Padang Rumput Pune
Padang Rumput Pune
Sejak kecil aku ditinggal oleh ayahku, ibuku. Ayahku? Kudengar beliau sedang
merantau mencari uang demi kehidupan rumah tanggaku. Ibuku? Oh, ibuku. Beliau
meninggalkanku seorang diri dan kuteringat ia pernah berkata kepadaku sebelum
kepergiannya,’’ Maaf, kehidupan ini terlalu rumit. Kamu harus mencari arti semua ini
sendirian. Aku akan mencari bala bantuan untukmu.’’ Beliau pun pergi dan tak
kembali sampai sekarang. Hidupku? Hmm.. Aku berumur 12 tahun dengan sikap dan
sifat yang lebih tua 10 tahun dibanding anak sebayaku lainnya. Aku sudah
beradaptasi dengan kerasnya hidup dan lenanya dunia. Terkadang hidup itu sulit,
namun kesulitan tersebutlah yang membuat kita menjadi lebih waspada terhadap
apapun. Kesalahan yang sudah terjadi, tak akan terubah. Ini lebih baik dan aku
sangat bersyukur sekali ,terdapat satu orang yang menyayangiku. Beliau bernama
Pune. Pune.. Pune... lucu sekali bukan? Beliau ingin dipanggil seperti itu. Beliau
berkepala 5 jelasnya. Beliau menyediakan kebutuhan primer,sekunder,dan tempat
sandang untukku. Dia melakukan itu karena ia merasa harus melakukan itu. Ia
mengajarkanku tentang banyak ilmu,lebih banyak daripada ilmu yang diajarkan di
sekolah. Ilmu yang paling kusukai adalah ilmu ‘Bertahan hidup dengan berpikir
logika’ kelak aku akan menggunakannya saat dibutuhkan. Aku lupa bagaimana Pune
dapat mengasuhku sampai selama ini, oleh karena itu aku sering mencari tahu.
Pune dan aku bertempat tinggal di tengah padang berselimut rumput hijau.
Pune memiliki banyak hewan ternak. Kaba, sapi betina milik Pune. Pala, domba kecil
yang suka mengekoriku, dan lain-lain. Rumahnya terbuat dari kayu jati yang sangat
kokoh sekali, di samping rumahnya terdapat banyak pot yang berisi bunga yang
sangat indah. Setiap pagi aku selalu menciup aroma bunga mawar yang wanginya
semerbak. Pune menyayanginya sebagai anak. Pune sangat pintar sekali menata
bunga-bunga tersebut, semua selalu indah dibuatnya. Aku sungguh mencintainya.
Esoknya sekitar jam 7 pagi para warga telah berkumpul di pusat kota, aku
sudah berada di pusat kota sejak jam 6 pagi. Aku sangat penasaran dengan
diungsikannya kami dan aku merasa sedih karena Pune tidak membawa hewan
ternaknya. Meskipun begitu, Pune nampak lebih bersemangat daripada pada hari-
hari biasa. Setelah sekian lama kami menunggu, para penjaga kota mengarahkan
kami untuk menaiki kereta kuda yang dapat dimuat sebanyak 4 orang. Pune
menyuruhku untuk menaiki keretanya duluan, aku menurut. Di dalam kereta kuda
terdapat pasangan suami istri menangis, aku merasa takut. Mereka pun mencoba
menenangkan diri lalu menghiburku, ‘’Tenang ya nak, semua ini pasti akan berlalu.
Perang dingin ini pasti akan berlalu. Sabar ya nak.’’