Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

BUDAYA LAHAN KERING KEPULAUAN DAN PARIWISATA

“Sistem Kesenian Masyarakat Flores dan Lembata”

OLEH:
KELOMPOK 2

1. KRISTOANDI POETTING (1709010001)


2. CAROLINE S. H. PENGA (1709010002)
3. MARIA Y. NANO MENGI (1709010003)
4. MEGA YAKOBA KAPITAN (1709010004)
5. VIVI SUMANTI (1709010005)
6. JOSEPH RICARDO WUNDA (1709010006)
7. CHANDRAONE P. KEFI AMTIRAN (1709010007)
8. MOSCATIA TOBILOLON MUDA (1709010009)
9. DIANA RABEKA OTU (1709010010)
10. ZAKI ABDUL AZIZ MUBARAQ (1709010011)
11. SUSI M. SUSANTI TAKUBAK (1709010012)
12. TERESITA M. UA LAKAWOLO (1709010013)
13. MARIA SKOLASTIKA PENI (1709010014)
14. MONIKA N. NENOTEK (1709010015)
15. LIDYA OLU LANDO (1709010016)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Kepulauan Flores dan Lembata merupakan satu bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang cukup luas dengan keragaman kehidupan sosial masyarakat yang meliputi keunikan
budaya masyarakat salah satunya di bidang kesenian. Kesenian tradisional yang dimaksud yaitu
meliputi berbagai aktivitas sosial masyarakat termasuk dalam membangun peradaban. Contoh
penerapan kesenian tradisional dalam kehidupan praktis masyarakat yaitu rumah-rumah adat
yang masih dipelihara keberadaannya sampai sekarang, berbagai macam tarian, serta berbagai
macam jenis musik untuk mengiringi tari-tarian tersebut. Kebanyakan kesenian tersebut
merupakan warisan leluhur yang masih tetap dipertahankan dalam berbagai praktek ritual
kepercayaan yang masih dipercayai oleh masyarakat hingga saat ini.
Kepulauan Flores dan Lembata sendiri terdiri atas sembilan Kabupaten yang meliputi,
Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Sikka, Ende,
Flores Timur, dan Lembata. Setiap daerah kabupaten mempunyai tradisi dalam hal seni yang
beragam dan unik, sehingga dirasa perlu untuk mempelajari keragaman dan keunikan tiap daerah
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Daerah Manggarai


Keanekaragaman budaya Manggarai terdapat pada berbagai bentuk kesenian yang
dimilikinya. Secara garis besar kesenian di Kabupaten Manggarai dibagi menjadi beberapa,
yaitu:
1. Seni sastra.
Seni sastra masyarakat manggarai berupa mantra, bidal, pepatah, peribahasa, cerita
rakyat, perumpamaan dan lain-lain yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
2. Seni pertunjukkan.
Masyarakat manggarai mempunyai seni pertunjukkan seperti permainan sekaligus
tarian caci (pertunjukkan adu ketangkasan, saling memukul dengan rotan), sae (tarian adat
untuk memeriahkan pesta), musik (terdapat alat musik sunding, gong, gendang, tambor, dan
tinding biasanya dimainkan pada acara-acara kebudayaan), nyanyian tradisi nenggo, dan
tari (tari rangkuk alu);
3. Seni kriya.
Kriya yang dihasilkan misalnya kain tenun songke dengan warna dasar hitam yang
melambangkan sebuah arti kebesaran bahwa manusia akhirnya akan kembali kepada Yang
Maha Kuasa, sedangkan motif bunga mengandung banyak makna.Selain itu masyarakat
Manggarai sudah mengenal bahkan telah mempu menghasilkan peralatan atau perkakas
yang dibutuhkan dalam kehidupannya bahkan juga termasuk pakaian dan perhiasan. Untuk
pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat mereka telah membuat
pakaian yang bahannya terbuat dari kulit kayu cale (semacam sukun) dan untuk perhiasan
sebelum mengenal logam mereka membuat dari bahan tempurung kelapa, kayu atau akar
bahar. Pakaian pun memiliki banyak ragam penggunaan seperti pakaian kerja dan pakaian
pesta. Perhiasan yang digunakan oleh masyarakat Manggarai memiliki beragam makna
misalnya gelang yang dipakai oleh kaum wanita menunjukkan si pemakai telah berkeluarga.
Makin banyak gelang makin tinggi status sosialnya. Bahan dasar dari perhiasan menentukan
pula status sosial pemakainya. Jika perhiasan terbuat dari emas maka status sosialnya tinggi
(ANRI, 2018).
Salah satu tradisi yang merupakan kesatuan dari kombinasi berbagai kesenian di Daerah
Manggarai adalah permainan atau tarian caci. Caci sendiri menggabungkan seni sastra berupa
bahasa yang digunakan dalam permainan, seni tari, dan seni musik daerah Manggarai.

