Anda di halaman 1dari 40

ARTIKEL KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM


ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN
HUKUM

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

DISUSUN OLEH:

Nama : Adinda Ainiyyah Anwar


NIM : C1M020002
Fakultas&Prodi : Pertanian & Agroekoteknologi
Semester : 1 (Gasal)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas selesainya
tugas ini tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun.

Sholawat serta Salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW atas berkat dan
rahmatnya Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam

penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan
penulis tugas ini akan memberi manfaat bagi kita semua.

Penyusun, Mataram 24 Oktober 2020

Nama Adinda Ainiyyah Anwar


NIM C1M020002

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER………………………………………….……………………………..i
KATA PENGANTAR……………………………………….………………………………ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….….….iii
BAB I Tauhid: Keistimewaan & Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam.…1
A. Filsafat Ketuhaan Islam…………………………………………………….….....…….1
B. Pemikiran Umat Islam………………………………………………………….…....….1
C. Pembuktian Wujud Tuhan………………………………………………..………...…..4
D. Konsep Ketuhanan dalam Islam…………………………………………..……...…...5
BAB II Al-Qur’an dan Al-Hadits: Sumber Sains&Teknologi………..…...…….....7
A. Hubungan Al-Qur’an dan Hadits dengan Sains………………………….…………..7
B. Hubungan Al-Qur’an dengan Sains…………………………………………….……..7
C. Hubungan Hadits dengan Sains……………………………………………..………..9
D. Tafsir Ayat tentang teknologi……………………………………………….……...….10
E. Sains dan Teknologi Kunci Kebangkitan Islam……………………………….……..11
BAB III Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits………………………………….…….12
A. Dalil Dari Al-Qur’an Tentang Generasi Terbaik Umat Islam…………………….….12
B. Generasi Terbaik Dalam Hadits………………………………………………...……..14
1. Sahabat………………………………………………………………………………...…14
2. Tabi’in……………………………………………………………………………………..15
3. Tabi’ut Tabi’in…………………………………………………………………………….16
BAB IV Salafussoleh Menurut Al-Hadits……………………………………………..17
A. Salafussoleh Menurut Al-Hadist……………………………………………….………17
B. Dalil Dari As-Sunnah……………………………………………………………………17
BAB V Berbagi, Penegakan dan Keadilan Hukum Dalam Islam………..……….20
A. Berbagi Dalam Islam……………………………………………………………………20
1. Sedekah…………………………………………………………………………………..20
2. Hibah………………………………………………………………………………………23
3. Hadiah …………………………………………………………………………………….26
B. Keadilan Dan Penegak Hukum…………………………………………………………27
1. Penegak Hukum Dalam Al-Qur’an……………………………………………………..27
2. Keadilan dan Penegakan Hukum Menurut Perspektif al-Qur’an……………………29
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..……37

iii
Bab I

Tauhid: Keistimewaan & Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam


A. FILSAFAT KETUHANAN ISLAM
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, harus
dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah SWT, kecintaan, pengharapan,
ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakal nilai yang harus ditumbuhkan
secara subur dalam pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang
lain dalam Islam.

Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual


(QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah
emosi tetapi didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut
insya Allah menuju dan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).

Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan
Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.

B. PEMIKIRAN UMAT ISLAM


Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan mutlak yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah
yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam
pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup
menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh
penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya
faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah
Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq
secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh
Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar,
yaitu persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah),
sekelompok orang Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib
(fanatisme Ali), dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar.
Pada periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena

1
sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa
khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul
Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah
terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi
Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus
dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan
Muawiyah bin Abi Sufyan.

Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari


perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai.
Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi
untuk memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah
mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya
tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah
dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan
pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada
Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan
Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua
disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga
kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3)
Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak


segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan
kelompok lainnya. Menurut Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik
pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir
karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak
bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum
berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya,
berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ‫َّللا فَأُولَئِكَ هُ ُم الْكَاف ُِرون‬


ُ ‫َو َم ْن لَ ْم َي ْحكُ ْم ِب َما أَنْزَ َل ه‬

2
Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-
Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok


lain membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar
akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu
Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan
pendapat tentang orang yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan
bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para
pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah,
mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin
beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang
mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan
bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan
perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau
mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang


dimajukan tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil
ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan
kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian
tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku
dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik.
Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah
ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang
yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-
Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry
mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita.)
Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih
jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan


konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik
pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus).
Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

• Meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya

3
• Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
• Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
• Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
• Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut menurut Muktazilah Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang
baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-
kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam
posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional
dengan sebutan Qadariah.

C. Pembuktian Wujud Tuhan


Adanya alam organisasi yang menakjubkan dan rahasia yang pelik, tidak boleh
memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya,
suatu akal yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada”
dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan
inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.

Dalam al-Quran, penggambaran tentang pengakuan akan eksistensi Tuhan


dapat ditemukan dalam Q.S al-Ankabut, 29: 61-63. Dalam ayat 61-63 dijelaskan bahwa:
“bangsa arab yang penyembah berhala tidak menolak eksistensi pencipta langit dan
bumi.

Berdasarkan kandungan ayat ini, dapat dipahami bahwa bangsa arab


sesungguhnya telah memahami dan meyakini akan eksistensi Tuhan sebagai pencipta
langit dan bumi serta pengaturnya. Namun menurut al-Quran, ada segelintir anak
manusia yang menolak eksistensi tuhan, seperti penggambaran al-Quran dalam Q.S.
al-Jasyiah (45): 24. Ayat ini menegaskan bahwa: “mereka berkata: “ kehidupan ini tidak
lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang
membinasakan kita selain masa.” Penolakan akan eksistensi tuhan oleh sebagian kecil
manusia itu, hanya didasarkan pada dugaan semata dan tidak didasarkan pada
pengetahuan yang meyakinkan seperti ditegaskan dalam klausa penutup ayat 24
tersebut, yaitu:”mereka sekali kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka
tidak lain hanyalah menduga-duga saja.

Keesaan Allah SWT adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan
dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat Laa ilaaha

4
illa Allah harus menempatkan Allah SWT sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan
dan ucapannya.

Banyak sekali bukti-bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa


Tuhan adalah Wujud (ada). Bukti klasik yang sering digunakan adalah tentang adanya
alam semesta. Setiap sesuatu yang ada tentu diciptakan dan pencipta adalah Allah
SWT Tuhan pencipta alam semesta. Pembuktian dengan pendekatan seperti diatas
sebenarnya bukanlah hal baru lagi. Jauh sebelum umat Islam menggunakan pembuktian
semacam itu, Plato telah mengemukakan teori dalam bukunya Timaeus yang
mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi mesti ada yang menjadikan.

D. Konsep Ketuhanan dalam Islam


Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang
yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran
konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu)
dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain
dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-
Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

ِ‫َّللا‬
‫ب ه‬ ِ ‫َّللا أَنْدَادًا يُحِ بُّونَ ُه ْم َك ُح‬ ِ ‫اس َم ْن َيتهخِ ذُ م ِْن د‬
ِ ‫ُون ه‬ ِ ‫َومِنَ النه‬

Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep


tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-
ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu
Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15
tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-
Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan
masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha
besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut
timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad?
Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah
mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang
dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak
demikian kejadiannya.

5
Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam
Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

ُ ‫س َوالْقَ َم َر لَ َي ُقو ُلنه ه‬


َ‫َّللا فَأَنهى يُؤْ فَكُون‬ َ ‫س هخ َر الشه ْم‬ ِ ‫سأَلْتَ ُه ْم َم ْن َخلَقَ السه َم َوا‬
َ ْ‫ت َو ْاْلَر‬
َ ‫ض َو‬ َ ‫َولَئ ِْن‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu


berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan
bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar
itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah
yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta,
melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana


dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah
yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping
Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah
hasanah.

6
Bab 2
SAINS & TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS

A. Hubungan Al-Qur’an dan Hadits dengan Sains


Al-Qur’an adalah mu’jizat Islam yang kekal dan mu’jizatnya selalu diperkuat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasulullah
Muhammad SAW. untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju jalan yang
terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.[1]

Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lain adalah penekanannya
terhadap masalah ilmu (sains). Al-Qur’an dan Hadits mengajak kaum muslim untuk
mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat yang tinggi.

Dalam al-Qur’an kata al-‘ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali.
Beberapa ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW., menyebutkan
pentingnya membaca, pena, dan ajaran untuk manusia.[2] Sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.

Tidak hanya dalam al-Qur’an saja yang membahas pentingnya ilmu pengetahuan,
bahkan banyak di dalam Hadits Rasulullah SAW. juga ada pernyataan-pernyataan yang
memuji ilmu dan orang yang terdidik. Sejumlah Hadits mengenai hal ini dinisbatkan
kepada Nabi SAW. yang beberapa di antaranya: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap
muslim”, “Carilah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Para Ulama itu adalah pewaris Nabi”.[3]

B. Hubungan Al-Qur’an dengan Sains


Sebelum al-Qur’an turun, yang menguasai ilmu itu hanyalah tokoh-tokoh agama,
pemuka masyarakat, ahli hikmah dan filosof. Ilmu itu pun diwarnai khurafat yang
digunakan untuk maksud-maksud tertentu, seperti untuk mengeksploitasi sesama
manusia atau menipu yang bodoh.[4]

Ketika al-Qur’an datang, ilmu mempunyai tujuan mulia yaitu untuk kebaikan dan
kemaslahatan manusia. Karena itu, setiap muslim diwajibkan menuntutnya. Sebagai
disebutkan dalam hadits:

7
‫علَى كُ ِل ُم ْسل ٍِم َو ُم ْس ِل َم ٍة‬ َ ْ‫ط َلبُ الْعِلْ ِم ف َِري‬
َ ٌ‫ضة‬ َ

“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan.”

