Anda di halaman 1dari 30

NILAI:

LAPORAN
PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III
(MIGREN)

Nama : Kartika wanda damayanti (180500177)


Lelly Nur Fauziyah (180500178)
Lubabun Nadliroh (180500179)
Lukluul Masfiyah (180500180)
Nadiawati (1805001)
Kelompok : B
Tanggal Praktikum : 5 Oktober 2020
Dosen Praktikum : Apt. Ari Susiana., M.Pharm

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALMA ATA
YOGYAKARTA
2020
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. MIGRAIN
1. Definisi Migrain
Migrain adalah nyeri kepala berulang dengan serangan berlangsung selama 4
sampai 72 jam, dengan karakteristik berlokasi unilateral, nyeri berdenyut (pulsating),
intensitas sedang atau berat, diperberat oleh aktivitas fisik rutin, dan berhubungan
dengan mual dan/atau fotofobia serta fonofobia (Headache Classiffication Subcomittee
of the International Headache Society, 2004 dalam Riyadina dan Turana, 2014).
2. Epidemiologi Migrain
Nyeri kepala migrain diperkirakan dua sampai tiga kali lebih sering pada
perempuan daripada laki-laki, cenderung dijumpai dalam satu keluarga, diperkirakan
memiliki dasar genetik, dan biasanya dijumpai pada perempuan muda yang sehat.
Pengidap migrain yang memiliki keluarga dekat yang juga mengidap migrain memiliki
persentase 75-80%. Migrain paling sering terjadi pada perempuan berusia kurang dari
40 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada menopause akibat perubahan produksi
hormon (Price and Wilson, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa migrain menempati urutan kedua
terbanyak setelah nyeri kepala tipe tegang, yaitu sebanyak 29,5% dari populasi.
Migrain menjadi penyebab pasien datang untuk berobat dan menempati urutan ke-19
dari semua penyakit yang menyebabkan disabilitas di dunia (Lipton, 2005 dalam
Abadi, 2012).
Prevalensi migrain pada orang dewasa adalah 10-12% setahun, dimana prevalensi
untuk laki-laki adalah 6% dan untuk perempuan adalah 15-18%, sedangkan
perbandingan antara migrain tanpa aura dengan migrain dengan aura adalah 5:1
(Ropper, 2005 dalam Abadi, 2012). Data populasi lain melaporkan bahwa gangguan
sakit kepala paling sering pada orang dewasa di dunia adalah nyeri kepala umum
sebanyak 46%, migrain sebanyak 11%, dan nyeri kepala tipe tegang sebanyak 42%
(MacGregor et al., 2001 dalam Fransiska et al., 2007).
Data nasional mengenai seberapa besar prevalensi migrain di Indonesia sampai
saat ini belum ada. Penelitian-penelitian mengenai migrain kebanyakan dilakukan
dengan sampel terbatas dan berbasis rumah sakit (hospital based) (Riyadina dan
Turana, 2014). Penelitian yang dilakukan di Jakarta terhadap penderita migrain
kelompok usia 16 sampai 30 tahun mencatat prevalensi migrain sebanyak 43,5%,
dimana prevalensi wanita sebesar 53,5% dan pria sebesar 35,8% (Fransiska et al.,
2007).
Prevalensi migrain dapat menurun seiring dengan bertambahnya usia, namun
penyakit ini masih signifikan setelah dekade keenam kehidupan, karena masih dua kali
lebih banyak pada perempuan dibandingkan dengan pada laki-laki, dan mungkin
memburuk selama menopause (Price and Wilson, 2005).
3. Etiologi Migrain
Banyak teori telah dikemukakan mengenai patogenesis migrain, diantaranya:
a) Teori Vaskular
Teori yang diusulkan oleh Wolff ini menduga bahwa patogenesis migrain
disebabkan oleh gangguan vaskular. Hal ini diketahui dari migrain dengan aura,
dimana terjadi vasokontsriksi arteri intrakranial tertentu kemudian disusul oleh
vasodilatasi terutama dari cabang arteri karotis eksterna. Vasodilatasi akan
meregangkan ujung-ujung saraf dinding pembuluh darah sehingga menimbulkan
nyeri, selain itu juga terjadi pelepasan polipeptida yang akan merendahkan ambang
nyeri pada ujung saraf (Machfoed, 2004 dalam Yusuf, 2009).
b) Teori Sistem Trigemino-vaskular
Peneliti lain mengemukakan bahwa migrain dapat berasal dari pelebaran pembuluh
darah di otak dan duramater yang dipersarafi oleh nervus trigeminus sebagai
bagian dari sistem trigemino-vaskular. Peptida substansi P (SP), Neurokinin A
(NKA), dan Calcitonin gen-related peptide (CGRP) ditemukan dalam sel nervus
trigeminus yang menimbulkan pelebaran pembuluh darah otak. CGRP merupakan
peptida yang paling sering dikaitkan dengan migrain dibanding dengan jenis
peptida lain yang disebutkan diatas. Studi pada kultur dari neuron trigeminal
menunjukkan bahwa CGRP dilepas dari sel ganglia trigeminal, dengan transkripsi
CGRP meningkat dalam kondisi yang menyerupai inflamasi neurogenik. Aktivasi
nervus trigeminus dapat melepaskan CGRP dan peptida lain yang menyebabkan
pelepasan mediator-mediator inflamasi. Mediator ini meningkatkan sintesis CGRP
dan dilepaskan dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Peningkatan
sintesis dan pelepasan CGRP dimediasi oleh pengaktifan protein mitogen-
activated kinase (MApK) pathway dan diatur oleh unsur endogen inflammatory
seperti TNF-α dan dipengaruhi oleh obat seperti sumatriptan (Durham, 2005 dalam
Yusuf, 2009).
c) Teori Aktivasi Perifer Nervus Trigeminus
Migrain adalah suatu kelainan dismodulasi sensoris, dimana aktivitas
aferen normal diterima sebagai hal yang berlebihan. Hal tersebut berkaitan dengan
kelainan yang terjadi di batang otak (brainstem), yaitu daerah yang secara normal
memegang kendali neuron sensorik. Hasilnya berupa pelepasan sensoris
berlebihan di thalamus, sehingga pasien melaporkan sebagai nyeri, fotofobia,
fonofobia, atau gerakan kepala (Goadsby, 2005 dalam Yusuf, 2009).
d) Teori Inflamasi Neurogenik dan Aktivasi Sentral Nervus Trigeminus
Beberapa penelitian menyatakan bahwa mungkin nyeri kepala migrain
merupakan suatu bentuk radang neurogenik steril, walaupun sampai saat ini tidak
ada data yang cukup kuat untuk mendukungnya. Ekstravasasi plasma neurogenik,
dan kebocoran plasma dari duramater, dapat dilihat saat terjadi rangsangan elektrik
pada ganglion trigeminal
Penelitian lain juga menyatakan bahwa terdapat suatu proses inflamasi
steril dari nervus trigeminus yang melepaskan neuropeptida vasoaktif yang
mengaktifkan sel endotel, sel mast, dan trombosit untuk melepaskan substansi
vasoaktif seperti histamin, serotonin, peptikinin, prostaglandin, dakatekolamin.
Substansi-substansi tersebut menyebabkan kontraksi dan relaksasi otot-otot polos
dan gejala-gejala migrain (Machfoed, 2004 dalam Yusuf, 2009).
Fase sensitisasi sentral pada migrain serta induksi nyeri ditimbulkan oleh
komponen inflamasi yang dilepas dari duramater, seperti ion potasium, proton-
proton, serotonin, bradikinin, prostaglandin E2 di pembuluh darah serebral, dan
serabut saraf yang dapat menimbulkan nyeri kepala (Landy, 2003 dalam Yusuf,
2009).
e) Teori Calcium Channelopathy
Saluran ion dapat menjaga dan mengontrol potensial listrik membran sel. Mutasi
dari gen saluran ion Voltage-gated P/Q type calcium channel genes berpengaruh
terhadap pelepasan neurotransmitter presinaps (Erlington G, 2002 dalam Yusuf,
2009).
4. Patofisiologi Migrain
Penyebab spesifik nyeri kepala migrain masih belum diketahui, namun
pemahaman mengenai mekanisme yang terjadi telah jauh berkembang sejak awal tahun
1990. Migrain didefinisikan sebagai suatu penyakit vaskular, yang mungkin dipicu oleh
proses-proses yang menyebabkan vasokonstriksi, diikuti oleh vasodilatasi, peradangan,
dan nyeri kepala.
Proses vaskular memang terjadi saat serangan nyeri sebagai fenomena sekunder
yang mencerminkan gangguan neurokimiawi di sistem saraf pusat. Perubahan-
perubahan neurokimiawi terutama dopamin dan serotonin menyebabkan hilangnya
pegendalian neural sentral, yang mengakibatkan keseimbangan vaskular pembuluh-
pembuluh kranial terganggu dan pembuluh-pembuluh tersebut melebar sehingga
plasma keluar menuju ruang perivaskular. Aferen trigeminus yang mempersarafi
pembuluh-pembuluh darah ini secara reaktif membebaskan berbagai neuropeptida yang
memicu respon peradangan di sekitar dinding pembuluh darah. Beberapa penelitian
mengisyaratkan bahwa permulaan serangan migrain terutama melibatkan disfungsi
sistem saraf pusat yang kemudian disertai oleh pengaktifan sistem trigemino-vaskular,
dan pembebasan peptida, terutama calcitonin gene-related peptide (CGRP) yang
kemungkinan berasal dari serat C (Price and Wilson, 2005).
Salah satu substansi vasoaktif yang diduga berperan dalam terjadinya migrain
adalah nitric oxide (NO), yang merupakan salah satu zat vasodilator yang dilepaskan
dari endotel atau saraf perivaskular. Substansi tersebut dapat memicu aktivasi sistem
trigemino-vaskular dan sebagai mediator pelepasan CGRP dalam menginduksi nyeri
kepala (Sjahrir, 2004 dalam Abadi, 2012).
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa NO platelet lebih tinggi pada penderita
migrain saat serangan nyeri kepala. Penelitian lain mengemukakan bahwa NO basal
lebih tinggi secara signifikan pada penderita migrain fase interiktal dibandingkan
dengan orang sehat (Stirparo G, 2000 dalam Abadi, 2012).
Riyanto (1995) dalam Yusuf (2009) menjelaskan bahwa migrain terdiri dari empat
fase klinik, yaitu:
a) Fase Prodromal
Fase ini disebut juga fase pendahuluan, dimana gejala dapat timbul
beberapa jam sampai beberapa hari sebelum serangan migrain. Gejala dapat terdiri
dari gejala mental, neurologik, atau gejala umum.Gejala mental dapat berupa
depresi, euforia, iritabilitas, gelisah, bisa menjadi lamban maupun hiperaktif, rasa
lelah dan mengantuk.
b) Fase Aura
Aura merupakan gejala neurologik fokal yang mendahului serangan
migrain, yang umumnya timbul selama 5 sampai 20 menit dan jarang yang
melebihi 60 menit. Gejala aura dapat berupa gejala visual, sensorik, maupun
motorik, dan terkadang melibatkan fungsi batang otak dan fungsi berbahasa,
namun gejala aura juga belum pasti diikuti oleh serangan migrain.
c) Fase Nyeri Kepala
Nyeri kepala migrain dapat terjadi setiap saat, namun paling sering timbul
di pagi hari. Nyeri timbul secara perlahan-lahan dan setelah mencapai puncaknya
akan berangsung-angsur menghilang. Fase ini umumnya berlangsung antara 4
sampai 72 jam pada orang dewasa dan 2 sampai 48 jam pada anak-anak. Nyeri
dirasakan pada kedua sisi (bilateral) pada 40% kasus, pada 60% kasus nyeri
dirasakan hanya di satu sisi (unilateral), dan pada 20% kasus nyeri selalu dirasakan
di bagian yang sama.
d) Fase Postdromal
Fase ini merupakan fase yang berlangsung setelah nyeri kepala mereda.
Penderita migrain biasanya akan merasa lelah, iritabel, gelisah dan sulit
berkonsentrasi, serta dapat disertai dengan pegal- pegal pada otot, anoreksia, atau
justru terjadi peningkatan nafsu makan.
5. Sistem Saraf Penderita Migrain
Beberapa penelitian tentang potensi yang dipicu oleh rangsang pendengaran dan
penglihatan membuktikan bahwa penderita migrain memiliki sistem saraf yang lebih
sensitif terhadap faktor lingkungan dan internal daripada mereka yang tidak mengidap
migrain. Hal tersebut tampaknya menyebabkan individu rentan terhadap gangguan lain
seperti vertigo, nyeri abdomen, dan mabuk perjalanan. Komorbiditas lain mencakup
gangguan suasana hati, misalnya depresi, rasa cemas, gangguan panik, epilepsi, asma,
dan penyakit vaskular perifer. Para pengidap migrain sebaiknya diidentifikasi sebagai
suatu populasi yang berisiko terjangkit penyakit lain, seperti pada penanganan
kesehatan pengidap hipertensi atau hiperlipidemia, sehingga intervensi dini dapat
mengurangi dampak penyakit-penyakit tersebut (Price and Wilson, 2005).
6. Faktor Pemicu Migrain
Banyak orang dengan nyeri kepala migrain dapat mengenali satu atau lebih pemicu
yang memulai serangan nyeri. Pemicu yang sering adalah anggur merah, coklat, bau
yang tajam, cahaya berkedip- kedip, alkohol, kafein, nikotin, dan makanan yang
banyak mengandung gula murni. Stres emosi dan daur tidur yang tidak teratur juga
diketahui merupakan pemicu migrain yang kuat pada sebagian orang. Faktor-faktor
pelindung seperti waktu tidur dan bangun yang teratur, serta biofeedback dapat
membantu dalam mencegah serangan migrain (Price and Wilson, 2005).
Dewanto (2009) menyatakan bahwa pencetus yang dapat mengakibatkan timbulnya
migrain antara lain:
a) Perubahan hormon.
Perubahan hormon memiliki kontribusi sebesar 65,1% sebagai pencetus
migrain. Estrogen dan progesteron merupakan hormon utama yang berkaitan
dengan serangan migrain, baik saat menstruasi maupun tidak terjadi menstruasi.
Penurunan konsentrasi estrogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi
merupakan saat terjadinya serangan migrain.
b) Makanan.
Makanan berkontribusi sebagai pencetus migrain sebanyak 26,9%.
Makanan yang sering menyebabkan nyeri kepala pada beberapa orang adalah
makanan yang bersifat vasodilator (mengandung histamin), seperti anggur merah
dan natrium nitrat, juga makanan yang bersifat vasokonstriktor (mengandung
tiramin), seperti keju, cokelat, dan kafein. Beberapa zat tambahan dalam makanan
juga dapat memicu migrain, seperti natrium nitrit, monosodium glutamat (MSG),
dan aspartam.
c) Stres.
Stres berkontribusi sebanyak 79,7% sebagai pencetus migrain. Terlalu
letih, sibuk, kurang tidur, emosi berlebih, atau ketegangan dapat memicu kelenjar
adrenal untuk melepaskan hormon noradrenalin, tetapi beberapa kasus migrain
dapat muncul setelah ketegangan reda atau masa stres sudah lewat.
d) Rangsangan sensorik.
Beberapa rangsangan sensorik diketahui dapat memicu terjadinya migrain,
seperti sinar yang terang dan menyilaukan (38,1%), serta bau yang menyengat
(43,7%).
e) Aktivitas fisik.
Pemicu migrain yang berkaitan dengan aktivitas fisik diantaranya aktivitas
fisik yang berlebih termasuk aktivitas seksual (27,3%), perubahan pola tidur,
seperti terlalu banyak tidur atau kurang tidur (32%), dan gangguan saat tidur
(49,8%).
f) Perubahan lingkungan.
Perubahan cuaca, iklim, tingkat barometer, perbedaan zona waktu dan
perbedaan ketinggian diketahui diketahui berkontribusi sebagai pencetus migrain
sebesar 53,2%.
g) Alkohol.
Alkohol termasuk zat diuretik, yaitu zat yang dapat menyebabkan dehidrasi
pada tubuh sehingga dapat mencetuskan nyeri kepala migrain dengan kontribusi
37,8%.
h) Merokok.
Merokok berkontribusi sebagai pencetus migrain sebesar 35,7%. Pengaruh
merokok bukan hanya terhadap orang yang merokok tetapi juga terhadap perokok
pasif disekitarnya. Kandungan nikotin akan menyebabkan pembuluh darah
menyempit dan aliran darah ke otak berkurang.
7. Klasifikasi Migrain
Teori tentang klasifikasi nyeri kepala migrain telah banyak dikemukakan. IHS
(International Headache Society) membagi migrain menjadi dua, yaitu:
a) Migrain tanpa Aura
Migrain tanpa aura adalah tipe yang jauh lebih sering dijumpai, karena
ditemukan pada sekitar 80% dari semua pengidap migrain. Migrain tanpa aura
mungkin dimulai di neuron-neuron nosiseptif di pembuluh darah. Sinyal nyeri
berjalan dari pembuluh darah ke aferen primer dan kemudian ke ganglion
trigeminus dan akhirnya mencapai nukleus kaudalis trigeminus yang merupakan
suatu daerah pengolah nyeri di batang otak. Neuron-neuron aktif di sistem saraf
pusat kemudian mengekspresikan gen c-fos yang ditekan oleh butabarbital di
dalam nukleus kaudatus.
IHS (International Headache Society) mendefinisikan migrain sebagai
paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memeuhi kriteria
berikut:
1) Durasi 4 sampai 72 jam apabila tidak diobati.
2) Nyeri kepala dengan paling sedikit dua dari empat gambaran berikut:
lokasi unilateral,kualitas berdenyut (pulsating), intensitas nyeri sedang
sampai berat, atau nyeri yang diperparah oleh aktifitas fisik rutin.
3) Paling sedikit terdapat satu dari dua hal berikut selama nyeri kepala: mual
dan muntah atau keduanya, fotofobia dan fonofobia.
b) Migrain dengan Aura
Pasien yang mengalami migrain dengan didahului oleh aura lebih besar
kemungkinannya mengalami rangkaian perubahan neurobiologik selama 24
sampai 48 jam sebelum awitan nyeri kepala. Perubahan-perubahan fungsi
neurologik tersebut biasanya dimulai dan berakhir sebelum awitan nyeri kepala.
Kualitas penyebaran gejala neurologik fokal yang khas mengisyaratkan bahwa
aura seupa dengan “spreading depression” pada korteks yang terjadi saat suatu
gelombang depolarisasi listrik berjalan melintasi korteks dan merangsang neuron-
neuron sehingga fungsi neuron-neuron tersebut terganggu dan terjadi pengaktifan
trigeminus. Spreading depression tersebut memerlukan aktivitas reseptor N-metil-
D-aspartat (NMDA) glutamat. Gejala aura yang khas mencakup perubahan
penglihatan dan sensorik abnormal lainnya seperti kilatan atau cahaya tajam atau
merasa mengecap atau membaui sesuatu, serta defisit motorik dan bicara (afasia).
Aura juga dapat bersifat somatosensorik seperti rasa baal di satu tangan atau satu
sisi wajah.
Kriteria diagnostik IHS untuk migrain dengan aura mensyaratkan bahwa
harus terdapat paling tidak tiga dari empat karakteristik berikut:
1) Satu atau lebih gejala aura reversibel yang mengisyaratkan disfungsi
korteks serebrum atau batang otak atau keduanya.
2) Satu gejala aura timbul secara bertahap selama lebih dari 4 menit.
3) Tidak ada gejala aura yang menetap lebih dari 60 menit (durasi secara
proporsional meningkat apabila terdapat lebih dari satu gejala aura).
4) Nyeri kepala mengikuti aura dengan interval bebas kurang dari 60 menit
dan dapat muncul sebelum atau bersama aura. Nyeri kepala biasanya
berlangsung 4 sampai 72 jam tetapi mungkin tidak ada (aura tanpa nyeri
kepala) (Price and Wilson, 2005).
Beberapa hal yang perlu diingat dalam penggunaan kriteria IHS adalah
tidak semua serangan migrain harus memenuhi semua karakteristik tersebut,
sebagai contoh banyak migrain yang bersifat bilateral dan tidak berdenyut.
Dampak dan hendaya migrain dapat disebabkan oleh gejala yang memang
menyebabkan hendaya, dan menjadi sumber gangguan itu sendiri selain nyeri dari
serangan migrain. Banyak fungsi fisiologik yang terganggu selama migrain,
diantaranya:
1) Gangguan pemrosesan sensorik menyebabkan disfungsi penglihatan dan
pendengaran (fotofobia dan fonofobia);
2) Gangguan motilitas gastrointestinal dapat menyebabkan mual dan muntah
serta kesulitan mengkonsumsi obat antimigrain oral;
3) Gangguan otonom dapat menimbulkan berbagai gejala seperti diare; dan
4) Gangguan serebrum dapat menyebabkan perubahan kognitif dan suasana
hati (Price and wilson, 2005).
8. Alat Ukur Disabilitas Migrain
Alat ukur disabilitas migrain yang sering dipakai adalah Migraine Disability
Assessment (MIDAS) yaitu berupa kuesioner. MIDAS awalnya dikembangkan untuk
mengukur disabilitas penderita migrain. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
MIDAS lebih substansial untuk penderita migrain daripada nyeri kepala non migrain.
Kuesioner ini mengukur disabilitas akibat migrain dalam tiga area, yaitu pekerjaan
yang dibayar atau sekolah, pekerjaan rumah tangga, dan aktivitas diluar pekerjaan.
Suatu penelitian berskala nasional dan berbasis populasi telah dilakukan di Amerika
dan Inggris, dan dibuktikan bahwa MIDAS memiliki reliabilitas tinggi, mudah
digunakan, intuitif, dan memiliki konsistensi internal yang baik (Stewart et al., 1999
dalam Salusu, 2014).
MIDAS terdiri dari lima pertanyaan pokok dengan pola menaksir disabilitas yang
berhubungan dengan sakit kepala untuk digunakan klinisi. Skor MIDAS dibagi dalam
empat tingkatan (Sjahrir, 2004 dalam Salusu, 2014), yaitu:

a) Kelompok I (skor 0-5).


Kelompok ini menunjukkan bahwa terdapat disabilitas yang sedikit atau tidak
terdapat disabilitas selama tiga bulan terakhir dan memerlukan kebutuhan
pengobatan yang rendah.
b) Kelompok II (skor 6-10).
Kelompok ini menunjukkan terdapat disabilitas ringan selama tiga bulan terakhir
dan memerlukan pengobatan sedang.
c) Kelompok III (skor 11-20).
Kelompok ini menunjukkan disabilitas sedang, serta memerlukan pengobatan
dan pencegahan.
d) Kelompok IV (skor ≥21).
Kelompok ini menunjukkan disbilitas berat, dimana sangat diperlukan pengobatan
dan terapi pencegahan harus dipertimbangkan.
Shin et al. (2008) dalam Salusu (2014) mengatakan bahwa MIDAS dibuat
untuk mengelompokkan pasien dengan tujuan untuk memonitor terapi dan
perjalanan klinis pasien, dan tidak praktis digunakan secara rutin, selain itu
MIDAS membutuhkan waktu selama tiga bulan pengamatan yang dinilai terlalu
lama untuk mengukur perubahan klinis jangka pendek.

9. Terapi Migraine
Dokter yang mengobati pasien migraine harus memperhatikan akibat migraine tersebut
pada hidup pasien, keluarganya, dan pekerjaan pasien. Oleh karena itu, dokter
sebaiknya menentukan tujuan terapi jangka panjang dan tujuan terapi migraine akut
(Deborah, 2005)
Tujuan terapi migraine jangka panjang meliputi :
a) Menurunkan frekuensi, tingkat keparahan, dan ketidak mampuan akibat migrain
b) Meningkatkan kualitas hidup
c) Mencegah nyeri kepala
d) Mencegah penggunaan obat nyeri kepala yang berlebihan
e) Mengajarkan pasien agar mampu menangani sendiri, nyeri kepala yang
dideritanya.
f) Menurunkan stress dan gejala psychologic yang menyebabkan migraine (Deborah,
2005)
Tujuan terapi migraine akut :
a) Memperbaiki ketidakmampuan pasien akibat migraine
b) Mengobati serangan migraine dengan cepat dan konsisten tanpa rekuren
c) Meminimalkan atau menghilangkan efek samping
d) Efektif dalam penanganan
Migraine dapat diobati secara nonfarmakologik maupun dengan cara farmakologik
(Deborah, 2005) :
Pendekatan non farmakologik
Sebaiknya dengan cara menghindari agen penyebab migraine dan jika migraine
telah terjadi, maka dapat dilakukan pendekatan non farmakologik, seperti beristirahat
atau tidur, sebaiknya di ruangan yang gelap, lingkungan yang tenang. Catatan
mengenai frekuensi, tingkat keparahan, dan durasi serangan nyeri kepaka dapat
membantu mengidentifikasikan penyebab migraine. Dibawah ini adalah agen yang
biasanya menyebabkan migraine :
a) Makanan : alkohol, kafein, coklat, pisang, produk kalengan, monosodium glutamat
(pada makanan instan), sakarin, aspartat, makanan yang mengandung tiramin
b) Lingkungan : suara keras, ketinggian, perubahan cuaca, asap rokok, cahaya yang
terlalu terang
c) Perubahan perilaku-phyiologik : tidur yang kurang, kelelahan, menstruasi,
menopause, aktivitas fisik yang berlebihan, stress
Terapi farmakologi
a) Terapi migrain akut
1) NonSteroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID)
Kombinasi aspirin, asetaminophen, dan kafein telah disetujui
penggunaannya oleh FDA (Food Drug Administration) sebagai obat pilihan
pertama untuk pengobatan serangan migraine ringan dan sedang. NSAID
mencegah inflamasi pada sistem trigeminovaskular melalui inhibisi sintesis
prostaglandin. Pada umumnya, NSAID dengan waktu kerja yang panjang
lebih dianjurkan. NSAID harus digunakan hati-hati pada pasien dengan
ulkus peptikum, penyakit ginjal atau hipersensitivitas. Kombinasi terapi
dengan metoklopramide dapat meningkatkan absorbsi dari analgesik dan
meringankan gejala mual dan muntah akibat migraine.
2) Ergotamin tartrat
Ergotamin tartrate dan dihydroergotamin berguna pada pengobatan
serangan migraine sedang dan berat. Ergotamin adalad alkaloid ergot asam
amino, sedangkan dihydroergotamin alkaloid ergot asam amino.Obat ini
adalah agonis nonselektif reseptor 5-HT1 yang menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial, dan mencegah inflamasi
neurogenik pada sistem trigeminovaskular. Dengan dosis klinik umumnya,
efek antimigrain mungkin dihasilkan dari vasokontriksi dan reduksi pulsasi
arteri ekstrakranial.

Ergotamin tartrat tersedia dalam bentuk oral, sublingual, dan rektal.


Preparat rektal dan oral mengandung kafein untuk meningkatkan absorbsi.
Mual dan muntah merupakan efek samping yang paling umum pada
pemberian derivat ergotamine Bagaimanapun juga, ergotamin, 12 kali lebih
emetik dibandingkan dengan dihidroergotamine. Pemberian antiemetik
harus dipertimbangkan pada terapi migraine dengan ergotamine.
Sekitar 60 % dosis ergotamin diabsorbsi dari saluran pencernaan.
Dengan dosis klinik umumnya, level darah puncak terjadi dalam dua jam
dan terdapat dalam rentang rendah (1-3) nanogram/ml. Ergotamin tartrat
paling efektif jika diberikan pada saat terjadi serangan. 2 mg dosis oral atau
sublingual diberikan ketika terjadi nyeri diikuti dengan 2 mg setiap jam.
Jika diperlukan, hingga nyeri itu reda, tetapi tidak melebihi 6 mg sehari.
Beristirahat di ruangan yang gelap meningkatkan aksi dari obat ini. Jika
menginginkan efek terjadi lebih cepat atau jika pasien mengalami mual
atau muntah dengan sakit kepala yang berat, dosis obat 0,5 mg
intramuskular diberikan pada saat serangan. Rute lain pemberian ergotamin
adalah 2 mg rektal supositoria atau aerosol inhaler 0,36 mg. Dengan dosis
yang adekuat, hilangnya serangan pada 70-80 % pasien dapat terjadi.
Terapi ergotamin dapat lebih efektif ketika digunakan bersama kafein,
karena meningkatkan absorbsi ergotamine. Kombinasi yang mengandung 1
atau 2 mg ergotamin dan 50 atau 100 mg kafein telah tersedia.. Keuntungan
dan kombinasi obat, bagaimanapun, dapat menurun karena insomnia yang
diakibatkan kafein. Oleh karena itu, penggunaannya tergantung pada
keadaan pasien.
Terkadang, serangan migrain tetap berlanjut bahkan setelah dosis
maksimum ergotamine telah diberikan. Pada situasi ini, analgesik kuat
seperti kodein atau pentazosine dapat digunakan. Sedasi dengan barbiturat
dapat membantu dan mampu menginduksi tidur dengan 100-200 mg
pentobarbital telah menghentikan banyak serangan. Flurazepam (15-30 mg)
dapat juga digunakan untuk tujuan itu. Mual danMuntah yang berlanjut
dapat diobati dengan obat antiemetik. Phenothiazine seperti
prochlorperazine (5-10 mg) atau thiethylperazine (6,5 mg) diberikan baik
secara supositoria ataupun parenteral.
Efek samping dari ergotamin terjadi pada lebih dari 30 % pasien
yang diobati, dan meliputi ketulian, parestesia ekstremitas, kram otot dan
kaku, kelelahan, dan distress prekordial. Efek samping cenderung lebih
sering dan berat pada pemberian dosis tinggi. Overdosis yang memanjang
dapat menyebabkan ergotism, meningkatnya gangren pada ibu jari dan jari.
Ergotamin tartrat sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan hipertensi
berat atau dengan penyakit vaskular perifer, jantung, otak atau gangguan
ginjal atau fungsi hati, atau sepsis. Sebaiknya dihindari pada ibu hamil,
tetapi karena mempunyai sedikit efek oksitosik , maka obat ini dapat
diberikan dengan peringatan, jika terdapat indikasi.
Pada beberapa pasien, ketergantungan ergotamin menjadi suatu
masalah. Manifestasinya adalah terjadinya kembali sakit kepala setelah
efek ergotamin menurun setelah beberapa jam waktu pemberian. Hal ini
dapat diatasi dengan periode putus obat. Pada masa itu, nyeri kepala diobati
dengan kodein (30-45 peroral) atau pentazosin (30-45 intramuskular),
diberikan dalam interval 4 jam, jika diperlukan.
Dihidroergotamin mesylate juga efektif dalam mengobati serangan
migrain akut. Efek farmakologiknya sama dengan ergotamine tartrat,
walaupun efek vasokontriksinya kurang dan efek reflek blocking
adrenergik besar. Obat ini buruk diabsorbsi dari saluran pencernaan, oleh
karena itu, diberikan perenteral. Dosis awalnya diberikan secepat mungkin
setelah adanya tanda serangan, sebesar 1 mg intramuskular. Dosis yang
sama dapat diberikan setiap jam, jika diperlukan, hingga nyeri kepala
menghilang, tetapi tidak melebihi 3 mg sehari. Pemberian dosis 0,3 mg
intramuskular dapat digunakan jika menginginkan efek yang cepat, tetapi
dosis sebaiknya tidak melebihi 2 mg. Overdosis akut dari ergotamin
menyebabkan hipertensi atau hipotensi, koma, dan kejang. Pada
pengobatan overdosis dihidroergotamin, dapat digunakan vasodilator atau
diazepam intramuskular untuk mengatasi kejang. (deborah s. King and
katherine c. Herdon, pharmacotherapy, a pathophysiologic approach, sixth
edition)
3) Antiemetik
Terapi antiemetik tambahan berguna untuk mengatasi mual dan
muntah yang sering menyertai migraine. Dosis tunggal antiemetik seperti
metoklopramide, klorpromazine, prochlorperazine biasanya diberikan 15-
30 menit sebelum pemberian obat migraine abortif. Preparat supositoria
juga dapat diberikan jika terjadi mual dan muntah yang berat.
Metoklopramide juga berguna untuk meningkatkan absorbsi dari saluran
pencernaan selama serangan. (Deborah S. King and Katherine C. Herdon,
Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, Sixth Edition)
4) Agonis reseptor serotonin
Agonis reseptor serotonin efektif dalam terapi migraine. Kelas pertama dari
golongan ini adalah sumatripan, dan generasi kedua adalah zolmitripan,
naratripan, rizatripan, , almotripan, frovatripan, dan eletriptan adalah agonis
selektif dari reseptor 5- HT1B dan 5-HT1D. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat pelepasan neuropeptida vasoaktif dari nervus trigeminal
perivaskular melalui stimulasi reseptor presinaptik 5- HT1D, mengganggu
transmisi signal dalam nukleus trigeminal batang otak melalui reseptor 5-
HT1D, dan vasokontriksi pembuluh darah intrakranial melalui stimulasi

reseptor vaskular 5-HT1B.

Sumatripan adalah obat untuk terapi antimigraine yang secara luas sedang
dipelajari. Sumatripan subkutan mempunyai OOA yang cepat (10 menit)
dibandingkan dengan preparat oral (30 menit). Kira-kira 30 hingga 40 %
pasien yang berrespon terhadap sumatripan mengalami nyeri kepala
rekuren dalam 24 jam. Hal ini dikarenakan waktu paruh obat yang pendek.
Generasi kedua tripan, mempunyai farmakokinetik dan farmakodinamik
yang lebih baik jika dibandingkan dengan sumatripan oral. Golongan ini
mempunyai bioavailabilitas oral yang lebih tinggi dan waktu paruh yang
panjang jika dibandingkan dengan sumatripan. Frovatripan mempunyai
waktu paruh yang terpanjang, tetapi mempunyai OOA yang terpendek.
Efek samping dari triptan meliputi paresthesia, lemah, pusing, kulit
kemerahan, sensasi hangat, dan somnolence (Deborah, 2005).
Terapi pencegahan
Terapi untuk mencegah serangan migraine dilakukan pada pasien yang sering
mendapat serangan.
a) NonSteroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID)
NSAID efektif menurunkan frekuensi, tingkat keparahan, dan durasi dari serangan
migraine. NSAID biasanya digunakan untuk mencegah nyeri yang biasa terjadi
dengan pola tertentu seperti nyeri selama menstuasi.. NSAID sebaiknya diberikan
1-2 hari sebelum onset terjadinya nyeri. Mekanisme NSAID dalam mencegah
nyeri terkait dengan penghambatan sintesis prostaglandin. (Deborah S. King and
Katherine C. Herdon, Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, Sixth
Edition)
b) Antagonis β adrenergik
Propanolol adalah prototipe antagonis adrenergik β. Mekanisme pasti dari
antagonis adrenergik tidak begitu jelas, di duga dapat menaikkan ambang batas
migraine dengan cara memodulasi neurotransmisi adrenergik datau serotonergik
pada jalur kortikal atau subkortikal mencegah dilatasi arteri ekstrakranial,
memblok pengambilan serotonin oleh platelet. Propanolol secara adekuat
diabsorbsi setelah pemberian oral. Kosentrasi plasma puncak terjadi setelah 1-2
jam pemberian.
Dosis efektif propanolol dalam mencegah serangan migraine bervariasi antara 80-
240 mg sehari dengan rata-rata 160 mg. Terapi dimulai dengan 20 mg, dua kali
sehari dan dosis dapat ditingkatkan, jika diperlukan. Efek samping yang umum
dari propanolol meliputi mual, kram abdominal, diare, hipotensi postural, dan
ngantuk. Dosis sebaiknya dipertahankan pada level dimana denyut jantung kurang
dari 60 setiap menitnya. Propanolol sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan
asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit gagal jantung kongestif, gangguan
konduksi atrioventrikular, dan diabetes melitus.
c) Methysergide
Methysergide adalah ergot alkaloid semisintetik yang berperan sebagai antagonis
reseptor 5-HT2 poten yang mampu menstabilkan neurotransmitter serotonergik
pada sistem trigeminovaskular dan menghambat inflamasi karena neurogenik
serotonin. Methysergide diabsorbsi baik setelah pemberian oral, kadar plasma
puncak terjadi setelah 1-2 jam. Level plasma bervariasi antara 20-40 ng/ml selama
pemeliharaan terapi dengan dosis yang umum. Methysergide menurunkan
frekuensi serangan pada kira-kira 60 % pasien yang diobati, Dosis methysergide
sebaiknya ditingkatkan perlahan dengan test 0,5 mg diawal untuk menghilangkan
kecurigaan idiosinkrasi. Jika cocok, dosis ditingkatkan 1 mg sehari, menjadi 1 mg,
tiga kali sehari lalu menjadi 2 mg, 3 kali sehari. Biasanya efektif dalam 1 atau 2
minggu. Jika tidak terlihat keuntungan yang didapat, itu artinya kecil kemungkinan
untuk melanjutkan pemberian methysergide. Jika efektif, pengobatan dilanjutkan
selama 6 bulan. Penghentian obat sebaiknya dilakukan bertahap dalam 2-3 minggu
untuk mencegah ”rebound headache”. Komplikasi fibrotik meliputi fibrosis
retoperitoneal menyebabkan sakit punggung, , nyeri abdominal ; fibrosis
pleuropulmonal menyebabkan nyeri dada atau dyspnea atau fibrosis valvular
jantung menyebabkan murmur jantung, kardiomegali, dan dyspnea. Setelah
interval bebas obat selama 1-2 bulan, obat dapat diberikan lagi selama 6 bulan.

Selama terapi methysergide, terjadi mual, ketidaknyamanan epigastrik, paresthesia,


dan kejang otot pada 45 % pasien yang diobati. Hal ini biasanya terlihat pada
onset terapi dan menurun atau menghilang seiring dengan berlanjutnya terapi atau
menurunnya dosis. Kira-kira 10 % pasien tidak dapat melanjutkan pengobatan
karena efek samping. Supervisi yang ketat terhadap semua pasien itu diwajibkan.
Methysergide sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan ulkus peptik aktif,
hipertensi berat, iskemik jantung, penyakit vaskular perifer, trombophlebitis,
penyakit renal atau kehamilan.

d) Amitriptilin
Amitriptilin merupakan obat profilaksis yang efektif pada migraine berdasarkan
efek antidepresinya. Amitriptilin menghambat ambilan kembali serotonin dan
norepinefrin neuron masuk ke terminal saraf prasinaptik.
BAB II
KASUS DAN PEMBAHASAN
A. PEMAPARAN KASUS
Seorang wanita umur 25 tahun, Ny. Ds mengalami nyeri kepala sebelah kanan,
mual-muntah dan tidak nafsu makan. Pekerjaannya sebagai sekretaris di perusahaan
ternama menuntut dia bekerja secara profesional dan tidak boleh hamil selama 2 tahun
pertama bekerja. Ny. Ds belum memliki anak, siklus haid teratur setiap bulannya.
Beberapa waktu lalu wanita tsb pergi ke bidan untuk konsultasi KB. Kemudian dia
mendapatkan pil KB andalan untuk progam KBnya. Ny. Ds suka sekali makanan asin
dan minuman boba. Dia merupakan wanita karir yang selalu mengikuti perkembangan
jaman. Hobi kuliner dan beberapa hari ini Ny. Ds tidak berselera makan. Saat ini ini dia
hanya minum paracetamol 500mg saja akan tetapi sudah tiga hari ini migren tsb tidak
kunjung sembuh. Apakah pengobatan Ny. Ds sudah tepat ? bagaimana penatalaksaan
untuk Ny. Ds apabila migren belum sembuh dan obat apa yang akan anda
rekomendasikan untuk Ny.Ds?
B. ANALISIS METODE SOAP

UNIVERSITAS ALMA ATA YOGYAKARTA RM


PRODI SARJANA (S1) FARMASI

Nama : T.J Bangsal :- Alergi Obat :- Nomor RM : -


Tanggal lahir / Umur : 52 tahun Berat Badan : - Tinggi Badan : -

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)


Diisi oleh Apoteker yang merawat : Lubabun Nadliroh. S. Farm.,Apt
________________________________________________________________________________________________

Asuhan Kefarmasian
Tanggal & Jam
Subyektif
Riwayat konsumsi obat : \ Keluhan utama / alasan masuk Rumah Sakit:
- Paracetamol 500 mg - Nyeri kepala sebelah kanan
- Pil KB andalan - Mual-muntah
- Tidak nafsu makan

Objective
- Diagnosa utama : Migren

Assessment

No. Problem Medis Terapi Saat ini DRP


(Nama Obat & Dosis) (Drug Related Problems)
1. Migren Paracetamol 500 mg  Pilihan obat yang kurang tepat 
2. KB Pil KB andalan Pilihan obat yang kurang tepat 

Planning

No. Problem Medis Planning Farmasis (Rekomendasi Terapi & Monitoring Efektifitas Terapi)
1. Migren Problem medis Migren direkomendasikan untuk menggantikan terapi PCT dengan sumatriptan PO 50mg 3x
sehari. Karena terapi PCT kurang efektiv untuk mengatasi migren pada pasien Ny Ds.

Terapi non farmakologik dilakukan dengan cara menghindari agen penyebab migraine dan jika migraine telah
terjadi, maka dapat dilakukan pendekatan non farmakologik, seperti beristirahat atau tidur, sebaiknya di
ruangan yang gelap, lingkungan yang tenang.
Guideline “Headache Disorder in Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.2005”
Monitoring: Apabila setelah pemakaian beberapa hari dengan pemberian sumatriptan ini gejala mual dan
muntah pada pasien tidak teratasi, maka bisa ditambahkan dengan obat anti emetik atau prokinetik seperti
mitoklopramid (Jika perlu).
2. KB Problem medis KB direkomendasikan untuk menggantikan KB Andalan dengan Levonorgestrel Kontrasepsi
Darurat 2 tablet (1,5 mg) karena KB Andalan mengandung estrogen yang dapat memicu timbulnya migren
pada pasien. Levonorgestrel Kontrasepsi Darurat sebaiknya digunakan 12 jam namun tidak boleh lebih dari
72 jam setelah intercouse (Levonorgestrel dapat diberikan selama siklus menstruasi). Jika terjadi muntah
dalam 3 jam setelah pemakaian, dosis diulang kembali.
C. EDUKASI PENGOBATAN

UNIVERSITAS ALMA ATA YOGYAKARTA RM


PRODI SARJANA (S1) FARMASI

Nama : Ny.Ds Nomor RM :


Tanggal lahir / Umur : 25 tahun Berat Badan : - Tinggi Badan : -

BMI :-
Alamat rumah : - No Hp :-
Ruang / Poliklinik : - Dokter penanggung jawab :…………………….....
Sedang hamil: TIDAK/YA….. minggu Sedang menyusui : TIDAK/YA …………… bulan
Merokok : Tidak batang/hr; Kopi : Tidak gelas/hr; Lainnya : .................................................................
Alergi : Tidak
EDUKASI DAN KONSELING FARMASI
Diisi oleh Apoteker yang memberikan Edukasi dan Konseling Farmasi :
Tgl
Resep Sub Materi Edukasi dan Konseling
Jam
Sumatriptan
 Nama Obat : Sumatriptan
 Aturan Pakai Obat : Dosis 50mg 3x sehari per oral
 Cara Penyimpanan Obat : Obat ini paling baik disimpan
pada suhu ruangan, jauhkan dari cahaya langsung dan
tempat yang lembap. 
Levonorgestrel
 Nama Obat : Levonorgestrel kontrasepsi darurat
 Indikasi Obat : mencegah kehamilan pada kondisi darurat
 Aturan Pakai Obat : dalam satu kemasan terdapat 2 tablet,
dengan masing-masing tablet berisi 0,75 mg Levonorgestrel.
Tablet pertama diminum segera setelah berhubungan seksual
atau maksimal 72 jam setelahnya. Sedangkan tablet kedua,
diminum 12 jam setelah tablet pertama.
 Cara Penyimpanan Obat : disimpan pada suhu ruangan,
jauhkan dari cahaya langsung dan tempat yangyang lembab.
Jangan dibekukan.
 Edukasi lainnya:
 Pastikan untuk mengikuti anjuran dokter dan membaca
petunjuk pada kemasan obat dalam mengonsumsi
Levonorgestrel kontrasepsi darurat
 Konsumsilah Levonorgestrel kontrasepsi darurat bersama
makanan, segera setelah melakukan hubungan seks tanpa
pengaman. Agar mendapatkan efek maksimal, gunakan
obat ini secepatnya setelah berhubungan seksual, paling
lambat 3 hari.
Nama & Paraf Apoteker
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A. G., Goysal, Y., Aliah, A., Akbar, M., Patellongi, I., & Arif, M. (2012,
January). Perubahan Kadar Nitric Oxide (NO) Plasma selama Induksi
Cold Pressor Test pada Penderita Migren tanpa Aura Fase Interiktal. JST
Kesehatan, 2.

Boran, H. E., & Bolay, H. (2013). Pathophysiology of Migraine. Archives of


Neuropsychiatry.

Fransiska, R. V., Sitorus, F., & Ali W. (2007). Prevalensi dan Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan Migren pada Populasi Usia Muda di
Jakarta. Jakarta: Neurona.

Le, H., Tfelt-Hansen, P., Skytthe, A., Kyvik, K. O., & Olesen, J. (2011).
Association between migraine, lifestyle, and socioeconomic factors: a
population=based cross-sectional study. J Headache Pain.

Lipton RB, & Bigal ME. (2006). The epidemiology and impact of migraine.
Migraine and other headache disorder, 23-24.

Lopez-Mesonero, L., Marquez, S., Parra, P., Gamez-Leyva, G., Munoz, P., &
Pascual, J. (2009). Smoking as a precipitating factor for migraine: a
survey in medical students. J Headache Pain.

MacGregor, E. A., Jason, D., & Kurth, T. (2011). Sex-Related Differences in


Epidemiological and Clinic-Based Study. Am Head Soc, 843-859.

Machfoed MH. (2004). Aspek genetik dan biomolekuler migren. Nyeri kepala, 1-
12.

Mostafa. (2011). Dilemma of Women's Passive Smoking. Annals of Thoracic


Medicine, 6(2), 55-56.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi (Vol. 2). Jakarta: EGC.

Riyadina, W., & Turana, Y. (2014, Oktober). Faktor Risiko dan Komorbiditas
Migrain. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 17.
Ropper, A., & Brown, R. (2005). Cerebrovascular Diseases (8 ed.). USA:
McGraw- Hill Companies Inc.

Salusu, S. (2014). Korelasi antara Migraine Disability Assessment (MIDAS),


Headache Impact Test-6 (HIT-6), dan Headache Disability Inventory
(HDI) dalam Menilai Disabilitas pada Penderita Migren tanpa Aura.
Makassar: Universitas Hasanuddin

Sarker, M. A., Rahman, M., Harun-Or-Rashid, M., Hossain, S., Kasuya, H.,
Sakamoto, J., et al. (2013). Association of smoked and smokeless tobacco
use with migraine: a hospital-based case-control study in Dhaka,
Bangladesh. Tobacco Induced Diseases.

Widjaja, J. H. (2004). Mekanisme Terjadinya Nyeri Kepala Primer. Surabaya:

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.


Yusuf, M. (2009). Perbandingan Efek Terapi Kombinasi Medikamentosa dan
Akupungtur dengan Medikamentosa pada Penderita Migren tanpa Aura.
Makassar: Universitas Hasanuddin.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai