Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan tantangan kesehatan


di masyarakat yang penting saat ini, karena PPOK penyakit yang dapat dicegah
dan diobati. PPOK merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronik
di seluruh dunia. Saat ini PPOK merupakan penyebab ke-4 morbiditas kronis dan
mortalitas ke-4 di seluruh dunia, tetapi diperkirakan pada tahun 2020 menjadi
penyebab kematian ke-3 di dunia. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena
PPOK pada tahun 2012 yang mana merupakan 6% angka kematian secara global.
Penderita PPOK menderita penyakit ini selama beberapa tahun meninggal akibat
penyakit PPOK itu sendiri ataupun akibat komplikasi dari PPOK. Secara global,
penderita COPD diproyeksikan meningkat dalam beberapa dekade karena paparan
faktor risiko PPOK yang terus menerus dan penuaan penduduk. (GOLD, 2017)
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan
menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002).
Diperkirakan jumlah pasien PPOK sedang hingga berat Asia tahun 2006 mencapai
56.6 juta pasien dengan prevalensi 6.3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4.8
juta pasien dengan prevalensi 5.6%. Angka ini bisa meningkat dengan makin
banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan
perokok. (PDPI, 2011)
Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat
ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya
penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke
penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat dilihat
pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei
Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana penyebab kematian tertinggi diantara
orang dewasa adalah penyakit kardiovaskuler (Depkes RI, 1997 dan 2000).
Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi,
sosial ekonomi, dan sosial budaya. Kecenderungan perubahan ini menjadi salah
satu tantangan dalam pembangunan bidang kesehatan. (Kepmenkes, 2008)

1
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL
di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK
menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma
bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).
(PDPI, 2011)
Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun
2001, sebanyak 54.5% penduduk laki-laki dan 1.2% perempuan merupakan
perokok, 92.0% dari perokok menyatakan kebiasannya merokok di dalam rumah
ketika bersama anggota keluarga lainnya, dengan demikian sebagian besar
anggota keluarga merupakan perokok pasif (BPS,2001). Jumlah perokok yang
beresiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar 20-25%. (PDPI, 2011)
Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lainnya merupakan salah satu
Subdit di lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang
dibentuk oleh Departemen Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
R.I. Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan. Dengan adanya unit baru ini diharapkan program
pengendalian penyakit kronik dan degeneratif lainnya khususnya PPOK dapat
dilaksanakan dengan optimal di Indonesia. (Kepmenkes 2008)
Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor
risiko terhadap penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) maka diduga jumlah
penyakit tersebut juga akan meningkat. Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia
dari tahun 1990 meningkat dari 60 tahun menjadi 68 tahun pada tahun 2006.
Apabila PPOK tidak dapat ditanggulangi dengan baik maka UHH di Indonesia
akan menjadi menurun karena perjalanan PPOK bersifat kronik. (PDPI, 2011)

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

DATA DASAR
I. IDENTITAS PASIEN
 No. RM : 116026xx
 Nama : Tn. AR
 Umur : 50 tahun
 Tempat tanggal lahir : Malang, 01 Januari 1966
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Pekerjaan : Petani
 Alamat : Jalan Kalisari, RT05, RW02, Desa Wonokoyo
Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang
 Tanggal ke poli : 22 November 2016

II. SUBJEKTIF
AUTOANAMNESA
 Keluhan Utama : Sesak nafas
 Keluhan Tambahan : Batuk, pilek, sakit kepala
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Kota Malang pada
Selasa tanggal 22 November 2016 pukul 09.30 dengan keluhan utama
sesak nafas. Sesak dirasakan 2 hari ini. Sesak sering hilang timbul ±2
tahun ini dan memberat sejak ±1 bulan sebelum datang ke poli. Sesak
terutama muncul setelah melakukan aktifitas dan mereda ketika istirahat
duduk atau berbaring.
Sesak nafas disertai dengan batuk, pilek dan sakit kepala. Batuk
dan pilek sudah dirasakan sejak 5 hari sebelum datang ke poli. Batuk
berdahak, sputum kental, berbuih dan berwarna kuning, batuk darah

3
disangkal. Sedangkan sakit kepala mulai dirasakan sejak 3 hari sebelum
datang ke poli. Sakit kepala cekot-cekot, seperti ditindih beban di kepala,
tidak berputar, berkurang dengan istirahat. Tidak ada rasa yang
mengganjal di leher. Tidak ada keluhan keringat malam, penurunan berat
badan dan demam sebelumnya. Tidak ada keluhan bengkak di kaki.
Sehari sebelum datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Kota
Malang pasien berobat ke Puskesmas Kedungkandang, oleh dokter
puskesmas pasien di diagnosa suspek kardiomegali, dengan EKG
menunjukan right atrial enlargement. Lalu oleh dokter puskesmas pasien
diberi rujukan ke RSUD Kota Malang.

ANAMNESA UMUM
 Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat sesak nafas sebelumnya pada akhir tahun 2014, lalu berhenti
merokok.
- Riwayat gastritis.
- Riwayat asma disangkal.
- Riwayat alergi makanan disangkal.
- Riwayat alergi obat disangkal.
 Riwayat Penyakit Keluarga :
- Asma disangkal.
- Diabetes mellitus disangkal.
- Hipertensi disangkal.

ANAMNESA PSIKOSOSIAL
 Pekerjaan : Petani
 Riwayat Pendidikan : Tidak sekolah
 Status : Menikah
 Kebiasaan : Merokok sejak usia muda ±20-an
: Sehari menghabiskan 1-2 pak
: Berhenti merokok sejak ±1 tahun

4
III. PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM
 Inspeksi umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4V5M6
 Status Gizi
- Tinggi badan : 165 cm
- Berat badan : 53 kg
- BMI : 19.47

VITAL SIGN
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 72 x/min, regular, kuat angkat
 RR : 26 x/min, reguler
 Suhu : 36,3oC
 Skala nyeri :1

KEPALA DAN LEHER


 Bentuk kepala : Normocephal
 Konjungtiva : Anemis (-/-)
 Sclera : Ikterus (-/-)
 Turgor Kulit : Normal
 Hidung : Simetris
: Pernafasan cuping hidung (-)
 Telinga : Simetris, sekret (-), hiperemi (-)
 Mulut : Sianosis (-), pursed lip breathing (-)
faring hiperemi (-), T1 / T1
 Peningkatan JVP : (-)
 Pembesaran KGB : (-)
 Pembesaran Kelenjar Tiroid : (-)

5
 Deviasi Trakea : (-)
THORAX
 Barrel chest (+)
 Penggunaan otot bantu nafas (+)

Pulmo
I : gerak nafas simetris, spatium intercosta melebar,
retraksi intercostal ( -)
P : fremitus raba normal
P :
Anterior Posterior
Dextra Sinistra Sinistra Dextra
Hipersonor Hipersonor Hipersonor Hipersonor
Hipersonor Hipersonor Hipersonor Hipersonor
Hipersonor Hipersonor Hipersonor Hipersonor
A :
Suara Nafas
Anterior Posterior
Dextra Sinistra Sinistra Dextra
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler

Ronki
Anterior Posterior
Dextra Sinistra Sinistra Dextra
- - - -
- - - -
- - - -

Wheezing
Anterior Posterior
Dextra Sinistra Sinistra Dextra
+ + + +
+ + + +
+ + + +

6
Jantung
I : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
P : Batas kiri atas ICS II LMC sinistra
Batas kanan atas ICS II LPS dekstra
Batas kiri bawah ICS V LMC sinistra
Batas kanan bawah ICS IV LPS dekstra
A : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN
I : DP=DD, simetris
A : Bising usus positif normal
P : Timpani seluruh kuadran abdomen
P : Supel, nyeri tekan abdomen (-), H/L/R tidak teraba

EKSTREMITAS
Akral hangat kering merah Edema tungkai
+ + - -
+ + - -
Clubbing finger - / -
Sianosis - / -
CRT ≤ 2 detik

IV. ASSESMENT
Diagnosa kerja : Dypsnea ec susp. PPOK eksaserbasi
Diagnosa banding : Asma bronkial
TB paru
Gagal jantung kongestif

V. PLANNING
Planning Diagnosa:

7
 Foto Thorax PA

Planning Terapi:
 Bronkodilator : Salbutamol 2x1mg
 Mukolitik : Ambroxol 2x30mg
 Antihistamin : CTM 2x1mg

Planning Monitoring:
 Keadaan umum
 Vital sign
 Sign dan symptom

Planning Edukasi:
 Hindari asap rokok, polusi udara, infeksi saluran nafas berulang.
 Makan makanan bergizi.
 Kontrol setelah ada hasil foto rontgen

VI. FOLLOW UP
24 November 2016
S : KU : Sesak nafas sudah berkurang tapi masih ada
KT : Batuk berdahak dan pilek.
O:
 Keadaan umum tampak sakit ringan
 Compos mentis / GCS E4V5M6

 Vital Sign:
- Tekanan darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 72 x/min
- RR : 26 x/min
- Suhu : 36,2oC

8
- Skala nyeri :1
 K/L:
- A/I/C/D:-/-/-/+
- Pursed lips breathing (-)
 Thorax :
- Pulmo
I : barrel chest (+), spatium intercosta melebar
P : fremitus raba normal
P : hipersonor + +
+ +
+ +
A : suara nafas vesikuler
wheezing + + rhonki + +
+ + + +
+ + + +
- Jantung
I : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
P : Batas kiri atas ICS II LMC sinistra
Batas kanan atas ICS II LPS dekstra
Batas kiri bawah ICS V LMC sinistra
Batas kanan bawah ICS IV LPS dekstra
A : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
I : Flat, simetris
A : Bising usus positif normal
P : Timpani seluruh kuadran abdomen
P : Supel, nyeri tekan abdomen (-), H/L/R tidak teraba
 Ekstremitas :
- AHKM di keempat extrimitas
- pitting edema (-)

9
 Foto Thorax 24 November 2016
Thorax PA

- Cor : bentuk, ukuran posisi normal


- Aorta : normal
- Trakea : di tengah
- Pulmo : tidak tampak infiltrat
: tampak hiperareasi paru D/S
: corakan vaskular normal, hilus D/S baik
- Hemidiafragma D/S : dome shape
- Sinus costophrenicus D/S : lancip
- Tulang : tidak tampak kelainan
Kesimpulan : Emphysematous lung
A : PPOK
P : Seretide disk 50/250 2 x puff 1

10
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

11
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum,
dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten
dan hambatan aliran udara. Hal ini disebabkan karena abnormalitas jalan napas
dan / atau kelainan alveolar, biasanya disebabkan oleh paparan yang signifikan
partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. (GOLD, 2017)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang
tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya, disertai
efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. (PDPI, 2011)
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh
gabungan antara obstruksi saluran nafas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK
seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu lama.
(GOLD 2017; PDPI, 2011)
PPOK dapat diselingi oleh periode akut memburuknya gejala pernapasan
disebut eksaserbasi. (GOLD, 2017)
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. (PDPI, 2011)

3.2 Epidemiologi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan tantangan kesehatan
di masyarakat yang penting saat ini. Saat ini PPOK merupakan penyebab ke-4
morbiditas kronis dan mortalitas ke-4 di seluruh dunia, tetapi diperkirakan pada
tahun 2020 menjadi penyebab kematian ke-3 di dunia. Lebih dari 3 juta orang
meninggal karena PPOK pada tahun 2012 yang mana merupakan 6% angka
kematian secara global. Secara global, penderita COPD diproyeksikan meningkat
dalam beberapa dekade karena paparan faktor risiko PPOK yang terus menerus
dan penuaan penduduk. (GOLD, 2017)

3.3 Faktor Resiko

12
Identifikasi faktor resiko merupakan langkah penting dalam pencegahan
dan penatalaksanaan PPOK. Beberapa hal yang berkaitan dengan resiko
timbulnya PPOK antara lain:
a. Asap rokok
b. Polusi udara (indoor atau outdoor)
c. Polusi tempat kerja
d. Gen
e. Usia dan jenis kelamin
f. Tumbuh kembang paru
g. Sosial ekonomi
h. Asma
i. Bronkitis kronis (GOLD, 2017)

3.3.1 Asap rokok


Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai
prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi
paru. (PDPI, 2011)
Perokok dengan pipa dan cerutu mempunyai morbiditas dan mortalitas
lebih tinggi dibandingkan bukan perokok, tetapi masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan perokok cigarette. Risiko PPOK pada perokok tergantung
dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun
dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Merokok selama kehamilan dapat
berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang paru di uterus dan dapat
menurunkan sistem imun awal. Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK
secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor risiko genetik setiap individu. (PDPI,
2011)
Bukan perokok juga dapat menderita PPOK. Perokok pasif (atau dikenal
sebagai environmental tobacco smoke-ETS) dapat juga memberi kontribusi
terjadinya gejala respirasi dan PPOK. PPOK terjadi akibat hasil dari interaksi
yang kompleks dari akumulasi pajanan jangka panjang partikel atau gas yang
beracun atau berbahaya, dikombinasi oleh berbagai host factor termasuk genetik,

13
respon hiperresponsif saluran pernafasan dan tumbuh kembang paru yang buruk
selama masa kanak-kanak. (GOLD, 2017; PDPI, 2011)
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu:
Perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun:
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600

3.3.2 Polusi udara


Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi:
 Polusi di dalam ruangan / Indoor
- Asap rokok
- Asap kompor
 Polusi di luar ruangan / Outdoor
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan

 Polusi tempat kerja


- Bahan kimia
- Zat iritasi
- Gas beracun

14
 Polusi di dalam ruangan./ Indoor
Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan
bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Kejadian
polusi di dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan dengan ventilasi
kurang baik merupakan faktor risiko terpenting timbulnya PPOK, terutama pada
perempuan di negara berkembang. Polusi di dalam ruangan memberikan risiko
lebih besar terjadinya PPOK. (PDPI, 2011)

 Polusi di luar ruangan / Outdoor


Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam waktu
lama sebagai penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil prevalensinya jika
dibandingkan dengan pajanan asap rokok. (PDPI, 2011)

3.3.3 Infeksi saluran nafas bawah berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara
bermakna menimbulkan eksaserbasi. (PDPI, 2011)
Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan faal
paru dan meningkatkan gejala gangguan respirasi pada saat dewasa. Terdapat
beberapa kemungkinan karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai
penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan nafas. Pengaruh berat badan lahir
rendah akan meningkatkan infeksi viral. (PDPI, 2011)
Kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian emfisema. Riwayat
infeksi tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan napas pada usia lebih
dari 40 tahun. (PDPI, 2011)

3.3.4 Sosial ekonomi


Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman
yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status
sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. (PDPI, 2011)

15
Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri penyebab berkembangnya
PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan
kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan
serabut otot. (PDPI, 2011)

3.3.5 Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen
-lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan α-
1 antitrypsin (AATD) sebagai inhibitor dari protease serin. (PDPI, 2011)

3.3.6 Tumbuh kembang paru


Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran (berat badan lahir rendah), dan pajanan waktu kecil (infeksi pernafasan).
Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko untuk
terjadinya PPOK. (GOLD, 2017; PDPI, 2011)

Gambar 1: Perkembangan FEV1 (GOLD, 2017)


3.3.7 Usia dan jenis kelamin
Penuaan sebagai faktor resiko PPOK. Masih belum dapat dijelaskan
dengan pasti apabila pada penuaan yang normal dapat menderita PPOK, atau
akibat akumulasi paparan sepanjang hidupnya. Dahulu banyak penelitian
melaporkan prevalensi dan mortalitas penderita PPOK lebih banyak pada laki-laki

16
dibandingkan perempuan, namun saat ini dilaporkan prevalensi penderita PPOK
hampir sama antara laki-laki dan perempuan, kemungkinan akibat perubahan pola
pada perokok. Terdapat kontroversi beberapa penelitian perempuan lebih rentan
terhadap efek rokok dibandingkan laki-laki dengan jumlah rokok yang
dikonsumsi sama. (GOLD 2017)

3.3.8 Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study”
didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK
daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari
asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi jalan
napas ireversibel. (PDPI, 2011)

3.3.9 Bronkitis kronis


Pada penelitian oleh Fletcher, mengamati hubungan antara hipersekresi
mucus dan peningkatan penurunan FEV1 pada dewasa muda yang merokok, akan
menyebabkan terjadinya bronkitis kronik yang dapat berkembang menjadi PPOK.
Bronkitis kronis dapat meningkatkan resiko, frekuensi dan keparahan eksaserbasi
PPOK. (GOLD, 2017)

3.4 Patologi, Patogenesis dan Patofisiologi

17
Gambar 2: Etiologi, patobiologi dan patogenesis PPOK (GOLD, 2017)

3.4.1 Patologi
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas
proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vaskular paru. Perubahan
patologis akibat inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di
berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural
akibat cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan
struktural saluran napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit
walaupun sudah berhenti merokok. (PDP1, 2011)

3.4.2 Patogenesis

18
Gambar 3: Patogenesis PPOK (PDPI, 2011)

Asap rokok dan gas berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi paru.


Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Pada
pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok, penyebab respon inflamasi
pada yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif
dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik
perubahan patologis PPOK. Mekanisme inflamasi paru yang menetap setelah
berhenti merokok masih belum diketahui. Mekanisme ini juga terjadi pada
penyakit kronik yang mengiringi terjadinya PPOK. (GOLD, 2107; PDPI, 2011)
Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam PPOK.
Biomarker stres oksidatif (misalnya: hidrogen peroksida, 8-isoprostan) meningkat
dalam dahak, kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien
PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang
dihasilkan oleh asap rokok dan partikel yang dihirup lainnya, yang dilepaskan dari
sel-sel inflamasi (seperti makrofag dan neutrofil) diaktifkan. Stres oksidatif
memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di paru, termasuk aktivasi gen

19
inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi sekresi lendir, dan stimulasi eksudasi
plasma meningkat. (PDPI, 2011)
Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan antiprotease
pasien PPOK, yaitu protease yang memecah komponen jaringan ikat dan
antiproteases yang melindunginya. Beberapa protease, berasal dari sel inflamasi
dan sel epitel, yang meningkat pada pasien PPOK. Protease menyebabkan
kerusakan elastin, komponen jaringan utama penghubung dalam parenkim paru-
paru, adalah faktor penting dari emfisema dan bersifat irreversibel. (PDPI, 2011)

3.4.3 Patofisiologi
 Keterbatasan aliran udara dan air trapping
Tingkat peradangan, fibrosis dan eksudat luminal dalam saluran udara
kecil berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK. Obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap selama ekspirasi dan mengakibatkan
hiperinflasi. Hiperinflasi statik mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan
kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan ini dikenal
sebagai hiperinflasi dinamis), yang tampak sebagai sesak nafas dan keterbatasan
kapasitas aktivitas. Faktor ini berkontribusi mengganggu kemampuan
kontraktilitas otot pernafasan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit
merupakan mekanisme utama timbulnya sesak nafas pada aktivitas. (GOLD,
2017)

 Mekanisme pertukaran gas abnormal


Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan
hiperkapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran
O2 dan CO2 memburuk selama penyakit berlangsung. Penurunan ventilasi
menyebabkan peningkatkan dead space ventilation. Retensi CO2 digabungkan
dengan gangguan ventilasi menyebabkan peningkatan usaha untuk bernafas
akhirnya dapat menyebabkan gangguan fungsi otot pernafasan. Kelainan pada
ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih
memperburuk kelainan VA/ Q. (GOLD, 2017)

20
 Hipersekresi mucus
Hipersekresi mucus, yang mengakibatkan batuk produktif kronis. Tidak
semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi mucus. Hal ini
disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan
membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran
napas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan
protease merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi epidermal growth factor
reseptor (EGFR). (GOLD, 2017)

Gambar 4: Perubahan anatomi pada PPOK (Netter, 1980)

 Hipertensi paru
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat
proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang
kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal
dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia. Respon inflamasi dalam

21
pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran udara dengan bukti
terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga
dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi.
pulmonary hypertension yang bersifat progresif dapat mengakibatkan hipertrofi
ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor pulmonale). (PDPI, 2011)

 Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi
dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus,
polusi lingkungan atau faktor lain yang belum diketahui. Mekanisme inflamasi
yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum diketahui.
Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan gas trapping,
akan menurunkan aliran udara saat ekspirasi, sehingga sesak napas meningkat.
Juga memburuknya abnormalitas VA / Q yang mengakibatkan hipoksemia berat.
(GOLD, 2017)

3.5 Manifestasi Klinis


Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang memiliki
gejala sesak nafas / dyspnea, batuk kronis atau produksi sputum dan / atau riwayat
paparan faktor resiko terjadinya PPOK. Riwayat kesehatan yang lengkap pada
pasien baru atau dicurigai PPOK sangat penting. (GOLD, 2017)

Tabel 1: Tanda dan gejala PPOK (GOLD 2017; PDPI, 2011)


Gejala Keterangan
Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya
waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persisten (menetap sepanjang hari)
Pasien mengeluh berupa "Perlu usaha untuk bernapas,"
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
Mengi berulang
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan

22
PPOK.
Infeksi saluran nafas bawah berulang
Riwayat terpajan faktor Host faktor (faktor genetic, kongenital / pertumbuhan
Resiko abnormal)
Asap rokok.
Polusi udara, debu, asap dapur
Bahan kimia di tempat kerja
Riwayat keluarga Berat badan lahir rendah
PPOK dan / atau faktor Infeksi saluran nafas waktu kecil
saat anak-anak

3.5.1 Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi / anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara.
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi. (PDPI, 2011)

3.5.2 Pemeriksaan Fisis


 Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu).
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding).
- Penggunaan otot bantu napas.
- Hipertropi otot bantu napas.
- Pelebaran sela iga.
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai.
- Penampilan pink puffer atau blue bloater.
 Palpasi

23
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
 Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
 Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
- Terdapat ronki dan / atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa.
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh. (PDPI, 2011)

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Faal Paru
Spirometri merupakan metode pengukuran yang paling konsisten dan
obyektif untuk menilai hambatan aliran udara. Keuntungan tes spirometri ini
noninvasif dan cepat. Spirometri berperan penting untuk menegakkan diagnosis.
Hambatan aliran udara yang diukur menggunakan spirometri, dengan mengukur
faal paru. Spirometri mengukur volume ekspirasi paksa (forced vital capacity /
FVC) dan volume ekspirasi detik pertama (force expiratory volume / FEV1).
Obstruksi ditentukan oleh nilai FEV1 prediksi (%) dan atau FEV 1 / FVC (%).
FEV1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit. (GOLD, 2017; PDPI, 2011)
Uji bronkodilator dilakukan pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV 1 / FVC. Pada PPOK,
post bronkodilator FEV1 / FVC <0.70 atau peningkatan FEV1 <20%, menandakan
keterbatasan aliran udara yang terjadi terus menerus dan sesuai dengan paparan
signifikan terhadap stimulus berbahaya. (GOLD, 2017; PDPI, 2011)

24
Gambar 5: Perbandingan hasil spirometri normal dan PPOK (GOLD, 2017)

Apabila spirometri tidak tersedia dilakukan pemeriksaan arus puncak


ekspirasi (APE) walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. Meskipun
sensitivitasnya baik, pemeriksaan APE saja tidak cukup untuk penegakan
diagnostik karena spesifitas yang rendah. (GOLD, 2017; PDPI, 2011)
2. Laboratorium darah
Hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), trombosit, leukosit, analisis gas darah.
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain.

Tabel 2: Interpretasi radiologi PPOK (PDPI, 2011)


Emfisema Bronkitis kronis
Hiperinflasi Normal
Hiperlusen Corakan bronkovaskuler
Ruang retrosternal melebar bertambah pada 21% kasus
Diafragma mendatar
Jantung mengantung / pendulum

25
3.5.4 Gejala eksaserbasi
- Sesak bertambah.
- Produksi sputum meningkat.
- Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen).

Tabel 3: Klasifikasi PPOK eksaserbasi (PDPI, 2011)


Tipe Gejala
Tipe I Berat 3 gejala diatas
Tipe II Sedang 2 gejala diatas
Tipe III Ringan 1 gejala diatas ditambah infeksi saluran nafas atas lebih
dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi, atau peningkatan frekuensi
pernafasan > 20% nilai dasar atau frekuensi nadi > 20%
nilai dasar.

3.6 Diagnosa

Gambar 6: Algoritma diagnosa PPOK

Tabel 4: Klasifikasi derajat keparahan obstruksi jalan nafas (GOLD, 2017)

26
Pada pasien dengan FEV1 / FVC < 0.70
GOLD 1 Ringan FEV1 ≥ 80% predicted
GOLD 2 Sedang 50% ≤ FEV1 < 80% predicted
GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1 < 50% predicted
GOLD 4 Sangat berat FEV1 < 30% predicted

Dahulu PPOK dipandang sebagai penyakit dengan karakteristik sesak


napas. Pengukuran sederhana sesak nafas dengan Modified British Medical
Research Council (mMRC) Questionnaire dianggap adekuat. mMRC memiliki
hubungan yang sesuai dengan pengukuran lainnya seperti status kesehatan dan
dapat memprediksikan resiko mortalitas PPOK. (GOLD, 2017)

Gambar 7: Skala sesak nafas dengan mMRC (GOLD, 2017)

Namun, saat ini menilai pasien menderita PPOK hanya sekedar sesak
nafas. Untuk alasan ini penilaian yang komprehensif dari gejala menggunakan
pengukuran COPD Assessment Test (CAT) dan COPD Control Questionnaire
(CCQ) yang telah dikembangkan dan sesuai. (GOLD, 2017)

27
Gambar 8: CAT (GOLD, 2017)

 Revisi kombinasi penilaian PPOK


Pemahaman tentang dampak PPOK pada masing-masing individu pada
pasien yang menggabungkan gejala dengan klasifikasi spirometri dan / atau resiko
eksaserbasi. Penilaian “ABCD” pada GOLD update 2011 adalah kemajuan besar
dari klasifikasi spirometri sederhana dari versi sebelumnya, karena mengabungkan
laporan outcome pasien dan menyoroti pentingnya pencegahan eksaserbasi dalam
pengelolaan PPOK. Namun ada beberapa keterbatasan, penilaian “ABCD”
dilakukan tidak lebih baik dari klasifikasi spirometri dalam memprediksi
mortalitas atau health outcome penting lainnya pada PPOK. Selain itu outcome
grup “D” dari hasil modifikasi oleh dua parameter, faal paru dan / atau riwayat
eksaserbasi dapat menyebabkan kebingungan. Untuk mengatasi ini dan masalah
lain, penyempurnaan penilaian “ABCD” yang diusulkan yang memisahkan
spirometri dari kelompok “ABCD”. Beberapa rekomendasi terapi, grup “ABCD”
secara eksklusif berasal dari gejala pasien dan riwayat eksaserbasi. Hubungan
spirometri dengan gejala pasien dan riwayat eksaserbasi tetap penting untuk

28
diagnosis, prognosis dan pertimbangan pendekatan terapi penting lainnya.
(GOLD, 2017)

Gambar 9: Diagnosis PPOK (GOLD, 2017)

3.7 Diagnosa Banding


Diagnosa banding utama PPOK adalah asma. Diagnosa potensial lainnya
untuk membedakan dengan PPOK. (GOLD 2017; PDPI 2011)

Tabel 5: Diagnosis banding PPOK


Diagnosis Gejala
PPOK Onset pada usia pertengahan.
Gejala progresif lambat.
Lamanya riwayat merokok.
Sesak saat aktivitas
Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel.
Asma Onset awal sering pada anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada malam / menjelang pagi.
Disertai alergi, rinitis atau eksim.
Riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel
Gagal Jantung Auskultasi terdengar ronki halus di bagian basal.
kongestif Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru.

29
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi.
Bronkiektasis Sputum produktif dan purulen.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar.
Foto toraks / CT-scan toraks menunjukkan pelebaran
dan penebalan bronkus.
Tuberkulosis Onset segala usia
Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru.
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis
Bronkiolitis Onset pada usia muda, bukan perokok.
obliterans Mungkin memiliki riwayat rheumatoid arthritis atau
pajanan asap.
CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah
hypodense
Panbronkiolitis Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok.
diffusa Hampir semua menderita sinusitis kronis.
Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak
menyebar kecil di centrilobular dan gambaran
hiperinflasi.

Skrining defisiensi α-1 antitripsin (alpha-1 antitrypsin deficiency /


AATD), WHO merekomendasikan seluruh pasien dengan diagnosa PPOK harus
dilakukan skrining terutama di daerah dengan prevalensi tinggi AATD.
Konsentrasi α-1 antitripsin yang rendah (<20% normal) kemungkinan tinggi
terjadi defisiensi homogen. Anggota keluarga harus dilakukan skrining. (GOLD,
2017)

3.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresifitas penyakit

30
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Meningkatkan status kesehatan
5. Mencegah dan menangani komplikasi
6. Mencegah dan menangani eksaserbasi
7. Menurunkan kematian

3.8.1 Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan faal paru.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK:


- Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
- Melaksanakan pengobatan yang maksimal
- Mencapai aktivitas optimal
- Meningkatkan kualitas hidup (PDPI, 2011)

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara


berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien
PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas.
Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi
harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan
sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang
harus diberikan adalah

- Pengetahuan dasar tentang PPOK


- Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)

31
- Penyesuaian aktivitas (PDPI, 2011)

3.8.2 Berhenti merokok


Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif
dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas
penyakit. Berhenti merokok memiliki pengaruh besar mempengaruhi natural
history PPOK. Semakin lama berhenti merokok, tingkat keberhasilan dapat
mencapai 25%. Ada 5 tahap intervensi untuk memandu dokter membantu pasien
berhenti merokok. (GOLD 2017; PDPI 2011)

Tabel 6: Strategi pasien berhenti merokok

3.8.3 Vaksinasi
A. Vaksin influenza
Vaksin influenza dapat menurunkan keparahan penyakit (seperti infeksi
saluran nafas bawah yang memerlukan rawat inap) dan kematian pada
pasien PPOK. (GOLD, 2017)
B. Vaksin pneumococcal
Vaksin pneumococal PCV113 dan PPSV23 (23-valent pneumococcal
polysaccharide vaccine) direkomendasikan untuk semua pasien ≥ 65
tahun, membuktikan secara signifikan menurunkan bakterimia dan
penyakit penumococal yang serius. PPSV23 juga direkomendasikan untuk
pasien PPOK usia muda dengan kondisi komorbid diantaraya penyakit
jantung dan paru kronik. PPSV23 dapat menurunkan insiden pneumonia

32
komunitas pada pasien PPOK usia < 65 tahun, dengan FEV 1 < 40%
prediksi dan pada pasien dengan komorbid. (GOLD, 2017)

Tabel 7: Edukasi berdasarkan derajat PPOK (GOLD, 2017)

3.8.4 Farmakologi
Terapi farmakologis bertujuan untuk mengurangi gejala, menurunkan
frekuensi dan derajat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki keterbatasan
aktivitas untuk meningkatkan kualitas hidup. (GOLD, 2017)

 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting). (PDP1, 2011)

A. Beta2-agonis
- Mekanisme kerja beta2-agonis untuk relaksasi otot polos jalan nafas
dengan stimulasi reseptor beta2-adrenergik, dengan meningkatkan siklik
AMP dan menyebabkan terjadinya respon antagonis bronkokonstriksi.
- Ada short-acting (SABA) dan long acting (LABA) beta2-agonist.
- Formoterol dan salmeterol diberikan 2 kali sehari, merupakan LABA
yang sering digunakan karena secara signifikan memperbaiki FEV 1,
volume paru, sesak nafas, rasio eksaserbasi dan kejadian rawat inap di
rumah sakit, tetapi tidak memiliki efek menurunkan mortalitas dan faal
paru.
- Indacaterol diberikan 1 kali sehari dapat memperbaki sesak nafas, rasio
eksaserbasi.

33
- Efek samping: stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat menyebabkan
resting sinus tachycardia dan memiliki potensi untuk mempercepat
gangguan irama jantung pada pasien yang rentan. Tremor yang berlebihan
dapat terjadi pada pasien tua yang diterapi dengan dosis tinggi beta2-
agonis. (GOLD, 2017)

B. Antimuskarinik
- Obat golongan antimuskarinik dapat mengeblok efek bronkokonstriktor
dari asetilkolin pada reseptor M3 muskarinik di otot polos jalan nafas.
- Short-acting antimuscarinics (SAMAs), seperti ipratropium dan long-
acting antimuscarinics (LAMAs), seperti tiotropium.
- Pada clinical trials menunjukan efek penurunan rasio eksaserbasi lebih
besar pada terapi LAMA (tiotropium) dibandingkan LABA.
- Tiopropium memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dengan
meningkatkan hasil latihan.
- Efek samping: inhalasi obat antikolinergik diabsorbsi buruk biala
diberikan bersama atropine. Efek samping utama adalah mulut kering.
(GOLD, 2017)

C. Metilxantin
- Masih kontroversi tentang efek pasti derivat xantin.
- Teofilin merupakan golongan metilxantin yang sering digunakan,
dimetabolisme di sitokrom P450.
- Penambahan teofilin dengan salmeterol dapat memperbaiki FEV 1 dan
sesak nafas lebih baik, dibandingkan pemberian salmeterol saja.
- Efek samping: toksisitas tergantung dosis. ada beberapa masalah
pemberian derivat xantin, karena rasio terapeutik rendah dan efek
benefitnya baru muncul jika diberikan pada dosis mendekati toksik.
(GOLD, 2017)

D. Terapi kombinasi bronkodilator

34
- Kombinasi bronkodilator dengan mekanisme dan durasi kerja yang
berbeda dapat meningkatkan derajat bronkodilator dengan resiko rendah
munculnya efek samping dibandingkan dengan meningkatkan dosis satu
jenis bronkodilator.
- Kombinasi SABA dan SAMA pilihan terbaik dibandingkan obat-obatan
lain dalam memperbaiki FEV1 dan gejala.
- Pengobatan dengan formoterol dan tiopropium dengan inhaler terpisah
memiliki efek besar dibandingkan diberikan sendiri-sendiri.
- Dosis rendah regimen LABA / LAMA dengan pemberian 2 kali sehari
menunjukan perbaikan gejala dan status kesehatan pasien PPOK.
- LABA dan LAMA memperbaiki signifikan faal paru (FEV 1), sesak nafas,
status kesehatan dan menurunkan rasio eksaserbasi. (GOLD, 2017)

 Antiinflamasi
Selama ini, eksaserbasi mewakili klinis utama yang relevan digunakan
untuk penilaian efektivitas obat dengan anti inflamasi. (GOLD, 2017)
A. Kortikosteroid inhalasi (Inhaled corticosteroids / ICS)
- ICS dikombinasi dengan LABA. Pada pasien dengan PPOK derajat sedang
sampai sangat berat dan eksaserbasi, kombinasi ICS dan LABA lebih
efektif daripada diberikan salah satu dalam memperbaiki faal paru, status
kesehatan dan menurunkan eksaserbasi.
- Efek samping: ICS dapat meningkatkan prevalensi candidiasis oral, suara
parau dan pneumonia.

B. Terapi triple inhalasi


- Terapi triple inhalasi ICS / LAMA / LABA memperbaiki faal paru, gejala
dan status kesehatan dan menurunkan eksaserbasi, dibandingkan ICS /
LABA atau monoterapi LAMA. (GOLD, 2017)
C. Glukokortikoid oral
- Glukokortikoid oral memiliki beberapa efek samping, seperti steroid
miopati yang mengakibatkan kelemahan otot, menurunkan fungsinya dan
akhirnya gagal nafas pada pasien dengan PPOK derajad sangat berat.

35
- Glukokortikoid oral berperan pada managemen eksaserbasi akut. Tetapi
tidak berperan pada terapi sehari-hari PPOK kronik karena kurang
bermanfaat dibandingkan rasio komplikasi sistemiknya. (GOLD, 2017)

D. Phosphodiesterase-4 (PDF4) inhibitor


- Roflumilast menurunkan eksaserbasi derajat sedang dan berat yang diobati
dengan kortikosteroid sistemik pada pasien dengan bronkitis kronis, dan
pada PPOK derajat berat sampai sangat berat dan riwayat eksaserbasi.
- PDE4 inhibitor memperbaiki faal paru dan menurunkan eksaserbasi pada
pasien dengan kombinasi fixed-dose LABA / ICS.
- Efek samping: PDF4 inhibitor memiliki lebih banyak efek samping
daripada terapi inhalasi untuk PPOK. Yang paling sering mual, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, nyeri perut, gangguan tidur dan
sakit kepala. (GOLD, 2017)

 Antibiotik
- Banyak penelitian menyatakan penggunaan regular antibiotik golongan
makrolid dapat menurunkan rasio eksaserbasi.
- Terapi jangka panjang azitromizin dan eritomizin menurunkan eksaserbasi
lebih dari satu tahun.
- Terapi dengan azitromizin berkaitan dengan insiden resistensi bakteri dan
gangguan pendengaran. (GOLD, 2017)

 Mukolitik dan Antioksidan (NAC, carbocysteine)


- Pada pasien PPOK yang tidak menerima kontikosteroid inhalasi, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.

Tabel 8: Terapi farmakologi pada PPOK (GOLD, 2017)

36
37
Gambar 10: Algoritma terapi PPOK berdasarkan grup (GOLD, 2016)

3.8.5 Terapi eksaserbasi


Tabel 9: Terapi eksaserbasi (GOLD,2017)
Derajat Terapi
Ringan Short acting bronkodilator saja
Sedang Short acting bronkodilator + antibiotik dan / atau kortisteroid oral
Berat Rawat inap di rumah sakit, karena disertai gagal nafas akut

Tabel 10: Intervensi menurunkan frekuensi PPOK eksaserbasi

38
3.9 Komplikasi
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti:
- Gagal napas
 Gagal napas kronik
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Infeksi berulang
- Kor pulmonal

A. Gagal napas kronik


Hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg dan PCO2 >60 mmHg dan pH
normal.

B. Gagal napas akut pada gagal napas kronik


- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun

C. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada
kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limfosit darah.

39
D. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal jantung kanan. (PDPI, 2011)

3.10 Prognosis
Pada sebagian besar pasien, PPOK terjadi bersamaan dengan penyakit
kronis, dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. (GOLD, 2016)

40

Anda mungkin juga menyukai