Pandemi, Angsa Hitam, Dan Imajinasi
Pandemi, Angsa Hitam, Dan Imajinasi
Kolom
Pandemi, Angsa Hitam, dan Imajinasi
Ramayda Akmal - detikNews
Senin, 20 Apr 2020 14:22 WIB
Jakarta - Di kota Oran, Aljazair, pada suatu hari di bulan April, ribuan tikus
muncul di tempat terbuka dan kemudian mati. Bangkai-bangkai berserakan
membuat masyarakat panik. Berbagai pihak terutama media mendesak
pemerintah segera bertindak dengan berita-berita yang menyulut kecemasan.
Sebagai solusi cepat, bangkai-bangkai tikus pun dikremasi. Namun tidak
berapa lama setelah kejadian itu, seorang pekerja dan beberapa orang lainnya
meninggal karena demam.
Ini adalah cerita singkat dari novel La Peste karya Albert Camus (diterbitkan
oleh YOI pada 2006 dengan judul Sampar). Novel ini diterbitkan pertama kali
di Prancis pada 1947. Terlepas dari berbagai label yang diberikan kritikus
terhadap novel ini sebagai novel filosofis atau novel bertema
eksistensialisme, La Peste menawarkan kepada pembaca gambaran dan
diskursus tentang wabah atau epidemi yang mengacaukan dan mengancam
kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya.
Novel ini relevan sebagai analogi terhadap situasi dunia yang tengah dilanda
pandemi Corona. Dan La Peste bukan satu-satunya karya. Sejak ratusan tahun
silam, karya sastra yang bercerita tentang wabah, epidemi atau bahkan
pandemi ditulis, baik yang bersumber dari peristiwa nyata maupun yang
bersifat fantasi. Sebut saja A Journal of the Plague Year (1665) oleh Daniel
Defoe atau yang sangat terkenal Love in the Time of Cholera (1985) karya
Gabríel Garcia Márquez.
Di ranah budaya populer, film, serial atau game seperti Contagion, World War
Z, 28 Days Later, The Walking Dead, dan The Last of Us juga mengangkat
tema-tema serupa dan telah ditonton atau dimainkan oleh masyarakat di
berbagai belahan dunia. Artinya, permasalahan apokaliptik-distopik terkait
virus dan pandemi sebenarnya bukan lagi diskursus asing dalam masyarakat
kita. Namun, Corona yang telah menjangkiti lebih dari 1,7 juta orang penduduk
dunia menjadi isu global yang dianggap mengagetkan, melumpuhkan
perekonomian dan aktivitas-aktivitas mendasar kehidupan manusia, menjadi
situasi darurat yang seolah-olah tidak pernah diwacanakan dalam bentuk
apapun sebelumnya.
o
utama, yakni terjadi di luar realitas rutin, membawa dampak yang ekstrem,
dan seolah-olah -meskipun kenyataannya tidak-- bisa dijelaskan dan diprediksi
berdasarkan analisis tertentu setelah peristiwa terjadi.
Asumsi ini sama sekali tidak mengacuhkan fakta telah begitu banyak produk
kultural yang mengangkat dan mengantisipasi berbagai ancaman terhadap
keberlangsungan hidup manusia, selain tentu saja temuan dan perkembangan
di bidang saintifik yang dipastikan signifikan. Yang berbahaya kemudian,
banyak pihak, terutama pengambil kebijakan meyakini dan menggunakan teori
angsa hitam ini sebagai tameng. Mereka menganggap situasi ini sebagai luar
biasa dan tidak terduga, sehingga mereka "bebas" menciptakan kebijakan
atau mengambil keputusan yang justru semakin menenggelamkan
masyarakat dalam kecemasan, ketidakpastian, dan bahkan kerugian.
Untuk menghadapi situasi yang demikian, yang paling mungkin kita lakukan
adalah meningkatkan kesadaran. Ketidaksiapan dan kesalahpahaman
menanggapi pandemi sebagai sesuatu yang luar biasa muncul karena tidak
sadar dan mengabaikan peringatan dan tanda-tanda yang sudah ada di mana-
mana, termasuk pada karya-karya imaginatif di atas. Kita tidak menganggap
tanda-tanda yang begitu dekat ini sebagai sesuatu yang berfungsi dan
signifikan.
Imajinasi dan fiksi yang menjadi bagian dari keseharian kita seakan-akan
terletak di luar realitas sehingga tidak bisa menjadi sumber prediksi. Gagasan
ini perlu diubah karena sastra dan karya imajinatif lainnya justru merupakan
situs potensial dalam proses konstruksi realitas. Oleh karena itu, kita perlu
menciptakan kesadaran akan fungsi dan dekatnya yang imajinatif dalam
kehidupan sehari-hari kita dan memperhatikan karya-karya itu sebagai salah
satu sumber kritik, prediksi, dan bahkan prophecy.
Fiksi memiliki kekuatan yang besar karena mampu menciptakan ruang yang
tak terbatas untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan itu. Selanjutnya,
fiksi akan meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran reflektif sehingga jika
kemudian kita mendapati situasi serupa seperti pandemi Corona saat ini, kita
lebih siap secara mental karena telah menyimpan berbagai alternatif bahkan
simulasi dalam gudang pengalaman untuk menghadapinya.
(mmu/mmu)
Jawa Timur -
a b ~
4 komentar
Internasional detikX Kolom
u
Blak blakan Pro
o
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
0% 0% 0% 0% 100% 0% 0% 0%
Berita Terkait
Selain Luna Maya, Artis-artis Ini Juga Bikin Video Kontroversial Soal
Corona
detikHealth
o
Daftar Mobil Terlaris di Indonesia
detikOto
Ini Momen Manis Rahma Azhari dan Paris Chong Makan Bersama
detikFood
part of
Redaksi . Pedoman Media Siber . Karir . Kotak Pos . Info Iklan . Privacy Policy . Disclaimer
a b
o
Copyright @ 2020 detikcom, All right reserved