Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“ASPEK MEDIKOLEGAL VISUM et REPERTUM (VeR)”

Disusun Oleh :

KHALISA BAKRI (09401711044)

PRODI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Aspek
Medikolegal Visum et Repertum”. Adapun maksud dari penyusunan makalh ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah hokum kedokteran. Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan
makalah ini berkat bantuan dan tuntutan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Rasa
terima kasih penulis tidak terkirakan kepada yang terhormat dr. H. Syamsul Bahri MS.H.Idris, Sp.OG,
SH, M.Mkes selaku dosen mata kuliah Hukum Kedokteran.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, penulis
dengan rendah hati menerima masukan, saran, dan usul guna menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata saya selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.

Sidrap, 29 mei 2020

Khalisa Bakri

i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A. Definisi Visum et Repertum .............................................................................................. 2
B. Dasar hukum Visum et Repertum ..................................................................................... 2
C. Aspek Medikolegal Visum et Repertum ............................................................................ 4
D. Jenis Visum et Repertum .................................................................................................. 4
E. Susunan Visum Et Repertum.......................................................................................... 5
F. Penentuan Derajat Luka ................................................................................................... 6
G. Contoh Visum et Repertum ............................................................................................ 8
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 9
A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seorang dokter, dalam tugas sehari-harinya, selain melalukan pemeriksaan diagnostik
serta memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien juga mempunyai tugas melalukan
pemeriksaan medik untuk membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun
korban mati antara lain adalah pembuatan Visum et Repertum (VeR).
Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh
pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum et
Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi
standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam
sistem peradilan. Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan
dan keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawat darurat mencapai 50-70%.Diban-
dingkan dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang mengakibatkan
luka merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu meminta
VeR kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan.
Berdasarkan tujuannya, paradigma yang digunakan dalam pemeriksaan medikolegal
sangat berbeda dibandingkan dengan pemeriksaan klinis untuk kepentingan pengobatan.
Tujuan pemeriksaan medikolegal pada seorang korban adalah untuk menegakkan hukum pada
peristiwa pidana yang dialami korban melalui penyusunan VeR yang baik. Tujuan pemeriksaan
klinis pada peristiwa trauma atau perlukaan adalah untuk memulihkan kesehatan pasien melalui
pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis lainnya. Apabila seorang dokter yang ditugaskan
untuk melakukan pemeriksaan medikolegal menggunakan orientasi dan paradigma
pemeriksaan klinis, penyusunan VeR dapat tidak mencapai sasaran sebagaimana yang
seharusnya.
Dari segi medikolegal, orientasi dan paradigma yang digunakan dalam merinci
kecederaan adalah untuk dapat membantu merekonstruksi peristiwa penyebab terjadinya
trauma atau luka dan memperkirakan derajat keparahan trauma atau luka (severity of injury).
Dengan demikian pada pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa hal yang dianggap
penting dari segi medikolegal, tidak dianggap perlu untuk tujuan pengobatan, seperti misalnya
lokasi luka, tepi luka, dan sebagainya. luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat. Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik
pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud
adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI.
Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan
dengan kesehatan dan jiwa manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Visum et Repertum?
2. Bagaimana dasar hukum Visum et Repetum?
3. Bagaimana aspek medikolegal Visum et Repertum?
4. Apa saja jenis Visum et Repertum?
5. Bagaimana susunan Visum et Repertum?
6. Bagaimana penentuan derajat luka?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah yaitu untuk mengetahui apa yang
dimaksud Visum et Repertum (VeR) dan aspek Hukum Visum et Repertum (VeR)

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Visum et Repertum

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup
maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah
sumpah dan untuk kepentingan peradilan.Rumusan yang jelas tentang pengertian VeR telah
dikemukakan pada seminar forensik di Medan pada tahun 1981 yaitu laporan tertulis untuk
peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu
menerima jabatan dokter, yang memuat pemberitaan tentang segala hal atau fakta yang dilihat
dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan
keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang
pemeriksaan tersebut.

Sebagaimana telah dikemukakan oleh M. Yahya Harahap bahwa VER tergolong Ilmu
Kedokteran Forensik. Oleh karena itu VER Ilmu Kedokteran Kehakiman (Ibid, hal. 18.).
Menurut R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu
Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk
membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan
serta kewajiban Ilmu KedokteranKehakimanadalahmembantukepolisian, kejaksaan, dan
kehakiman dalam menghadapi kasus- kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu
pengetahuan kedokteran (Ranoemihardja, 1983). Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian
VER sebagai berikut: Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang
dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari
pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan (Ibid, hal. 18.) R. Soeparmono, pengertian
harafiah VER berasal dari kata-kata “visual” yaitu melihat dan “repertum” yaitu melaporkan.
Sehingga VER merupakan suatu laporan tertulis dari ahli dokter yang dibuat berdasarkan
sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun
barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-
baiknya (Soeparmono, 2002).

B. Dasar hukum Visum et Repertum

Menurut Budiyanto et al, dasar hukum VeR adalah sebagai berikut:

Pasal 133 KUHAP menyebutkan:

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

2
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu
penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana
umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR
adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka
penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena mereka hanya
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-
masing (Pasal 7(2) KUHAP. Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah
sanksi pidana :

Pasal 216 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut
undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat
berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa
tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Prosedur pengadaan VeR berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati, prosedur
permintaan VeR korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan
yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal
tersebut berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya
kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak
memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan korban sebagai barang bukti. Hal-
hal yang merupakan barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta
akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya
sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya.
Dengan demikian, karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka
tidak dapat disegel maupun disita, melainkan menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk
VeR.
KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas
kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk
memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan identitas korban
yang dimintakan VeR- nya, seperti yang tertulis di dalam surat permintaan VeR. Situasi
tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas
yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang
diperiksa.
Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian
dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et
repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya.
Sepanjang keterlambatan tersebut masih cukup beralasan dan dapat diterima maka
keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan VeR. Sebagai contoh,
adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan
noodtoestand (darurat).Adanya keharusan membuat VeR perlukaan tidak berarti bahwa korban
tersebut, dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban
hidup adalah pasien juga sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila pemeriksaan

3
tersebut sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka
hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien
disertaialasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan
medis. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan VeR harus mengacu
kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu.
Surat permintaan VeR pada korban hidup bukanlah surat yang meminta pemeriksaan,
melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis.

C. Aspek Medikolegal Visum et Repertum

Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam
pasal 184 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), dan turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Prosedur ini
menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian
pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
Dokumen ini juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian VeR
secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan
membaca VeR, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para
praktisi hukum dapat menerapkan norma- norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut
tubuh dan jiwa manusia.Apabila VeR belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang
pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti
yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau
penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau
penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal 180
KUHAP.
Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi
Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan
didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau

D. Jenis Visum et Repertum

Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan
untuk kepentingan peradilan VeR digolongkan menurut obyek yang diperiksa sebagai berikut
:
1. Visum et Repertum untuk orang hidup. Jenis ini dibedakan lagi dalam:
 Visum et Repertum biasa : Visum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik)
untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
 Visum et Repertum sementara : Visum ini sementara diberikan apabila korban
memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan
derajat lukanya. Apabila sembuh dibuat VeR lanjutan.
 VisumetRepertumlanjutan : Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan
lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal
dunia.

2. Visum et Repertum untuk orang mati (jenazah)

4
Pada pembuatan VeR ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan
permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat
(autopsi).

3. Visum et Repertum tempat Kejadian Perkara


Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan peme- riksaan TKP.

4. Visum et Repertum penggalian jenazah.


Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.

5. Visum et Repertum psikiatri


Visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan
gejala- gejala penyakit jiwa.

6. Visum et Repertum barang bukti


Misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan
tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.

E. Susunan Visum Et Repertum

Ada 5 bagian dalam Visum et Repertum, yaitu :


1. Pembukaan
Ditulis “PRO JUSTITIA” yang berarti demi keadilan dan ditulis di kiri atas
sebagaipengganti materai
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi :
a. Identitas tempat pembuatan visum berdasarkan surat permohonan mengenai jam,
tanggal dan tempat dilakukannya pemeriksaan.
b. Pernyataan dokter dan identitas dokter
c. Identitas peminta visum
d. Wilayah
e. Identitas korban
f. Identitas tempat perkara
3. Pemebritaan
Bagian pemberitaan memuat hasil pemeriksaan, berupa :
a. Apa yang dilihat, yang ditemukan sepanjang pemeriksaan sesuai dengan pengetahuan
dokter
b. Hasil konsultasi dengan teman sejawat lain.
c. Untuk ahli bedah yang mengoperasi diminta keterangan mengenai apa yanga
diperoleh : jika diopname, tulis diopname; jika pulang, ditulis pulang.
d. Tidak dibenarkan menulis dengan menggunakan kata-kata latin
e. Tidak dibenarkan menulis dengan angka, harus dengan hurf untuk mencegah
pemalsuan.
f. Tidak dibenarkan menulis diagnosis, melainkan hanya menulis ciri-ciri, sifat dan
keadaan luka.
4. Kesimpulan

5
Bagian kesimpulan memuat pendapat pribadi dokter tentang hubungan sebab akibat
antara apa yang dilihat dan ditemukan dokter dengan penyababnya. Misalnya jenis luka,
kualifikasi luka atau bila korbab meninggal maka dokter menuliskan sebab kematiannya.

5. Penutup
Bagian penutup memuat sumpah atau janji, tanda tangan dan nama terang dokter yang
membuat visum. Sumpah atau janji dokter dibuat sesuai dengan sumpah jabatan ata
pekerjaan dokter

F. Penentuan Derajat Luka

Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR perlukaan adalah
derajat luka atau kualifikasi luka.9 Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik apabila substansi
yang terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam KUHP.1 Penentuan
derajat luka sangat tergantung pada latar belakang individual dokter seperti pengalaman,
keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya. Suatu
perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis, sosial dan pekerjaan,
yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan
tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana
yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.
Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan
dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara),
penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka
berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal
352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal
352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus
dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang memeriksa
cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana
kecederaan korban yang bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan se- bagaimana diatur dalam pasal 352
(1) KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan
ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak
menimbulkan penyakit atau kompli- kasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori
tersebut.
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam
pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa
seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan
ke dalam kategori tersebut.
Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur
dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka
berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat itu
sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa
seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP,
maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut.4 Luka berat menurut pasal 90
KUHP adalah :

6
 Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;
 Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
 Kehilangan salah satu panca indera;
 Mendapat cacat berat;
 Menderita sakit lumpuh;
 Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
 gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak menemukan


masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara konseptual masih berbeda pendapat
untuk penetapan luka derajat satu dan dua.Variasi keputusan klinis dalam menentukan
kualifikasi luka tidak akan menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para penegak
hukum dalam proses peradilan karena tidak memberikan kepastian pendapat mana yang akan
dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka derajat dua akan
terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi terganggu. Walaupun masih terdapat
kontroversi dalam penentuan kualifikasi luka dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan
korban, namun pada umumnya para dokter cenderung sepakat untuk tidak mempertimbangkan
hal tersebut di masa mendatang. Mereka lebih cenderung menggunakan rumusan ada atau tidak
adanya penyakit dalam menentukan kualifikasi luka karena hal tersebut masih dalam lingkup
kompetensi seorang dokter di bidang medis.

Hal-hal yang mempengaruhi penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis yang
terkena trauma. Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma, walaupunpun kecil akibat
yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk memberikan kualifikasi luka yang lebih
berat. Hal itu disebabkan karena pada daerah leher terdapat organ-organ yang vital bagi
kehidupan, seperti arteri karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan. Kekerasan pada
daerah wajah dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor yang ikut
meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden memperhatikan nilai
laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada salah satu kasus, namun pada umumnya
faktor-faktor fisiologis yang terjadi akibat trauma seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic
inflamatory re- sponse syndrome), respons neurologik, fisiologik, dan metabolik belum
mendapatkan perhatian khusus dalam menentukan kualifikasi luka.

Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau hanya mengakibatkan luka ringan
yang tidak termasuk kategori “penyakit dan halangan” sebagaimana disyaratkan dalam pasal
352 KUHP. Contoh luka ringan atatu luka derajat satu adalah luka lecet yang superfisial dan
berukuran kecil atau memar yang berukuran kecil. Lokasi lecet atau memar tersebut perlu
diperhatikan oleh karena lecet atau memar pada beberapa lokasi tertentu mungkin menunjukkan
cedera bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang terlihat pada kulit. Luka lecet atau memar
yang luas dan derajatnya cukup parah dapat saja diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan.
Luka atau keadaan cedera yang terletak di antara luka ringan dan luka berat dapat dianggap
sebagai luka sedang.

7
G. Contoh Visum et Repertum

Dari kesimpulan dapat kita perhatikan hal-hal berikut: identitas korban adalah laki-laki
berusia 34 tahun, jenis cedera adalah cedera kepala, vulnus laceratum dan fraktur tulang.
Sedangkan jenis kekerasan adalah kekerasan tumpul. Untuk jenis kekerasan, hindari
penggunaan kata “benda tumpul” atau “benda tajam”. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa
penggunaan kekerasan benda tajam atau kekerasan benda tumpul, dalam pemikiran penegak
hukum harus selalu ada “benda” yang berbentuk fisik seperti kayu, batu dan sebagainya (untuk
benda tumpul) atau pisau, silet dan sebagainya (untuk benda tajam). Padahal tidak selalu sebuah
luka diakibatkan oleh suatu “benda”, contohnya memar bisa diakibatkan oleh pukulan tangan.
Kasus di atas dikualifikasikan sebagai luka derajat dua (sedang) karena luka tersebut
memerlukan perawatan, terdapat patah tulang dan mengenai organ vital yaitu kepala. Di dalam
kesimpulan sebaiknya kita tidak menuliskan derajat dua sebagai kualifikasi luka, melainkan
menuliskan sesuai dengan kalimat dalam KUHP sehingga akan memudahkan aparat penegak
hukum dalam membuat dakwaan. Berbeda halnya dengan kasus korban mati, pada kasus
korban hidup dokter diharapkan memahami kecederaan berdasarkan patofisiologi dan
biomekanika trauma. Gabungan pengukuran kecederaan secara anatomis dan fisiologis
merupakan pengukuran yang paling ideal dalam menetapkan kualifikasi luka.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Visum et Repertum merupakan salah satu bentuk bantuan dokter dalam penegakan
hukum dan proses peradilan, serta menjadi alat bukti yang sah dalam proses peradilan sehingga
harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan. Sebuah VeR yang baik harus
mampu membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan bukti-bukti
forensik yang cukup. Bagi praktisi kesehatan diharapkan agar dapat mengupayakan prosedur
pembuatan VeR yang memenuhi standar karena memiliki dampak yuridis yang luas dan dapat
menentukan nasib seseorang.

9
DAFTAR PUSTAKA

Herkutanto. Kualitas visum et repertum perlukaan di Jakarta dan faktor yang mempengaruhinya. Maj
Kedokt Indon. 2004;54 (9):355-60.

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia. Pedoman teknik
pemeriksaan dan interpretasi luka dengan orientasi medikolegal atas kecederaan. Jakarta, 2005.

Afandi D. Visum et Repertum Perlukaan : Aspek medikolegal dan penentuan derajat luka.
Majalah Kedokteran Indonesia. 2010 ; 60 (4) : 188-195.

Widowati N, Sudra RI, Lestari T. Tinjauan alur prosedur pembuatan Visum et Repertum di
Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali. Jurnal Kesehatan ISSN 1979-9551.
2008;2(1):85-99.

Afandi D. Visum et Repertum : Tata laksana dan teknik pembuatan. Pekanbaru: UR Press,
Juni 2011.

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran


Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.

Soekanto S, Herkutanto, Sampurna B. Visum et repertum Teknik penyusunan dan pemerian. Jakarta:
IND-HILL-CO, 1987.

10

Anda mungkin juga menyukai