Anda di halaman 1dari 8

Determinan Sosial Ekonomi Rumah Tangga dari Balita Stunting

di Indonesia: Analisis Data Indonesia Family Life Survey (IFLS)


2014
Household Socio-Economic Determinants of Stunting Among Under Five Years Old Children
in Indonesia: Analysis of Indonesia Family Life Survey (IFLS) Data 2014

Dini Indrastuty1, Pujiyanto2


1
Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Departemen Administrasi Kebijakan Kesehataan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
2

Korespondensi: Dini Indrastuty


e-mail: diniindrastuty18@gmail.com

Abstrak
Stunting merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan
dengan anak seusianya. Stunting pada balita memiliki risiko pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit,
menurunkan produktifitas yang dalam jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Ketika dewasa, anak
yang menderita stunting rentan menderita penyakit tidak menular. Ini menyebabkan pengeluaran pemerintah dalam hal
pembiayaan jaminan kesehatan nasional terus meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan faktor
sosial ekonomi rumah tangga dari balita stunting. Studi ini menggunakan data sekunder Indonesia Family Life Survey (IFLS)
tahun 2014 dengan desain studi cross sectional dan aplikasi model logit ekonometrik. Jumlah observasi yang menjadi sampel
analisis dalam penelitian ini sebesar 3.794 balita dalam skala nasional. Hasil penelitian menunjukkan kejadian balita stunting
memiliki hubungan signifikan dengan status pekerjaan ibu, tempat tinggal, sanitasi dan status ekonomi. Ibu yang lebih banyak
meluangkan waktu dan memperhatikan gizi anak, tempat tinggal balita yang dapat menjangkau fasilitas layanan kesehatan,
akses sanitasi yang baik, status ekonomi keluarga, intervensi pemerintah yang tepat, dan peran lintas sektor dan tatanan
masyarakat berdampak dalam penanganan masalah stunting di Indonesia.
Kata kunci: balita, stunting, sosial, ekonomi, logit

Abstract
Stunting is a chronic nutritional problem in infants characterized by shorter stature compared to their age. Stunting in toddlers has risk
at the level of intelligence, vulnerability to disease, lowering productivity which in the long run can hamper economic growth. When
adults, children who suffer from stunting are prone to non-communicable diseases. This causes government spending in terms of
financing national health insurance to continue to increase. This study aims to analyze the determinants of household socioeconomic
factors of stunting toddlers. It used the secondary data of the Indonesian Family Life Survey (IFLS) in 2014 with cross-sectional study
design and the application of an econometric logit model. The number of observations as a sample in this study amounted to 3,794
toddlers on a national scale. The results showed the incidence of stunting toddlers had a significant relationship with the employment
status of mothers, shelter, sanitation and economic status. Mothers who spend more time and pay attention to child nutrition, toddlers
who can reach health care facilities, access to good sanitation, family economic status, proper government intervention, and the role
of cross-sector and community order have an impact on the handling of stunting problems in Indonesia.
Keywords: toddlers, stunting, social, economic, logit

Pendahuluan
Masalah gizi kurang masih banyak ditemukan di buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial
berbagai kelompok masyarakat di beberapa negara yang tidak memadai yang ditunjukkan dengan nilai
berkembang, khususnya Indonesia. Salah satu masalah z-score tinggi badan menurut usia (TB/U) < -2
kurang gizi yang harus mendapatkan perhatian standar deviasi berdasarkan standar WHO (WHO
adalah stunting (pendek dan sangat pendek) yang 2012)
terjadi pada balita. Masalah gizi, khususnya anak Secara global jumlah anak stunting di bawah
pendek, menghambat perkembangan anak muda, usia 5 tahun sebanyak 165 juta anak atau 26%.
dengan dampak negatif yang akan berlangsung Asia merupakan wilayah kedua setelah Afrika yang
dalam kehidupan selanjutnya (UNICEF 2012). memiliki prevalensi anak stunting tertinggi yaitu
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan 26,8% atau 95,8 juta anak. Sedangkan prevalensi
perkembangan yang dialami anak-anak dari gizi anak stunting untuk wilayah Asia Tenggara adalah

Determinan Sosial Ekonomi Rumah Tangga dari Balita 68 Indrastuty & Pujiyanto
27,8% atau 14,8 juta anak. Retardasi pertumbuhan tangga yang mempengaruhi kejadian balita stunting
atau stunting pada anak-anak di negara berkembang di Indonesia.
terjadi terutama sebagai akibat dari kekurangan gizi Metodologi Penelitian
kronis dan penyakit infeksi yang mempengaruhi 30% Penelitian ini merupakan analisis data sekunder
dari anak-anak usia di bawah lima tahun (UNSCN, menggunakan data Indonesia Family Life Survey
2004). Berdasarkan hasil data Riset Kesehatan (IFLS) tahun 2014 yaitu sebuah survei data
Dasar 2018 proporsi status gizi sangat pendek panel yang dilakukan oleh SurveyMETER dan
sebesar 11,5% dan status gizi pendek sebesar 19,3% RAND Coorperation dengan desain cross sectional.
(Riskesdas 2018). Prevalensi stunting di Indonesia Responden penelitian adalah bayi usia 0-59 bulan
lebih tinggi daripada negara-negara di Asia Tenggara sebanyak 3.794 balita. Pengukuran antropometri
(WHO, 2016). menghasilkan z-score diolah menggunakan Zanthro
Stunting pada balita berdampak terhadap (Vidmar, 2004) menurut TB/U (tinggi badan per
tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, umur) pada software STATA 15.
menurunkan produktifitas dan kemudian Uji analisis yang digunakan adalah analisis
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan univariat, bivariat dan uji logistic regression (logit)
kemiskinan dan ketimpangan (TNP2K, 2018). dengan estimator Maximum Likelihood. Model Binary
Stunting dapat menghambat pertumbuhan Logit dipilih karena model dengan variable terikat
ekonomi dan produktivitas pasar kerja. Bukti yang berskala pengukuran nominal atau ordinal hanya
ditunjukkan diantaranya hilangnya 11% GDP dan terdiri dari dua kategori pilihan kualitatif (Junaidi
mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 2015). Uji asumsi logit digunakan untuk melihat
20%. Stunting juga memperburuk kesenjangan/ probabilitas variabel-variabel independen terhadap
inequality yang menyebabkan pengurangan 10% dari kejadian balita stunting dan melihat arah positif dan
total pendapatan seumur hidup dan menimbulkan negatif untuk menyatakan bahwa setiap perubahan
kemiskinan antar generasi (World Bank Group satu unit variabel independent akan menaikkan atau
2016) menurunkan kemungkinan kejadian balita stunting
Rendahnya pendidikan ibu yang berkaitan sebesar nilai koefisien masing-masing variabel
dengan pengetahuan tentang gizi bayi, sangat independen.
mempengaruhi kejadian balita stunting. Ibu dengan Spesifikasi model ekonometrik dan deskripsi data
tingkat pendidikan rendah berisiko 5,1 kali lebih yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
besar memiliki anak stunting (Atikah, 2014). Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6
Anak stunting lebih banyak terjadi pada anak yang
memiliki ibu dengan tingkat pendidikan di bawah 9 Keterangan:
tahun (Lestari, 2014). Meningkatnya jumlah wanita Y = Kejadian balita stunting
yang bekerja di luar rumah juga mempengaruhi β0 = Konstanta / intersep
jumlah kejadian balita stunting. Persentase gizi β1, β2, β3, β4, β5, β6 = Parameter
kurang lebih tinggi pada balita dari ibu yang bekerja X1 = Pendidikan ibu
sebagai petani/nelayan, buruh harian, dan pengrajin/ X2 = Jenis kelamin
TKI dibandingkan ibu yang tidak bekerja (Devi, X3 = Status Pekerjaan ibu
2010). X4 = Tempat tinggal
Beberapa faktor internal keluarga dan faktor X5 = Sanitasi
lingkungan juga ikut memberikan dampak pada X6 = Status ekonomi
balita stunting seperti jenis kelamin balita, tempat = Error term
tinggal, sarana sanitasi pembuangan kotoran manusia
i

dan status ekonomi. Pada sanitasi lingkungan, Hasil Penelitian


jenis jamban yang tidak layak (bukan leher angsa) Analisis Univariat
mempunyai kecenderungan untuk menderita Hasil analisis univariat menggambarkan sebaran
stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan baduta frekuensi dan persentase dari terjadinya balita
yang mempunyai jamban layak (Adiyanti, 2014). stunting dan sosiodemografi responden (Tabel
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui 1). Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah bayi usia
determinan faktor-faktor sosial ekonomi rumah 0-59 bulan yang mengalami stunting di Indonesia

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 69 Volume 3, Nomor2


Tabel 1. Distribusi Balita Stunting dan Sosiodemografi Responden di Indonesia
Frekuensi Persentase
Variabel Mean SD Min Max
(n) (%)
Variabel Dependen
Balita stunting 1.226 32,31 0,676 0,468 0 1
Balita tidak stunting 2.568 67,69
Variabel Independen
Pendidikan Ibu
Rendah (SD-SMP) 2.039 53,74 1,462 0,498 1 2
Tinggi (SMA-PT) 1.755 46,26
Jenis Kelamin Balita 0,485 0,499 0 1
Laki-laki 1.954 51,50
Perempuan 1.840 48,50
Status Pekerjaan 0,342 0,475 0 1
Tidak Bekerja 2.495 65,76
Bekerja 1.299 34,24
Tempat Tinggal 0,567 0,495 0 1
Kota 2.151 56,69
Desa 1.643 43,31
Sanitasi 0,743 0,437 0 1
Sarana BAB baik 2.822 74,38
Sarana BAB tidak baik 972 25,62
Status Ekonomi
     Kuintil 1 760 20,03 355.163,2 80.418,03 85.583,3 468.000,0
     Kuintil 2 758 19,98 559.008,5 54.274,94 468.010,4 652729.1
     Kuintil 3 759 20,01 758.888,9 58.608,26 653.050,0 861.812,5
     Kuintil 4 759 20,01 1.013.003,0 100.254,10 862.016,6 1.207.512,0
     Kuintil 5 758 19,98 1.911.905,0 972.832,60 1.207.708,0 1.700.000,0
Sumber: Indonesia Family Life Survey 2014

sebanyak 1.226 balita (32,31%) dari total mpuh pendidikan rendah (SD dan SMP) sebesar
responden 3.794 balita. Kelompok pendidikan yang 46,2%. Variabel jenis kelamin balita sebagai respon-
ditempuh ibu paling banyak terdapat pada kelompok den yaitu rata-rata sebesar 48,5% adalah bayi per-
pendidikan rendah (SD-SMP) yaitu sebanyak 2.039 empuan. Ibu dengan status bekerja yaitu sebesar
ibu (53,74%) dan jenis kelamin bayi yang menjadi 34,2%. Variabel tempat tinggal lebih dari setengah
responden paling banyak adalah balita laki-laki yaitu jumlah responden yaitu sebesar 56,7% responden
sebanyak 1.954 bayi (51,50%). tinggal di wilayah desa. Responden yang memili-
Status pekerjaan ibu yang paling banyak ada- ki sanitasi berupa sarana BAB yang baik jumlahn-
lah tidak bekerja yaitu 2.495 ibu (65,76%). Re- ya melebihi dari setengah jumlah responden yaitu
sponden lebih banyak bertempat tinggal di kota sebesar 74,3%. Responden dengan status ekonomi
yaitu 2.151 responden (56,69%). Sebagian be- di kuintil 1 memiliki rata-rata pengeluaran ru-
sar responden memiliki sarana sanitasi BAB mah tangga paling rendah sebesar Rp. 355.163,20
yang baik yaitu 2.822 responden (74,38%) dan per individu per bulan, sedangkan responden den-
memiliki status ekonomi yang berada di kuin- gan status ekonomi di kuintil 5 memiliki rata-ra-
til 1 yaitu sebanyak 760 responden (20,03%). ta pengeluaran rumah tangga paling tinggi yaitu
Pada tahun 2014 kejadian balita stunting di In- sebesar Rp. 1.911.905,00 per individu per bulan.
donesia yaitu sebesar 67,6%. Gambaran variabel Analisis Bivariat
independen diperoleh bahwa rata-rata ibu mene- Analisis bivariat menampilkan hubungan antara

Determinan Sosial Ekonomi Rumah Tangga dari Balita 70 Indrastuty & Pujiyanto
Tabel 2. Distribusi Kejadian Balita Stunting berdasarkan
Karakteristik Sosial Demografi
Balita Stunting
Total
Variabel Stunting Tidak Stunting P value
n % n % n %
Pendidikan Ibu
Rendah (SD-SMP) 718 35,21 1.321 64,79 0,195 2.039 100
Tinggi (SMA-PT) 508 28,95 1.247 71,05 1.755 100
Jenis Kelamin Balita
Laki-laki 652 33,47 1.302 66,63 0,265 1.954 100
Perempuan 574 31,20 1.266 68,80 1.840 100
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 838 33,59 1.657 66,41 0,059* 2.495 100
Bekerja 388 29,87 911 70,13 1.299 100
Tempat Tinggal
Kota 613 28,50 1.538 71,50 0,000* 2.151 100
Desa 613 37,31 1.030 62,69 1.643 100
Sanitasi
Sarana BAB baik 829 29,38 1.993 70,62 0,000* 2.822 100
Sarana BAB tidak baik 397 40,84 575 59,16 972 100
Status Ekonomi
     Kuintil 1 292 38,42 468 61,58 0,002* 760 100
     Kuintil 2 256 33,77 502 66,23 0,074* 758 100
     Kuintil 3 256 33,73 503 66,27 0,036* 759 100
     Kuintil 4 229 30,17 530 69,83 0,206 759 100
  Kuintil 5 193 25,46 565 74,54 - 758 100
* = bermakna signifikan secara statistik (p value < 0,1)

Tabel 3. Hasil Uji Asumsi Logit Variabel Balita Stunting terhadap Variabel Independen
Logit
Variabel
Koefisien SE Marginal Effect SE Odd Ratio
(Robust)
Pendidikan Ibu 0.097 0.075 0.021 0.016 1.10
Jenis Kelamin Balita 0.078 0.070 0.017 0.015 1.08
Status Pekerjaan 0.141* 0.075 0.030 0.016 1.15
Tempat Tinggal 0.281* 0.073 0.061 0.016 1.32
Sanitasi 0.358* 0.082 0.080 0.018 1.43
quintile_1 0.361* 0.120 0.081 0.027 1.43
quintile_2 0.210* 0.119 0.046 0.027 1.23
quintile_3 0.244* 0.117 0.054 0.026 1.27
quintile_4 0.147 0.115 0.032 0.025 1.15
Constant -1.349 0.168 -- --
Observation 3.794 -- -- --
R-Squared 0,017 -- -- --
Standard errors in parentheses
*** p<0,01, ** p<0,05, * p<0,1

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 71 Volume 3, Nomor2


satu variabel independen dengan satu variabel lebih tinggi berpeluang mengalami kejadian balita
dependen menggunakan Uji Kai Kuadrat (Chi stunting sebesar 35,8% dibandingkan rumah
Square). Tabel 2 menunjukkan ibu yang menempuh tangga dengan sanitasi sarana pembuangan
pendidikan rendah (SD dan SMP) lebih banyak kotoran manusia baik.
mengalami kejadian balita stunting yaitu 35,21% f. Individu dengan status ekonomi yang berada di
dibandingkan dengan ibu yang menempuh kuintil satu lebih tinggi berpeluang mengalami
pendidikan tinggi yaitu 28,95%. Balita dengan jenis kejadian balita stunting sebesar 36,1%
kelamin laki-laki lebih banyak mengalami kejadian dibandingkan individu dengan status ekonomi
balita stunting yaitu 33,47% dibandingkan dengan yang berada di kuintil lainnya.
balita dengan jenis kelamin perempuan yaitu 32,20%.
Status ibu yang tidak bekerja lebih banyak mengalami Pembahasan
kejadian balita stunting yaitu sebesar 33,59% Penelitian ini menunjukkan jumlah kejadian balita
pendidikan dengan ibu yang bekerja yaitu 29,87%. stunting di Indonesia menurut data survey IFLS
Balita yang mengalami kejadian stunting lebih tahun 2014 yaitu 32,44%, belum memenuhi target
banyak memiliki tempat tinggal di desa yaitu RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
sebanyak 37,31% dibandingkan dengan balita yang Nasional) yaitu penurunan prevalensi stunting dari
tinggal di kota yaitu sebesar 28,50%. Responden status awal 32,9% di tahun 2013 menjadi 28,0%
yang memiliki status ekonomi di kuintil satu pada tahun 2019 (Kemenkes 2015).
lebih banyak mengalami kejadian balita stunting Status Pekerjaan Ibu
yaitu 38,42% dibandingkan dengan responden Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh
yang memiliki status ekonomi di kuintil lainnya. yang signifikan antara status pekerjaan ibu dengan
Uji Asumsi Logit peluang terhadap kejadian balita stunting. Ibu
Dari hasil pengolahan data, didapatkan model yang tidak bekerja mempunyai peluang mengalami
analisis logit sebagai berikut: kejadian balita stunting 1,15 kali lebih tinggi
daripada ibu yang bekerja. Ibu yang tidak bekerja
P (stunting=1|X) = lebih banyak memiliki waktu dalam memberikan
-1.349 + 0.097 pendidikan ibu + 0,078 sex + 0,141 perhatian perihal kesehatan dan gizi balita di rumah.
status_kerja + 0,281 tmpt_tinggal+ 0,358 sanitasi Sedangkan ibu yang mempunyai pekerjaan tidak lagi
+ 0,361 quintile_1 + 0.210 quintile_2 + 0.244 dapat memberikan perhatian penuh terhadap anak
quintile_3 + 0.147 quintile_4 balitanya karena kesibukan dan beban kerja yang
ditanggungnya sehingga menyebabkan kurangnya
Hasil uji asumsi Logit dari persamaan diatas perhatian ibu dalam menyiapkan hidangan yang
menunjukkan bahwa: sesuai untuk balitanya (Suhardjo, 1989 dalam
a. Ibu dengan pendidikan rendah mempunyai (Anisa, 2012).
peluang memiliki balita stunting lebih tinggi Tempat Tinggal
9,7% dibandingkan ibu dengan pendidikan Tempat tinggal sebagai domisili balita mempunyai
tinggi. hubungan signifikan yang berpeluang terhadap
b. Balita dengan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi kejadian balita stunting. Keluarga yang memiliki
berpeluang mengalami kejadian balita stunting tempat tinggal di desa mempunyai peluang
sebesar 7,8% dibandingkan balita berjenis mengalami kejadian balita stunting 1,32 kali lebih
kelamin perempuan. tinggi daripada keluarga yang tinggal di kota.
c. Status ibu yang tidak bekerja lebih tinggi Akses untuk memperoleh fasilitas kesehatan seperti
berpeluang mengalami kejadian balita stunting puskesmas atau rumah sakit dan pengetahuan
sebesar 14,1% dibandingkan ibu yang bekerja. tentang gizi yang minim di wilayah desa termasuk
d. Keluarga dengan tempat tinggal di desa lebih salah satu faktor penyebab kejadian balita stunting.
tinggi berpeluang mengalami kejadian balita Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa
stunting sebesar 28,1% dibandingkan keluarga sampel yang tinggal di wilayah kota memiliki efek
yang bertempat tinggal di kota. protektif atau risiko lebih rendah 32 persen terhadap
e. Rumah tangga dengan sanitasi sarana stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di
pembuangan kotoran manusia yang tidak baik perdesaan (Rosha., et al 2012). Program pemerintah

