SGD 8 LBM 3
EMERGENCY
ANGGOTA KELOMPOK:
SEMARANG
2020
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN TUTORIAL
SGD 8 LBM 3
“EMERGENCY”
i
drg. M. Husnun Ni’am Amd. Kom
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................................1
B. Skenario.................................................................................................................................1
C. Rumusan Masalah..................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................3
A. Landasan Teori......................................................................................................................3
2.1 Klasifikasi tipe-tipe hipersensitivitas...............................................................................3
2.2 Konsep dasar shock anafilaktik.......................................................................................9
2.3 Penyebab shock anafilaktik...........................................................................................10
2.4 Hubungan spina bifida dengan shock anafilaktik...........................................................10
2.5 Hubungan alergi aspirin dan debu dengan shock anafilaktik.........................................11
2.6 Resiko shock anafilaktik dalam kedokteran gigi............................................................11
2.7 Penatalaksanaan shock anafilaktik dalam kedokteran gigi.............................................11
2.8 Pemeriksaan yang dilakukan dalam penanganan kegawatdaruratan..............................12
2.9 Tanda dan gejala gangguan sirkulasi kegawatdaruratan medik......................................14
2.10 Kegawatdaruratan kedokteran gigi selain shock anafilaktik........................................14
B. Peta Konsep.........................................................................................................................15
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Phlegmon atau ludwig’s angina adalah infeksi yang terjadi pada regio wajah yang
melibatkan spasium submandibula bilateral, sublingual, dan submentale. Infeksi merupakan
suatu peristiwa masuk dan berkembangnya organisme mikro di dalam tubuh yang kemudian
akan menimbulkan reaksi inflamasi. Infeksi terjadi akibat terganggunya keseimbangan antara
tuan rumah, organisme mikro dan lingkunganInfeksi ini dapat menyebabkan kematian oleh
karena terjadinya sumbatan jalan napas. Ludwig’s angina yang diakibatkan sebagai akibat
penyebaran infeksi dari gigi rahang bawah kanan sehingga menyebabkan pasien tersebut sulit
membuka mulut dan sulit bernafas. (Kawulusan Netty N, 2018)
Angka kejadian phlegmon sekitar 13% dari seluruh infeksi leher dalam. Walaupun
jarang terjadi namun penyakit ini dapat mengancam jiwa. Phlegmon dasar mulut merupakan
selulitis supuratif difus akut yang menyebar terutama pada jaringan ikat longgar. Phlegmon
dasar mulut secara epidemiologi 90% kasus disebabkan dari infeksi akut gigi molar rahang
bawah yang menyebar (infeksi odontogenik).Dahulu sebelum berkembangnya sebelum
berkembangnya antibiotik, penyakit ini sering menyebabkan kematian pada lebih dari 50% ka
pada lebih dari 50% kasus. Dengan berkembangnya teknik bedah dan terapi teknik bedah
antibiotik saat ini terbukti menurunkan angka saat ini terbukti menurunkan angka kematian
dari penyakit ini yakni yakni sekitar 10 % dari kasus. (Aditya and Janar Wulan, 2015)
Penatalaksaan Phlegmon memerlukan tiga fokus utama, yaitu menjaga jalan napas
agar tetap terbuka dan bebas sumbatan, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk
mengobati dan membatasi penyebaran infeksi dan insisi dan drainase. Adapun komplikasi
yang dapat terjadi seperti sepsis, obstruksi jalan napas yang berat dan mediastinitis. Prognosis
phlegmon tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi
infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. (Troeltzsch et al., 2015)
1
B. Skenario
Seorang laki-laki berumur 56 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan utama
pembengkakan pada bagian bawah wajah disertai dengan kesulitan membuka mulut.
Anamnesis pasien memiliki riwayat sakit gigi belakang bawah dan demam sekitar 9 hari
sebelumnya, diikuti pembengkakan di pipi kiri dan kanan, leher dan sukar membuka mulut.
