Anda di halaman 1dari 24

Makassar, 13 Oktober 2018

MAKALAH
PROBLEM BASED LEARNING (PBL)
MODUL I

“NYERI DAN MEMBESAR”

KELOMPOK 2
1. BESSE KHUSNUL AYULISA J111 16 016
2. TENRI SAU J111 16 017
3. DEBY VERONIKA DJAMAL J111 16 018
4. ERNIA KHARISMAWATI J111 16 019
5. PRISCILIA YOVIANI SOLE J111 16 020
6. ANDI YAYANG ADHA APRILIA M. J111 16 021
7. NINDA CAHYANI J111 16 022
8. MUH. AULIA RAMADHAN J111 16 023
9. SITTI NURUL WALYMA AL BASHIR J111 16 024
10. WULAN FURY LENGGANY J111 16 025
11. PUTRI MUJAHIDAH J111 16 026
12. AINUN HABI MATTOREANG J111 16 027
13. ANNISA RAMADHANI A J111 16 028
14. BAU MILA TUNNIZHA J111 16 029
15. ANANDA NURUL FADHILAH J111 16 030

BLOK OROMAKSILOFASIAL 2
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahiwabarakatuh.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya kepada kami sehingga kami masih diberi kesempatan
untuk menyelesaikan penyusunan makalah kelompok dengan mata kuliah Blok
Oromaksilofasial 2 modul pertama yang berjudul “Nyeri dan membesar”.
Kami berharap agar makalah ini dapat menjadi penuntun atau pedoman
dan dapat berguna bagi pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini belum
sempurna sehingga kami sangat mengharapkan saran, tanggapan dan kritik
membangun dari para pembaca agar pada pembuatan makalah selanjutnya dapat
lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh

Makassar, 13 Oktober 2018

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................4
1.2 Skenario.......................................................................................................4
1.3 Rumusan Masalah........................................................................................6
1.4 Tujuan Pembelajaran...................................................................................6

BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................6
2.1 Pengertian infeksi dan abses........................................................................7
2.2 Macam-macam infeksi odontogenik............................................................8
2.3 Pemeriksaan...............................................................................................13
2.4 Diagnosa kasus..........................................................................................14
2.5 Diagnosa banding......................................................................................14
2.6 Patomekanisme..........................................................................................15
2.7 Indikasi dan kontraindikasi perawatan......................................................17
2.8 Armamentarium dan prosedur perawatan..................................................18
2.9 Pemilihan antibiotik dan antibiotik sesuai kasus.......................................19
2.10 Penyebab rasa nyeri meski telah minum obat............................................20
2.11 Evaluasi perawatan....................................................................................20

2.12 Prognosis....................................................................................................21

2.13 Dampak bila tidak dirawat.........................................................................21

BAB 3 PENUTUP.................................................................................................22
3.1 Kesimpulan................................................................................................22
3.2 Saran..........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia biasanya hidup berdampingan secara mutualistik dengan
mikrobiota rongga mulut. Gigi dan mukosa yang utuh merupakan pertahanan
pertama yang hampir tidak tertembus apabila sistem kekebalan hospes dan
pertahanan selular berfungsi dengan baik. Apabila sifat mikroflora berubah, baik
kualitas maupun kuantitasnya, apabila mukosa mulut dan pulpa terpenetrasi, atau
apabila sistem kekebalan dan pertahanan selular terganggu maka infeksi dapat
terjadi.
Ada banyak manusia yang mengalami infeksi, seperti infeksi akut yang
menyebabkan abses. Abses adalah pengumpulan nanah secara lokal dalam suatu
kavitas yang terjadi karena hancurnya suatu jaringan biasanya disebabkan oleh
kuman-kuman piogenik. Pada umumnya abses tersebut disebabkan oleh infeksi pada
jaringan sekitar dan infeksi dapat juga berasal dari gigi. Seperti yang kita ketahui
juga ada banyak manusia yang terkena abses oromaksilofasial yang disebabkan oleh
infeksi odontogenik seperti abses periapikal, abses perikoronal dan abses
periodontal. Infeksi dapat bersifat akut atau kronis. Suatu kondisi dikatakan akut
biasanya disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan
manifestasi sistemik yaitu malaise dan demam berkepanjangan. Bentuk kronis bisa
berkembang dari penyembuhan sebagian keadaan akut, serangan yang lemah atau
pertahanan yang kuat. Infeksi kronis sering ditandai dengan ketidaknyamana dalam
berbagai tingkatan dan bukannya rasa sakit, serta reaksi ringan dari jaringan
sekitarnya misalnya edema, kemerahan, rasa sakit tekan, nanah dan drainase dengan
pembentukan fistula, kematian jaringan, nekrosis, dan manifestasi sistemik episodik
yaitu demam ringan, alergi dan lemah badan.
Infeksi odontogenik adalah salah satu infeksi yang paling umum terjadi
dari rongga mulut. Dapat disebabkan oleh karies gigi. Dalam semua kasus infeksi
tersebut berasal dari mikroba mulut. Tergantung pada jenis, jumlah dan virulensi
dari mikroorganisme yang dapat menyebar ke jaringan lunak, keras dan sekitarnya.
Infeksi odontogenik selalu berasal dari berbagai macam mikroba seperti bakteri
aerob dan anaerob fakultatif. Infeksi odontogenik biasanya juga penyebab paling
4
sering terjadi dari kondisi peradangan di wilayah servikofasial. Penyebaran infeksi
odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses dentoalveolar, tahap yang
menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi.
Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka
ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang dapat melalui foramen apikal atau
marginal gingival. Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari
kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di
daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang
ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi
membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan
periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif
atau abses dentoalveolar.
Reaksi infeksi biasanya didapatkan dari reaksi inflamasi lokal ditandai
dengan peningkatan aliran darah awal ke lokasi cedera, meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah, dan akumulasi selektif sel efektor yang berbeda dari darah perifer
ke daerah luka. Cedera sel dapat terjadi karena trauma, kerusakan genetik, agen fisik
dan kimia, nekrosis jaringan, agen tubuh asing, reaksi imun dan infeksi. Sehingga
inflamasi dapat cepat diperluas dari periodontum kepala dan leher tertentu dan dapat
menyebar lebih jauh, melintasi membran fasia yang memisahkan mereka. Jika tidak
diobati, mereka umumnya menyebar ke ruang fasia yang saling berdekatan misalnya
masseter, sublingual, submandibula, temporal, bukal, kaninus dan parapharyngea l
dan dapat menyebabkan komplikasi tambahan. Inflamasi dapat membesar dari kedua
submaxillary dan ruang sublingual (Ludwig angina) adalah salah satu komplikasi
lebih berbahaya yang dapat menyebabkan saluran udara obstruksi akut yang
memerlukan trakeostomi. Pengobatan infeksi odontogenik melibatkan terapi medis,
bedah, atau kombinasinya. Infeksi asal gigi memerlukan pengobatan definitif jika
sumber infeksinya dari gigi yang terkena maka harus dihilangkan. Setelah gigi telah
diidentifikasi, menghilangkan endodontik pulpa yang terinfeksi, skeling periodontal
dalam, atau ekstraksi harus dilakukan.

1.2 Skenario
Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke rumah sakit gigi mulut unhas
dengan keluhan utama bengkak pada pipi kiri bawah disertai rasanya nyeri.
Pembengkakan dirasakan sejak 3 hari yang lalu sebelumnya ditemukan gigi berlubang
5
dan sakit, pipi mengkilap dan keras. Saat ini keluhan disertai dengan demam dan
nyeri pada pipi serta terasa adanya cairan apabila ditekan. Sebelumnya pasien sudah
minum obat tapi tidak sembuh.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian infeksi dan abses?
2. Jelaskan macam-macam infeksi odontogenik!
3. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan pada kasus?
4. Apa diagnosis besrta tanda dan gejala klinis?
5. Apa diagmosis banding kasus?
6. Bagaimana patomekanisme pada kasus?
7. Apa indikasi dan kontraindikasi pada perawatan?
8. Apa saja armamentarium dan prosedur perawatan pada kasus ?
9. Bagaimana tahap pemilihan antibiotik dan jenis antibiotik yangs esuai pada kasus?
10 Mengapa pasien masih merasa nyeri walau sudah minum obat?
11. Bagaimana evaluasi perawatan pada kasus?
12. Bagaimana prognosis pada kasus?
13. Apa dampak jika tidak dilakukan perawatan?

1.4 Tujuan
1. Mengetahui pengertian infeksi dan abses
2. Mengetahui macam-macam infeksi odontogenik
3. Mengetahui pemeriksaan yang dilakukan pada kasus
4. Mengetahui diagnosis besrta tanda dan gejala klinis
5. Mengetahui diagmosis banding kasus
6. Mengetahui patomekanisme pada kasus
7. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pada perawatan
8. Mengetahui armamentarium dan prosedur perawatan pada kasus
9. Mengetahui tahap pemilihan antibiotik dan jenis antibiotik yangs esuai pada kasus
10 Mengetahui pasien masih merasa nyeri walau sudah minum obat
11. Mengetahui evaluasi perawatan pada kasus
12. Mengatahui prognosis pada kasus
13. Mengetahui dampak jika tidak dilakukan perawatan

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian infeksi dan abses


Infeksi merupakan pertumbuhan dan pembelahan organisme parasit, paling
sering disebabkan oleh mikroorganisme termasuk bakteri, jamur, dan virus di dalam
tubuh.1
Mikroorganisme yang menjadi flora normal rongga mulut dapat berubah
menjadi bakteri patogen dan menyebabkan infeksi di regio oromaksilofacial.
Perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor kondisi pasien, lingkungan di daerah
rongga mulut dan akumulasi bakteri. Mayoritas infeksi pada daerah oromaksilofasial
merupakan kombinasi dari mikroorganisme aerob dan anaerob. Infeksi pada rongga
mulut terjadi karena karena masuknya mikroorganisme akibat jejas. Jejas adalah
cedera, luka, atau kerusakan jaringan yang disebabkan oleh faktor lain, seperti
trauma, mikroorganisme radiasi kimiawi, reaksi patologik, reaksi imunologik, dan
sebagainya. Kemampuan mikroorganisme sebagai agen penyebab infeksi dipengaruhi
oleh kualitas dan kuantitasnya dalam proses perusakan host. Semakin besar kuantitas
atau jumlah mikroorganisme berarti semakin tinggi kemampuan virulensinya.
Kualitas mikroorganisme berarti daya invasi atau kekuatan toksin yang dihasilkannya
dalam perusakan host. Infeksi dapat berkembang ke dalam tubuh manusia apabila
terdapat penurunan sistem kekebalan tubuh atau turunnya resistensi host. Penurunan
tersebut disebabkan faktor kekebalan yang dirusak oleh penyakit lain atau karena
terapi obat – obatan seperti antibiotik dan imunosupresan dalam jangka waktu yang
lama.2
Infeksi dan inflamasi merupakan dua hal yang berbeda. Inflamasi tidak selalu
disertai dengan infeksi, namun infeksi selalu diawali dengan inflamasi.
Mikroorganisme flora normal rongga mulut dapat berubah menjadi patogen pada saat
menginvasi jaringan. Pada kondisi infeksi, tanda – tanda inflamasi akan muncul
mikroorganisme masuk ke dalam tubuh host pada daerah jejas. Metabolisme dari
mikroorganisme tersebut akan memperparah proses infeksi, sedangkan inflamasi
sendiri tidak selalu diikuti dengan masuknya mikroorganisme. Hal tersebut terjadi,
apabila jejas tidak menimbulkan luka, beberapa kasus inflamasi dapat terjadi dalam

7
kondisi steril atau bersih dari mikroorganisme, misalnya lebam pada pipi karena
benturan yang tidak ada luka terbuka.2
Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam suatu kantung yang terbentuk
dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri, parasit, atau
benda asing lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan tubuh yang bertujuan untuk
mencegah agen – agen infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya.3

2.2 Macam-macam infeksi odontogenik


Infeksi orofacial odontogenik umumnya (presentase sekitar 70%) berupa
infeksi periapikal, yaitu abses dento-alveolar akut, abses periodontal, dan lain-lain.4
a. Abses Periodontal
Abses periodontal merupakan inflamasi purulen akut atau kronis yang
berkembang di dalam poket periodontal. Secara klinis ditandai dengan adanya
edema yang terletak di tengah gigi yang bersangkutan, nyeri, dan kemerahan pada
gingival. Perawatan abses periodontal biasanya sederhana, yaitu insisi pada sulkus
gingival, jaringan periodontal yang mengalami kerusakan dengan probe atau
scalpel. Insisi juga dapat dilakukan pada sisi gingiva yang paling menonjol
pembengkakannya atau dimana fluktuasi paling besar.
b. Abses dento-alveolar akut
Abses dento-alveolar akut merupakan inflamasi akut purulen jaringan
periapikal pada gigi non vital, dimana mikro organisme yang berasal dari saluran
akar yang terinfeksi berkembang ke jaringan apikal. Secara klinis ditandai dengan
gejala lokal dan sistemik. Gejala lokal antara lain nyeri, edema, dan gejala lain
seperti adanya elongasi dan mobilitas ringan pada gigi, serta kesulitan menelan.
Gejala sistemik antara lain demam hingga 39-400C, menggigil, malaise dengan
nyeri pada otot dan sendi, anoreksia, insomnia, nausea, dan muntah-muntah.
Jalur penyebaran inflamasi abses dento alveolar umumnya melalui jaringan
sekitarnya. Awalnya pus akan terbentuk di cancellous bone dan akan menyebar ke
berbagai arah, yaitu menuju ke jaringan dengan resistensi terendah. Pus dapat
menyebar ke arah bukal, palatal, atau lingual tergantung dari posisi gigi di tulang
rahang, ketebalan tulang, dan jarak yang harus ditempuh.
Pada tahap “cellular stage”, tergantung jalur dan daerah inokulasi pus, abses
dento alveolar akut terbagi menjadi : abses intra alveolar, abses subperiosteal,

8
abses submukosa, abses subkutan, dan abses fascial atau migratory – abses
cervicofacial.
1) Abses Intraalveolar : akumulasi pus berada di dalam tulang alveolar.
2) Abses Subperiosteal : akumulasi pus menyebar keluar setelah menembus tulang
alveolar menuju ke spasium subperiosteal, menyebabkan pus terakumulasi di
antara tulang alveolar dan periosteum sehingga disebut abses subperiosteal.
3) Abses Submukosa : setelah menembus periosteum, akumulasi pus akan
menyebar ke berbagai arah menuju jaringan lunak, biasanya di bawah mukosa
sehingga disebut abses submukosa.
4) Abses Subkutan : setelah menembus periosteum, akumulasi pus dapat juga
menyebar melalui jaringan ikat longgar dan menuju ke jalur penyebaran di
bawah kulit sehingga disebut abses subkutan.
5) Abses facial atau cervicofacial : pus yang menyebar melalui jaringan ikat
longgar dapat pula menyebar ke arah fascial space membentuk fascial space
abscess yang dapat dibagi menjadi :
a) Abses fosa kanina
Sumber infeksi berasal dari gigi anterior rahang atas. Gejala klinis
ditandai dengan pembengkakan pada wajah, kehilangan sulkus nasolabialis
dan edema pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir atas
bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang menegang berwarna
merah.
b) Abses spasium bukal
Spasium bukal berada diantara m. masseter, m. pterigoidus interna dan
m. Businator, berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara
otot pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal.
Abses dapat berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke
dalam spasium bukal. Gejala klinis: abses terbentuk di bawah mukosa bukal
dan menonjol ke arah rongga mulut. Pada palpasi tidak jelas ada proses
supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak jelas.
Massa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya. Pada
pemeriksaan ekstraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada
palpasi.
c) Abses spasium infratemporal

9
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di
bawah dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi
oleh ramus mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian
atas dibatasi oleh m. pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a. maksilaris
interna dan n. mandibula, milohioid, lingual, businator dan n. chorda
timpani. Berisi pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus
faringeal.
d) Abses spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi
otot masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa
suatu celah sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo
m.masseter bagian tengah dan permukaan tulang. Keatas dan belakang
antara origo m.masseter bagian tengah dan bagian dalam. Disebelah
belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar fibromuskular.
Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang bawah, berjalan
melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini. Gejala klinis dapat
berupa sakit berdenyut di regio ramus mansibula bagian dalam,
pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat,
toksik dan delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan
besar dan sakit pada penekanan.
e) Abses spasium submandibula
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang
memisahkannya dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial
bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus
dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah
submandibula yang meluas ke dalam spasium sublingual. Juga berisi
kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial
yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna. Infeksi pada
spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses periodontal dan
perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula.
f) Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal, terletak
diatas m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan
10
lateral oleh permukaan lingual mandibula. Gejala klinis ditandai dengan
pembengkakan dasar mulut dan lidah terangkat, bergerser ke sisi yang
normal. Kelenjar sublingual akan tampak menonjol karena terdesak oleh
akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan menelan
dan terasa sakit.
g) Abses spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima, di depannya
melintang m.digastrikus, berisi kelenjar limfe submental. Perjalanan abses
kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat
berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior
atau premolar. Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental.
Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada
pemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-
kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya.
Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga ke arah spasium yang
terdekat terutama ke arah belakang.
h) Abses spasium parafaringeal
Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks
bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus
pterigoid interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor, sebelah
belakang oleh glandula parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus
stiloideus serta struktur yang berasal dari prosesus ini. Kebelakang dari
spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena jugularis dan nervus
vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan
kelenjar limfe. Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui
berbagai foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat
menimbulkan abses otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi
berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai mediastinuim.
Infeksi orofasial odontogenik dapat pula dibedakan berdasarkan tahapan
infeksinya, yaitu tahap akut dan tahap kronis.
a. Tahap akut (Acute stage)
Pada tahap akut, infeksi yang menyebar ke jaringan lunak dapat
menjadi beberapa kondisi, yaitu: abses, selulitis, dan fulminating infections.
1) Abses
11
Abses merupakan akumulasi pus yang berbatas pada ruangan jaringan
patologis. Abses yang sesungguhnya yaitu ruangan berdinding tebal berisi pus.
Infeksi supuratif adalah karakteristik dari staphylococcus, sering dengan
anaerob, seperti bacteroides, dan biasanya diasosiasikan dengan akumulasi
pus dalam jumlah besar, yang membutuhkan drainase secepatnya.
Mikroorganisme ini memproduksi koagulasi, sejenis enzim yang dapat
menyebabkan deposisi fibrin pada citrated atau oxalated blood. Abses
odontogenik dapat timbul dalam beberapa bentuk :
1) Abses apikalis akut: abses odontogenik biasanya timbul dan menetap dalam
batas tulang alveolar.
2) Abses dentoalveolar akut: infeksi telah melewati batas tulang alveolar dan
menuju ke jaringan lunak yang berdekatan.
3) Abses periodontal akut
4) Abses pericoronal akut
2) Selulitis
Selulitis merupakan infeksi yang menyebar pada jaringan ikat longgar.
Penyakit ini adalah infeksi mukosa atau kutaneus yang diffuse dan
eritematous. Hal ini merupakan karakteristik dari infeksi streptococci; dan
biasanya tidak menghasilkan akumulasi pus yang besar. Streptococci
memproduksi enzim seperti streptokinase (fibrinolysin), hyaluronidase, dan
streptodornase. Enzim ini memecah fibrin dan substansi dasar jaringan ikat
dan debris seluler lyse, sehingga memfasilitasi penyebaran bakteri dengan
cepat pada jaringan lainnya. Antibiotik dapat menahan penyebaran infeksi,
dapat juga memberikan resolusi sepenuhnya pada kondisi tersebut. Namun,
dalam kasus resistensi antibiotik, kantung pus harus diperhatikan dan dalam
kasus tersebut, eksplorasi dan drainase harus dilakukan.
3) Fulminating infections
Fulminating infections merupakan infeksi yang dapat terjadi pada
berbagai spasium pada daerah orofasial. Infeksi melibatkan spasium sekunder
termasuk struktur vital, seiring dengan jalur yang memiliki resistensi terendah.
b. Tahap kronis (Chronic stage)
Tahap kronis ditandai dengan pembentukan fistulous tract atau sinus
trac. Abses yang dibiarkan dalam waktu lama akan mengeluarkan akumulasi
pus secara intraoral maupun ekstraoral. Ketika abses keluar melalui lapisan
12
kulit, sinus dapat muncul pada daerah yang tidak menguntungkan untuk
drainase, luka yang dihasilkan selalu menebal, mengerut, tertekan dan lebih
tampak secara estetik.
Contoh infeksi kronis yaitu: Osteomyelitis kronis, Cervicofacial
actinomycosis.

2.3 Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis


Sebelum menegakkan diagnosis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan.
Adapun tahapan pemeriksaannya adalah sebagai berikut.5
a. Anamnesis
- Mulai terjadinya penyakit
- Lama terjadinya sakit
- Kemungkinan lokasi infeksi primer
- Intensitas penyakit
- Penyakit terdahulu yang rekuren
- Perawatan yang telah didapat
- Kemungkinan adanya penyakit sistemik, malaise, kesulitan menelan, kesulitan
bernapas. Kemungkinan adanya penyakit sistemik yang dapat memperberat
infeksi dan yang dapat mempengaruhi perawatannya.
b. Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan umum, pemeriksaan ektraoral dan
intraoral.
- Pemeriksaan keadaan umum pasien
Meliputi pemeriksaan tekanan darah, suhu, nadi, dan pernapasan untuk
mengetahui apakah ada penyebaran atau komplikasi infeksi oromaksilofasial
ke bagian tubuh lain.
- Pemeriksaan Ekstraoral
Dalam pemeriksaan ektraoral diperhatikan adanya pembengkakan, lokasi,
luas, dan besarnya, cardinal signs, fluktuasi, limfadenopati pada kelenjar limfe
regional, adanya trismus, sinus tract atau fistula.
- Pemeriksaan Intraoral
Pada pemeriksaan intraoral perlu diperhatikan keadaan gigi geligi, adanya
karies, gigi non vital, nyeri tekan dan mobilitas gigi. Kemudian dilihat pula
apakah ada proses supurasi pada jaringan periodontium, adanya

13
pembengkakan jaringan lunak di dasar mulut, vestibulum, pipi, palatum dan
daerah orofaring.
c. Pemeriksaan radiografik
Pada sebagian besar infeksi jenis ini perlu dilakukan pemeriksaan
radiografik dalam hal ini foto panoramik, untuk mengetahui gigi penyebab dan
mengevaluasi perluasan dan intensitas kerusakan tulang. Apabila infeksi sudah
lebih lanjut perlu pula dilakukan foto toraks.
d. Pemeriksaan laboratorik
Pada kasus infeksi yang berat atau yang berpotensi berat, perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorik (darah dan urin) serta identifikasi kuman penyebab dan
test resistensi kuman.

2.4 Diagnosis
Berdasarkan tanda dan gejala klinis yang dituliskan pada skenario yaitu
pembengkakan pada pipi kiri bawah, bengkak disertai demam dan nyeri, adanya
cairan apabila ditekan, adanya gigi berlubang dan sakit, pipi mengkilap dan keras,
maka suspect diagnosis kasus adalah infeksi odontogenik berupa abses
dentoalveolar spasium bukal. Ketika dipalpasi, abses akan fluktuaktif serta
permukaan abses terlihat mengkilap. Abses bisa saja terasa nyeri ketika ditekan,
hal ini disebabkan karena adanya akumulasi cairan pada ruang abses sehingga
tekanan di dalam ruang akan meningkat dan volume abses bisa saja bertambah,
akibatnya ruang abses yang bertambah volumenya ini dapat menekan saraf-saraf
perifer yang ada di sekitarnya sehingga timbul rasa nyeri.6
Adapun tanda dan gejala klinis dari abses dentoalveolar spasium bukal
adalah sebagai berikut.4,7
a. Tanda klinis
- Bengkak pada pipi yang meluas dari arkus zygomaticus sepanjang batas inferior
mandibula, dan dari batas anterior ramus hingga ke ujung mulut;
- Kulit tampak merah dan tegang, dengan fluktuasi abses;
- Infeksi berasal dari gigi posterior maxilla dan mandibula.
b. Gejala klinis
- Rasa sakit, dengan nyeri tekan regional yang tidak mempan diobati dengan
analgesic biasa;
- Gangguan pengecapan;
14
- Bau mulut;
- Mengganggu waktu makan, tidur, dan prosedur hygiene mulut.

2.5 Diagnosis banding


Abses spasium bukalis dapat menyebar ke spasium periorbital dan
menyebar ke tepi bawah mandibula hingga ke jaringan subkutan yang berada di
permukaan spasium submandibula, menyebabkan kebingungan dalam menegakkan
diagnosis.4,8
Abses Spasium Abses Spasium
Karakteristik
Bukalis Submandibularis
Sumber infeksi Gigi premolar & Gigi molar keduadan ketiga
molar maksila, dan mandibula
gigi premolar & molar
mandibula
Pembengkakan Berbentuk kubah jika Berbentuk kerucut terbalik.
dilihat dari aspek Terjadi pada bagian tepi
anterior, paling bawah mandibula
Pembengkakan dapat hingga tulang hyoid.
meluas dari tepi
interior mandibula
hingga zygomatic
arch.

Kulit tampak kencang Pembengkakan sedang di


dan kemerahan, area submandibula,
disertai atau tanpa menyebar dan menyebabkan
adanya abses yang edema yang mengeras dan
fluktuasi dan berwarna kemerahan. Sudut
pembentukan drain mandibula lenyap, sakit saat
secaraspontan. palpasi dan trismus sedang
jika terjadi keterlibatan otot
pterygoideus lateral.

2.6 Patomekanisme

15
Mikoorganisme yang tersering dijumpai pada infeksi oromaksilofasial
adalah bakteri gram positif aerob (cocci), gram positif anaerob (cocci), serta gram
negatif anaerob (roods). Infeksi oromaksilofasial umumnya berasal dari infeksi
odontogenik yang berasal dari daerah periapeks dan periodontium. Dari kedua
penyebab ini, yang berasal dari periapeks adalah yang paling sering. Pulpa gigi
yang nekrosis akibat karies profunda memberi jalan bagi bakteri, untuk masuk ke
dalam jaringan periapeks. Bila jaringan periapeks telah mengalami inokulasi
dengan bakteri, terjadilah suatu infeksi yang aktif yang akan menyebar ke berbagai
arah terutama ke daerah yang mempunyai resistensi minimal. Infeksi akan
menyebar ke tulang cancellous menuju plat kortikal. Bila plat kortikal ini tipis,
infeksi akan mengerosi tulang dan masuk ke dalam jaringan lunak, selanjutnya
pada jaringan lunak penyebaran tergantung pada potensial space dari origo serta
insersio otot-otot pada daerah maksila dan mandibular.5
Skema
Gigi Karies Perikoronitis

Gangren pulpa marginalis Periodontitis

Periodontitis apikalis

Absesperiapeks/absesdento-alveolar

Akut Kronis

Abses Osteomeilitis

Penyebaran infeksi oromaksilofasial


Infeksi oromaksilofasial menyebar melalui beberapa cara yaitu:
a. Perkontinuitatum, yaitu penyebaran infeksi langsung dari jaringan menjalar
kejaringan disekitarnya.
b. Limfogen, yaitu melalui pembuluh limfe kelenjar limfe regional. Bila infeksi
terjadi pada kelenjar limfe, maka akan menyebabkan infeksi sekunder disitu dan
menyebar pula kejaringan di sekitarnya.

16
c. Hematogen, yaitu melalui pembuluh darah. Penyebaran melalui cara ini relative
jarang.
Lokasi infeksi pada gigi tertentu ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu
ketebalan tulang yang menutupi apeks gigi dan hubungan dari tempat tulang yang
mengalami perforasi dengan perlekatan otot pada maksila dan mandibular.
Telah dijelaskan bahwa bila infeksi telah menembus tulang, lokasi infeksi
pada jaringan lunak ditentukan oleh posisi dari sisi yang perforasi terhadap perlekatan
otot. Infeksi yang menembus melalui aspek labial gigi rahang atas dan dibawah
perlekatan otot buccinators sehingga menghasilkan abses vestibular. Infeksi yang
menembus tulang melalui bagian atas perlekatan otot buccinators dan menghasilkan
infeksi pada ruang bukal.5

2.7 Indikasi dan kontraindikasi perawatan


2.7.1 Medikamentosa9
a. Indikasi
- Infeksi odontogenik akut
Abses odontogenik adalah infeksi yang melibatkan banyak bakteri meliputi
berbagai bakteri fakultatif anaerob. Secara umum organisme yang ditemukan
pada abses alveolar, abses periodontal, dan pulpa nekrotik adalah gram (+) aerob
dan anaerob.
- Infeksi non odontogenik
Durasi penggunaan antibiotik untuk infeksi non odontogenik termasuk
butuh waktu yang lama.
- Profilaksis infeksi
Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis digunakan untuk mencegah
terjadinya fokal infeksi dan infeksi lokal.
b. Kontraindikasi
- Pasien neonatus dan anak-anak tidak diberikan antibiotik kroramfeninol,
sulfonamid dan aminoglikosida karena dapat menimbulkan efek samping dan
toksisitas.
- Pasien yang memiliki gangguan fungsi hati harus dihindari dan atau dibatasi
pemberian antibiotik entromisin, klindamisin, metronidazole untuk mencegah
terjadinya toksisitas dan overdosis.
2.7.2 Insisi dan drainase10
17
a. Indikasi
- Pembengkakan abses
- Pembengkakan abses yang telah fluktuasi
b. Kontraindikasi
- Pembengkakan yang luas (difus) biasanya tidak diinsisi.
- Pasien dengan waktu pendarahan dan pembekuan yang panjang harus dirawat
dengan hati hati.
- Abses di dalam rongga mulut anatomis memerlukan perawatan lebih banyak,
pasien perlu dirujuk ke ahli bedah mulut dan maksilofasial untuk tindakan insisi
intraoral/ ekstraoral yang agresif.

2.8 Armamentarium dan prosedur perawatan


Bedasarkan hasil pemeriksaan, diperoleh suspect diagnosis kasus adalah
abses dentoalveolar spasium bukal. Oleh karena itu, perawatan yang tepat
dilakukan untuk menangani kasus tersebut adalah insisi dan drainase.4,11
Teori insisi
- Mencegah/menghindari terlukanya duktus grandula saliva pembuluh darah besar
dan nervus.
- Insisi dilakukan superficial di titik terendah dan akumulasi pus, untuk
menghindari rasa sakit fasilitasi.
- Insisi tidak dilakukan pada daerah yang mudah terlihat (untuk alasan estetik)
kalau bisa dilakukan intra oral.
Armamentarium
- Alat oral diagnostic
- Scalpel
- Blade no. 15
- Hemostat
- Drain
- Benang non absorbable
- Needle
- Needle holde
- Scissors
- Pinset jaringan
- Tampon
18
- Providone iodine
- Spoit 10cc
- Larutan chlorohexidine
Prosedur perawatan
- Disinfeksi menggunakan providone iodine dengan gerakan memutar berlawanan
arah jarum jam dari dalam ke luar.
- Aspirasi abses dengan spoid secara transmukosal tetapi didahului dengan
berkumur dengan chlorhexidine untuk meminimalisir kontaminasi flora oral.
Aspirasi kemudian dikirim ke lab untuk dikultur.
- Sebelum dilakukan insisi, dapat dilakukan anestesi terlebih dahulu.
- Insisi dilakukan secara intraoral dengan menghindari terkenanya duktus parotis.
- Insisi tidak boleh lebih dari 1 cm.
- Diseksi dengan hemostat.
- Tempatkan drain.
- Lakukan suturing pada drain dengan benang non absorbable.
- Menghilangkan sumber infeksi.

2.9 Tahap pemilihan antibiotik dan jenis antibiotik yang sesuai untuk
kasus
2.9.1 Tahap pemilihan antibiotik6
a. Memastikan kebutuhan antibiotik
Tidak semua infeksi membutuhkan antibiotik, pada beberapa situasi
antibiotik bisa saja kontraindikasi.
Indikasi
- Pembengkakan yang berkembang cepat
- Pembengkakan difus (fase cellulitis)
- Compromised patient
- Perikoronitis parah
- Osteomyelitis
Kontraindikasi
- Abses minor kronis yang terlokalisir
- Abses minor vestibular dengan sedikit atau tanpa pembengkakan wajah
- Dry socket
- Perikoronitis ringan
19
b. Memilih antibiotik yang tepat
Dengan tersedianya data empiris mengenai sensitifitas antibiotik dan
mikrobiologi, maka pemberian antibiotik disesuaikan dengan penyakit pasien.
Drug of choice biasanya penicillin. Obat alternatif untuk pasien alergi penisilin
adalah klaritromisin dan clindamycin. Sefalosporin sefadroksil berguna untuk
antibakteri dengan spektrum lebih luas. Doxycline juga bisa menjadi alternatif
walau beberapa bakteri resisten terhadap tetrasiklin. Metronidazole hanya efektif
untuk bakteri anaerob.
c. Gunakan antibiotik berspektrum sempit
Antibiotik dengan spektrum sempit hanya menargetkan pada organisme
causative dan sama efektifnya dengan antibiotik spektrum luas tanpa
mengganggu mikroflora host dan meningkatkan risiko resistensi bakteri.
d. Gunakan antibiotik dengan insiden toksisitas dan efek samping terendah
Efek samping terbesar penisilin adalah alergi. Rata-rata 2% atau 3% dari
total populasi alergi dengan penisilin. Sedangkan clarithromycin, erithromycin,
dan klindamisin memiliki insiden toksisitas dan efek sampingnya rendah. Namun
klindamisin dapat menyebabkan diare parah (pseudomembranous colitis).
e. Gunakan antibiotik bakterisidal Jika memungkinkan
Cara kerja antibiotik bakteriostatik membutuhkan intact dengan sel host
untuk membantu memfagositosis bakteri. Tipe antibiotik ini tidak dapat
digunakan pada compromised patient.
f. Pertimbangkan harga antibiotik
Obat generik cenderung lebih murah dibandingkan obat keluaran terbaru,
maka harga antibiotik perlu disesuaikan dengan kondisi ekonomi pasien.
2.9.2 Jenis antibiotik yang sesuai untuk kasus
Adapun golongan antibiotik yang dapat diresepkan untuk kasus abses
odontogenik adalah sebagai berikut : Penisilin , Eritromisin, Cephalosporin,
Metronidazole, Lincosamide, Tetracyclin, dan Aminoglycosida.7

2.10 Penyebab rasa nyeri masih terasa walau sudah minum obat
Nyeri yang dirasakan pasien merupakan akibat dari infeksi kronis yang
dialami oleh pasien tersebut. Pada nyeri yang parah atau kronis, medikasi bukanlah
suatu kebutuhan utama karena nyeri tidak akan sembuh tanpa menghilangkan
penyebabnya (akumulasi pus dalam rongga abses). Selain itu, sebaiknya dilakukan
20
tes kultur bakteri untuk mengetahui antibotik yang bersifat resisten dan yang bersifat
sensitif terhadap bakteri yang terkandung dalam abses.12

2.11 Evaluasi perawatan


Evaluasi hasil perawatan dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti:
a. Kemampuan pasien dalam menelan dan bernafas
b. Suhu tubuh pasien
c. Pembengkakan
Jika pasien mampu menelan dan bernafas, suhu tubuh kembali normal, dan
tidak adanya pembengkakan maka perawatan dianggap berhasil. Namun apabila
perawatan tidak berhasil, maka sebaiknya pasien dirujuk ke dokter gigi spesialis
bedah mulut.5

2.12 Prognosis
Jika dirawat dengan cepat dan tepat, maka prognosisnya akan baik. Adapun
yang perlu diperhatikan adalah pus yang terdrainase dengan baik dan menghilangkan
sumber pus agar tidak terjadi infeksi yg lebih lanjut. Jika tidak dilakukan perawatan
maka abses tersebut akan mencari jalan keluar melalui kulit wajah, atau ke dalam
mulut. Hal ini dapat meninggalkan sinus tract, yang menghubungkan infeksi yang
persisten tersebut dengan kulit wajah ataupun mulut, yang dimana ini akan
mengeluarkan pus dari waktu ke waktu. Komplikasi lain biasa juga terjadi, namun
dapat menjadi masalah yang serius bahkan fatal pada situasi yg jarang.5

2.13 Dampak apabila tidak dilakukan perawatan


Infeksi odontogenik dapat menyebar hingga ke area di dekatnya atau masuk
ke dalam pembuluh darah dan menyebabkan komplikasi sistemik. Infeksi
odontogenik yang serius/berat, dapat menyebar dan menyebabkan Ludwig’s angina,
necrotizing fasciitis pada kepala & leher, dan mediastinitis karena odontogenik atau
karena penyebaran melalui pembuluh darah atau sistem limfatik yang dapat berupa
venous, dan komplikasi neurologikal. Komplikasi post-operative dapat berupa
gagalnya perawatan, dikarenakan proses bedah yang tidak adekuat, menurunnya
sistem pertahanan host, adanya benda asing, dan masalah pada antibiotik seperti
kebutuhan pasien tidak terpenuhi, obat tidak mencapai daerah target, dosis obat
terlalu rendah, salah diagnosis bakteri, salah antibiotik.6,13

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Infeksi oromaksilofasial umumnya disebabkan oleh infeksi odontogenik, yang


berasal dari periapeks dan jaringan periodontal. Bakteri akan masuk ke dalam gigi
dengan pulpa yang telah perforasi menuju periapeks. Bakteri akan berkembangbiak di
dalam saluran akar. Apabila inflamasi terjadi secara terus menerus maka akan
menyebabkan kematian pulpa (nekrosis). Karena gagalnya jaringan pulpa untuk
melakukan perlawanan dan pemulihan, sisa bakteri dan leukosit yang telah mati akan
menjadi pus. Bila periapeks telah mengalami inokulasi dengan bakteri, terjadilah
suatu infeksi yang akan menyebar kedaerah yang mempunyai resistensi minimal.
Infeksi akan mengerosi tulang dan masuk kedalam jaringan lunak. Tahap infeksi
terdiri dari inokulasi yang berdurasi selama 0-3 hari, selulitis 3 – 7 hari, dan abses
lebih dari 5 hari.

3.2 Saran

Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca terlebih


penyusun. Sehingga di kemudian hari, pembaca dan penyusun dapat mengamalkan
ilmu yang telah didapat di makalah ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Ireland R. Kamus kedokteran gigi. Jakarta : EGC; 2014. hal. 302.


2. Mardiyantoro F. Penyebaran infeksi odontogen dan tatalaksana. Malang : UB Press;
2017. hal. 1-4.
3. Rahma T, Untara RTE. Perawatan saluran aakar satu kunjungan pada gigi m1 kanan
mandibula nekrosis pulpa dengan abses periapikal dan fistula. Maj Ked Gi 2011; 18(1):
118.
4. Fragiskos FD. Oral surgery. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2007. p. 205-
33.
5. Pasaribu A, Julia V. Penatalaksanaan infeksi oromaksilofasial yang dapat dilakukan oleh
dokter gigi umum. IJD 2006; 174-5, 178.
6. Hupp JR, III EE, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 5 th ed. St.
Louis : Mosby Elsevier; 2008. p. 293-4, 302-3, 309, 340, 342, 355-8.
7. Pedersen GW. Principles of oral and maxillofacial surgery. 2 nd ed. London : Hamilton;
2004. p. 199, 202.
8. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 3rd ed. New Delhi : Jaypee
Brothers Medical Publishers. p. 683.
9. Suardi HH. Antibiotik dalam dunia kedokteran gigi. Cakradenya Dent J 2014; 6(2): 692-
8.
10. Walten RE, Torabinejad M. Prinsip dan praktek ilmu endodonsia. Ed 3. Jakarta : EGC;
2003. hal. 475-6.
11. Kademani D, Tiwana P. Atlas of oral & maxillofacial surgery. 1 st ed. St. Louis : Elsevier
Saunders; 2015. p. 148.
12. Patil SR. Pain managenment in dentistry: a review and an update. J Neuroinfect Dis. Nov
2015;7(1): 1-4.
13. Balaji SM. Textbook of oral & maxillofacial surgery. New Delhi: Elsevier; 2007. p. 133.

23
24

Anda mungkin juga menyukai