VISUM
Alvivin
Elia Veronika
Kevin Rianto Putra
Nelson Nikijuluw
Shelina Nuriyanisa
Wilta Zirda Gustin
112014294
112014062
112014315
112014261
03011272
H1AP09048
FK UKRIDA
FK UKRIDA
FK UKRIDA
FK UKRIDA
FK TRISAKTI
FK UNIB
Dosen Pembimbing :
dr. Arif Rahman Sadad, SH, Sp.KF, M.Si, Med, DHM
Residen Pembimbing :
dr. Raja AlFath Widya Iswara
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 5 SEPTEMBER 30 SEPTEMBER 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga
1. dr. Arif Rahman Sadad, SH, Sp.KF, M.Si, Med, DHM selaku dosen penguji
referat,
2. dr. Raja AlFath Widya Iswara selaku pembimbing referat ini yang telah
memberikan waktu, kritik, dan saran yang membangun bagi penulis,
3. Rekan-rekan yang telah memberikan bantuan baik secara material maupun spiritual
bagi penulis.
Pada akhirnya penulis berharap penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan berbagai pihak pada umumnya. Demi kesempurnaan penulis dimasa yang
akan datang, penulis memohon saran dan kritik yang membangun.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................................... i
Kata Pengantar................................................................................................................... ii
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ilmu kedokteran forensik, yang dikenal dengan nama Legal Medicine adalah
salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan
ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan, dimana ilmu
ini telah dikenal sejak zaman Babilonia, yang mencatat ketentuan bahwa dokter saat
itu mempunyai kewajiban untuk memberi kesembuhan bagi para pasiennya dengan
ketentuan ganti rugi bila hal tersebut tidak tercapai. 1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Visum et Repertum
2.1.1
yang
dipercayakan kepada saya atau yang saya ketahui karena pekerjaan saya, kecuali
kalau saya dituntut untuk memberi keterangan sebagai saksi atau ahli di muka
4
1. Nilai daya bukti visum et repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang
dilihat atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter
hanya dianggap memberikan kesaksian mata saja.
2. Visum et Repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah
mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal
sumpah dokter seperti yang tertera pada Statsblad No 97 pasal 38 tahun
1882. Lafal sumpah dokter ini digunakan sebagai landasan pijak pembuatan
visum et repertum.
Alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah:3,5,6
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Dari pasal-pasal tersebut tampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan
ahli maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah sepadan dengan yang dimaksud
dengan Visum et Repertum dalam Stb no.350 tahun 1937.1,3 Perbedaannya adalah
bahwa keterangan ahli atau surat (KUHAP) adalah keterangan atau pendapat yang
dibuat oleh ahli (termasuk dokter) berdasarkan keilmuannya, tidak hanya terbatas
pada apa yang dilihat dan ditemukan. Oleh karena itu berdasarkan keilmuannya
5
maka keterangan ahli atau surat tersebut yang dibuat oleh dokter harus dibuat atas
dasar pemeriksaan medik.1,3
Nama Visum et Repertum hingga saat ini masih dipertahankan walaupun
dengan konsep yang berbeda dengan konsep yang lama. Nama Visum et Repertum
ini digunakan untuk membedakan surat atau keterangan ahli yang dibuat dokter
dengan surat/keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain yang bukan dokter.1,3
2.1.3
(2) Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling
rendah sarjana strata satu atau yang setara;
(3) Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
(4) Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse
kriminal;
(5) Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
dan
(6) Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Pasal 2B
Dalam hal pada suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang
berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai penyidik.
Pasal 2C
Dalam hal pada suatu sektor kepolisian tidak ada penyidik yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1), Kepala Sektor
Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena
jabatannya adalah penyidik.
Pasal 3
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
b. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse criminal;
c. Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Pasal 3A
(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun;
b. Berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;
c. Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang
setara;
d. Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;
dalam pasal 184 KUHP. Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian
suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan
segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian
pemberitaan, sehingga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.1,10,11
Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan.
Dengan demikian Visum et Repertum secara utuh telah menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca Visum et Repertum,
dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi
hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang
menyangkut tubuh dan jiwa manusia.3,12
Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di
sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya
bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan
dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul
keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap suatu
hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal 180 KUHAP ayat 1.2,3,13
Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk mengungkapkan
perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan
pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk
menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu
perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO) di suatu Rumah Sakit
tentang tatalaksana pengadaan VeR.2,13,14
2.1.6
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian tetap yang diusulkan oleh banyak ahli, yaitu
:1,3
1. Kata Pro Justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan
bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et
repertum tidak membutuhkan meterai untuk dapat dijadikan sebagai alat
bukti di depan siding peradilan yang mempunyai kekuatan hukum.
2. Bagian Pendahuluan.
Kata Pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam visum et repertum,
melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul.
Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat visum et repertum dan
institusi kesehatannya, instasi penyidik pemintanya berikut nomor dan
tanggal surat permintannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta
identitas korban yang diperiksa. Dokter tidak dibebani pemastian
identitas korban, maka uraian identitas korban adalah sesuai dengan
uraian identitas korban adalah sesuai dengan uraian identitas yang ditulis
dalam surat permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidak
sesuaian identitas korban antara surat permintaan dengan catatan medik
atau pasien yang diperiksa, dokter dapat meminta kejelasannya dari
penyidik.
3. Bagian Pemberitaan.
Bagian ini berjudul Hasil pemeriksaan dan berisi hasil pemeriksaan
medik tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang
berkaitan dengan perkaranya, tindakan medic yang dilakukan serta
keadaanya selesai pengobatan/perawatan. Bagian pemberitaan visum et
repertum memuat data objektif atau fakta yang ditemukan pada korban.
Fakta-faktanya didapatkan dari hasil pemeriksaan oleh dokter pembuat
visum et repertum atau ahli lain yang dianggap sebagai fakta yang
ditemukan sendiri oleh dokter pembuat V et R dan dapat dimasukkan ke
dalam bagian ini, tetapi fakta dari hasil pemeriksaan dokter atau ahli
tidak dilakukan bersama dokter pembuat V et R tidak dapat dimasukkan
ke dalam bagian ini. Bagian ini sangat penting karena merupakan
pengganti barang bukti di pengadilan. Pada saat persidangan luka-luka
yang ada dapat sudah menyembuh dan tanpa ada sequel sehingga satu9
fisik
maupun
pemeriksaan
laboratorium
dan
ini
merupakan
perlukaan/keadaan/sebab
pengganti
kematian
barang
yang
bukti,
berupa
berkaitan
dengan
10
2.1.7
sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et Repertum turut berperan
dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa
11
alat bukti yang sah. Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa
menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa sesuatu tindak
pidana benar-benar telah terjadi dapat terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut
bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan
menyakinkan. Menurut pasal 184 KUHAP ayat 1 huruf b, Alat bukti yang sah
ialah : 2,3,13
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
12
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
2.1.8.1 Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184
KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam 1
(satu) pasal saja, yaitu pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang
dimaksud
dengan
keterangan
saksi
dan
bagaimana
tentang
kekuatan
pembuktiannya.
Dalam pasal 164 KUHAP, alat bukti berupa keterangan saksi menempati
urutan pertama, dalam hal ini, diatur dalam pasal 160 ayat (1) huruf b. KUHAP,
yang rumusannya sebagai berikut: Yang pertama-tama di dengar keterangannya
adalah korban yang menjadi saksi.
Dalam hukum acara pidana yang tidak dapat diambil keterangannya sebagai
saksi adalah:
a. Mereka yang relatif tidak berwewenang memberi kesaksian, adalah:
Diatur dalam pasal 168 yang berbunyi: kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi:
1) Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
2) Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu dan saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan
karena
ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Orang-orang yang tersebut dalam pasal 168 KUHAP disebut relatif tidak
berwenang untuk memberi kesaksian, karena jika jaksa dan terdakwa serta
orang-orang tersebut menyetujuinya, maka mereka dapat didengar sebagai
13
saksi (pasal 169 (1) KUHAP). Namun demikian, walaupun ketiga golongan
tersebut tidak setuju untuk memberi kesaksian, yaitu jaksa, terdakwa, dan
orang-orang tersebut di atas, hakim masih bisa memutuskan untuk
mendengar mereka tetapi hanya untuk memberi keterangan saja.
b. Mereka yang Absolut tidak berwenang memberi kesaksian.
Dalam pasal 171 KUHAP, berbunyi sebagai berikut yang yang boleh
diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
2) Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali
Para saksi menurut pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum didengar
keterangannya, harus disumpah lebih dahulu menurut cara yang ditetapkan oleh
agamanya masing-masing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang
mengandung kebenaran dan tidak lain dari pada kebenaran. Penyumpahan
semacam ini dilakukan secaraPromissoris (secara sanggup berbicara benar)
atau secaraAssertoris (menempatkan kebenaran pembicaraan yang telah lalu),
yaitu saksi didengar dulu keterangannya, dan kemudian baru disumpah bahwa
yang telah diceritakan itu adalah benar.
2.1.8.2 Keterangan ahli
Keterangan Ahli diatur dalam pasal 186 KUHAP yang mengatakan
bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
Keterangan ahli pada hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga
untuk memperoleh kebenaran sejati. Hakim karena jabatan atau karena
permintaan pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau lebih saksi saksi
ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus dan obyektif dengan maksud membuat terang suatu
perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal
tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli,
asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus
mengenai sesuatu hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman
tentang soal itu, bukan berarti bahwa dalam memerlukan bantuan ahli, selalu
14
surat
di
persidangan
langsung
dikaitkan
dengan
pejabat
d.
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian lain.
Keterangan-keterangan,
catatan-catatan
dan
laporan-laporan
itu
pemeriksaan
dengan
penuh
kecermatan
kesaksamaan
yang terjadi.
permintaan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek
yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan
diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban datang sendiri
dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ Visum et Repertum.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang
pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit yang tidak membawa SPV.
1. Setiap pasien dengan trauma
2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
5. Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
20
yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui
penyidik.
4. Pengetikan surat keterangan ahli / Visum et Repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli / Visum et Repertum oleh petugas
administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan
untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan
garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab.
5. Penandatanganan surat keterangan ahli / Visum et Repertum
Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah
dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter.
Sering terjadi bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang
terlambat, sedangkan dokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana
kesehatan itu lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang
harus menandatangani visum et repertun korban hidup tersebut. Hal yang sama
juga terjadi bila korban ditangani beberapa dokter sekaligus sesuai dengan
kondisi penyakitnya yang kompleks.
Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang
menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani
tersebut (dokter pemeriksa).
Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang
menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam
penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter
pemeriksa yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan
dengan luka/cedera/racun/tindak pidana.
Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (di luar kota) atau
sudah tidak bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka Visum et Repertum
ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pelayanan forensik klinik yang
ditunjuk oleh Rumah Sakit atau oleh Direktur Rumah Sakit tersebut.
6. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik
saja dengan menggunakan berita acara.
21
penyebabnya,
pasien
korban
kekerasan
seksual,
pasien
korban
mengelurkan hasil Visum et Repertum jika ada permintaan tertulis dari penyidik
yaitu berupa surat permintaan visum (SPV). 15
Pada praktek sehari hari sering SPV datang belakangan. Untuk beberapa hal
ini bisa dimaklumi, mungkin dengan alasan kondisi korban yang tidak
memungkinkan untuk lapor ke polisi, kantor polisi yang jauh atau tidak mengerti
tatacara pelaporan ke polisi. Sehingga yang sering terjadi adalah korban tindak
pidana dengan surat permintaan visum yang datang terlambat. Sepanjang
keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan ini
tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan Visum et Repertum. Sebagai
contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat
lawan) dan noodtoestand (darurat).15
2.2.1
polisi dan pada saat mendaftar diantar petugas kepolisian atau membawa surat
permintaan visum maka korban segera ditangani secara serentak mulai dari
medis, medikolegal dan psikososial. Pemberian informasi dan permintaan
persetujuan (informed concent) selalu dilakukan terlebih dahulu. Keterangan
hasil pemeriksaan sementara langsung dibuat dan diserahkan kepada petugas
kepolisian yang mengantar. Visum definitif diberikan beberapa hari kemudian,
atau menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Untuk konsultasi psikologi dan
atau psikiatri akan dijadwalkan waktunya. Untuk korban yang belum melapor ke
polisi penyidik akan memperoleh informasi yang panjang lebar di bidang
mediko-legal, prinsip hukum, pembuktian dan prosedur beracara hukum, serta
tentang perlunya melaporkan kasusnya kepada polisi. Pemeriksaan medis,
medikolegal, psikososial tetap dilakukan sebagaimana biasa. Dokumentasi
medikolegal dilakukan sebaikbaiknya dan bila perlu dimintakan persetujuan
korban untuk dibuatkan dokumentasi fotografinya maka atas dasar dokumentasi
medikolegal inilah kelak Visum et Repertum dibuat. Sedangkan untuk pembuatan
Visum et Repertum diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, yaitu
diusahakan tidak lebih dari seminggu. Bahkan kasus yang tidak membutuhkan
pemeriksaan laboratorium diusahakan dapat diselesaikan dalam waktu 3 4 hari.
Pada kasus yang sulit atau membutuhkan pemeriksaan lanjutan, visum baru
dapat diselesaikan setelah seluruh pemeriksaan selesai.18
b. Prosedur penatalaksanaan korban mati dan pembuatan Visum et Repertum. 19
Korban yang diduga akibat tindak pidana tetapi belum ada SPV, segera
menghubungi polisi pengirim atau Polres Jakarta Pusat
Autopsi hanya dilakukan bila SPV datang dan dokter pemeriksa telah hadir .
24
visum et repertum hidup belum ada. Analisis terhadap 58 visum et repertum pada
kasus hidup di RSUP Sardjito, sebagian besar 84,48% visum et repertum dibuat
dengan permintaan pemeriksaan awal dari pasien. Kemudian surat permintaan
visum sebagian besar (91,38%) juga datang secara terlambat, sedangkan hanya
8,62% lainnya surat permintaan visum datang bersamaan dengan korban yang
akan diperiksa. 20
4. RSUD Tugurejo, Semarang, Jawa Tengah
Pada RSUD Tugurejo, salah satu rumah sakit tipe B, pembuatan visum
dilakukan dengan mencarikan dokumen rekam medis korban yang berisi
pemeriksaan lengkap selayaknya visum et repertum yang dilakukan saat korban
datang untuk dilakukan pemeriksaan.
Tata cara permintaan visum et repertum di RSUD Tugurejo :
1) Permintaan tertulis dari kepolisian ditujukan kepada Direktur Rumah
Sakit
2) Direktur menyerahkan kepada Wakil Direktur dan selanjutnya Wakil
Direktur merekomendasikannya kepada Kepala Bidang Pelayanan untuk
kemudian diserahkan ke Kasi Pelayanan Rawat Jalan.
3) Kasi Pelayanan Rawat Jalan mengkoordinasikan secara lisan kepada
bagian rekam medis untuk mencarikan Dokumen Rekam Medis (DRM)
pasien
4) Setelah DRM ditemukan maka diserahkan kepada kasi pelayanan rawat
jalan untuk diserahkan ke dokter yang memeriksa pertama kali (Dokter
Umum) agar segera dibuatkan visumnya. Jika memang membutuhkan
penanganan yang lebih lanjut, maka dari Dokter Umum dapat
mengkonsultasikan kepada Dokter Spesialis sesuai dengan keadaan
pasien. Tetapi untuk kasus tertentu pembuatan visum langsung ditangani
oleh Dokter Spesialis seperti pada kasus Psikologi
5) Hasil visum dalam bentuk tulisan tangan dokter diketik dan dirapikan
oleh Administrasi Visum lalu ditandatangani oleh dokter.
6) Selanjutnya visum disetujui oleh Dokter Spesialis Forensik dan akan
dibuatkan surat pengantar dari Direktur oleh bagian Bidang Pelayanan
7) Pihak rumah sakit menghubungi kepolisian untuk memberitahukan
bahwa hasil visum sudah bisa diambil. 15
25
5.
26
e.
dari
penyidik
untuk
diperiksakan
terlebih
dahulu
dan
hasil
pemeriksaannya dicatat selengkap mungkin pada rekam medis untuk suatu saat
dipindahkan menjadi visum et repertum setelah surat permintaan visum
disusulkan.22
8. RS Pantiwilasa dr.Cipto Semarang
RS Pantiwilasa merupakan salah satu rumah sakit tipe C di Semarang.
Rumah Sakit Pantiwilasa Semarang adalah salah satu rumah sakit yang sudah
mengadakan pelayanan untuk Visum et Repertum. Tetapi rumah sakit dr cipto
semarang hanya melayani Visum et Repertum untuk korban hidup atau visum
luar yaitu kasus Visum et Repertum perlukaan atau keracunan dan Visum et
Repertum kejahatan susila. Agar pelayanan berjalan dengan baik rumah sakit dr
28
untuk
membantu
menangani.
Pada
prosedur
tetap
hanya
29
30
31
barang bukti terhadap kasus yang ada. Permintaan pemeriksaan ini hanya
bisa dilakukan oleh polisi dengan pangkat minimal sub-inspektur.25
3.
Denmark
Pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual dilakukan pada
salah satu dan pusat pemeriksaan korban kekerasan seksual. Korban tidak
perlu untuk melapor ke polisi sebelumnya dan akan ditawarkan untuk
dilakukan pemeriksaan yang sama sebagaimana bila pasien sudah melapor
ke polisi sebelumnya, termasuk tawaran untuk melindungi petunjukpetunjuk yang sama untuk memastikan petunjuk-petunjuk tersebut tidak
4.
hilang.26
Australia
Dokter
yang
melakukan
pemeriksaan
memiliki
kewajiban
profesional untuk mengadakan rekam medis ketika diminta oleh pasien atau
pihak ketiga dengan izin dari pasien, atau pada beberapa kasus, ketika
diminta oleh pihak ketiga di bawah wewenang legislatif. Pengacara korban
sebaiknya selalu mengutamakan meminta visum et repertum dibandingkan
dengan memanggil dokter ke pengadilan. Hal ini akan membuat pengacara
dapat mendapatkan keterangan medis yang relevan dan mencegah
kebutuhan untuk memanggil dokter ke pengadilan.27
32
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Setelah melakukan penelusuran tinjauan pustaka, penulis tidak mendapatkan
data mengenai masa tenggang disusulkannya surat permintaan visum setelah
pemeriksaan korban. Tidak ditemukan juga panduan baku secara nasional tentang
masa tenggang disusulkannya surat permintaan visum setelah pemeriksaan korban
dilakukan.
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Bagi praktisi kesehatan diharapkan agar dapat mengupayakan prosedur
pembuatan Visum et Repertum yang baik karena Visum et Repertum merupakan
alat bukti yang sah dalam proses peradilan dan harus mampu membuat terang
suatu perkara tindak pidana dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang
memiliki dampak yuridis luas dan dapat menentukan nasib seseorang.
2. Bagi rumah sakit perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO) tentang
petatalaksanaan pengadaan Visum et Repertum karena Visum et Repertum
berguna bagi penyidik (polisi/polisi militer) maupun Penuntut Umum (Jaksa)
untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum.
3. Bagi praktisi kesehatan dan rumah sakit diharapkan agar dapat mengupayakan
prosedur pembuatan Visum et Repertum yang baik dan memenuhi standar. Hal ini
dikarenakan pembuatan Visum et Repertum merupakan salah satu bentuk
pelayanan medikolegal di rumah sakit, di mana kualitas pelayanan Visum et
Repertum secara langsung akan mencerminkan kualitas pelayanan medikolegal
di rumah sakit tersebut.
4. Sebaiknya dilakukan sosialisasi standar operasional prosedur mengenai lama
waktu pembuatan Visum et Repertum kepada semua pihak yang bertanggung
jawab dalam pembuatan Visum et Repertum, agar masing masing pihak
mengetahui dan dapat bekerja sesuai dengan standar operasional yang ada.
33
Daftar Pustaka
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Munim A, Sidhi, Hertian S,
et al. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Kedokteran Forensik FKUI;1997.
2. Utama WT. Visum et repertum: a medicolegal report as a combination of
medical knowledge and skill with legal jurisdiction. Ju Ke Unila. 2014; 4(8):269275.
3. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik: pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007.
4. Adyan AR. Kekuatan hukum visum et repertum sebagai alat bukti ditinjau dari
KUHAP dan Undang-Undang No.23 Tahun 2004. Keadilan Prog. 2010. 1:1:2932.
5. Poluan Y. Bedah mayat dan akibat hukumnya. Jurnal Lex Crimen. Agustus
2014;4(III);127
6. Afandi D. Visum et repertum pada korban hidup. Jurnal Ilmu Kedokteran.
2009;3(2):79-84.
7. Herkutanto. Kualitas visum et repertum perlukaan di Jakarta dan faktor yang
mempengaruhinya. Maj Kedokt Indon. 2004;54 (9):355-60.
8. Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The quality of visum et repertum of the living
victims in Arifin Achmad General Hopital during January 2004-September 2007.
Jurnal Ilmu Kedokteran. 2008;2(1):19-22.
9. Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 tahun 2010, perubahan atas PP No. 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
10. Afandi D. Visum et repertum perlukaan: aspek medikolegal dan penentuan
derajat luka. Maj Kedokt Indon. 2010. 60(4):188-95.
11. Herkutanto. Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum (VeR)
kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit gawat darurat (UGD).
JPMK. 2005;8(3):163-9.
12. Rachman F, Sugiyanto Z. Tinjauan pelaksanaan prosedur pelepasan informasi
medis untuk keperluan visum et repertum dari aspek teori di RST Bhakti Wira
Tamtama Semarang. Jurnal Visikes. 2010. 9(1):44-8
13. Soeparmono R, Keterangan ahli dan visum et repertum dalam aspek hukum
acara pidana, Bandung: Mandar Maju; 2002.
34
dari:
http://abuyogleyte.gov.ph/medico-legal-post-mortem-
36