Gambar 1. Tarian caci

Caci secara etimologis berasal dari dua kata yakni Ca yang berarti satu dan Ci yang
berarti Lawan. Inti dari Tarian Caci bagi masyarakat manggarai pada umumnya merupakan satu
permainan untuk mengadu ketangkasan antara dua orang laki-laki. Adu ketangkasan dalam tarian
ini dilakukan dengan cara mencambuk dan menangkis cambukan lawan secara bergantian. Hal
tersebut membuat tarian caci terlihat seperti sebuah pertunjukan heroik dan indah karena
merupkan kombinasi antara Lomes (Keindahan gerak tubuh dan busana yang dipakai), Bokak
(Keindahan seni vokal saaat bernyanyi), serta Lime (Ketangkasan dalam mencambuk dan
menangkis cambukan lawan) (Jampi dkk., 2019).
Tarian Caci merupakan kesenian asli Manggarai yang penuh dengan keunikan-keunikan
mulai dari jenis tarian, kostum tari, pemain yang dilengkapi dengan larik (pecut), nggiling
(perisai), koret (penangkis), dan panggal (penutup kepala). Pemain bertelanjang dada, namun
mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan
sarung songke (songket khas Manggarai). Dibagian belakang dipakaikan ndeki sehingga akan
menyerupai ekor kerbau, dengan fungsinya untuk melindungi bagian bawah punggung
(pinggang). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga selutut untuk menutupi
sebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang untaian giring-giring yang
berbunyi mengikuti gerakan pemain. Topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari kulit
kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk
kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga
mata masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan yang dilakukan oleh penari, sampai
pada bentuk komposisi musik iringannya (Ingrida, 2017).
Bagian kepala dan wajah pemain hampir seluruhnya tertutup hiasan kepala dan kain
sarung (kain destar) yang dililit ketat di sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan
mata dari cambukan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kecuali
bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk
pinggang. Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang terbuka adalah sasaran cambuk. Caci
juga sekaligus merupakan medium pembuktian kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka
akibat cambukan dikagumi sebagai lambang maskulinitas. Caci penuh dengan simbolisme
terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di daerah Manggarai. Pecut
melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Perisai melambangkan ibu,
kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi
persatuan antara cambuk dan perisai. Kesenian ini ditampilkan diberbagai acara seperti syukuran
musim panen (hang woja), ritual tahun baru (penti), penyambutan tamu besar, dan diberbagai
acara adat lainnya (Ingrida, 2017). Lokasi dari pertunjukan caci ini sendiri biasanya
dilangsungkan dihalaman rumah adat. Kedua belah pihak yang akan bertanding didandani bak
seekor kerbau yang akan berlaga ke dalam medan pertempuran.
Dalam tarian kedua pemain akan bergantian menjadi pihak yang memukul dan pihak
yang dipukul. Pihak pemukul diperbolehkan untuk bergaya dan bernyanyi (embong larik) dengan
tujuan membuat lawannya terlena lalu memukulkan cemeti (Larik) yang terbuat dari kulit kerbau
ke bagian badan lawannya. Sedangkan pemain yang akan menerima pukulan dipersilahkan untuk
menggunakan nggiling (perisai dari kulit kerbau) dan agang (dari bambu) untuk menangkis
pukulan yang diberikan. Pertarungan berlangsung akan diiringi dengan bunyi pukulan gendang
dan ging serta nyanyian (nenggo atau dere) dari para pendukung (Jampi, dkk., 2019).
Tidak ada batasan berapa kali satu pasangan akan bergantian memukul dan menangkis.
Kecuali ada banyak orang yang ingin terlibat maka kesempatan tiap orang akan dibatasi dan
biasanya diatur oleh pimpinan rombongan masing-masing (tukang selek). Pihak yang memiliki
giliran memukul dapat memberikan haknya untuk memukul kepada orang-orang yang
dihormatinya atau yang dituakan seperti pemuka agama, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat
dan sebagainya. Namun, kewajiban untuk menangkis tidak dapat diberikan pada orang lain.
Dari berbagai penjelasan diatas jika dihubungkan dengan dunia kedokteran hewan dapat
dikatakan bertentangan baik perlengkapan busana maupun peralatan musik yang digunakan
masih terbuat dari bahan dasar kulit hewan-hewan tertentu seperti yang sudah disebutkan.
Namun, kembali lagi pada budaya yang telah menajdi kepercayaan sehingga pihak manapun
tidak dapat menolak adat yang memang bersifat turun-temurun dari nenek moyang hingga
sekarang. Sehingga, hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberikan edukasi bagi
masyarakat agar terus meningkatkan upaya pelestarian populasi ternak di NTT. Dengan
demikian hal yang diharapkan adalah adat boleh berlangsung sebagaimana mestinya dan disisi
lain pun masyarakat boleh ikut berperan dalam upaya pelesarian ternak.
Selain seni tari, seni musik juga biasanya ikut mewarnai kekhasan yang dimiliki
masyarakat manggarai pada umunya. Musik yang biasanya dibunyikan adalah gong dan gendang
yang terbuat dari kulit hewan seperti kerbau, kambing dan sapi. Kulit kambung jantan dalam hal
ini lebih disarankan karena diyakini lebih awet. Gendang hanya digunakan pada saat upacara-
upacara resmi. Gong (nggong) terbuat dari drum supaya menghasilkan bunyi yang gaung. Kayu
pukul gong diambil dari kayu kapuk (haju kawu), bagian depan area pukulan dilapisi kulit
kambing (luit mbe) khususnya alat kelamin kambing jantan (luit telo de mbe laki) (Jampi dkk.,
2019).

Gambar 2. Kiri: Alat musik Gendang, Kanan: Alat musik Gong. (Sumber: Kompas.com)

Nilai-nilai yang terkandung dalam Tarian ini adalah sebagai berikut (Jampi dkk., 2019):
1. Nilai bahasa dan Nyanyian yang melambangkan keindahan, keselarasan dan kerendahan
hati. Pembicaraan dan nyanyian akan dilakukan dengan menggunakan bahasa yang
indah dengan istilah-istilah yang menarik perhatian penonton. Bahasa yang digunakan
pun tidak menggunakan bahasa atau istilah yang dapat menyinggung pihak lain. Oleh
karena itu, seorang penari caci harus memiliki kecakapan dalam berbicara menggunakan
bahasa daerah manggarai.
2. Nilai cara berpakaian melambangkan terciptanya keseraisan dan kekompakan dalam
pertunjukan. Pakaian yang biasa digunkan adalah selendang, kain songke, ikat
pinggang, nggiring, penyokong kepala dan celana panjang berwarna putih. Kulit hewan
seperti kerbau dipilih sebagai bahan dasar perlengkapan tarian caci ini karena diyakini
melambangkan kekuatan, ketenangan, kerendahan hati dan tidak emosional. Sedangkan
bentuk bundar menampakan adanya satu titik pusat yang mengatur semuanya yakni
Tuhan yang Maha Esa.
3. Nilai etika dan moral yang terkandung dalam permainan caci berupa tanggung jawab
dan saling menghargai sesama dalam pertarungan sehingga akan tecipta situasi yang
kondusif.
4. Nilai darah, keringat dan Air Mata melambangkan Kejantanan, Keramaian, Kemegahan
dan Sportivitas. Selain itu, permainan ini juga dapat melambangkan kepahlawanan yang
tampak dalam permainan ini.

2.4. Kabupaten Ngada


Kabupaten Ngada memiliki beberapa kampung adat dengan tradisi yang hampir sama
sejak zaman purbakala dan diwariskan secara turun temurun. Salah satu kampung adat di Ngada
yang masih mempertahankan tradisi terutama dalam bidang kesenian yaitu Kampung Adat Guru
Sina. Beberapa kesenian yang masih dipertahankan yaitu berupa kompleks rumah adat dengan
berbagai monumen-monumennya, tarian dan musik tradisional.
Kompleks rumah adat pada kampung adat Guru Sina yaitu (Djokaho, 2013):
1. Sa’o Pu’u (Rumah Awal) sebagai penggambaran ibu, yang merupakan tempat
berawalnya kehidupan. Bangunan ini bertanggungjawab dalam perawatan bagha. Dengan
pandangan konvensional, bangunan ini melambangkan simbol kehadiran “ibu” dan nilai
keibuan.
Gambar 3. Sa’o Pu’u (Rumah Awal).

2. Sa’o Lobo (Rumah Akhir) berperan sebagai pemangku adat dan menjadi pemimpin serta
bertanggungjawab terhadap perawatan bangunan ngadhu. Dengan pandangan
konvensional, rumah ini adalah simbol “bapa” dan nilai “kebapaan”.

Gambar 4. Sa’o Lobo (Rumah Akhir).

3. Sa’o Dhoro (Rumah Turunan) sebagai simbol kehadiran “anak”.

Gambar 5. Sa’o Dhoro (Rumah Turunan).


4. Ngadhu merupakan monumen pengganti rupa leluhur laki-laki yang melambangkan
persatuan di dalam satu kesatuan hukum adat.

Gambar 6. Ngadhu.

5. Bhaga merupakan monumen penggamti leluhur perempuan sebagai pasangan dari


Ngadhu.

Gambar 7. Bhaga.

6. Watu Lanu yang berada di tengah pelataran kampung merupakan bangunan megalit yang
mengapit bangunan ngadhu dan bagha.
Gambar 8. Watu Lanu.
Pada rumah-rumah adat juga terdapat beberapa simbol atau relief pahatan tradisional
pada rumah adat kampung Guru Sina, Kabupaten Ngada yang meliputi (1) Manu (ayam) yang
melambangkan kelantangan akan kenyataan dan kebenaran; (2) Jara (kuda) melambangkan
kekuatan/keperkasaan; dan (3) Zegu Kaba (tanduk kerbau) melambangkan kejayaan .
Selain komplek rumah adat, salah satu kesenian yang penting di Kampung Adat Guru
Sina yaitu tarian Ja’i. Ja’i merupakan ungkapan kegembiraan, sukacita, dan rasa syukur yang
dapat dilakukan sepanjang hari. Ja’i diwali dengan sapaan adat (Sa’ Ngaza) menari mengelilingi
Ngadhu dan Bhaga (simbol leluhur). Sa’Ngaza dilakukan oleh pemimpin yang dituakan di
kampung secara lantang sambil mengacungkan pedang pusaka sambil menggerakkan tangan
yang memegang pedang, diiringi gong gendang (go laba) (Djokaho, 2013).

Gambar 9. Sa’Ngaza.

Penari Ja’i terdiri dari penari pria maupun penari perempuan dengan jumlah yang tidak
terbatas, menggunakan properti seperti Sa’u atau pedang dipakai oleh penari laki-laki dipegang
pada tangan kanan. Kemudian sapu tangan dipakai oleh penari perempuan pada tangan kiri dan
kanan. Posisi penari untuk laki-laki berada disebelah kanan dan perempuan disebelah kiri
(Ceunfin, dkk., 2019). Pola gerakan dalam ja’i yaitu gerak berjalan “lari kecil”dengan kedua
tangan adakalanya digerakkan ke atas seperti ungkapan permohonan atau sebagai bentuk syukur
kepada Yang Maha Kuasa. Status sosial dalam melakukan Ja’i terlihat dari motif kain yang
dipakai penari. Motif kain kuda (jara ngai) melambangkan strata atas, sedangkan strata bawah
mengenakan kain bermotif wai manu (kaki ayam) (Djokaho, 2013).
Gambar 9. Tarian Ja’i.

A B C

Gambar 10. Kain tenun asal kabupaten Ngada. A = Kain Tenun Lu’e bermotif kuda. B = Kain
Tenun Sapu dengan motif kuda dan kaki ayam. C = Kain Tenun Lawo dengan motif kuda dan
kaki ayam.

Go Laba merupakan alat musik tradisional daerah ngada yang mengiringi tarian Ja’I dari
lima buah Gong dan dua buah Tambur. Lima buah gong ini mempunyai nama masing-masing
yaitu gong pertamanamanya Wela, gong kedua namanya Ute, gong ketiga namanya Dhere, gong
empat dan lima yaitu Go doa. Sedangkan tambur yang disebut dengan istilah laba terdiri dari dua
yaitu Laba Dhera dan Laba Wa’i/Toka.
Go atau Gong Ngada dalam permainannya dapat pula diletakan diatas bentangan tali,
digantung ataupun dipegang oleh pemain. Go Laba terdiri dua kata yaitu dua kata Go danLaba,
Go artinya Gong dan Laba artinya Gendang. Jadi Go Laba adalah seperangkat intrumen yang
merupakan alat music tradisional daerah Ngada. Dalam kehidupan masyarakat Ngada fungsi alat
music Go Laba digunakan dalam berbagai acara yaitu penjemputan tamu agung, acara syukuran,
pembuatan rumah ada, Ka Sa’o dan acara hiburan lainnya.
Permainan Go Laba yang dimainkan secara bersama-sama, setiap instrumen mempunyai
peran masing-masing. Yaitu Go Wela dalam penyajiannya berperan sebagai pembuka dan
penentu Atempo. Sedangkan Go Ute, Go Dhere, Go Doa, dan Laba Wai sebagai isian atau
pemanis dalam bahasa Ngada disebut Sipo. Laba Dhere berperan sebagai pengatur gerak ritme
tari ataupun pergantian gerak tari Ja’I (Ceunfin, dkk., 2019).

Gambar 11. Alat Musik Go Laba. A = Laba (Tambur). B = Go (Gong). C = Prosesi memainkan
musik dengan Go Laba.

2.5. Kabupaten Nagekeo


1. Seni Tari (Ndike, 2016).
a. Tea Eku
Tari Tea Eku adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah
Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini dimainkan oleh beberapa
penari perempuan cantik yang menari dengan menggunakan sapu tangan/kain kecil
sebagai atribut menarinya. Tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara seperti
upacara adat, penyambutan tamu penting dan acara budaya. Dalam perkembangannya,
Tari Tea Eku ini masih terus dilestarikan dan dikembangkan oleh beberapa kelompok
seniman disana. Berbagai variasi juga sering ditambahkan, agar terlihat lebih menarik di
setiap penampilannya. Selain itu tarian Tari Tea Eku juga tidak hanya ditampilkan di
acara pesta adat saja, namun juga berbagai acara seperti penyambutan, acara seni dan
budaya.
Sejarah tentang Tari Tea Eku ini masih belum diketahui secara pasti. Namun dari
beberapa sumber yang ada, dikatakan bahwa tarian ini berasal dari daerah Boawae,
Nagekeo, Flores, NTT. Tari Tea Eku dulunya sering ditampilkan di acara pesta adat
masyarakat di sana. Nama Tari Tea Eku sendiri diambil dari kata “Tea” dan “Eku”. Tea
berarti getar, hal ini bisa dilihat dari gerakan kaki penari yang mengetaran irama musik.
Sedangkan Eku berarti lambaian sapu tangan, hal ini bisa dilihat dari atribut yang mereka
gunakan, yaitu sapu tangan.
Dalam pertunjukannya, Tari Tea Eku ini biasa dimainkan oleh 4-6 orang penari
perempuan. Dalam pertunjukan tersebut, penari terlihat cantik dengan busana khas Tari
Tea Eku. Busana tersebut terdiri dari baju berwarna hitam atau merah dan kain songket
khas Nagekeo. Untuk bagian rambut biasanya hanya digelung dan diberi hiasan pita
sebagai pemanis. Dan tidak lupa sapu tangan yang digunakan sebagai atribut menarinya.
Dengan diiringi irama musik pengiring, para penari menari dengan gerakan yang anggun
sembari memainkan sapu tangan mereka. Pertunjukan ini diawali dengan sapaan pendek
yang disebut Bhea, kemudian dilanjutkan dengan lima gerakna utama penari. Setiap
pergantian gerak tersebut, penari melakukan gerakan yang disebut Ji, dimana para penari
mencari posisi yang ideal untuk pergantian gerak. Setelah gerakan utama selesai,
kemudian diakhiri dengan lambaian tangan kepada para penonton sebagai penutup. Tari
Tea Eku ini biasanya diiringi oleh alunan musik tradisional seperti Gong Gendang.
Alunan musik Gong Gendang ini biasanya disesuaikan dengan gerakan tari sehingga
menghasilkan gerakan yang harmonis. Musik Gong Gendang tersebut biasanya
dimainkan secara khusus yang sering disebut dengan Paka Tea Eko.

