisan penutup tersebut, akibatnya terjadi amblesan tanah di permukaan.

5.8 Permasalahan dan Tantangan Pengelolaan Air Tanah


5.8.1 Permasalahan.

60
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan air tanah adalah bagaimana menyikapi
antara terbatasnya ketersediaan air tanah di alam dan peningkatan pengambilan air tanah ini karena
tuntutan kebutuhan akan air yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Kerusakan lingkungan di daerah imbuhan air tanah karena penggundulan hutan dan alih
fungsi lahan menyebabkan turunnya kemampuan resapan air. Pembentukan air tanah menjadi
berkurang menyebabkan cadangan air tanah pada cekungan air tanah mengalami penurunan, hal
ini ditunjukkan dengan semakin mengecilnya debit mata air dan muka air tanah secara regional
menjadi lebih dalam. Setiap musim kemarau di beberapa daerah mengalami kekeringan dan
kekurangan air. Sebaliknya pada musim hujan pada daerah yang sama terjadi banjir.
Di beberapa kota besar, pengambilan air tanahnya sudah begitu intensif. Akibatnya di
beberapa tempat di kota-kota ini telah terjadi kemerosotan kuantitas, kualitas dan bahkan
lingkungan air tanah. Di daerah-daerah pengambilan air tanah intensif, sumur penduduk banyak
yang kering atau air tanahnya tercemar. Akibatnya di daerah tersebut kesulitan air bersih, di
beberapa tempat telah terjadi konflik antara pihak industri dan masyarakat.
Salah satu penyebab krisis air di dunia sebagaimana terungkap pada 2nd World Water
Forum di Den Haag adalah kelemahan penyelenggaraan (governance) pengelolaan air di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia. Tantangan ini semakin bertambah berat dengan
meningkatnya kebutuhan akan air untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk yang semakin
bertambah banyak, pelayanan umum di pusat-pusat perkantoran dan pembelanjaan, industri,
pertanian, pertambangan, serta untuk keperluan sektor lain yang terus mengalami perkembangan.
Adanya kelemahan dalam menyelenggarakan pengelolaan air tanah di Indonesia ditemui
berbagai permasalahan, antara lain :

• Dalam pengelolaan sumber daya air, yang terdiri dari air hujan, air permukaan, air tanah,
sulit dilakukan secara koordinasi.
• Sentralisasi pengelolaan yang terlalu kuat, berakibat memperpanjang sistem pengambilan
keputusan.
• Desentralisasi pengelolaan sampai tingkat kabupaten/kota cenderung mengabaikan prinsip
pengelolaan cekungan air tanah.
• Kebijakan pengelolaan yang belum menjamin :

61
1. Hak setiap individu untuk mendapatkan air termasuk air tanah guna memenuhi
kebutuhan pokok hidup;
2. Hak dasar masyarakat memperoleh akses penyediaan air untuk berbagai keperluan;
3. Pemanfaatan air tanah yang berkelanjutan bagi kemakmuran & kesejahteraan rakyat;
4. Perlindungan air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai demi kesejahteraan umat manusia;
5. Wewenang dan tanggungjawab pelaksanaan pengelolaan air tanah;
6. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan air tanah antar instansi Pemerintah dan atau antar
Pemerintah Daerah guna mengoptimalkan pelaksanaan konservasi dan pendayagunaan
air tanah;
7. Keterpaduan antara air tanah dan air permukaan sebagai upaya mengefektifkan
pengelolaan sumber daya air;
8. Pelaksanaan penggunaan yang saling menunjang antara air tanah dan air permukaan
guna mengatasi kekurangan air.

• Belum terbentuk jaringan data dan informasi air tanah yang baik antar lembaga pengumpul
atau pengelola data air tanah.
• Pemanfaatan air tanah secara parsial, kurang berkeadilan, terutama bagi masyarakat
miskin untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan dasarnya.
• Pemanfaatan lebih menitikberatkan pada eksploitasi untuk mendatkan pendapatan bagi
daerah dari pada konservasinya.
• Data dan informasi air tanah yang kurang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya.
• Degradasi kualitas, kuantitas dan lingkungan air tanah akibat pengambilan air tanah yang
berlebihan, pencemaran serta perubahan fungsi lahan, terutama di cekungan air tanah di
perkotaan.
• Keterbatasan sumber daya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun daerah,
menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan.
• Pengawasan dan penengakan hukum yang lemah atas setiap pelanggaran yang terjadi
terhadap peraturan pengelolaan air tanah yang ada.

62
• Konsep pengelolaan dan konservasi air tanah tidak didasarkan pada konsep pengelolaan
cekungan air tanah, tetapi lebih mendasarkan pada pengelolaan sumur (well management)
dan juga mendasarkan pada batas administrasi.
• Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman air tanah, sehingga
kurang peduli terhadap keberadaan dan fungsi air tanah, baik kualitas, kuantitas dan
kontinuitasnya.

5.8.2 Tantangan.
Banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada, baik yang bersifat teknis maupun
non teknis sangat berpengaruh pada sasaran pelaksanaan pengelolaan air tanah dan konservasinya.
Dengan demikian dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka pelaksanaan pengelolaan
air tanah menghadapi beberapa tantangan, antara lain seperti berikut :

• Pengelolaan secara terpadu antara air tanah dan air permukaan, hal ini dengan menyadari
bahwa air tanah adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem dan berinteraksi dengan air
permukaan.
• Menerapkan konsep dasar pengelolaan air tanah secara total yang memadukan konsep
pengelolaan Groundwater Basin dan River Basin.
• Desentralisasi pengelolaan dengan cara memberdayakan daerah untuk mengelola air tanah
dalam lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan dan aliran air tanah serta
prinsip-prinsip pengelolaan akuifer lintas batas.
• Pemenuhan hak dasar yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air dari air
tanah di daerah yang kondisi air tanahnya memungkinkan bagi kebutuhan pokok sehari-
hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif.
• Ketersediaan data, informasi dan jaringan informasi air tanah yang terpadu di dasarkan
pada data keaitanahan yang andal, tepat, akurat, dan berkesinambungan, yang mencakup
seluruh wilayah Indonesia.
• Keberlanjutan ketersediaan air tanah dengan menjamin keseimbangan antara pemanfaatan
dan ketersediaan air tanah sebagai bagian dari ekosistem.
• Pemanfaatan air saling menunjang, yaitu menciptakan keterpaduan pemanfaatan air tanah,
air permukaan dan air hujan.

63
• Ketersediaan sumber daya (keahlian, peralatan, dan biaya) pengelolaan, yaitu dengan
memberdayakan sumber daya dari masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan,
pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

64
BAB VI
PENGEMBANGAN RAWA DAN PANTAI

6.1 Pengembangan Rawa

6.1.1 Pengertian Rawa:

Rawa adalah genangan a r daratan pada cekungan yang relatif dangkal dan seringkali
ditutupi tumbuh-tumbuhan air. Rawa terutama terdapat di bagian tengah dan hilir aliran sungai
yang mengalir di dataran yang hampir sama tinggi dengan tinggi air sungai. Rawa juga terdapat
di sepanjang pantai yang landai yang banyak dipengaruhi pasang surut air laut. Rawa seperti ini
dinamakan rawa pantai, seperti yang terdapat di pantai timur Sumatera, pantai selatan
Kalimantan, dan Irian Jaya serta di beberapa tempat pantai utara Jawa. Terjadinya Rawa sesuai
dengan proses terbentuknya, terdapat beberapa jenis rawa, yaitu sebagai berikut.

• Rawa Abadi: Rawa abadi adalah rawa yang tidak pemah kering sepanjang tahun,
terbentuk oleh genangan air hujan atau air tanah yang tidak mempunyai pelepasan. Air di
rawa tersebut sangat asam dan berwarna kemerah-merahan Di rawa tersebut hampir tidak
ada organisme yang dapat hidup, sehingga dapat dikatakan tidak berguna bagi manusia.

Gambar 6.1 Rawa Abadi

65
• Rawa di pinggir aliran sungai yang mengalir di dataran dan berawal pada waktu sungai
itu banjir. Ketika air sungai meluap, bahan kasar yang dibawa sungai akan membentuk
tanggul alam sepanjang sungai itu. Di sebelah luarnya terendapkan bahan-bahan yang lebih
halus. Ketika air surut kembali, genangan air di luar tanggul itu tidak dapat kembali ke
sungai dan tergenanglah rawa sungai. Peristiwa yang sama akan terjadi setiap air sungai
meluap dan tempat alirannya.

Gambar 6.2 Rawa Pinggiran

• Rawa Sungai: Rawa sungai dapat juga terbentuk pada proses pemenggalan meander, yaitu
yang disebut kalimat yang dalam bahasa Inggris oxbow lake (danau sepatu kuda) atau
oxbow swamp (rawa sepatu kuda). Rawa pantai terdapat di muara sungai. Pada waktu
pasang naik, air laut masuk ke muara sungai dan melimpah ke dataran di sekitamya.
Kejadian itu berlangsung dua kali dalam sehari, sehingga terbentuklah rawa pantai. Ketika
air laut surut, permukaan air rawa tersebut rendah dan naik lagi pada waktu pasang naik.
Dengan membuat saluran untuk memasukkan air sungai ke rawa pada waktu pasang naik
dan mengeluarkan air rawa itu pada waktu pasang surut, derajat keasaman air rawa dapat
dikurangi. Dengan demikian, rawa seperti itu dapat dijadikan sawah pasang surut.
Beberapa daerah transmigrasi di Riau dan Kalimantan Selatan merupakan daerah pasang
surut seperti itu.
• Rawa Teluk: Rawa teluk di pantai Iandai terbentuk karena sebuah teluk terbendung oleh
bar, yaitu endapan pasir yang tumbuh di dasar laut. Oleh karena pembendungan itu, dasar

66
teluk menjadi bertambah dangkal dan tertutup vegetasi pantai, maka terbentuklah sejenis
rawa pantai.

6.1.2 Konservasi Lahan Rawa


Konservasi lahan rawa mencakup kegiatan perlindungan, pengawetan dan peningkatan
fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya lahanrawa dibedakan menjadi tiga
kawasan, yaitu (1) kawasan lindung, (2) kawasanpengawetan, dan (3) kawasan reklamasi untuk
peningkatan fungsi dan manfaat.Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan non-
reklamasi ataunon-budidya, sedangkan kawasan reklamasi disebut juga kawasan budidaya.
Pengelolaan lahan rawa menjaga keseimbangan antara kawasan budidaya dan non-budidaya serta
kelestarian sumberdaya .
6.1.2.1. Kawasan non reklamasi
Kawasan non reklamasi adalah lahan-lahan yang relatif belum terganggu oleh tindakan
manusia, terdiri atas lahan gambut sangat dalam (> 3 m) denganvegetasi alami. Menurut Widjaja-
Adhi (1997), lahan tersebut dapat dijadikankawasan konservasi dengan berbagai tujuan, antara
lain : (a) sebagai kawasan tampung hujan, (b) sebagai kawasan untuk perlindungan hewan dan
tanaman langka, dan (c) untuk keperluan penelitian masa depan yang melibatkan ekosistem
gambut di lahan rawa pasang surut.
Kawasan tampung hujan merupakan daerah penyangga yang berfungsi sebagai penampung
dan pendistribusian air untuk keperluan irigasi di musim kemarau untuk sawah-sawah di
sekelilingnya. Hutan suaka alam praktis bisa dikembangkan di kawasan ini, karena umumnya
masih memiliki vegetasi alami dan sebagai tempat hewan-hewan langka hidup dan berkembang
biak.
Di bawah lapisan gambut umumnya adalah tanah sulfat masam potensial, yaitu tanah sulfat
masam yang belum mengalami pemasaman karena terpeliharanya kondisi reduksi. Konservasi
lahan gambut sekaligus menghindari munculnya tanah sulfat masam di permukaan, dan
menghindari degradasi lahan akibat pemasaman tanah.
6.1.2.2. Kawasan reklamasi
Lahan-lahan di kawasan ini umumnya telah mengalami degradasi yang sebagian besar
disebabkan oleh proses pemasaman. Penyebab lain daripenurunan produktivitas lahan di kawasan
ini antara lain adalah penurunanpermukaan tanah (subsidence), genangan (water logging), polusi

67
lingkunganperairan oleh asam-asam organik dan anorganik serta unsur beracun seperti besi
(Fe2+), dan keracunan (toxicity) oleh unsur bersifat racun bagi tanaman. Untuk tidak terjadi proses
degradasi yang berkelanjutan, maka lahan-lahan di kawasan ini perlu tindakan konservasi.
Kawasan ini dicirikan dengan telah dibangunnya jaringan irigasi/drainase. Untuk lahan dengan
tanah sulfat masam, mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit merupakan strategi yang
bisa dilakukan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tereduksi dan mencegah terjadinya
pemasaman akibat oksidasi pirit. Pengelolaan air sekaligus dapat difungsikan sebagai tindakan
konservasi tanah. Untuk menghindari kerusakan lahan yang berkelanjutan, system pengelolaan
lahan harus didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan. Pada dasarnya sawah merupakan
alternatif yang sangat memungkinkan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tergenang dan
reduktif. Namun demikian, bervariasinya tipologi lahan pada setiap kawasan dengan tipe luapan
yang berbeda berimplikasi pada pola pengelolaan yang berbeda.

6.1.3. Rehabilitasi lahan rawa


Lahan rawa yang telah terdegradasi dan menurun produktivitasnya perlu direhabilitasi
terlebih dahulu, agar usaha pertanian menjadi lebih efisien dan menguntungkan. Pengalaman
menunjukkan bahwa pengelolaan air memegang peranan penting dalam keberhasilan rehabilitasi
dan pengelolaan lahan rawa Peningkatan produktivitas lahan dan produksi tanaman akan lebih
tinggi jika pengelolaan air ini dikombinasikan dengan pengelolaan tanah melalui pengapuran
(liming), pemupukan dan pemberian bahan amelioran.

6.1.3.1. Pengelolaan air


Pengelolaan air berperan sangat penting di dalam rehabilitasi lahan rawa pasang surut bertanah
sulfat masam dan gambut. Selama hampir 2 dasa warsa terakhir (1985-2001), penelitian-penelitian
pengelolaan air yang dilaksanakan oleh berbagai proyek seperti Proyek SWAMPS II, Proyek
kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Land and Water Research
Group (LAWOO) Belanda, Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu atau
Integrated Swamp Development Project (ISDP), Proyek Lahan gambut Sejuta Hektar (PLG)
maupun Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat telah
menghasilkan komponen teknologi utama pengelolaan air yang meliputi (a) sistem aliran satu arah
(oneway flow system), (b) sistem drainase dangkal intensif, (c) sistem drainase intersepsi

68
(interceptor drain), (d) sistem drainase berkala (intermittent drain), (e) irigasi dengan air pasang
dan pencucian, dan (f) sistem tabat.
a. Konsep dasar
Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan air memegang
peranan sangat penting. Pada lahan rawa pasang surut bertanah gambut, konservasi air merupakan
upaya penting selain upaya drainase lahan. Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan
kedalaman gambut, tingkat pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum), ada tidaknya
bahan pengkayaan, dan tipe luapan pasang surut. Kawasan konservasi sebagai kawasan tampung
hujan dialokasikan di bagian hulu sungai rawa . Sementara itu, untuk menanggulangi, mengurangi,
dan menghilangkan kemasaman serta untuk meningkatkan hasil komoditas yang dibudidayakan
di lahan sulfat masam, pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan.
Tipologi lahan sulfat masam potensial dengan tipe luapan A,
tipologi lahan sulfat masam aktual dengan tipe luapan B, C, D (Ritzema et al.,1993).
Berdasarkan kemampuan arus pasang mencapai daratan, maka tipe luapan pada lahan rawa
pasang surut dibedakan menjadi 4 macam tipe luapan (Kselik, 1990;
Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pada saat pasang maksimum (spring tide)
maupun pasang minimum (neap tide).

