Anda di halaman 1dari 23

Nama :Chairunnisa

Kelas :BK REG B 2018

NIM :1183151048

Mata Kuliah :PTL

TEORI-TEORI PARA AHLI PSIKOLOGI DAN CARA PEMAHAMAN TINGKAH LAKU

2. Teori kebutuhan maslow

1. Physiological Needs

Dalam memenuhi kebutuhan fisik perguruan tinggi dapat menyediakan fasilitas, seperti: kantin
bersih dan sehat, ruangan kelas yang nyaman, toilet yang bersih dengan jumlah yang memadai,
waktu istirahat yang cukup untuk ke kamar kecil atau untuk minum, lingkungan belajar yang
kondusif.

2. Safety Needs

Kebutuhan akan rasa aman dapat dipenuhi, melalui: mempersiapkan pembelajaran dengan baik
(materi kuliah, media pembelajaran); sikap dosen yang menyenangkan, tidak menghakimi, dan
tidak mengancam, mengendalikan perilaku mahasiswa di kelas, menegakkan disiplin dengan
adil, consistent expectations, lebih banyak memberikan penguatan perilaku (reinforcement)
melalui pujian/ ganjaran atas segala perilaku positif mahsiswa daripada pemberian hukuman
atas perilaku negatif.

3. Belongingness and Love needs

Kebutuhan ini dapat dipenuhi melalui :

a. Hubungan antara dosen dan mahasiswa :


Dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa dosen, hendaknya: bersikap empatik, perhatian
dan interest kepada mahasiswa, sabar, adil, mau membuka diri, positif, dan dapat menjadi
pendengar yang baik; memahami mahasiswa (kebutuhan, potensi, minat, karakteristik
kepribadian dan latar belakangnya); memberikan komentar dan umpan balik yang positif dari
pada yang negatif; menghargai dan menghormati setiap pemikiran, pendapat, dan keputusan
mahasiswa; menjadi penolong yang bisa diandalkan dan memberikan kepercayaan terhadap
mahasiswa.

b. Hubungan antara mahasiswa dengan mahasiswa

Dalam hubungan antara mahasiswa dengan mahasiswa dapat dilakukan dengan cara:
mengembangkan situasi yang memungkinkan terciptanya kerja sama mutualistik dan saling
percaya di antara mahasiswa; mengembangkan diskusi kelas; peer tutoring; mengembangkan
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), himpunan mahasiswa jurusan, dan kegiatan

kemahasiswaan lainnya.

4. Esteem needs

Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan cara:

a. Self-Estem (membangun rasa percaya diri mahasiswa), seperti:

mengembangkan pengetahuan baru berdasarkan latar belakang pengetahuan untuk membantu


memastikan keberhasilan (scaffolding); mengembangkan sistem pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan mahasiswa; fokus pada kekuatan dan aset mahasiswa; mengembangkan

metode pembelajaran yang beragam; mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan


mahasiswa ketika merencanakan dan melaksanakan pembelajaran; mengembangkan dan
memberikan contoh strategi belajar pada mahasiswa; tidak menegur mahasiswa di depan
umum; memberikan bantuan pada mahasiswa yang mengalami kesulitan; melibatkan
mahasiswa untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab di kelas.

b. Penghargaan dari Pihak lain dengan cara: mengembangkan iklim kelas dan
pembelajaran kooperatif di mana setiap mahasiswa dapat saling menghormati dan
mempercayai, tidak saling mencemoohkan; menyelenggarakan pemilihan ketua senat/Badan
Eksekutif Mahasiswasecara terbuka; mengembangkan program penghargaan atas pekerjaan,
usaha, dan prestasi yang diperoleh mahasiswa; mengembangkan kurikulum yang dapat
mengantarkan setiap mahasiswa untuk memiliki sikap empatik dan menjadi pendengar yang
baik; berusaha melibatkan para mahasiswa dalam setiap pengambilan keputusan yang terkait
dengan kepentingan para mahasiswa itu sendiri.

c. Pengetahuan dan pemahaman, seperti: memberikan kesempatan kepada para mahasiswa


untuk mengeksplorasi bidang-bidang yang ingin diketahuinya; menyediakan model
pembelajaran yang memberikan tantangan intelektual melalui pendekatan discovery-inquiry;
menyediakan topik-topik pembelajaran dengan sudut pandang yang beragam; memberikan
kesempatan kepada para mahasiswa untuk berpikir filosofis dan berdiskusi.

d. Aesthetic (Estetik ), berupa: menata ruangan kelas secara rapi dan menarik;

memelihara sarana dan prasarana yang ada di sekeliling kampus; ruangan yang bersih dan
wangi; tersedia taman kelas, dan kampus yang tertata indah.

5. Self-Actualization needs

Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri dapat dilakukan dengan cara: memberikan kesempatan
kepada para siswa untuk melakukan yang terbaik, memberikan kekebasan kepada mahasiswa
untuk menggali dan menjelajah kemampuan dan potensi yang dimilikinya, menciptakan
pembelajaran yang bermakna dikaitkan dengan kehidupan nyata, perencanaan dan proses
pembelajaran.

3. Teori sigmun freud

Dasar Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Peran penting dari ketidaksadaran beserta insting-insting seks dan agresi yang ada di dalamnya
dalam pengaturan tingkah laku, menjadi karya/temuan monumental Freud. Sistematik yang
dipakai Freud dalam mendiskripsi kepribadian menjadi tiga pokok yaitu: struktur kepribadian,
dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian.

Struktur Kepribadian

Kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran: sadar, prasadar, dan tak sadar. Pada tahun
1923 Freud mengenalkan tiga model struktural yang lain, yakni: id, ego dan super-ego. Struktur
baru ini tidak mengganti struktur lama tetapi melengkapi/menyempurnakan gambaran mental
terutama dalam fungsi dan tujuannya.

Tingkat Kehidupan Mental

Sadar (Conscious)

Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu. Menurut Freud
hanya sebagian kecil saja dari kehidupan mental (fikiran, persepsi, perasaan, dan ingatan) yang
masuk ke kesadaran (consciousness).

Prasadar (Preconscious)

Prasadar disebut juga ingatan siap (available memory), yakni tingkat kesadaran yang menjadi
jembatan antara sadar dan tak sadar. Pengalaman yang ditinggal oleh perhatian, semula
disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah ke daerah prasadar.

Taksadar (Unconscious)

Taksadar adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran dan menurut Freud
merupakan bagian terpenting dri jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan bahwa
ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotetik tetapi itu adalah kenyataan empirik.
Ketidaksadaran itu berisi insting, impuls, dan drives yang dibawa dari lahir, dan pengalam-
pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang ditekan oleh kesadaran dipindah
ke daerah tak sadar.

Wilayah Pikiran
1. Id (Das Es)

Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego
dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologi yang diturunkan, seperti insting,
impuls dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah tak sadar, mewakili subjektivitas
yang tidak pernah sisadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk
mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur
kepribadian lainnya. Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu
berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Plesure principle diproses
dengan dua cara :

a. Tindak Refleks (Refleks Actions)

Adalah reaksi otomatis yang dibawa sejak lahir seperti mengejapkan mata dipakai untuk
menangani pemuasan rangsang sederhana dan biasanya segera dapat dilakukan.

b. Proses Primer (Primery Process)

Adalah reaksi membayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau


menghilangkan tegangan – dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar
membayangkan makanan atau puting ibunya. Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa
mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan
kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan benar-benar salah, tidak tahu moral.
Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego.

2. Ego (Das Ich)

Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita sehingga ego beroperasi
mengikuti prinsip realita (reality principle) usaha memperoleh kepuasan yang dituntut id
dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan
objek yang nyata-nyata dapat memuaskan kebutuhan.

Ego adalah eksekutif atau pelaksana dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama ;
pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau insting mana yang akan
dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana
kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal. Ego
sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri
akan memperoleh energi dari id.

3. Superego (Das Ueber Ich)

Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip
idealistik (edialistic principle) sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari
ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti ego, ia tak punya sumber energinya sendiri.
Akan tetapi, superego berbeda dari ego dalam satu hal penting – superego tak punya kontak
dengan dunia luar sehingga tuntutan superego akan kesempurnaan pun menjadi tidak realistis.

Menurut vsigmun freud tingkah laku manusia justru didominasi oleh alam bawah sadar yang
berisi id, ego, dan super ego. 1. konsep dari psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki keinginan dan kebutuhan dasar.

PTL: Menggunakan cara pendekatan secara personal dalam menangani peserta didik yang
memiliki sikap agresif yang berlebihan.

