Anda di halaman 1dari 24

TEXT BOOK READING

Tools Pemeriksaan Fungsi Kognitif

Pembimbing:
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

Oleh:
Rizkia Nauvalina
G4A018022

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2020
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING


Tools Pemeriksaan Fungsi Kognitif

Oleh:
Rizkia Nauvalina
G4A018022

Text Book Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Oktober 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S


BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Fungsi Kognitif


Kognitif berasal dari bahasa latin yaitu cognitio yang artinya adalah berpikir.
Hal ini merujuk kepada kemampuan seseorang dalam mengerti dunianya, yang
dicapai dari sejumlah fungsi kompleks termasuk orientasi terhadap waktu, tempat
dan individu; kemampuan aritmatika; pikiran abstrak; kemampuan fokus untuk
berpikir (Nugroho, 2008). Sedangkan menurut Susanto (2011), kognitif adalah
suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai,
dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Fungsi kognitif menurut
behavioral neurology, yaitu suatu proses di mana semua masukan sensoris
meliputi rangsang taktil, visual, dan auditorik akan diubah, diolah, disimpan, dan
digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga seseorang
mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut (Hamidah,
2011).
Kemampuan kognitif merupakan dasar bagi kemampuan seseorang untuk
berpikir dan menyelesaikan masalah. Jadi, proses kognitif berhubungan dnegan
tingkat kecerdasan (intelegensi) yang menandai seseorang dengan berbagai minat
terutama sekali ditujukan kepada ide-ide belajar. Kognitif adalah kepercayaan
seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir. Proses yang
dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan
melalui aktivitas mengingat, menganalisa, memahami, menilai, membayangkan,
dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai
kecerdasan atau intelegensi.

B. Anatomi dan Fisiologi Fungsi Kognitif


Sistem saraf yang berperan dalam fungsi kognitif tentunya tidak berjalan
sendiri-sendiri dalam menjalankan funginya melainkan merupakan suatu kesatuan
yang disebut sistem limbik. Sistem limbik sendiri terlibat dalam pengendalian
emosi, perilaku, dorongan , serta memori. Secara anatomi, struktur limbik meliputi
gyrus subcallosus, gyrus cinguli, dan gyrus parahippocampalis, formation
hippocampi, nucleus amygdala, corpus mammillare, dan nucleus anterior thalami.
Adapun yang membentuk jaras-jaras penghubung dari sistem tersebut meliputi
alveus, fimbria, fornix, tractus mammillothalamicus, dan stria terminalis (Snell,
2007).

Adapun struktur dari sistem limbik dengan perannya masing-masing, yaitu:


1. Amigdala, terlibat dalam pengaturan emosi di mana hemisfer kanan
predominan terhadap keadaan tidak sadar serta hemisfer kiri predominan
dalam keadaan sadar.
2. Hipokampus, berperan dalam pembentukan memori jangka panjang dan proses
pembelajaran (pemeliharaan kognitif).
3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.
4. Girus cinguli, berperan dalam pengaturan atensi sebagai salah satu domain dan
fungsi kognitif.
5. Forniks, berperan dalam pembelajaran dan memori.
6. Hipotalamus, berperan mengatur perubahan memori baru menjadi memori
jangka panjang.
7. Talamus, sebagai pusat pengaturan fungsi kognitif di otak.
8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran.
9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.
10. Korteks enthorinal, berperan dalam komponen asosiasi.

Sedangkan lobus otak yang mempunyai peran dalam pengaturan fungsi kognitif
meliputi:
1. Lobus frontalis, berperan mengatur motorik, kepribadian, perilaku, bahasa,
memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis.
2. Lobus parietalis, berperan dalam fungsi membaca, persepsi, dan visuospasial.
Lobus ini menerima stimuli sensorik dari berbagai modalitas seperti input
visual, auditorik, dan taktil dari area asosiasi sekunder.
3. Lobus temporalis, berperan dalam mengatur fungsi pendengaran, penglihatan,
emosi, memori, dan kategorisasi benda-benda.

C. Domain Fungsi Kognitif


Berdasarkan pedoman Neurobehavior PERDOSSI (2008), fungsi kognitif
terdiri dari:
1. Atensi
Atensi adalah kemampuan untuk beraksi atau memperhatikan satu stimulus
dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi
merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik, dan aktivitas
korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan
stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk
mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Kemampuan dalam
mempertahankan atensi merupakan dasar sebelum melakukan pemeriksaan
neurobehavior yang lebih kompleks.
Aspek dari atensi sendiri terdiri dari:
 Atensi selektif  kemampuan untuk seleksi stimulus
 Mempertahankan atensi dan kesiagaan  kemampuan
mempertahankan atensi dalam waktu tertentu
 Atensi terbagi  kemampuan untuk bereaksi terhadap berbagai
stimulus dalam satu waktu
 Atensi alternatif mampu beralih dari satu situasi ke situasi lain
Gangguan atensi dan konsentrasi sendiri berhubungan dengan kerusakan otak
dan akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa, dan
fungsi eksekutif.
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang
membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa,
pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan
mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan.
Fisiologi dari fungsi bahasa sendiri berasal dari identifikasi suara menjadi
bahasa pada area pengenalan kata (inferior lobus parietal hemisfer dominan)
selanjutnya terjadi pengenalan berdasarkan pengalaman masa lalu dan
hubungan antar simnol terjadi pada area Wernicke. Saat terjadi impuls visual,
impuls tersebut akan masuk pada pusat visual primer lobus oksipital kedua
hemisfer dan berlanjut pada area asosiasi visual dimana terjadi pengenalan dan
identifikasi simbol bahasa (dominan kearah identifikasi kata atau non-dominan
yang menyilang ke hemisfer yang dominan melalui korpus kalosum). Setelah
melalui area Wernicke, informasi tersebut akan diteruskan ke area Broca (area
encoding motorik) lalu disalurkan ke area motorik primer hemisfer, untuk
dikonversikan menjadi gerakan motorik (bicara).
Saat bersamaan, terjadi komunikasi antara area Broca dengan area motor
suplementer pada medial girus frontal superior lalu masuk pada area motorik
primer yang bertanggung jawab terhadap kelancaran konversi informasi di area
motor primer jadi impuls yang memproduksi bicara (speech).
3. Memori
Memori adalah sebuah status mental yang memungkinkan seseorang untuk
menyimpan informasi yang akan dipanggil kembali dikemudian hari. Rentang
waktu untuk memanggil kembali informasi tersebut bisa dilakukan dalam waktu
singkat (hitungan detik) seperti pada pengulangan angka, atau dalam waktu
yang telah lama (bertahun-tahun) seperti mengingat kembali pengalaman masa
kanak-kanak.
Struktur memori dapat dibedakan menjadi tiga sistem, yaitu: sistem ingatan
sensori, dimana pada sistem ini akan tercatat informasi atau stimuli yang masuk
melalui salah satu atau kombinasi dari panca indera, yaitu secara visual melalui
mata, pendengaran melalui telinga, bau melalui hidung, rasa melalui lidah, dan
rabaan melalui kulit. Bila informasi atau stimuli tersebut tidak diperhatikan
maka akan langsung dibuang atau terlupakan, namun bila seseorang
memperhatikan dan menggap stimuli atau informasi tersebut penting maka
informasi tersebut akan ditransfer ke sistem ingatan jangka pendek. Sistem
ingatan jangka pendek dapat menyimpan informasi atau stimuli selama kurang
lebih 30 detik, dan hanya sekitar tujuh bongkahan informasi yang dapat
disimpan dan diperlihara di sistem memori jangka pendek dalam suatu saat.
Setelah berada di sistem memori jangka pendek, informasi tersebut dapat
ditransfer lagi dengan proses pengulangan ke sistem ingatan jangka panjang
untuk disimpan, atau dapat juga informasi tersebut hilang/terlupakan karena
tergantikan oleh tambahan informasi baru (displacement). Selanjutnya setelah
berada di sistem memori jangka panjang, informasi tersebut dapat diperoleh
kembali melalui strategi tertentu, atau informasi tersebut terlupakan karena
adanya kekurangan dalam sistem penyimpanannya.
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi,
proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam
ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi
dalam tiga tingkatan tergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dan
pemanggilan kembali informasi yang telah tersimpan (recall), yaitu:
a. Memori segera (immediate recall), rentang waktu antara stimulus dan recall
hanya beberapa. Pada memori segera hanya dibutuhkan pemusatan perhatian
agar dapat mengingat stimuli atau informasi yang diberikan (attention).
b. Memori baru (recent memory) adalah kemampuan seseorang untuk
mengingat kejadian yang baru terjadi, kejadian sehari-hari (misalnya sarapan
pagi, tanggal dan waktu). Memori baru juga merupakan kemampuan untuk
mengingat informasi dalam rentang waktu yang lebih lama yaitu beberapa
menit, jam, bulan bahkan tahun.
c. Memori lama (remote memory) adalah kemampuan mengumpulkan fakta atau
kejadian yang terjadi bertahun-tahun bahkan seumur hidup.
Gangguan memori merupakan salah satu gejala yang paling sering
dikeluhkan oleh pasien. Adapun kelainan yang disebabkan oleh gangguan
memori adalah amnesia. Amnesia sendiri dibagi menjadi tiga jenis yaitu
amnesia anterograd (ketidakmampuan mempelajari materi atau infomasi baru
setelah terjadinya jejas pada otak), amnesia retrogard (ketidakmampuan
mengingat materi atau kejadian yang ada sebelum terjadinya jejas pada otak),
dan amnesia psikogenik (keadaan dimana amnesia hanya pada satu periode
tertentu, tidak menunjukkan adanya defisit memori baru, dapat mempelajari
materi atau informasi baru sewaktu periode amnesia dan setelah periode
amnesia berlalu, dan tidak menderita defek pada memori jangka panjang serta
pendek saat dilakukan tes memori). Tidak semua gangguan memori merupakan
gangguan organik. Faktor psikiatri terutama depresi dan anxietas dapat juga
mempengaruhi fungsi memori.

4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial adalah kemampuan konstruksional seperti
menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misalnya lingkaran atau
kubus) dan juga menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam
kemampuan konstruksi, lobus parietal terutama hemisfer kanan ialah yang
paling berperan dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining
kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana keduanya berkaitan
dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

5. Fungsi Eksekutif
Fungsi eksekutif dari otak dapat didefinisikan sebagai suatu proses
kompleks seseorang dalam memecahkan suatu masalah atau persoalan baru.
Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, dapat
mengevaluasi, menganalisa serta memecahkan atau mencari jalan keluar dari
persoalan tersebut.

D. Faktor yang mempengaruhi Fungsi Kognitif


1. Usia
Telah banyak penelitian yang menghubungkan faktor usia dengan
penurunan fungsi kognitif. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh
the COGITO study, yang menunjukkan hasil bahwa pada usia dewasa tua (65-
80 tahun) seseorang akan lebih sulit untuk meningkatkan kemampuan
kognisinya dibandingkan golongan usia dewasa muda (20-31 tahun).
Seseorang dengan usia lanjut juga cenderung mengalami penurunan
aktivitas fisik yang dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Di usia
lanjut juga diketahui lebih cepat terjadi penurunan fungsi dari belahan otak
kanan dibandingkan dengan otak kiri, dimana keadaan tersebut membuat
kelompok lanjut usia mengalami deficit memori atau daya ingat yang tentunya
berhubungan dengan fungsi kognitif (Nugroho , 2008).
2. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang dilakukan seseorang bisa saja berpengaruh terhadap
fungsi kognitif. Seperti analisis sistematik review yang dilakukan oleh Carvalho
A dkk, menunjukkan hasil dari 27 penelitiam, 26 diantaranya menunjukkan
adanya positif korelasi antara aktivitas fisik dengan perubahan fungsi kognitif
dan 1 penelitian menunjukkan tidak ada kolerasi yang signifika.
Penelitian lain menyatakan tingkat aktivitas fisik yang dibedakan dalam
dua kelompok yaitu aktif dan tidak aktif menunjukkan hasil bahwa tingkat
aktivitas fisik aktif memiliki fungsi kognitif yang lebih tinggi dibandingkan
dengan responden yang memiliki tingkat aktivitas tidak aktif. Hal ini
menyimpulkan bahwa tingkat aktivitas yang rutin dan berkepanjangan
mempunyai hubungan terhadap tingginya skor fungsi kognitif. Sebaliknya
ketika seseorang mengalami penurunan aktivitas fisik dan intensitasnya akan
mempercepat terjadinya penurunan fungsi kognitif.
Aktivitas fisik tidak hanya berupa olahraga ataupun melakukan pekerjaan
sehari-hari namun juga meliputi pelatihan otak atau brain training yang
tentunya dapat meningkatkan beberapa domain dari fungsi kognitif seperti
memori, atensi, konsentrasi, dan kemampuan bahasa

3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap fungsi kognitif, khususnya pada
memori seseorang. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa ukuran
amigdala dan thalamus yang dimiliki oleh pria lebih besar dibandingkan
perempuan sedangkan untuk ukuran hipokampus, perempuan memiliki ukuran
yang lebih besar dibanding pria. Pada perempuan juga ditemukan jumlah
reseptor estrogen di hipokampus dan androgen di amigdala yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pria. Hal ini menyimpulkan bahwa jenis kelamin
perempuan cenderung memiliki kemampuan memori verbal yang lebih baik dan
pria memiliki kemampuan memori spasial yang lebih baik. Penelitian lain juga
mengungkapkan bahwa perempuan memiliki resiko lebih tinggi mengalami
gangguan fungsi kognitif dikarenanakan adanya penurunan hormon estrogen
saat mengalami menopause.
4. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita seseorang tentunya mempunyai pengaruh
terhadap fungsi kognitif. Seperti pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 (DMT2)
memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap gangguan kognitif. Hal ini juga
berkaitan dengan adanya penyakit gangguan vaskular (Umegaki H, 2014).
Faktor resiko dari gangguan vaskular lainnya seperti obesitas, merokok,
hipertensi juga meningkatkan penurunan kognitif. Kelompok usia muda (18-30
tahun) dengan adanya gangguan vaskular juga menjadi salah satu faktof resiko
penurunan fungsi kognitif. Adanya kelainan otak atau trauma otak juga menjadi
salah satu penyebab terjadi penurunan fungsi kognitif, baik pada kelompok usia
dewasa muda maupun dewasa tua. Paparan stres jangka panjang juga diyakini
sebagai salah satu penyebab terjadi penurunan fungsi kognitif dikarenakan stres
berhubungan dengan penurunan volume hipokampus dan region orbito-frontal
otak yang juga akan meningkatkan apoptosis neuron.

5. Riwayat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang mempunyai pengaruh terhadap fungsi
kognitif dikarenakan selama menjalani proses pendidikan, tentunya seseorang
mempelajari hal baru yang menyebabkan terbentuknya ingatan baru yang
masuk pada hipokampus dan menyebabkan tersimpannya informasi atau
pembelajaran baru tersebut sebagai memori jangka panjang yang akhirnya akan
permanen disimpan oleh otak (Guyton, 2008).

E. Tools Pemeriksaan Fungsi Kognitif


1) Ascertainment Dementia 8 (AD-8)
AD-8 adalah pemeriksaan berbasis informan secara singkat yang
dikembangkan oleh Universitas Washington di St. Louis, yang terbukti sensitif
untuk perubahan kognitif awal dalam populasi umum, bahkan pada tahap
sangat ringan. AD-8 terdiridari 8 item, dengan format jawaban ya (1) atau tidak
(0), dan berlangsung sekitar 3 menit untuk menyelesaikan penilaian. AD-8
merupakan suatu metode pengukuran singkat berdasarkan jawaban informan
yang dapat diandalkan untuk membedakan non-demensia pada individu
demensia serta sensitif terhadap tanda-tanda awal perubahan fungsi kognitif
seperti yang dilaporkan oleh informan. AD-8 berhubungan erat dengan gold
standard (CDR) seperti halnya metode pengukuran MMSE (Mini Mental State
Examination) dan SBT (Short Blessed Test) (Galvin, et al., 2005).
2) Clock Drawing Test (CDT)
CDT digunakan untuk skrining penurunan fungsi kognitif dan demensia
serta untuk mengukur adanya disfungsi spasial. Pada awalnya, CDT digunakan
untuk menilai kemampuan visuo-konstruktif, namun penggambaran jam yang
abnormal juga terjadi pada gangguan kognitif lainnya. Dalam menjalani tes ini,
dibutuhkan pemahaman verbal, memori, serta pengetahuan spasial dalam
memperkuat keterampilan konstruktif. Pendidikan, usia, dan mood dapat
mempengaruhi hasil tes. Pemeriksaan ini dapat diselesaikan dalam waktu
sekitar 8 menit (Agrell & Dehun, 1998).
Cara pemeriksaan Clock Drawing Test:
1. Mintalah responden untuk menggambar sebuah jam bundar lengkap dengan
angka- angkanya dan jarum jamnya yang menunjukkan pukul sebelas lewat
sepuluh menit (11.10)
2. Siapkan bahan:
- Selembar kertas putih kosong, atau selembar kertas dengan gambar
lingkaran, untuk pasien yang tidak mampu menggambar lingkaran)
- Pensil tanpa penghapus
Interpretasi Skor:
10 : Normal (kemungkinan untuk adanya gangguan fungsi kognitif kecil)
8-9: Perlu adanya klinis yang mendukung
<8 : Indikasi adanya gangguan fungsi kognitif
<5 : Indikasi adanya gangguan fungsi kognitif yang nyata (berat)

3) Short Blessed Test (SBT)


SBT digunakan untuk menentukan adanya gangguan atau penurunan
fungsi kognitif. Pasien diberikan ditanya perihal tahu, bulan, waktu,
menghitung mundur, menyebutkan bulan secara mundur, dan mengingat
beberapa kata. Pemeriksaan ini tergolong mudah dilakukan karena hanya perlu
melihat respon verbal.
Interpretasi:
0-4 = Normal
5-9 = Kemungkinan gangguan kognitif
<10 = Gangguan konsisten dengan fungsi kognitif
4) Mini Mental State Examination (MMSE)
Gangguan fungsi kognitif dapat diketahui dengan melakukan berbagai
macam pemeriksaan. Pada saat ini belum ada pemeriksaan yang diunggulkan
untuk melihat disfungsi kognitif pada pasien dengan cedera otak traumatik.
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk mendeteksi gangguan fungsi
kognitif adalah Mini Mental State Examination (MMSE). Uji MMSE
merupakan skala dengan 5 cakupan fungsi kognitif (orientasi, registrasi,
perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali dan bahasa).Pemeriksaan ini
memiliki beberapa kekurangan seperti waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan tes relatif lama, nilai akhir dapat dipengaruhi tingkat pendidikan
sehingga menjadi bias, dipengaruhi bahasa dan kultural. Pemeriksaan ini juga
tidak banyak mengandung variabel untuk mendeteksi fungsi frontal/eksekutif
atau visuospasial (Oktivia & Fuadi, 2019).

Cara pelaksanaan Uji MMSE:


Berikan Skor 1 pada setiap jawaban pertanyaan yang benar.

Pertanyaan meliputi :
Orientasi
(1) Tanyalah tanggal, bulan dan tahun. Kemudian tanyalah juga hari dan
musim. Satu angka untuk tiap jawaban yang benar.
(2) Tanyalah berturut-turut sebagai berikut: "Dapatkah Anda menyebut nama
rumah sakit/institusi ini?" Kemudian tanyalah lantai/ tingkat/nomor; kota,
kabupaten dan provinsi tempat rumah sakit/ institusi tersebut terletak.

Registrasi
Tanyalah responden bila Saudara dapat menguji ingatannya. Katakan 3 nama
benda yang satu sama lain tidak ada kaitan, dengan terang dan perlahan, kira-
kira 1 detik untuk tiap nama benda. Sesudah menyebut ketiga nama benda
tersebut, mintalah responden mengulangnya. Pengulangan penyebutan ketiga
nama benda tersebut yang pertama kali diberi skor 0-3. Bila responden tidak
dapat menyebutnya dengan benar, ulanglah sampai responden dapat
melakukannya. Jumlah maksimal pengulangan 6 kali. Bila responden masih
tidak dapat menghapalnya, maka fungsi mengingat di bawah tidak dapat diukur
secara bermakna.
Atensi dan Kalkulasi
Mintalah responden menghitung selang 7 mulai dari 100 ke bawah.
Hentikanlah setelah 5 kali pengurangan (93, 86, 79, 72, 65). Hitunglah skor
dari jumlah jawaban yang benar.
Bila responden tidak dapat melakukan hal ini, mintalah responden untuk
mengeja kata "dunia" dari akhir ke awal. Skor dihitung dari jumlah huruf
dalam urutan terbalik yang benar. Contoh: ainud = 5, aiund = 3.
Mengingat
Tanyalah responden apakah responden dapat mengingat dan menyebut 3 nama
benda yang sebelumnya telah diminta padanya untuk dihapal. Skor antara 0-3.
Bahasa
Penamaan: Perlihatkan pada responden arloji dan tanyalah padanya nama
benda tersebut. Ulangi untuk pensil. Skor antara 0-2.
Pengulangan: Mintalah responden mengulang kalimat tersebut setelah Saudara
mengucapkannya. Percobaan pengulangan tersebut hanya boleh 1 kali. Skor 0
atau 1.
Perintah 3 tahap: Berilah responden selembar kertas putih dan berikan perintah
3 tahap tersebut. Skor 1 angka untuk tiap tahap yang dilaksanakan dengan
benar.
Membaca: Pada selembar kertas kosong, tulislah dengan huruf balok:
"PEJAMKAN MATA ANDA". Huruf-huruf tersebut harus cukup besar bagi
responden, sehingga terlihat dengan jelas. Mintalah responden untuk
membacanya dan melaksanakan perintah tersebut. Skor 1 angka hanya jika
responden memejamkan matanya.
Menulis: Berilah pasien sepotong kertas kosong dan mintalah responden
menulis sebuah kalimat untuk Saudara. Jangan mendiktekan kalimat, karena
hal ini harus dikerjakan responden dengan spontan. Kalimat tersebut haras
mengandung subyek, kata kerja dan mempunyai arti. Tata bahasa dan tanda
baca yang benar tidak perlu diperhatikan.
Meniru: Pada sepotong kertas yang bersih, gambarlah 2 segi lima yang
berpotongan, panjang tiap sisi 2,5 cm (berikan contoh gambar sesuai ukuran)
dan mintalah responden untuk menirunya setepat mungkin. Ke 10 sudut harus
tergambar dan 2 sudut harus berpotongan untuk memperoleh skor 1 angka.
Gelombang dan putaran dapat diabaikan.

Nilailah tingkat kesadaran responden pada garis aksis, dari sadar penuh pada
ujung kiri sampai dengan koma pada ujung kanan.

Interpretasi :
Dalam melakukan interpretasi hasil penilaian MMSE maka perlu
mempertimbangkan tingkat pendidikan dan kesadaran pasien.
Secara umum (sederhana) pengelompokkan fungsi kognitif global dengan
instrumen MMSE dapat dikelompokkan sebagai berikut
Skor 0-10 : fungsi kognitif global buruk

Skor 11-20: fungsi kognitif global sedang

Skor 21 – 30: fungsi kognitif global masih relatif baik

5) Montreal Cognitive Assassment (MoCA)


Untuk memeriksa gangguan kognitif salah satunya adalah dengan
menggunakan Montreal Cognitif Assesment (MoCA) yang digunakan untuk
mengetahui adanya mild cognitive impairment. MoCA terdiri dari 30 poin yang
akan diujikan dengan menilai beberapa domain kognitif, yaitu :
a. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail-making B (1 poin), phonemic fluency
test (1 poin), dan two item verbal abtraction (1 poin).
b. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing test (3 poin) dan
menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin)
c. Bahasa: menyebutkan 3 nama binatang (singa, unta, badak ; 3 poin),
mengulang 2 kalimat (2 poin), kelancaran berbahasa (1 poin)
d. Delayed recall: menyebutkan 5 kata (5 poin), menyebutkan kembali setelah
5 menit (5 poin)
e. Atensi: menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin), digit
fordward and backward (masing-masing 1 poin)
f. Abstaksi: menilai kesamaan suatu benda (2 poin)
g. Orientasi: menilai menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari, tempat dan kota
(masing-masing 1 poin) (Panentu & Irfan, 2013).
(Husein, et al., 2010).
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa:


1. Fungsi kognitif menurut behavioral neurology, yaitu suatu proses di mana semua
masukan sensoris meliputi rangsang taktil, visual, dan auditorik akan diubah,
diolah, disimpan, dan digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna
sehingga seseorang mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris
tersebut.
2. Fungsi kognitif diatur dalam kesatuan sistem limbik yang terdiri dari beberapa
domain/aspek, yaitu atensi, bahasa, memori, visuospasial, dan fungsi eksekusi.
3. Fungsi kognitif dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, aktivitas fisik,
jenis kelamin, riwayat penyakit, dan riwayat pendidikan.
4. Fungsi kognitif dapat dinilai menggunakan beberapa metode pengukuran seperti
AD-8, SBT, CBT, MMSE, dan MoCA.
5. Setiap pengukuran fungsi kognitif dapat digunakan sesuai ketersediaan waktu
dan alat.
DAFTAR PUSTAKA

Agrell, B. & Dehun, O. 1998. Review: The Clock Drawing Test. Age and Ageing
27(1): 399-403
Galvin, JD; C.M. Roe, PhD; K.K. Powlishta, PhD; M.A. Coats, RN, MSN; S.J.
Muich, RN, MSN; E. Grant, PhD; J.P. Miller; M. Storandt, PhD; and J.C. Morris,
MD. 2005. “The AD8: A Brief Informant Interview to Detect Dementia”.
Neurology 65(2):559-563
Guyton; Arthur C; John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hamidah, 2011. Perbedaaan Kognitif Penderita Diffuse Injury Grade II dengan
Pemberian Latihan Fisik Awal dan Latihan Fisik Standar. Semarang: Tesis.
Universitas Diponegoro
Husein, N; Lumempouw, S; Ramli, Y; Herqutanto. 2010. “Uji Validitas dan
Reliabilitas Butir Pemeriksaan dengan Montreal Cognitive Assessment Versi
Indonesia (MoCA-INA) untuk Skrining Gangguan Fungsi Kognitif”. Neurona
27(4):1-13
Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik edisi ke-3. Jakarta:
EGC.
Oktivia, W & Fuadi, I. 2019. “Perbandingan Mini Mental State Examination
(MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT) untuk Mendeteksi Disfungsi Kognitif
pada Cedera Otak Traumatik Ringan dan Sedang”. JNI 8(2): 90–8
Panentu, D & Irfan, M. 2013. “Uji Validitas dan Reliabilitas Butir Pemeriksaan
dengan Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-INA) pada Insan
Pasca Stroke Fase Recovery”. Jurnal Fisioterapi 13(1): 55-67
PERDOSSI. Pedoman Neurobehavior. Jakarta. 2008
Snell, Richard. 2007. Anatomi Klinik, Edisi 9. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai