Anda di halaman 1dari 21

Tugas Mata Kuliah

KAPITA SELEKTA HUKUM ACARA PERDATA

Oleh:
Muhammad Richsan S - 1506676191
Elo Hagai S - 1506747433
Raissa Richka Jonah 1606821545
Fadhel Muhammad - 1606823626
Aisyah Sharifa - 1606823714
Andira Permata Sari - 1606824673
Dita Harina Sawenda - 1606824843
Chyka Yustika A - 1606827044
Shamira Diandra - 1606827643
Jasmine Aisyah - 1606828091
Tunggal S - 1606828394
Jihan Fauziah Hamdi - 1606828803
Alma Qarnain - 1606829176

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2018/2019

1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini banyak sekali kerugian yang dialami oleh warga masyarakat
luas atas suatu kajian yang menimpa mereka secara bersama-sama, tetapi
kebanyakan dari mereka kurang mengerti bagaimana cara memperoleh
perlindungan hukum. Dalam sejarahnya konsep Class Action dianut oleh
negara yang menggunakan sistem hukum Anglo Saxon. Pertama kali dikenal
di negara Inggris pada abad ke-18, Kemudian Berkembang di Amerika
Serikat, Kanada, dan Australia. 1 Berikut sejarah singkat Class Action yang
akan dijelaskan sebagai berikut:2
a. Inggris
Dimulai tahun 1873 dan diatur dalam Supreme Court of Judicatur Act
1873. Esensinya memberi kemungkinan dan kewenangan bagi
Pengadilan untuk menjatuhkan putusan yang bersifat deklaratif atas
pemulihan yang adil (equitable remedies) yaitu berupa pemulihan
terhadap suatu hal yang diderita kelompok yang anggotanya berjumlah
banyak (numerous). Terjadi perubahan Substansial Tahun 1965 di
mana class action diatur dalam Supreme Court 1965. Esensinya,
mengatur Representative Action (disingkat RA), yaitu Gugatan
Perwakilan Kelompok (GPK) yang berpatokan pada syarat:
 Anggota kelompoknya banyak (numerous members),
 Terdapat kesamaan kepentingan (same interest in one action),
 Gugatan itu, untuk kepentingan seluruh anggota (such action
on behalf of the benefit of all members).
b. Kanada
Dimulai tahun 1881 kemudian pada tahun 1992 Dikeluarkan Ontario
Class Proceedings Act (OCPA, 1992) yang mengatur Class Action
(CA)
1
Sri Laksmi Anindita,” Pelaksanaan Hak Gugat Perwakilan ( Class Action) Di
Pengadilan Negeri Indonesia Khususnya Di Jakarta”.( Tesis Magister Universitas
Indonesia,Jakarta,2003),hlm. 13.
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm 137.

2
c. Indonesia
Baru dikenal secara formil dan resmi (formal and official) pada 2002.
Diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (“PERMA”) Nomor 1
tahun 2002, tanggal 26 April 2002. PERMA No.1 Tahun 2002 Tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, yaitu:3 Pasal 1 Huruf a:
Gugatan Perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan
gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok
mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri sendiri dan sekaligus
mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
dimaksud. Unsur-unsur Class Action terdiri dari:4
a. Perwakilan kelompok;
b. Keanggotaan kelompok.
Gugatan secara Class Action hanya dapat dilakukan apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:5
a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak shingga tidaklah
efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-
sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar
hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat
kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan
anggota kelompoknya;
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
dan

3
Indonesia, Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, Perma No. 1 Tahun 2002, Ps. 1
4
E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action: Suatu Studi Perbandingan &
Penerapannya Di Indonesia (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002). Hlm. 31-36.

5
Susanti Adi Nugroho, Class Action & Perbandingannya Dengan Negara Lain (Jakarta:
Predana Media Group, 2010). Hlm. 69.

3
d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk
melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban
membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok.
Gugatan Class Action dapat kita temukan dalam UU
Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen, dan UU
tentang Kehutanan.
B. POKOK PERMASALAHAN
1. Apakah yang dimaksud dengan gugatan Class Action?
2. Bagaimana bentuk gugatan Class Action yang seharusnya diajukan oleh
Para Penggugat terhadap Tergugat pada perkara dalam Putusan Nomor
36/Pdt.G/2015/PN.Slw.?
3. Apakah putusan hakim pada perkara putusan nomor
36/Pdt.G/2015/PN.Slw. yang mengabulkan eksepsi Tergugat sudah tepat?