Tipe B : Lahan yang terluapi air pasang pada saat pasang besar.

Tipe C : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh pada air
tanah dan kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm.

Tipe D : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh pada air
tanah dan kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm.

Klasifikasi tipe luapan ini didasarkan pada pasang maksimum dan minimum pada saat
musim hujan sebagaimana diperlihatkan Gambar 6.3 Untuk musim kemarau, kemampuan arus
pasang mencapai daratan berkurang, sehingga perlu perancangan teknik pengelolaan air harus
disesuaikan.

69
Gambar 6.3. Tipe luapan air pada lahan rawa pasang surut

b. Strategi pengelolaan air


Strategi pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan. Masing-masing tipologi
lahan mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda, sehingga strategi pengelolaan airnya perlu
dibedakan. Strategi pengelolaan air secara spesifik dibedakan menjadi 2, yaitu (a) pengelolaan air
di tingkat tersier,dan (b) pengelolaan air mikro di lahan petani. Keduanya harus sinergis
dengansistem irigasi/drainase di tingkat makro (primer dan sekunder) yang telah dibangun.
Beberapa sistem irigasi/drainase yang telah dibangun sejak Pelita I tahun 1969, antara lain adalah
sistem garpu (fork system) atau disebut juga sistem kolam (kolam system), sistem anjir dan handil
dan kombinasinya yang dijumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sistem sisir
tunggal (single comb system) dan ganda (couple comb system), kombinasi sistem garpu dan sistem
sisir dan sistem tangga dijumpai di Sumatera Selatan. Sistem anjir dan handil adalah dua sistem
drainase khas penduduk Banjar yang merupakan teknologi lokal.
Pengelolaan air di tingkat tersier menjembatani pengelolaan air makro dan mikro.
Pengalaman di kawasan pasang surut Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah menunjukkan bahwa degradasi lahan akibat pemasaman tanah terjadi setelah saluran-
saluran dengan dimensi besar dibangun. Beberapa tahun setelah reklamasi, hasil padi menurun
disebabkan oleh keracunan (Roesle et al., tidak dipublikasi). Oleh karena itu, penggalian saluran
hendaknya disesuaikan dengan kedalaman lapisan pirit (pada tanah sulfat masam) dan

70
kemungkinan subsidence pada tanah gambut. Sebagaimana dijumpai di Delta Pulau Petak,
pengelolaan air di tingkat tersier dilaksanakan diantara 2 saluran tersier, dengan jarak antara
saluran tersier 150 m, 200 m, dan 400 m, mengikuti jarak saluran tersier dari system drainase garpu
(fork system) yang telah ada.
Untuk menerapkan sistem pengelolaan air yang sesuai dengan masalah di masing-masing
lokasi, maka di saluran-saluran tersier dipasang pintu-pintu otomatis (flapgate) atau pintu tabat
(stoplog), tergantung strategi pengelolaan air yang diterapkan. Untuk menerapkan pencucian,
maka di saluran-saluran tersier dipasang pintu-pintu otomatis yang berbeda arah untuk
menciptakan system aliran satu arah (one-way flow system), sehingga tercipta saluran tersier
sebagai saluran irigasi dan sebagai saluran drainase.

Lahan tipe luapan A


Prinsip dasar pengelolaan air pada tipologi ini adalah menanggulangi terjadinya proses
pemasaman tanah. Banjir sering menjadi kendala pada lahan dengan tipe luapan ini. Oleh karena
itu, pengelolaan air dirancang untuk menanggulangi bahaya banjir (Ritzema et al., 1993). Pada
musim kemarau panjang, salinitas menjadi masalah yang lebih menonjol dibandingkan dengan
kemasaman, sehingga strategi pengelolaan air diarahkan untuk menanggulangi masalah tersebut.
Untuk mencegah terjadinya pemasaman tanah, tinggi muka air harus dipertahankan di atas lapisan
pirit. Pada lahan ini, lapisan pirit terletak pada kedalaman kurang dari 50 cm. Pembuatan saluran
irigasi/drainase harus memperhatikan kedalaman lapisan tersebut. Bila kedalaman saluran harus
digali melebihi lapisan pirit, tinggi muka air di saluran harus dipertahankan di atas
lapisan tersebut dengan pintu tabat (stoplog). Pengelolaan tanah minimum (minimum disturbance)
harus dijadikan prinsip dasar agar lahan tetap lestari dan aman.
Pembuatan tanggul-tanggul dan penggunaan pompa air merupakan alternatif pengelolaan
air untuk mengatasi bahaya banjir dan masalah drainase lahan. Tinggi tanggul harus di atas tinggi
luapan maksimum yang mungkin terjadi. Pemompaan dilaksanakan jika perbedaan gradien
potensial antara lahan dengan saluran dan sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan drainase
secara gravitasi. Perancangan pompa hendaknya memanfaatkan sumberdaya yang ada
seperti angin sebagai tenaga, dengan terlebih dulu merancang baling-baling ataukincir angin.
Dalam kondisi belum didrainase, mempertahankan air di atas lapisan pirit tidak menjadi masalah
karena lahan ini selalu terluapi arus pasang. Namun bila sistem drainase telah dibangun, penurunan

71
muka air harus dikontrol dengan merancang dimensi saluran drainase yang tepat. Untuk mencegah
masuknya air pasang yang bergaram, pemasangan pintu-pintu otomatis (flapgate) di saluran tersier
sangat dianjurkan. Montoroi et al. (1993) merancang teknik pengelolaan air untuk mengurangi
salinitas di lahan sawah dengan strategi (a) mencuci garam
pada awal musim hujan, (b) mempertahankan tinggi muka air optimal di lahan sawah selama
musim hujan, (c) menghindari genangan air di bagian cekungan lahan, dan (d) membuka pintu
dam jika beda tinggi muka air di upstream dan downstream mencapai sekurang-kurangnya 4 cm.
Pengaruh teknik pengelolaan air tersebut berpengaruh terhadap salinitas.
Rancangan pintu ini sangat bervariasi menurut kondisinya. Bila saluran tersier digunakan
untuk sarana transportasi, seperti dijumpai di daerah Tabunganen, Kalimantan Selatan, maka pintu
air tersebut harus bisa membuka dan menutup ke samping. Bila tidak digunakan untuk transportasi,
pintu tersebut dirancang untuk bisa membuka danmenutup ke atas dan ke bawah. Rancangan pintu
ini sangat efektif bila bisa berfungsi secara otomatis.

Lahan tipe luapan B


Kemasaman pada tanah lapisan atas dan terbatasnya air untuk pencucian merupakan
kendala di dalam penerapan teknik pengelolaan air di lahan ini. Tanah sulfat masam aktual
umumnya dijumpai di lahan ini, dicirikan oleh reaksi tanah masam dan munculnya keracunan besi
(Fe2+) dan aluminium (Al3+) pada tanaman. Untuk mengurangi bahaya kemasaman dan unsur
bersifat racun, pencucian dengan sistem aliran satu arah pada Gambar 6.4 bisa diterapkan.
Pengalaman penelitian di Unit Tatas, Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa kualitas tanah dan
hasil tanaman padi dapat diperbaiki dengan menggunakan sistem tersebut
Pemanfaatan arus pasang dengan sistem aliran satu arah mampu merubah konsentrasi Fe2+
di dalam tanah dari konsentrasi awal 2,8 me/kg (akhir MK 1988) menjadi 0,2 me/kg (awal MK
1992). Konsentrasi Al3+ menurun, dari konsentrasi awal 37,1 me/kg menjadi 17,0 me/kg
Namun demikian konsentrasi kedua unsur tersebut berfluktuasi dari musim ke musim Selain
pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu arah, fluktuasi konsentrasi tersebut juga sangat
ditentukan oleh kondisi iklim dan hidrologi terhadap proses oksidasi dan reduksi di dalam tanah.
Pada kondisi tergenang terjadi reduksi besi feri (Fe3+) menjadi besi fero (Fe2+), sehingga
konsentrasi Fe2+ terlarut meningkat.

72
Gambar 6.4. Sistem aliran satu arah (one-way flow system) untuk lahan tipe B

dan bertanah sulfat masam aktual

Lahan tipe luapan C


Pada umumnya lahan yang telah direklamasi akan kehilangan lapisan gambut yang berada
di atas tanah mineral, yang berpotensi munculnya tanah sulfat masam. Lahan ini terpengaruh arus
pasang secara tidak langsung melalui fluktuasi tinggi muka air tanah. Air pasang tidak mampu
meluapi permukaan lahan, hanya berfluktuasi di saluran-saluran tersier. Lahan di kawasan pasang
surut tipe C didominasi tanah sulfat masam aktual dengan tingkat kerusakan akibat kemasaman
cukup tinggi. Keracunan besi dan aluminium umumnya lebih
parah dibandingkan dengan tanah-tanah di lahan tipe luapan B. Sebagai contoh dijumpai di
Barambai-1 (Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan C). Vadari et al. (1990) melaporkan bahwa

73
tanah tersebut sangat masam sampai masam (pH 3,67-5,24), dan kandungan Al3+ mencapai 33,49
me/kg.
Pengendalian air dilakukan pada saluran-saluran tersier, yakni dengan mempertahankan
muka air yang cukup tinggi di lahan yang dibudidayakan. Oleh karena itu, pada saluran tersier
dipasang pintu tabat (stoplog) yang ditujukan untuk mencapai tinggi muka air di atas rata-rata
lapisan pirit pada Gambar 6.5. Menurut Ritzema et al., (1993), perbaikan sistem drainase dapat
dilakukan pada tingkat s ekunder dan primer untuk membuang air yang masam pada awal musim
hujan. Dari hasil penelitiannya di Karang Agung I, Mansur et al. (1995) melaporkan bahwa
produksi padi pada lahan yang dicuci dengan air pasang dan didrainase sedalam 60 cm mencapai
2,6 t/ha, dan hasil padi meningkat hingga4,3 t/ha jika pengelolaan air dengan cara pencucian ini
dikombinasikan dengan pencampuran gambut pada tanah lapisan atas.

Gambar 6.5 Sistem tabat untuk mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit
pada lahan tipe C dan bertanah sulfat masam actual

74
Lahan tipe luapan D
Lahan ini dijumpai pada bagian hulu sungai rawa dan bila belum terganggu masih
ditemukan gambut tebal yang pada umumnya masih berupa hutan primer. Untuk sumber air bagi
kawasan di sekelilingnya, maka lahan ini harus dikonservasi untuk dijadikan kawasan tampung
hujan. Arus pasang surut praktis tidak banyak mempengaruhi hidrologi di kawasan ini. Umumnya
tanah sulfat masam di lahan tipologi ini tertutup oleh gambut. Daerah Sakalagun, Kalimantan
Tengah adalah salah satu contoh yang mempunyai tipologi lahan seperti ini. Menurut Ritzema et
al., (1993), pencucian tidak dapat dilakukan dengan menggunakan arus pasang, karena posisinya
yang cukup tinggi dari pada luapan maksimum arus pasang. Jika daerah-daerah tersebut sudah
tidak tertutup oleh gambut karena gambutnya telah habis, maka
perlu tindakan konservasi untuk melestarikan sumberdaya alam gambut.
Kawasan dengan kubah gambut ini menjadi sumber air bagi daerah sekelilingnya, karena
kawasan ini mampu menyangga air hujan dan air akan mengalir secara gravitasi. Daerah ini
menjadi sumber air irigasi untuk kawasanbudidaya di sekelilingnya. Pengelolaan air dirancang
dengan menggunakan sumberdaya air dari kubah gambut tersebut. Pembuatan embung
penampung air dari daerah tangkapan akan membantu distribusi air secara terkontrol. Bila prinsip-
prinsip pengelolaan air tersebut diterapkan, maka lahan tipe ini bisa disawahkan. Namun, drainase
diperlukan untuk mengurangi genangan pada saat musim hujan.

6.1.3.2. Pengapuran (liming)


Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan sulfat masam aktual
(SMA) di daerah rawa pasang surut adalah kapur. Kapur sebagai bahan pembenah tanah sangat
beralasan untuk diberikan pada tanah SMA untuk padi sawah selama penggenangan tanah belum
dapat menaikkan pH tanah di atas 4,25-4,50. Sesuai dengan tingkat sensivitas dari beberapa
tanaman pangan terhadap kemasaman tanah dari yang paling tahan sampai sangat sensitif, maka
padi sangat tahan terhadap kemasaman tanah, kemudian diikuti jagung dan kedele. Tanaman
pangan dapat tumbuh di tanah SMA setelah tanahnya diberi kapur, sehinga pH tanah disekitar akar
> 4,25-4,50 untuk padi, > pH 4,50-5,00 untuk jagung, dan > 5,00-5,50 untuk kedele. Konsep
pengapuran yang mencapai puluhan sampai ratusan ton per ha untuk tanaman pangan hendaknya
ditinggalkan, kemudian perlu diteliti lebih lanjut mengingat keberadaan mineral liat 2:1 (smektit)
yang telah rusak sebagaimana dicirikan bentuk difraksi sinar-X liat 2:1 yang cembung. Kebutuhan

75
kapur (KK) tanah SMA yang ditetapkan berdasarkan 100% kali nilai Al-dd KCl 1 N menghasilkan
ekuivalen takaran kapur yang berlebihan atau overestimasi. Al-Jabri (2002a) memperoleh bahwa
KK untuk padi pada tanah SMA sekitar < 3 t/ha, jika KK ditetapkan berdasarkan Al-dd dengan
KCl 0,25 N. Sebaliknya, jika KK tanah SMA Belawang ditetapkan
berdasarkan Al-dd dengan KCl 1 N maka takarannya dapat mencapai 14-15 t/ha. KK yang tinggi
tersebut disebabkan Al yang semula dalam bentuk tidak dapat ditukar dalam struktur mineral liat
2:1 yang telah rusak oleh oksidasi pirit turut terekstrak oleh KCl 1 N. KK berdasarkan 100% nilai
Al-dd KCl 1 N tidak akurat, sebab keberadaan liat 2:1 yang rusak mensuplai Al tidak hanya dalam
bentuk tidak dapat ditukar, tetapi juga Al dapat ditukar (Al-Jabri et al., 2000b).
Fakta-fakta diperoleh bahwa KK berdasarkan 100% kali nilai Al-dd 1 N KCl terlalu tinggi
ditunjukkan oleh hasil penelitian berikut: (1) KK optimum untuk jagung varietas Arjuna 1,50 t/ha,
atau setara 24% nilai Al-dd 1 N KCl ( nilai Al-dd tanah SMA di Tri Mulyo 6,36 cmol/kg) dan 2,71
t/ha, atau setara 38% nilai Al-dd 1 N KCl (nilai Al-dd tanah SMA di Harapan Makmur 6.98
cmol/kg Takaran kapur 1,50 dan 2,71 t/ha tersebut berdasarkan turunan pertama
dari persamaan kuadratiknya. Takaran kapur berdasar turunan pertama dari persamaan kuadratik
ternyata lebih rendah dari nilai Al-dd dengan KCl 0.25 N (Tabel 8.4). Sehubungan dengan KK
ekuivalen dari 100% nilai Al-dd KCl 0,25 N sedikit lebih tinggi, maka larutan garam KCl masih
perlu diencerkan dengan normalitas < 0,25 N.
Demikian juga, pertumbuhan tanaman padi varietas IR-64 di rumah kaca dengan
menggunakan tanah SMA dari Harapan Jaya (Rengat, Riau) dan Pamusiran (Jambi), tanpa
perlakuan kapur hampir sama baiknya dibandingkan dengan yang dikapur. Sebaliknya, jika
menggunakan contoh tanah SMA dari Rantau Rasau (Jambi) dan Basarang (Kalteng), maka
pertumbuhan tanaman padi tanpa perlakuan kapur lebih jelek dari perlakuan kapur

6.1.3.3. Pemupukan
Tanaman padi yang dikembangkan di daerah pasang surut yang didominasi oleh tanah
sulfat masam setelah pirit teroksidasi (pH tanah ≤ 3,0) setelah musim tanam kedua tidak mau
tumbuh. Kemudian lahan dibiarkan terlantar dan ditumbuhi tanaman semak dan menjadikannya
sebagai lahan bongkor. Lahan bongkor tersebut bertipologi lahan SMA atau gambut tidak
produktif. Meskipun demikian, produktivitas lahan bongkor tersebut sangat rendah, tetapi dapat
diperbaiki dengan pemberian pupuk hara makro primer (N, P, dan K), hara sekundair (Ca) dan

76
hara mikro (Cu dan Zn). Jumlah pupuk yang diberikan dapat ditentukan melalui analisis tanah
secara preskriptif. Tanaman padi varietas IR-42 yang ditanam pada tanah SMA di Karang Agung
Ulu (Sumsel) dengan perlakuan 1,50 ton kapur dan 140 kg P/ha (700 kg TSP/ha) untuk mencapai
100% kebutuhan P eksternal (P larutan 0,02 ppm P) menghasilkan gabah kering giling (GKG)
tertinggi sebanyak 8,67 t/ha (Tabel 8.7). Perlu diingat bahwa tanaman tidak respons terhadap
pupuk P jika pH tanah < 3,00. Oleh karena itu, pH tanah harus diketahui dahulu sebelum pupuk P
diberikan. Jadi, jika pH tanah berkisar antara 4,25-4,50, maka kapur tidak harus diberikan.
Tanaman kedelai dapat ditanam pada tanah SMA di Basarang (Kalteng) pada akhir musim hujan
dengan perlakuan 8 ton kapur/ha dan 100 kg P/ha (500 kg TSP/ha) menghasilkan biji tertinggi
sebanyak 2,12 t/ha
Kebutuhan kapur yang tinggi (8 ton kapur/ha) masih bersifat mencari-cari,
karena metode penetapannya bukan metode untuk tanah dari daerah rawa, sehingga tidak dapat
disamakan dengan tanah mineral masam berasal dari daerah rawa pasang surut. Kebutuhan pupuk
P dapat ditentukan melalui pendekatan kurva erapan P jika batas kritis P larutan untuk suatu jenis
tanaman telah diketahui (Fox dan Kamprath, 1970). Meskipun sampai saat ini hanya batas kritis P
larutan untuk padi saja yang baru diketahui pada tanah mineral masam adalah 0,015 ppm P (Al-
Jabri et al., 1997), tetapi untuk tanah SMA tidak jauh berbeda. Batas kritis P larutan untuk tanaman
pangan lainnya (jagung dan kedele) yang ditanam pada lahan rawa yang didominasi tanah mineral
dan gambut belum didokumentasikan.
Lahan gambut dangkal tebal 50-100 cm (G-1), gambut sedang tebal 100- 200 cm (G-2),
dan gambut dalam tebal 200-300 cm (G-3) yang berupa lahan bongkor sangat beralasan untuk
direhabilitasi, dan ditanami berbagai jenis komoditas tanaman sesuai dengan kesesuaian lahannya.
Meskipun setiap tipologi lahan gambut tersebut berbeda, tetapi pada umumnya lahan gambut
dihadapkan pada kendala-kendala sifat fisik, kimia, dan biologi
Kendala sifat fisik tanah gambut antara lain subsidence jika didrainase, mengering tidak
balik dan mudah tererosi, permeabilitas horizontal tinggi. Kendala sifat kimia tanah gambut antara
lain pH dan kejenuhan basa sangat rendah, rasio C/N tinggi, status hara P, K, Ca, Mg, Cu, Zn
rendah. Kendala sifat biologi tanah gambut dicirikan oleh keterbatasan aktivitas mikrobiologi
karena kemasaman tanahnya sangat tinggi. Produktivitas lahan gambut dapat ditingkatkan dengan
pemberian unsur hara P, K, Ca, Mg, Cu, Zn sebagai pupuk anorganik tunggal atau majemuk.
6.1.3.4. Ameliorasi

77
Selain kapur dan pupuk hara makro dan mikro, pemberian tanah mineral dan abu bakaran
dapat diberikan sebagai bahan ameliorasi. Agar produktivitas tanah pada lahan rawa bongkor dapat
ditingkatkan, maka tanaman yang digunakan adalah varietas tanaman yang toleran terhadap
kondisi tersebut, dan tata airnya dapat dikendalikan.
Pemberian tanah mineral pada tanah gambut kurang dari > 50 cm berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan tanaman, dan bobot gabah kering tidak jauh berbeda bila dibandingkan
dengan pemberian kapur. Tanaman jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis yang ditanam
pada lahan gambut dengan tipologi lahan gambut sedang (G-2) di Sugihan Kiri (Sumsel) dengan
perlakuan lengkap, yaitu, 312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4,
dan 15 kg ZnSO4/ha menghasilkan biji jagung pipilan 1,44 t/ha dan biji kedele 2,33 t/ha (Tabel
8.10). Meskipun perlakuan lengkap (312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10
kg CuSO4,dan 15 kg ZnSO4/ha) menghasilkan bobot biji kering jagung tertinggi 1,44 t/ha, tetapi
belum mencapai tingkat hasil yang sesungguhnya Hal ini mungkin disebabkan banyak unsur hara
dari pupuk hilang tercuci. Kehilangan unsur hara dari pupuk melalui pencucian dapat ditekan
seminimal mungkin dengan pemberian tanah mineral atau pemadatan tanah gambut. Bobot biji
jagung dan kedele dengan perlakuan lengkap lebih tinggi dari pada perlakuan pupuk Sulfomag.
Efisiensi pupuk Sulfomag relatif rendah, mungkin disebabkan karena kandungan Mg tanah gambut
sudah tinggi sebagaima hasil analisis Mg dapat ditukar tergolong tinggi .
Jadi, kandungan Mg tanah yang tinggi kemudian adanya kontribusi Mg dari pupuk
Sulfomag menurunkan serapan K, sebab adanya sifat antagonisme antara Mg dan K. Hal ini dapat
dibuktikan dari analisis daun dari tanaman kedele, dimana serapan unsur K pada perlakuan pupuk
Sulfomag 0,32 gram K per pot lebih rendah dari perlakuan lengkap 0,47 gram K per pot. Penurunan
serapan unsur hara K pada perlakuan pupuk Sulfomag menghasilkan bobot biji kedele
1,39 t/ha, sedangkan perlakuan lengkap menghasilkan bobot biji kedele lebih inggi yaitu 2,33 t/ha
Pemberian abu bakaran dari abu sawmill dapat digunakan sebagai bahan amelioran,
terutama pada gambut miskin dengan semakin tebalnya gambut dengan tipologi gambut dalam
200-300 cm (G-3) dan gambut sangat dalam > 300 cm (G-4) . Untuk menghindari petani
membakar gambut kering, maka disarankan agar abu yang digunakan adalah abu dari hasil
pembakaran serasah terkendali atau abu sawmill gergajian. Pembakaran serasah terkendali adalah
pembakaran serasah pada tempat khusus, sehingga tidak terjadi perluasan areal yang terbakar.
Sebaliknya, jika abu yang digunakan diperoleh dengan cara membakar gambut kering dari

78
permukaan tanah di ladang, maka cara ini sangat berbahaya bagi kelestarian gambut, karena
gambut mudah terbakar dan api sulit dipadamkan.
Teknologi untuk rehabilitasi lahan rawa pasang surut selain kapur, pupuk, dan
pengendalian tata air, adalah penanaman varietas unggul. Kajian beberapa varietas unggul padi
pada lahan pasang surut di beberapa tempat telah didokumentasikan. Hasil padi varietas
Batanghari mampu beradaptasi di masingmasing tipologi lahan pasang surut dan sangat toleran
terhadap kemasaman tanah tinggi dan keracunan Fe, serta memberikan hasil tertinggi

6.1.4. Dampak lingkungan reklamasi lahan rawa


Sebagian besar proyek-proyek reklamasi yang telah dimulai sejak tahun 1970-an
dilaksanakan dengan membangun saluran-saluran drainase berdimensi besar. Sebagai contoh,
sistem drainase garpu di Kalimantan Selatan memiliki panjang saluran primer 1 sampai 2 km yang
bercabang menjadi 2 saluran sekunder dengan panjang 8 sampai 12 km. Di ujung saluran sekunder
dilengkapi kolam yang berukuran 300 m x 300 m. Jarak antara 2 saluran sekunder
mencapai 3 sampai 4 km. Setiap saluran sekunder dilengkapi dengan saluran tersier yang berjarak
200 m. Hal ini berakibat pada tingkat drainase yang berlebih (over drain) yang sangat potensial
untuk tereksposenya pirit hingga teroksidasi menjadi masam.
Kebakaran hutan juga merupakan penyebab degradasi lahan di kawasan rawa pasang surut.
Kebakaran hutan ini, selain menyebabkan hilangnya sebagian besar vegetasi juga menipisnya
lapisan gambut yang semakin berisiko terhadap tereksposnya lapisan pirit ke permukaan, karena
pada umumnya tanah sulfat masam dijumpai di bawah lapisan gambut.
Sekali pirit terekspos ke permukaan, oksigen akan masuk ke dalam tanah dan pirit akan
teroksidasi. Inilah awal rusaknya lahan rawa akibat kemasaman tanah dan air yang meningkat, dan
munculnya unsur-unsur yang bersifat racun ke lingkungan perairan. Kandungan besi (Fe2+),
aluminium (Al3+), ion hydrogen (H+) dan sulfat (SO4 2-) pada lahan yang didrainase lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan yang tidak/belum didrainase . Hal ini memberikan implikasi bahwa
setelah lahan direklamasi dengan membangun sistem dan jaringan drainase akan mengakibatkan
menurunnya kualitas lingkungan tanah dan air. Total SO4 yang tercuci (leached) dari lahan yang
didrainase 3,34 mol/m2/tahun, sebanding dengan 1,17 mol FeS2/m2/tahun atau 140 g
pirit/m2/tahun. Pada lahan yang tidak didrainase, total SO42- yang tercuci 1,18 mol FeS2
/m2/tahun yang sebanding dengan 0,59 mol FeS2/m2/tahun atau 71 g pirit/m2/tahun.

79
Kemasaman dan meningkatnya unsurberacun seperti besi berakibat pada buruknya
lingkungan hidup ikan di lahan rawa pasang surut. Jumlah spesies ikan dan hasil tangkapan ikan
berkurang hingga 50% dari kondisi normal (sebelum terjadi pemasaman), meskipun adaspesies
ikan seperti gabus (Channa striata) dan papuyu (Anabas testudineus) yang toleran terhadap air
dengan pH < 3. Adaptasi spesies ikan berbeda untuk kondisi tingkat kemasaman yang berbeda.
Ikan papuyu masih relatif banyak dijumpai pada lahan yang sangat masam, sedangkan gandaria
(Dangila ocellata) dan baung (Mystus nemurus) dominan pada lahan yang agak masam. Hasil
tangkapan ikan pada lahan yang kurang masam di Tabunganen (Kalimantan Selatan) lebih banyak
dibanding pada lahan yang sangat masam seperti di Barambai dan Belawang (Kalimantan Selatan),
dan Unit Tatas (Kalimantan Tengah)

6.1.5. Strategi pengembangan teknologi konservasi pada Rawa


Meskipun secara teknis teknologi konservasi dan rehabilitasi memberikan kontribusi yang
cukup tinggi terhadap kelestarian sumberdaya alam di lahan rawa, namun penerapannya tidak
mudah. Keterbatasan-keterbatasan yang ada pada petani khususnya yang menyangkut biaya,
tenaga kerja dan kesadaran petani akan pentingnya teknologi tersebut perlu dicari pemecahannya.
Strategi pengembangan teknologi konservasi dan rehabilitasi lahan harus dilakukan dengan
memperhatikan berbagai masalah yang dihadapi petani di lahan rawa.
Terbatasnya biaya konservasi dan rehabilitasi khususnya, dan biaya usahatani pada
umumnya memerlukan dukungan terhadap pengembangan skim kredit yang memadai. Pembinaan
terhadap kelompok tani didalam mengelola alsintan atau ternak merupakan salah satu alternatif
sumber dana untuk usahatani dan tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Sistem penyewaan
traktor kepada anggota akan memberikan masukan dana ke kelompok, selanjutnya dana ini
digunakan untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan.
Alternatif lain, yaitu dengan introduksi ternak melalui program penggemukan atau
perbanyakan ternak. Sisa hasil penjualan ternak dapat dijadikan modal untuk tindakan konservasi
dan rehabilitasi lahan. Menanamkan kesadaran kepada petani terhadap pentingnya melakukan
tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan secara kelompok tidak mudah dilakukan. Demikian juga
terbatasnya sosialisasi kebijakan pemerintah didalam pemanfaatan dan penggunaan lahan
berakibat pada makin maraknya perambahan hutan yang seharusnya untuk kawasan konservasi.
Delineasi kawasan gambut sangat dalam (> 300 cm) sebagai kawasan konservasi perlu dilakukan

80
dan disosialisasikan kepada masyarakat petani di lahan rawa. Untuk kawasan budidaya,
pengelolaan lahan diarahkan untuk selalu memperhatikan aspek tipologi lahan dan tipe luapan.
Meskipun sawah merupakan alternatif yang aman terhadap pencegahan proses pemasaman
yang berlanjut, introduksi dan sosialisasi teknologi pengelolaan air masih diperlukan. Tindakan
konservasi pada lahan di kawasan budidaya harus diarahkan untuk meminimalkan terjadinya
proses pemasaman (acidification). Mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit harus
menjadi strategi pengelolaan air utama, selain secara berkala dilakukan pencucian dengan sistem
aliran satu arah (oneway flow system).
Di dalam penerapan teknologi pengelolaan air, petani masih memikirkan lahannya masing-
masing yang akan berpengaruh buruk terhadap kondisi tata air secara makro (tingkat sekunder dan
primer). Operasionalisasi teknik pengelolaan air sebagai upaya konservasi dan rehabilitasi lahan
di tingkat mikro (lahan petani) harus menyesuaikan dengan tingkat tersier dan makro. Beberapa
kesalahan sistem tata air di tingkat makro hendaknya diperbaiki, yaitu dengan mendasarkan pada
tipologi lahan dan tipe luapan.

6.2 Pengembangan Pantai

6.2.1 Sekilas Mengenai Pantau

Wilayah pantai, seperti juga wilayah-wilayah lain di bumi, terbentuk oleh berbagai proses
geologi yaitu proses endogen yang diprakarsai oleh proses yang terjadi dari dalam bumi, dan
proses exogen yang dimotori oleh kegiatan dari luar bumi.
Proses endogen bermula dari gerak-gerak daari dalam bumi seperti gempa bumi, letusan
gunungapi; proses tersebut membentuk benua, lautan, deretan pegunungan, dsb. Proses exogen
diprakarsai oleh pancaran sinar matahari, kegiatan atmosfir tanah, erosi oleh air/angin/es, transport
sediment, dan sedimentasi di berbagai tempat.

- Pemanasan global merupakan bagian dari aktivitas iklim dan cuaca secara global yang
penyebabnya tidak mudah untuk diketahui dengan pasti antara lain oleh :imenaiknya
intensitas radiasi matahari (?)
- variasi dari perputaran bumi, dan berubahnya sumbu bumi (?)

81
- faktor geologi : berkurangnya ketinggian daratan oleh berbagai sebab sehingga
berkurangnya curah hujan, berkembangnya tudung es di ketinggian sehingga turut
“memanaskan” bumi secara global
- menaiknya jumlah karbon dioxida di udara oleh berbagai faktor; sebaliknya
menurunnya karbon dioxida yang disertai dengan naiknya permukaan daratan ke
elevasi yang lebih tinggi dapat menurunkan suhu bumi dan menimbulkan glasiasi
- pergerakan benua ke arah wilayah ayang labil tinggi temperaturnya juga dapat
menyebabkan melelehnya es.
Selama masa Holosen hingga sekarang dikenal beberapa kali perubahan iklim global.
Setelah masa glasiasi selesai diikuti dengan menaiknya suhu udara kira-kira pada 8000 tahun yang
lalu dan berjalan selama 3000 tahun; suhu udara diperkirakan 2,5o C di atas suhu sekarang.
Periode tersebut diikuti oleh periode glasiasi dari 5000 – 2000 tahun yang lalu, dengan penurunan
muka laut jauh di bawah muka laut sekarang.

Dari periode 2000 tahun yang lalu hingga sekarang dapat dilacak kondisi iklim/cuaca
dengan lebih baik karena adanya pencatatan pada waktu sejarah di berbagai tempat. Tahun 1000
– 1200 merupakan periode hangat; tahun 1450 – 1850 udara sedikit mendingin dan terdapat
perluasan sedikit dari zaman es. Dari tahun 1880 – 2000 terdapat gejala kenaikan suhu udara.

Wilayah pantai merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan. Perubahan-
perubahan yang terjadi sebagai akibat proses endogen dan exogen akan dapat terlihat pada wilayah
tersebut, baik perubahan dari geomorfologi, proses-proses erosi dan sedimentasi, jenis tanah dan
batuan sedimen yang terbentuk, kondisi hidrogeologi, berbagai proses bencana alam, dan
perubahan ekosistem maupun lingkungan manusia.
Wilayah pantai yang umumnya datar, berbatasan dengan laut, banyak sungai, airtanah yang
relatif dangkal, serta terkadang mengandung mineral ekonomis, berpandangan indah dan
mempunyai terumbu karang tentu sangat menarik dan dapat mendukung berbagai pembangunan.
Kota-kota, pelabuhan, pertanian dan perikanan, wisata bahari, kawasan industri, bahkan kadang-
kadang penambangan mineral dan bahan bangunan dapat berkembang di wilayah pantai. Banyak
kota besar, kota pelabuhan, kota perdagangan, dan ibu kota negara atau ibu kota daerah berada di
sana. Pemanasan global yang berakibat naiknya muka laut dengan demikian akan dapat
menimbulkan dampak yang serius bagi wilayah pantai tersebut.

82
Bentuk-bentuk pantai ada berbagai macam sebagai akibat dari berbagai proses geologi
yang membentuknya dan batuan serta struktur geologi yang mengendalikannya. Ada pantai yang
berbentuk dataran yang landai baik yang sempit maupun yang lebar, atau pantai yang bertebing
terjal dan berbatu-batu, dan berteluk-teluk. Berikut ini beberapa ulasan mengenai hal tersebut.

6.2.2 Bentuk dan genesa pantai


Ada berbagai bentuk pantai antara lain :

1) Pantai bertebing terjal dan berteluk-teluk (fyord) :


Pantai berbatasan langsung dengan kaki bukit/gunung atau dengan dataran yang
sempit. Teluk-teluk berselingan dengan punggungan bukit dengan berbagai struktur
geologi seperti struktur lipatan, patahan, komplex, atau gunungapi. Dasar laut
umumnya terjal, langsung ke laut dalam. Gejala demikian terlihat di Dalmasia,
Spanyol, Pasifik Selatan, dan mungkin juga di Indonesia bagian Timur. Hal tersebut
disebabkan oleh tenggelamnya wilayah tersebut oleh genangan airlaut (submergence).
2) Pantai berdataran yang luas dan panjang :
Pantai ini mempunyai ciri adanya dataran yang luas. Banyak yang lurus, dasar laut yang
relatif dangkal dan merupakan hasil endapan sedimen dari daratan, dengan kemiringan
kearah laut dalam secara gradual.
Kerja gelombang di pantai menghasilkan berbagai morfologi seperti pematang pantai
(barrier bars) laguna (lagoon) dengan “tidal inlet”, dan delta Banyak dari gejala tersebut
di atas dibentuk karena munculnya dasar laut, ke permukaan. Dalam
perkembangannya, kedua jenis pantai tersebut dapat berelevasi ke berbagai bentuk
pantai. Selain kedua jenis pantai tersebut, yang bentuk-bentuknya dipengaruhi oleh
kondisi muka laut, maka terdapat pula bentuk-bentuk pantai yang lain :

3) Delta, dataran aluvial, dan “Outwosh Plain”.


Delta merupakan dataran di muara sungai yang terbentuk sebagai akibat dari endapan
sedimen di laut yang berasal dari sungai. Berbagai bentuk delta dikenal tergantung
kepada kondisi morfologi sungai, morfologi dataran, arah gelombang laut, kedalaman
laut, dsb.

83
Dataran Aluvial merupakan wilayah yang datar atau hampir datar yang terbentuk oleh
endapan yang dibawa air. Beberapa jenis bentuk “dataran aluvial” antara lain :

a. Kipas aluvial, berbentuk “kipas” dengan apex berada pada bagian hulu dan kakinya
berada di bagian hilir. Umumnya berada pada perbatasan antara wilayah
pegunungan/perbukitan dengan wilayah dataran. Kemiringan lereng bervariasi
antara 0o – 30 o, makin ke hilir makin mendatar.
b. Dataran sungai; merupakan dataran di dalam tubuh sungai yang terbentuk oleh
sedimentasi (point bars). Endapan dapat berupa bongkah, kerakal, kerikil, pasir,
lanau, danlempung.
c. Dataran banjir; berupa dataran yang luas yang berada pada kiri kanan sungai yang
terbentuk oleh sedimen akibat limpasan banjir sungai tersebut. Umumnya berupa
pasir, lanau, dan lumpur.
d. Dataran pantai; suatu dataran di tepi pantai yang terbentuk oleh endapan akibat
gelombang laut di saat kondisi pasang dan surut. Umumnya berupa bongkah,
kerakal, dan pasir.
e. Dataran rawa; merupakan dataran bekas rawa-rawa dekat pantai, terbentuk sebagai
akibat dari kondisi surut muka laut atau naiknya permukaan daratan (emmergence).
Terdiri dari tanah pasir halus, lumpur, dan lumpur/tanah organik, gambut.
Segala jenis endapan di wilayah dataran tersebut dia tas umumnya bersifat lepas, lunak,
lembek, belulm tersemen kuat sehingga bersifat lolos air, mudah terkikis, mudah
ambles khususnya yang bersifat lempung dan organik.
6.2.3 Daya dukung wilayah pantai
Kawasan pantai umumnya merupakan wilayah yang merupakan koridor pembangunan
yang diminati. Hal tersebut disebabkan karena wilayah tersebut mengandung banyak hal yang
memberi kemudahan dan memberi daya dukung untuk pembangunan. Kemudahan dan daya
dukung tersebut adalah :
1) Wilayah pantai sebagian besar merupakan wilayah dataran dengan kemiringan lereng
yang datar atau hampir datar, sehingga mudah dicapai dan banyak pembangunan dapat
dilaksanakan.

84
2) Berbatasan dengan laut sehingga di beberapa tempat dapat dikembangkan menjadi
pelabuhan sehingga dapat terjalin komunikasi ke luar pulau, serta adanya wilayah
penangkapan dan budidaya perikanan laut.
3) Banyak sungai mengalir dan bermuara di wilayah pantai ini. Sungai dapat menjadi
sumbu air tawar, dan muara sungai menjadi wilayah pelabuhan.
4) Tanah di wilayah dataran pantai mempunyai tanah yang lunak, gembur, berpori
sehingga dapat menjadi akifer air tanah yang baik dan dangkal dibandingkan dengan
wilayah pegunungan. Tanah yang lunak dan gembur merupakan tanah yang relatif
mudah digarap menjadi kawasan pertanian dan sawah.
5) Wilayah pantai yang merupakan pertemuan antara daratan dan lautan pada umumnya
mempunyai pemandangan yang indah dan mempesona, sehingga dapat berkembang
menjadi daerah pariwisata bahari, lebih-lebih jika terdapat terumbu karang.
6) Wilayah pantai merupakan berbagai ekosistem seperti wilayah hutan bakau, terumbu
karang, laguna, serta gua-gua pada tebing terjal di pantai, muara sungai/delta, dan
pantai landai berpasir.
6.2.4 Budi daya wilayah pantai
Kondisi wilayah pantai yang demikian menjadikan wilayah tersebut sering merupakan titik
permukaan pengembangan wilayah selanjutnya. Banyak kota-kota tua di Dunia dan di Nusantara
berawal dari wilayah pantai ini seperti Mesir, Babilonia, Sriwijaya, Sunda Kelapa, Semarang, dsb.
Juga pulau-pulau kecil yang letaknya strategis dapat berkembang menjadi kawasan yang disegani
seperti P. Malta dilaut Mediteran, P. Singapura, P. Hongkong, dsb.

Selanjutnya, atas berbagai pertimbangan ekonomi, pertahanan, perdagangan, administrasi


pemerintaha, dll. Wilayah pantai dapat berkembang menjadi kota pelabuhan, ibu kota
daerah/negara, kawasan permukiman, kawasan industri. Pusat listrik tenaga uap (PLTU), kawasan
nelayan, pertanian, olah raga air dan bahari, dan kawasan pariwisata, bahkan karena kondisi
geologi tertentu menjadi kawasan pertambangan. (Cilacap, Bangka/Biliton/Singkep, dsb.).

Jakarta yang terletak di wilayah pantai yang datar dan luas – menjadi ibu kota negara R.I.
dengan pembangunan di wilayah pantai berupa pelabuhan, PLTU, kota pantai, pariwisata dan
rekreasi pantai, gedung-gedung pemerintahan dan perdagangan, waduk-waduk pengendali banjir,
permukiman dan tambak.Kota lain seperti Semarang, Surabaya, Ujung Pandang juga terletak di

85
dataran pantai dan juga berkembang menjadi kota besar bahkan kota metropolitan dengan berbagai
fasilitasnya.

Kota Palembang, yang terletak di tepi sungai Musi, juga dapat mengalami dampak
yangsama sebagai akibat dari kenaikan muka air laut secara global tersebut. Air pasang yang
masuk ke dalam sungai Musi akan dapat menjadi banjir yang menggenangi wilayah endapan
aluvial dan rawa-rawa di sekitarnya; perlu diingat pula bahwa di tepian sungai Musi di seberang
kota Palembang terdapat kota pengolahan dan pelabuhan wilayah yang besar yaitu Plaju dan
Sungai Gerong.

6.2.5 dampak kenaikan muka air laut


Kenaikan muka air laut secara global tentu saja akan banyak pengaruhnya di seluruh
wilayah pesisir baik di Indonesia maupun di dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan dan
maritim tentu saja akan mengalami dampak yang luar biasa besarnya, tergantung kepada seberapa
besar kenaikan tersebut. Berikut ini beberapa butir dampak yang mungkin terjadi yaitu dampak
terhadap “geologi” dan dampak terhadap sosial, ekonomi.

6.2.6 Dampak terhadap geologi


1) Berkurangnya luas tanah dataran sebagai akibat dari invasi air laut terhadap daratan.
2) Invasi air laut ke daratan menyebabkan terjadinya abrasi sepanjang tepi pantai.
3) Banyak terumbu karang di pantai yang menjadi tenggelam lebih dalam di bawah muka
laut.
4) Abrasi pantai yang terjadi dapat diikuti oleh gejala longsoran sepanjang tebing pantai,
dan menyebabkan banyak terjadi sedimentasi pula.
5) Invasi muka laut ke arah daratan akan memperpendek aliran sungai dan
amengakibatkan gradien sungai menjadi lebih besar: karena sungai menjadi lebih
pendek; hal tersebut akan mengakibatkan sedimentasi yang besar di muara sungai
masing-masing.
6) Invasi air laut ke daratan akan mengakibatkan kenaikan muka airtanah tetapi sekaligus
juga menyebabkan intrusi air laut lebih mengarah ke daratan.
7) Secara keseluruhan kenaikan muka air laut sebagai akibat dari pemanasan global akan
mengakibatkan perubahan terhadap peta daratan dunia dan tentu saja Indonesia serta
kondisi geologi dan hidrogeologi wilayah pantai.

86
6.2.7 Dampak terhadap sosial – ekonomi
Dampak kenaikan muka laut selain mengakibatkan perubahan-perubahan kondisi geologi
seperti tersebut di atas – yaitu perubahan letak garis pantai, menyempitnya dataran pantai,
banyaknya kejadian longsoran tebing pantai, meluasnya intruai air asin ke arah darat,
tenggelamnya terumbu karang, dsb. – tentu saja akan mempengaruhi ekosistem secara
keseluruhan. Tidak luput pula mempengaruhi kepada kondisi dan pola pembangunan infra struktur
yang menanjak kehidupan modern di masa datang. Seperti yang dikemukakan dalam bab terdahulu
bahwa wilayah dataran pantai merupakan wilayah yang banyak mendukung pengembangan
pembangunan, permukaan tanah yang datar atau hampir datar, tempatnya yang berbatasan dengan
laut, banyak sungai mengalir, air tanah tawar yang relatif dangkal, kemudahan untuk dikerjakan,
bahkan kadang-kadang mengandung mineral ekonomis, terumbu karang, serta pemandangan yang
indah.
Wilayah yang demikian itu mendukung perkembangan banyak pembangunan dan menarik
orang untuk memanfaatkan wilayah tersebut untuk berbagai pengembangan lingkungan binaan :
berbagai kawasan permukiman, kawasan pertanian/sawah/dan perikanan, kawasan industri bahkan
pertambangan, wisata pantai dan bahari, berbagai pendayagunaan laut dan pantai, serta berbagai
sarana dan prasarana (pelabuhan, tenaga listrik, transportasi, dsb.).

Dengan terjadinya kenaikan muka laut maka dikhawatirkan terjadi infasi air laut terhadap
segala infrastruktur danlingkungan binaan tersebut di atas. Tidak hanya itu, tetapi juga berbagai
ekosistem yang ada di wilayah pantai tersebut akan terganggu dan berubah. Sangat diharapkan
bahwa perubahan tersebut tidak terjadi terlalu mendadak tetapi berangsur sehingga perubahan
tersebut dapat berjalan secara evolusi sehingga terjadi penyesuaian ekosistem secara wajar
termasuk penyesuaian manusia terhadap perubahan tersebut.

87
DAFTAR PUSTAKA

ASSHTO, 1987, Highway Draiinage Guidelines, ASSHTO, Washington PC.

Cedergren H, R, 1974. Drainage of Highway and Airfield Pavement. John Willey and Sons,
Toronto, Canada

Ccmica, J., N., 1995, Soil Mechanics. John Willey and Sons

Das, B , M, 1994, Principles of Geotechnical Engineering, PWS Publishing Company.

Hardjoso, P., 1987, Drainasi, Laboratoriyni P4S, FT UGM Kinori, 1970, Manual of Surface
Drainage Engineering, Volume I, Elseiver PC, Amsterdam. Lee et at, 1983, Geotechnical
Engineering, Pitman Lambe et at. 1979. Soil Mechanics, Willey Eastern Limited.

Shaw, E., M, 1984, Hydrology in Practice. V , N , Reinhold United Kingdom, London

Sunjoto, 1989, Pengembangan Sistem Drainasi di Indonesia. Ceramah llmiah Datam Rangka
25 Tahun Jurusan Teknik Sipil Fakulatas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta 6

88

Anda mungkin juga menyukai