Determinan Sosial Ekonomi Rumah Tangga dari Balita 72 Indrastuty & Pujiyanto
Fokus Cegah Stunting di 100 Kabupaten/Kota adanya hubungan dengan kejadian stunting (Wiyo-
mulai berjalan tahun 2018 dengan program PMT gowati, 2012). Pendapatan yang rendah akan meng-
(Pemberian Makanan Tambahan) di daerah yang hambat individu untuk mengkonsumsi nutrisi ber-
memiliki angka stunting tinggi. (Kemenkes, 2018). gizi (Hasibuan, et al, 2014). Hal tersebut juga sesuai
Keterjangkauan akses layanan kesehatan di daerah dengan pendapat Hardiansyah, 1985 yang menga-
pedesaan menjadi salah satu target intervensi takan bahwa dengan meningkatnya pendapatan be-
penanganan stunting yang menjadi tanggung jawab rarti memperbesar peluang untuk membeli pangan
Kementerian Kesehatan RI (Kemenkeu, 2018) dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Se-
Sanitasi baliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan
Sanitasi sarana pembuangan kotoran manusia mem- penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan
punyai hubungan signifikan yang mempengaruhi yang dibeli (Faradina. 2018). Apabila pendapatan
peluang terhadap kejadian balita stunting. Rumah meningkat, pola konsumsi akan lebih beragam seh-
tangga yang memiliki sanitasi sarana pembuangan ingga konsumsi pangan yang bernilai gizi tinggi juga
kotoran manusia yang tidak baik mempunyai pel- akan meningkat (Yudaningrum, 2011).
uang mengalami kejadian balita stunting 1,43 kali Pendidikan Ibu
lebih tinggi daripada rumah dengan sanitasi sarana Berdasarkan penelitian ini, pendidikan ibu tidak
pembuangan kotoran manusia yang baik. Hasil pene- signifikan terhadap peluang kejadian balita stunting
litian ini sesuai dengan studi yang yang menunjuk- karena p value 0,195 > 0,1. Ibu yang memiliki ting-
kan bahwa sanitasi lingkungan seperti jenis jamban kat pendidikan rendah tidak selalu memiliki balita
yang digunakan, sumber air terlindung dan sumber dengan masalah stunting yang lebih banyak daripa-
air mudah didapat mempunyai hubungan bermakna da ibu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi. Hal
dengan kejadian baduta stunting (Adiyanti, 2014). ini dikarenakan tingkat pendidikan ibu merupakan
Minimnya sarana sanitasi digambarkan dari ha- faktor tidak langsung yang mempengaruhi stunting
sil penelitian bahwa 1 dari 5 rumah tangga masih (Rukmana, et al 2016). Hal ini sejalan dengan pe-
BAB di ruang terbuka (Kemenkeu, 2018). Saat nelitian sebelumnya yang menunjukkan tidak ada
ini,pembinaan program STBM (Sanitasi Total Ber- hubungan antara pendidikan ibu dengan stunting
basis Masyarakat) yang merupakan pendekatan un- pada balita (Ni’mah., et al 2015). Penelitian lain-
tuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui nya juga menyatakan hal yang sama, bahwa tidak
pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan
terus digalakkan Kemenkes sebagai salah satu in- stunting pada balita (Anindita, 2012).
tervensi gizi spesifik penanganan masalah stunting Jenis Kelamin Balita
(Kemenkeu, 2018). Pendekatan tidak langsung atau Jenis kelamin balita juga menjadi variabel yang ti-
sensitif seperti penyediaan air bersih, fasilitas sanita- dak signifikan terhadap peluang tidak mengalami
si serta layanan kesehatan tercakup lewat Dana Desa kejadian balita stunting. Sebagian besar balita yang
(Kemendes, 2017) mengalami stunting memiliki jenis kelamin laki-laki
Status Ekonomi dengan p-value sebesar 0,265 > 0,1. Beberapa yang
Dalam penelitian ini status ekonomi responden pada menjadi penyebabnya adalah perkembangan motorik
posisi kuintil satu, kuintil dua dan kuintil tiga mem- kasar anak laki-laki lebih cepat dan beragam seh-
punyai hubungan signifikan yang mempengaruhi ingga membutuhkan energi lebih banyak. Hal ini se-
peluang terhadap kejadian balita stunting dengan jalan dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan
p-value sebesar 0,007 < 0,1. Individu yang berada di bahwa tidak ada hubungan antara umur dan jenis
kuintil satu mempunyai peluang mengalami kejadian kelamin dengan masalah stunting, meskipun propor-
balita stunting 1,43 kali lebih tinggi daripada indivi- si penderita stunting terbanyak pada balita laki-laki
du di kuintil lainnya. Hal ini sejalan dengan peneli- (Setyawati, 2018).
tian sebelumnya yang menunjukkan hubungan ber-
makna antara pendapatan keluarga dan pendidikan Kesimpulan dan Saran
ibu dengan kejadian stunting pada balita (Fikrina, et Berdasarkan hasil penelitian ini, variabel pendidikan
al, 2017). Selain itu sebuah penelitian menyatakan ibu, jenis kelamin balita, status pekerjaan, tempat
bahwa kejadian stunting yang tinggi terdapat pada tinggal dan sarana sanitasi memiliki hubungan yang
pendapatan rumah tangga rendah dan menunjukkan positif dan mempengaruhi kejadian balita stunting.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 73 Volume 3, Nomor2


Terdapat hubungan yang bermakna (signifikan) yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Pangan
pada variabel status pekerjaan ibu, tempat tinggal, Rumah Tangga (Studi Kasus : Desa Karang Gading,
sanitasi dan status ekonomi dengan kejadian bali- Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat). TAL-
ta stunting. Dari hasil penelitian ini, penulis men- ENTA Conference Series. 1(1): 284-295.
yarankan perlu adanya strategi pemerintah yang Fikrina., et al. 2017. Hubungan Tingkat Sosial
tepat dan cepat dalam upaya menurunkan angka Ekonomi dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia
kejadian balita stunting di Indonesia. Intervensi gizi 24-59 Bulan Di Desa Karangrejek Wonosari Gunung
spesifik yang ditujukan kepada ibu hamil dan anak Kidul. Universitas Aisyiyah Yogyakarta.
dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) perlu Junaidi. 2015. Model Regresi Binary Logit (Aplikasi
digiatkan dan disosialisasikan secara menyeluruh ke Model dengan Program SPSS. Diakses pada: Oc-
daerah perkotaan dan pelosok Indonesia. Intervensi tober 2018. <https://www.researchgate.net/publica-
gizi sensitif melalui kegiatan pembangunan di luar tion/278093773_Model_Regresi_Binary_Logit_Ap-
bidang kesehatan termasuk didalamnya pembangu- likasi_Model_dengan_Program_SPSS>.
nan ekonomi masyarakat dengan target masyarakat Kemendes. 2017. Buku Saku Desa dalam Penanganan
umum masih sangat perlu ditingkatkan. Stunting. Jakarta: Kemendes.
Kemenkes. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kes-
Daftar Pustaka ehatan Tahun 2015-2019. Jakarta: Kemenkes RI.
Adiyanti, Maya. 2014. Pola Asuh Gizi, Sanitasi Kemenkes RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan No
Lingkungan, dan Pemanfaatan Posyandu dengan Ke- 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antro-
jasian Stunting pada Baduta di Indonesia (Analisis pometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Ke-
Data Riskesdas Tahun 2010). Depok: Universitas menkes RI.
Indonesia. Kemenkes. 2018. Pemerintah Fokus Cegah Stunting
Anindita. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, di 100 Kabupaten/Kota. Diakses pada: April 7.
Pendapatan Keluarga, Kecukupan Protein dan Zink September 2018. <http://www.depkes.go.id/ar-
dengan Stunting Balita Usia 6-35 Bulan di Keca- ticle/view/18040700003/pemerintah-fokus-ce-
matan Tembalang, Kota Semarang. Jurnal Kesehatan gah-stunting-di-100-kabupaten-kota.html>
Masyarakat Universitas Diponogoro. 1(2): 617- Kemenkeu. 2018. Penanganan Stunting Terpadu tahun
626 2018. Jakarta: Direktur Anggaran Bidang Pemba-
Anisa, Paramitha. 2012. Faktor yang Berhubungan ngunan Manusia dan Kebudayaan.
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita usia 25-60 Hasibuan, L. S., et al. 2014. Analisis Pola Pengeluaran
Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok tahun 2012. Rumah tangga Miskin di Kabupaten Simalungun.
Skripsi 85. Depok: Universitas Indonesia Jurnal Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan.
Atikah, Rahayu, .et al. 2014. “Risiko Pendidikan Ibu 16(1): 38-55.
Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak 6-23 Bu- M. Gibney, M. Barrie, John, Leonore. 2008. Gizi
lan.” Penel Gizi Makan 129-136. Kesehatan Masyarakat. EGC 217.
Bintarto. 1983. Interaksi Desa - Kota. Jakarta: Ghalia. Monteiro., et al. 2010. Narrowing Sosioeconomic In-
Devi, Mazarina. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang equality in Child Stunting. Bull World Health Organ
Berpengaruh Terhadap Status Gizi Balita di Pedes- 305-311.
aan. Teknologi dan Kejuruan. 33(2): 183-192. Ni’mah, Cholifatun., et al. 2015. Hubungan Tingkat
Diana, Fivi Melva. 2006. Hubungan Pola Asuh dengan Pendidikan, Tingkat Pengetahuan dan Pola Asuh Ibu
Status Gizi Anak Batita di Kecamatan Kuranji Kelu- dengan Wasting dan Stunting Pada Balita Keluarga
rahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2004. Miskin. Media Gizi Indonesia. 10(1): 84-90.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. 1(1): 19-23. Ramli., et al. 2009. Prevalence and Risk Factors for
Ernawati, Aeda. 2003. Hubungan Faktor Sosial Stunting and Severe Stunting Among Under-Fives in
Ekonomi, Higiene Sanitasi Lingkungan, Tingkat Kon- North Maluku Province of Indonesia. BMC Pediat-
sumsi dan Interaksi dengan Status Gizi Anak Usia rics. 9(1): 64.
2-5 tahun di Kabupaten Semarang. Tesis. Semarang: Republik Indonesia. 1992. Undang Undang Kesehatan
Universitas Diponegoro. No. 23 tahun 1992 pasal 22. Jakarta: Kemenkes RI.
Faradina, Rizka., et al. 2018. Analisis Faktor-Faktor Riskesdas. 2018. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes.

Determinan Sosial Ekonomi Rumah Tangga dari Balita 74 Indrastuty & Pujiyanto
Riskesdas. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Vidmar, Suzana., et al. 2004. Standardizing anthropo-
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. metric measures in children and adolescents with new
Rosha., et al. 2012. Analisis Determinan Stunting Anak functions for egen. The Stata Journal. 4(1): 50-55.
0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Lestari, W., et al. 2014. Faktor risiko stunting pada
Jawa Timur. Penel Gizi Makan. 34-41. anak umur 6-24 bulan di kecamatan Penanggalan
Rukmana, Erni et al. 2016. Faktor Resiko Stunting kota Subulussalam provinsi Aceh. Jurnal Gizi Indo-
Pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kota Bogor. JURNAL nesia. 3(1): 37-45.
MKMI. 12(3): 192-199. WHO. 2012. Annual Report. Diakses pada: Septem-
Sandjaja. 2008. Kajian Perbedaan Prevalensi Balika ber 2018 <https://corporate.target.com/_media/
Kurus dan Pendek Menurut Standar WHO 2005 TargetCorp/annualreports/content/download/
dibanding NCHS: Analisis Data SKRT 2004. Gizi pdf/Annual-Report.pdf?ext=.pdf>
Indon 31(1):9-22. Wiyogowati, Citaningrum. 2012. Kejadian Stunting
Setyawati, V.A.V. 2018. Kajian Stunting Berdasarkan pada Anak Berumur Dibawah Lima Tahun (0-59
Umur dan Jenis Kelamin di Kota Semarang. Univer- bulan) Di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 (Anali-
sity Research Colloqium 837. sis Data RISKESDAS 2010). Kesehatan Masyarakat.
TNP2K. 2018. Gerakan Nasional Pencegahan Stunt- World Bank Group. 2016. World Bank investing in
ing dan Kerjasama Kemitraan Multi Sektor . Jakarta: Early Years Brief. Washington DC: World Bank.
Sekretariat Wapres RI. Yudaningrum, Agnes. 2011. Analisis Hubungan Pro-
UNICEF. 2012. Malnutrition in Number. UNICEF porsi Pengeluaran dan Konsumsi Pangan Dengan
Annual Report. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Kabu-
UNSCN. 2004. Fifth Report on The World Nutrition paten Kulon Progo. Surakarta: Fakultas Pertanian.
Situation. SCN. Universitas Sebelas Maret.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 75 Volume 3, Nomor2

Anda mungkin juga menyukai