ISI
A. KASUS
Pada putusan No. 36/Pdt.G/2015/PN.Slw mengenai gugatan class action yang
diajukan oleh :
1. SOLEH, Pekerjaan Guru/PNS, alamat Desa Pagiyanten Rt. 022 / Rw. 06
Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, disebut sebagai Penggugat I;
2. ADI MARTONO S.H., Pekerjaan Guru, alamat Desa Gembongdadi Rt. 07
/ Rw. 02 Kecamatan Suradadi, Kabupaten Tegal, disebut sebagai
Penggugat II.
MELAWAN :
1. PANITIA PENGADAAN TANAH (PPT) Kabupaten Tegal yang diwakili
oleh Drs. Heri Suhartono M.Eng., Sc, beralamat/ Sekretariat Jalan A. Yani
No.7 Slawi, Kabupaten Tegal

KASUS POSISI
Bahwa atas tanah milik penggugat, akan segera dilakukan pembebasan
tanah jalan Tol Pejagan Pemalang wilayah Kabupaten Tegal, maka atas hal itu
Tergugat melakukan sosialisasi dari Bulan September hingga Oktober untuk
mengadakan musyawarah dengan Kepala Desa dan para pemilik tanah(termasuk

4
Penggugat I dan Penggugat II) beserta beberapa perwakilan dari anggota Panitia
Pengadaan Oktober perihal undangan Musyawarah Penentuan Bentuk Ganti Rugi.
Bahwa setelah acara sosialisasi, tanah-tanah yang akan dibebaskan telah
diukur oleh Panitia Pengadaan Tanah. Pada musyawarah selanjutnya
menghasilkan kesepakatan bahwa bentuk ganti rugi dari Pembebasan Tanah
disetujui berupa uang. Dan saat itu juga masing-masing pemilik tanah yang
terkena pembebasan untuk Proyek Jalan Tol Pejagan – Pemalang langsung diberi
amplop yang berisi penentuan harga permeter tanah beserta luas tanah yang
dibebaskan tanpa musyawarah.
Bahwa terhadap tanah milik Penggugat I untuk luas tanah 1037 M2
dihargai ganti rugi sebesar Rp190.564.150,00 dan untuk luas tanah 762 M2
dihargai dengan ganti rugi sebesar Rp140.028.816,00. Terhadap tanah milik
Penggugat II dengan luas 1091 M2 dihargai dengan ganti rugi sebesar
Rp200.487.452,00
Bahwa Penggugat I dan II tidak terima dengan penentuan harga nilai ganti
rugi dan menganggap bahwa nilai tersebut adalah penentuan sepihak dari
Tergugat yang menetapkan harga ganti rugi atas pembebasan tanah untuk Proyek
Jalan Tol Pejagan – Pemalang, dan Penggugat I dan II dalam petitum nya juga
menuntut seluruh ganti rugi Pembebasan Tanah untuk Jalan Tol Pejagan –
Pemalang secara patut dan sesuai aturan kepada seluruh Pemilik Tanah yang
terkena Pembebasan Tanah tanpa terkecuali, sehingga mengajukan surat gugatan
yang pada halaman 1 bagian perihal gugatan adalah mengenai Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action) ke Pengadilan Negeri Slawi.
Bahwa Tergugat dalam eksepsi nya membantah gugatan yang diajukan
oleh Pengugat I dan II, dengan menyatakan bahwa karena suatu gugatan class
action haruslah, penggugatnya sangat banyak, mempunyai kesamaan tipe tuntutan
yang sama dan perwakilannya layak atau patut akan tetapi senyatanya dalam
gugatan tersebut adalah gugatan biasa yakni hanya terdiri dari dua kepentingan
subyek hukum perorangan saja, tidak jelas mewakili subyek hukum lain yang
mana, berapa jumlah subyek hukum yang diwakili sehingga kelayakan sebagai
wakil subyek hukum lain tidak ada. Ketidaksesuaian tersebut menurut Tergugat
menyebabkan gugatan menjadi tidak jelas dan mengandung cacat formil oleh
karenanya gugatan yang diajukan tidak sah.
Bahwa Tergugat berpendapat berdasarkan pasal 31 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, penilaian ganti kerugian obyek tanah pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilaksanakan oleh Penilai. Dan pelaksanaan penilaian
pengadaan tanah jalan Tol Pejagan Pemalang wilayah Kabupaten Tegal
dilaksanakan oleh Penilai yang telah ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah Jalan Tol Pejagan Pemalang wilayah Kabupaten Tegal yaitu Jasa Penilai
Abdullah Fitrianto & Rekan dan Tergugat pun tidak dapat mengintervensi atau

5
mencampuri penilaian ganti kerugian karena Lembaga Penilai bersifat
independen.
Bahwa atas jawaban Tergugat, Penggugat I dan II dalam repliknya
menyatakan bahwa jenis gugatan Para Penggugat apakah gugatan biasa atau
Gugatan Class Action adalah bukan hal yang substansif dan benar gugatan ini
tidak memperjuangkan kepentingan kelompok, tetapi lebih kepada kerugian yang
diderita Para Penggugat, oleh karenanya Penggugat berpendapat bahwa jenis
gugatan ini termasuk pada kategori gugatan mana hanya Majelis Hakimlah yang
memutuskan dan Penggugat juga mengajukan alat bukti berupa fotocopy nilai
ganti rugi milik Penggugat I atas nama SOLEH dan milik Penggugat II atas nama
ADI MARTONO, serta fotocopy undangan-undangan sosialisasi yang sudah
diadakan.
Bahwa Majelis Hakim dalam pertimbangan hukum nya menyatakan
bahwa bahwa gugatan kabur dan tidak jelas karena suatu gugatan Class Action
haruslah Penggugatnya sangat banyak, mempunyai kesamaan tipe tuntutan, dan
perwakilannya layak atau patut, akan tetapi dalam kenyataannya dalam gugatan
tersebut adalah gugatan biasa yakni hanya terdiri dari dua kepentingan subyek
hukum perorangan saja, tidak jelas mewakili subyek hukum lain yang mana,
berapa jumlah subyek hukum yang diwakili, sehingga kelayakan sebagai wakil
subyek hukum lain tidak ada.
Majelis Hakim menimbang dalam surat gugatannya pada halaman 1, Para
Penggugat secara jelas telah menyebutkan perihal gugatan adalah mengenai
Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).
Akhirnya Majelis Hakim menolak gugatan dari penggugat yang berbentuk
class action, dan dalam pokok perkara memutus sebagai berikut :
1. Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima;
2. Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp
201.000,00 (dua ratus satu ribu rupiah).

B. ANALISIS
Menurut Mas Achmad Santosa, Gugatan Perwakilan Kelompok atau Class
Action adalah suatu prosedur beracara dalam perkara perdata yang
memberikan hak prosedural terhadap satu atau sejumlah orang (jumlah yang
tidak banyak), bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan
kepentingan para penggugat itu sendiri dan sekaligus mewakili kepentingan
ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami
penderitaan atau kerugian.6 Sementara berdasarkan Perma. Gugatan
6
Mas Achmad Santosa, Amanda Cornwall, Sulaiman Sembiring, Boedhi Wijardjo.
Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action) (Jakarta:ICEL - PIAC - YLBHI, 1999)
hlm. 2.

6
Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana
satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri
atau diri-diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara
wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.7 Kemudian Wakil
Kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang
mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih
banyak jumlahnya8 sementara Anggota kelompok adalah sekelompok orang
dalam jumlah banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili
oleh wakil kelompok di Pengadilan.9 Dalam Gugatan perdata yang
melibatkan jumlah orang yang menderita kerugian bersifat massal, maka class
action sangat bermanfaat untuk dikembangkan di Indonesia, sebab:10 a) Proses
berperkara menjadi sangat ekonomis, b) Memberi akses pada keadilan, dan c)
Class Action dimaksudkan untyk melakukan perubahan sikap pelaku
pelanggaran Di dalam kasus ini, Soleh (Penggugat I) dan Adi Martono
(Penggugat II) dalam surat gugatannya mengajukan Gugatan Perwakilan
Kelompok (class action) kepada Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Tegal.
Namun kemudian, dalam repliknya atas eksepsi Tergugat, Para Penggugat
menyatakan gugatan diajukan untuk kepentingan Para Penggugat saja dan
tidak mewakili kelompok. Para Penggugat juga menyatakan bahwa jenis
gugatan, baik Gugatan Biasa ataupun Gugatan Perwakilan Kelompok (class
action) bukanlah hal yang substantif, oleh karenanya yang berwenang
menentukan jenis gugatan yang diajukan Para Penggugat adalah Majelis
Hakim. Inkonsistensi Para Penggugat berkaitan dengan jenis gugatan yang
diajukan ini menyebabkan Majelis Hakim menerima eksepsi Tergugat dan
menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Ketidaktepatan jenis gugatan yang diajukan dapat mengakibatkan gugatan
tidak sah dan tidak dapat diterima. Harus ada kejelasan apakah gugatan yang

7
Indonesia, Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, Perma No. 1 Tahun 2002, Ps. 1 huruf a.
8
Ibid., Ps. 1 huruf b.
9
Ibid., Ps. 1 huruf c.
10
Mas Achmad Santoso,Good Governance dan Hukum Lingkungan,(Jakarta:
ICEL,2001), hlm. 306-307

7
diajukan merupakan Gugatan Biasa atau Gugatan Perwakilan Kelompok
(class action). Apabila gugatan yang diajukan merupakan Gugatan Perwakilan
Kelompok, Majelis Hakim harus memeriksa dan mempertimbangkan apakah
gugatan memenuhi kriteria dan sah sebagai Gugatan Perwakilan Kelompok
sebab jika kriteria Gugatan Perwakilan Kelompok yang diajukan dinyatakan
tidak sah, maka pemeriksaan gugatan akan dihentikan.11
Untuk mengetahui apakah gugatan dalam kasus ini dapat diajukan sebagai
Gugatan Perwakilan Kelompok, maka harus dipahami apa yang dimaksud
dengan Gugatan Perwakilan Kelompok. Makna Gugatan Perwakilan
Kelompok secara umum adalah:12
a. Gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan
oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok;
Dalam kasus ini, gugatan diajukan oleh Soleh dan Adi Martono yang
menuntut Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Tegal membayar ganti
kerugian atas pembebasan tanah untuk pembangunan Tol Pejagan-
Pemalang karena nilai ganti kerugian yang diberikan dianggap tidak
sesuai dan tidak ada kesepakatan antara pemilik tanah dengan Panitia
Pengadaan Tanah Kabupaten Tegal. Dalam surat gugatannya, Soleh dan
Adi Martono sebagai Wakil Kelompok mengajukan Gugatan
Perwakilan Kelompok.
b. Perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya
untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama
kelompok yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari
anggota kelompok;
Soleh dan Adi Martono mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok
dalam surat gugatannya sehingga seharusnya Para Penggugat mewakili
kepentingan kelompok selain memperjuangkan kepentingan mereka
sendiri tetapi di dalam repliknya kepada Tergugat, mereka menyatakan
mereka memperjuangkan kepentingan mereka sendiri.

11
Ibid., Ps. 5.
12
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet. 13 (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 139.

8
c. Dalam pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara
individual satu per satu identitas anggota kelompok yang diwakili;
Dalam kasus ini, tidak disebutkan secara individual satu per satu
identitas anggota kelompok namun tidak menjadi masalah karena hal
demikian tidak dipersyaratkan sebab Gugatan Perwakilan Kelompok
dapat diwakili oleh satu atau beberapa orang.
d. Yang penting, asal kelompok yang diwakili dapat didefinisikan
identifikasi anggota kelompok secara spesifik;
Patokan deskripsi kelompok Gugatan Perwakilan Kelompok adalah
perumusan definisinya tidak kabur (unvague description), tetapi juga
tidak dituntut deskripsi yang terlampau spesifik, oleh karena itu, pada
prinsipnya deskripsi dianggap memadai jika dapat menghindari
kesulitan mengelola pengadministrasian anggota kelompok yang
bersangkutan.13 Dalam kasus ini, dengan adanya inkonsistensi dan
ketidakjelasan jenis gugatan yang diajukan oleh Soleh dan Adi Martono
sebagai Para Penggugat, tidak ada kejelasan pula mengenai identifikasi
kelompok yang diwakili. Dari fakta-fakta yang didapatkan dari Putusan
No. 36/Pdt.G/2015/PN.Slw, seharusnya Soleh dan Adi Martono dalam
mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok mewakili warga yang
tanahnya terkena pembebasan untuk kepentingan pembangunan Tol
Pejagan-Pemalang jika memang ada kerugian yang dialami warga
sebagai kelompok yang dirugikan.
e. Selain itu, antara seluruh anggota kelompok, dengan wakil kelompok
terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan:
● Kesamaan kepentingan (common interest),
Dalam Gugatan Perwakilan Kelompok, harus ada kesamaan
kepentingan antara para anggota kelompok. Dengan Gugatan
Perwakilan Kelompok yang diajukan oleh Soleh dan Adi Martono
sebagai Para Penggugat, seharusnya ada kesamaan kepentingan
antara Soleh dan Adi Martono sebagai Wakil Kelompok dengan
anggota kelompok lainnya. Namun, di dalam kasus ini, terdapat

13
Ibid., hlm. 154.

9
inkonsistensi di mana Soleh dan Adi Martono dalam repliknya
menyatakan mengajukan gugatan untuk memperjuangkan
kepentingan mereka saja. Jadi, tidak ada kejelasan apakah ada
kesamaan kepentingan antara para anggota kelompok sebab
kejelasan identifikasi kelompok yang diwakili pun tidak ada.
● Kesamaan penderitaan (common grievance), dan
Di dalam kasus ini, Soleh dan Adi Martono menyatakan bahwa nilai
ganti kerugian yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten Tegal merupakan keputusan sepihak dan tidak sesuai
dengan harga pasaran sehingga merupakan kerugian bagi para
pemilik tanah yang terkena pembebasan lahan.
● Apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh
anggota.
Dalam kasus ini, Para Penggugat di dalam petitumnya meminta agar
Tergugat membayar ganti kerugian sebesar (Harga Pasaran + Harga
NJOP):2 kepada para pemilik tanah yang terkena pembebasan tanah.
Tuntutan demikian dapat dianggap memberikan manfaat bagi para
anggota kelompok yang merasa dirugikan. Namun, Para Penggugat
di dalam repliknya menyatakan bahwa gugatan diajukan untuk
memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, tidak
memperjuangkan kepentingan kelompok sehingga tidak memenuhi
syarat untuk diajukan sebagai Gugatan Perwakilan Kelompok.
Di Indonesia, persyaratan mengenai Gugatan Perwakilan Kelompok
dicantumkan dalam Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, yaitu:
a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan
efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara
bersama-sama dalam satu gugatan;
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang
digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan
diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;

10
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan
penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan
anggota kelompoknya.
Selain ketentuan-ketentuan khusus, juga terdapat syarat-syarat formal
Gugatan Perwakilan Kelompok yang setidak - tidaknya berisi:
1. Identitas secara lengkap dan jelas pihak penggugat (dalam hal ini
perwakilan dan kelompok yang diwakili) maupun tergugat.
2. Fakta kasus dan fakta hukum yang menjadi dasar pengajuan gugatan
atau yang dikenal dengan posita. Pada bagian posita pada umumnya
dalam praktek memuat perihal fakta - fakta peristiwa hukum yang
menjadi dasar gugatan tersebut serta uraian singkat perihal hukumnya
yaitu dalam kaitan dengan terjadinya hubungan hukum tersebut tanpa
harus menyebutkan pasal - pasal perundang-undangan atau aturan-
aturan hukum termasuk hukum adat, sebab hal - hal seperti itu akan
ditunjukkan atau dijelaskan oleh hakim dalam putusannya nanti, jika
dipandang perlu (positum).14
3. Tuntutan yang dimohonkan oleh penggugat atau yang dikenal dengan
Petitum. Pada bagian petitum, yaitu perihal apa - apa sajakah yang
dikehendaki atau diminta oleh penggugat agar diharapkan untuk dapat
diputus oleh Pengadilan.15

Di dalam kasus ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya mengenai


makna Gugatan Perwakilan Kelompok dan relasinya dengan fakta-fakta hukum
yang ditemukan dalam Putusan No. 36/Pdt.G/2015/PN.Slw, Gugatan Perwakilan
Kelompok yang diajukan oleh Soleh dan Adi Martono tidak memenuhi
persyaratan terutama berkaitan dengan persyaratan bahwa Wakil Kelompok harus

14
R.Soepramono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi (Jakarta:Mandar Maju,
2005), hlm. 9.
15
Ibid

11
memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota
kelompok yang diwakilinya.
Surat Gugatan Perwakilan Kelompok harus memuat:16
a. ldentitas lengkap dan jelas wakil kelompok.
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa
menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan
dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;
d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota
kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang
dikemukakan secara jelas dan terperinci;
e. Dalam suatu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa
bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena
sifat dan kerugian yang berbeda;
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara
jelas dan terperinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara
pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok
termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu
memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Berdasarkan Pasal 5 Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, seharusnya Majelis Hakim melakukan pemeriksaan
mengenai keabsahan Gugatan Perwakilan Kelompok yang diajukan. Jika dalam
surat gugatannya, Soleh dan Adi Martono mengajukan Gugatan Perwakilan
Kelompok, Majelis Hakim harus memeriksa apakah surat gugatan memenuhi
syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 untuk mengidentifikasi kelompok yang
diwakili dan memeriksa apakah syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 mengenai
jumlah anggota kelompok yang banyak, kesamaan fakta hukum, dasar hukum,
dan tuntutan dipenuhi. Jika syarat mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok
tidak dipenuhi, seharusnya Majelis Hakim memutuskan pemeriksaan dihentikan. 17
Artinya, pemeriksaan apakah Gugatan Perwakilan Kelompok dapat diterima

16
Indonesia, Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, Ps. 3.
17
Ibid., Ps. 5 ayat (5).

12
dilakukan sebelum adanya jawaban dari Tergugat. Kegunaan dari pemeriksaan
demikian adalah:18
a. Menjamin persyaratan class action (jumlah, kesamaan fakta, kesamaan
dasar hukum, kesamaan tuntutan, representatif) terpenuhi.
b. Menjamin agar kepentingan dari anggota kelas potensial secara
mendasar terlindungi
c. Mencegah lawan mengetahui lebih dahulu substansi gugatan sehingga
bila ternyata mekanisme class action ditolak materi tersebut masih
dapat digunakan untuk gugatan biasa
Dalam kasus ini, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima setelah adanya
eksepsi dari Tergugat mengenai ketidakabsahan Gugatan Perwakilan Kelompok
yang diajukan dan adanya replik dari Para Penggugat yang menyatakan bahwa
gugatan diajukan untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri sekaligus
menyatakan bahwa jenis gugatan yang diajukan bukanlah hal yang substantif.
Seharusnya, replik dari Para Penggugat yang menunjukkan inkonsistensi
jenis gugatan dapat dihindari jika sejak awal Majelis Hakim melakukan tahapan
verifikasi untuk memeriksa keabsahan Gugatan Perwakilan Kelompok yang
diajukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 Perma No. 1 Tahun 2002.
Keabsahan Gugatan Perwakilan Kelompok seharusnya dinyatakan dalam Putusan
Sela.19 Jika memang tidak memenuhi syarat untuk diajukan sebagai Gugatan
Perwakilan Kelompok, Majelis Hakim menghentikan pemeriksaan sehingga tidak
perlu sampai ke tahap jawab-menjawab. Namun, dalam kasus ini justru ketika
Para Penggugat mengajukan replik tampaklah inkonsistensi berkaitan dengan
jenis gugatan dan ditemukannya fakta bahwa Soleh dan Adi Martono yang dalam
surat gugatannya mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok, ternyata
menyatakan mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri. Pada
umunya suatu gugatan diajukan oleh seseorang atau orang pribadi untuk
kepentingan mereka,adapun juga oleh badan hukum yang dapat diwakilkan
kepada seseorang atau bebeorang orang kuasa.Dalam hal ini gugatan adalah untuk

18
Sri Laksmi Anindita, “Pelaksanaan Hak Gugat Perwakilan (Class Action) di
Pengadilan Negeri Indonesia khususnya di Jakarta” (Tesis Magister Universitas Indonesia,
Jakarta, 2003), hlm. 54.
19
Ibid.

13
mempertahankan hak dan kepentingan sesuai dengan adagium “ Point di’interet,
point di’action”.20
Seandainya Gugatan Perwakilan Kelompok dinyatakan sah setelah
diperiksa dan memenuhi syarat, selanjutnya harus dilakukan pemberitahuan
kepada para anggota kelompok untuk memberikan kesempatan jika ada anggota
kelompok yang hendak mengundurkan diri sebagai anggota kelompok yang
mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok dengan pernyataan keluar (Opt
Out).21 Dalam kasus ini, jika memang sudah ada penetapan bahwa Gugatan
Perwakilan Kelompok yang diajukan sah, maka harus diadakan pula
pemberitahuan agar anggota-anggota kelompok yang tidak ingin terlibat sebagai
Penggugat dapat menyatakan keluar sebab di dalam Putusan No.
36/Pdt.G/2015/PN. Slw, diketahui bahwa ada beberapa warga yang menyatakan
puas dengan ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten Tegal.
Tahapan yang seharusnya dilalui dalam Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok:
1. Pemberian kuasa oleh Wakil Kelompok kepada kuasa hukum
2. Pendaftaran gugatan ke Pengadilan Negeri
3. Mediasi
4. Pembacaan Gugatan
5. Verifikasi
Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan secara class action
tersebut, pengadilan kemudian memeriksa apakah wakil tersebut
diijinkan untuk menjadi wakil kelompok, apakah syarat-syarat untuk
mengajukan gugatan class action sudah terpenuhi, dan apakah class
action merupakan prosedur yang tepat dalamm melakukan gugatan
dengan kepentingan yang sama. Apabila hakim memandang bahwa
penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok (class action)
dinyatakan tidak sah maka pemeriksaaan gugatan dihentikan dengan
suatu putusan hakim dengan amar putusan menyatakan gugatan tidak
20
Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 51.
21
Indonesia, Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, Ps. 8 ayat (1) jo. Ps. 7.

14
dapat diterima (NO). Ketika hakim berpendapat bahwa gugatan class
action yang diajukan sah, maka hakim memerintahkan penggugat
mengajukan usulan model Pemberitahuan untuk memperoleh
persetujuan hakim.22
6. Notifikasi
Pemberitahuan yang dimaksud dalam ketentuan Perma No.1 Tahun
2002 Pasal 5 ayat (4) adalah pemberitahuan kepada para anggota
kelompok. Pemberitahuan kepada anggota kelas adalah mekanisme
yang diperlukan untuk memberi informasi kepada seluruh anggota
kelas, dan untuk memberi kesempatan bagi anggota kelas untuk
menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat
dengan putusan dalam perkara tersebut, atau tidak menginginkannya
yaitu dengan cara menyatakan keluar/opt out dari anggota kelas.23
7. Jawab-Menjawab dan Pembuktian
8. Putusan Hakim dan Pelaksaanaan Putusan Hakim
Dengan penjelasan di atas maka teranglah sekiranya tahapan beracara
dalam mekanisme gugatan class action yang seharusnya. Nampak terlihat adanya
kekeliruan hakim dengan tidak melaksanakan tahapan-tahapan pendahuluan,
sehingga kemudian gugatan penggugat yang mengandung kecacatan secara formil
itu berlanjut ke persidangan dan bahkan sampai kepada tahap jawab-menjawab.
Sekiranya hakim melaksanakan tahapan mekanisme class action sebagaimana
yang telah diamanatkan dalam Perma No.1 Tahun 2002, sudah barang tentu
rangkaian proses beracara ini akan menjadi lebih sederhana, dan tidak berpotensi
untuk menimbulkan kerugian lebih lanjut bagi beberapa pihak terkait dengan
kasus tersebut.
Dalam kasus ini, Soleh dan Adi Martono mengajukan gugatan secara
bersama-sama untuk kepentingan mereka sendiri, bukan mewakili kepentingan
orang banyak dalam kelompok. Dengan adanya gugatan dari dua subjek hukum,
yaitu Soleh dan Adi Martono, perlu dipertimbangkan mengenai kemungkinan
untuk mengajukan gugatan kumulatif bukan gugatan perwakilan kelompok.
22
Ibid.hlm. 26
23
Susanti Adi Nugroho, Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Di
Indonesia - Sesuai Dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 (Jakarta:Puslitbang Hukum Dan
Peradilan Mahkamah Agung, 2002) hlm. 45

15
Menurut Yahya Harahap, kumulasi gugatan atau samenvoeging van
vordering adalah penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke dalam satu
gugatan atau beberapa gugatan digabungkan menjadi satu. 24 Pada prinsipnya,
setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan dalam surat
gugatan yang terpisah secara tersendiri, dan diperiksa serta diputuskan dalam
proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan berdiri sendiri. Akan tetapi
dalam hal-hal tertentu, dibolehkan melakukan pengabungan gugatan dalam satu
surat gugatan, apabila antara satu gugatan dengan guatan lain terdapat hubungan
erat atau koneksitas.25
Berdasarkan Putusan MA-RI No. 1652.K/Sip/1975, kumulasi dari
beberapa gugatan yang berhubungan erat satu dengan lainnya itu tidak
bertentangan dengan Hukum Acara (Perdata) yang berlaku. Ada dua jenis
kumulasi gugatan yaitu kumulasi subjektif dan kumulasi objektif. Kumulasi
subjektif terjadi ketika seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat dan
beberapa orang penggugat melawan satu orang tergugat atau bahkan kedua belah
pihak baik penggugat maupun tergugat keduanya terdiri dari lebih satu orang.
Kumulasi objektif adalah ketika penggugat mengajukan lebih dari satu gugatan
dalam satu perkara sekaligus.
Jadi, sekilas terdapat kemiripan antara gugatan kumulasi subjektif dengan
class action. Perbedaannya adalah dalam gugatan class action harus terdapat
anggota kelompok yang sedemikian banyaknya sehingga akan merepotkan bagi
Pengadilan untuk melakukan pemeriksaan perkara serupa jika diajukan sendiri-
sendiri sementara dalam gugatan kumulasi subjektif, Penggugat ada lebih dari
satu dalam satu surat gugatan namun jumlahnya tidak sebanyak anggota
kelompok penggugat dalam class action. Dalam gugatan class action, peristiwa,
dasar hukum, dan tuntutannya juga harus sama antara para anggota kelompok
sementara dalam gugatan kumulasi, dikatakan dalam yurisprudensi bahwa harus
ada keterkaitan antara gugatan yang satu dan lainnya. Kemudian, dalam gugatan
class action, Para Penggugat yang tercantum dalam surat gugatan sebagai Wakil

24
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm.
102.
25
Mahkamah Agung dan Direktoral Jendral Badan Peradilan Agama, Buku
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Edisi Revisi 2010),
hlm 90.

16
Kelompok harus memperjuangkan kepentingan anggota kelompok lainnya
sementara Para Penggugat dalam gugatan kumulasi hanya memperjuangkan
kepentingan mereka sendiri.
Persyaratan penting yang harus diperhatikan ketika penggugat hendak
mengajukan gugatan kumulasi subjektif tertuang dalam Yurisprdensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2177 K/PDT/1983 tanggal 14 November 1983
tentang Penggabungan Gugatan yang mana mengamanatkan, bahwa jika terdapat
kumulasi subjektif, sedangkan diantara mereka sama sekali tidak ada hubungan
hukum, maka gugatan wajib diajukan secara terpisah dan sendiri-sendiri. 26
Sementara dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1518K/Pdt/1983, tanggal 4 Desember 1984 menyatakan bahwa, untuk kumulasi
objektif yang diajukan penggugat tidak dapat dibenarkan atas alasan antara
gugatan yang satu dengan perkara yang lain adalah kasus yang berdiri sendiri,
antara keduanya tidak terdapat konesitas atau hubungan erat. 27
Jika merujuk kepada putusan Putusan No. 36/Pdt.G/2015/PN.Slw maka
dapat terindentifikasi bahwa gugatan yang diajukan oleh para penggugat bukan
gugatan kumulasi, melainkan class action. Sebagaimana yang tertuang dalam
pertimbangan hakim mengenai surat gugatan yang diajukan oleh penggugat, yang
jika dirumuskan adalah sebagai berikut;28
Menimbang, bawa dalam surat guatannya pada halaman 1, Para
penggugat secara jelas telah menyebutkan perihal gugatan adalah mengenai
Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action);
Dengan merujuk pada apa yang telah dirumuskan dalam putusan tersebut,
maka dapat diketahui bahwa memang sedari awal melalui surat gugatan-nya
(berdasar pada pertimbangan hakim) para penggugat mengajukan gugatan dengan
mekanisme class action dan bukan gugatan kumulasi. Jika melihat pada replik
para penggugat bahwa memang para penggugat mengakui jika mereka sendiri
tidak mewakili kepentingan kelompok, maka jelas mekanisme gugatan class
action yang dipilih oleh para penggugat menjadi tidak tepat dalam perkara ini.

26
Putusan Nomor 159/Pdt.G/2013/PN.Mlg hlm.14
27
Ibid. Hlm. 15
28
Putusan Nomor 36/Pdt.G/2015/PN.Slw hlm.26

17
PENUTUP

A. SIMPULAN
Gugatan Perwakilan Kelompok mudahnya dapat dipahami sebagai suatu
sarana yang dapat digunakan bagi sekelompok orang bila ingin menggugat
pihak lain, yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan, di antaranya
adalah harus terdapat wakil kelompok dan anggota kelompok. Namun
sebagaimana kasus yang ada dalam Putusan No. 36Pdt.G/2015/PN.Slw,
terdapat ketidaksesuaian dalam pelaksanaan gugatan perwakilan kelompok.
Ketidaksesuaian ini tidak hanya datang dari pihak Penggugat, tapi juga datang
dari Hakim yang memimpin jalannya pengadilan.
Pertama, oleh pihak Penggugat, bahwa gugatan diajukan secara
perwakilan kelompok. Namun selama berjalannya pengadilan, dalam
repliknya penggugat menyatakan kalau gugatan diajukan untuk kepentingan
Penggugat saja dan tidak mewakili kepentingan kelompok. Disini terdapat
inkonsistensi oleh Penggugat terhadap gugatan perwakilan kelompok itu
sendiri. Dengan alasan ini pula, putusan Hakim kami anggap tepat untuk
mengabulkan eksepsi oleh Tergugat.
Kedua, oleh Hakim. Meskipun pada akhirnya putusan Hakim kami anggap
tepat, namun kelalaian hakim pada kasus ini tidak terhindarkan. Adalah ketika
kasus ini sampai pada tahap replik-duplik, padahal terdapat kesalahan formil
dalam gugatan oleh Penggugat. Artinya bahwa mungkin saja jika gugatan ini
tidak perlu sampai berlanjut ke persidangan. Hakim seharusnya melaksanakan
tahapan-tahapan pendahuluan agar ketika terjadi kekeliruan dapat segera
teratasi.
Dapat disimpulkan bahwa banyak kekeliruan dan ketidaktepatan yang
terjadi dalam prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok ini yang menyalahi
mekanisme class action sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Perma
No.1 Tahun 2002 yang seharusnya jika dijalani dengan baik maka rangkaian
proses beracara ini akan menjadi lebih sederhana dan kerugian lebih lanjut
bagi beberapa pihak terkait dengan kasus tersebut pun dapat dihindari.

18
B. SARAN
Jika Para Penggugat, seperti tertera pada replik atas eksepsi dari Tergugat,
menyatakan gugatan diajukan untuk kepentingan Para Penggugat saja dan
tidak mewakili kelompok, sebaiknya tidak mengajukan gugatan Class Action
melainkan mengajukan gugatan perkara biasa, dan kalaupun kasus tersebut
memang merupakan gugatan perwakilan kelompok, maka selama berjalannya
proses pengadilan, Para Penggugat harus tetap konsisten pada gugatan
perwakilan kelompok tersebut hingga akhir.
Hakim benar dalam putusan akhirnya mengabulkan eksepsi Penggugag,
namun pada awalnya seharusnya Hakim juga lebih teliti dan selalu melakukan
tahap Pemeriksaan Pendahuluan dengan baik sebelum menerima suatu Perkara
sehingga menghindari penerimaan perkara yang tidak seharusnya diajukan
menggunakan Class Action.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hamzah, Andi. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.


R.Soepramono.Hukum Acara Perdata dan
Yurisprudensi.Jakarta:Mandar Maju, 2005.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Lotulung, Paulus Effendi.Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.
Nugroho, Susanti. Class Action & Perbandingannya Dengan Negara Lain.
Jakarta: Predana Media Group, 2010.

19
Saliswijaya, Aa Dani. Himpunan Peraturan Tentang Class Action. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004
Santoso,Mas Achmad.Good Governance dan Hukum Lingkungan.Jakarta:
ICEL,2001
Santoso, Mas Achmad , ed al. Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan
(Class Action).Jakarta:ICEL - PIAC - YLBHI, 1999.
Sugianto,Indro.Class action : Membuka Akses Keadilan Bagi Rakyat.
Jakarta:InTRANS Press, 2008.
Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action: Suatu Studi Perbandingan
& Penerapannya Di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2002.
R.Soepramono.Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi.Jakarta:Mandar Maju,
2005.

Internet/Situs
Yuntho, Emerson. “Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun
2007: Class Action Sebuah Pengantar.”
http://lama.elsam.or.id/downloads/ 12628425 60_09._ Prosedur_
Class_Action.pdf

Skripsi, Tesis dan Disertasi


Ben Ronald P.Situmorang .”Pengaturan Pengadilan Tentang Gugatan Warga
Negara
(Citizen Lasuit) Terhadap Pembaruhan Undang-Undang Hukum Acara
Perdata”.Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2013.

Sri Laksmi Anindita. “Pelaksanaan Hak Gugat Perwakilan (Class Action) di


Pengadilan Negeri Indonesia khususnya di Jakarta”, Tesis Magister
Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan

20
Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok. PERMA No.1 Tahun 2002.

Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Slawi. Putusan Nomor 36/Pdt.G/2015/PN.Slw.
Putusan Pengadilan Negeri Malang. Putusan Nomor 159/Pdt.G/2013/PN.Mlg

21

Anda mungkin juga menyukai