Anda di halaman 1dari 26

TUGAS PERTEMUAN 5

PENDDIKAN AGAMA ISLAM


“HUKUM, HAM, DAN DEMOKERASI
DALAM ISLAM”
DOSEN PEMBIMBING : Drs.H.MUNAWIR,M.Si

DISUSUN OLEH :

MUHAMMAD NURUL FAJAR (1984202024)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA SEMESTER 2
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA LAMPUNG
1

Konsep Hukum

Konsep yuridis (legal concept) yakni :

Ø konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu aturan hukum atau
sitem aturan hukum,

Ø misalnya konsep-konsep hak, kewajiban, perjanjian, perikatan, sah batal, subyek hukum ,
obyek hukum dan sebagainya.

Ø Pemahaman mengenai konsep hukum ini sangat penting, terutama di dalam melakukan suatu
argumentasi hukum.

Ø Pemahaman legal concept sangat dibutuhkan dalam upaya menerapkan dan mengembangkan
hukum.

Ø Apabila ada ketentuan hukum, tetapi ketentuan hukum itu masih kabur atau belum jelas maka
dibutuhkan suatu interpretasi hukum guna penemuan hukumnya.

Ø Apabila dalam suatu masalah atau kasus yang sedang dihadapi hakim belum ada peraturan
hukumnya maka dapat dilakukan usaha pembentukan hukum.

Ø Kesemua usaha tersebut merupakan suatu ars yang dimiliki oleh seorang ahli hukum. Atau
dapat dikatakan kemahiran hukum dapat dicapai apabila seseorang memahami betul tentang
legal concept.

HAM

HAM singkatan dari Hak Asasi Manusia. Ada tiga kata yang menjadi pondasi pemikiran
utama, pertama adalah Hak, hak adalah sesuatu yang harus didapatkan oleh seseorang sejak ia
lahir dan atau sejak ia menyelesaikan kewajiban. Kedua adalah asasi yang berarti dasar, dasar
bisa diartikan sebagai minimum, dan ketiga adalah manusiaa sebagai subyek yang mendapatkan
hak asasinya.
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan anugrah yang paling sempurna
diantara makhluk-makhluk yang lain, tetapi walaupun manusia sebagai makhluk Tuhan yang
sempurna tetapi tidak ada manusia yang sempurna.

Kesempurnaan manusia terletak pada akal dan hati, dengan keduanya manusia diberi
kebebasan untuk menentukan dia mau menjadi seperti apa. Dan dengan kedua hal tersebut maka
manusia mengkonsepkan sebuah pemikiran berupa hak-hak yang harus dimiliki oleh setiap
manusia di muka bumi tanpa terkecuali, jika hak-hak tersebut tidak terpenuhi maka dia tidak bisa
dikatakan hidup layak sebagai seorang manusia.

Karena ada hak maka harus ada kewajiban, maka kewajiban yang paling utama manusia
adalah menghormati hak-hak orang lain atas dirinya. Kadang kala dengan mengatas namakan
HAM seseorang melanggar hak-hak asasi milik orang lain.

Pengertian Hak Asasi Manusia dari Berbagai Sudut Pandang

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ada sebuah teori fundamental yang banyak
dipakai yaitu teori kedaulatan rakyat yang dianut oleh John Bodin. Dalam teori tersebut pada
dasarnya negara bisa dibentuk jika ada dua asas yaitu pactum unionis dan pactum subjectionis.

Pactum unionis ialah sebuah perjanjian yang dilakukan oleh masing-masing individu
untuk membentuk sebuah negara, sedangkan pactum subjectionis ialah perjanjian masing-masing
individu dengan negara yang dibentuk. Perjanjian tersebut dimaksudkan bahwa negara atau
pemerintah dalam menjalankan tugasnya semata-mata melaksanakan mandat/perintah dari
individu-individu (rakyat).

Mandat rakyat tersebut berupa perintah kepada pemerintah yang berkuasa untuk
mengelola sumber daya di segala bidang agar berjalannya roda pemerintahan dan kenegaraan
berdasarkan konstitusi yang telah dibentuk dalam perjanjian pactum subjectionis. Dengan
berdasarkan dua asas tersebut maka pemerintah wajib melindungi hak-hak individu rakyatnya
dengan kekuatan yang dimilikinya. Sehingga para warga negaranya dapat hidup dengan tenteram
dan nyaman.
Definisi HAM Menurut Ahli

Seperti dikutip dari contohsurat.co.id ada banyak pendapat mengenai definisi hak asasi
manusia, tetapi pada dasarnya sama saja yaitu menekankan hak dasar yang memang sudah
dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir.

Definisi dibawah ini tidak 100% benar seperti yang disampaikan tiap ahli, tetapi
belajargiat.id berusaha menyajikan definisi ham sebaik mungkin. Berikut ini adalah beberapa
definisi atau pengertian ham menurut banyak ahli :

1. Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999

HAM menurut UU No. 39 Tahun 99 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

2. C. de Rover

Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Rover ialah hak hukum yang telah dimiliki oleh
setiap orang sebagai manusia, hak-hak tersebut dimiliki oleh setiap orang (universal) baik kaya
maupun miskin, laki-laki maupun perempuan. Hak-hak tersebut bisa saja dilanggar tetapi tidak
bisa dihapuskan.

3. Franz Magnis-Suseno

Hak Asasi Manusia menurut Franz dan Suseno adalah hak-hak yang dipunyai oleh
manusia bukan dari pemberian kepadanya (manusia) oleh masyarakat, melainkan pemberian atas
martabatnya sebagai seorang manusia (bukan hukum positif yang berlaku). Manusia
memilikinya (ham) karena ia seorang manusia.

4. Kevin Boyle dan David Beetham

HAM atau hak asasi manusia menurut Kevin dan David adalah serta merta sebuah
kebebasan yang fundamental artinya setiap makhluk hidup (individu) memiliki hak-hak yang
berasal dari kebutuhan-kebutuahn serta kapasitasnya sebagai seorang manusia.
5. A.J.M Milne

HAM berdasar pendapat Milne ialah hak yang telah dimiliki oleh seluruh umat manusia
di setiap masa, setiap tempat, karena keutamaan dari keberadaannya sebagai seorang manusia
(pemberian Tuhan).

6. Oemar Seno Adji

HAM menurut pendapat Oemar adalah hak yang telah melekat pada martabat seorang
manusia sebagai instan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat tidak boleh
dilanggar oleh siapapun serta seolah-olah sebagai suatu holy area.

7. Budiardjo

Definisi hak asasi manusia budiardjo adalah hak yang telah dimiliki manusia (diperoleh)
sejak ia lahir / hadir ditengah-tengah masyarakat.

8. Austin-Ranney

HAM adalah ruang kebebasan seseorang/individu yang telah dirumuskan dengan jelas
kedalam konstitusi serta dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.

Definisi diatas tidak 100% sama seperti yang dimaksud oleh ahli, tetapi dirubah dan di
edit tanpa merubah maknanya.
2

Konsep HAM dalam Islam

Terdapat perbedaan mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan HAM dalam konsep
Barat sebagaimana yang diterima oleh dunia Internasional. HAM dalam Islam didasarkan pada
aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sementara dunia Barat percaya bahwa
pola tingkah laku hanya ditentukan oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas yang
mencukupi untuk tercapainya aturan-aturan pblik yang aman dan perdamaian universal.
Perbedaan lain yang mendasar juga terlihat dari cara memandang HAM itu sendiri. Di Barat
perhatian kepada individu-individu dari pandangan yang bersifat anthroposentris, di mana
manusia merupakan ukuran terhadap gejala sesuatu. Sedangkan dalam Islam, menganut
pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi dan manusia hanya untuk
mengabdi kepada-Nya.

Berdasarkan pandangan yang bersiifat anthroposentris tersebut maka nilai-nilai utama


dari kebudayan Barat seperti demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai
perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan terhadap
manusia. Berbeda keadaannya pada dunia Islam yang bersifat theosentris, larangan dan perintah
lebih didasarkan atas ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Al-Quran menjadi
transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Manusia diperintahkan untuk hidup dan bekerja
dengan kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada kehendak Allah.
Oleh karena itu mengakui hak-hak natar manusia adalah sebuah kewajiban dalam rangka
kepatuhan kepada-Nya.

Dalam perspektif Barat manusia ditempakan dalam suatu setting di mana hubungannya
dengan Tuhan sama sekali tidak disebut. Hak asasi manusia dinilai hanya sebagai perolehan
alamiah sejak kelahiran. Sementara HAM dalam perspektif Islam dianggap dan diyakini sebagai
anugerah dari Tuhan dan oleh karenanya setiap individu akan merasa bertanggung jawab kepada
Tuhan. Dengan demikian, penegakan HAM dalam Islam tidak hanya didasarkan kepada aturan-
aturan yang bersifat legal-formal saja tetapi juga kepada hukum-hukum moral dan akhlaqul
karimah.

Untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM di dalam masyarakat, Islam


mempunyai ajaran yang disebut amar ma’ruf nahi munkar . Islam mengajarkan tiga tahapan
dalam menjalankan ajaran tersebut: (1) melalui tangan (kekuasaan), (2) melalui lisan (nasihat),
(3) melalui gerak hati nurani, yaitu membenci kemungkaran sambil mendoakan agar pelakunya
sadar. Sehingga untuk mengatasi mengatasi terjadinya pelanggaran HAM, Islam tidak hanya
melakukan tindakan represif teatapi lebih menekankan tindakan preventif. Sebab, tindakan
represif cenderung berpijak hanya pada hukum legal-formal yang mengandalkan bukti-bukti
yang bersifat material semata. Sedangkan tindakan preventif tidak memerlukan adanya bukti
secara hukum.

Hak Asasi Manusia di dalam al-Quran

Tidak diragukan lagi bahwa al-Quran memberikan penjelasan-penjelasan tentang


petunjuk, dan pembeda di antara yang hak dan bathil. Manusia dipilih untuk mengemban amanah
Allah di bumi, kepadanya Allah amanatkan berbagai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan
reformasi dan mencegah macam tindakan pengrusakan. Untuk terlaksananya tugas dan tanggung
jawab dalam misinya sebagai khalifah, kepadanya Allah memberikan sejumlah hak yang harus
dipelihara dan dihormat. Hak-hak itu bersifat sangat mendasar, dan diberikan langsung oleh
Allah sejak kehadirannya di muka bumi.

Berikut beberapa hak-hak asasi yang terdapat dalam al-Qur’an:

Hak untuk Hidup

Hak yang pertama kali dianugerahkan Islam di antara HAM lainny adalah hak untuk
hidup dan menghargai hidup manusia. Islam memberikan jaminan sepenuhnya bagi etiap
manusia, kecuali tentu saja jika ada alasan yang dibenearkan. Prinsip tentang hak hidup tertuang
dalam dua ayat al-Quran:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (Q.S Al-Isra’:33)

“Dan Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)


melainkan dengan suatu (sebab) yang benar.” (al-An’am: 151)

Dua ayat di atas membedakan dengan jelas antara pembunuhan yang bersifat kriminal,
dengan pembunuhan untuk menegakkan keadilan. Untuk menegakkan keadlian hanya pengadilan
yang berwenang saja yang berhak memutuskan apakah seseorang harus kehilangan haknya untuk
hidup atau tidak. Oleh karena itu haruslah berlaku prinsip peradilan yan gjujur dan tidak
memihak.

Hak Kepemilikan Pribadi

Berkaitan dengan kepemilikan pribadi ini Islam sangat mengharagai hak-hak


kepemillikan pribadi seseorang. hal ini tercermin dari adanya persyaratan hak milik untuk
kewajiban zakat dan pewarisan. Seseorang juga diberi hak untuk mempertahankan hak miliknya
dari gangguan orang lain. Bahkan, jika ia mati ketika membela dan mempertahankan hak
miliknya itu maka ia dipandang sebai syahid.

Salah satu ayat al-Quran yang menjelaskan tentang pentingnya hak milik terdapat pada
Q.S. an-Nisaa ayat 29 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan
jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.

Ayat tersebut mengingatkan agar dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam


dan lingkungan itu, seseorang harus menghormati pula kepentingan orang lain. Dengan kata lain,
ia harus menempuh cara yang halal dan bukan melalui cara yang haram.

Persamaan Hak dalam Hukum

Agama Islam menekankan persamaan seluruh umat manusia di mata Allah, yang
menciptakan manusia dari asal yang sama dan kepadaNya semua harus taat dan patuh. Islam
tidak mengakui adanya hak istimewa yang berdasarkan kelahiran, kebangsaan, ataupun halangan
buatan lainnya yang dibentuk oleh manusia itu sendiri. Kemuliaan itu terletak pada amal
kebajikan itu sendiri.

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari sesorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulai di antara kamu di sisi Allah ialah orang orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (al-Hujarat: 13)

Agama Islam menganggap bahwa semua manusia itu sama dan merupakan anak
keturunan dari nenek moyang sama. Dalam Haji wada’nya, Nabi mendeklarasikan hal tersebut
bahwa “Orang Arab tidak mempunyai keunggulan atas orang non-Arab, begitu juga orang non-
Arab tidak mempunyai keunggulan atas orang Arab.demikian juga orang kulit putih tidak
memiliki keunggulan atas orang kulit hitam dan sebaliknya. Semua adalah anak keturunan Adam
dan Adam diciptakan dari tanah liat” Agama Islam telah menhancurkan diskriminasi terhadap
kasta, kepercayaan, perbedaan warna kulit, dan agama. Rasulullah tidak hanya secara lisan
menegakkan hak persamaan ini, namun juga telah memperhatikan pelaksanaanya selama beliau
hidup.

Hak Mendapatkan Keadilan

Hak mendapatkan keadilan merupakan suatu hak yang sangat penting di mana agama
Islam telah menganugerahkannya kepada setiap umat manusia. Sesungguhnya agama Islam telah
datang ke dunia ini untuk menegakkan keadilan, sebagaimana al-Quran menyatakan:

“Dan Aku perintahkan supaya berlaku adil di antara kamu” (Q.S Asy-Syura: 15)

Umat Islam diperintahkan supaya menjungjung tinggi keadilan meskipun kepentingan


mereka sendiri dalam keadaan bahaya

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadlilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahun kemaslahatannya. Maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jikakamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisa: 135).

Hak untuk Mendapatkan Pendidikan

Salah satu dari hak asasi yang terpenting adalah hak untuk memperoleh pendidikan.
Tidak seorangpun dapat dibatasi haknya untuk belajar dan mendapatkan pengetahuan dan
pendidikan, sepanjang ia memenuhi kualifikasi untuk itu. Ajaran Islam tidak saja menegakkan
sendi kemerdekaan belajar, lebih dari itu Islam mewajibkan semua orang Islam untuk belajar.

Pentingnya pendidikan dan pengetahuan tertuang dalam surat at-Taubah ayat 122:

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, sehingga mereka waspada.”

Landasan ayat lain yang meninggikan pentingnya pendidikan ada di dalam surat al-
Mujadilah ayat 11, yang memiliki arti:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
3

Rasulullah saw bersabda:

‫وم؟‬
ِ ُّ‫س َوالر‬ ِ َ‫ َكف‬،ِ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا‬:‫ فَقِي َل‬،»‫اع‬
َ ‫ار‬ ِ ‫الَ تَقُو ُم السَّا َعةُ َحتَّى تَأْ ُخ َذ أُ َّمتِي بِأ َ ْخ ِذ القُر‬
ٍ ‫ ِش ْبرًا بِ ِشب ٍْر َو ِذ َراعًا بِ ِذ َر‬،‫ُون قَ ْبلَهَا‬
َ‫ َو َم ِن النَّاسُ إِاَّل أُولَئِك‬:‫ال‬
َ َ‫فَق‬

“Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persia
dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhory no. 7319
dari Abu Hurairah r.a)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301),
menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat lain
dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.

Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan dan
pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak jarang
hukum Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam tersebut dianggap
tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau diabaikan.

Secara ringkas, tulisan ini akan mengkritisi demokrasi, baik dalam tataran konsep
maupun praktiknya dalam sistem pemerintahan.
Pengertian Demokrasi

Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih
di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”[1] Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah
yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat haruslah
melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam
hal :

a. Kebebasan beragama

b. Kebebasan berpendapat

c. Kebebasan kepemilikan

d. Kebebasan bertingkah laku

Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara
yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu
yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara.
Namun demikian variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip
tersebut.

Asal Usul Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) “kekuasaan


rakyat”, yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (Kratos) “kekuasaan”,
merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara
kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari
demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki
beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali
berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan
konsensus atau mufakat.

Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan
yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara
kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan
yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat
Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu
demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar
bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru
dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam
demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili
dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar
150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan
pendapat mereka.[2]

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur,
demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad
Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran
agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama
dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam
arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah
berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil
menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka
yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang
melingkupi kelahirannya.

Demokrasi Bertentangan Dengan Islam

Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak


legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga
perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan
di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram
walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.

Disisi lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik daripada
hukum Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika
Rasulullah saw membacakan:
ِ ‫اتَّ َخ ُذوا أَحْ بَا َرهُ ْم َو ُر ْهبَانَهُ ْم أَرْ بَابًا ِم ْن دُو ِن هَّللا‬

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah. (QS. At Taubah : 31)

Ady bin Hatimr.a berkata:

‫يارسول هللا انهم لم يكونوا يعبدونهم‬

Wahai Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka (rahib).

Maka Rasul menjawab:

‫اجل ولكن يحلون لهم ما حرم هللا فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل هللا فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم‬

Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-apa yang
diharamkan Allah maka mereka (org nashrany) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan
apa yang dihalalkan Allah maka mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah
penyembahan mereka (nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga
diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]

Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia


untuk masuk agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang muslim untuk
meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:

“Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah dia”.(HR
Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).
Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah
terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh melakukan
suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut
dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum
muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda :

“…Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada,


kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan
Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).

Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik
umum, seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara
mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba, judi, menjual
barang haram, menjual kehormatan, dll.

Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan,


homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi
yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal
tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas. sehingga tidak aneh kalau dalam sistem
demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya
sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[3]. Begitu juga perzinaan asal
dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah
dipermasalahkan[4].

Demokrasi = Syuro (Musyawarah)?


Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam,
yakni sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa.
Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa
merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh berbeda
dengan demokrasi.

Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas).


Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :

(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah
kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana
Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat, dan ketika
Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:

ِ ‫ْت أَ ْع‬
ِ ‫صي ِه َوهُ َو ن‬
‫َاص ِري‬ ُ ‫إِنِّي َرسُو ُل هَّللا ِ َولَس‬

“Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah
penolongku.” (HR Bukhari)

(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau
kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.

(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak
memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi
dalilnya.
Demokrasi: Cacat Sejak Lahir

Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-
maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai
Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang
bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan
anarkisme.

Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus
biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam bukunya, The
Republic, mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech,
and men in it may do what they like”. (…mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara
penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh
melakukan apa yang disukainya). Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang
tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri
sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan berbagai tindakan
kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak bermoral (licentiousness)
dan ketidaksopanan (immodesty).

Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan betapa
negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu
mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi
negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.

Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa
hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada
perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat
tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi
rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata:
”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

Demokrasi Ketuhanan

Karena menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus walaupun ada


kekurangannya, sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil ide demokrasi namun
membuang apa yang menurut mereka jelek. Sehingga mereka katakan, “kita memakai demokrasi
namun yang berdaulat tetaplah syara’” yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun hukum
syara’ tidak akan ditolak. Ungkapan seperti ini sebenarnya hanyalah permainan kata-kata dan
definisi saja, seperti orang mau memesan sate ayam namun mereka syaratkan sate ayamnya tidak
menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal seperti ini hendaknya kita berhati-hati menjaga
lidah. Allah berfirman:

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَقُولُوا َرا ِعنَا َوقُولُوا ا ْنظُرْ نَا َوا ْس َمعُوا َولِ ْل َكافِ ِرينَ َع َذابٌ أَلِي ٌم‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):


“Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan
yang pedih. (QS Al Baqarah 104)

“Raa `ina” berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”. Di kala para sahabat
menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai pula kata ini dengan
digumam seakan-akan menyebut ”Raa `ina”, padahal yang mereka katakan ialah ”Ru`uunah”
yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah
menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘ yang juga
sama artinya dengan ”Raa `ina”. Kalau masalah pilihan kata saja Allah memperhatikan, padahal
dua kata tersebut kurang lebih artinya sama, lalu baggaimana pula dengan kata yang memang
memiliki pemahaman yang khas seperti demokrasi ini? Tentunya harus lebih hati-hati lagi.

Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)

Berbeda dengan demokrasi, Islam menggariskan bahwa sistem pemerintahan yang


seharusnya dipakai umat Islam tegak diatas 4 pilar pokok yakni: [5]

Pertama, kedaulatan di tangan syara’. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
bahwa kedaulatan di tangan syara’, yakni hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan
hukum bagi manusia, kalaupun semua manusia sepakat menghalalkan yang diharamkan Allah
maka kesepakatan mereka tidak berlaku.

ِ َ‫ق َوه َُو َخ ْي ُر ْالف‬


َ‫اصلِين‬ َّ ‫إِ ِن ْال ُح ْك ُم إِاَّل هَّلِل ِ يَقُصُّ ْال َح‬

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
Pemberi keputusan yang paling baik. (QS Al An’am : 57)

Ketika terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib menggunakan


ketentuan syara’. Allah berfirman:

‫فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرسُو ِل إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر‬

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. (QS. An Nisaa’: 59)
Kedua, kekuasaan[6] di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih pemimpin
yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis
tentang bai’at, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara, kecuali dibai’at (diangkat) oleh
umat.

Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:

‫ق‬َ ِّ‫ “ َم ْن َجا َء ُك ْم َوأَ ْم ُر ُك ْم َج ِمي ٌع ي ُِري ُد أَ ْن يُفَر‬:‫صاَل ةُ َوال َّساَل ُم‬
َّ ‫ض أَوْ أَ ْكثَ َر فَاَل يَجُو ُز لِقَوْ لِ ِه َعلَ ْي ِه ال‬
ِ ْ‫فَأ َ َّما نَصْ بُ إِ َما َم ْي ِن فِي اأْل َر‬
‫ ِم ْنهُ ْم إِ َما ُم ْال َح َر َمي ِْن‬،‫اح ٍد‬
ِ ‫ك َغ ْي ُر َو‬ َ ِ‫ َوقَ ْد َح َكى اإْل ِ جْ َما َع َعلَى َذل‬،‫ُور‬ ِ ‫ َوهَ َذا قَوْ ُل ْال ُج ْمه‬. ” َ‫بَ ْينَ ُك ْم فَا ْقتُلُوهُ َكائِنًا َم ْن َكان‬

“Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh
berdasarkan sabda Beliau saw: “barang siapa datang kepada kalian sementara urusan kalian
bersatu, (orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun orangnya“(HR.
Muslim) Dan ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang yang telah menceritakan
adanya ijma’ dalam hal ini, di antara mereka adalah Imamul Haramain.”

Keempat, hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’.

Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang
termasyhur,

‫حكم الحاكم يرفع الخالف‬

Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang
tak kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri mâ yahdutsu min musykilât.”
(Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan
baru yang terjadi).
4

Firman Allah :

‫اورْ هُ ْم فِي‬ ِ ‫ك ۖ فَاعْفُ َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َو َش‬ ِ ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِمنَ هَّللا ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم ۖ َولَوْ ُك ْنتَ فَظًّا َغلِيظَ ْالقَ ْل‬
َ ِ‫ب اَل ْنفَضُّوا ِم ْن َحوْ ل‬
َ‫اأْل َ ْم ِر ۖ فَإ ِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ ۚ إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمت ََو ِّكلِين‬

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan
bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang
bertawakal.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159).

Ayat ini merupakan salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang pentingnya
bermusyawarah. Dua ayat lainnya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 233 dan Asy-Syura [42]:
38.

Kata “musyawarah” menurut Ar-Raghib Al-Ashfihani (w. 502 H) dalam Al-Mufradat fi


Gharib Al-Qur’an berasal dari kata ْ‫ شرت العسل‬yaitu apabila engkau mengambil madu dan
mengeluarkan dari tempatnya. Sedang menurut istilah, beliau mendefinisikan musyawarah
adalah mengeluarkan pendapat melalui proses saling merevisi antara satu dengan yang lain.

Ayat di atas diturunkan usai perang Uhud, perang antara kaum muslimin dan kaum kafir
Quraisy yang terjadi 17 Syawal 3 H/22 Maret 625 M. Disebut perang Uhud karena terjadi di
dekat bukit Uhud yang terletak 5 mil dari Masjid Nabawi. Pada perang ini umat Islam
mengalami kegagalan karena pasukan pemanah melanggar perintah Nabi ‫ ﷺ‬untuk
tetap bertahan di tempat baik menang maupun kalah.

Musyawarah Sebelum Perang Uhud Setelah mengumpulkan informasi lengkap tentang


pasukan kafir Quraisy, pada Subuh Jumat, 15 Syawal 3 H, Nabi ‫ ﷺ‬mengumpulkan
para sahabat dan bermusyawarah dengan mereka mengenai apakah mereka tetap tinggal di
Madinah ataukah mereka akan keluar rumah untuk menghadapi kaum musyrikin.
Saat itu, Nabi ‫ ﷺ‬memilih untuk tetap tinggal di Madinah. Apabila mereka
masuk, kaum muslimin akan mengadakan perlawanan di setiap jalan dan gang yang kaum
muslimin sudah hafal sedang lawan masih merasa asing. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
sahabat-sahabat utama dan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik juga sependapat dengan
beliau.

Namun sebagian kaum muslimin yang tidak ikut Perang Badar berkata, “Wahai
Rasulullah ,‫ ﷺ‬keluarlah bersama kami untuk menghadapi musuh-musuh.” Ibnu
Ishak berkata, “Para sahabat bersikukuh di hadapan Rasulullah ‫ﷺ‬untuk keluar
menghadapi musuh, hingga beliau masuk ke dalam rumah dan memakai baju besi perangnya.
Maka para sahabat saling menyalahkan, dengan berkata, “Nabi ‫ ﷺ‬mengusulkan
suatu perkara sedangkan kalian mengusulkan yang lain.” Wahai Hamzah , temuilah beliau dan
katakan, “Kita semua mengikuti pendapat Anda.” Lalu Hamzah menemui Nabi ‫ﷺ‬
dan berkata, “Wahai Nabiyallah, para sahabat saling menyalahkan, kemudian dia berkata, “Kita
semua mengikuti Anda.”

Lalu beliau bersabda, yang artinya: “Tidak pantas bagi seorang nabi jika telah memakai
baju besi perangnya, untuk menanggalkannya kembali sehingga Allah memutuskan antara
dirinya dengan musuhnya (berperang).”

Dari peristiwa ini tampak bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬membiasakan bersahabat


untuk mengemukakan pendapat ketika sedang bermusyawarah, meski pendapat mereka
menyelisihi beliau. Beliau mengajak mereka bermusyawarah dalam hal yang tidak ada dalilnya,
untuk membiasakan mereka berpikir dalam urusan masyarakat dan menyelesaikan masalah
keumatan.

Beliau membebaskan para sahabat mengemukakan pendapat walaupun berbeda dengan


pendapat beliau karena tidak ada gunanya bermusyawarah apabila tidak dibarengi dengan
kebebasan menyuarakan pendapat. Walaupun mereka bebas mengemukakan pendapat, namun
mereka tidak boleh memaksakan pendapatnya kepada pimpinan. Cukuplah bagi mereka
menjelaskan pendapatnya, kemudian membiarkan pemimpin memilih pendapat yang paling kuat.

Hal ini terlihat ketika para sahabat sadar bahwa mereka telah mendesak Rasulullah
‫ﷺ‬untuk keluar dari Madinah dan beliau harus keluar karena beliau mengikuti
pendapat mereka lalu mereka meminta agar beliau mengurungkan niat untuk keluar dari
Madinah, beliau tidak bersedia mengikuti keinginan mereka.

Hal ini juga memberi pelajaran lain, bahwa salah satu ciri pemimpin yang sukses adalah
tidak ragu-ragu dalam melaksanakan keputusan musyawarah dan bertekad melaksanakannya
secara konsekuen apapun risikonya.

Di antara risiko melaksanakan keputusan musyawarah pada waktu itu adalah:

1. Ketika pasukan sampai di suatu tempat bernama AsySyauth, Ibnu Salul sang tokoh
munafik mundur (desersi) bersama 300 orang munafik yang lain dengan alasan tidak akan terjadi
peperangan dan menolak keputusan perang di luar kota. Dia berkata, “Ia menurut pendapat anak-
anak dan orang-orang yang tidak berakal. Ia menuruti mereka dan menolak pendapatku. Maka,
untuk apa kita berperang mengorbankan diri kita.”

2. Tindakan orang munafik ini menimbulkan keguncangan di dalam tubuh pasukan Islam
hingga Bani Salamah dan Bani Haritsah juga ingin keluar dari pasukan. Namun Allah
meneguhkan dan menjaga keduanya. Mengenai hal ini, turunlah ayat :

َ‫ت طَائِفَتَا ِن ِم ْن ُك ْم أَ ْن تَ ْفشَاَل َوهَّللا ُ َولِيُّهُ َما ۗ َو َعلَى هَّللا ِ فَ ْليَت ََو َّك ِل ْال ُم ْؤ ِمنُون‬
ْ ‫إِ ْذ هَ َّم‬

“Ketika dua golongan dari pihak kamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah
penolong mereka. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.”
(Q.S. Ali ‘Imran [3]: 122).

Jabir bin Abdullah berkata, “Ayat ini turun menceritakan tentang kami, yakni Bani
Salamah dan Bani Haritsah. Dan saya khawatir jika ayat ini tidak turun. Allah berfirman,
“Padahal Allah adalah wali bagi kedua golongan itu.”

3. Para pemanah yang ditugaskan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬untuk bertahan di bukit


Rumat melanggar kedisiplinan. Mereka tinggalkan pos ketika kekalahan menimpa kaum kafir
Quraisy di awal peperangan dan lari dengan meninggalkan ghanimah. Para pemanah mengira
peperangan telah usai dan tidak mengindahkan peringatan pemimpin mereka, Abdullah bin
Jubair agar tetap bertahan di atas bukit dalam kondisi apapun.
Akhirnya situasi berbalik sehingga umat Islam mengalami banyak kerugian dengan
syahidnya 71 orang pasukan Islam dan banyaknya mereka yang lukaluka termasuk Rasulullah
‫ ﷺ‬yang terluka di wajahnya dan gigi gerahamnya tanggal. Dua keping lingkaran
rantai topi besi yang menutupi wajah beliau menembus pipinya. Urgensi dan Adab
Bermusyawarah Demikianlah pentingnya musyawarah dan melaksanakan hasilnya walaupun
dengan berbagai macam risiko.

Oleh karena itu sebagian besar ahli tarikh sejak zaman dahulu sampai sekarang
menyalahkan Muawiyah yang membekukan musyawarah untuk kepentingan dirinya sendiri demi
mendirikan dinasti Bani Umayyah. Tokoh tabiin, Hasan AlBashri mengatakan, bahwa susunan
masyarakat Islam menjadi kocar-kacir dan hancur sejak Muawiyah mengambil alih kekuasaan
dengan paksa.

Menurut Burhan Al-Islam Az-Zarnuji (w. 593 H) dalam Ta’lim Al-Muta’allim fi Thariq
At-Ta’allum, menyatakan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah orang yang paling sering
bermusyawarah, padahal tidak ada orang yang melebihi kecerdasan beliau. Beliau
bermusyawarah dengan para sahabat dan meminta pendapat mereka dalam segala urusan, hingga
dalam urusan keperluan rumah tangga.

Ali bin Abi Thalib berkata, “Seseorang tidak akan celaka karena bermusyawarah.” Ada
ulama yang mengatakan, “Manusia itu ada tiga yaitu manusia yang sempurna, manusia yang
setengah manusia dan manusia yang bukan manusia. Manusia sempurna adalah orang yang
memiliki ide (pendapat) yang benar dan bermusyawarah. Manusia setengah manusia adalah
orang yang memiliki ide (pendapat) yang benar tetapi tidak bermusyawarah atau bermusyawarah
tetapi tidak memiliki ide (pendapat). Dan manusia bukan manusia adalah orang yang tidak
memiliki ide (pendapat) dan tidak mau bermusyawarah.”

Adab Musyawarah

Para ulama menggariskan adab musyawarah sebagai berikut:

1. Hendaklah orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang takut kepada Allah .
Ja’far Ash-Shadiq berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Musyawarahkan urusanmu dengan orang-
orang yang takut kepada Allah.”
2. Musyawarah hendaknya bertujuan untuk mencari kebenaran. Oleh karena itu
musyawarah harus dilakukan dengan penghayatan, tidak tergesa-gesa dan adil.

3. Bermusyawarah tidak boleh dilakukan untuk mengobarkan pertikaian dan hanya ingin
mengalahkan lawan.

4. Berbicara dengan benar, lugas, tegas, tidak berbelit-belit, sopan dan tidak mencari
menang sendiri.

5. Memikirkan dan merenungkan secara mendalam apa yang akan diucapkan. Dalam hal
ini ada sebuah syair yang patut direnungkan:

“Kunasihatkan kepadamu untuk menata ucapan dengan lima perkara ۞ Jika engkau
patuh kepada pemberi nasihat yang tulus ۞ Yaitu, jangan sampai lupa apa sebab-sebab
perkataan dan kapan waktunya ۞ Bagaimana caranya, berapa panjangnya, dan di mana
tempatnya, itulah semuanya. (A/Ast/RS2)

Anda mungkin juga menyukai