Hasil pemeriksaan fisik diperoleh tensi 130/80 mmHg, nadi 108x/menit, temperatur 38,0oC,
respirasi 30x/menit. Pemeriksaan ekstra oral wajah asimetris, limfonodi tidak teraba, sklera
non ikterik, dan konjungtiva nonanemis. Oedem pada submandibula kiri dan kanan,
submental, konsistensi lunak, berfluktuasi, warna lebih merah dari pada jaringan sekitar,
nyeri tekan, dan terasa hangat. Hasil pemeriksaan intraoral tampak dasar mulut terangkat
sehingga lidah terangkat ke atas. Tampak gigi 34,35,36,46 gangren radiks. Hasil pemeriksaan
darah tampak leukositosis, GDS 256. Dokter gigi menduga adanya penyebaran infeksi dari
gigi yang berlubang dan segera melakukan penatalaksanaan.
C. Rumusan Masalah
2
9. Bagaimana prognosis dari perawatan kasus pada skenario ?
10. Apa saja diagnosis banding dari phlegmon ?
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Etiologi dari Phlegmon
1. 90% kasus terjadi karena infeksi odontogenik. Dan 50-60% terjadi karena gigi
molar 2 dan molar 3.
2. 50% terjadi perkembangan mikroorganisme atau bakteri
3. Fraktur pada mandibula
4. Laserasi jaringan lunak
5. Infeksi faringeal
6. Osteomylitis
7. Sialadenitis
8. Abses peritonsilar
9. Trauma
10. Infeksi saluran pernafasan anas
11. Epiglositis
(Simion and Dumitru, 2018)
12. Etiologi terbanyak diakibatkan oleh kuman Stroptococcus sp. Mikroorganisme
lainnya adalah anaerob gram negatif seperti Prevotella, Porphyromona, dan
Fusobacterium. Infeksi odontogenik umumnya merupakan infeksi campuran dari
berbagai macam bakteri, baik bakteri aerob maupun anaerob. Infeksi campuran
terjadi pada 50% kasus
13. Selain sebab odontogenik, infeksi dapat terjadi akibat dari penyuntikan dengan
jarum yang tidak steril, serta infeksi sekunder dari keganasan rongga mulut.
(Aditya and Janar Wulan, 2015)
4
d. Glo- merulonephritis
e. Immunodiagnosis (Simion and Dumitru, 2018)
f. HIV
g. SLE
h. Alkoholisme
i. Defisiensi gama globulin
j. Pengobatan dengan imunosupresan (Aditya and Janar Wulan, 2015)
Infeksi gigi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi
yang sudah mendekati ruang pulpa pulpitis kematian pulpa gigi atau nekrosis
pulpa adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri dapat masuk ke ruang pulpa
sampai apeks gigi foramen apikalis dentis pada pulpa tidak dapat mendrainase
pulpa yang terinfeksi proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau
jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis penjalaran infeksi
odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat menyebabkan abses abses ini dapat
dibagi menjadi dua yaitu penjalaran yang tidak berat sehingga akan memberikan
prognosis yang baik dan penjalaran yang berat yang akan memberikan prognosis yang
tidak baik adapun yang termasuk penjalaran tidak berat adalah serous periostitis,
abses subperiosteal, abses submukosa, abses subgingiva, dan abses subpalatal,
sedangkan yang termasuk penjalaran yang berat antara lain abses perimandibular,
osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut. (Green, Flower and New, 2001; Hutomo,
2018)
Dalam kondisi penyebaran infeksi tergantung pada sistem imun tubuh, dan dalam hal
ini diabetes sebagai faktor presdiposisi berperan dalam mempercepat penyebaran
infeksi supuratif dan meluas. (Aditya and Janar Wulan, 2015)
5
3. Kesulitan bernafas
4. Sakit kepala
5. Nyeri menelan
6. Kesulitan dalam artikulasi
7. Trismus
- Ekstra Oral
1. Edema pada tahap awal terasa lunak saat palpasi dan tidak berbatas jelas atau difus
2. Pada tahap lanjut edema terasa keras seperti papan dan berujung pada supurasi
3. Warna kulit kemerahan
4. Ada pembengkakan pada leher dan kedua sisi mandibula
- Intra Oral
1. Pembengkakan
2. Dapat dijumpai ; gigi gangren atau nekrose pulpa, gigi impaksi
3. Lidah terangkat atau peninggian lidah
4. Adanya hambatan jalan napas
5. Nyeri menelan
6. Hipersalivasi
7. Kesulitan dalam artikulasi
8. Trismus
9. Disfonia adalah gangguan suara pada organ fonasi, misalnya Hot Potato Voice
yang terjadi karena adanya abses peritonsilar
(Soepardi and Iskandar, 2008)
7
mengetahui adanya pembengkakan pada leher dan adanya penyempitan pada
saluran nafas
- MRI (magnetic resones imaging). MRI mempunyai resolusi lebih baik untuk
melihat jaringan lunak dari tubuh tetapi kekurangan tetapi mempunyai efek
samping jangka waktu panjang dapat membahayakan pasien bila mengalami
gangguan pernafasan
- Sonografi untuk melihat identifikasi koleksi cairan dalam jaringan lunak.
- Contrass and Enhance Ultrasond (CEUS) mendiagnosis dan membedakan
phlegmon intraabdominal dan abses
Penatalaksaan Phlegmon
8
Pemberian antibiotik yang kuat (clindamisin, penisilin, sefalosporin dan lain
laim)
Pemberian penisilin dosis tinggi direkomendasikan secara intravena karena
infeksi campuran dari bakteri aerob dan anaerob. Antibiotik yang biasa
digunakan adalah, benzyl penisilin sebanyak 1 juta unit, procaine penicilline
sebanyak 600 ribu unit setiap 12 jam, tetrasiklin sebanyak 250-500 mg;
antibiotik tersebut diberikan sampai diperoleh hasil kultur bakteri. Kemudian
diberi antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur bakteri di laboratorium.
Pemberian antibiotik dapat mempersingkat penjalaran infeksi dan memberikan
proteksi kepada penderita yang mengalami tindakan ekstraksi serta
mengurangi risiko komplikasi. Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai tanda-
tanda infeksi hilang. (Kawulusan Netty N, 2018)
3. Insisi dan drainase pada abses
Indikasi drainase adalah infeksi supuratif dan adanya udara pada jaringan
lunak saat dilihat dari radiografi. Insisi dilakukan didaerah garis tengah os.
hyoid secara horizontal. Insisi dilakukan secara paralel. Pasien juga harus
dirawat inap sampai infeksi mereda Bertujuan untuk membuat jalan keluar
bagi akumulasi plak dan bakteri yang ada di jaringan tersebut dan mengurangi
ketegangan didaerah yang membengkak. (Bortnik et al., 2016)
Prognosis Phlegmon
Prognosis dari phlegmon dapat ditentukan tergantung pada :
a. Kecepatan proteksi jalan nafas pada pasien.
Prognosis dapat dikatakan berhasil jika diawali dengan diagnosis dini, berupa
perlindungan jalan nafas dan pemberian antibiotik intravena yang adekuat
sehingga tidak menyebabkan komplikasi. Namun dapat dikatakan prognosis buruk
jika pada saat insisi dan drainase terdapat area yang terinfeksi sehingga
memerlukan perawatan intubasi dan trakeostomi.
b. Imun tubuh pasien
Imun tubuh pasien berpengaruh pada prognosis, apabila imun tubuh baik,
perawatan dan diagnosis sejak dini secara tepat oleh dokter yang menangani dan
bisa menekan infeksi kemudian dilakukan perawatan intensif. Buruk apabila
perawatan buruk.
c. Antibiotik yang diberikan. Pre-antibiotik kematian 50% setelah antibiotik
mortalitas 10% dan kepatuhan terhadap penggunaan antibiotik mortalitas 0-10%
yang tidak patuh diatas 50% untuk mortalitas. (Simion and Dumitru, 2018)
d. Keseluruhan tindakan yang kita lakukan tidak hanya berfokus pada airway saja
atau berfokus pada antiobiotik tetapi secara komprehensif. Contoh hanya fokus ke
antibiotik saja untuk eliminasi atau eradikasi bakteri padahal sudah terjadi
supurasi di submandibula sehingga prognosis juga tidak baik. Ada sekitar 45-
65% memerlukan insisi dan drainase dan dibantu antibiotik untuk hasil
pengobatan yang maksimal, dan sekitar 35% memerlukan intubasi dan
11
trakesostomi. Bila penanganan dilakukan dengan cepat dan dibantu penanganan
jalan napas, insisi, drainase dan antibiotik akan memberikan hasil yang maksimal
bahkan tidak menimbulkan komplikasi. (Kawulusan Netty N, 2018)
12
B. Peta Konsep
Gangren radiks
Faktor predisposisi
Phlegmon
Penatalaksanaan
Komplikasi
Perawatan pasca
bedah
13
BAB III
KESIMPULAN
Phlegmon merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat (selulitis) pada area di
bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana
infeksi bakteri berasal dari gigi. Phlegmon atau Angina Ludwig berawal dari infeksi
odontogenik, khususnya dari molar dua (M2) atau molar tiga (M3) bawah. Penatalaksaan
Phlegmon memerlukan tiga fokus utama, yaitu menjaga jalan napas agar tetap terbuka dan
bebas sumbatan, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan
membatasi penyebaran infeksi dan insisi dan drainase. Adapun komplikasi yang dapat terjadi
seperti sepsis, obstruksi jalan napas yang berat dan mediastinitis. Prognosis phlegmon
tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi
dengan antibiotik, serta pengurangan radang
14
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, M. and Janar Wulan, A. (2015) ‘Phlegmon Dasar Mulut Odontogenik : Laporan
Kasus Odontogenic Mouth Floor Phlegmon : Case report’, JuKe Unila, 5(9), pp. 76–80.
Available at: http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=328290&val=5503&title=Phlegmon Dasar Mulut Odontogenik: Laporan Kasus.
Alimin, N. H. and Syamsuddin, E. (2017) ‘Emergency management of Ludwig’s angina: a
case report’, Journal of Dentomaxillofacial Science, 2(3), p. 201. doi:
10.15562/jdmfs.v2i3.517.
Azim, S. and Yi, J. (2010) ‘Submandibular abscess’, Core Clinical Competencies in
Anesthesiology: A Case-Based Approach, 1(2), pp. 147–152. doi:
10.1017/CBO9780511730092.033.
15
Bortnik, P. et al. (2016) ‘Odontogenic phlegmon of the mouth floor: a case report’, Progress
in Health Sciences, 6(2), pp. 0–0. doi: 10.5604/01.3001.0009.5166.
Green, A. W., Flower, E. A. and New, N. E. (2001) ‘Mortality associated with odontogenic
infection!’, British Dental Journal, 190(10), pp. 529–530. doi: 10.1038/sj.bdj.4801024a.
Hutomo, L. C. (2018) Infeksi Odontogen Submandibular dengan Komplikasi Perluasan Ke
Temporal.
Kawulusan Netty N, M. I. R. (2018) ‘Penatalaksanaan infeksi rongga mulut : Ludwig ’ s
angina ( Laporan Kasus ) Management of oral cavity infection : Ludwig ’ s angina ( case
report )’, Makassar Dent J, 7(1), pp. 30–34. Available at:
http://pdgimakassar.org/jurnal/index.php/MDJ/article/view/13/12.
Simion, L. and Dumitru, S. (2018) ‘Phlegmon of the oral floor. Contradictions in diagnosis
and treatment’, Phlegmon of the oral floor. Contradictions in diagnosis and treatment, 61(1).
doi: 10.5281/zenodo.1186176.
Soepardi, A. and Iskandar, M. (2008) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher.
Troeltzsch, Markus et al. (2015) ‘A review of pathogenesis, diagnosis, treatment options, and
differential diagnosis of odontogenic infections: A rather mundane pathology?’,
Quintessence International, 46(4), pp. 351–361. doi: 10.3290/j.qi.a33448.
16