OLEH:
KELOMPOK 2
Kepulauan Flores dan Lembata merupakan satu bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang cukup luas dengan keragaman kehidupan sosial masyarakat yang meliputi keunikan
budaya masyarakat salah satunya di bidang kesenian. Kesenian tradisional yang dimaksud yaitu
meliputi berbagai aktivitas sosial masyarakat termasuk dalam membangun peradaban. Contoh
penerapan kesenian tradisional dalam kehidupan praktis masyarakat yaitu rumah-rumah adat
yang masih dipelihara keberadaannya sampai sekarang, berbagai macam tarian, serta berbagai
macam jenis musik untuk mengiringi tari-tarian tersebut. Kebanyakan kesenian tersebut
merupakan warisan leluhur yang masih tetap dipertahankan dalam berbagai praktek ritual
kepercayaan yang masih dipercayai oleh masyarakat hingga saat ini.
Kepulauan Flores dan Lembata sendiri terdiri atas sembilan Kabupaten yang meliputi,
Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Sikka, Ende,
Flores Timur, dan Lembata. Setiap daerah kabupaten mempunyai tradisi dalam hal seni yang
beragam dan unik, sehingga dirasa perlu untuk mempelajari keragaman dan keunikan tiap daerah
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Caci secara etimologis berasal dari dua kata yakni Ca yang berarti satu dan Ci yang
berarti Lawan. Inti dari Tarian Caci bagi masyarakat manggarai pada umumnya merupakan satu
permainan untuk mengadu ketangkasan antara dua orang laki-laki. Adu ketangkasan dalam tarian
ini dilakukan dengan cara mencambuk dan menangkis cambukan lawan secara bergantian. Hal
tersebut membuat tarian caci terlihat seperti sebuah pertunjukan heroik dan indah karena
merupkan kombinasi antara Lomes (Keindahan gerak tubuh dan busana yang dipakai), Bokak
(Keindahan seni vokal saaat bernyanyi), serta Lime (Ketangkasan dalam mencambuk dan
menangkis cambukan lawan) (Jampi dkk., 2019).
Tarian Caci merupakan kesenian asli Manggarai yang penuh dengan keunikan-keunikan
mulai dari jenis tarian, kostum tari, pemain yang dilengkapi dengan larik (pecut), nggiling
(perisai), koret (penangkis), dan panggal (penutup kepala). Pemain bertelanjang dada, namun
mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan
sarung songke (songket khas Manggarai). Dibagian belakang dipakaikan ndeki sehingga akan
menyerupai ekor kerbau, dengan fungsinya untuk melindungi bagian bawah punggung
(pinggang). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga selutut untuk menutupi
sebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang untaian giring-giring yang
berbunyi mengikuti gerakan pemain. Topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari kulit
kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk
kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga
mata masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan yang dilakukan oleh penari, sampai
pada bentuk komposisi musik iringannya (Ingrida, 2017).
Bagian kepala dan wajah pemain hampir seluruhnya tertutup hiasan kepala dan kain
sarung (kain destar) yang dililit ketat di sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan
mata dari cambukan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kecuali
bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk
pinggang. Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang terbuka adalah sasaran cambuk. Caci
juga sekaligus merupakan medium pembuktian kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka
akibat cambukan dikagumi sebagai lambang maskulinitas. Caci penuh dengan simbolisme
terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di daerah Manggarai. Pecut
melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit. Perisai melambangkan ibu,
kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi
persatuan antara cambuk dan perisai. Kesenian ini ditampilkan diberbagai acara seperti syukuran
musim panen (hang woja), ritual tahun baru (penti), penyambutan tamu besar, dan diberbagai
acara adat lainnya (Ingrida, 2017). Lokasi dari pertunjukan caci ini sendiri biasanya
dilangsungkan dihalaman rumah adat. Kedua belah pihak yang akan bertanding didandani bak
seekor kerbau yang akan berlaga ke dalam medan pertempuran.
Dalam tarian kedua pemain akan bergantian menjadi pihak yang memukul dan pihak
yang dipukul. Pihak pemukul diperbolehkan untuk bergaya dan bernyanyi (embong larik) dengan
tujuan membuat lawannya terlena lalu memukulkan cemeti (Larik) yang terbuat dari kulit kerbau
ke bagian badan lawannya. Sedangkan pemain yang akan menerima pukulan dipersilahkan untuk
menggunakan nggiling (perisai dari kulit kerbau) dan agang (dari bambu) untuk menangkis
pukulan yang diberikan. Pertarungan berlangsung akan diiringi dengan bunyi pukulan gendang
dan ging serta nyanyian (nenggo atau dere) dari para pendukung (Jampi, dkk., 2019).