Dari al-Qur’an lahir berbagai cabang imu pengetahuan seperti tajwid, nahwu, sejarah,
tafsir, dan sebagainya. Karena itu, dapat disebutkan bahwa al-Qur’an merupakan induk
segala ilmu. Kemudian melalui orang-orang Islam, ilmu pun berkembang dan
menyebar.[5]

Sifat ilmu pengetahuan adalah dapat diterima oleh rasio atau akal. Al-Qur’an
memberikan penghargaan yang amat tinggi terhadap akal. Tidak sedikit ayat al-Qur’an
yang menganjurkan dan mendorong manusia agar mempergunakan pikiran dan
akalnya. Dengan penggunaan akal dan pikiran tersebut ilmu pengetahuan dapat
diperoleh dan dikembangkan. Allah SWT. berfirman dalam surat ar-Rum: 8

“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan
(tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di
antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya”.

Al-Qur’an sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu
umum. Yang ada dalam al-Qur’an adalah ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam
dan ilmu umum merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu
berdasarkan sumber objek kajiannya. Ilmu-ilmu tersebut seluruhnya pada hakikatnya
berasal dari Allah, karena sumber-sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya,
manusia dengan perilakunya, akal pikiran dan intuisi batin seluruhnya ciptaan dan
anugerah Allah yang diberikan kepada manusia.[6]

Terdapat perselisihan pendapat antara para ulama yang telah lama berlangsung
mengenai hubungan al-Qur’an dan sains. Dalam kitab Jawahir al-Qur’an, Imam al-
Ghazali pada bab “Munculnya Ilmu-ilmu Klasik dan Modern dari al-Qur’an” menerangkan
bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah
diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an. Imam al-Suyuthi juga
memiliki pandangan yang sama dengan Imam al-Ghazali.[7] Dalam bukunya al-Ithqan fi
‘Ulum al-Qur’an, beliau berpendapat bahwa al-Qur’an mencakup seluruh ilmu klasik dan
modern.[8]

Dalam hal ini, perlu untuk menyebutkan bahwa motif para ulama terdahulu dalam
memandang al-Qur’an sebagai sumber seluruh ilmu itu lahir dari keyakinan terhadap

8
komprehensifnya al-Qur’an. Akan tetapi, para ulama sekarang, di samping meyakini hal
ini, mereka lebih menekankan pembuktian akan keajaiban al-Qur’an dalam bidang
keilmuaan. Oleh karena itu, mereka mencoba mencocokkan al-Qur’an dengan
penemuan-penemuan sains kontemporer.[9]

Al-Qur’an semakin laris dikaji oleh para ilmuwan terutama masyarakat nonmuslim.
Terbukti, al-Qur’an banyak memberikan informasi tentang IPTEK yang semakin hari
semakin nyata lewat kajian dan percobaan yang mengagumkan. Sebagai contoh, hasil
percobaan pemotretan atas pegunungan di Nejed (Arab Saudi) oleh Telster (Satelit
Amerika Serikat) ternyata diketahui bahwa gunung-gunung yang tampak di mata kita
seolah tetap, sesungguhnya gunung-gunung itu berarak sebagaimana mega. Firman
Allah SWT dalam surat an-Naml: 88.

“Dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di tempatnya, Padahal ia
berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan
kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.

Jangkau pengamatan empirik dan rasio kita terlalu lemah, dan akal kita tidak mampu
mencerna bahwa gunung-gunung sedahsyat itu yang tertancap di bumi, dikatakan
dalam al-Qur’an berjalan sebagaimana awan. Tetapi ternyata hal itu kini telah dibuktikan
oleh IPTEK sebagai perpanjangan pengamatan manusia.

C. Hubungan Hadits dengan Sains


Ilmu pengetahuan yang diserukan Islam dan dianjurkan oleh Hadits adalah ilmu yang
didasarkan pada pembuktian, karena itu taqlid tidak dianggap ilmu dalam Islam, sebab
ia hanya mengikuti pendapat orang lain tanpa argumen. Dengan begitu, ilmu dalam
Islam itu meliputi suau bidang yang sangat luas, tidak dapat ditampung oleh istilah “ilmu”
yang kini di dunia Barat modern.

Ilmu dalam Islam meliputi perkara metafisika yang disampaikan oleh wahyu yang
mengungkapkan berbagai hakikat wujud yang agung dan menjawab berbagai persoalan
rumit yang tetap tak terjawab sejak manusia mulai berpikir dan berfilsafat. Inilah arti kata
“ilmu” yang utama, bahkan Imam Ibnu Abdul Barr menyebutnya sebagai “ilmu tertinggi”.

Ilmu dalam Islam tidak hanya berhenti pada batas ini yang sekadar mengkaji obyek-
obyek bendawi. Islam juga tidak menganggap ilmu ini bertentangan dengan iman

9
sebagaimana agama-agama lain menganggapnya dalam periode tertentu perjalanan
sejarah mereka.[13]

Contoh bukti Hadits Nabi SAW sebagai sumber ilmu pengetahuan salah satunya yaitu
khasiat zaitun. Nabi bersabda:

‫ار َك ٍة‬
َ ‫ش َج َرةٍ ُم َب‬ ‫كُلُ ْوا ه‬
َ ‫الزيْتَ َوا هد ِهن ُْوا ِب ِه فَإِنههُ م ِْن‬

“Makanlah zaitun (sebagai lauk bersama roti) dan berminyaklah dengannya,


sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi.”

Hadits Nabi ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (Kitab Al-Ath’imah).
Dalam hadits ini menjelaskan bahwa buah zaitun dan minyaknya memiliki khasiat dan
juga berasal dari pohon yang diberkahi.

Melalui serangkaian penelitian dan percobaan yang rumit terbukti bahwa mengkonsumsi
minyak zaitun dengan teratur memberi andil yang efektif untuk mencegah berbagai
macam penyakit. Diantaranya, penyumbatan pembuluh darah coroner (jantung koroner),
peningkatan kadar lemak berbahaya dalam darah, tekanan darah tinggi, kencing batu,
dan beberapa kanker (seperti kanker perut, kolon, payudara, rahim, dan kulit). Minyak
zaitun juga dapat digunakan untuk mencegah pemborokan system pencernaan (ulcer of
the stomach).[14]

D.Tafsir Ayat tentang teknologi

Menelusuri pandangan Al-Qur’an tentang teknologi, mengundang kita untuk menengok


sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian
ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam materi dan
fenomenanya, dan memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam
ini. Secara tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan
Allah untuk manusia.

“Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya (sebagai anugrah) dari-Nya”[5].

Jadi, dapat dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Al-
Qur’an. Sebelum menjawab pertanyaan, ada dua catatan yang perlu diperhatikan.

10
Pertama, ketika Al-Qur’an berbicara tentang alam raya dan fenomenanya, terlihat secara
jelas bahwa pembicaraannya selalu dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah
SWT. Misalnya uraian Al-Qur’an tentang kejadian alam.

“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah satu yang padu, kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya, dan dari air Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?”[6].

Ayat ini dipahami oleh banyak ulama kontemporer sebagai isyarat tentang teori Big Bang
(Ledakan Besar) yang mengawali terciptanya langit dan bumi. Para pakar boleh saja
berbeda pendapat tentang makna ayat tersebut, atau mengenai proses terjadinya
pemisahan langit dan bumi. Yang pasti, ketika Al-Qur’an berbicara tentang kekuasaan
dan kebesaran Allah, serta keharusan beriman kepada-Nya.

Berdasarkan petunjuk kitab seorang Muslim dapat menerima hasil-hasil teknologi yang
sumbernya netral, dan tidak menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi manusia,
baik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan unsur “debu tanah” manusia maupun
unsur “ruh Ilahi”manusia.

E. Sains dan Teknologi Kunci Kebangkitan Islam.

Umat Islam sejauh ini memandang sains dan teknologi sebagai barang sekunder, dan
menempatkannya di posisi pinggiran. Dengan pandangan demikian, tidak heran jika
umat Islam jauh tertinggal dalam bidang sains dan teknologi. Padahal kedua hal tersebut
di masa lalu pernah dikuasai umat Islam sehingga umat Rasulullah ini meraih
kejayaannya dan diperhitungkan oleh bangsa dan umat-umat lainnya. Berikut
pandangan para cendekia muslim dalam konferensi internasional Tajdid Islam Kedua
bertema, “Ke Arah Kemantapan Sistem Pendidikan Islam dan Kemajuan Sains dan
Teknologi di Alam Melayu” di Sepang, Malaysia (13-15 April 2006).

Menurut Prof Zuhal, ketertinggalan umat Islam yang paling menonjol adalah pada
penguasaan sains dan teknologi. “Tidak ada pilihan lain, jika umat ini ingin maju, maka
kedua hal itu harus diraih. Itu kunci kesejahteraan dan kemajuan,” ujarnya. Pandangan
Prof Khalijah, hilangnya simbol kejayaan umat Islam di masa lalu antara lain disebabkan
umat Islam meninggalkan tradisi yang pernah dipraktekkan para ilmuwan dan ulama di
masa lalu. “Tradisi pembaruan dan pemikiran hilang dari umat Islam. Ini tugas kita
bersama. Kalau kita tak melakukan tajdid (pembaruan), umat ini akan semakin
terpinggirkan,” katanya.

11
Bab 3
Generasi Terbaik Umat Islam

A. DALIL DARI AL QUR’AN

Allah berfirman dalam Al Qur’an:

Nadhir bin Sa’id Alu Mubarak berkata: “Allah Yang Maha Suci telah menjadikan
keimanan, sebagaimana keimanan sahabat dari seluruh sisi, sebagai tempat
bergantung petunjuk dan keselamatan dari maksiat dan memusuhi Allah. Maka, jika
manusia beriman dengan sifat ini, dan mengikuti teladan jalan sahabat, berarti dia
mendapatkan petunjuk menetapi kebenaran. Jika mereka berpaling dari jalan dan
pemahaman sahabat, maka mereka berada di dalam perpecahan, permusuhan dan
kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya. Dan Allah Maha mendengar terhadap
pengakuan manusia, bahwa mereka beraqidah dan bermanhaj Salafi, Dia mengetahui
hakikat urusan mereka. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. [Diringkas dari kitab Al
Mirqah Fii Nahjis Salaf Sabilin Najah, hlm. 35-36].

‫يرا‬
ً ‫ص‬ ْ ُ‫سبِي ِل الْ ُمؤْ ِمنِينَ ن َُو ِل ِه َما ت ََولهى َون‬
َ ‫ص ِل ِه َج َهنه َم َو‬
ِ ‫سآ َءتْ َم‬ َ ‫الرسُو َل ِمن بَعْ ِد َما تَبَيهنَ لَهُ الْ ُهدَى َويَتهبِ ْع‬
َ ‫غي َْر‬ ‫ق ه‬ ِ ِ‫َو َمن يُشَاق‬

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa’:115]. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu’min, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang
mu’min. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang
mu’min, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” Lihat Majmu’.

‫اس قَرْ نِي ثُ هم الهذِينَ يَلُونَ ُه ْم ثُ هم ا هلذِينَ يَلُونَ ُه ْم‬


ِ ‫َخي ُْر النه‬

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-


orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan
lainnya]. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

12
memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara
mutlak. Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah
(berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”. [3]. Para sahabat adalah manusia
terbaik, karena mereka merupakan murid-murid Rasulullah . Dibandingkan dengan
generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami Al Qur’an. Mengikuti
pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelahnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِ‫ت َوسُنه ِة الْ ُخلَفَاء‬ ِ ‫ِيرا فَعَلَيْكُ ْم بِسُنه‬ً ‫سيَ َرى ا ْخت ََِلفًا َكث‬ َ َ‫ِش ِمنْكُ ْم بَعْدِي ف‬ ْ ‫عبْدًا َحبَ ِشيًّا فَإِنههُ َم ْن يَع‬ َ ‫َّللا َوالسه ْم ِع َوالطها‬
َ ‫ع ِة َو ِإ ْن‬ ِ ُ‫أ‬
ِ ‫وصيكُ ْم بِتَقْ َوى ه‬
ٌ‫ض ََللَة‬
َ ‫ع ٍة‬ َ ‫عةٌ َوكُ هل بِ ْد‬
َ ‫ور فَإِنه كُ هل ُم ْح َدثَ ٍة بِ ْد‬ ِ ‫ت ْاْل ُ ُم‬ ِ ‫اج ِذ َوإِيهاكُ ْم َو ُم ْح َدثَا‬
ِ ‫علَيْ َها بِالنه َو‬َ ‫عضُّوا‬ ‫الْ َم ْهدِيِينَ ه‬
َ ‫الرا ِشدِينَ تَ َمسهكُوا بِ َها َو‬

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada
penguasa kaum muslimin), walaupun (dia) seorang budak Habsyi. Karena
sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang
banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para khalifah
yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham.
Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam
agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. [HR Abu Dawud, no. 4607;
Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah]. Imam Ibnul
Qoyyim rahimahullah berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan
sunnah (jalan, ajaran) para khalifah Beliau dengan Sunnahnya.

[4]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ار ِإ هَّل ِملهةً َواحِ َدةً قَالُوا َو َم ْن‬ِ ‫سبْعِينَ ِملهةً كُلُّ ُه ْم فِي النه‬ َ ‫سبْعِينَ ِملهةً َوتَفْت َِر ُق أُ همتِي‬
ٍ ‫علَى ثَ ََل‬
َ ‫ث َو‬ َ ‫علَى ثِنْتَي ِْن َو‬
َ ْ‫َو ِإنه بَنِي ِإس َْرائِي َل تَف هَرقَت‬
‫ص َحابِي‬ ْ َ‫علَيْ ِه َوأ‬
َ ‫َّللا قَا َل َما أَنَا‬
ِ ‫ِي يَا َرسُو َل ه‬ َ ‫ه‬

Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya


umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka,
kecuali satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku.” [5]. Ketika
menjelaskan hubungan hadits ke-3 dengan hadits ke-2 ini, Syaikh Salim Al Hilali
berkata,”Barangsiapa yang memperhatikan dua hadits itu, ia pasti mendapatkan
keduanya membicarakan tentang satu masalah. Dan solusinya sama, yaitu jalan
keselamatan, kekuatan kehidupan, ketika umat (Islam) menjadi jalan yang berbeda-
beda, maka pemahaman yang haq adalah apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat
beliau Radhiyallahu ‘anhum“[6] DIANTARA PERKATAAN SAHABAT DAN ULAMA

13
ISLAM 1. Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu. Dia membantah orang-orang yang
menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang yang duduk
melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan kerikil dan dipimpin
satu orang dari mereka. Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

ْ‫سر‬ َ ‫سله َم ُمت ََواف ُِرونَ َوهَ ِذ ِه ثِيَابُهُ َل ْم تَبْ َل َوآنِيَتُهُ لَ ْم تُ ْك‬
َ ‫ع َليْ ِه َو‬ ُ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللا‬ َ ِ‫َويْ َحكُ ْم يَا أُ همةَ ُم َح هم ٍد َما أَس َْرعَ هَلَ َكتَكُ ْم هَؤ ََُّلء‬
َ ‫ص َحابَةُ نَبِيِ ُك ْم‬
‫ض ََللَ ٍة‬َ ‫ب‬ ِ ‫ِي أَ ْهدَى م ِْن ِمله ِة ُم َح هم ٍد أَ ْو ُمفْتَتِحُو بَا‬ َ ‫َوالهذِي نَفْسِي بِيَ ِد ِه إِنهكُ ْم لَعَلَى ِمله ٍة ه‬

Celaka kamu, wahai umat Muhammad. Alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Mereka
ini, para sahabat Rasulullah masih banyak, ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan
bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi Allah Yang jiwaku di tanganNya,
sesungguhnya kamu berada di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama
Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan. [HR
Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bid’ah Wa Atsaruha As Sayi’
Fil Ummah, hlm. 44].

Tetapi diantara umat Rasulullah, terdapat beberapa generasi terbaik, sebagaimana


beliau sebutkan dalam sebuah hadits mutawatir, beliau bersabda :
“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang
yang mengiringinya (yakni tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni
generasi tabi’ut tabi’in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya)

B. generasi terbaik dalam hadits

1. Sahabat

Sahabat adalah orang-orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam secara langsung serta membantu perjuangan beliau. Menurut Imam
Ahmad, siapa saja diantara orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah, baik
sebulan, sepekan, sehari atau bahkan cuma sesaat maka ia dikatakan sebagai sahabat.
Derajatnya masing-masing ditentukan dengan seberapa lama ia menyertai Rasulullah.

• Abdullah bin • Ali bin Abi Talib • Mua'dz bin Jabal • Thalhah bin
Umar • Amru bin Ash • Mua'wiyah bin Ubaidillah
• Abdurrahman bin • Bilal bin Rabah Abu Sufyan • Zaid bin Khattab
Auf • Hakim bin Hazm • Mus'ab bin Umair • Umar bin Khattab
• Abu Bakar • Salman al-Farisi

14
• Abu Dzar Al- • Hamzah bin • Sa'ad bin Abi • Usamah bin Zaid
Ghiffari Abdul Muthalib Waqqas bin Haritsah
• Abu Hurairah • Imran bin • Sa'ad bin • Usman bin Affan
• Abu Thufail al- Hushain 'Ubadah • Wahsyi bin Harb
Laitsi • Khalid bin Walid • Sa'id bin Zayd bin • Zubair bin
• Abu Ubaidah bin `Amr Awwam
al-Jarrah
Para sahabat merupakan orang-orang yang mewariskan ilmu dari Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Diantara sahabat yang terbaik adalah para Khulafaur Rasyidin,

2. Tabi’in

Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau setelah
beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta melihat para
sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari para
sahabat Rasulullah.

Salah seorang terbaik dari generasi Tabi’in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah
mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat, tetapi
tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah disebutkan secara
langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi terkenal di
langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan Ali, untuk mencari
Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan orang yang memiliki doa
yang diijabah oleh Allah.

• Said bin Al-Musayyib


• Urwah bin Az-Zubair
• Saalim bin Abdillah bin Umar
• Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud
• Muhammad bin Al-Hanafiyah
• Ali bin Al-Hasan Zainal Abidin
• Al-Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq
• Al-Hasan Al-Bashriy
• Muhammad bin Sirin
• Abu Hanifah Umar bin Abdul Aziz
• Muhammad bin Syihab Az-Zuhriy.
• Umar bin Abdul Aziz

15
• Ali Zainal Abidin bin Al Husein
• Muhammad bin Al Hanafiyah,
• a'id bin Musayyab
• Nafi' Maula bin Amr
• Ibnu Syihab az-Zuhri
• Sa'id bin Zubair al-Asadi al-Kufi
• Nu'man bin Sabit. Sa'id bin Musayyab
• Uwais Al-Qorniy

3. Tabi’ut Tabi’in

Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau setelah mereka
wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan generasi tabi’in. tabi’ut
tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari para tabi’in.

Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini adalah,

Tokoh-tokoh Tabi’ut tabi’in

• Malik bin Anas


• Al-Auza’i
• Abu Hanifah An-Nu’man
• Al-Auza’iy
• Sufyan Ats-Tsauriy
• Sufyan bin Uyainah Al-Hilaliy
• Al-Laits bin Saad
• Abdullah bin Al-Mubaarok
• Waki’
• Asy Syafi’i
• Abdurrahman bin Mahdiy
• Sufyan bin Said Ats-Tsauri
• Yahya bin Said Al-Qathan
• Yahya bin Ma’in
• Syu’bah ibn A-Hajjaj,
• Ali bin Al-Madiniy

16
Bab 4
A. Salafussoleh Menurut Al-Hadits

Salafussoleh, dalam istilah ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari
generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi
tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah setelah mereka.
Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan
kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga
berbagai macam bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya
berbagai macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi
pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat Islam, dari
yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib mengikuti pemahaman Salafush
Shalih dalam beragama. Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang
menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah
banyak menulis masalah besar ini di dalam karya-karya mereka. Imam Ibnul Qoyyim di
dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang kewajiban mengikuti
sahabat [1].

Dalil Dari Al Qur’anul Karim

‫يرا‬
ً ‫ص‬ِ ‫سا َءتْ َم‬ ْ ُ‫س ِبي ِل الْ ُمؤْ ِمنِينَ ن َُو ِل ِه َما تَ َولهى َون‬
َ ‫ص ِل ِه َج َهنه َم َو‬ َ ‫الرسُو َل ِم ْن بَعْ ِد َما تَبَيهنَ لَهُ الْ ُهدَى َويَته ِب ْع‬
َ ‫غي َْر‬ ‫ق ه‬ ِ ِ‫َو َم ْن يُشَاق‬

Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

‫ت تَ ْج ِري تَ ْحتَ َها‬ َ َ‫عنْهُ َوأ‬


ٍ ‫ع هد لَ ُه ْم َجنها‬ َ ‫عنْ ُه ْم َو َرضُوا‬
َ ‫َّللا‬
ُ‫ي ه‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ان َر‬
ٍ ‫س‬َ ‫ار َوا هلذِينَ اتهبَعُوهُ ْم ِبإِ ْح‬
ِ ‫ص‬ ِ ‫اْلولُونَ مِنَ الْ ُم َه‬
َ ْ‫اج ِرينَ َواْلن‬ ‫َوالسها ِبقُونَ ه‬
‫ار َخا ِلدِينَ فِي َها أَبَدًا َذلِكَ الْف َْوزُ الْعَظِ ي ُم‬
ُ ‫اْل ْن َه‬

Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;

17
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-
Taubah : 100]

Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti jalan
selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaan-Nya bagi
siapa yang mengikuti jalan mereka.

B. Dalil Dari As-Sunnah

1. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda,

َ‫ َويَنْذُ ُرون‬، َ‫ َويَخُونُونَ َوَّلَ يُؤْ تَ َمنُون‬، َ‫ ثُ هم ِإنه بَعْ َدكُ ْم قَ ْو ًما يَ ْش َهدُونَ َوَّلَ يُ ْستَ ْش َهدُون‬،‫ ثُ هم ا هلذِينَ يَلُونَ ُه ْم‬،‫ ثُ هم الهذِينَ يَلُونَ ُه ْم‬،‫َخي ُْر أُ همتِي قَرْ نِي‬
‫الس َم ُن‬
ِ ‫ظ َه ُر فِي ِه ُم‬ ْ َ‫ َوي‬، َ‫َّل يَ ُفون‬
َ ‫َو‬

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup
pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian
akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului
sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari (3650), Muslim
(2533))

2. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan),
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ ثنتان وسبعون في‬،‫ وإن هذه الملة ستفترق على ثَلث وسبعين‬،‫أَّل إن من قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين وسبعين ملة‬
‫ وهي الجماعة‬،‫ وواحدة في الجنة‬،‫النار‬

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini
(Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu
al-Jama’ah.”

[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi
(II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150).
Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin
Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur.

18
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-
204)]

Dalam riwayat lain disebutkan:

‫ما أنا عليه وأصحابي‬

Artinya, “Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku
dan para Sahabatku berjalan di atasnya.” [Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-
Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani
dalam Shahiihul Jaami’ (no. 5343)]

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73
golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang telah
dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan
As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat).

3. Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda,

ِ ‫ َوإِيهاكُ ْم َو ُم ْح َدثَا‬،ِ‫اجذ‬
‫ت‬ َ ‫الرا ِشدِينَ الْ َم ْهدِيِينَ عُضُّوا‬
ِ ‫علَيْ َها بِالنه َو‬ ‫ فَعَلَيْكُ ْم بِسُنهتِي َوسُنه ِة الْ ُخلَفَاءِ ه‬،‫ِيرا‬
ً ‫سيَ َرى ا ْخت ََِلفًا َكث‬
َ َ‫ِش ِمنْكُ ْم ف‬
ْ ‫فَإِنههُ َم ْن يَع‬
ٌ‫ض ََللَة‬
َ ‫ع ٍة‬ ِ ‫»اْل ُ ُم‬
َ ‫ور فَإِنه كُ هل ِب ْد‬ ْ

Artinya:

“Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat
perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku
dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk
sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham,
dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena
sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”
[Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam
Shahihul Jami’ (1184, 2549)]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada ummat agar mengikuti sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin yang hidup
sepeninggal beliau disaat terjadi perpecahan dan perselisihan.

19
Bab 5

ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN HUKUM

A. BERBAGI DALAM ISLAM

1. Sedekah

a) PengertianSedekah

Sedekah ialah penyerahan hak milik suatu benda yang diberikan tanpa imbalan kepada
orang yang membutuhkan, semata-mata hanya mengharap ridha Allah swt.Kata
sedekah dalam banyak dalil memiliki makna yang sama dengan kata zakat,
sebagaimana disebutkan pada ayat berikut, yang artinya,

‫علِي ٌم‬
َ ‫سمِي ٌع‬ ُ ‫س َك ٌن لَ ُه ْم َو ه‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫علَيْ ِه ْم إِنه‬
َ َ‫صَلَتَك‬ َ ُ‫ص َدقَةً ت‬
َ ‫ط ِه ُرهُ ْم َوتُزَ كِي ِه ْم بِ َها َو‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫ُخ ْذ م ِْن أَ ْم َوا ِل ِه ْم‬

Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At Taubah: 103)

Dalam hadis yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ِح يَ ْدعُو لَه‬ َ ‫اريَ ٍة َوعِلْ ٍم يُنْتَفَ ُع بِ ِه َو َولَ ٍد‬


ٍ ‫صال‬ َ ‫ع َملُهُ إِ هَّل م ِْن ثَ ََلثَ ٍة م ِْن‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬ َ َ‫سا ُن انْق‬
َ ‫ط َع‬ ِ ْ َ‫إِذَا َمات‬
َ ْ‫اْلن‬

Artinya : “Bila anak Adam meninggal dunia maka seluruh pahala amalannya terputus,
kecuali pahala tiga amalan: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh
yang senantiasa mendoakan kebakan untuknya.” (QS. at-Tirmidzi dan lainnya)

Kata sedekah memiliki makna yang lebih luas dari sekedar membayarkan sejumlah
harta kepada orang lain. Sedekah dalam beberapa dalil digunakan untuk menyebut
segala bentuk amal baik yang berguna bagi orang lain atau bahkan bagi diri sendiri.

b) Hukum Sedekah

Hukum sedekah adalah sunnah muakad (sunnah yang sangat dianjurkan). Namun
begitu pada kondisi tertentu sedekah bisa menjadi wajib. Misalnya ada seorang yang
sangat membutuhkan bantuan makanan datang kepada kita memohon sedekah.
Keadaan orang tersebut sangat kritis, jika tidak diberi maka nyawanya menjadi

20
terancam. Sementara pada waktu itu kita memiliki makanan yang dibutuhkan orang
tersebut, sehingga kalau kita tidak memberinya kita menjadi berdosa.

Allah swt berfirman:

‫ف‬ ِ ‫َّللا يَ ْهدِي َم ْن يَشَا ُء َو َما تُن ِفقُوا م ِْن َخي ٍْر ف َِِلَنفُ ِسكُ ْم َو َما تُن ِفقُونَ إَِّله ابْتِغَا َء َو ْج ِه ه‬
‫َّللا َو َما تُن ِفقُوا م ِْن َخي ٍْر ي َُو ه‬ َ ‫علَيْكَ هُدَاهُ ْم َولَ ِكنه ه‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬
َ‫ظلَ ُمون‬ْ ُ‫ِإلَيْكُ ْم َوأَنْتُ ْم َّلَ ت‬

Artinya:“Dan kamu tidak menafkahkan, melainkan karena mencari keridhaan Allah dan
sesuatu yang kamu belanjakan, kelak akan disempurnakan balasannya sedang kamu
sedikitpun tidak akan dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 272)

َ َ‫َّللا َي ْج ِزي الْ ُمت‬


َ‫ص ِدقِين‬ َ ‫علَيْنَا ِإنه ه‬
َ ‫صد ْهق‬
َ َ‫َوت‬

Artinya : “Dan bersedekahlah kepada Kami, sesungguhnya Allah memberikan balasan


kepada orang-orang yang bersedekah” (Yusuf : 88)

c) Dalil Tentang Sedekah

Dasar hukum disyariatkannya sedekah adalah sebagai berikut:

a) Al-Qur’an

‫ب َوالنه ِب ِيينَ َوآتَى الْ َما َل‬


ِ ‫اَّلل َوالْ َي ْو ِم اْآلخِ ِر َوالْ َمَلَئِ َك ِة َوالْ ِكتَا‬
ِ ‫ب َو َل ِكنه ْال ِب هر َم ْن آ َمنَ ِب ه‬
ِ ‫ق َوالْ َمغْ ِر‬
ِ ‫ْس الْ ِب هر أَ ْن تُ َولُّوا ُوجُوهَكُ ْم قِ َب َل الْ َم ْش ِر‬
َ ‫لَي‬
ِ ‫الرقَا‬
‫ب‬ ِ ‫ساكِينَ َوابْنَ السهبِي ِل َوالسهائِلِينَ َوفِي‬ َ ‫علَى حُبِ ِه ذَ ِوي الْقُرْ بَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم‬ َ

Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat-nya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya…” (Q.S. al-Baqarah : 177).

Ayat di atas menganjurkan agar seseorang mau bersedekah ketika orang tersebut masih
menyukai harta, artinya orang tersebut masih dalam keadaan sehat. Ayat ini
menunjukkan sedekah di waktu sehat lebih utama daripada sedekah menjelang
kematian. Penyebabnya antara lain:

21
• Orang yang sehat masih membutuhkan harta benda sedangkan orang yang
hampir meninggal sudah tidak membutuhkannya;
• Memberikan di waktu sehat menunjukkan keyakinan si pemberi terhadap janji
dan ancaman Allah swt;
• Memberi di waktu sehat lebih berat sehingga pahalanya lebih besar;
• Orang sehat memberi karena taat dan ingin mendekatkan diri kepada Allah swt.;

b) Hadis

‫ب الْ ِغ ُّل َوتَ َهاد َْوا تَ َحابُّوا‬


ِ َ‫صافَحُوا يَ ْذه‬
َ َ‫سله َم ت‬ َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ‫علَيْ ِه َو‬ َ ِ‫قَا َل َرسُو ُل هللا‬

Artinya: “Rasulullaah saw. bersabda: “Berjabat tanganlah maka akan hilang rasa
dendam dan denki dan saling memberi hadiahlah maka kalian akan menjadi saling
mencintai.” (H.R. Malik).

Hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. menganjurkan agar umatnya
saling berjabat tangan dan saling memberi hadiah satu sama lain. Tujuannya adalah
agar tercipta suasana saling mencintai dan mengasihi.

Hadits yang lain, Nabi saw. bersabda:

ِ‫ع ْن ِميْتَ ِة الس ُّْوء‬


َ ‫ب َوتَ ْدفَ ُع‬
ِ ‫الر‬
‫ب ه‬ َ ‫ض‬
َ ‫غ‬
َ ‫ئ‬ ْ ُ‫ص َدقَةَ لَت‬
ُ ‫ط ِف‬ ‫إِنه ال ه‬

Artinya: “Sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkan murka Tuhan dan


menghindarkan diri dari mati su’ul khatimah.” (H.R. Tirmizdi).

Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu manfaat sedekah adalah dapat mencegah
murka Allah swt. dan dapat menghindarkan diri dari mati dalam keadaan su’ul khatimah.

c) Rukun Sedekah

Rukun sedekah dan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk
mentasharrufkan (memperedarkannya)
2. Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak syah
memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi
kepada binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu.

22
3. Ijab dan qabul. Ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang memberi
sedangkan qabul, ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima
pemberian
4. Barang yang diberikan, syaratnya adalah barang tersebut yang dapat dijual.
5. Hilangnya Pahala Shadaqah

Bershadaqah haruslah dengan niat yang ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji (riya) atau
dianggap dermawan, dan jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan,
apalagi menyakiti hati si penerima. Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan
pahala shadaqah. Allah swt. berfirman:

َ ‫اَّلل َوالْيَ ْو ِم اْآلخِ ِر فَ َمثَلُهُ َك َمثَ ِل‬


ٍ ‫صفْ َو‬
‫ان‬ ِ ‫ص َدقَاتِكُ ْم بِالْ َم ِن َواْلَذَى كَالهذِي يُن ِف ُق َمالَهُ ِرئَا َء النه‬
ِ ‫اس َوَّلَ يُؤْ ِم ُن بِ ه‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا َّلَ تُبْطِ لُوا‬
َ‫َّللا َّلَ يَ ْهدِي الْق َْو َم الْكَاف ِِرين‬
ُ ‫سبُوا َو ه‬ َ ‫ش ْيءٍ ِم هما َك‬ َ ‫ع َلى‬ َ َ‫صلْدًا َّلَ يَقْد ُِرون‬ َ َ ‫ع َليْ ِه تُ َرابٌ فَأ‬
َ ُ‫صابَهُ َوابِ ٌل فَت ََر َكه‬ َ

Artinya : “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)


sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti
orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang
di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih
(tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan;
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS. AI Baqarah :
264)

Dari ayat al-Qur’an di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwasnnya pahala shadaqah
bisa hilang dikarenakan:

1. Menyebut-nyebut shadaqah yang sudah diberikan dalam artian mengungkit-


ungkitnya baik kepada si penerimana maupun kepada orang lain.
2. Menyinggung hati si penerima shadaqah.
3. Riya’ atau mempunyai niat ingin di puji dan disanjung oleh orang lain.

2. Hibah

1. Pengertian hibah hukumnya

Menurut bahasa hibah artinya pemberian. Sedangkan menurut istilah hibah ialah
pemberian sesuatu kepada seseorang secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan apa-
apasebagai tanda kasih sayang.

23
Firman Allah swt. :

ِ ‫ِىالرقَا‬
‫ب‬ َ ‫ىوالْ َم‬
ِ ‫سا ِكي ِْن َوابْنَ السهبِيْ ِل َوالسهائِ ِليْنَ َوف‬ َ ‫ىوالْيَتَ َم‬
َ َ‫علَىحُبِ ِه ذَ ِوىالْقُرْ ب‬
َ ‫َوأَتَىالْ َما َل‬

Artinya: “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177

Hukum asal hibah adalah mubah (boleh). Tetapi berdasarkan kondisi dan peran si
pemberi dan si penerima hibah bisa menjadi wajib, haram dan makruh.

Nabi saw bersabda:

)‫(ر َواهُ الْبَيْ َهقِي‬


َ .‫ تَ َهاد ُْوا تَ َحاب ُّْوا‬:‫سله َم‬ َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ‫علَيْ ِه َو‬ َ ِ‫ قَا َل َرس ُْو ُل هللا‬: ‫ع ْن اَبِي ه َُري َْرةَ قَا َل‬
َ

Artinya: “Diriwayatkan dari abu Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
Saling memberi hadiahlah dia antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR.
Baihaki)

2. Hukum Hibah

▪ Wajib

Hibah suami kepada kepada istri dan anak hukumnya adalah wajib sesuai
kemampuannya.

▪ Haram

Hibah menjadi haram manakala harta yang diberikan berupa barang haram, misal
minuman keras dan lain sebagainya. Hibah juga haram apabila diminta kembali, kecuali
hibah yang diberikan orangtua kepada anaknya (bukan sebaliknya).

▪ Makruh

Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapat imbalan sesuatu baik berimbang


maupun lebih hukumnya adalah makruh.

24
3. Rukun Hibah dan Syarat-syaratnya

▪ Wahib

Wahib adalah pemberi hibah yang menghibahkan barang miliknya. Wahib disyaratkan :

• Memiliki sesuatu untuk dihibahkan


• cakap dalam membelanjakan harta, yakni balig dan berakal,
• Memberi atas dasar kemauan sendiri,
• Dibenarkan melakukan tindakan hukum .

▪ Mauhub Lahu

Mauhub Lahuadalah penerima hibah, dia disyaratkandisyaratkan sudah wujud ketika


akad hibah dilakukan. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar
perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah
dilakukan hibah kepadanya. Atau ada orang yang diberi hibah itu ada di waktu
pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya,
pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing

▪ Mauhub

Mauhubadalah barang yang dihibahkan.Syaratnyasebagai berikut:

• Milik sempurna wahib.


• Sudah ada ketika akad hibah dilakukan
• Memiliki nilai atau harga
• Berupa barang yang boleh dimiliki menurut agama.
• Telah dipisahkan dari harta milik penghibah
• Dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada
penerima hibah

▪ Ijab Qabul

Penyerahan, misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini
kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”

25
3. Hadiah

1. Pengertian hadiah dan hukumnya

Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk


memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada
umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat
menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama.

Rasulullah saw. bersabda :

‫ب الْ ِغ ُّل َوتَ َهاد َْوا تَ َحابُّوا‬


ِ َ‫صافَحُوا يَ ْذه‬
َ َ‫سله َم ت‬ َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ‫علَيْ ِه َو‬ َ ِ‫“ قَا َل َرسُو ُل هللا‬

Rasulullaah saw. Bersabda: “Berjabat tanganlah maka akan hilang rasa dendam dan
denki dan saling memberi hadiahlah maka kalian akan menjadi saling mencintai.” (H.R.
Malik)

Hadiah menumbuhkan cinta yang berarti akan mengusir kebencian, permusuhan, dan
kedengkian di dalam hati.

Sabda Nabi saw kepada para wanita:

ٍ‫ارتِ َها َولَ ْو فِرْ سِنَ شَاة‬ َ ‫ َّلَ تُ ْحق َِرنه َج‬،ِ‫سا َء الْ ُم ْس ِل َمات‬
َ ‫ارةٌ ِل َج‬ َ ِ‫يَا ن‬

Artinya:“Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga


menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya
sepotong kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Hukum dan Dalil Hadiah

Hukum hadiah adalah mubah. Terdapat perintah untuk menerima hadiah apabila tidak
ada padanya sesuatu yang syubhat atau haram. Disebutkan dalam sebuah hadits yang
shahih bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda:

ْ ‫ي َوالَ تَ ُردُّوْ ا الْ َه ِديَّةَ َوالَ تَض ِْربُوْ ا اْل ُم‬


‫س ِل ِميْ َن‬ َ ‫أ ِِجيْبُوْ ا الدَّا ِع‬

Artinya: “Penuhilah panggilan orang yang mengundangmu, janganlah engkau menolak


hadiah dan jangan pula memukul orang Islam”(HR. Muslim)

26
Dalam hadits lain, Nabi bersabda:

‫هللا إِلَ ْي ِه‬


ُ ُ‫ساَقـَه‬ َ ‫سأَلَهُ فَلْيَقْـبَ ْل فَ ِإنَّ َما ه‬
ٌ ‫ُـو ِر ْز‬
َ ‫ق‬ ْ َ‫غي ِْر أَنْ ي‬
َ ْ‫شيْئًا ِمنْ هذَا الْ َما ِل ِمن‬ ُ ُ‫مـَنْ أَتَاه‬
َ ‫هللا‬

Artinya: “Barangsiapa yang diberikan oleh Allah harta tanpa memintanya maka
hendaklah dia menerimanya karna hal itu adalah rizki yang diberikan oleh Allah
kepadanya“. (HR. Bukahri dan Muslim)

Hadiah telah disyariatkan penerimaanya dan telah ditetapkan pahala


bagi pemberinya.Dalil yang melandasi hal itu adalah sebuah hadist dari Abu Hurairah,
bahwa Nabi saw telah bersabda :

ُ‫ِي ِز َرا عٌ اَ ْوكُ َرا عٌ لَقَ ِبلْت‬


َ ‫َّل َجبْتُ َولَ ْواُ ْهد‬ ٍ ‫اع اَ ْوكُ َر‬
َ َ ‫اع‬ َ ‫لَ ْودُ ِعيْتُ ا‬
ٍ ‫ِلى ِز َر‬

Artinya: “Sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang, pasti akan akupenuhi
undangan tersebut.begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahka kepadaku,
pasti aku akan menerimanya.” (HR.Al-Bukhari)

3. Rukun Hibah

Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama dengan rukun shadaqah, yaitu

1. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan yang berhak
mentasyarrufkannya (memanfaatkannya)
2. Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki.
3. Ijab dan qabul
4. Barang yang diberikan, syaratnya barangnya dapat dijual

B. KEADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM

1. Penegakan Hukum.Dalam Al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan erat dengan
penegakan hukum, di antaranya adalah adl, hukm, dan qist.

Kata ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja ً‫عداَلَة‬


َ ‫ َو‬- ً‫ع ْدَّلً – َوعُد ُْوَّل‬
َ – ‫ع َد َل – يَعْ ِد ُل‬
َ . Kata
َ ), dâl (‫)دَال‬, dan lâm (‫)َّلَم‬, yang makna pokoknya
kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain (‫عيْن‬
adalah ‫( اَ ْ َِّل ْست َِواء‬keadaan lurus) dan ‫( اَ ْ َِّل ْع ِو َجاج‬keadaan menyimpang).[1] Jadi rangkaian
huruf-huruf tersebut mengandung makna yang ber­tolak belakang, yakni ‘lurus’ atau

27
‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti menetapkan
hukum dengan benar. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu
menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang
merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada
salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak
kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus
mem-peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak
sewenang-wenang.

Al-Ashfahâniy menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’.[2]
Se-mentara itu, di dalam al-Mu’jam al-Washit kata ‘adl diartikan dengan memberikan
apa yang menjadi hak seseorang dan menagih apa yang menjadi kewajibannya.[3]
Sedangkan menurut al-Maraghiy yang memberikan makna kata ‘adl dengan
‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’/dengan jalan yang paling
dekat.[4]

Kata ‫عدْل‬
َ di dalam berbagai bentuk-nya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Qur’an.
Kata ini di dalam al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula
pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan).
Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat makna keadilan.
Dan Salah satu di antaranya bermakna persamaan. Maka Inilah makna yang berkaitan
dengan pembahasan penegakan hukum.[5] Di antara ayat tersebut adalah: QS. al-Nisâ’
[4]: 3, 58, dan 129, QS. al-Syûrâ [42]: 15, QS. al-Mâ’idah [5]: 8, QS. al-Nahl [16]: 76, 90,
dan QS. al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat
tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak.

Kata hukum berasal dari kata ‫ حكما‬-‫ حكم – يحكم‬yang pada dasarnya berarti mencegah.
Seperti pada kata ‫ حكمة الدابة‬yang berarti mencegahnya dengan cara mengikat. Adapun
kata ‫ الحكم بالشيء‬berarti menilai dan menetapkan sesuatu/‫ان تقضى بأنه كذا‬.....[6]

Kata ‫ حكم‬dengan berbagai derivasinya di dalam al-Qur’an memiliki banyak arti


diantaranya: bermakna sesuatu yang berkesan di dalam hati seperti pada QS. al-Haj:
52, bermakna sesuatu yang tegas dan jelas seperti pada QS. Muhammad: 20 dan ali
‘Imran: 7, bermakna hikmah seperti pada QS. al-Baqarah: 129, atau bermakna sifat Allah
seperti pada QS. al-Baqarah: 32 serta bermakna memberi keputusan hukum (yang
menjadi objek kajian di dalam makalah ini).[7]

28
Adapun kata ‫ قسط‬pada dasarnya berarti ‫( نصيب بالعدل‬pembagian yang adil)[8]. Dalam
berbagai bentuk derivasinya kata ini memiliki arti yang bermacam-macam, bahkan arti
yang saling bertolak belakang. Di Samping bermakna adil kata ini juga bisa berarti
mengambil bagian atau hak orang lain, seperti pada QS. Jin: 15.[9]

2. Keadilan dan Penegakan Hukum Menurut Perspektif al-Qur’an

1. Dorongan Berlaku Adil Dalam Hukum

Keadilan merupakan sebuah azas pokok di dalam hukum.[10]

Sehingga Allah menuntut kepada para penegak hukum untuk senantiasa menghukum
secara adil, sebagaimana pada firman-Nya berikut:

‫سمِيعًا‬َ َ‫َّللا كَان‬ َ ‫اس أَ ْن تَ ْحكُ ُموا بِالْعَ ْد ِل إِنه ه‬


َ ‫َّللا نِ ِع هما يَ ِعظُكُ ْم بِ ِه إِنه ه‬ ِ ‫َّللا يَأْ ُم ُركُ ْم أَ ْن تُ َؤدُّوا ْاْلَ َمانَا‬
ِ ‫ت إِلَى أَ ْه ِل َها َوإِذَا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النه‬ َ ‫إِنه ه‬
‫يرا‬
ً ‫ص‬ ِ َ‫ب‬

Artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang

berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara


manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. al-Nisa’: 58)

Lewat ayat ini Allah menyuruh kepada manusia untuk melaksanakan amanah-amanah
yang telah dibebankan kepada mereka. Baik amanah tersebut berkaitan dengan sesama
manusia, maupun amanah terhadap Allah, serta menyeru kepada penegak hukum untuk
berlaku adil di dalam menghukum.

Jika diperhatikan di antara kedua perintah di atas, yaitu antara perintah menunaikan
amanah dan perintah berlaku adil di dalam menghukum, terdapat perbedaan redaksi.
Perintah untuk menunaikan amanah bersifat umum, sedangkan perintah berlaku adil di
ِ ‫”و ِإذَا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النه‬.
dalam hukum menggunakan lafaz syartiyah “ ‫اس‬ َ Ini mengisyaratkan bahwa
seluruh manusia memikul amanah bagi masing-masing indifidunya, sedangkan
menetapkan hukum bukanlah wewenang setiap indifidu, melainkan ia adalah tanggung

29
jawab kepada orang-orang tertentu yang telah memenuhi syarat sebagai penegak
hukum. [11]

Dari kata ‫ اهلها‬dan ‫ َو ِإذَا َح َك ْمتُ ْم َبيْنَ النهاس‬menunjukkan bahwa objek penunaian amanah dan
berlaku adil di dalam hukum, berlaku terhadap siapapun juga, tidak terbatas hanya
sesama muslim. Dengan demikian, baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan
ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras. Ayat al-Qur’an yang
menegaskan hal ini cukup banyak. Salah satunya di antaranya adalah teguran Allah
terhadap Nabi saw yang hampir saja terpedaya oleh dalih seorang muslim yang munafik
yang bermaksud menyalahkan seorang Yahudi. Dalam konteks inilah turun firman Allah
al-Nisa’: 105

ِ ‫َّللا َو ََّل تَكُ ْن لِلْخَائِنِينَ خ‬


‫َصي ًما‬ ُ ‫اس بِ َما أَ َراكَ ه‬ ِ ‫َاب بِالْ َح‬
ِ ‫ق ِلتَ ْحكُ َم بَيْنَ النه‬ َ ‫إِنها أَنْزَ لْنَا إِلَيْكَ الْ ِكت‬

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat[ (al-Nisa’: 105)

Di dalam ayat lain ditegaskan bahwa perlakuan adil tersebut tidak memandang faktor
kedekatan, faktor keluarga maupun harta. Seperti pada ayat berikut:

‫َاَّلل أَ ْولَى بِ ِه َما‬ َ ‫علَى أَنْفُ ِسكُ ْم أَ ِو الْ َوا ِل َديْ ِن َو ْاْلَقْ َربِينَ إِ ْن يَكُ ْن‬
ً ‫غنِيًّا أَ ْو فَق‬
ُ ‫ِيرا ف ه‬ ِ ‫يَاأَيُّ َها الهذِينَ َءا َمنُوا كُونُوا قَ هوامِينَ بِالْ ِقسْطِ شُ َهدَا َء ِ ه‬
َ ‫َّلل َولَ ْو‬
‫يرا‬ َ ‫ف َََل تَتهبِعُوا الْ َه َوى أَ ْن تَعْ ِدلُوا َوإِ ْن تَلْ ُووا أَ ْو تُعْ ِرضُوا فَإِنه ه‬
ً ِ‫َّللا كَانَ بِ َما تَعْ َملُونَ َخب‬

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (al-
Nisa’: 135)

30
Di dalam ayat ini Allah menuntut orang-orang yang beriman untuk dapat menjadi
penegak keadilan. Perintah berlaku adil di dalam bahasa Arab diungkapkan dengan
berbagai lafaz diantara ‫ كونوا قائمين بالقسط‬,‫ كونوا مقسطين‬,‫ اعدلوا‬dan ِ‫كُونُوا قَ هوامِينَ بِالْ ِقسْط‬. Masing-
masing kata ini memiliki tingkat ketegasan yang berbeda-beda. Kata ‫ اعدلوا‬berarti
“berlaku adillah”, ini biasanya dipakai dalam keadaan normal. Adapun kata yang lebih
tegas dari kata ‫ اعدلوا‬adalah ‫ كونوا مقسطين‬yang berarti “jadilah orang-orang yang adil”, dan
kata yang lebih tegas lagi adalah ‫ كونوا قائمين بالقسط‬yang berarti “jadilah-pennegak-penegak
keadilan”. Adapun ungkapan yang paling tegas adalah seperti di dalam Qs. al-Nisa’; 135
di atas yaitu dengan kata ِ‫ كُونُوا قَ هوامِينَ ِبالْ ِقسْط‬yang berarti “jadilah penegak-penegak keadilan
yang sempurna lagi sebenar-benarnya”[15]

Perintah Allah untuk berlaku adil di dalam hukum terhadap siapapun juga, termasuk non-
muslim, juga digambarkan di dalam QS. al-Maidah: 42 berikut:

َ َ‫عنْ ُه ْم َف َل ْن َيض ُُّروك‬


‫شيْئًا َو ِإ ْن َح َكمْتَ فَا ْحكُ ْم‬ ْ ‫عنْ ُه ْم َو ِإ ْن تُ ْع ِر‬
َ ‫ض‬ ْ ‫ت فَإِ ْن َجا ُءوكَ فَا ْحكُ ْم َبيْنَ ُه ْم أَ ْو أَع ِْر‬
َ ‫ض‬ ِ ‫س هماعُونَ لِلْ َك ِذ‬
ِ ‫ب أَكهالُونَ لِلسُّ ْح‬ َ
َ‫َّللا يُحِ بُّ ْال ُم ْقسِطِ ين‬
َ ‫بَيْنَ ُه ْم بِالْ ِقسْطِ ِإنه ه‬

Artinya:

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan
yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan),
maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika
kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-
Maidah: 42)

Ayat ini sebenarnya adalah lanjutan dari ayat ke 41 yang menceritakan sikap-sikap
orang Yahudi yang suka mendengarkan kebohongan. Maka di dalam ayat ini Allah
mengingatkan kepada Rasul bahwa jika mereka mendatangi Rasul untuk meminta
putusan terhadap perkara yang timbul sesama mereka, maka Allah memberi dua pilihan.
Pilihan yang pertama yaitu memberi putusan dan yang kedua berpaling dari mereka,
dengan tidak memberikan putusan apa-apa.

31
2. Etika Peradilan

Supaya penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan nilai
keadilan, maka di dalam al-Qur’an telah diisyaratkan berbagai etika peradilan di
antaranya adalah:

▪ Berlaku adil dan objektif di dalam proses hukum

Di dalam proses hukum, seorang hakim harus bersikap objektif dan memperlakukan
orang yang berperkara secara sama. Yaitu tanpa membedakan apakah mereka
keluarga dekat ataupun jauh, miskin atau kaya, seakidah ataupun tidak. Karena ketika
seseorang memandang kedekatan, kekayaan dan akidah, maka pada waktu itu ia akan
melihat sebuah masalah dengan subjektif dan bisa berlaku curang di dalam
menghukum. Sehingga Allah menyuruh orang yang beriman untuk tetap dan senantiasa
berlaku adil terhadap siapapun juga, termasuk kepada keluarga terdekat, orang kaya
ataupun miskin, bahkan terhadap seseorang yang tidak disenangi. Hal ini seperti pada
firman Allah QS. al-Nisa’: 135 di atas dan QS. Al-Maidah: 8 berikut:

َ ‫علَى أََّله تَعْ ِدلُواْ ا ْع ِدلُواْ ه َُو أَقْ َربُ لِلتهقْ َوى َواتهقُواْ ه‬
‫َّللا إِنه‬ َ ‫َّلل شُ َهدَآ َء بِالْ ِقسْطِ َوَّلَ يَ ْج ِر َمنهكُ ْم‬
َ ‫شنَآ ُن قَ ْو ٍم‬ ِ ‫يَا أَيُّ َهآ الهذِينَ آ َمنُواْ كُونُواْ قَ هوامِينَ ه‬
َ‫ير بِ َما تَعْ َملُون‬
ٌ ِ‫َّللا َخب‬
َ‫ه‬

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Di dalam Qs. Al-Nisa’: 135 Allah menyuruh orang yang beriman untuk berlaku adil
kepada siapapun juga, meskipun salah satu di antara yang berperkara tersebut adalah
orang tua dan keluarga terdekat. Penyebutan lafaz

َ‫علَى أَنْفُ ِسكُ ْم أَ ِو الْ َوا ِل َدي ِْن َو ْاْلَقْ َربِين‬


َ ‫ولَ ْو‬,
َ

menunjukkan bahwa faktor kedekatan keluarga ini biasanya dapat mempengaruhi


objektifitas seorang hakim. Sehingga Allah memperingatkan agar jangan sampai berlaku
curang karena hal ini. Rasul Saw, sebagai seorang yang menjadi hakim, juga

32
menegaskan keteguhan sikap beliau bahwa faktor keluarga tidak akan melunturkan
objektifitasnya, meskipun terhadap anaknya sendiri seperti pada hadîts berikut:

‫إنما أهلك الذين قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد وايم هللا لو أن فاطمة‬
‫[بنت محمد سرقت لقطعت يدها‬19]

Artinya:

Sesungguhnya kebinasaan orang--orang sebelummu itu hanyalah karena mereka tidak


mau menghukum terhadap kasus pencurian yang dilakukan oleh golongan terhormat,
sedangkan kalau yang mencuri itu golongan rendah mereka laksanakannya Demi Allah,
seandainya Fathimah bint Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya"

• Menjauhi Suap dan Hadiah

Agar proses peradilan dapat berjalan sebagaimana mestinya, Allah dan Rasul-Nya
melarang untuk melakukan sogok/suap. Sebagaimana pada Ayat berikut:

َ‫اْلثْ ِم َوأَنْتُ ْم تَعْلَ ُمون‬ ِ ‫َو ََّل تَأْكُلُوا أَ ْم َوالَكُ ْم بَيْنَكُ ْم بِالْبَاطِ ِل َوتُ ْدلُوا بِ َها إِلَى الْ ُحكه ِام ِلتَأْكُلُوا ف َِريقًا م ِْن أَ ْم َوا ِل النه‬
ِ ْ ِ‫اس ب‬

Artinya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (al-Baqarah)

Di dalam ayat ini Allah melarang untuk memakan harta sesama manusia dengan cara
yang bathil, yaitu mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh
hukum dan tidak sejalan dengan tuntutan Ilahi.

Meski yang dilarang di dalam ayat ini adalah perilaku menyogok, maka secara tersirat
juga larangan bagi penerima sogok. Karena hal tersebut dapat mempengaruhi putusan
hukum, dan menzhalimi pihak lain, dan tidak tegaknya hukum Allah. Larangan suap ini
juga terdapat di dalam hadîts Nabi, yang mengungkapkan bahwa Allah melaknat orang
yang menyogok dan yang disogok, seperti berikut ini:

‫ لعن هللا الراشي و المرتشي‬: ‫[عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال‬23]

33
Artinya:

Dari Rasul Allâh saw, beliau bersabda: Allah melaknat yang memberikan sogok dan
yang diberi sogok.

Di samping larangan menerima sogok, hal lain yang mesti dihindarkan oleh seorang
hakim adalah menerima hadiah karena ditakutkan hadiah tersebut mempengaruhi
putusan beliau di dalam menghukum. Sikap untuk tidak mau menerima hadiah, agar ini
tidak menghalangi seseorang di dalam mengambil sebuah putusan. Hal seperti ini
pernah dilakukan oleh Sulaiman ketika beliau menerima hadiah melalui utusan ratu
Saba’, sebagaimana pada ayat berikut:

َ‫َّللا َخي ٌْر ِم هما َءاتَاكُ ْم َبلْ أَنْتُ ْم بِ َه ِديهتِكُ ْم تَفْ َرحُون‬
ُ ‫ِي ه‬َ ‫فَلَ هما َجا َء سُلَيْ َمانَ قَا َل أَتُ ِمدُّون َِن بِ َما ٍل فَ َما َءاتَان‬

Artinya:

Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut)
kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik
daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan
hadiahmu. (QS. al-Naml: 36)

Ungkapan Sulaiman ‫أَتُ ِمدُّون َِن بِ َما ٍل‬, beliau tujukan kepada pimpinan delegasi ratu Saba’ agar
disampaikan kepada ratunya. Maksudnya adalah beliau menolak hadiah tersebut. Ini,
karena Nabi Sulaiman merasa bahwa hadiah tersebut bagaikan sogokan yang bertujuan
menghalangi beliau melaksanakan suatu kewajiban.[24]

▪ Keburukan tergesa-gesa di dalam menjatuhkan hukuman

Salah satu etika di dalam peradilan bagi seorang hakim, adalah tidak tegesa-gesa di
dalam mengambil sebuah keputusan. Karena ketergesa-gesaan di dalam menetapkan
sebuah putusan, bisa menzhalimi suatu kelompok atau satu pihak. Prinsip ini sesuai
dengan Qs. Al-Hujurat: 6

َ‫علَى َما فَعَلْتُ ْم نَا ِدمِين‬ ِ ُ‫يَاأَيُّ َها الهذِينَ َءا َمنُوا إِ ْن َجا َءكُ ْم فَا ِس ٌق بِنَبَ ٍأ فَتَبَيهنُوا أَ ْن ت‬
ْ ُ‫صيبُوا قَ ْو ًما بِ َج َهالَ ٍة فَت‬
َ ‫صبِحُوا‬

Artinya:

34
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu. (al-Hujurat)

▪ Keputusan hukum berdasarkan apa yang tampak

Di dalam menghukum, yang dijadikan patokan adalah apa yang tampak, bukan
berdasarkan perilaku atau kebiasaan pihak yang berperkara ketika berada di luar
masalah ini. Sehingga faktor pribadi dari yang berperkara bukanlah termasuk bahan
pertimbangan di dalam penetapan hukum. Hal ini tergambar di dalam kisah Yusuf
beserta para saudaranya berikut:

َ‫ظا ِل ُمون‬ َ ‫َّللا أَ ْن نَأْ ُخذَ ِإ هَّل َم ْن َو َج ْدنَا َمتَا‬


َ َ‫عنَا ِعنْ َد ُه ِإنها ِإذًا ل‬ ِ ‫قَا َل َم َعاذَ ه‬

Artinya:

Berkata Yusuf: "Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang,
kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat
demikian, maka benar-benarlah kami orang-orang yang zalim." (QS. Yusuf: 79)

Di samping ke empat etika peradilan di atas, al-Maraghiy juga menyebutkan beberapa


syarat, sehingga seorang hakim dapat menghukum secara adil, di antaranya yaitu:

➢ hakim harus memahami da’wah dan jawaban dari masing-masing pihak,


sehingga ia betul-betul memahami duduk permasalahan
➢ Tidak berpihak kepada salah satu pihak yang bertikai
➢ Memahami hukum yang berlaku[26]
➢ Ancaman bagi yang tidak Menegakkan Hukum Sesuai dengan Ketentuan Allah.

Salah satu tujuan Allah menurunkan kitab-Nya –baik kepada Nabi Muhammad Maupun
kepada nabi-nabi terdahulu- adalah agar dapat dijadikan sebagai panduan di dalam
menghukum. Sebagaimana firman Allah:

‫ف‬ َ َ‫اس فِي َما ا ْختَلَفُوا فِي ِه َو َما ا ْختَل‬ ِ ‫َاب بِالْ َح‬
ِ ‫ق ِليَ ْحكُ َم بَيْنَ النه‬ ُ ‫اس أُ همةً َواحِ َدةً فَبَعَثَ ه‬
َ ‫َّللا النهبِيِينَ ُمبَش ِِرينَ َو ُمنْذ ِِرينَ َوأَنْزَ َل َمعَ ُه ُم الْ ِكت‬ ُ ‫كَانَ النه‬
ُ ‫ق ِبإِ ْذنِ ِه َو ه‬
‫َّللا يَ ْهدِي َم ْن‬ ُ ‫فِي ِه ِإ هَّل الهذِينَ أُوتُوهُ م ِْن بَعْ ِد َما َجا َءتْ ُه ُم الْبَ ِينَاتُ بَغْيًا بَيْنَ ُه ْم فَ َهدَى ه‬
ِ ‫َّللا الهذِينَ َءا َمنُوا ِل َما ا ْختَلَفُوا فِي ِه مِنَ ْال َح‬
ِ ‫يَشَا ُء إِلَى‬
‫ص َراطٍ ُم ْستَق ٍِيم‬

35
Artinya:

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus
para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab
yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi
petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (al-Baqarah: 213)

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa pada awalnya manusia adalah satu, namun
kemudian diantara manusia tersebut saling berselisih. Sehingga untuk menghindari dan
menyelesaikan perselisihan-perselisihan tersebut Allah mengutus para rasul dan
menganugrahkan kepada mereka kitab-Nya. Dengan kitab-kitab inilah para nabi
memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

Jadi tujuan utama penurunan Kitab ini adalah sebagai sumber dan panduan, baik bagi
Nabi maupun bagi para penegak hukum, di dalam menetapkan hukuman.

36
Daftar Pustaka

http://eurekamal.wordpress.com/2007/06/25/konsep-ketuhanan-dalam-filsafat-
shadrian/

https://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan-dalam-islam/

http://kita-mahasiswa.blogspot.com/2016/05/tugas-makalah-konsep-ketuhanan-
dalam.html

http://baihaqi-annizar.blogspot.com/2017/08/makalah-hubungan-al-quran-dan-
hadits.html

https://lusiagitarahmawati.wordpress.com/2012/11/23/makalah-isyarat-al-quran-
tentang-teknologi/

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta,

https://almanhaj.or.id/3013-kewajiban-mengikuti-pemahaman-salafush-shalih.html

https://umma.id/article/share/id/1002/272772

https://web.facebook.com/Koleksi.Hadis.Shahih/posts/tiga-generasi-terbaik-yang-
menjadi-panutanada-3-generasi-terbaik-yang-menjadi-
pa/1298298420196653/?_rdc=1&_rdr

https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html

https://almanhaj.or.id/3013-kewajiban-mengikuti-pemahaman-salafush-shalih.html

https://httpmuhammadmukhlas.wordpress.com/2017/07/18/bab-4-indahnya-berbagi-
murahnya-rezeki-dan-berberkah/

https://m.brilio.net/amp/wow/keutamaan-bersedekah-beserta-jenis-dan-dalilnya-sesuai-
ajaran-islam-200604i.html

http://rho-mieth.blogspot.com/2011/11/keadilan-dan-penegakan-hukum.html

37

Anda mungkin juga menyukai