Anda di halaman 1dari 21

Referat

MATI TERGANTUNG

Oleh :
Jilbrando Tumilaar 190-033
Pratiwi N. tanio 190-015
Trijeri Bulele 190-041
Aprilia E. J. Tuda 180-034
Vicky Supit 180-081
Masa KKM : 15 Juni – 21 Juni 2020

Supervisor Pembimbing :

dr. Djemi Tomuka, SH, MH, DFM

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

“MATI TERGANTUNG”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada 26 Juni 2020

Oleh :
Jilbrando Tumilaar 190-033
Pratiwi N. tanio 190-015
Trijeri Bulele 190-041
Aprilia E. J. Tuda 180-034
Vicky Supit 180-081
Masa KKM : 04 Mei – 07 Juni 2020

Supervisor Pembimbing :

dr. dr. Djemi Tomuka, SH, MH, DFM

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II MATI TERGANTUNG..............................................................................3

A. Definisi Mati Tergantung................................................................................ 3

B. Epidemiologi................................................................................................... 4

C. Mekanisme Kematian......................................................................................5

D. Penanganan Korban yang digantung Selagi Hidup.........................................7

E. Pemeriksaan Jenazah....................................................................................... 8

F. Aspek Medikolegal........................................................................................ 13

BAB III KESIMPULAN........................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
bunuh diri. Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan
karena dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, dapat menggunakan seutas
tali, kain, dasi atau bahan apa saja yang dapat melilit leher. Demikian pula pada
pembunuhan atau hukuman mati dengan cara penggantungan yang sudah
digunakan sejak zaman dahulu. Penggantungan (hanging) adalah penyebab
1,2
kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan.

Penggantungan adalah penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering


ditemukan. Bagaimanapun, penggantungan juga merupakan penyebab kematian
yang paling sering menimbulkan persoalan karena rawan terjadi salah interpretasi
1
baik oleh ahli forensic, polisi, dan dokter non-forensik.

Penggantungan merupakan metode bunuh diri yang sering ditemukan di


banyak negara. Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan
penggantungan dilaporkan setiap tahun. Penggantungan baik akibat bunuh diri
atau pembunuhan lebih sering ditemukan di perkotaan.1 Di Departemen Forensik
Leeds menunjukkan bahwa gantung diri sekitar 6 dari 146 kasus kematian
3
mendadak tidak wajar pertahun.

Di Amerika Serikat, pada tahun 2001 dilaporkan sebanyak 279 kematian yang
dikibatkan oleh penggantungan yang tidak disengajakan dan strangulasi, dan 131
2
kematian karena penggantungan, strangulasi, dan lemas. Pada balita,
biasanya terjadi accidental hanging yaitu penggantungan yang tidak disengajakan
2
misalnya akibat dijerat ayunan. Data yang dihimpun dari Polda Metro Jaya
diketahui bahwa pada tahun 2009 ada 90 kasus gantung diri, tahun 2010 ada 101
4
kasus dan tahun 2011 ada 82 kasus gantung diri.

Dalam kasus gantung diri diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk mencegah
kemungkinan lain, seperti pembunuhan atau kecelakaan. Penggantungan juga
merupakan penyebab kematian yang paling sering menimbulkan persoalan karena

1
rawan terjadi salah interpretasi. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai penggantungan (hanging) , khususnya
mengenai gantung diri mengingat kasus ini merupakan penyebab kematian akibat
asfiksia yang paling sering ditemukan. Selain itu, dalam aspek medikolegal,
sebagai dokter yang memeriksa perlu memastikan apakah kasus penggantungan
tersebut merupakan tindakan bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan sehingga
dapat membuat terang suatu perkara pidana, khususnya penggantungan.

2
BAB II

MATI TERGANTUNG

A. Definisi Mati Tergantung

Gantung diri adalah suatu tindakan yang dilakukan secara


1
sengaja untuk membunuh diri sendiri melalui suatu penggantungan.
Ada beberapa definisi tentang penggantungan. Penggantungan atau
hanging adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh
2
alat jerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian.

Penggantungan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan


dimana leher dijerat dengan ikatan yang mana daya jerat ikatan
1,6
tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Dengan
demikian berarti alat penjerat bersifat pasif dan berat badan bersifat
1,2
aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Keadaan tersebut
berbeda dengan penjeratan, dimana yang aktif (kekuatan yang
5
menyebabkan konstriksi leher), adalah terletak pada alat penjeratnya.
Penggantungan (Hanging) adalah suatu keadaan dimana
terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh
berat badan seluruh atau sebagian. Alat penjerat sifatnya pasif,
sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada
7
leher. Umumnya penggantungan melibatkan tali, tapi hal ini tidaklah
perlu. Penggantungan yang terjadi akibat kecelakaan bisa saja tidak
terdapat tali. Pada beberapa kasus konstriksi dari leher terjadi akibat
eratnya jeratan tali bukan oleh berat badan yang tergantung. Pada
beberapa kasus yang jarang, jeratan tali dipererat oleh berat tubuh
yang tergantung oleh individu dalam keadaan tegak lurus. Kekuatan
8
tambahan juga kadang dibutuhkan untuk mengeratkan tali.

3
B. Epidemiologi

Suatu tinjauan pada tahun 2008 di 56 negara berdasarkan data


mortalitas World Health Organization (WHO) ditemukan bahwa
penggantungan merupakan metode bunuh diri yang paling utama pada
5
sebagian besar negara-negara tersebut. Di Amerika Serikat, pada tahun
2005, the National Center for Injury Prevention and Control melaporkan
13,920 kematian di seluruh Amerika Serikat akibat sufokasi, dengan
angka rata-rata 4,63 per 100.000. Angka ini meliputi pula strangulasi dan
hanging aksidental, strangulasi dan sufokasi aksidental, hanging,
strangulasi dan sufokasi serta ancaman terhadap pernafasan aksidental
6
lainnya.

Penggantungan bunuh diri disetujui bersama lebih banyak pada laki-


7
laki. Di Eropa Timur (misalnya Estonia, Latvia, Polandia dan Romania),
proporsi tertinggi kasus gantung diri lebih banyak pada laki-laki, yaitu
8
90%, sedangkan pada wanita 80%. Namun akhir-akhir ini wanita lebih
banyak memilih metode ini untuk melakukan bunuh diri dibanding
7
penggunaan senjata api dan racun. Sedangkan berdasarkan usia,
kelompok remaja melakukan tindakan bunuh diri akibat depresi dimana
dapat memicu gantung diri. Terdapat pula peningkatan insidensi
accidental hanging karena "the choking game", suatu strangulasi leher
yang disengaja dalam rangka menikmati perubahan status mental dan
sensasi fisik. Pada kelompok usia dewasa muda, penyebab tersering
adalah penyerangan dan bunuh diri akibat depresi. Para narapidana
sering memilih gantung diri sebagai upaya bunuh diri karena ini
7
merupakan satu dari sedikit metode yang tersedia bagi mereka.

Di India, dari tahun 1997-2000, didapatkan kematian akibat


penggantungan sebesar 3,4%. Penggantungan yang diakibatkan oleh
bunuh diri lebih sering ditemukan pada jenis kelamin laki-laki (2:1),
tetapi kematian yang disebabkan oleh kekerasan strangulasi lebih

4
2
dominan ditemukan pada wanita. Di Istanbul, Turki, 537 dari semua
kasus gantung diri adalah laki-laki (70,56%) dan 224 adalah wanita
3
(29,44%). Jika dilihat dari faktor umur, insidens penggantung lebih
sering terjadi pada dewasa muda. Di India misalnya, kematian akibat
penggantungan paling sering ditemukan pada kelompok umur 21-25
4
tahun , manakala penelitian Davidson & Marshall (1986), melaporkan
bahwa insidens penggantungan yang paling tinggi adalah pada kelompok
5
umur 20-39 tahun.

C. Mekanisme Kematian

Kematian pada kasus gantung diri dapat disebabkan oleh mekanisme


tertentu, diantaranya sebagai berikut:

1. Asfiksia.
Merupakan penyebab kematian yang paling sering. Terjadi akibat
8
terhambatnya aliran udara pernafasan. Kekuatan kontriksi dari pengikat
menyebabkan penyempitan kompresif pada lumina laring dan trakea, dan
menekan ke atas dasar lidah terhadap dinding posterior faring, dan melipat
9
epiglotis di atas pintu masuk laring untuk menghalangi aliran udara.
2. Apopleksia (kongesti pada otak).
Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada
pembuluh darah otak dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Tekanan pada
vena jugularis bisa menyebabkan kematian korban penggantungan dengan
mekanisme asfiksia. Kebanyakan kasus penggantungan bunuh diri
mempunyai mekanisme kematian seperti ini. Seperti yang diketahui, vena
jugularis membawa darah dari otak ke jantung untuk sirkulasi. Pada
penggantungan sering terjadi penekanan pada vena jugularis oleh tali yang
menggantung korban. Tekanan ini seolah-olah membuat jalan yang dilewati
darah untuk kembali ke jantung dari otak tersumbat. obstruksi total maupun
parsial secara perlahan-lahan dapat menyebabkan kongesti pada pembuluh
darah otak. Darah tetap mengalir dari jantung ke otak tetapi darah dari otak
tidak bisa mengalir keluar. Akhirnya, terjadilah penumpukan darah di
pembuluh darah otak. Keadaan ini menyebabkan suplai oksigen ke otak

5
berkurang dan korban seterusnya tidak sadarkan diri. Kemudian, terjadilah
depresi pusat nafas dan korban mati akibat asfiksia. Besarnya tekanan yang
diperlukan untuk terjadinya mekanisme ini idak penting tetapi durasi lamanya
tekanan yang diberikan pada leher oleh tali yang menggantung korban yang
menyebabkan mekanisme tersebut. Ketidaksadaran korban memerlukan
waktu yang lama sebelum terjadinya depresi pusat nafas. Secara keseluruhan,
mekanisme ini tidak menyakitkan sehingga sering disalahgunakan oleh pria
untuk memuaskan nafsu seksual mereka (Autoerotic Sexual Asphyxia). Pada
mekanisme ini, korban akan menunjukkan gejala sianosis. Wajahnya
membiru dan sedikit membengkak, muncul peteki di wajah dan mata akibat
dari pecahnya kapiler darah karena tekanan yang lama. Didapatkan lidah
8
yang menjulur keluar pada pemeriksan luar.
Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang lebih besar. Hal
ini karena secara anatomis, arteri karotis berada lebih dalam dari vena
jugularis. oleh karena itu, obstruksi arteri karotis jarang ditemukan pada kasus
bunuh diri dengan penggantungan. Biasanya korban mati karena tekanan yang
lebih besar, misalnya dicekik atau pada penjeratan. Pada pemeriksaan dalam
turut ditemukan jejas pada jaringan lunak sekitar arteri karotis akibat tekanan
yang besar ini. Tekanan ini menyebabkan aliran darah ke otak tersumbat.
Kurangnya suplai darah ke otak menyebabkan korban tidak sadar diri dan
depresi pusat nafas sehingga kematian terjadi. Pada mekanisme ini, hanya
8
ditemukan wajah yang sianosis tetapi tidak ada peteki.

8
Gambar 1. Kongesti yang mencolok pada leher akibat gantung diri

6
3. Kombinasi dari asfiksia dan apopleksia.
4. Iskemia serebral.
Hal ini akibat penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri yang
memperdarahi otak.
5. Syok vaso-vagal (refleks vagal).
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan henti jantung. Hal ini
dapat dijelaskan melalui mekanisme:
a. Inhibisi Vagal sering diikuti oleh fibrilasi ventrikel
b. Secara experimental pada binatang yang dibuat dalam keadaan
Obstructive Asphyxia, setelah beberapa menit akan diikuti dengan
berkurangnya detak jantung kemudian beberapa saat terjadi takikardi
sampai terjadi kematian.
6. Kerusakan pada batang otak dan medula spinalis.
Hal ini terjadi akibat dislokasi atau fraktur vertebra servikalis. Fraktur
vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada penggantungan dengan
mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Sering terjadi fraktur atau cedera pada
vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis dan atlas) atau lebih dikenali sebagai
Hangman Fracture. Fraktur atau dislokasi vertebra servikal akan menekan
medulla oblongata sehingga terjadi depresi pusat nafas dan korban meninggal
8
karena henti nafas. Kejadian ini biasa terjadi pada hukuman gantung atau
korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat tinggi. Pada keadaan
dimana tali yang menjerat leher cukup panjang, kemudian korbannya secara
tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka akan mengakibatkan
fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan medulla
8
oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan.

D. Penanganan Korban yang digantung Selagi Hidup

1. korban diturunkan
2. Ikatan pada leher dipotong dan jeratan dilonggarkan
3. Berikan bantuan pernafasan untuk waktu yang cukup lama.
4. Lidah ditarik keluar, lubang hidung dibersihkan jika banyak mengandung
sekresi cairan.
2
5. Berikan oksigen, lebih baik lagi kalau dosertai CO 5%

7
6. Jika korban mengalami kegagalan jantung kongestif, pertolongan melalui
vena seksi mungkin akan membantu untuk mengatasi kegagalan jantung
tersebut
7. Berikan obat-obat yang perlu (misalnya coramine) gejala sisa: hemiplegia,
9
amnesia, dimensia, bronkitis

E. Pemeriksaan Jenazah

Pemeriksaan Luar

1. Penjeratan pada leher

Pemeriksaan terhadap leher jenazah penting dilakukan terutama untuk


melihat tanda-tanda dari penjeratan pada leher. Pada saat suspensi, penjerat
atau alat gantung biasanya tergelincir di atas laring, dan akhirnya akan
terletak di bawah dagu. Ini akan menyebabkan adanya tanda jeratan. Jeratan
biasanya tidak akan sepenuhnya mengelilingi leher, melainkan miring ke
atas menuju simpul, dan tanda itu akan semakin memudar seiring menjauh
10
dari titik suspensi.

Jika simpul berada di bawah dagu, situsnya bisa ditunjukkan oleh abrasi
atau lekukan bawah dagu. Kejelasan dan konfigurasi jerat tergantung pada
bahan yang digunakan. Berbagai bahan ligatur dapat digunakan untuk
menggantung, mulai dari yang berpermukaan sempit sampai ke permukaan
yang luas, dari tali atau rantai untuk tali, ikat pinggang, handuk, sprei, dan
11
sebagainya.

Gambar 1.a dan 1.b menunjukkan perbedaan jerat tergantung pada jenis
ligatur yang dipergunakan. Semakin sempit ligatur tersebut, maka jerat yang
dihasilkan akan menjadi lebih dalam dan lebih jelas. Ligatur yang
berpermukaan lebih luas dan lebih lembut akan menghasilkan jerat yang
semakin dangkal dan tipis. Jika ligatur terdiri dari lembaran datar yang luas
atau bahan lembut lainnya maka mungkin ada sedikit, bahkan jika ada,
11
abrasi akibat ligatur di sekitar leher.

8
Selain jerat, abrasi ligatur harus selalu diperiksa dengan teliti untuk
memastikan apakah abrasi tersebut memiliki korelasi dengan ligatur yang
digunakan. Gambar 1.c menunjukkan kesamaan dalam pola ligatur dan pola
abrasi dalam kasus gantung diri dengan ikat pinggang. Kadang-kadang,
lebih dari satu alur ligatur dapat diidentifikasi. Gambar 1.d menunjukkan
alur ganda. Ini mungkin hasil dari ligatur yang dililitkan lebih dari satu kali
di sekitar leher, atau mungkin hasil dari gerakan tubuh (dan / atau ligatur)
11
yang berubah posisi saat peristiwa gantung.

11
Gambar 1. Jerat pada Gantung Diri

Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering,
keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas perkamen,
disebut tanda parchmentasi. Bila jeratan tali keras, mula-mula akan menimbulkan
warna pucat kemudian berubah menjadi coklat seperti warna kertas perkamen.
Pada pinggir ikatan dijumpai daerah hiperemis dan ekimosis. Ini menunjukkan
bahwa pengikatan terjadi sewaktu korban masih hidup. Bila pengikatan dengan
bahan yang lembut seperti selendang maka terlihat bekasnya lebar dan tidak ada
lekukan ikatan, biasanya miring dan kontinu. Bila lama tergantung, di bagian atas
12-18
jeratan warna kulit lebih gelap karena adanya lebam mayat.

9
2. Tanda- tanda asfiksia

a. Sianosis pada kuku dan bibir karena tekanan pada leher yang
menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah
b. Penonjolan bola mata karena sumbatan pada vena namun arteri tetap bebas
c. Tardieu spot pada konjungtiva bulbar dan palpebral yang disebabkan oleh
ruptur vena dan kapiler darah saat terjadi sumbatan darah balik vena di
11-18
kepala sementara aliran darah arteri masih terjaga.

11
Gambar 2. Tardieu spot pada konjungtiva (a) dan tungkai bawah (b)

3. Lidah.

Jika posisi tali di bawah cartilago thyroidea maka lidah akan terlihat
19
menjulur ke luar dan berwarna lebih gelap akibat proses pengeringan.

4. Air liur

Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan
tempat simpul tali. Keadaan ini merupakan tanda pasti penggantungan ante-
12-15
mortem.

5. Lebam mayat

10
Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati dikaki
dan tangan bagian bawah terutama di ujungujung jari tangan dan kaki. Bila segera
diturunkan lebam mayat bisa didapati di bagian depan atau belakang tubuh sesuai
12,13
dengan letak tubuh sesudah diturunkan.

6. Ekskresi

Ekskresi urin dan feses dapat ditemukan pada jenazah. Selian itu, dapat
juga ditemukan penis membengkak disertai keluarnya cairan semen pada
ujungnya. Pada wanita ditemukan vagina yang membengkak dan dapat disertai
12,1319,20
dengan keluarnya cairan kemerahan seperti darah.

Pemeriksaan Dalam

1. Jaringan subkutan di bawah tanda penggantungan tampak berwarna putih,


kering, dan mengkilap, terutama bila penggantungan telah berlangsung lama. Pada
12,14,17,18
jaringan di sekitarnya dapat ditemukan petekia.

2. Otot leher (platysma dan sternomastoid) mengalami ruptur, terutama pada


penggantungan dari ketinggian dan penggantungan penuh. Hal ini disebabkan
12,14,17,18
oleh penekanan langsung maupun peregangan pada otot tersebut.

3. Tunika intima dari arteri karotis mengalami kerusakan disertai ekstravasasi


12,17
darah pada dindingnya.

4. Fraktur tulang hyoid sering terjadi dan cornu superior kartilago tiroid jarang
ditemui. Beberapa faktor seperti usia korban, titik suspensi, panjang dan lebar
12,17,18,19
pengikat, serta titik simpul dianggap berpengaruh.

12
5. Paru mengalami kongesti dan edema.

11
6. Ventrikel kanan jantung penuh dengan darah, sedangkan ventrikel kiri
12
jantung kosong.

Tabel 1. Perbedaan penggantungan ante-mortem dan post-mortem

12
F. Aspek Medikolegal

Setiap kali mayat ditemukan dalam keadaan terdapat ikatan di leher, mayat
tersebut harus dibawa untuk pemeriksaan post-mortem oleh pemeriksa
medikolegal. Pada aspek medikolegal kasus mati tergantung (hanging).
Hanging harus selalu dipertimbangkan sebagai kasus bunuh diri pertama-tama,
sampai kecuali terbukti sebaliknya. Dalam kasus bunuh diri dengan cara
gantung diri, bahan apa pun yang tersedia pada saat itu dapat digunakan untuk
tindakan tersebut. Bangku kaki dapat ditemukan di lokasi kematian yang
digunakan untuk mencapai titik suspensi. Kotoran itu dapat ditemukan dalam
21-
posisi menurun ketika orang melompat dari bangku setelah mengikat ikatan.
23

Aspek medikolegal dari mati tergantung (hanging) terbagi atas tiga bagian
24
utama yaitu : suicide, homicide, dan accidental hanging.
1. Suicide hanging
Biasanya perbuatan bunuh diri dilakukan sama banyaknya oleh kedua
jenis kelamin dan sepertinya tidak tergantung umur, artinya dilakukan dari
remaja sampai orang tua. Pemeriksaan di TKP penting untuk menjelaskan
bila ada luka di tubuh korban. Bila tergantung dekat dinding mungkin ada
tonjolan yang dapat melukai korban menjelang kematian.
Keadaan di TKP (tempat kejadian perkara) dimana korban ditemukan
biasanya tenang, dalam ruang atau tempat yang tersembunyi atau pada
tempat yang sudah tidak dipergunakan.
Posisi korban yang tergantung lebih mendekati lantai, berbeda dengan
pembunuhan dimana jarak antara kaki dengan lantai cukup lebar. Pakaian
korban rapi, sering didapatkan surat peninggalan pada saku, yang isinya
adalah alasan mengapa ia melakukan tindakan nekat tersebut. Pada leher
tidak jarang tidak jarang diberi alas sapu tangan atau kain sebelum alat
penjerat dikalungkan ke lehernya. Jumlah lilitan dapat hanya satu kali,
semakin banyak lilitan dugaan bunuh diri semakin besar. Simpul alat
penjerat biasanya simpul simpul hidup, letak alat penjerat terhadap leher
berjalan serong, ini dapat diketahui dengan pengukuran letak alat penjerat
terhadap dagu, telinga kanan dan kiri serta batas rambut bagian belakang.

13
Letak simpul dapat di belakang atas kiri, belakang atas kanan, depan atas
kiri dan depan atas kanan atau tepat di garis pertengahan bagian depan.
2. Homicide hanging
Pembunuhan dengan metode menggantung korbannya relatif jarang
dijumpai, cara ini baru dapat dilakukan bila korbannya anak- anak atau
orang dewasa yang kondisinya lemah, baik lemah atau menderita penyakit,
di bawah pengaruh obat bius, alkohol atau korban sedang tidur.
Pembunuhan dengan cara penggantungan sulit untuk dilakukan oleh
seorang pelaku.
Selain tanda-tanda asfiksia dapat ditemukan luka- luka pada tubuh
korban, situasi TKP yang tidak beraturan dan adanya tanda- tanda
perlawanan (kecuali korbannya anak kecil, kekerasan biasanya tidak ada).
Agar pembunuhan dapat berlangsung, tubuh pelaku harus lebih kuat
dari korban. Alat penjeratan yang dipergunakan biasanya sudah
dipersiapkan oleh pelaku (dibawa dari rumah) atau dapat pula benda yang
ada disekitar korban.
Dalam melaksanakan niatnya sering kali leher korban mendapat trauma
sehingga tampak luka- luka di daerah tersebut, dan tidak jarang tampak
adanya luka lecet tekan berbentuk bulan sait yang berasal dari tangan
pelaku; memar hebat dapat ditemukan pada jaringan otot dan alat-alat di
dalam leher, tulang lidah dan rawan gondok dapat patah.
Pembunuhan dengan mempergunakan lasso merupakan contoh yang
baik untuk kasus ”homicidal hanging”, yaitu setelah lasso tadi menjerat
leher, korban segera dikerek ke atas. Makin jauh jarak antara kaki korban
dengan lantai makin kuat pembunuhan., makin dekat jarak antara simpul
dengan tiang tumpuan untuk menggantung makin kuat dugaan bahwa
kasus yang dihadapi adalah kasus pembunuhan.
3. Accidental hanging
Kecelakaan karena mati gantung sangat jarang, biasanya berhubungan
dengan pekerjaan yang sering mempergunakan tali atau pada anak-anak.

14
Penggantungan yang tidak sengaja ini dapat dalam dua kelompok:
yang terjadi sesewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu melampiaskan
nafsu seksual yang menyimpang ”auto-erotic hanging”.
Mati tergantung sewaktu bermain umumnya pada anak-anak dan tidak
membutuhkan penyidikan yang sulit oleh karena biasanya kasusnya sangat
jelas: tersangkut pada batang pohon yang bercagak.
Kematian yang terjadi sewaktu pelapiasan nafsu seksual yang
menyimpang memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam hal mempelajari
dan menguraikan tali-tali yang dipakai, yang sering kali diikatkan pada
banyak tempat, ikatan pada daerah genitalia, lengan, tungkai, leher dan
mulut; kematian terjadi karena ikatannya terlalu keras, atau hentakkannya
terlalu kuat sehingga leher terjerat.
Pada ”auto-erotic hanging”, tidak jarang dijumpai gambar dan benda-
benda yang termasuk porno, kondom dan korban umumnya pria yang tidak
jarang memakai pakaian wanita.

15
BAB III

KESIMPULAN

Gantung diri (hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari
leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian.
Hanging adalah salah satu metode bunuh diri yang paling umum digunakan dan
memiliki tingkat kematian yang tinggi. Bahan-bahan yang dibutuhkan tersedia
dengan mudah, dan berbagai pengikat dapat digunakan. Analisis medikolegal
kematian dilakukan untuk memastikan penyebab kematian. Pemeriksaan yang
tepat dapat memberikan bukti untuk memastikan penyebab dan sifat kematian.
Jumlah lilitan dapat hanya satu kali, semakin banyak lilitan dugaan bunuh diri
semakin besar. Makin jauh jarak antara kaki korban dengan lantai makin kuat
dugaan pembunuhan; makin dekat jarak antara simpul dengan tiang tumpuan
untuk menggantung, makin kuat dugaan bahwa kasus yang dihadapi adalah kasus
pembunuhan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Noharakrizo. Makalah Hanging. Online. 2011. Diunduh dari:


http://www.scribd.com/doc/49388289/Makalah-Hanging
2. Idries AM. Penggantungan. Pedoman Ilmu KedokteranForensik. Jakarta:
EGC.1997. hal.202-7.
3. Rao D. Asphyxia: Hanging. 2012. Diunduh
dari:http://forensicpathologyonline.com/index.php?
Option=com_content%view=article&id=103&Itemid=120.
4. Felisiani T. Laporan Wartawan Tribunnews.com.: Gantung diri jadi trend
2009 hingga awal 2012. Rabu 7 Maret 2012 09.24 WIB. Diunduh dari:
http://m.tribunnews.com/2012/03/07/gantung-diri-jadi-trend-2009-
hingga-awal-2012.
5. Anonim. Suicide by hanging. 2012. Diunduh dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_by_hanging
6. Fikasari D. Gantung Diri (Hanging). Online. 2008. Diunduh dari:
http://sibermedik.files.wordpress.com/2008/11/gantung_diri.pdf
7. Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Online. 2011.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/826704-
overview#showall

8. Gross VA, Weiss MG, Ring M, Hepp U, Bopp M, Gutzwiller F. Methods


of suicide: international suicide patterns derived from the WHO mortality
database. Bulletin of the World Health Organization. 86(9): 726-32.
2008. Diunduh dari:
http://www.scielosp.org/pdf/bwho/v86n9/a17v86n9.pdf
9. Chada PV. Catatan kuliah ilmu forensikdan toksikologi.5th ed. Jakarta:
penerbit Widya Medika; 1995. P. 105-11
10. Badkur DS, Yadav J, Arora A, Bajpayee R, Dubey BP. Nomenclature for
Knot Position in Hanging: A Study of 200 Cases. J. Indian Acad Forensic
Med. Jan-March 2012, Vol. 34 No.1.
11. Dolinak D, Matshes EW, Lew EO. Forensic Pathology; Principle and
Practice. London: Elsevier Inc. 2005. p.202-224

17
12. Amir A. Rangkaian ilmu kedokteran forensik. 2nd ed. Medan: Percetakan
Ramadhan; 2007. p. 129-33.
13. Idries MA. Pedoman ilmu kedokteran forensik. 1st ed. Binarupa Aksara;
1997. p. 202-7.
14. Shkrum JM, Ramsay AD. Forensic pathology of trauma. New Jersey:
Humana Press Totowa; 2007. p. 70-3.
15. Knight B. Forensic pathology. 2nd ed. New York: Oxford University Press
Inc.; 1996. p. 379-89.
16. DiMaio J, Vincent, DiMaio D. Forensic pathology. 2nd ed. CRC Press
LLC; 2001. p. 247-56.
17. Franklin CA. Modi's textbook of medical jurisprudence and toxicology.
21th ed. Bombay: N.M. Tripathi Private Limited; 1988. p. 188- 95.
18. Chada PV. Catatan kuliah ilmu forensik dan toksikologi. 5th ed. Jakarta:
Penerbit Widya Medika; 1995. p. 105-11
19. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik. 3rd ed. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Dipenogoro; 2002. p. 110-16.
20. Prakoso D, Murtika KI. Dasar-dasar ilmu kedokteran kehakiman. 2nd ed.
Penerbit Rineka Cipta; 1992. p. 206- 9
21. Shetty V V. Medicolegal aspects of asphyxia with reference to hanging. J
Evid Based Med Healthc. 2014;1(11):1463–70.
22. Biswas H, Islam M, Das T. Medicolegal, legal and social issues in a case
of hanging. Dinajpur Med Col J. 2009;2(1):32–6.
23. DebBarma A, Gupta A, Kumar A, Sodhi G. Asphyxial death: hanging.
Delhi: SGTB Khalsa College, University of Delhi; 1-10 hal.
24. Lubis AK, Nasution GB, Ritonga M. Gantung Diri (Hanging). J Med Sch
Univ Sumatera Utara. 2012;45(2):104–8.

18

Anda mungkin juga menyukai