b. Toda Gu
Dinamakan Toda Gu, karena tarian ini menggunakan alat musik pengiring berupa
gendang (Toda) dan bambu aur (Gu) yang ditabuh dalam nada dan irama, sehingga
menjadi satu kesatuan ekspresi gerak dan tari. Tarian Toda Gu adalah tarian kemenangan
bagi kaum laki-laki yang pulang perang di masa silam. Jadi kaum laki-laki Nagekeo saat
merayakan kemenangan perang menari-nari dengan tarian Todagu diiringi musik bambu.
Saat ini, tarian Toda Gu biasa ditarikan saat pembuatan maupun pemugaran rumah adat
(Sao Waja) maupun saat penancapan tiang agung di tengah kampung.
Tarian Toda Gu biasanya dibawakan oleh kaum laki-laki, karena merupakan tari
kemenangan setelah perang. Sementara khusus untuk kaum perempuan ada tarian Tea
Eku. Tarian Tea Eku merupakan tarian kaum perempuan atau para istri untuk
menyambut suami dan kaum laki-laki yang pulang perang dengan membawa
kemenangan. Untuk mengimbangi gerakan kaki, para penari tari Toda Gu menari
menggunakan tombak (Bhuja) dan Pedang (Topo).

2. Seni Musik (Djawa, 2019).


a. Ndoto
Musik Ndoto adalah musik khas dari Wajo. Ndoto sendiri berarti bambu. Jadi,
musik Ndoto adalah musik bambu. Alat musik Ndoto terbuat dari bambu betung. Ndoto
dimainkan dengan cara dipukul. Alat untuk memukul Ndoto terbuat dari kayu yang
dipotong dengan ukuran yang pas untuk dipegang guna memukul Ndoto.
b. Ndora
Ndora merupakan alat musik berupa gendang. Gendang tersebut terbuat dari kayu
Ndora dan membrannya terbuat dari kulit sapi.
c. Go Genga
Go Genga merupakan alat musik tradisional asal Pautola di Kecamatan Keotengah
Kabupaten Nagekeo. Alat musik tradisional yang hampir punah ini dibuat dengan bambu
yang dirancang sedemikian rupa hingga menghasilkan bunyi musik seperti bunyi gong.

2.6. Kabupaten Sikka


1. Seni Tari (Wardani, 2017).
Tari Hegong merupakan salah satu tarian kebesaran masyarakat Sikka yang masih
hidup hingga sekarang. Dalam perkembangannya, tarian ini masih terus dilestarikan dan
dikembangkan oleh masyarakat di sana. Tarian ini juga tidak hanya ditampilkan untuk acara
adat saja, namun juga ditampilkan di berbagai acara seperti festival budaya dan pertunjukan
seni yang diadakan di tingkat daerah, nasional, bahkan internasional.
Gambar 12. Tarian Hegong.

Tari Hegong adalah salah satu tarian tradisional dari Maumere, Sikka, Nusa Tenggara
Timur (NTT). tarian ini biasanya dimainkan secara berkelompok oleh penari pria dan wanita
dengan berpakaian adat yang khas dan diiringi dengan musik Gong Waning. Tari Hegong
merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal dan sering di tampilkan di
berbagai acara seperti acara adat, penyambutan tamu penting, kesenian daerah dan berbagai
acara lainnya.
Pada pertunjukan Tari Hegong ini biasanya penari menggunakan kostum pakaian adat.
Pada penari wanita menggunakan busana seperti Labu Gate, Utan dan Dong warna-warni.
Pada bagian rambut dibuat Legen dan ditambahkan Hegin untuk memperkuat lingkaran
rambut serta diberi hiasan Soking. Tidak lupa menggunakan Gelang Gading pada
pergelangan tangan mereka. Sedangkan untuk penari pria biasanya menggunakan busana
seperti Lipa Prenggi atau Lipa Mitan dan tenun ikat khas Sikka.
Dalam tarian ini, para penari dilengkapi dengan ikun, lesu, dan reng sebagai atribut
menarinya. Ikun merupakan senjata seperti pisau yang terbuat dari kayu dan dihiasi dengan
ekor kuda. Lesu merupakan sejenis sapu tangan yang digunakan sebagai pelengkap gerakan
tangan para penari. Sedangkan Reng adalah sejenis gelang kaki yang dilengkapi dengan
kelinting.
Gambar 13. Penari wanita dan laki-laki.

Setiap gerakan dan babak yang ditampilkan dalam Tari Hegong ini tentu memiliki arti
atau makna tersendiri. Hal tersebut bisa kita lihat dari pertunjukannya. Pada babak pertama
dibuka dengan gerakan berirama cepat dan sentakan kaki, menggambarkan semangat para
penari. pada babak kedua, para penari membuat lingkaran dimana penari wanita dikelilingi
penari pria, menggambarkan jiwa kaum lelaki dalam mempertahankan dan melindungi kaum
wanita. Pada babak ke tiga biasanya merupaka gerakan kreasi yang menggambarkan
kerjasama antara pria dan wanita. Sedangkan pada babak akhir, salah seorang penari pria
diangkat keatas menggambarkan bahwa di sedang memantau musuh atau lawan dan penari
yang dibawah menggambarkan kesiagaan mereka dalam menghadapi serangan.

2. Seni Musik (Kojaing, 2017).


Selain seni tari, seni musik juga menjadi kekhasan dari masyarakat Kabupaten Sikka.
Biasanya digunakan alat musik gong waning dimainkan dengan cara dipukul. Instrumen ini
terdiri dari 6 buah gong dan 2 buah gendang (Waning) serta sebilah bambu (Lettar), yang
memiliki frekuensi bunyi sangat kuat dan memilik banyak variasi pola permainan dari tempo
cepat (Allegretto) hingga ke tempo yang sangat cepat (Allegro). Gong Waning kerap
dihadirkan dalam berbagai ritual, baik yang bersifat sakral maupun yang bersifat profan.
Kedudukan instrumen itu sendiri adalah sebagai pengiring tari yang bertema kegembiraan.
Spesifik dalam masyarakat Hewokloang, musik etnik Gong Waning tidak hanya
diposisikan sebagai pengiring tari dalam ritual yang bernuansa kegembiran, melainkan
diturut sertakan pula dalam kematian yang bertemakan duka. Namun, ritual kematian yang
dimaksud dalam wilayah Hewokloang tidak melibatkan semua usia tetapi hanya dibatasi
pada 70 tahun keatas dan dimainkan secara meriah layaknya pesta hiburan.
Gambar 14. Kiri: Alat musik gong waning. Kanan: Penabuh Gong Waning.

Gong sendiri memiliki nada yang berbeda-beda, dari nada rendah sampai tinggi ,juga
dari yang ukuran kecil sampai yang besar. Gong antara lain; gong Inan (besar), gong Lepen
(sedang), gong Udong Beit (kecil) dan gong Anak (paling kecil). Cara memainkan gong yaitu
dengan cara dipukul dengan kayu yang ujungnya ada gulungan karet ban. Sementara itu
waning adalah alat musik seperti gendang. Alat musik ini terbuat dari batang kelapa dan kulit
sapi atau kambing yang sudah dikeringkan. Waning (gendang) itu ada dua jenis yaitu
gendang besar dangen gendang kecil. Cara memainkan waning itu dengan cara menabuh
dengan kayu dan juga bisa langsung pakai tangan. Kemudian yang terakhir adalah
pelianak/sa'ur. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang panjangnya sekitar 1,5
meter. Sa'ur ini berfungsi untuk mengatur irama Gong Waning (gong dan gendang). Cara
memainkan sa'ur ini yaitu dengan memukul dengan dua kayu kecil secara bergantian.

2.7. Kabupaten Ende


Tari Gawi adalah Tari yang telah ada sejak zaman para leluhur terdahulu yang diwariskan
secara turun temurun kepada generasi penerus hingga sekarang. Tari ini biasanya digunakan
dalam setiap upacara-upacara adat atau upacara hiburan untuk bersenang-senang secara bersama-
sama sebagai ungkapan syukur. Tari Gawi Keberadaannya hanya ada di Kabupaten Ende. Tari
Gawi biasanya ditampilkan di bagian terahkir dari sebuah acara sebagai ucapan syukur. Tari
Gawi merupakan tarian massal dengan jumlah penari serta usia para penari tidak ditentukan,
yaitu dari anak-anak hingga orang dewasa. Menurut sumber sajarah yang ada, nama tari Gawi
berasal dari dua kata yaitu “Ga” yang berarti segan atau sungkan dan “Wi” yang berarti menarik,
jadi tari Gawi bisa diartikan menyatukan diri atau berkumpul bersama (Mati, 2019).
Gambar 15. Bentuk Tari Gawi.

Selain tarian, kesenian di kabupaten Ende juga berupa kain tenun yang dihasilkan
masyarakat secara turun temurun. Masyarakat ende umumnya beranggapan bahwa kegiatan seni
merupakan kegiatan yang memerlukan budi rasa halus, salah satunya dengan menenun. Setiap
sarung tenunan Ende biasanya berwarna dasar merah tua kecoklatan dengan motif flora dan
fauna seperti kuda, ayam, dan burung untuk wanita, serta kain sarung tenunan untuk pria
bermotif jalur-jalur geometris dengan warna hitam atau biru kehitam-hitaman (Susilawati, 2010).

Gambar 16. Kain tenun asal daerah Ende.

2.8. Kabupaten Flores Timur


Suku lamaholot adalah salah satu komunitas yang terdapat di Lamaholot yang terdiri
dari Larantuka, Solor, Adonara (Flores Timur) dan sebagian lagi dari Kabupaten Lembata.
Masyarkat Lamaholot bernaung di dalam satu keyakinan dengan sebutan Lera Wulan Tanah
Ekan yang merupakan wujud tertinggi kepercayaan mereka kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Masyarakat Lamaholot terkenal dengan berbagai macam budaya dan kesenian yang adalah
warisan dari para leluhur. Kesenian itu diwujudkan dalam bentuk tari-tarian dan Instrumen
Musik antara lain Gambus, Gong, Gendang, dan Instrumen Musik lainnya.
1. Tarian Hedung
Merupakan tarian perang. Tarian Hedung di maknai oleh masyarakat Lamaholot
sebagai penghormatan kepada leluhur dan juga sebagai tarian penyambut dalam sebuah
serimonial tertentu. Tarian Hedung adalah tarian khusus kaum pria. Corak khas tarian hedung
adalah gembira dan agresif. Tarian hedung biasanya dibawakan pada saat upacara
penjemputan tamu-tamu terhormat. Di jaman dahulu tarian Hedung dibawakan saat ada
pesta, baik dalam hubungan dengan kemenangan perang, perlombaan memanah ataupun
kegiatan-kegiatan masal yang bercorak ramai dan gembira. Dalam perjalanan waktu lambat
laun tarian ini digunakan untuk acara-acara meriah, salah satunya adalah penerimaan tamu
agung. Tarian Hedung dibawakan tanpa nyanyian atau syair tertentu. Terkadang dapat
muncul sorakan-sorakan lantang (disebut khae’) yang menunjukkan rasa senang sekaligus
penghilang rasa bosan dari para penari dan penonton karena pada dasarnya tarian Hedung
tidak memiliki banyak ragam gerak.

2. Tarian Hama/hamang
Tarian ini bersifat religius karena bertujuan untuk memberi penghormatan serta
mengenang roh-roh nenek moyang yang bagi masyarakat Lamaholot mempunyai jasa besar
kehidupan mereka. Tarian Hamang adalah tarian kegembiraan untuk pria dan wanita. Tarian
Hamang merupakan tarian gabungan pria dan wanita dengan kolaborasi nyanyian yang
sangat indah. Tarian ini biasa dibawakan tanpa iringan gong dan gendang. Para penari sendiri
mengiringi tarian mereka dengan bunyi giring-giring yang sangat harmoni serta nyanyian
lagu-lagu adat yang merdu dan syarat makna. Tarian Hamang merupakan tarian yang sangat
momental. Ia hanya dibawakan pada saat pesta pula mang dan lodong anak atau hone koko
(membangun rumah adat). Hal lainnya yang membuat tarian ini tampak lebih menarik adalah
karena dibawakan dalam bentuk kelompok yang besar. Hadir di sana seorang penyanyi solo
yang berdiri di tengah barisan penari yang melingkarinya. Ia membawakan lagu-lagu adat
dengan tema-tema tertentu, seperti sejarah asal-usul (usa-asa) atau hal-hal semacamnya. Pada
bagian tertentu, ia bersama kelompok penari saling berbalas nyanyian, ia sendiri di satu pihak
dan seluruh anggota penari di pihak lain. Pada saat solis membawakan sendiri nyanyiannya
gerakan diperlambat sedangkan ketika berbalas nyanyian gerakan semua penari dipercepat
dengan hentakan kaki yang kuat.

3. Tarian Soka Todok


Merupakan tarian khusus wanita dengan motif dasar gembira. Secara asal-usul kata,
frasa soka-todok berasal dari dua kata bahasa Lamaholot yakni dari kata soka dan todok.
Soka berarti ‘menari’ dan todok berarti ‘terantuk’. Jadi Soka Todok berarti tarian yang
dibawakan dengan cara menghentakan ujung-ujung jari kaki ke tanah sesuai alunan musik.
Seperti tarian Hedung, tarian Soka-Todok pun biasa dibawakan pada saat acara-acara besar,
seperti penjemputan tamu agung, penjemputan pengantin baru yang merayakan pernikahan
meriah dan acara-acara meriah semacamnya.

2.9. Kabupaten Lembata


1. Tarian Daerah
a. Tarian Dolo-Dolo
Dolo-Dolo merupakan tarian khas orang Lamaholot, termasuk Lembata. Dolo-
Dolo ini memiliki dua bentuk irama yakni Oa berirama pelan, sedangkan Oreng berirama
cepat. Dolo-Dolo pada umumnya dimainkan dalam upacara-upacara yang meriah seperti
pesta adat, pesta tahbisan imam baru, pesta penerimaan komuni pertama dan lain
sebagainya. Cara memainkan tarian Dolo-Dolo memang lebih sederhana yakni dengan
berpegangan tangan dan membentuk suatu lingkaran penuh sambil membuat gerakan
mengikuti irama musik khas daerah, yang diiringi lagu dengan pantun yang berbalas-
balasan. Adapun tujuan dari tarian Dolo-Dolo adalah untuk menghibur. Selain dari pada
itu, tarian ini juga bertujuan untuk mempererat rasa 28 persaudaraan, persatuan dan
kesatuan masyarakat.

b. Tarian Kolewalan.
Tarian ini dilakukan dengan cara bergandengan tangan dalam satu lingkaran, baik
itu lingkaran penuh maupun setengah lingkaran, sambil mengehentakan kaki bersamaan,
mengayunkan tangan secara serentak, diiringi oleh nyanyian lagu dan bunyi gendang.
Tarian ini hanya bisa dipimpin oleh seorang tua adat, dimainkan diluar rumah adat pada
upacara Ahar.

c. Tarian Holobeba
Tarian ini hanya dapat dimainkan pada saat upacara Hemelung Ketane dalam
upacara Ahar yakni pada saat pemetikan daun hemelung. tarian Holobeba terdiri dari dua
baris berbanjar dengan tangan berjabatan. Gerakannya pun unik berupa hentakan kaki
yang penuh semangat dan setengah berlari satu arah yakni dari rumah adat menuju ke
tempat pemetikan daun hemelung yang berjarak ± 50 meter.

2. Anyaman Daerah
Kegiatan menganyam biasanya dilakukan pada waktu luang yakni selepas
mengerjakan urusan rumah tangga. Bahan yang digunakan oleh masyarakat untuk
menganyam adalah pucuk daun lontar yang dijemur kering. Daripucuk daun lontar kering
tersebut, masyarakat kemudian merakitnya menjadi sebuah anyaman. Hasil anyaman
masyarakat itu biasanya berfariasi seperti tikar, kipas, sokal (tempat untuk menyimpan hasil
panen ladang) dan lain sebagainnya. Hasil anyaman ini memiliki nilai seninya tersendiri.
Selain itu juga kwalitas anyaman dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Oleh karena itu
hasil anyaman ini selain digunakan oleh masyarakat untuk keperluan rumah tangganya,
dapat juga dijual untuk mendapatkan uang demi mencukupi kebutuhan hidup yang lainnya.

3. Tenun Ikat (Tantenane)


Menenun biasanya merupakan pekerjaan untuk kaum perempuan. Untuk memulai
menenun biasanya diawali dengan upacara seremonial adat berupa penyembelihan ayam,
makan siri pinang dan berpuasa bagi penenun. Kegiatan menenun biasanya dikerjakan pada
waktu senggang. Bahan dasar yang digunakan oleh masyarakat dalam menenun terbuat dari
kapas.
BAB III
PENUTUP

Kepulauan Flores dan Lembata merupakan satu bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang cukup luas dan terdiri atas sembilan Kabupaten yang meliputi, Kabupaten
Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Sikka, Ende, Flores Timur,
dan Lembata. Setiap daerah kabupaten mempunyai tradisi dalam hal seni yang beragam dan
unik.
Kesenian tradisional dalam kehidupan praktis masyarakat yaitu rumah-rumah adat yang
masih dipelihara keberadaannya sampai sekarang, berbagai macam tarian, serta berbagai macam
jenis musik untuk mengiringi tari-tarian tersebut. Kebanyakan kesenian tersebut merupakan
warisan leluhur yang masih tetap dipertahankan dalam berbagai praktek ritual kepercayaan yang
masih dipercayai oleh masyarakat hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ceunfin, F., M. Kian, M. K. A. C. S. D. Tukan. 2019. “Analisa Unsur Musikal Go Laba Musik
Tradisional Ngada Sebagai Iringan Tarian Ja’i pada Sanggar Mora Masa Kel. Tuak Daun
Merah (TDM 02) Kec. Oebobo-Kupang”. Jurnal Ekspresi Seni 21 (1): 29-38.
Djawa, B. W. 2019. “Musik Ndoto dalam Ritual Ngagha Mere di Kampungwajo Kecamatan Keo
Tengah Kabupaten Nagekeo Flores Nusa Tenggara Timur”. Institut Seni Indonesia
Yogyakarta.
Djokaho, M. P. E. 2013. “Pergeseran Fungsi Tari Ja’i dari Ritual ke Profan di Kota Lampung”.
[Tesis] Universitas Pendidikan Indonesia. Halaman: 40-96.
Ingrida Trifiani Kantor. 2017. “Pelestarian Tarian Caci Sebagai Tarian Khas Manggarai Desa
Lante Kecamatan Reok Barat”. Yogyakarta.
Jampi, Hironimus. Nawir Muhammad, Hadisaputra. 2019. Nilai Kesenian Budaya Tarian Caci
pada Masyarakat Manggarai Kabupaten Manggarai Timur. Jurnal Pendidikan Sosiologi.
Equilibrium : Makassar.
Kojaing, K. 2017. “Makna Spiritualitas Musik Gong Waning dalam Ritual Adat Kematian
Masyarakat Hewokloang Kabupaten Sikka Flores NTT”. Program Penciptaan dan
Pengkajian Pasca Sarjana Jurusan Pengkajian Seni Musik Institut Seni Indonesia
Yogyakarta.
Mati. T. R. 2019. “Tari Gawi: Simbol Identitas Budaya Masyarakat Suku Lio Kabupaten Ende”.
Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Ndike, M. M. 2016. “Upaya Pembelajaran Tari Tradisional Tea Eku Melalui Metode Drill pada
Mahasiswa Minat Tari Sendratasik Semester III Unwira Kupang Tahun 2016/2017”.
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Shariasih, E. 2018. “Citra Kabupaten Manggarai Barat Dalam Arsip”. Arsip Nasional Republik
Indonesia.
Susilawati, D. A. P. 2010. “Peranan Museum Nusa Tenggara Timur dalam Pembelajaran dan
Pelestarian Tenun”. [Tesis] Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Pascasarjana
Arkeologi, Universitas Indonesia.
Wardani, O. K. 2017. “Laporan Praktikum Lapangan Terbimbing”. Pendidikan Seni Tari
fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai