Anda di halaman 1dari 12

INFEKSI

Infeksi atau jangkitan adalah serangan dan perbanyakan diri yang dilakukan oleh patogen pada
tubuh makhluk hidup.Patogen penyebab infeksi di antaranya mikroorganisme seperti virus, prion, bakteri,
dan fungi. Sementara itu, parasit seperti cacing dan organisme uniseluler juga dapat menyebabkan infeksi,
meskipun terkadang istilah infeksi dan infestasi dipakai bergantian untuk menyebut serangan agen parasitik.
Serangan patogen-patogen tersebut, maupun racun yang mereka hasilkan, dapat menimbulkan penyakit pada
organisme inang. Penyakit infeksi merupakan penyakit yang dihasilkan oleh infeksi.
Individu terinfeksi dapat melawan infeksi menggunakan sistem imun mereka. Mamalia yang
terinfeksi bereaksi dengan sistem imun bawaan, yang sering kali melibatkan peradangan, dan kemudian
diikuti oleh sistem imun adaptif.
Obat-obatan khusus yang digunakan untuk mengobati infeksi termasuk antibiotik, antivirus, antijamur,
antiprotozoa, dan antelmintik. Penyakit infeksi mengakibatkan 9,2 juta kematian pada tahun 2013 (sekitar
17% dari semua kematian).[3] Cabang kedokteran yang berfokus pada infeksi juga disebut penyakit infeksi
Infeksi merupakan salah satu resiko kerja bagi para petugas kesehatan. Mikroorganisme merupakan
agen penyebab infeksi, termasuk di dalamnya bakteri, virus, fungi dan parasit. Berbagai macam
mikroorganisme yang diduga dapat menginfeksi tenaga kerja medis di kedokteran gigi, diantaranya
termasuk HIV, Virus hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C
(HCV), virus herpes simplex tipe 1 dan 2, Mycobacterium tuberkulosis, Staphylococci, Streptococci,
dan lain-lain. Adanya orang- orang yang terinfeksi virus hapatitis B dan C dan HIV, infeksi silang menjadi
perhatian utama bagi dokter gigi dan tenaga kerja kesehatan gigi lainnya. Jalur utama terjadinya penularan
penyakit infeksi dalam bidang kedokteran gigi yaitu melalui kulit atau mukosa yang terluka oleh benda
tajam atau jarum suntik. Umumnya infeksi tersebut disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang terdapat
pada darah, saliva, dan plak gigi. Banyak sumber penularan infeksi pada praktek dokter gigi antara lain
tangan, saliva, sekresi saluran pernafasan, debu/partikel pengeburan gigi, percikan darah, pakaian, dan
rambut, demikian pula instrumen gigi serta peralatan lainnya. 5 Dokter gigi, stafnya dan juga pasien
memiliki resiko tinggi berkontak dengan mikroorganisme patogen. Saat melakukan berbagai prosedur di
dalam rongga mulut pasien. Mikroorganisme tersebut dapat menginfeksi melalui luka atau abrasi pada kulit
tangannya. Lesi atau luka pada kulit ini dapat mempermudah penetrasi bakteri patogen dan virus kedalam
tubuh. Sebaliknya, pasien pun dapat pula tertular penyakit yang diderita oleh dokter giginya. Hal itu dapat
terjadi apabila tangan petugas yang terluka berada dalam mulut pasien, darah yang patogen atau
mikroorganisme lainnya akan pindah secara langsung pada mulut pasien. Sebagian dari masalah yang ada
terletak pada fakta bahwa banyak praktisi dan tenaga pembantunya yang gagal mengenali atau memahami
potensi infeksi yang dibawa oleh saliva dan darah selama perawatan. Mengabaikan tindakan dan prosedur
perlindungan efektif dapat mengakibatkan orang lain, termasuk keluarga praktisi dan pasien lain
menghadapi resiko terkena
penyakit yang lebih besar. Resiko ini seringkali terabaikan karena sebagian percikan dari rongga
mulut pasien tidak mudah dilihat.3 Pengendalian infeksi silang bertujuan mencegah terjadinya infeksi akibat
penularan baik dari pasien ke dokter gigi atau staf kesehatan maupun sebaliknya. Dalam hal ini, Centre for
Disease Control (CDC) merekomendasikan apa yang disebut sebagai kewaspadaan universal (universal
precaution). Kewaspadaan universal adalah bahwa semua darah dan cairan tubuh yang berada di lingkungan
kerja harus dianggap sebagai bahan yang dapat menimbulkan infeksi. Bersama dengan American Dental
Association (ADA), CDC menyusun tahapan kewaspadaan universal sebagai berikut: 1) perlindungan
pribadi, 2) sterilisasi dan desinfeksi bahan/alat serta daerah kerja dan desinfeksi permukaan di ruang praktek
yang mungkin terciprati atau tersentuh bahan yang terkontaminasi, dan 3) pembuangan limbah yang benar.

Penyebab
Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai entitas biologi yang dikenal dengan sebutan agen infeksi.
Kata sifat patogenik disematkan kepada entitas biologi yang mampu menimbulkan penyakit, misalnya
bakteri patogenik dan cacing patogenik. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua bakteri dan cacing
bersifat patogenik; banyak di antara mereka yang mampu hidup dan berkembang biak tanpa menyerang dan
menimbulkan penyakit pada organisme lain. Entitas biologi yang mengakibatkan penyakit disebut sebagai
patogen, dan sering disinonimkan dengan agen infeksi.
Penyakit infeksi disebabkan oleh organisme infeksius, seperti bakteri, virus, fungi, prion, dan cacing.
[5]
Dalam penggunaan medis, agen infeksi dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu mikroorganisme
patogenik (bakteri, virus, prion, fungi) dan parasit (seperti cacing, protozoa, dan artropoda).[6][7] Meskipun
secara konseptual serupa dengan infeksi, tetapi serangan parasit pada tubuh manusia atau hewan biasanya
disebut infestasi alih-alih infeksi. Umumnya, istilah infestasi digunakan untuk menyebut serangan
ektoparasit, misalnya kutu, tungau, caplak, dan pinjal, yang menginvasi bagian luar tubuh inangnya dalam
jumlah besar.

Jenis infeksi
Jenis infeksi lain terdiri dari infeksi campuran, iatrogenik, nosokomial, dan infeksi yang didapat dari
masyarakat. Infeksi campuran adalah infeksi yang disebabkan oleh dua atau lebih patogen. Contohnya
adalah apendisitis, yang disebabkan oleh Bacteroides fragilis dan Escherichia coli. Jenis kedua adalah
infeksi iatrogenik, yaitu infeksi yang ditularkan dari petugas kesehatan ke pasien. Infeksi nosokomial, yaitu
infeksi yang didapat saat dirawat di rumah sakit, juga terjadi pada faslitias layanan kesehatan. Terakhir,
infeksi yang didapat dari masyarakat adalah infeksi yang didapat dari seluruh komunitas.[

Penularan
Agar agen penginfeksi dapat bertahan dan mengulangi siklus infeksi pada inang lain, mereka (atau
keturunannya) harus meninggalkan inang atau reservoir yang ditempatinya dan menyebabkan infeksi di
tempat lain. Penularan infeksi dapat terjadi melalui banyak rute:
 Kontak tetesan atau percikan, yang juga dikenal sebagai rute pernapasan, dan infeksi yang
diakibatkannya dapat disebut penyakit bawaan udara. Jika orang yang terinfeksi batuk atau bersin
dan partikelnya sampai ke orang lain, mikroorganisme, yang tersuspensi dalam tetesan yang hangat
dan lembab, dapat masuk ke dalam tubuh melalui permukaan hidung, mulut atau mata.
 Penularan fekal–oral, yaitu ketika bahan makanan atau air menjadi terkontaminasi partikel feses
(oleh orang-orang yang tidak mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan atau limbah yang tidak
diolah dilepaskan ke dalam air minum) sehingga orang-orang yang makan dan minum menjadi
terinfeksi. Patogen yang ditularkan melalui metode ini di antaranya Vibrio cholerae, spesies Giardia,
Rotavirus, Entamoeba histolytica, Escherichia coli, dan cacing pita.[27] Sebagian besar patogen ini
menyebabkan gastroenteritis.
 Penularan seksual, dengan penyakit yang dihasilkan disebut penyakit menular seksual.
 Penularan melalui mulut. Penyakit yang ditularkan terutama melalui kontak oral langsung seperti
ciuman, atau melalui kontak tidak langsung seperti dengan berbagi gelas minum atau rokok.
 Penularan melalui kontak langsung, Beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui kontak atau
sentuhan langsung termasuk tinea pedis, impetigo, dan kutil.
 Penularan melalui benda mati, misalnya makanan, air, dan tanah yang terkontaminasi.[28]
 Penularan vertikal, yaitu penularan langsung dari ibu ke embrio, janin, atau bayi selama kehamilan
atau persalinan. Hal ini bisa terjadi ketika ibu mendapat infeksi sebagai penyakit penyerta dalam
kehamilan.
 Penularan iatrogenik, karena prosedur medis seperti injeksi atau transplantasi bahan yang terinfeksi.
 Penularan melalui vektor, yaitu organisme yang tidak menderita penyakit tetapi ikut menularkan
infeksi dengan membawa patogen dari satu inang ke inang lainnya.[29]
Hubungan antara virulensi dan penularan sangat kompleks; jika suatu penyakit bersifat fatal, inang dapat
mati sebelum patogen dapat ditularkan ke inang lain

Pencegahan
Beberapa metode seperti mencuci tangan dan mengenakan alat pelindung diri seperti masker dapat
membantu mencegah infeksi dari satu orang ke orang lain. Teknik aseptik diperkenalkan dalam kedokteran
pada akhir abad ke-19 dan sangat mengurangi insiden infeksi yang disebabkan oleh pembedahan. Sering
mencuci tangan tetap menjadi cara paling penting untuk mencegah penyebaran organisme yang tidak
diinginkan.[33] Beberapa bentuk pencegahan lain seperti menerapkan pola hidup higienis, menjaga sanitasi,
berolahraga dengan teratur, mengonsumsi diet seimbang, dan serta memasak makanan dengan baik juga
penting untuk mencegah infeksi.
Zat antimikrob yang digunakan untuk mencegah penularan infeksi meliputi:
 antiseptik, yang diaplikasikan pada jaringan hidup, misalnya kulit.
 disinfektan, yang menghancurkan mikroorganisme pada benda mati.
 antibiotik, dalam konteks profilaksis bila diberikan sebagai pencegahan dan bukan sebagai
pengobatan infeksi. Namun, penggunaan antibiotik jangka panjang mengakibatkan resistansi.
Pemakaian antibiotik lebih banyak dari yang diperlukan, memungkinkan bakteri bermutasi sehingga
menjadi kebal.
Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat penularan penyakit infeksi adalah mengenali
perbedaan sifat berbagai penyakit.[34] Beberapa karakteristik penting yang harus diperhatikan di antaranya
virulensi patogen, jarak yang ditempuh oleh penderitanya, dan tingkat penularan. Galur virus Ebola pada
manusia, misalnya, membunuh penderitanya dengan cepat. Akibatnya, para penderita penyakit ini tidak
punya kesempatan untuk bepergian jauh dari zona infeksi awal.[35] Selain itu, virus ini harus menyebar
melalui lesi kulit atau membran permeabel seperti mata. Dengan demikian, tahap awal penyakit Ebola tidak
terlalu menular karena korbannya hanya mengalami pendarahan internal. Sebagai hasil dari karakteristik di
atas, penyebaran penyakit Ebola sangat cepat dan biasanya tetap dalam area geografis yang relatif terbatas.
Sebaliknya, HIV membunuh korbannya dengan sangat lambat dengan menyerang sistem kekebalan tubuh
mereka.[16] Akibatnya, banyak dari korbannya menularkan virus ke orang lain bahkan sebelum menyadari
bahwa mereka membawa penyakit itu. Selain itu, virulensi yang relatif rendah memungkinkan para
penderitanya untuk melakukan perjalanan jarak jauh, yang meningkatkan kemungkinan terjadinya epidemi.
Metode umum untuk mencegah penularan patogen yang ditularkan melalui vektor adalah pengendalian
vektor tersebut. Pemutusan siklus hidup vektor akan memutus penyebaran agen infeksi yang dibawanya.
Jika infeksi hanya dicurigai dan belum dapat dipastikan, seorang individu dapat dikarantina sampai masa
inkubasi selesai untuk menunggu manifestasi penyakit muncul atau memastikan orang yang dikarantina
tetap sehat. Selain terhadap individu, karantina juga dapat diterapkan terhadap kelompok atau populasi.
Dalam suatu komunitas, cordon sanitaire dapat dikenakan untuk mencegah infeksi menyebar d
i luar komunitas tersebut, atau sekuestrasi protektif untuk mencegah infeksi masuk ke dalam komunitas.
Otoritas kesehatan masyarakat dapat menerapkan bentuk-bentuk pencegahan lain seperti pembatasan sosial
dalam bentuk penutupan sekolah, untuk mengendalikan epidemi.
APD
Di era pandemi COVID-19 ini, penggunaan alat pelindung diri (APD) sangatlah penting untuk
menurunkan risiko penularan penyakit infeksius pada tenaga medis karena dapat menghindarkan kontak
dengan patogen. Hal-hal yang perlu diketahui tenaga medis terkait APD adalah jenisnya, cara melepaskan,
dan bagaimana meningkatkan kepatuhan tenaga medis dalam menggunakan APD.
Terdapat berbagai penyakit sangat infeksius yang bisa menyebabkan pandemi, seperti penyakit virus
Ebola, severe acute respiratory syndrome (SARS), influenza, dan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
akibat infeksi virus Corona 2019-nCoV yang sedang merebak saat ini. Kontak dengan penyakit-penyakit
sangat infeksius dengan angka fatalitas penyakit yang tinggi tersebut, membuat banyak tenaga medis
meninggal di daerah pandemik. Di Liberia, Sierra Leone, dan Guinea sebanyak 869 tenaga medis terjangkit
Ebola dan lebih dari separuhnya meninggal dunia.
Penyakit-penyakit sangat infeksius tersebut dapat menular melalui kontak dengan droplet batuk
maupun bersin penderita, kontak dengan darah dan cairan tubuh penderita, needle stick injury, bahkan
kontak dengan benda-benda yang sudah terkontaminasi patogen. Dokter, perawat, dan tenaga medis lain di
fasilitas kesehatan memiliki peluang untuk kontak langsung dengan pasien-pasien tersebut dan berisiko
tinggi untuk tertular. Penyakit seperti Ebola dan SARS belum memiliki vaksinasi maupun pengobatan yang
efektif, oleh karena itu penggunaan APD (personal protective equipment)  memegang peranan penting
dalam melindungi tenaga medis.[3,4]

Jenis Alat Pelindung Diri


Pakaian pelindung, sarung tangan, masker, hoodie, respirator, kacamata pelindung (goggles),
pelindung wajah, dan sepatu boots merupakan alat pelindung diri yang direkomendasikan saat menangani
pasien tersangka kasus infeksi sangat menular. Pemilihan jenis alat pelindung diri sebaiknya disesuaikan
dengan tipe paparan (aerosol, percikan darah atau cairan tubuh, bersentuhan dengan pasien atau jaringan
tubuh), jenis prosedur atau aktivitas yang dikerjakan, serta ukuran yang sesuai dengan pengguna.

Baju Pelindung
Menurut tinjauan Cochrane yang dipublikasikan pada Juli 2019, penggunaan jubah (gown)
memberikan perlindungan terhadap kontaminasi lebih baik dibandingkan apron. Studi ini juga menyebutkan
bahwa material baju pelindung yang lebih breathable tidak meningkatkan risiko kontaminasi dibandingkan
material yang lebih tahan air. Jenis material ini bahkan bisa meningkatkan kenyamanan pengguna. Namun,
perlu dicatat bahwa kesimpulan ini ditarik dari studi dengan kualitas bukti yang rendah. Prinsip baju
pelindung yang lain adalah sekali pakai, serta ukurannya sesuai dengan pengguna sehingga tidak
menghambat pergerakan.
Di Eropa, baju pelindung menggunakan standar EN 14126, yang membagi tipe baju pelindung
menjadi 6 kelas. Baju pelindung kelas 6 memiliki perlindungan paling baik, yang bahkan mampu
melindungi dari partikel bakteriofag pada tekanan hidrostatik 20 kPa. Di Amerika Serikat, digunakan
standar ANSI/AAMI PB70 2012 untuk jubah pelindung. Berdasarkan standar tersebut baju pelindung dibagi
menjadi 4 kelas. Efek perlindungan yang diberikan oleh baju pelindung kelas 4 paling baik, yakni mampu
melindungi dari kontaminasi virus pada tekanan 2 psi. WHO menganjurkan penggunaan EN 13795 atau
ANSI/AAMI PB70 2012 kelas 3 atau kelas 4 untuk proteksi tenaga medis pada kasus Ebola.

Pelindung Mata
Alat pelindung diri untuk bagian mata bisa menggunakan goggles atau face shield. Atribut alat
pelindung diri tersebut berguna untuk melindungi mata dari  kontaminasi patogen berupa droplet, percikan
darah, atau cairan tubuh pasien. Face shield dapat dikenakan di luar goggles untuk melindungi bagian wajah
seluruhnya. Face shield dan goggles biasanya dapat dipakai ulang, namun harus dibersihkan dengan cara
direndam menggunakan larutan klorin yang diencerkan 1:49 kemudian dibilas dengan air bersih.

Masker
Pada sebuah penelitian (low evidence) penggunaan masker dengan bahan
yang breathable mendapatkan angka kepuasaan pengguna yang lebih baik dan tidak menyebabkan
kontaminasi yang lebih tinggi secara signifikan. Penggunaan powered air-purify respirator (PAPR)
memberikan perlindungan yang lebih baik ketimbang penggunaan respirator atau alat pelindung jenis lain
(RR 0,27; 95% CI 0,17-0,43). PAPR merupakan salah satu jenis respirator dengan blower elektrik dengan
baterai untuk menyaring udara masuk. PAPR dianjurkan digunakan bila masker N95 tidak sesuai dengan
bentuk wajah atau bila akan melakukan prosedur yang memproduksi gas aerosol.
Sarung Tangan dan Sepatu Boot
Sarung tangan mencegah kontak kulit tangan dengan darah, cairan tubuh, droplet, jaringan tubuh,
dan benda-benda yang terkontaminasi patogen. Sarung tangan sebaiknya digunakan sekali pakai. Panjang
sarung tangan sebaiknya melewati pergelangan tangan dan ukurannya sesuai sehingga bagian lengan baju
pelindung dapat dimasukkan ke dalamnya. Hasil tinjauan Cochrane menemukan bahwa penggunaan sarung
tangan ganda (double gloving) menurunkan kontaminasi dibandingkan penggunaan tunggal.
Untuk bagian kaki, alat pelindung diri yang digunakan berupa sepatu boot dari bahan karet atau bahan tahan
air lainnya yang bisa ditambah dengan penggunaan boot cover di bagian luarnya.[

Modifikasi Bentuk APD


Modifikasi bentuk alat pelindung diri (APD) dengan tujuan proteksi yang lebih tinggi dapat
menurunkan risiko kontaminasi. Jenis modifikasi ini misalnya kombinasi jubah dan sarung tangan yang
dapat dilekatkan (RR 0,27), atau jubah dengan bentuk yang lebih ketat di bagian leher dan pergelangan
tangan (RR 0,08).

Cara Penggunaan Alat Pelindung Diri


Ada berbagai pedoman terkait cara penggunaan alat perlindungan diri (APD), antara lain CDC 2014,
WHO  2014, European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) 2014, dan Australian NHMRC
(National Health and Medical Research Council) 2010.
Berbeda dengan pedoman lainnya, menurut ECDC 2014, penggunaan APD harus ditambah dengan
pemberian plester di pergelangan sarung tangan, bagian yang terbuka di sepatu boot, dan bagian
tepi goggles untuk memastikan tidak ada bagian yang terbuka. WHO menyatakan bahwa penggunaan
plester tidak diperlukan apabila ukuran APD sudah sesuai dan tidak ada celah antara baju pelindung dengan
sarung tangan atau sepatu boot. Penggunaan plester yang terlalu banyak membuat proses pemakaian
(donning) menjadi lama, sulit saat melepaskan, serta berisiko merusak sarung tangan atau baju pelindung
saat melepaskan plester.
Pedoman WHO 2014 menganjurkan penggunaan sarung tangan ganda ketika melakukan prosedur
berisiko tinggi atau akan melakukan kontak dengan cairan tubuh pasien. Selama kontak dan melakukan
prosedur pada pasien, seluruh atribut APD tidak boleh dilepas, kecuali mengganti sarung tangan bagian luar.
Sarung tangan luar dapat diganti segera setelah melakukan satu prosedur medis dengan kontaminasi yang
signifikan. Tenaga medis harus segera melepaskan APD di area doffing apabila terkena cairan tubuh atau
darah dalam jumlah signifikan, serta bila ditemukan adanya robekan pada sarung tangan atau bagian lengan
yang tidak tertutupi oleh sarung tangan.

Teknik Penggunaan Alat Pelindung Diri


Saat melakukan prosedur pemakaian alat pelindung diri (APD), perlu ada seorang petugas terlatih yang
melakukan supervisi prosedur sesuai protokol dan juga seorang asisten yang membantu memakaikan atribut
tertentu. Berikut ini prosedur penggunaan (donning) APD:
1. Sebelum menggunakan alat pelindung diri, petugas melepaskan seluruh perhiasan yang dikenakan
termasuk jam tangan. Petugas yang berambut panjang harus mengikat rambut. Petugas yang
berkacamata harus melekatkan kacamata supaya tidak jatuh
2. Inspeksi kondisi alat pelindung diri, memastikan ukurannya sesuai dengan tubuh petugas dan tidak
ada kerusakan pada alat
3. Lakukan cuci tangan (hand hygiene)
4. Kenakan sepatu Lalu, pasang boot cover, ikat tali yang melingkari boot cover. Usahakan tangan
tidak menyentuh lantai. Tahap ini sebaiknya dikerjakan dalam posisi duduk
5. Kenakan sarung tangan (dalam)
6. Kenakan baju pelindung dan buat agar lengan baju menutupi pergelangan sarung tangan dalam.
Pastikan semua bagian lengan sarung tangan masuk di bawah lengan baju pelindung. Pakaikan
plester di pergelangan tangan apabila masih ada celah antara baju dengan sarung tangan
7. Kenakan masker N95. Pastikan seluruh bagian tepi menyesuaikan bentuk wajah sehingga tidak ada
celah.
8. Kenakan hood, pastikan bagian telinga dan leher tertutup dan tidak ada rambut yang keluar. Bagian
bawah hood harus menutupi kedua bahu. Asisten dapat membantu proses pemakaian
9. Kenakan apron (tidak wajib) apabila menangani pasien dengan gejala muntah dan diare
10. Kenakan sarung tangan luar yang biasanya memiliki pergelangan lebih panjang. Tarik bagian lengan
sarung tangan hingga menutupi bagian lengan baju pelindung. Penggunaan sarung tangan yang
berbeda warna dengan sarung tangan dalam dapat membantu identifikasi
11. Kenakan pelindung wajah (face shield)
12. Evaluasi kelengkapan dan kesesuaian penggunaan alat pelindung diri menggunakan bantuan cermin,
ditambah dengan verifikasi oleh petugas donning
Bila menggunakan powered air-purify respirator (PAPR), maka atribut tersebut dikenakan setelah
menggunakan baju pelindung. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan sarung tangan luar, hood  khusus
PAPR, dan apron (bila perlu). Penggunaan PAPR membutuhkan bantuan asisten yang terlatih agar dapat
berfungsi dengan baik dan tidak meningkatkan risiko kontaminasi.

Self-Contamination Saat Proses Melepaskan Alat Pelindung Diri


Penularan penyakit tetap bisa terjadi walaupun petugas sudah mengenakan alat pelindung diri yang
sesuai standard. Hal ini diduga sebagai akibat self-contaminating saat proses melepaskan alat pelindung diri
(doffing). Patogen yang terdapat pada cairan yang mengkontaminasi alat pelindung diri (APD) dapat tetap
infeksius selama beberapa waktu. Pada wabah SARS terdahulu, meskipun tenaga medis sudah menggunakan
alat pelindung diri, namun jumlah tenaga medis yang tertular mencapai 20% dari total kasus SARS.
Penggunaan APD berlapis memang memberikan efek proteksi yang baik, namun dapat membatasi
gerak tenaga medis. Selain itu risiko self-contaminating juga meningkat pada saat petugas harus melepaskan
APD yang berlapis-lapis tersebut. Oleh karena itu, prosedur pelepasan harus dilakukan secara seksama dan
sesuai dengan urutan yang benar. Prosedur pelepasan APD harus dilakukan di area khusus doffing, dipandu
oleh seorang supervisor terlatih, dan dibantu oleh seorang asisten, terutama dalam melepaskan atribut yang
kompleks seperti PAPR.
Penelitian menunjukkan risiko self-contamination yang cukup tinggi saat proses melepaskan APD,
terutama jenis coverall kepala-mata kaki. Hal ini disebabkan karena karet elastis pada hoodie cenderung
melipat ke dalam saat dilepaskan. Ada pula laporan sarung tangan yang robek karena tersangkut saat
membuka resleting baju pelindung jenis coverall. Pada sebuah penelitian lain
menggunakan marker fluoresen, terjadi kontaminasi pada kulit atau pakaian tenaga medis pada 46%
(200/435) prosedur melepaskan APD. Sekitar 70,3% prosedur melepaskan APD dilakukan tidak sesuai
panduan. Kontaminasi lebih sering ditemukan saat melepaskan sarung tangan dibandingkan saat melepaskan
baju pelindung
Sebuah penelitian di Korea Selatan melaporkan self-contamination terbesar ditemukan saat
melepaskan atribut respirator, hood, dan boot cover. Kontaminasi terbesar pada penelitian-penelitian lain
ditemukan di area leher, jari tangan, tangan, pergelangan tangan, lengan, dan juga wajah. Semakin banyak
atribut APD yang harus dikenakan, semakin tinggi kesalahan prosedur pelepasannya. Keterbatasan waktu
untuk melepaskan APD juga dapat meningkatkan angka ketidakpatuhan pada urutan prosedur.

Teknik Melepaskan Alat Pelindung Diri


Berdasarkan pedoman WHO, prosedur melepaskan alat pelindung diri sesuai urutan adalah sebagai berikut:
1. Lakukan cuci tangan (hand hygiene) dengan tetap menggunakan sarung tangan
2. Robek apron di bagian leher kemudian gulung ke bagian depan dan bawah. Hindari tangan
menyentuh bagian coverall  di belakang
3. Lakukan cuci tangan. Cuci tangan dilakukan setiap selesai melepaskan 1 jenis atribut alat pelindung
diri
4. Lepaskan pelindung kepala-leher (bila hood terpisah dari baju pelindung) dengan cara menarik
bagian atas penutup kepala. Bila menggunakan coverall kepala-mata kaki, buka terlebih dahulu
resleting di bagian dada, kemudian lepaskan hoodie ke arah belakang secara perlahan dengan cara
menggulung bagian dalam menjadi bagian luar. Hindari menyentuh bagian luar coverall
5. Setelah coverall  terlepas melewati bahu hingga pertengahan siku, tarik lengan perlahan
agar coverall terlepas bersama dengan sarung tangan luar. Teruskan membuka dan
menggulung coverall dengan tetap menggunakan sarung tangan dalam, hingga terlepas seluruhnya
dari bagian kaki
6. Lakukan cuci tangan kembali (terus dilakukan setiap selesai melepaskan 1 jenis atribut)
7. Lepaskan pelindung mata dengan memegang tali di bagian belakang
8. Lepaskan masker dengan menarik bagian tali bawah di belakang melewati kepala ke bagian depan.
Dilanjutkan dengan melepaskan tali bagian atas
9. Lepaskan boot cover.  Lalu, lepaskan sepatu boot tanpa menyentuh dengan tangan
10. Lepaskan sarung tangan dalam
11. Lakukan cuci tangan di akhir prosedur

Manfaat Pelatihan Khusus Penggunaan Alat Pelindung Diri


Pelatihan khusus cara penggunaan alat pelindung diri (APD) memiliki manfaat menurunkan
kontaminasi dari 60% menjadi 18,9% menurut sebuah penelitian di 4 rumah sakit di Ohio. Penurunan
kontaminasi dilaporkan menetap selama pengamatan di bulan pertama dan ketiga tanpa pelatihan ulang.
Self-contamination umumnya terjadi karena tenaga medis kurang familiar dengan prosedur penggunaan
APD. Pelatihan tenaga medis menggunakan media audio visual, simulasi, dan evaluasi langsung, memiliki
efek yang lebih baik dibandingkan hanya menonton video atau membaca checklist.
Penelitian oleh Casalino et al, membandingkan pelatihan menggunakan instruktur yang membacakan
dengan lantang urutan penggunaan dan pelepasan APD, dengan pelatihan tanpa instruktur. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan APD yang didampingi instruktur yang memberikan instruksi
penggunaan secara lisan menurunkan angka ketidakpatuhan penggunaan APD dibandingkan dengan tenaga
medis yang tidak mendapatkan instruksi apapun. Hung et al melaporkan bahwa pemanfaatan simulasi
komputer dalam sesi pelatihan menurunkan angka kesalahan saat melakukan doffing.

Panduan Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Menghadapi Pandemi COVID-19


Jenis alat pelindung diri yang digunakan terkait COVID-19 ditentukan berdasarkan lokasi dan
aktivitas yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini diatur oleh pedoman pemerintah mengenai petunjuk
teknis alat pelindung diri dalam menghadapi wabah COVID-19.
Pedoman ini perlu diperhatikan dan diikuti oleh tenaga kesehatan karena tenaga kesehatan yang
memeriksa, merawat, mengantar, atau membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus terkonfirmasi
COVID-19 tanpa menggunakan alat pelindung diri sesuai standar termasuk dalam definisi orang tanpa
gejala. Hal ini akan membuat tenaga kesehatan tersebut menjadi perlu diisolasi untuk pemantauan gejala
selama 14 hari.[26]
Tenaga kesehatan yang merawat langsung pasien COVID-19 perlu menggunakan alat pelindung diri sebagai
berikut:
 Masker bedah
 Gaun
 Sarung tangan
 Pelindung mata (goggles)
 Pelindung wajah (face shield)
 Penutup kepala
 Sepatu pelindung
Walau demikian, ketika tenaga kesehatan melakukan tindakan yang menghasilkan aerosol (aerosol
generating procedure), masker bedah perlu diganti dengan masker respirator N95, dan tambahkan
penggunaan apron.
Contoh tindakan yang menghasilkan aerosol adalah sebagai berikut:
 Intubasi
 Ventilasi noninvasif
 Trakeostomi
 Resusitasi jantung paru
 Nebulisasi
 Bronkoskopi
 Pengambilan swab
 Pemeriksaan hidung dan tenggorokan, serta pemeriksaan gigi

Tingkatan APD bagi Tenaga Medis saat Tangani Covid-19


Dalam pemakaiannya berjenjang, antara lain :

1 Tingkat pertama untuk tenaga kesehatan yang bekerja di tempat praktik umum dimana kegiatannya
tidak menimbulkan risiko tinggi, tidak menimbulkan aerosol. APD yang dipakai terdiri dari masker
bedah, gaun, dan sarung tangan pemeriksaan.
2 Tingkat kedua dimana tenaga kesehatan, dokter, perawat, dan petugas laboratorium yang bekerja di
ruang perawatan pasien, di ruang itu juga dilakukan pengambilan sampel non pernapasan atau di
laboratorium, maka APD yang dibutuhkan adalah penutup kepala, google, masker bedah, gaun, dan
sarung tangan sekali pakai.
3 Tingkat ketiga bagi tenaga kesehatan yang bekerja kontak langsung dengan pasien yang dicurigai
atau sudah konfirmasi Covid-19 dan melakukan tindakan bedah yang menimbulkan aerosol, maka
APD yang dipakai harus lebih lengkap yaitu penutup kepala, pengaman muka, pengaman mata atau
google, masker N95, cover all, sarung tangan bedah dan sepatu boots anti air.
“Salah satu bagian penting dari APD adalah masker. Masker harus dipakai oleh tenaga kesehatan
khususnya masker bedah,” ujarnya.
Sedangkan untuk penanganan Covid-19 terhadap tenaga kesehatan yang melakukan tindakan bedah,
nebulisasi, atau dokter gigi yang memungkinkan memicu keluarnya aerosol, drg. Arianti menekankan harus
memakai masker N95.
N95 terdiri dari 4 lapisan dan mempunyai kemampuan lebih kuat dibandingkan masker bedah
sehingga selain mampu menahan cairan darah dan droplet juga mampu menahan aerosol.
Bagian lain yang sangat penting dari APD adalah cover all. Ada berbagai macam cover all yang sekarang
beredar di masyarakat. Spesifikasinya terdiri dari pelindung kepala sampai kaki.
Penggunaan cover all ini sangat penting disesuaikan dengan tingkat risiko penularan. Jika tenaga kesehatan
bekerja di area dengan tingkat infeksi yang tinggi maka diharuskan menggunakan cover all yang mampu
menahan cairan daran, droplet, dan aerosol.
“Material yang bisa digunakan untuk cover all ini biasanya dibuat dari serat sintetis dengan pori-pori
yang sangat kecil 0,2-0,54 mikron. Tentu hal ini harus dibuktikan dengan hasil pengujian material di
laboratorium terakreditasi,” ujar drg. Arianti.
PULPITS

Pengertian Pupitis

Pulpitis merupakan sebuah peradangan yang terjadi pada saraf gigi (pulpa) akibat infeksi bakteri. Saraf gigi
(pulpa) terdapat di dalam setiap gigi yang ada pada mulut kita dan terdiri dari saraf-saraf serta pembuluh
darah. Pulpitis dapat berawal dari lubang pada gigi yang tidak segera ditangani ataupun tidak tertangani
dengan tepat sehingga berkembang semakin parah. Peradangan ini dapat terjadi baik pada anak-anak (gigi
sulung) maupun orang dewasa (gigi permanen).

Pulpitis dapat terjadi pada satu gigi maupun lebih dan dapat menimbulkan rasa sakit. Berdasarkan intensitas
sakit yang dirasakan, pulpitis dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:

1. Reversible pulpitis

Reversible pulpitis merupakan peradangan ringan pada saraf gigi (pulpa) yang menyebabkan rasa
sakit atau tidak nyaman saat gigi terpapar makanan manis maupun dingin dan kemudian rasa sakit
akan segera menghilang apabila sudah tidak terpapar oleh hal-hal tersebut. Pada pulpitis jenis ini,
keadaan saraf gigi (pulpa) dapat kembali normal apabila ditangani secara tepat. Apabila tidak
ditangani secara tepat, maka reversible pulpitis akan berlanjut menjadi irreversible pulpitis.

2. Irreversible Pulpitis

Irreversible pulpitis merupakan peradangan pada saraf gigi (pulpa) yang ditandai dengan rasa nyeri
secara tiba-tiba (spontan), rasa nyeri berdenyut, dan rasa nyeri yang bertahan lama (lebih dari 30
detik) setelah gigi terpapar oleh makanan manis maupun dingin atau panas. Rasa nyeri juga dapat
terjadi ketika berbaring dan biasanya pada tahap ini pengobatan dengan obat antinyeri biasa tidak
dapat meredakan rasa sakit yang dialami.

Pada pulpitis jenis ini, saraf gigi (pulpa) sudah tidak dapat kembali normal serta dibutuhkan perawatan yang
lebih rumit untuk mempertahankan gigi tersebut. Apabila tidak ditangani, irreversible pulpitis dapat memicu
terjadinya pembengkakan yang berisi nanah (abses) pada area akar gigi yang kemudian dapat menyebar
pada bagian lain seperti rahang, sinus, maupun otak.

Tanda dan Gejala

Beberapa gejala yang juga dapat timbul pada pulpitis adalah:

 Rasa nyeri yang ringan hingga berat


 Gigi menjadi sensitif terhadap makanan manis, panas, maupun dingin
 Bau mulut
 Rasa tidak nyaman pada mulut
 Apabila semakin parah, pulpitis juga dapat menyebabkan terjadinya demam

Penyebab

Pada dasarnya, penyebab pulpitis adalah terbukanya pulpa (saraf gigi) sehingga dapat terpapar oleh bakter
yang kemudian menimbulkan peradangan. Beberapa faktor pemicu yang dapat menyebabkan terpaparnya
pulpa dengan bakteri adalah sebagai berikut:

 Lubang pada gigi yang tidak ditangani atau tidak tertangani dengan baik. Meskipun lubang pada gigi
Anda sudah ditambal, penambalan gigi yang tidak baik dapat mengakibatkan terjadinya lubang
kembali pada gigi sehingga menimbulkan terjadinya pulpitis.
 Gigi yang patah sehingga menyebabkan terbukanya saraf pada bagian dalam gigi.
 Kebiasaan buruk untuk menggesek-gesekkan gigi sehingga gigi menjadi aus hingga saraf pada
bagian dalam gigi menjadi terbuka.

Selain itu, terdapat beberapa faktor seperti kesehatan dan kebersihan rongga mulut yang buruk sehingga
mudah menyebabkan gigi berlubang serta seringnya konsumsi makanan-makanan yang mempermudah
timbulnya lubang pada gigi (misalnya makanan dan minuman manis) dapat meningkatkan risiko terjadinya
pulpitis.

Diagonosis pulpitis

Pemeriksaan mengenai pulpitis biasanya dilakukan oleh dokter gigi. Beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain:

 Dokter gigi akan memeriksa seluruh gigi, termasuk gigi yang berlubang, dengan beberapa alat-alat
standar kedokteran gigi untuk melihat keadaan gigi bahkan kedalaman lubang pada gigi.
 Tes sensitivitas gigi terhadap rangsangan panas ataupun dingin untuk melihat kondisi saraf dalam
gigi. Intensitas rasa nyeri yang dirasakan pada pemeriksaan ini dapat menentukan kategori pulpitis.
 Mengetuk gigi secara ringan pada gigi yang diduga mengalami pulpitis untuk mendeteksi penjalaran
peradangan yang terjadi.
 Rontgen (X-ray) pada area gigi yang sakit juga dapat membantu untuk melihat apakah saraf gigi
(pulpa) sudah terbuka akibat gigi yang berlubang maupun gigi yang patah.

Electric pulp test adalah sebuah pemeriksaan dengan alat elektrik yang dapat dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana kerusakan yang terjadi pada saraf gigi (pulpa).

Cara Mengobati

Pulpitis tidak dapat hilang dengan sendirinya. Maka dari itu, bila Anda merasakan gejala-gejala yang
mengarah pada pulpitis, baik reversible maupun irreversible pulpitis, sebaiknya segera konsultasikan pada
dokter gigi. Untuk mengatasi peradangan dan rasa nyeri, dokter gigi tentu akan membantu dengan
meresepkan obat antiradang dan antinyeri untuk meredakan gejala tersebut. Akan tetapi, gigi yang
mengalami pulpitis juga harus ditangani dengan baik. Penanganan pulpitis selanjutnya didasarkan pada jenis
pulpitis.

Apabila mengalami reversible pulpitis, pengobatan yang dilakukan akan menyesuaikan dengan penyebab
terjadinya peradangan pulpa. Misalnya dengan melakukan penambalan pada gigi yang berlubang sehingga
proses penyembuhan dapat terjadi dan pulpa dapat berangsur-angsur normal kembali.

Apabila mengalami irreversible pulpitis, pengobatan yang diperlukan tentunya akan lebih rumit. Dokter gigi
akan merujuk pada dokter gigi spesialis endodontik yang fokus menangani masalah yang berhubungan
dengan perawatan saraf gigi. Dalam dunia kedokteran gigi, perawatan saraf disebut dengan pulpektomi atau
perawatan saluran akar (PSA). Pulpektomi dapat dilakukan apabila saraf gigi (pulpa) yang mengalami
peradangan masih dapat merespon tes sensitivitas terhadap rangsangan panas maupun dingin yang
sebelumnya telah dilakukan oleh dokter gigi. Sedangkan perawatan saluran akar (PSA) merupakan
pengobatan yang dilakukan apabila saraf gigi (pulpa) sudah mati atau tidak merespon terhadap tes
sensitivitas panas maupun dingin.

Meskipun terdapat perbedaan penyebutan dalam kedua perawatan tersebut, jaringan pulpa sama-sama akan
diambil dari saluran akar gigi. Selanjutnya saluran akar gigi akan dibersihkan, diisi dengan bahan khusus
untuk membantu proses penyembuhan, dan kemudian akan ditutup atau ditambal. Pada beberapa kasus,
apabila gigi sudah tidak dapat dipertahankan, maka pencabutan gigi akan dilakukan. Setelah melakukan
perawatan, gigi tersebut juga tetap harus dipantau dalam jangka waktu tertentu untuk melihat perkembangan
dari hasil perawatan.

Cara Mencegah
Pulpitis dapat dicegah dengan cara:

 Menjaga kebersihan dan kesehatan rongga mulut dengan menyikat gigi dua kali sehari (setelah
sarapan pagi dan sebelum tidur) serta membersihkan sela-sela gigi dengan dental floss guna
menghindari terjadinya lubang pada gigi.
 Rutin konsultasi ke dokter gigi setiap 6 bulan sekali untuk memeriksa keadaan seluruh gigi sehingga
apabila terdapat masalah, dapat terdeteksi, dan tertangani sejak dini.
 Mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang dapat memicu terjadinya gigi berlubang seperti
permen, kue, dan minuman bersoda.
 Apabila memiliki kebiasaan buruk menggesek-gesekkan gigi, penggunaan tooth guard dapat
membantu.

Kapan harus ke Dokter

Segera konsultasi pada dokter gigi apabila mengalami nyeri pada gigi. Semakin cepat rasa nyeri tersebut
ditangani, maka semakin besar pula kemungkinan gigi kembali sehat.

Saat melakukan konsultasi dengan dokter gigi untuk penanganan pulpitis, pada awalnya dokter akan
memeriksa seluruh keadaan gigi hingga mendapatkan kategori pulpitis. Selanjutnya, dokter akan
menjelaskan pilihan perawatan yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan gigi. Untuk penanganan berupa
penambalan gigi, umumnya dapat dilakukan dalam sekali kunjungan. Akan tetapi, apabila gigi
membutuhkan perawatan saraf, maka penanganan dilakukan dalam beberapa kali kunjungan mengingat
prosedur atau tahapan perawatan yang lebih rumit.

Nekrosis pulpa

Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa, dapat sebagian atau seluruhnya, tergantung pada seluruh atau sebagian
yang terlibat. Nekrosis, meskipun suatu inflamasi dapat juga terjadi setelah jejas traumatic yang pulpanya
rusak sebelum terjadi reaksi inflamasi. Nekrosis ada dua jenis yaitu koagulasi dan likuifaksi (pengentalan
dan pencairan). Pada jenis koagulasi, bagian jaringan yang dapat larut mengendap atau diubah menjadi
bahan solid. Pengejuan adalah suatu bentuk nekrosis koagulasi yang jaringannya berubah menjadi masa
seperti keju, yang terdiri atas protein yang mengental, lemak dan air. Nekrosis likuefaksi terjadi bila enzim
proteolitik mengubah jaringan menjadi massa yang melunak, suatu cairan atau debris amorfus. Pulpa
terkurung oleh dinding yang kaku, tidak mempunyai sirkulasi daerah kolateral, dan venul serta limfatiknya
kolaps akibat meningkatnya tekanan jaringan sehingga pulpitis irreversible akan menjadi nekrosis likuifaksi.
Jika eksudat yang dihasilkan selama pulpitis irreversible diserap atau didrainase melalui kavitas karies atau
daerah pulpa yang tebuka ke dalam rongga mulut, proses nekrosis akan tertunda; pulpa di daerah akar akan
tetap vital dalam jangka waktu yang cukup lama. Sebaliknya, tertutup atau ditutupnya pulpa yang
terinflamasi mengakibatkan proses nekrosis pulpa yang cepat dan total serta timbulnya patosis periapikal.

Gejala

Gejala umum nekrosis pulpa :

1. Simptomnya sering kali hampir sama dengan pulpitis irreversible


2. Nyeri spontan atau tidak ada keluhan nyeri tapi pernah nyeri spontan.
3. Sangat sedikit/ tidak ada perubahan radiografik
4. Mungkin memiliki perubahan-perubahan radiografik defenitif seperti pelebaran jaringan periodontal yang
sangat nyata adalah kehilangan lamina dura
5. Perubahan-perubahan radiografik mungkin jelas terlihat
6. Lesi radiolusen yang berukuran kecil hingga besar disekitar apeks dari salah satu atau beberapa gigi,
tergantung pada kelompok gigi.

Keluhan subjektif :
1. Gigi berlubang, kadang-kadang sakit bila kena rangsangan panas
2. Bau mulut (halitosis)
3. Gigi berubah warna.

Pemeriksaan objektif :

1. Gigi berubah warna, menjadi abu-abu kehitam-hitaman


2. Terdapat lubang gigi yang dalam
3. Sondenasi,perkusi dan palpasi tidak sakit
4. Biasanya tidak bereaksi terhadap tes elektrik dan termal. Kecuali pada nekrosis tipe liquifaktif.
5. Bila sudah ada peradangan jaringan periodontium, perkusi,palpasi dan sondenasi sakit.

Anda mungkin juga menyukai