2. konsep kecemasan yang dikemukakan oleh freud,

PTL : konselor harus mampu menjelaskan kepada konseli bagaimana siswa itu dapat
kenghargaibdirinya sendiri, dengan cara konselor berbicara ramah.

Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun terbentuknya
kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi prinsip-prinsip yang
menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan pendidikan. Dengan adanya
teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam menjalankan model-model
pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak telah ditemukan teori belajar yang pada
dasarnya menitikberatkan ketercapaian perubahan tingkah laku setelah proses pembelajaran.

A. TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

Salah satu teori psikologi belajar, yang merupakan teori awal tentang belajar adalah Teori
Behavioristik yaitu teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.
Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan.
Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Ada 3 jenis belajar menurut
teori Behavioristik yaitu (1) Respondent Conditioning, (2) Operant Conditioning dan (3)
Observational Learning atau sosial-cognitive Learning.

1. Teori Belajar Respondent Conditioning

Teori belajar Respondent Conditioning (pengkondisian respon) diperkenalkan oleh Pavlov, yang
didasarkan pada pemikiran bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan respon yang dapat
diamati dan diramalkan.

Fisiolog Pavlov (1849-1936) mengkaji stimuli (rangsangan tak bersyarat) yang secara spontan
memanggil respon. Melalui Conditioning, stimuli netral (netral spontan) memancing refleks
namun sengaja dibuat agar mampu memancing respon refleks. Bila satu stimuli menghasilkan
respon, maka stimuli kedua yang tidak relevan dihadirkan serempak dengan stimuli pertama,
dan akhirnya respon tadi muncul tanpa perlu menghadirkan stimuli pertama.

2.Teori Belajar Operant Conditioning

B.F. Skinner sebagai tokoh teori belajar Operant Conditioning berpendapat bahwa belajar
menghasilkan perubahan perilaku yang dapat diamati, sedang perilaku dan belajar diubah oleh
kondisi di lingkungan. Teori Skinner (1954) sering disebut Operant Conditioning yang berunsur
rangsangan atau stimuli, respon, dan konsekuensi. Stimuli (tanda/syarat) bertindak sebagai
pemancing respon, sedangkan konsekuensi tanggapan dapat bersifat positif atau negatif,
namun keduanya memperkukuh atau memperkuat (reinforcement).
Perbandingan antara teori belajar Classical Conditioning dan teori belajar Operant Conditioning
dikemukakan oleh Skinner dan Lefrancois. Skinner menyebutkan bahwa banyak respon yang
tidak hanya dipancing stimuli tetapi dapat dikondisikan pada stimuli lain. Respon ini adalah
kategori perilaku pertama, disebut respondent behavior karena perilaku muncul sebagai respon
atas stimuli. Selanjutnya dapat muncul kategori perilaku ke dua (perilaku yang tidak dipancing
stimuli), yang disebut Operant Behavior sebab telah dikerjakan pebelajar.

Generalisasi adalah pola merespon yang dilakukan individu terhadap lingkungan atau stimuli
serupa, sedangkan diferensiasi adalah pola merespon individu dengan cara mengekang diri
untuk tidak merespon karena ada perbedaan antar dua situasi serupa meski tidak sama, yang
sebenarnya sesuai direspon. Menggeneralisasi berarti merespon situasi serupa, sedangkan
mendeferensiasi berarti merespon dengan cara membedakan antara situasi saat dua respon
identik yang tidak sesuai dimunculkan.

Penerapan Operant Conditioning dalam pendidikan dikemukakan oleh Fred Keller (1968)
dengan judul kegiatan self-paced learning. Guru merancang mata pelajaran yang dilengkapi
bahan bacaan untuk dikaji pebelajar. Ketika pebelajar merasa siap diuji, ia menempuh tes agar
lulus pada penggalan belajar yang telah ditempuhnya. Jika lulus, ia maju kepenggalan
berikutnya. Jadi pebelajar sendiri yang menetapkan kecepatan dan jangka waktu belajarnya.

3.Teori Observational Learning (Belajar Pengamatan) atau sociocognitive Learning (Belajar


Sosio-Kognitif)

Proses belajar yang bersangkut-paut dengan peniruan disebut belajar observasi (Observational
Learning). Albert Bandura (1969) menjelaskan bahwa belajar observasi merupakan sarana dasar
untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah pola perilaku yang sudah dikuasai. Belajar
observasi biasa juga disebut belajar sosial (social learning) karena yang menjadi objek observasi
pada umumnya perilaku belajar orang lain. Belajar sosial mencakup belajar berperilaku yang
diterima dan yang diharapkan publik agar dikuasai individu. Di dalam belajar sosial, berlangsung
proses belajar berperilaku yang tidak diterima publik. Perilaku yang diterima secara sosial itu
bervariasi sesuai budaya, sub-budaya, dan golongan masyarakat.

Diterima atau tidak diterimanya perilaku sosial ditentukan oleh situasi dan tempat. Social
Learning mengkaji rangkaian perilaku yang dapat diterima secara sosial dalam kondisi apa saja.
Belajar meniru disebut belajar observasi (Observasi Learning), yang meliputi aktifitas menguasai
respon baru atau mengubah respon lama sebagai hasil dari mengamati perilaku model.

Albert Bandura (1969) mengartikan belajar sosial sebagai aktivitas meniru melalui pengamatan
atau observasi. Individu yang perilakunya ditiru menjadi model pebelajar yang meniru. Istilah
modeling digunakan untuk menggambarkan proses belajar sosial. Model merujuk pada
seseorang yang berperilaku sebagai stimuli bagi respon pebelajar.

Pada prinsipnya kajian teori behavioristik mengenai hakikat belajar berkaitan dengan perilaku
atau tingkah laku. Hasil belajar diukur berdasarkan terjadi-tidaknya perubahan tingkah laku
atau pemodifikasian tingkah laku yang lama menjadi tingkah laku yang baru. Tingkah laku dapat
disebut sebagai hasil pemodifikasian tingkah laku lama, sehingga apabila tingkah laku yang lama
berubah menjadi tingkah laku yang baru dan lebih baik dibandingkan dengan tingkah laku yang
lama. Perubahan tingkah laku di sana bukanlah tingkah laku tertentu, tetapi perubahan tingkah
laku secara keseluruhan yang telah dimiliki seseorang. Hal itu berarti perubahan tingkah laku itu
menyangkut perubahan tingkah laku kognitif, tingkah laku afektif, dan tingkah laku psikomotor.

Menurut Edward Lee Thorndike (1874 – 1949), belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R).

Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat.

Respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.

Eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya
tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih
respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and
error learning atau selecting and connecting lerning” dan berlangsung menurut hukum-hukum
tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut
dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.

Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti
hukum-hukum berikut:

Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu
perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan
individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.

Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.

Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:

Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Response). Hukum ini mengatakan bahwa pada individu
diawali oleh proses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon
sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Hukum Sikap (Set/Attitude). Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak
hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan
yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.

Hukum Aktivitas Berat Sebelah (Prepotency of Element), Hukum ini mengatakan bahwa individu
dalam proses belajar memberikan respon hanya pada stimulus tertentu saja sesuai dengan
persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
Hukum Respon by Analogy. Hukum ini mengatakan bahwa individu dapat melakukan respon
pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi
transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur
yang sama/identik, maka transfer akan makin mudah.

Hukum perpindahan asosiasi (Associative Shifting). Hukum ini mengatakan bahwa proses
peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara tertahap
dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit
unsur lama.

Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:

Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan, saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus
respon belum tentu diperlemah.

Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan
tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.

Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling
sesuai antara stimulus dan respon.

Akibat suatu perbuatan dapat menular (spread of effect) baik pada bidang lain maupun pada
individu lain.

Karakteristik perubahan tingkah laku dalam belajar, menurut penjelasan tim dosen
pengembang MKDK IKIP Semarang (1989) mencakup hal-hal seperti berikut ini.

Perubahan tingkah laku terjadi secara sadar

Setiap individu dalam belajar akan menyadari terjadinya perubahan perilaku tingkah laku atau
sekurang-kurangnya merasakan telah terjadi perubahan dalam dirinya.

Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional


Perubahan yang terjadi dalam individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Satu
perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya.

Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif

Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan senantiasa bertambah dan tertuju untuk


memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha
belajar dilakukan makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh.

Perubahan dalam belajar tidak bersifat sementara

Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi hanya untuk beberapa saat saja dan
tidak dapat dikatagorikan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang terjsdi karena
proses belajar bersifat menetap atau permanen. Itu berarti bahwa tingkah laku yang terjadi
setelah belajar akan bersifat menetap.

Perubahan dalam belajar bertujuan

Perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar
terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.

Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.

Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan
keseluruhan tingkah laku. Jika individu belajar sesuatu, sebagai hasilnya mengalami perubahan
tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan pengetahuan dan sebagainya.

Belajar diartikan sebagai perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan


mutakhir proses belajar diperoleh dari kajian pengolahan informasi, neurofisiologi,
neuropsikologi, dan sains kognitif.

Prinsip Prinsip Teori Behavioristik:

1. Obyek psikologi adalah tingkah laku


2. Semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada refleks

3. Mementingkan pembentukan kebiasaan

Kerangka Berfikir Teori Behavioristik:

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat
bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil
belajar.

Implikasi teori behavioristik dalam pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pembelajaran adalah upaya alih pengetahuan dari guru kepada siswa.Tujuan pembelajaran
lebih ditekankan pada bagaimana menambah pengetahuan. Strategi pembelajaran lebih
ditekankan pada perolehan keterampilan yang terisolasi dengan akumulasi fakta yang berbasis
pada logika liner.Pembelajaran mengikuti aturan kurikulum secara ketat dan belah lebih
ditekankan pada keterampilan mengungkapkan kembali apa yang dipelajari.

Kegagalan dalam belajar atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan


dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.

Evaluasi lebih ditekankan pada respons pasif melalui sistem paper and pencil test dan menuntut
hanya ada satu jawaban yang benar. Dengan demikian, evaluasi lebih ditekankan pada hasil dan
bukan pada proses, atau sintesis antara keduanya.

Aplikasi Teori Behavioristik Terhadap Pembelajaran Siswa SD:


Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori-teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat
mendasarinya yaitu:

Mementingkan pengaruh lingkungan.

Mementingkan bagian-bagian (elementalistik).

Mementingkan peranan reaksi.

Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon.

Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.

Mementingkan pembentukan kebiasan melalui latihan dan pengulangan.

Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan

Berdasarkan teori-teori yang sudah dikemukakan, para guru yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan menyusun bahan ajar secara matang, sehingga tujuan pembelajaran yang
harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru harus memberikan stimulus
sebanyak-banyaknya agar siswa melakukan respon positif, selain itu seorang guru juga harus
mampu memilah dan memilih stimulus yang bisa menyentuh perhatian siswa yang tidak kalah
pentingnya dalam menyusun bahan ajar harus disusun secara hierarki dari yang paling
sederhana samapi pada hal yang kompleks.

Dalam menentukan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan
pencapaian suatu ketrampilan tertentu atau kompetensi dasar (KD), dan indikator-indikator
yang berorientasi pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan harus dapat diukur.
Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik
ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat
penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi
atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Saran dan kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru,
bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini
sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyaratan tertentu
sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini,
sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk
menerapkan kondisi behavioristik.

Dari beberapa metode berdasarkan analisa penulis, maka metode behavioristik ini paling cocok
untuk diterapkan pada siswa untuk melatih kemampuan-kemampaun yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :

Ketangkasan, kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan dan sebagainya,


contohnya: kegiatan olah raga, menggambar, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau
pujian.

Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa
yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah (one way prefic
comunication), guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Siswa dipandang
pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
Siswa hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari
oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk meningkatkan
kompetensi siswa.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,


sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar
dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan
pebelajar secara individual.

Kelebihan Teori Belajar Behavioristik:

Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh
baik dilakukan sendiri maupun melalui stimulasi.

Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.

Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu.

Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati dan jika terjadi kesalahan
harus segera diperbaiki.

Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.

Metode behavioristik ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas,
kelenturan, rafleks, daya tahan dan sebagainya contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik,
menari, menggunakan komputer, berenang, olahragam dan sebagainya. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa,
suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.

Kekurangan Teori Belajar Behavioristik:

Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik,
dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.

Mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa
sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan
menentukan apa yang harus dipelajari murid.

Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang
diberikan guru.Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang
sangat dihindari oleh para tokoh begavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk
menertibkan siswa.

B. TEORI BELAJAR KOGNITIF

Teori kognitif mengacu pada wacana psikologi kognitif, dan berupaya menganalisis secara
ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau cognition dalam aktifitas belajar. Cognition
diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan
pengetahuan (Lefrancois, 1985).

1. Teori Pekembangan Kognitif

Teori ini dikemukaan oleh Jean Piaget, yang memandang individu sebagai struktur kognitif, peta
mental, skema atau jaringan konsep guna memahami dan menanggapi pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan. Pandangan Piaget digambarkan lewat bagan perilaku inteligen
sebagai berikut.

PERILAKU<=>STRUKTUR KOGNITIF<=>FUNGSI ASIMILASI-AKOMODASI<=>TUNTUTAN


LINGKUNGAN
Individu bereaksi pada lingkungan melalui upaya mengasimilasikan berbagai informasi ke dalam
struktur kognitifnya. Dalam proses asimilasi tersebut, perilaku indivisu diperintah struktur
kognitifnya. Waktu mengakomondasi lingkungan, struktur kognitif diubah lingkungan. Asimilasi
ditempuh ketika individu menyatukan informasi baru ke perbendaharaan informasi yang sudah
dimiliki atau diketahuinya kemudian menggantikannya dengan informasi terbaru. Individu
mengorganisasikan makna informasi itu ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory).
Ingatan jangka panjang yang terorganisasikan inilah yang diartikan sebagai struktur kognitif.
Struktur kognitif berisi sejumlah coding yang mengandung segi-segi intelek yang mengatur atau
memerintah perilaku individu; perubahan perilaku mendasari penetapan tahap-tahap
perkembangan kognitif.

2. Teori Kognisi Sosial

Teori ini dikembangkan oleh L.S. Vygotsky, yang didasari oleh pemikiran bahwa budaya
berperan penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap
individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya lingkungan individu
membelajarkannya apa dan bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai
berikut.:

Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara, yaitu melalui
budaya dan lingkungan budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan) individu
diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya sarana adaptasi intelektual bagi individu
berupa proses dan sarana berpikir bagi individu dapat tersedia. Perkembangan kognitif
dihasilkan dari proses dialektis (proses percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar
dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama prangtua, guru, saudara sekandung dan
teman sebaya. Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab
membimbing pemecahan masalah, lambat-laun tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh
individu yang bersangkutan.Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk
menyalurkan sebagian besar pembendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi intelektual,
ia berbahasa batiniah (internal language) untuk mengendalikan perilaku. Internalisasi merujuk
pada proses belajar. Menginternalisasikan pengetahuan dan alat berpikir adalah hal yang
pertama kali hadir ke kehidupan individu melalui bahasa.

Terjadi zone of proximal development atau kesengajaan antara sanggup dilakukan individu
sendiri dengan yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa. Konsep zone of proximal
development merujuk pada zona yang mana individu memerlukan bimbingan guna
melelanjutkan belajarnya Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak di
antara pemecahan masalahnya ditopang orang dewasa, maka pendidikan hendaknya tidak
berpusat pada individu dala isolasi dari budayanya. Interaksi dengan budaya sekeliling dan
lembaga-lembaga sosial sebagaimana orangtua, saudara sekandung, individu dan teman sebaya
yang lebih cakap sangat memberi sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual
individu.

3. Teori Pemrosesan Informasi

Berdasarkan temuan riset linguistik, psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan
model berpikir. Pusat kajiannya dalam proses belajar dan menggambarkan cara individu
memanipulasi simbol dan memproses informasi.

Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk
kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-
kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan
untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses
pembelajaran.

Ketika individu belajar, di dalam dirinya berlangsung proses kendali atau pemantau bekerjanya
sistem yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan informasi ke dalam long-
term memory (materi memory atau ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi
kreativitas).

Prinsip-prinsip teori kognitif:


Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran
tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu Penyusunan materi pelajaran harus dari
sederhana ke kompleks Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya
menghafal tanpa pengertian penyajian Implikasi teori kognitif Piaget dalam pembelajaran:

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.

3. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

4. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

1. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.

2. Aplikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran:

3. Guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam
proses berpikirnya,

4. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda
konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan
menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks,

5. Guru menciptakan pembelajaran yang bermakna,

6. Memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.

 Kelebihan Teori Belajar Kognitif:

 Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri

 Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah


 Kekurangan Teori Belajar Kognitif:

 Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.

 Sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut.

 Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum
tuntas.

5. Teori Eysenck

menjelaskan bahwa tipe kepribadianadalah organisasi di dalam diri individu yang bersifat
umum, dan lebih mencakup hal luas2Perhatian Eysenck tertuju pada dimensi-dimensi dasar atau tipe-
tipe kepribadian, yang bertujuan menemukan dimensi-dimensi primer sebuah kepribadian, yang akan
memungkinkan menyusun tipologi kepribadian yang baik dan tahan uji. Lebih lanjut Eysenck
menyatakan bahwa ada dua faktor yang menjadi dasar kepribadian, yaitu ”neuroticism” dan
”introversion-extroversion”. Sebagai hasil penyelidikan, Eysenck membuat pencandraan mengenai
introvert dan ekstrovert. Penggolongan tipe kepribadian menjadi dua hal tersebut dipandang sederhana
tapi merupakan dimensi pokok yang didefinisikan dengan teliti dan jelas. Rorchach dalam Chaplin27,
mengemukakan bahwa introversiveness (introversivitas) sebagai suatu kepribadian seseorang yang
menampilkan suatu fungsi imajinatif yang berkembang dengan baik, dan mengurangi reaktifitas dari
dunia luar. Individu introversive mereaksi lebih banyak dengan sistem syarat otak dan otonomis dari
pada dengan sistem otot atau urat berjalur Jung dalam Suryabrata28 menguraikan individu dengan tipe
keribadian introvert lebih utama diperngaruhi dunia subjektif, yaitu dunia di dalam diri sendiri.
Orientasinya terutama tertuju ke dalam pikiran,, perasaan, serta tindakan-tindakan terutama ditentukan
oleh faktor subjektif. penyesuaian dengan dunia luar kurang baik. jiwa tertutup, sukar bergaul, sukar
berhubungan dengan individu lain, kurang dapat menarik hati individu lain. Tetapi penyesuaian dengan
batin sendiri cukup baik. Bahaya dari tipe kepribadian ini adalah bila jarak dengan dunia subjektif terlalu
jauh, sehingga individu lepas dari dunia objektifnya sendiri.

Kepribadian Menurut Eysenck

Eysenck lahir di Jerman pada tanggal 4 Maret 1916. Ayahnya adalah seorang actor yang bercerai
dengan ibunya ketika dia berusia dua tahun. Ia kemudian dirawat oleh neneknya, dan ketika NAZI
berkuasa, ia pindah ke Inggris karena dia adalah simpatisan yahudiyang tentu saja merasa terancam32.
Dia menerima gelar doktor dalam bidang psikologi dari Universitas London pada tahun 1940. Setelah
Perang Dunia II usai, ia mengajar di Universitas London. Ia menulis 75 buku dan lebih dari 700 artikel.
Hans Eysenck adalah seorang psikolog terkenal yang memakai pendekatan behaviorisme dalam melihat
kepribadian manusia. Teori Eysenck sebagian besar didasarkan pada fisiologi dan genetika.Meskipun dia
seorang behavioris, namun Eysenck melihat perbedaan kepribadian lebih disebabkan oleh faktor
keturunan atau genetika Salah satu metode yang dipakai Eysenck adalah teknik statistik yang disebut
analisis faktor. Caranya adalah responden diberikan daftar berisi sifat-sifat manusia untuk mereka pilih
sesuai kepribadian mereka. Misalnya saja, ada kata-kata "malu", "introvert", "ekstrovert", "liar", dan lain
sebagainya. Orang yang pemalu pasti akan memilih kata "introvert" dan "malu" ketimbang "ekstrovert"
dan "liar". Data-data tersebut menjadi bahan mentah bagi peneliti analisis faktor tersebut.Secara garis
besar, pada karya-karyanya Eysenck napak jelas pengaruh Spearman. Pada sisi lain, jika ditelisik dari
rumusan-rumusan teorinya, nampak kesamaan corak dengan karya ahli-ahli tipologi eropa daratan,
seperti Jeansch, Jung, Kreapelin, dan Kretscmer. Eysenck sendiri beranggapan bahwa penyelidikan-
penyelidikannya berhubungan langsung dengan perumus tersebut. Eysenck memberikan devinisi
kepribadian sebagai berikut;Personality is the sum total of actual or potensialbehavior patterns of the
organism as determineed by heredity and environment ; it organites and develops throught the
fungctional interaction of the four mainseltors into wich these behavior patterns are organized ;
thecignitive sector (intelegence) , theconative sector (character)the affective sector (temperament) and
somative sector (constitution). Yaitu bahwa kepribadian merupakan jumlah total dari aktual atau
potensial organisme yang ditentukan oleh hereditas dan lingkungan; ini berawal dan berkembang
melalui interaksi fungsional dari sektor utama dalam pola perilaku yang diorganisasikan : sektor
kognitif(intelejen), sektor konatif (karakter), sektor afektif (temperamen), dan sektor somatis
(konstitusi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah sesuatu yang timbul dari
efektivitas sebagai total pola-pola perilaku aktual atau potensial dari individu yang mendatangkan
stimulus dari orang sekitarnya, dan sulit untuk dipahami, yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
internal dari individu dimana kedua faktor tesebut juga saling mengadakan interaksi . Selanjutnya,
Eysenck juga membahas tentang struktur kepribadian. Menurutnya, kepribadian tersusun atas tindakan
tindakan, disposisi – disposisi yang terorganisasi dalam susunan hierarkis berdasarkan atas keumuman
dan kepentingannya. Diurut dari yang paling tinggi dan paling mencakup ke paling rendah dan paling
umum, serta isinya masing-masing adalah sebagai berikut:

a. type; yaitu organisasi di dalam individu yang lebih umum, yang lebih mencakup lagi

b. trait ; yaitu sementara habitual response yang paling berhubungan satu sama lain yang cenderung ada
pada individu tertentu

c. habitual response; mampunyai corak yang lebih umum dari pada spesific response, yaitu respon-
respon yang berulang-ulang terjadi jika individu menghadapi kondisi atau situasi yang sejenis

d. spesific response; tindakan atau respon yang terjadi pada suatu

keadaan atau kejadian tertentu, jadi khusus sekaliSecara lebih jelas,

Eysenck memfokuskan diri untuk meneliti tentang apa yang ia sebut sebagai neuroticism dan
introversion-ekstraversion. Neuroticism adalah istilah yang diberikan oleh Eysenck untuk dimensi yang
mancakup mulai dari orang-orang mormal, ramah dan biasa-biasa saja sampai orang yang agak gugup.
Penelitiannya menunjukkan bahwa orang gugup lebih cenderung mengalami gangguan kegugupan, yang
biasa kita sebut sebagai Neurosis. Namun begitu, Eysenck menganggap bahwa individu dengan sekor
nurosismenya yang tinggi belum tentu nurotik.Dimensi kedua adalah ekstraversi introversi. Apa yang
ingin dikatakan oleh Eysenck dengan istilah ini, sangat mirip dengan apa yang telah dikatakan oleh Jung,
dan mirip dengan pengertian awam kita atas istilah ini. Dalam hipotesisnya, Eysenck menyatakan bahwa
istilah ekstraversi dan introversi adalah masalah keseimbangan antara “kesabaran” dan “semangat”
yang terdapat dalam otak.

Gagasan ini mirip dengan apa yang dikatakan Pavlov untuk menjelaskan reaksi yang diberikan
anjing ketika mengalami stress. “Semangat” adalah bangkitnya otak, menanggapi tanda bahaya,
mempelajari situasi dan kondisi. “Kesabaran” adalah penanganan diri yang dilakukan otak,apakah itu
dalam pengertian relaks atau tidur, maupun dalam arti melindungi diri dari keadaan yang tidak
menguntungkan. Menurut Eysenck, orang dengan tipe kepribadian ekstrovertmemiliki kendali diri yang
kuat. Ketika menghadapi rangsangan traumatik-seperti kecelakaan-otak ekstrovert akan menahan diri.
Artinya, dia tidak akan mengacuhkan trauma yang dialami, dan karenanya tidak akan terlalu teringat
dengan apa yang telah terjadi. Sebaliknya, individu dengan tipe kepribadian introvert memiliki kendali
diri yang buruk. Ketika mengalami trauma, otaknya tidak terlalu sigap melindungi diri sendiri dan lebih
memilih berdian diri pasif. Kemudian dia akan malah membesar-besarkan masalah dan mempelajari
detail-detail kejadian sehingga orang tersebut akan mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi.
Meraka akan bereaksi dengan traumatiknya, sehingga setelah sebuah kecelakaan mobil, mereka akan
membutuhkan waktu yang lama untuk kembali mengendarai mobil, atau bahkan tidak mau sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai