Anda di halaman 1dari 38

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PERMINTAAN

VISUM

Diajukan guna memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam


menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Disusun oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Alvivin
Elia Veronika
Kevin Rianto Putra
Nelson Nikijuluw
Shelina Nuriyanisa
Wilta Zirda Gustin

112014294
112014062
112014315
112014261
03011272
H1AP09048

FK UKRIDA
FK UKRIDA
FK UKRIDA
FK UKRIDA
FK TRISAKTI
FK UNIB

Dosen Pembimbing :
dr. Arif Rahman Sadad, SH, Sp.KF, M.Si, Med, DHM
Residen Pembimbing :
dr. Raja AlFath Widya Iswara
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 5 SEPTEMBER 30 SEPTEMBER 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga

penulisan Referat yang berjudul

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PERMINTAAN VISUM ini dapat


selesai tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas referat
kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di RSUP Dokter Kariadi
Semarang.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka
penulisan referat ini tidak akan sempurna. Oleh karena itu pada kesempatan ini izinkanlah
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Arif Rahman Sadad, SH, Sp.KF, M.Si, Med, DHM selaku dosen penguji
referat,
2. dr. Raja AlFath Widya Iswara selaku pembimbing referat ini yang telah
memberikan waktu, kritik, dan saran yang membangun bagi penulis,
3. Rekan-rekan yang telah memberikan bantuan baik secara material maupun spiritual
bagi penulis.
Pada akhirnya penulis berharap penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan berbagai pihak pada umumnya. Demi kesempurnaan penulis dimasa yang
akan datang, penulis memohon saran dan kritik yang membangun.

Semarang, September 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................................... i
Kata Pengantar................................................................................................................... ii
2

Daftar Isi............................................................................................................................ iii


BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 3
2.1 Visum et Repertum.................................................................................................... 3
2.1.1 Definisi dan Dasar Pengadaan Visum et Repertum.......................................... 3
2.1.2 Sejarah Visum et Repertum di Indonesia......................................................... 3
2.1.3 Dasar Hukum Visum et Repertum................................................................... 5
2.1.4 Pihak yang Berwenang Meminta Visum et Repertum...................................... 5
2.1.5 Aspek Medikolegal Visum et Repertum........................................................... 7
2.1.6 Struktur Visum et Repertum............................................................................ 8
2.1.7 Manfaat Visum et Repertum............................................................................ 11
2.1.8 Alat Bukti yang Sah........................................................................................ 11
2.1.9 Jenis-jenis Visum et Repertum......................................................................... 16
2.1.10 Alur pembuatan Visum et Repertum.............................................................. 18
2.2 Prosedur Pengadaan Visum et Repertum di Indonesia............................................... 21
2.2.1 Tinjauan Pustaka Visum et Repertum di Berbagai Rumah Sakit di Indonesia. 22
2.2.2 Pembuatan Visum et Repertum Berdasarkan Keputusan Menteri.................... 29
2.3 Prosedur Pengadaan Visum et Repertum di Luar Negeri............................................ 30
BAB III. PENUTUP.......................................................................................................... 32
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 32
3.2 Saran.......................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 33

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ilmu kedokteran forensik, yang dikenal dengan nama Legal Medicine adalah
salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan
ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan, dimana ilmu
ini telah dikenal sejak zaman Babilonia, yang mencatat ketentuan bahwa dokter saat
itu mempunyai kewajiban untuk memberi kesembuhan bagi para pasiennya dengan
ketentuan ganti rugi bila hal tersebut tidak tercapai. 1
3

Di masyarakat, sering terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang


menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Peristiwa tersebut tentu saja mengakibatkan
adanya korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Peristiwa
yang sering menimbulkan korban misalnya kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja,
pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, bunuh diri, bencana, maupun terorisme.
Untuk pengusutan dan penyidikan, serta penyelesaian masalah hukum tersebut di
tingkat lebih lanjut sampai akhirnya pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan
bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk menjelaskan dan membuktikan
kebenaran peristiwa tersebut, salah satunya adalah dokter ahli atau spesialis
forensik.2,3
Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik,
memberikan pengobatan, dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai
tugas membuat suatu surat keterangan medis yang bertujuan untuk membantu
penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati. Surat keterangan
medis tersebut adalah visum et repertum, yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
dalam proses peradilan yang sering diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada
dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. jadi, pada satu saat yang sama
dokter dapat bertindak sebagai seorang klinisi yang bertugas mengobati penyakit
sekaligus sebagai seorang petugas forensik yang bertugas membuat visum et
repertum, sedangkan pasien bertindak sebagai seorang yang diobati sekaligus
sebagai korban yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat bukti.1,2
Visum et Repertum tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis,
tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan.
Sebuah visum et repertum yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak
pidana yang terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup.3,4
Namun pada praktek sehari-hari sering terjadi hambatan dalam proses
membuat visum et repertum, keterlambatan kedatangan surat permintaan visum
setelah pasien diperiksa dan dicatat pada rekam medis dan lama waktu yang
digunakan oleh petugas visum et repertum sampai diambil oleh penyidik. Dengan
demikian dalam makalah ini selain membahas pentingnya visum et repertum juga
membahas pentingnya standar prosedur operasional visum et repertum yang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
2

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan jenis-jenis Visum et Repertum?
2. Apakah dasar hukum dari Visum et Repertum?
3. Apakah fungsi dan peran Visum et Repertum?
4. Bagaimana alur pembuatan Visum et Repertum?
5. Bagamaimana standar prosedur operasional yang mengatur tentang pembuatan
visum et repertum di berbagai Rumah Sakit di Indonesia ?
6. Bagamaimana standar prosedur operasional yang mengatur tentang pembuatan
visum et repertum di luar negeri ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan jenis-jenis Visum et Repertum.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Visum et Repertum.
3. Untuk mengetahui fungsi dan peran Visum et Repertum.
4. Untuk mengetahui alur pembuatan Visum et Repertum.
5. Untuk mengetahui perbedaan standar operasional prosedur yang mengatur
tentang lama waktu yang digunakan dalam menyelesaikan Visum et Repertum di
Rumah Sakit di Indonesia dan luar negeri.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Dapat menambah pengetahuan penulis mengenai pembuatan Visum et Repertum.
2. Dapat menambah informasi dan sebagai sumber referensi pembelajaran di
bidang ilmu kedokteran forensik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Visum et Repertum
2.1.1

Definisi dan Dasar Pengadaan Visum et Repertum


Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas

permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang


manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa
temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.1,2
Rumusan yang jelas tentang pengertian Visum et Repertum telah
dikemukakan pada seminar forensik di Medan pada tahun 1981 yaitu laporan
tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji yang
diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, yang memuat pemberitaan tentang
segala hal atau fakta yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh
manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya
dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.2
2.1.2

Sejarah Visum et Repertum di Indonesia

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya tidak


pernah disebutkan istilah visum et repertum. Nama visum et repertum sendiri hanya
disebut di dalam Statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 yang berbunyi Visa reperta
dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu
menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas
sumpah khusus, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti
dalam perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat
oleh dokter pada benda yang diperiksa . Sedangkan bunyi dari pasal 2 itu sendiri
ialah : Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Belanda
maupun di Indonesia sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, boleh mengikrarkan
sumpah (janji) sebagai berikut :
"Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu
kedokteran, bedah, dan kebidanan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh undang-undang sebaik-baiknya menurut kemampuan saya dan bahwa saya
tidak akan mengumumkan kepada siapapun juga segala sesuatu

yang

dipercayakan kepada saya atau yang saya ketahui karena pekerjaan saya, kecuali
kalau saya dituntut untuk memberi keterangan sebagai saksi atau ahli di muka
4

pengadilan atau selain itu saya berdasarkan undang-undang diwajibkan untuk


memberi keterangan."
Sampai saat ini Statsblad Tahun 1937 No.350 tersebut masih belum dicabut
meskipun KUHAP telah berlaku lebih dari dua puluh tahun. Dalam perkembangan
selanjutnya, istilah ini akrab dengan para dokter Indonesia , bahkan menurut Pasal
10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04.UM.01.06 tahun 1983
menyatakan bahwa hasil dari pemeriksaan Ilmu Kedokteran Kehakiman disebut
dengan Visum et Repertum. Secara harafiah, visum berarti melihat dan repertum
berarti melaporkan. Jadi inti dari visum et repertum itu adalah suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka melihat dan melaporkan sebuah barang
bukti yang diajukan pihak penyidik. Dari bunyi Stb 350 tahun 1937 terlihat bahwa :
1

1. Nilai daya bukti visum et repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang
dilihat atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter
hanya dianggap memberikan kesaksian mata saja.
2. Visum et Repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah
mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal
sumpah dokter seperti yang tertera pada Statsblad No 97 pasal 38 tahun
1882. Lafal sumpah dokter ini digunakan sebagai landasan pijak pembuatan
visum et repertum.
Alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah:3,5,6
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Dari pasal-pasal tersebut tampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan
ahli maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah sepadan dengan yang dimaksud
dengan Visum et Repertum dalam Stb no.350 tahun 1937.1,3 Perbedaannya adalah
bahwa keterangan ahli atau surat (KUHAP) adalah keterangan atau pendapat yang
dibuat oleh ahli (termasuk dokter) berdasarkan keilmuannya, tidak hanya terbatas
pada apa yang dilihat dan ditemukan. Oleh karena itu berdasarkan keilmuannya
5

maka keterangan ahli atau surat tersebut yang dibuat oleh dokter harus dibuat atas
dasar pemeriksaan medik.1,3
Nama Visum et Repertum hingga saat ini masih dipertahankan walaupun
dengan konsep yang berbeda dengan konsep yang lama. Nama Visum et Repertum
ini digunakan untuk membedakan surat atau keterangan ahli yang dibuat dokter
dengan surat/keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain yang bukan dokter.1,3
2.1.3

Dasar Hukum Visum et Repertum


Dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:3,7,8

Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan:


(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
2.1.4

Pihak yang Berwenang meminta Visum et Repertum


Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik

pembantu sebagaimana bunyi pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(KUHAP) yang berisi :
(1) Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan
diatur Iebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2010, pasal 2, penyidik adalah:9
a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Pejabat pegawai negeri sipil.
Dan dijelaskan lebih lanjut pada pasal Pasal 2A, bahwa :
(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus
memenuhi persyaratan:

(2) Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling
rendah sarjana strata satu atau yang setara;
(3) Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
(4) Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse
kriminal;
(5) Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
dan
(6) Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Pasal 2B
Dalam hal pada suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang
berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai penyidik.
Pasal 2C
Dalam hal pada suatu sektor kepolisian tidak ada penyidik yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1), Kepala Sektor
Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena
jabatannya adalah penyidik.
Pasal 3
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
b. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse criminal;
c. Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Pasal 3A
(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun;
b. Berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;
c. Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang
setara;
d. Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;

e. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan


dokter pada rumah sakit pemerintah;
f. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai
baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan
g. Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.
2.1.5

Aspek Medikolegal Visum et Repertum


Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis

dalam pasal 184 KUHP. Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian
suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan
segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian
pemberitaan, sehingga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.1,10,11
Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan.
Dengan demikian Visum et Repertum secara utuh telah menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca Visum et Repertum,
dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi
hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang
menyangkut tubuh dan jiwa manusia.3,12
Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di
sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya
bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan
dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul
keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap suatu
hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal 180 KUHAP ayat 1.2,3,13
Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk mengungkapkan
perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan
pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk
menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu
perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO) di suatu Rumah Sakit
tentang tatalaksana pengadaan VeR.2,13,14
2.1.6

Struktur Visum et Repertum

Visum et repertum terdiri dari 5 bagian tetap yang diusulkan oleh banyak ahli, yaitu
:1,3
1. Kata Pro Justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan
bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et
repertum tidak membutuhkan meterai untuk dapat dijadikan sebagai alat
bukti di depan siding peradilan yang mempunyai kekuatan hukum.
2. Bagian Pendahuluan.
Kata Pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam visum et repertum,
melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul.
Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat visum et repertum dan
institusi kesehatannya, instasi penyidik pemintanya berikut nomor dan
tanggal surat permintannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta
identitas korban yang diperiksa. Dokter tidak dibebani pemastian
identitas korban, maka uraian identitas korban adalah sesuai dengan
uraian identitas korban adalah sesuai dengan uraian identitas yang ditulis
dalam surat permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidak
sesuaian identitas korban antara surat permintaan dengan catatan medik
atau pasien yang diperiksa, dokter dapat meminta kejelasannya dari
penyidik.
3. Bagian Pemberitaan.
Bagian ini berjudul Hasil pemeriksaan dan berisi hasil pemeriksaan
medik tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang
berkaitan dengan perkaranya, tindakan medic yang dilakukan serta
keadaanya selesai pengobatan/perawatan. Bagian pemberitaan visum et
repertum memuat data objektif atau fakta yang ditemukan pada korban.
Fakta-faktanya didapatkan dari hasil pemeriksaan oleh dokter pembuat
visum et repertum atau ahli lain yang dianggap sebagai fakta yang
ditemukan sendiri oleh dokter pembuat V et R dan dapat dimasukkan ke
dalam bagian ini, tetapi fakta dari hasil pemeriksaan dokter atau ahli
tidak dilakukan bersama dokter pembuat V et R tidak dapat dimasukkan
ke dalam bagian ini. Bagian ini sangat penting karena merupakan
pengganti barang bukti di pengadilan. Pada saat persidangan luka-luka
yang ada dapat sudah menyembuh dan tanpa ada sequel sehingga satu9

satunya tang dapat menggambarkan kondisi luka yang diderita korban


hanyalah dari deskripsi luka yang diberikan oleh dokter.
a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang
dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang
penyakit yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak
pidana/diduga kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan

fisik

maupun

pemeriksaan

laboratorium

dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban


hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang
keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya atau pada keadaan
sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang
seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat
dilakukan tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu
diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya
penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.
d. Keadaan akhir korban terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
yang merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga
harus diuraikan dengan jelas. Bila korban meninggal dan dilakukan
otopsi, maka diuraikan keadaan seluruh alat dalam yang berkaitan
dengan perkara dan matinya orang tersebut. Yang diuraikan dalam
bagian

ini

merupakan

perlukaan/keadaan/sebab

pengganti
kematian

barang
yang

bukti,

berupa

berkaitan

dengan

perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medic yang bersifat rahasia


dan tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan ke dalam
bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
4. Bagian Kesimpulan.

10

Bagian ini berjudul Kesimpulan dan berisi pendapat dokter


berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis perlukaan/cidera yang
ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya, serta derajat
perlukaan atau sebab kematiannya. Memuat hasil interpretasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri
oleh dokter pembuat Visum et Repertum, dikaitkan dengan maksud dan
tujuan dimintakannya Visum et Repertum tersebut. Fakta yang ditemukan
oleh dokter lain atau ahli lain tidak boleh diikutsertakan sebagai
landasan bagi pembentukan intepretasi, kecuali dokter pembuat V et R
ikut bersama-sama melakukan pemeriksaan. Pada bagian ini harus
memuat minimal dua unsur, yaitu jenis luka dan kekerasan serta derajat
kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh
hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik
kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis dilakukan dengan
penuh hati-hati. Kesimpulan Visum et Repertum adalah pendapat dokter
pembuatnya yang bebas dan tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak
tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat
pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi,
standar profesi, dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan Visum
et Repertum harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah dengan
manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan tidak
hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi
hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
5. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku
Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya
berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai
dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dibubuhi tanda
tangan pembuat V et R.1,3

2.1.7

Manfaat Visum et Repertum


Peranan dan fungsi Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah

sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et Repertum turut berperan
dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa
11

manusia, dimana Visum et Repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil


pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya
dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. Visum et Repertum juga memuat
keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang
tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian Visum et Repertum secara
utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan
membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi
pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum
pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.4,6
Manfaat dari Visum et Repertum ini adalah untuk menjernihkan suatu
perkara pidana, bagi proses penyidikan dapat bermanfaat untuk pengungkapan
kasus kejahatan yang terhambat dan belum mungkin diselesaikan secara tuntas.
Visum et Repertum juga berguna untuk membantu pihak tersangka atau terdakwa
berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi ahli dan atau seseorang yang
memiliki keahlian khusus untuk memberikan keterangn yang meringankan atau
menguatkan bagi dirinya yaitu saksi ahli. 2,4,13
Visum et Repertum ini juga dapat bermanfaat sebagai petunjuk, dimana
petunjuk itu adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaianya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 4,13,14
2.1.8

Alat Bukti yang Sah


Dalam peradilan kasus tindak pidana, ada beberapa hal yang dapat dijadikan

alat bukti yang sah. Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa
menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa sesuatu tindak
pidana benar-benar telah terjadi dapat terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut
bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan
menyakinkan. Menurut pasal 184 KUHAP ayat 1 huruf b, Alat bukti yang sah
ialah : 2,3,13
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli

12

3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
2.1.8.1 Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184
KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam 1
(satu) pasal saja, yaitu pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang
dimaksud

dengan

keterangan

saksi

dan

bagaimana

tentang

kekuatan

pembuktiannya.
Dalam pasal 164 KUHAP, alat bukti berupa keterangan saksi menempati
urutan pertama, dalam hal ini, diatur dalam pasal 160 ayat (1) huruf b. KUHAP,
yang rumusannya sebagai berikut: Yang pertama-tama di dengar keterangannya
adalah korban yang menjadi saksi.
Dalam hukum acara pidana yang tidak dapat diambil keterangannya sebagai
saksi adalah:
a. Mereka yang relatif tidak berwewenang memberi kesaksian, adalah:
Diatur dalam pasal 168 yang berbunyi: kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi:
1) Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
2) Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu dan saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan
karena

perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat

ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Orang-orang yang tersebut dalam pasal 168 KUHAP disebut relatif tidak
berwenang untuk memberi kesaksian, karena jika jaksa dan terdakwa serta
orang-orang tersebut menyetujuinya, maka mereka dapat didengar sebagai

13

saksi (pasal 169 (1) KUHAP). Namun demikian, walaupun ketiga golongan
tersebut tidak setuju untuk memberi kesaksian, yaitu jaksa, terdakwa, dan
orang-orang tersebut di atas, hakim masih bisa memutuskan untuk
mendengar mereka tetapi hanya untuk memberi keterangan saja.
b. Mereka yang Absolut tidak berwenang memberi kesaksian.
Dalam pasal 171 KUHAP, berbunyi sebagai berikut yang yang boleh
diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
2) Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali
Para saksi menurut pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum didengar
keterangannya, harus disumpah lebih dahulu menurut cara yang ditetapkan oleh
agamanya masing-masing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang
mengandung kebenaran dan tidak lain dari pada kebenaran. Penyumpahan
semacam ini dilakukan secaraPromissoris (secara sanggup berbicara benar)
atau secaraAssertoris (menempatkan kebenaran pembicaraan yang telah lalu),
yaitu saksi didengar dulu keterangannya, dan kemudian baru disumpah bahwa
yang telah diceritakan itu adalah benar.
2.1.8.2 Keterangan ahli
Keterangan Ahli diatur dalam pasal 186 KUHAP yang mengatakan
bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
Keterangan ahli pada hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga
untuk memperoleh kebenaran sejati. Hakim karena jabatan atau karena
permintaan pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau lebih saksi saksi
ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus dan obyektif dengan maksud membuat terang suatu
perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal
tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli,
asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus
mengenai sesuatu hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman
tentang soal itu, bukan berarti bahwa dalam memerlukan bantuan ahli, selalu
14

harus meminta bantuan sarjana-sarjana, atau ahli-ahli ilmu pengetahuan.


Kekuatan pembuktian keterangan ahli tersebut, adalah sebagai alat bukti bebas
artinya diserahkan kepada kebijaksanaan penilaian hakim; hakim bebas untuk
menerima, percaya, atau tidak terhadap keterangan ahli
2.1.8.3 Surat
Pemeriksaan

surat

di

persidangan

langsung

dikaitkan

dengan

pemeriksaan saksi-saksi dan persidangan terdakwa, pada saat pemeriksaan saksi,


ditanyakan mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi yang
bersangkutan dan kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa.
Berkaitan dengan alat bukti berupa surat diatur dalam pasal 187 KUHAP,
yang Berbunyi:
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dalam hal ini diatur dalam pasal 187
KUHAP adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya. Yang memuat


keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan:
c.

Surat dari seseorang keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan


keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya;

d.

Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian lain.
Keterangan-keterangan,

catatan-catatan

dan

laporan-laporan

itu

sebenarnya tidak berbeda dengan keterangan-keterangan saksi, tetapi di ucapkan


secara tulisan. Surat-surat yang ditanda tangani mereka, cukup dibaca saja dan
dengan demikian mempunyai kekuatan sama dengan kalau mereka menghadap
di muka hakim dalam sidang dan menceritakan hal tersebut secara lisan.
15

Surat dapat digunakan sebagai alat bukti dan mempunyai nilai


pembuktian apabila surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang
diharuskan oleh undang-undang. Apabila surat sudah dibuat sesuai dengan
ketentuan undang-undang maka bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan syarat:
1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur
oleh undang-undang.
2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum
3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat
melemahkan bukti surat tersebut.
Dalam menilai alat bukti surat, penyidik, penuntut umum, maupun hakim dalam
meneliti alat bukti surat harus cermat, dan hanya alat bukti tersebut di atas yang
merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam perkara
pidana.
2.1.8.4 Petunjuk
Di dalam KUHAP alat bukti petunjuk ini dapat di lihat dalam pasal 188, yang
berbunyi sebagai berikut:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya,
baik antara yang satu yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat
c. Keterangan terdakwa.
3. Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu ptunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan

pemeriksaan

dengan

penuh

kecermatan

kesaksamaan

berdasarkan hati nuraninya.


Dari bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah
merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan
tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti
lainya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain.
Syarat-syarat untuk dapat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti haruslah:
16

a. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi.


b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan
kejahatan

yang terjadi.

c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun


saksi di persidangan.
Adanya petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa (ayat 2). Keterangan seorang saksi saja dapat dijadikan
petunjuk oleh hakim, jika berhubungan dengan alat bukti lainya. Demikian juga
halnya dengan keterangan terdakwa yang diberikan di luar persidangan merupakan
petunjuk bagi hakim atas kesalahan terdakwa.
2.1.8.5 Keterangan Terdakwa.
Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP diatur dalam pasal 189
yang berbunyi sebagai berikut:
1. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri.
2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh
suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup dengan untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertai dengan alat bukti yang lain
2.1.9

Jenis-jenis Visum et Repertum:

2.1.9.1 Visum et Repertum pada orang hidup


Visum yang diberikan untuk korban luka-luka karena kekerasan,
keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain. Berdasarkan waktu pemberiannya
visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas:1,5
1. Visum defenitif adalah visum et repertum yang dibuat lengkap sekaligus
atau definitif. Lazimnya ditulis visum et repertum.
2. Visum sementara adalah visum et repertum yang dibuat bagi korban yang
sementara masih dirawat di Rumah Sakit akibat luka-lukanya akibat
penganiayaan.
17

3. Visum et repertum lanjutan, misalnya bagi si korban yang luka tersebut


(visum et repertum sementara) kemudian lalu meninggalkan Rumah Sakit
ataupun luka-lukanya tersebut korban kemudian dipindahkan ke Rumah
Sakit atau dokter lain, melarikan diri, pulang dengan paksa, atau meninggal
dunia.
Visum et Repertum orang hidup dapat terdiri dari luka.
1. Luka yang paling banyak terjadi adalah luka mekanis, biasanya luka ini
bisa karena
a. Luka benda tumpul
b. Luka benda tajam
c. Luka tembakan senjata api.
2. Kemudian luka akibat kekerasan fisis diantaranya adalah
a. Luka akibat suhu tinggi atau luka bakar
b. Luka akibat listrik
3. Luka akibat zat kimia terdiri dari
a. luka akibat asam kuat
b. Akibat basa kuat.
Semua luka yang tertera diatas dapat diperiksa sesuai lokalisasi, ukuran,
jenis kekerasan yang menjadi penyebab luka. Sehingga dapat digunakan untuk
pembuktian pada suatu kasus.
2.1.9.2 Visum et Repertum pada jenazah
Jenazah yang akan dimintakan Visum et Repertumnya harus diberi label
yang memuat identitas mayat, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh
lainnya. Pada surat permintaan Visum et Repertum harus jelas tertulis jenis
pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan
dalam / autopsy (pemeriksaan bedah jenazah).1
Jenis Visum et Repertum pada jenazah:
1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak
keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.
2. Pemeriksaan dalam atau bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh
dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul.
Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti
pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.
Pemeriksaan luar adalah dapat diminta oleh penyidik tanpa pemeriksaan dalam
atau otopsi berdasarkan KUHP pasal 133.
Pemeriksaan luar dan dalam adalah jenazah : sesuai dengan KUHAP pasal 134
ayat 1 Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah
18

mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih


dahulu kepada keluarga korban. Ayat 2 Dalam hal keluarga korban keberatan,
penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan
dilakukan pembedahan tersebut. Ayat 3 Apabila dalam waktu 2 hari tidak ada
tanggapan apapun dari keluarga pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan,
penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 133 ayat (3)
undang-undang ini.
Ketentuan standar dalam penyusunan Visum et Repertum korban hidup:
1. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal
133 ayat (1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat
Polisi Negara RI. Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer
(POM) dikategorikan sebagai penyidik.
2. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal
133 ayat (1) adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
3. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan
bahwa permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang
secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
4. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik
yang memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan
keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya.
2.1.10 Alur pembuatan Visum et Repertum
Alur pembuatan Visum et Repertum adalah sebagai berikut:6
1. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai
dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada SPO Rumah Sakit tersebut.
Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila
kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis
melibatkan berbagai disiplin spesialis.
2. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum
Adanya surat permintaan keterangan ahli/Visum et Repertum merupakan hal
yang penting untuk dibuatnya Visum et Repertum tersebut. Dokter sebagai
penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat
19

permintaan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek
yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan
diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban datang sendiri
dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ Visum et Repertum.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang
pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit yang tidak membawa SPV.
1. Setiap pasien dengan trauma
2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
5. Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum

Gambar 1. Alur pelayanan Medikolegal di Rumah Sakit


3. Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah
dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang
mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan. Ada kemungkinan
didapati benda bukti dari tubuh korban misalnya anak peluru, dan sebagainya.
Benda bukti berupa pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak
penyidik. Dalam hal pihak penyidik belum mengambilnya maka pihak petugas
sarana kesehatan harus menyimpannya sebaik mungkin agar tidak banyak
terjadi perubahan. Status benda bukti itu adalah milik negara, dan secara

20

yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui
penyidik.
4. Pengetikan surat keterangan ahli / Visum et Repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli / Visum et Repertum oleh petugas
administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan
untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan
garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab.
5. Penandatanganan surat keterangan ahli / Visum et Repertum
Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah
dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter.
Sering terjadi bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang
terlambat, sedangkan dokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana
kesehatan itu lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang
harus menandatangani visum et repertun korban hidup tersebut. Hal yang sama
juga terjadi bila korban ditangani beberapa dokter sekaligus sesuai dengan
kondisi penyakitnya yang kompleks.
Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang
menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani
tersebut (dokter pemeriksa).
Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang
menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam
penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter
pemeriksa yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan
dengan luka/cedera/racun/tindak pidana.
Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (di luar kota) atau
sudah tidak bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka Visum et Repertum
ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pelayanan forensik klinik yang
ditunjuk oleh Rumah Sakit atau oleh Direktur Rumah Sakit tersebut.
6. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik
saja dengan menggunakan berita acara.
21

7. Penyerahan surat keterangan ahli/Visum et Repertum.


Surat keterangan ahli/Visum et Repertum juga hanya boleh diserahkan pada
pihak penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan
sekaligus meminta surat Visum et Repertum.
2.2 Prosedur Pengadaan Visum et Repertum di Indonesia
Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati, prosedur permintaan
Visum et Repertum korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak
ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh
dilakukan oleh dokter. Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang
dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung
jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana
menjamin keabsahan korban sebagai barang bukti. Hal-hal yang merupakan barang
bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai
manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya.
Dengan demikian, Karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari
orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah
menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk Visum et Repertum.15-19
KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh
petugas kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya
dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan
diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan Visum et Repertumnya seperti
yang tertulis di dalam surat permintaan Visum et Repertum. Situasi tersebut
membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara
identitas yang tertera di dalam surat permintaan Visum et Repertum dengan identitas
korban yang diperiksa. 15-19
Pasien yang termasuk kedalam lingkup pelayanan forensik klinik adalah
pasien datang dengan surat permintaan visum, pasien korban tindak pidana
penganiayaan, pasien korban kecelakaan lalu lintas, pasien dengan luka yang tidak
jelas

penyebabnya,

pasien

korban

kekerasan

seksual,

pasien

korban

kecarunan/peracunan, pasien datang dengan surat permintaan visum. Jika pasien


yang diperiksa termasuk ke dalam salah satu kriteria diatas, maka dokter mestinya
sudah siap dengan pencatatan luka/cedera yang lengkap. Dokter baru akan
22

mengelurkan hasil Visum et Repertum jika ada permintaan tertulis dari penyidik
yaitu berupa surat permintaan visum (SPV). 15
Pada praktek sehari hari sering SPV datang belakangan. Untuk beberapa hal
ini bisa dimaklumi, mungkin dengan alasan kondisi korban yang tidak
memungkinkan untuk lapor ke polisi, kantor polisi yang jauh atau tidak mengerti
tatacara pelaporan ke polisi. Sehingga yang sering terjadi adalah korban tindak
pidana dengan surat permintaan visum yang datang terlambat. Sepanjang
keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan ini
tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan Visum et Repertum. Sebagai
contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat
lawan) dan noodtoestand (darurat).15
2.2.1

Tinjauan Prosedur Visum et Repertum di berbagai Rumah Sakit di


Indonesia
Adapun tatacara pembuatan visum et repertum pada rumah sakit di
Indonesia sebagai berikut.

1. RSUP dr. Kariadi, Semarang


RSUP dr. Kariadi Semarang merupakan rumah sakit tipe A di Semarang,
Jawa Tengah. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan ketua bagian
instalasi kedokteran forensik dan pemulasaran jenazah, praktik pelayanan
pembuatan visum et repertum di RSUP dr. Kariadi membolehkan surat
permintaan visum hidup disusulkan setelah korban diperiksa dan diberi
penanganan medis. Hasil pemeriksaan dituliskan pada rekam medis dan ditulis
lengkap untuk kepentingan pembuatan visum et repertum ketika surat
permintaan visum datang di kemudian hari. Standar prosedur operasional
pembuatan visum di RSUP dr. Kariadi menetapkan bahwa visum et repertum
harus sudah diserahkan kepada penyidik dalam waktu empat hari kerja.
2. RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta
a. Prosedur pembuatan Visum et Repertum pada korban hidup
Layanan Medis dan Medikolegal Layanan medis dimulai dengan
tindakan TRIAGE (pendaftaran) di pintu gerbang gedung IGD RSCM yang
bertujuan memberikan penilaian khusus. Bagi korban yang mengalami cedera
atau luka dan tergolong gawat-darurat ditangani langsung oleh para ahli yang
terkait di IGD RSCM. Apabila sebelumnya korban telah melaporkan kasusnya ke
23

polisi dan pada saat mendaftar diantar petugas kepolisian atau membawa surat
permintaan visum maka korban segera ditangani secara serentak mulai dari
medis, medikolegal dan psikososial. Pemberian informasi dan permintaan
persetujuan (informed concent) selalu dilakukan terlebih dahulu. Keterangan
hasil pemeriksaan sementara langsung dibuat dan diserahkan kepada petugas
kepolisian yang mengantar. Visum definitif diberikan beberapa hari kemudian,
atau menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Untuk konsultasi psikologi dan
atau psikiatri akan dijadwalkan waktunya. Untuk korban yang belum melapor ke
polisi penyidik akan memperoleh informasi yang panjang lebar di bidang
mediko-legal, prinsip hukum, pembuktian dan prosedur beracara hukum, serta
tentang perlunya melaporkan kasusnya kepada polisi. Pemeriksaan medis,
medikolegal, psikososial tetap dilakukan sebagaimana biasa. Dokumentasi
medikolegal dilakukan sebaikbaiknya dan bila perlu dimintakan persetujuan
korban untuk dibuatkan dokumentasi fotografinya maka atas dasar dokumentasi
medikolegal inilah kelak Visum et Repertum dibuat. Sedangkan untuk pembuatan
Visum et Repertum diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, yaitu
diusahakan tidak lebih dari seminggu. Bahkan kasus yang tidak membutuhkan
pemeriksaan laboratorium diusahakan dapat diselesaikan dalam waktu 3 4 hari.
Pada kasus yang sulit atau membutuhkan pemeriksaan lanjutan, visum baru
dapat diselesaikan setelah seluruh pemeriksaan selesai.18
b. Prosedur penatalaksanaan korban mati dan pembuatan Visum et Repertum. 19

Setiap kasus dipastikan identitasnya, sesuai dengan surat permintaan Visum


et Repertum (SPV) dengan label, baik kepolisian maupun label RSCM

Korban yang diduga akibat tindak pidana tetapi belum ada SPV, segera
menghubungi polisi pengirim atau Polres Jakarta Pusat

Pemeriksaan luar hanya dikerjakan bila telah ada SPV

Autopsi hanya dilakukan bila SPV datang dan dokter pemeriksa telah hadir .

Autopsi dilakukan dengan sepengetahuan keluarga korban dan dengan


penanggung jawab dokter spesialis forensik.

3. RSUP Sardjito, Yogyakarta


RSUP Sardjito merupakan rumah sakit tipe A di Yogyakarta. Pada penelitian
yang dilakukan di RS dr. Sardjito tahun 2004, pedoman baku untuk pelaksanaan

24

visum et repertum hidup belum ada. Analisis terhadap 58 visum et repertum pada
kasus hidup di RSUP Sardjito, sebagian besar 84,48% visum et repertum dibuat
dengan permintaan pemeriksaan awal dari pasien. Kemudian surat permintaan
visum sebagian besar (91,38%) juga datang secara terlambat, sedangkan hanya
8,62% lainnya surat permintaan visum datang bersamaan dengan korban yang
akan diperiksa. 20
4. RSUD Tugurejo, Semarang, Jawa Tengah
Pada RSUD Tugurejo, salah satu rumah sakit tipe B, pembuatan visum
dilakukan dengan mencarikan dokumen rekam medis korban yang berisi
pemeriksaan lengkap selayaknya visum et repertum yang dilakukan saat korban
datang untuk dilakukan pemeriksaan.
Tata cara permintaan visum et repertum di RSUD Tugurejo :
1) Permintaan tertulis dari kepolisian ditujukan kepada Direktur Rumah
Sakit
2) Direktur menyerahkan kepada Wakil Direktur dan selanjutnya Wakil
Direktur merekomendasikannya kepada Kepala Bidang Pelayanan untuk
kemudian diserahkan ke Kasi Pelayanan Rawat Jalan.
3) Kasi Pelayanan Rawat Jalan mengkoordinasikan secara lisan kepada
bagian rekam medis untuk mencarikan Dokumen Rekam Medis (DRM)
pasien
4) Setelah DRM ditemukan maka diserahkan kepada kasi pelayanan rawat
jalan untuk diserahkan ke dokter yang memeriksa pertama kali (Dokter
Umum) agar segera dibuatkan visumnya. Jika memang membutuhkan
penanganan yang lebih lanjut, maka dari Dokter Umum dapat
mengkonsultasikan kepada Dokter Spesialis sesuai dengan keadaan
pasien. Tetapi untuk kasus tertentu pembuatan visum langsung ditangani
oleh Dokter Spesialis seperti pada kasus Psikologi
5) Hasil visum dalam bentuk tulisan tangan dokter diketik dan dirapikan
oleh Administrasi Visum lalu ditandatangani oleh dokter.
6) Selanjutnya visum disetujui oleh Dokter Spesialis Forensik dan akan
dibuatkan surat pengantar dari Direktur oleh bagian Bidang Pelayanan
7) Pihak rumah sakit menghubungi kepolisian untuk memberitahukan
bahwa hasil visum sudah bisa diambil. 15
25

5.

Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta


Di Rumah Sakit Panti Rapih, salah satu rumah sakit tipe B di Yogyakarta,

pelaksanaan pembuatan Visum et Repertum belum sepenuhnya sesuai dengan


standar operasional prosedur yang ada. Banyak Visum et Repertum yang
memerlukan perawatan rawat inap dan yang dibuat oleh dokter umum atau IGD
dibuat lebih dari 7 hari. Variasi kasus yang banyak menyebabkan keterlambatan
adalah kasus kecelakaan lalu lintas dan penganiayaan. Lama pembuatan Visum et
Repertum di Panti Rapih yogyakarta belum sepenuhnya sesuai dengan standar
operasional prosedurnya, sebagian besar Visum et Repertum dibuat lebih dari
standar yang telah ditetapkan. Kendala kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan pengeluaran Visum et Repertum hidup di Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta dibedakan menjadi dua macam yaitu Sumber Daya Manusia seperti
ketidakterbacaan tulisan dokter, jadwal dokter yang tidak setiap hari praktek dan
juga kelengkapan isi berkas rekam medis. Selain itu kendala dalam hal sarana
dan prasarana yaitu belum tersosialisasikannya standar operasional prosedur
kepada dokter pembuat Visum et Repertum.21
6. RSUD Tidar, Magelang
Prosedur tetap yang berlaku tentang prosedur visum et repertum saat ini
di RSUD Tidar, rumah sakit tipe B di Magelang, adalah tentang Peminjaman
Informasi Isi Rekam Medis, sehingga dengan demikian alur permintaan visum et
repertum juga didahului dengan pemeriksaan pasien dan dicatat selengkap
mungkin pada rekam medis dan akan dipindahkan menjadi dokumen visum et
repertum ketika surat permintaan visum telah diterima.
1. Pelaksanaan Visum et Repertum memiliki tata cara sebagai berikut :
a. Pihak kepolisian (penyidik) menyerahkan surat permohonan Visum et
Repertum tertulis ke rumah sakit melalui petugas rekam medis.
b.

Petugas rekam medis menyerahkan surat tanda pengambilan kepada polisi


untuk dibawa saat pengambilan hasil Visum et Repertum.

c. Petugas rekam medis mencatat di buku register permintaan Visum et


Repertum.
d. Petugas rekam medis mencarikan berkas dokumen rekam medis pasien.

26

e.

Petugas rekam medis mengajukan pengisian formulir Visum et Repertum ke


dokter yang merawat atau menangani pasien.

f. Visum et Repertum yang telah ditulis dokter diserahkan kembali ke petugas


rekam medis dan sudah dibubuhi tanda tangan
g. Petugas rekam medis mengetik hasil Visum et Repertum persis sesuai yang
telah di tulis oleh dokter sesuai dengan format yang telah ditentukan oleh
rumah sakit.
h. Hasil Visum et Repertum diagendakan di buku penerimaan Visum et
Repertum untuk dicatat tanggal selesai dikerjakannya.
i. Visum et Repertum diambil oleh pihak kepolisian (penyidik) dengan surat
tanda pengambilan.
j. Petugas rekam medis mencata di buku pengambilan dan memberikan nomor
surat Visum et Repertum.
k. Sebagai bukti pengambilan, setelah pihak kepolisian (penyidik) yang
mengambil menyelesaikan proses administrasi, pihak kepolisian (penyidik)
membubuhkan nama terang dan tanda tangan di dalam buku pengambilan.
2. Jenis kasus yang dapat dimintakan Visum et Repertum di RSUD Tidar Magelang
adalah Visum et Repertum korban hidup antara lain penganiayaan, pengeroyokan,
KDRT, pemerkosaan, KLL, dan pencabulan.
3. Pengagendaan Visum et Repertum di RSUD Tidar Magelang dilakukan di unit
rekam medis. 17
7. RSUD Karanganyar, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
Berdasarkan penelitian pada tahun 2013, prosedur pelaksanaan pelepasan
Visum et Repertum di RSUD Karanganyar, rumah sakit tipe C, yaitu : polisi
datang ke RSUD dan memberi surat pengantar, lalu di proses dibagian rekam
medis, untuk pasien baru dibuatkan blangkonya, sedangkan untuk pasien lama
catatan rekam medis yang sudah ada dicari. Lalu rekam medis diajukan ke dokter
untuk melakukan pemeriksaan dengan blangko Visum et Repertum yang telah
disediakan oleh Instalasi rekam medis (dokter membuat konsep). Petugas rekam
medis menerima konsep dari dokter untuk selanjutnya diketik, kemudian hasil
dikembalikan ke dokter untuk dikoreksi dan ditanda tangani. Setelah tanda
tangan dokter selanjutnya ditandatangani oleh direktur RSUD, dan terakhir
Visum et Repertum diambil oleh pihak kepolisian.22
27

Petugas yang menangani pembuatan Visum et Repertum di RSUD


Karanganyar dilayani oleh 3 orang Yaitu Dokter, petugas Rekam Medis dan
direktur, hal ini sudah memenuhi syarat bahwa

mengisi formulir Visum et

Repertum hanya boleh petugas yang sudah melakukan sumpah jabatan


dikarenakan untuk terjaga kerahasian Visum et Repertum (Staatsblad, Lembaga
Negara tahun 1937 no 350).22
Sesuai kebijakan prosedur di RSUD Karanganyar bahwa permintaan
Visum et Repertum dapat diambil dengan waktu pengambilan satu satu minggu.
Dari 63 kasus di tahun 2012, 34 kasus dapat diselesaikan baik dalam tempo 1 s/d
7 hari dan sisanya 29 kasus mengalami keterlambatan penyelesaian. Hal ini
disebabkan oleh faktor dokter yang sedang tidak bertugas (pergantian shif).
Untuk menghindari keterlambatan tersebut diperlukan koordinasi yang baik
antara petugas pelayanan Visum et Repertum dengan dokter yang merawat atau
melakukan Visum et Repertum dalam 24 jam harus sudah diperiksa yaitu dengan
cara petugas bagian Visum et Repertum harus segera menghubungi dokter yang
merawat, untuk dilakukan pemeriksaan apabila ada kasus permintaan Visum et
Repertum yang melibatkan dokter tersebut sehingga terjalin komunikasi yang
baik dan menghindari keterlambatan proses pelayanan pembuatan Visum et
Repertum.22
Pada dasarnya, pelaksanaan pelayanan pembuatan visum et repertum pada
RSUD Karanganyar juga menerapkan tata cara yang sama dengan rumah sakit
lainnya, yaitu korban datang terlebih dahulu tanpa memiliki surat permintaan
visum

dari

penyidik

untuk

diperiksakan

terlebih

dahulu

dan

hasil

pemeriksaannya dicatat selengkap mungkin pada rekam medis untuk suatu saat
dipindahkan menjadi visum et repertum setelah surat permintaan visum
disusulkan.22
8. RS Pantiwilasa dr.Cipto Semarang
RS Pantiwilasa merupakan salah satu rumah sakit tipe C di Semarang.
Rumah Sakit Pantiwilasa Semarang adalah salah satu rumah sakit yang sudah
mengadakan pelayanan untuk Visum et Repertum. Tetapi rumah sakit dr cipto
semarang hanya melayani Visum et Repertum untuk korban hidup atau visum
luar yaitu kasus Visum et Repertum perlukaan atau keracunan dan Visum et
Repertum kejahatan susila. Agar pelayanan berjalan dengan baik rumah sakit dr
28

cipto semarang sudah mempunyai protap untuk keperluan Visum et Repertum


guna pedoman kerja untuk petugas rekam medis ataupun peminta.Pada RS
Pantiwilasa dr. Cipto, visum et repertum juga merupakan salinan dari isi rekam
medis pasien hasil pemeriksaan dokter jaga yang bertugas saat korban datang
untuk minta dilakukan pemeriksaan visum. Surat permintaan visum diterima di
kemudian hari setelah korban memeriksakan dirinya.16
Tata cara permintaan visum et repertum di RS Pantiwilasa dr.Cipto
Semarang :16

Pemohon (penyidik / kepolisian ) mengajukan surat permohonan


visum et repertum yang ditujukan kepada Direktur rumah sakit.
Akan tetapi pada protap tidak menjelaskan bentuk permohonan
visum et repertum, protap hanya menjelaskan semua permintaan
visum et repertum dilakukan secara tertulis dan di tanda tangani
oleh minimal kepala sektor yang berpangkat letnan. Sedangkan
pada teori harus menjelaskan pemohon (penyidik /kepolisian)
harus mengajukan permohonan tertulis (surat) yang di tujukan
langsung kepada direktur rumah sakit.

Di Rumah sakit Pantiwilasa Semarang, Visum et Repertum dibuat oleh


dokter yang pertama kali menangani korban atau dokter yang pada saat itu jaga.
Apabila kasus tersebut berat maka jaga juga mengkolsultasikan kepada dokter
spesialis

untuk

membantu

menangani.

Pada

prosedur

tetap

hanya

mencantumkan dokumen rekam medis diberikan kepada dokter yang menangani


pasien tersebut. Artinya dari menangani adalah dokter yang pertama kali
memeriksa korban atau dokter yang jaga pada saat itu.
Adapun kasus permintaan Visum et Repertum s di rumah sakit dr Cipto
semarang adalah sebagai berikut.
1. Kasus perkosaan
2. Kasus penganiaayaan
3. Kasus kecelakaan
4. Kasus keracunan dan penganiaayaan anak
2.2.2 Pembuatan Visum et Repertum Berdasarkan keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia

29

Menurut keeputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1226/Menkes/ SK/XII/2009 Tentang pedoman penatalaksanaan pelayanan terpadu
korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Rumah Sakit. 23 Proses pelayanan
medikolegal :
-

Korban datang ke polisi atau langsung ke IGD/ Poliklinik RS Biasanya


jika korban datang ke polisi terlebih dahulu, polisi akan membuatkan

surat permintaan visum (SPV) ke RS


Korban dari IGD/ Poliklinik kemudia dirujuk ke pusat pelayanan terpadu
(PPT) RS unttuk mendapatkan pelayanan komperhensif termasuk
medikolegal. Bila korban telah membawa surat permintaan visum dari
polisi maka dokter akan membuatkan visum. Sedangkan jika korban
tidak membawa SPV maka hanya akan dibuatkan Keterangan dokter
atau hanya dibutkan rekam medis forensik jika diduga terkait kasus
pidana.

Berdasarkan praktik di beberapa Rumah sakit, dimana surat permintaan


visum datang setelah pemeriksaan. Hal ini bertentangan dengan perundangundungan yang mengatur untuk pemeriksaan barang bukti media hidup haruslah
diantar oleh petugas dengan membawa surat permintaan pemeriksaan sesuai
Instruksi Kapolri NO Pol: Ins/E/20/IX/75 tentang tatacara permohonan/ pencabutan
Visum et Repertum. Dalm butir 5 aturan ini disebutkan bahwa tidak dibenarkan
mengajukan Visum et Repertum tentang keadaan yang telah lampau yaitu keadaan
sebelum permintaan Visum et Repertum diajukan kepada dokter mengingat rahasi
jabatan. 10
Dalam hal pemeriksaan barang bukti medis hidup yang diantar oleh petugas
dengan membawa surat permintaan Visum et Repertum tidak diperlukan surat
persetujuan pasien (informed consent). Jika surat permintaan tersebut datang
terlambat dibutuhkan surat persetujuan pasien untuk membuka rahasia hasil
pemeriksan dalam bentuk Visum et Repertum.10

30

2.2.3. Tinjauan Prosedur Visum et Repertum di berbagai Rumah Sakit di Luar


Negeri
Adapun tatacara pembuatan visum et repertum di negara lain sebagai
berikut.
1. Filipina
Langkah pertama yang harus dilakukan korban untuk melakukan
visum hidup adalah dengan pergi ke departemen kepolisian untuk meminta
pengantar dilakukannya visum. Selanjutnya korban pergi untuk dilakukan
pemeriksaan medis. Pemeriksaan medis diawali dengan anamnesis dan
memeriksa tanda-tanda vital, dan berat badan pasien. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan fisik yang menyangkut keluhan korban. Setelah
itu korban diminta untuk membayar biaya sertifikasi, dan laboratorium jika
dibutuhkan. Kemudian korban dapat meminta dan menerima visum et
repertum yang sudah ditandatangani untuk dimasukkan ke dalam berkas
perkara.24
Langkah pertama yang harus dilakukan keluarga korban untuk
melakukan visum mati adalah dengan mendatangi departemen kepolisian
untuk meminta dilakukannya visum mati. Selanjutnya setelah disetujui oleh
kepolisian maka dilakukan visum mati. Setelah itu keluarga dapat meminta
dan menerima visum mati yang sudah ditandatangani, untuk selanjutnya
dapat dimasukkan ke dalam berkas perkara.24
2. India
Kasus-kasus seperti kecelakaan, keracunan, terbakar, tidak sadar atau
meninggal seharusnya dibuat sebagai kasus medikolegal. Pada pemeriksaan
dimana keadaan tidak terlalu serius dan tidak diduga adanya unsur penipuan,
maka hasil pemeriksaan yang didapatkan harus berdasarkan alasan yang
kuat dan ditandatangani oleh pasien. Seluruh kasus medikolegal harus
dilakukan setelah korban melapor ke petugas kepolisian. Pada kasus
emergensi, terapi awal harus dilakukan dengan baik sebelum dilakukan
dokumentasi atau kegiatan medikolegal lainnya.25
Pemeriksaan terhadap tersangka dapat dilakukan oleh petugas
kesehatan atas permintaan dari petugas kepolisian. Pemeriksaan ini harus
dilakukan secara rasional sehingga diharapkan dapat memberikan tambahan

31

barang bukti terhadap kasus yang ada. Permintaan pemeriksaan ini hanya
bisa dilakukan oleh polisi dengan pangkat minimal sub-inspektur.25
3.

Denmark
Pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual dilakukan pada
salah satu dan pusat pemeriksaan korban kekerasan seksual. Korban tidak
perlu untuk melapor ke polisi sebelumnya dan akan ditawarkan untuk
dilakukan pemeriksaan yang sama sebagaimana bila pasien sudah melapor
ke polisi sebelumnya, termasuk tawaran untuk melindungi petunjukpetunjuk yang sama untuk memastikan petunjuk-petunjuk tersebut tidak

4.

hilang.26
Australia
Dokter

yang

melakukan

pemeriksaan

memiliki

kewajiban

profesional untuk mengadakan rekam medis ketika diminta oleh pasien atau
pihak ketiga dengan izin dari pasien, atau pada beberapa kasus, ketika
diminta oleh pihak ketiga di bawah wewenang legislatif. Pengacara korban
sebaiknya selalu mengutamakan meminta visum et repertum dibandingkan
dengan memanggil dokter ke pengadilan. Hal ini akan membuat pengacara
dapat mendapatkan keterangan medis yang relevan dan mencegah
kebutuhan untuk memanggil dokter ke pengadilan.27

32

BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Setelah melakukan penelusuran tinjauan pustaka, penulis tidak mendapatkan
data mengenai masa tenggang disusulkannya surat permintaan visum setelah
pemeriksaan korban. Tidak ditemukan juga panduan baku secara nasional tentang
masa tenggang disusulkannya surat permintaan visum setelah pemeriksaan korban
dilakukan.
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Bagi praktisi kesehatan diharapkan agar dapat mengupayakan prosedur
pembuatan Visum et Repertum yang baik karena Visum et Repertum merupakan
alat bukti yang sah dalam proses peradilan dan harus mampu membuat terang
suatu perkara tindak pidana dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang
memiliki dampak yuridis luas dan dapat menentukan nasib seseorang.
2. Bagi rumah sakit perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO) tentang
petatalaksanaan pengadaan Visum et Repertum karena Visum et Repertum
berguna bagi penyidik (polisi/polisi militer) maupun Penuntut Umum (Jaksa)
untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum.
3. Bagi praktisi kesehatan dan rumah sakit diharapkan agar dapat mengupayakan
prosedur pembuatan Visum et Repertum yang baik dan memenuhi standar. Hal ini
dikarenakan pembuatan Visum et Repertum merupakan salah satu bentuk
pelayanan medikolegal di rumah sakit, di mana kualitas pelayanan Visum et
Repertum secara langsung akan mencerminkan kualitas pelayanan medikolegal
di rumah sakit tersebut.
4. Sebaiknya dilakukan sosialisasi standar operasional prosedur mengenai lama
waktu pembuatan Visum et Repertum kepada semua pihak yang bertanggung
jawab dalam pembuatan Visum et Repertum, agar masing masing pihak
mengetahui dan dapat bekerja sesuai dengan standar operasional yang ada.

33

Daftar Pustaka
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Munim A, Sidhi, Hertian S,
et al. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Kedokteran Forensik FKUI;1997.
2. Utama WT. Visum et repertum: a medicolegal report as a combination of
medical knowledge and skill with legal jurisdiction. Ju Ke Unila. 2014; 4(8):269275.
3. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik: pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007.
4. Adyan AR. Kekuatan hukum visum et repertum sebagai alat bukti ditinjau dari
KUHAP dan Undang-Undang No.23 Tahun 2004. Keadilan Prog. 2010. 1:1:2932.
5. Poluan Y. Bedah mayat dan akibat hukumnya. Jurnal Lex Crimen. Agustus
2014;4(III);127
6. Afandi D. Visum et repertum pada korban hidup. Jurnal Ilmu Kedokteran.
2009;3(2):79-84.
7. Herkutanto. Kualitas visum et repertum perlukaan di Jakarta dan faktor yang
mempengaruhinya. Maj Kedokt Indon. 2004;54 (9):355-60.
8. Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The quality of visum et repertum of the living
victims in Arifin Achmad General Hopital during January 2004-September 2007.
Jurnal Ilmu Kedokteran. 2008;2(1):19-22.
9. Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 tahun 2010, perubahan atas PP No. 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
10. Afandi D. Visum et repertum perlukaan: aspek medikolegal dan penentuan
derajat luka. Maj Kedokt Indon. 2010. 60(4):188-95.
11. Herkutanto. Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum (VeR)
kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit gawat darurat (UGD).
JPMK. 2005;8(3):163-9.
12. Rachman F, Sugiyanto Z. Tinjauan pelaksanaan prosedur pelepasan informasi
medis untuk keperluan visum et repertum dari aspek teori di RST Bhakti Wira
Tamtama Semarang. Jurnal Visikes. 2010. 9(1):44-8
13. Soeparmono R, Keterangan ahli dan visum et repertum dalam aspek hukum
acara pidana, Bandung: Mandar Maju; 2002.

34

14. Soerjono, Soekanto, Mamudji S. Penelitian hukum normatif: suatu tinjaun


singkat. Jakarta: Rajawali Pres; 2010.
15. Sari S, Sugianto Z. Tinjauan pelaksanaan pelepasan informasi medis untuk
keperluan visum et repertum dari aspek teori hukum kesehatan di RSUD
Tugurejo Semarang 2013. Karya Tulis Ilmiah; 2013
16. Natara M, Sugianto Z. Tinjauan pelaksanaan prosedur pelepasan informasi
media untuk keperluan visum et repertum dari aspek teori di Rumah Sakit
Pantiwilasa DR Cipto Semarang. Karya Tulis Ilmiah; 2014.
17. Abtelia F, Prasetya J. Tinjauan pelaksanaan visum et repertum dari aspek teori
hukum kesehatan dan prosedur teteap di RSUD Tidar Kota Magelang. Magelang:
Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Karya Tulis Ilmiah;
2014.
18. Pusat Krisis Terpadu RSCM. Laporan publik 9 tahun pusat krisis terpadu untuk
perempuan dan anak korban kekerasan RS.Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Pusat
Krisis Terpadu RS.Cipto Mangunkusumo; 2009.
19. Departemen Ilmu Forensik dan Medikolegal FKUI. Prosedur pelayanan korban
mati. Jakarta: Dapertemen Ilmu Forensik dan Medikolegal FKUI. Diakses pada:
www.rscm.co.id, pada tanggal 29 Mei 2016.
20. Gizela B. Kajian terhadap laporan medis projustitia hasil pemeriksaan barang
bukti hidup di RS Dr. Sardjito. Berkala ilmu kedokteran. 2004; 36(2):1-7.
21. Wulandari R. Pelaksanaan pembuatan visum et repertum hidup berdasarkan
variasi kasus tahun 2012 di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Karya Tulis
Ilmiah Universitas Gadjah Mada; 2013.
22. Yuliana N, Banaja MS. Analisis pelaksanaan visum et repertum di RSUD
Karanganyar. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia. 2013:2(1):66-9.
23. Menteri Kesehatan Indonesia. Pedoman penatalaksanaan peyanan terpadu korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2009.
24. Municipality of Abuyog, Leyte, Phils. Medico-legal/post-mortem examination.
Diunduh

dari:

http://abuyogleyte.gov.ph/medico-legal-post-mortem-

examination/, 26 September 2016.


25. Medilaw. Medicolegal report. Indian Jour of Clinical Practice. May 2014.
24(12):1193-4.
35

26. Aarhus University Department of Forensic Medicine. Clinical forensic medicine.


11 November 2015. Diunduh dari: http://forensic.au.dk/en/public-sectorconsultancy/clinical-forensic-medicine/, 26 September 2016.
27. The Law Institute of Victoria. Guidelines for co-operation between doctors and
lawyers. Victoria: LIV; 2015.

36

Anda mungkin juga menyukai