Tidak ada batasan berapa kali satu pasangan akan bergantian memukul dan menangkis.
Kecuali ada banyak orang yang ingin terlibat maka kesempatan tiap orang akan dibatasi dan
biasanya diatur oleh pimpinan rombongan masing-masing (tukang selek). Pihak yang memiliki
giliran memukul dapat memberikan haknya untuk memukul kepada orang-orang yang
dihormatinya atau yang dituakan seperti pemuka agama, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat
dan sebagainya. Namun, kewajiban untuk menangkis tidak dapat diberikan pada orang lain.
Dari berbagai penjelasan diatas jika dihubungkan dengan dunia kedokteran hewan dapat
dikatakan bertentangan baik perlengkapan busana maupun peralatan musik yang digunakan
masih terbuat dari bahan dasar kulit hewan-hewan tertentu seperti yang sudah disebutkan.
Namun, kembali lagi pada budaya yang telah menajdi kepercayaan sehingga pihak manapun
tidak dapat menolak adat yang memang bersifat turun-temurun dari nenek moyang hingga
sekarang. Sehingga, hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberikan edukasi bagi
masyarakat agar terus meningkatkan upaya pelestarian populasi ternak di NTT. Dengan
demikian hal yang diharapkan adalah adat boleh berlangsung sebagaimana mestinya dan disisi
lain pun masyarakat boleh ikut berperan dalam upaya pelesarian ternak.
Selain seni tari, seni musik juga biasanya ikut mewarnai kekhasan yang dimiliki
masyarakat manggarai pada umunya. Musik yang biasanya dibunyikan adalah gong dan gendang
yang terbuat dari kulit hewan seperti kerbau, kambing dan sapi. Kulit kambung jantan dalam hal
ini lebih disarankan karena diyakini lebih awet. Gendang hanya digunakan pada saat upacara-
upacara resmi. Gong (nggong) terbuat dari drum supaya menghasilkan bunyi yang gaung. Kayu
pukul gong diambil dari kayu kapuk (haju kawu), bagian depan area pukulan dilapisi kulit
kambing (luit mbe) khususnya alat kelamin kambing jantan (luit telo de mbe laki) (Jampi dkk.,
2019).
Gambar 2. Kiri: Alat musik Gendang, Kanan: Alat musik Gong. (Sumber: Kompas.com)
Nilai-nilai yang terkandung dalam Tarian ini adalah sebagai berikut (Jampi dkk., 2019):
1. Nilai bahasa dan Nyanyian yang melambangkan keindahan, keselarasan dan kerendahan
hati. Pembicaraan dan nyanyian akan dilakukan dengan menggunakan bahasa yang
indah dengan istilah-istilah yang menarik perhatian penonton. Bahasa yang digunakan
pun tidak menggunakan bahasa atau istilah yang dapat menyinggung pihak lain. Oleh
karena itu, seorang penari caci harus memiliki kecakapan dalam berbicara menggunakan
bahasa daerah manggarai.
2. Nilai cara berpakaian melambangkan terciptanya keseraisan dan kekompakan dalam
pertunjukan. Pakaian yang biasa digunkan adalah selendang, kain songke, ikat
pinggang, nggiring, penyokong kepala dan celana panjang berwarna putih. Kulit hewan
seperti kerbau dipilih sebagai bahan dasar perlengkapan tarian caci ini karena diyakini
melambangkan kekuatan, ketenangan, kerendahan hati dan tidak emosional. Sedangkan
bentuk bundar menampakan adanya satu titik pusat yang mengatur semuanya yakni
Tuhan yang Maha Esa.
3. Nilai etika dan moral yang terkandung dalam permainan caci berupa tanggung jawab
dan saling menghargai sesama dalam pertarungan sehingga akan tecipta situasi yang
kondusif.
4. Nilai darah, keringat dan Air Mata melambangkan Kejantanan, Keramaian, Kemegahan
dan Sportivitas. Selain itu, permainan ini juga dapat melambangkan kepahlawanan yang
tampak dalam permainan ini.
2. Sa’o Lobo (Rumah Akhir) berperan sebagai pemangku adat dan menjadi pemimpin serta
bertanggungjawab terhadap perawatan bangunan ngadhu. Dengan pandangan
konvensional, rumah ini adalah simbol “bapa” dan nilai “kebapaan”.
Gambar 6. Ngadhu.
Gambar 7. Bhaga.
6. Watu Lanu yang berada di tengah pelataran kampung merupakan bangunan megalit yang
mengapit bangunan ngadhu dan bagha.
Gambar 8. Watu Lanu.
Pada rumah-rumah adat juga terdapat beberapa simbol atau relief pahatan tradisional
pada rumah adat kampung Guru Sina, Kabupaten Ngada yang meliputi (1) Manu (ayam) yang
melambangkan kelantangan akan kenyataan dan kebenaran; (2) Jara (kuda) melambangkan
kekuatan/keperkasaan; dan (3) Zegu Kaba (tanduk kerbau) melambangkan kejayaan .
Selain komplek rumah adat, salah satu kesenian yang penting di Kampung Adat Guru
Sina yaitu tarian Ja’i. Ja’i merupakan ungkapan kegembiraan, sukacita, dan rasa syukur yang
dapat dilakukan sepanjang hari. Ja’i diwali dengan sapaan adat (Sa’ Ngaza) menari mengelilingi
Ngadhu dan Bhaga (simbol leluhur). Sa’Ngaza dilakukan oleh pemimpin yang dituakan di
kampung secara lantang sambil mengacungkan pedang pusaka sambil menggerakkan tangan
yang memegang pedang, diiringi gong gendang (go laba) (Djokaho, 2013).
Gambar 9. Sa’Ngaza.
Penari Ja’i terdiri dari penari pria maupun penari perempuan dengan jumlah yang tidak
terbatas, menggunakan properti seperti Sa’u atau pedang dipakai oleh penari laki-laki dipegang
pada tangan kanan. Kemudian sapu tangan dipakai oleh penari perempuan pada tangan kiri dan
kanan. Posisi penari untuk laki-laki berada disebelah kanan dan perempuan disebelah kiri
(Ceunfin, dkk., 2019). Pola gerakan dalam ja’i yaitu gerak berjalan “lari kecil”dengan kedua
tangan adakalanya digerakkan ke atas seperti ungkapan permohonan atau sebagai bentuk syukur
kepada Yang Maha Kuasa. Status sosial dalam melakukan Ja’i terlihat dari motif kain yang
dipakai penari. Motif kain kuda (jara ngai) melambangkan strata atas, sedangkan strata bawah
mengenakan kain bermotif wai manu (kaki ayam) (Djokaho, 2013).
Gambar 9. Tarian Ja’i.
A B C
Gambar 10. Kain tenun asal kabupaten Ngada. A = Kain Tenun Lu’e bermotif kuda. B = Kain
Tenun Sapu dengan motif kuda dan kaki ayam. C = Kain Tenun Lawo dengan motif kuda dan
kaki ayam.
Go Laba merupakan alat musik tradisional daerah ngada yang mengiringi tarian Ja’I dari
lima buah Gong dan dua buah Tambur. Lima buah gong ini mempunyai nama masing-masing
yaitu gong pertamanamanya Wela, gong kedua namanya Ute, gong ketiga namanya Dhere, gong
empat dan lima yaitu Go doa. Sedangkan tambur yang disebut dengan istilah laba terdiri dari dua
yaitu Laba Dhera dan Laba Wa’i/Toka.
Go atau Gong Ngada dalam permainannya dapat pula diletakan diatas bentangan tali,
digantung ataupun dipegang oleh pemain. Go Laba terdiri dua kata yaitu dua kata Go danLaba,
Go artinya Gong dan Laba artinya Gendang. Jadi Go Laba adalah seperangkat intrumen yang
merupakan alat music tradisional daerah Ngada. Dalam kehidupan masyarakat Ngada fungsi alat
music Go Laba digunakan dalam berbagai acara yaitu penjemputan tamu agung, acara syukuran,
pembuatan rumah ada, Ka Sa’o dan acara hiburan lainnya.
Permainan Go Laba yang dimainkan secara bersama-sama, setiap instrumen mempunyai
peran masing-masing. Yaitu Go Wela dalam penyajiannya berperan sebagai pembuka dan
penentu Atempo. Sedangkan Go Ute, Go Dhere, Go Doa, dan Laba Wai sebagai isian atau
pemanis dalam bahasa Ngada disebut Sipo. Laba Dhere berperan sebagai pengatur gerak ritme
tari ataupun pergantian gerak tari Ja’I (Ceunfin, dkk., 2019).
Gambar 11. Alat Musik Go Laba. A = Laba (Tambur). B = Go (Gong). C = Prosesi memainkan
musik dengan Go Laba.
b. Toda Gu
Dinamakan Toda Gu, karena tarian ini menggunakan alat musik pengiring berupa
gendang (Toda) dan bambu aur (Gu) yang ditabuh dalam nada dan irama, sehingga
menjadi satu kesatuan ekspresi gerak dan tari. Tarian Toda Gu adalah tarian kemenangan
bagi kaum laki-laki yang pulang perang di masa silam. Jadi kaum laki-laki Nagekeo saat
merayakan kemenangan perang menari-nari dengan tarian Todagu diiringi musik bambu.
Saat ini, tarian Toda Gu biasa ditarikan saat pembuatan maupun pemugaran rumah adat
(Sao Waja) maupun saat penancapan tiang agung di tengah kampung.
Tarian Toda Gu biasanya dibawakan oleh kaum laki-laki, karena merupakan tari
kemenangan setelah perang. Sementara khusus untuk kaum perempuan ada tarian Tea
Eku. Tarian Tea Eku merupakan tarian kaum perempuan atau para istri untuk
menyambut suami dan kaum laki-laki yang pulang perang dengan membawa
kemenangan. Untuk mengimbangi gerakan kaki, para penari tari Toda Gu menari
menggunakan tombak (Bhuja) dan Pedang (Topo).
Tari Hegong adalah salah satu tarian tradisional dari Maumere, Sikka, Nusa Tenggara
Timur (NTT). tarian ini biasanya dimainkan secara berkelompok oleh penari pria dan wanita
dengan berpakaian adat yang khas dan diiringi dengan musik Gong Waning. Tari Hegong
merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal dan sering di tampilkan di
berbagai acara seperti acara adat, penyambutan tamu penting, kesenian daerah dan berbagai
acara lainnya.
Pada pertunjukan Tari Hegong ini biasanya penari menggunakan kostum pakaian adat.
Pada penari wanita menggunakan busana seperti Labu Gate, Utan dan Dong warna-warni.
Pada bagian rambut dibuat Legen dan ditambahkan Hegin untuk memperkuat lingkaran
rambut serta diberi hiasan Soking. Tidak lupa menggunakan Gelang Gading pada
pergelangan tangan mereka. Sedangkan untuk penari pria biasanya menggunakan busana
seperti Lipa Prenggi atau Lipa Mitan dan tenun ikat khas Sikka.
Dalam tarian ini, para penari dilengkapi dengan ikun, lesu, dan reng sebagai atribut
menarinya. Ikun merupakan senjata seperti pisau yang terbuat dari kayu dan dihiasi dengan
ekor kuda. Lesu merupakan sejenis sapu tangan yang digunakan sebagai pelengkap gerakan
tangan para penari. Sedangkan Reng adalah sejenis gelang kaki yang dilengkapi dengan
kelinting.
Gambar 13. Penari wanita dan laki-laki.
Setiap gerakan dan babak yang ditampilkan dalam Tari Hegong ini tentu memiliki arti
atau makna tersendiri. Hal tersebut bisa kita lihat dari pertunjukannya. Pada babak pertama
dibuka dengan gerakan berirama cepat dan sentakan kaki, menggambarkan semangat para
penari. pada babak kedua, para penari membuat lingkaran dimana penari wanita dikelilingi
penari pria, menggambarkan jiwa kaum lelaki dalam mempertahankan dan melindungi kaum
wanita. Pada babak ke tiga biasanya merupaka gerakan kreasi yang menggambarkan
kerjasama antara pria dan wanita. Sedangkan pada babak akhir, salah seorang penari pria
diangkat keatas menggambarkan bahwa di sedang memantau musuh atau lawan dan penari
yang dibawah menggambarkan kesiagaan mereka dalam menghadapi serangan.
Gong sendiri memiliki nada yang berbeda-beda, dari nada rendah sampai tinggi ,juga
dari yang ukuran kecil sampai yang besar. Gong antara lain; gong Inan (besar), gong Lepen
(sedang), gong Udong Beit (kecil) dan gong Anak (paling kecil). Cara memainkan gong yaitu
dengan cara dipukul dengan kayu yang ujungnya ada gulungan karet ban. Sementara itu
waning adalah alat musik seperti gendang. Alat musik ini terbuat dari batang kelapa dan kulit
sapi atau kambing yang sudah dikeringkan. Waning (gendang) itu ada dua jenis yaitu
gendang besar dangen gendang kecil. Cara memainkan waning itu dengan cara menabuh
dengan kayu dan juga bisa langsung pakai tangan. Kemudian yang terakhir adalah
pelianak/sa'ur. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang panjangnya sekitar 1,5
meter. Sa'ur ini berfungsi untuk mengatur irama Gong Waning (gong dan gendang). Cara
memainkan sa'ur ini yaitu dengan memukul dengan dua kayu kecil secara bergantian.
Selain tarian, kesenian di kabupaten Ende juga berupa kain tenun yang dihasilkan
masyarakat secara turun temurun. Masyarakat ende umumnya beranggapan bahwa kegiatan seni
merupakan kegiatan yang memerlukan budi rasa halus, salah satunya dengan menenun. Setiap
sarung tenunan Ende biasanya berwarna dasar merah tua kecoklatan dengan motif flora dan
fauna seperti kuda, ayam, dan burung untuk wanita, serta kain sarung tenunan untuk pria
bermotif jalur-jalur geometris dengan warna hitam atau biru kehitam-hitaman (Susilawati, 2010).
2. Tarian Hama/hamang
Tarian ini bersifat religius karena bertujuan untuk memberi penghormatan serta
mengenang roh-roh nenek moyang yang bagi masyarakat Lamaholot mempunyai jasa besar
kehidupan mereka. Tarian Hamang adalah tarian kegembiraan untuk pria dan wanita. Tarian
Hamang merupakan tarian gabungan pria dan wanita dengan kolaborasi nyanyian yang
sangat indah. Tarian ini biasa dibawakan tanpa iringan gong dan gendang. Para penari sendiri
mengiringi tarian mereka dengan bunyi giring-giring yang sangat harmoni serta nyanyian
lagu-lagu adat yang merdu dan syarat makna. Tarian Hamang merupakan tarian yang sangat
momental. Ia hanya dibawakan pada saat pesta pula mang dan lodong anak atau hone koko
(membangun rumah adat). Hal lainnya yang membuat tarian ini tampak lebih menarik adalah
karena dibawakan dalam bentuk kelompok yang besar. Hadir di sana seorang penyanyi solo
yang berdiri di tengah barisan penari yang melingkarinya. Ia membawakan lagu-lagu adat
dengan tema-tema tertentu, seperti sejarah asal-usul (usa-asa) atau hal-hal semacamnya. Pada
bagian tertentu, ia bersama kelompok penari saling berbalas nyanyian, ia sendiri di satu pihak
dan seluruh anggota penari di pihak lain. Pada saat solis membawakan sendiri nyanyiannya
gerakan diperlambat sedangkan ketika berbalas nyanyian gerakan semua penari dipercepat
dengan hentakan kaki yang kuat.
b. Tarian Kolewalan.
Tarian ini dilakukan dengan cara bergandengan tangan dalam satu lingkaran, baik
itu lingkaran penuh maupun setengah lingkaran, sambil mengehentakan kaki bersamaan,
mengayunkan tangan secara serentak, diiringi oleh nyanyian lagu dan bunyi gendang.
Tarian ini hanya bisa dipimpin oleh seorang tua adat, dimainkan diluar rumah adat pada
upacara Ahar.
c. Tarian Holobeba
Tarian ini hanya dapat dimainkan pada saat upacara Hemelung Ketane dalam
upacara Ahar yakni pada saat pemetikan daun hemelung. tarian Holobeba terdiri dari dua
baris berbanjar dengan tangan berjabatan. Gerakannya pun unik berupa hentakan kaki
yang penuh semangat dan setengah berlari satu arah yakni dari rumah adat menuju ke
tempat pemetikan daun hemelung yang berjarak ± 50 meter.
2. Anyaman Daerah
Kegiatan menganyam biasanya dilakukan pada waktu luang yakni selepas
mengerjakan urusan rumah tangga. Bahan yang digunakan oleh masyarakat untuk
menganyam adalah pucuk daun lontar yang dijemur kering. Daripucuk daun lontar kering
tersebut, masyarakat kemudian merakitnya menjadi sebuah anyaman. Hasil anyaman
masyarakat itu biasanya berfariasi seperti tikar, kipas, sokal (tempat untuk menyimpan hasil
panen ladang) dan lain sebagainnya. Hasil anyaman ini memiliki nilai seninya tersendiri.
Selain itu juga kwalitas anyaman dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Oleh karena itu
hasil anyaman ini selain digunakan oleh masyarakat untuk keperluan rumah tangganya,
dapat juga dijual untuk mendapatkan uang demi mencukupi kebutuhan hidup yang lainnya.
Kepulauan Flores dan Lembata merupakan satu bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang cukup luas dan terdiri atas sembilan Kabupaten yang meliputi, Kabupaten
Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Sikka, Ende, Flores Timur,
dan Lembata. Setiap daerah kabupaten mempunyai tradisi dalam hal seni yang beragam dan
unik.
Kesenian tradisional dalam kehidupan praktis masyarakat yaitu rumah-rumah adat yang
masih dipelihara keberadaannya sampai sekarang, berbagai macam tarian, serta berbagai macam
jenis musik untuk mengiringi tari-tarian tersebut. Kebanyakan kesenian tersebut merupakan
warisan leluhur yang masih tetap dipertahankan dalam berbagai praktek ritual kepercayaan yang
masih dipercayai oleh masyarakat hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ceunfin, F., M. Kian, M. K. A. C. S. D. Tukan. 2019. “Analisa Unsur Musikal Go Laba Musik
Tradisional Ngada Sebagai Iringan Tarian Ja’i pada Sanggar Mora Masa Kel. Tuak Daun
Merah (TDM 02) Kec. Oebobo-Kupang”. Jurnal Ekspresi Seni 21 (1): 29-38.
Djawa, B. W. 2019. “Musik Ndoto dalam Ritual Ngagha Mere di Kampungwajo Kecamatan Keo
Tengah Kabupaten Nagekeo Flores Nusa Tenggara Timur”. Institut Seni Indonesia
Yogyakarta.
Djokaho, M. P. E. 2013. “Pergeseran Fungsi Tari Ja’i dari Ritual ke Profan di Kota Lampung”.
[Tesis] Universitas Pendidikan Indonesia. Halaman: 40-96.
Ingrida Trifiani Kantor. 2017. “Pelestarian Tarian Caci Sebagai Tarian Khas Manggarai Desa
Lante Kecamatan Reok Barat”. Yogyakarta.
Jampi, Hironimus. Nawir Muhammad, Hadisaputra. 2019. Nilai Kesenian Budaya Tarian Caci
pada Masyarakat Manggarai Kabupaten Manggarai Timur. Jurnal Pendidikan Sosiologi.
Equilibrium : Makassar.
Kojaing, K. 2017. “Makna Spiritualitas Musik Gong Waning dalam Ritual Adat Kematian
Masyarakat Hewokloang Kabupaten Sikka Flores NTT”. Program Penciptaan dan
Pengkajian Pasca Sarjana Jurusan Pengkajian Seni Musik Institut Seni Indonesia
Yogyakarta.
Mati. T. R. 2019. “Tari Gawi: Simbol Identitas Budaya Masyarakat Suku Lio Kabupaten Ende”.
Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Ndike, M. M. 2016. “Upaya Pembelajaran Tari Tradisional Tea Eku Melalui Metode Drill pada
Mahasiswa Minat Tari Sendratasik Semester III Unwira Kupang Tahun 2016/2017”.
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Shariasih, E. 2018. “Citra Kabupaten Manggarai Barat Dalam Arsip”. Arsip Nasional Republik
Indonesia.
Susilawati, D. A. P. 2010. “Peranan Museum Nusa Tenggara Timur dalam Pembelajaran dan
Pelestarian Tenun”. [Tesis] Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Pascasarjana
Arkeologi, Universitas Indonesia.
Wardani, O. K. 2017. “Laporan Praktikum Lapangan Terbimbing”. Pendidikan Seni Tari
fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.