Anda di halaman 1dari 15

Sistem Formal vs Informal Pengelolaan Dana di

Rumah Ibadah

Studi Banding antara Masjid dan Gereja di Indonesia

Abstrak—Penelitian ini mencatat hasil perbandingan studi tentang


sistem pengelolaan dana formal dan informal dalam Masjid dan Gereja
yang terletak di Jawa Barat, Indonesia. Peneliti menggunakan studi
lapangan untuk mengeksplorasi dalam mendapatkan detail informasi
tentang sistem pengelolaan dana dari subyek penelitian. Metodologi
penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus menggunakan
pendekatan data kualitatif yang menggabungkan data yang diturunkan
dari wawancara semi terstruktur, pengamatan pribadi, dan analisis data
yang didokumentasikan. Penelitian ini menemukan kesamaan dalam
dana pengelolaan dana di kedua rumah ibadah, yang terpusat di Kepala
Masjid dan Kepala Imam. Gereja memiliki aturan formal yang terpusat di
Kepala Imam sebagai pembuat kebijakan serta otoritas yang
memutuskan penggunaan di Gereja. Masjid juga memiliki aturan formal
tentang dana pengelolaan di mana pejabat Masjid memiliki wewenang
untuk dana buangan. Namun, pada kenyataannya petugas Masjid
meminta pendapat Kepala Masjid dalam pertemuan informal sebelum
membuat keputusan apa pun. Penelitian ini juga menemukan kesamaan
dalam keterlibatan jemaah dalam pengelolaan dana baik di Masjid
maupun Gereja. Meskipun anggota adalah penyedia dana utama untuk
kedua rumah ibadah, ada lebih sedikit keterlibatan dari anggota dalam
pengelolaan dana. Studi kasus ini berpendapat bahwa sumber
wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin rumah
ibadah berasal dari penerimaan beberapa budaya dan ajaran Kitab Suci.
Beberapa budaya nasional dan Kitab Suci adalah faktor dominan dalam
manajemen dana di kedua rumah ibadah yang sedang dipelajari.
Temuan Ini memiliki implikasi dalam memahami pengelolaan dana
dalam rumah ibadah di negara-negara berkembang, terutama Indonesia.

Perkenalan
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya literatur tentang dana
sistem manajemen di rumah ibadah, terutama di negara berkembang
[1]. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi pada literatur akuntansi
manajemen di negara berkembang khususnya Indonesia.
Rumah ibadah adalah tempat di mana umat manusia memuliakan Allah
dan tempat untuk memberikan amal atau berbagi kepada mereka yang
membutuhkan.
Selain itu, rumah ibadah juga pusat kegiatan untuk perayaan hari-hari
keagamaan, diskusi dan ajaran agama, khotbah, dan untuk belajar Kitab
Suci [1, 2]. Penelitian ini mendefinisikan Kitab Suci sebagaimana ditulis
bahan yang disusun dalam buku yang dianggap sakral oleh umat
beragama. Kitab Suci umat Muslim adalah Al-Qur'ân. Kitab Suci umat
Kristen adalah Injil/Bilble. Oleh karena itu, sebuah organisasi ada di
dalam rumah ibadah untuk menjalankan kegiatan ini.
Untuk mencegah penggelapan dana atau penyalahgunaan di rumah
ibadah, pejabat rumah ibadah membutuhkan sistem manajemen dana
yang baik. Sebagai organisasi yang menjalankan kegiatan
operasionalnya, rumah ibadah membutuhkan sistem pengelolaan dana
yang memungkinkan kemudahan pengawasan untuk mencegah
Penyalahgunaan. Salah satu sistem pengelolaan dana yang digunakan di
rumah ibadah adalah penerimaan dana dan dana sistem pencairan.
Dana adalah aset likuid karenanya dana
manajemen sangat penting. Dana ini dapat dengan mudah ditransfer
dan karenanya kepemilikan sulit untuk menetapkan, itu rentan untuk
penggelapan. Penipuan adalah kenyataan umum di Gereja institusi di
negara-negara barat [3]. Ada sistem formal dan informal dalam
Organisasi. Sistem formal dalam organisasi dianggap sebagai sistem
dengan kepatuhan yang tinggi terhadap peraturan dalam organisasi.
Sementara sistem informal dianggap sebagai sistem dalam organisasi
yang memiliki ketergantungan pada individu dan budaya tertentu
seperti hukum, norma, etika dan ajaran agama.

Meskipun Organisasi Nirlaba (NPO) termasuk Gereja dan Masjid semakin


dikenal untuk bermain peran penting dalam masyarakat [4], ditemukan
dalam literatur manajerial terutama dalam kaitannya dengan sistem
pengelolaan dana di rumah ibadah di negara berkembang khususnya di
Indonesia.
Mayoritas literatur tentang masalah pengelolaan dana di rumah ibadah
ditemukan di Malaysia [1, 5-8] danNegara -negara Barat [3, 9-11]. Salah
satu dari beberapa penelitian yang memiliki lebih banyak rinciannya
adalah studi yang dilakukan oleh Mohamed et al. [1]. Studi ini
menjelaskan isu-isu tentang pengelolaan dana di Masjid terutama
implementasi akuntabilitas dan sistem kontrol. Mereka menyatakan
bahwa kegiatan keuangan dan pelaksanaan kontrol oleh Masjid (yang
dianggap sebagai organisasi nirlaba ) terutama pada penerimaan dana
dan pencairan dana perlu perhatian yang signifikan.
Studi lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Masrek dkk. studi
tentang pengendalian internal pada penerimaan dana dan dana
pencairan [5]. Penelitian ini menemukan bahwa pemisahan tugas
penerimaan dana dan pencairan dana membutuhkan perhatian dari
pejabat Masjid. Sementara elemen lain seperti penahanan fisik,
pencatatan transaksi dan otorisasipada tingkat yang dapat diterima.
Oleh karena itu, makalah ini akan menggambarkan penelitian berikut
masalah: (1) Penerapan sistem pengelolaan dana baik secara formal
maupun informal di dalam Masjid dan Gereja di Indonesia, (2) Peran
Kitab Suci dalam penerapan sistem pengelolaan dana di Masjid
gereja dipelajari, (3) Peran para jemaat di Masjid dan Gereja dalam
pelaksanaan dana
(4) Peran beberapa budaya nasional dalam pengelolaan di dalam kedua
rumah ibadah tersebut.
Tidak seperti penelitian sebelumnya, penelitian ini akan fokus dalam
menggambarkan perbandingan antara pengelolaan dana formal dan
informal sistem serta mengapa kedua subjek studi menggunakan
Sistem. Penggunaan lebih dari satu kasus pada penelitian ini
memungkinkan studi untuk menerapkan analisis dan perbandingan
lintas kasus serta menyelidiki fenomena tertentu dalam pengaturan
yang berbeda [12]. Melalui studi komparatif, peneliti dapat
mengidentifikasi apakah kedua rumah ibadah memiliki sistem
manajemen dana yang berbeda atau apakah ada peran yang berbeda
dari Kitab Suci, Budaya, pemimpin rumah ibadah atau
Jemaat. Menggunakan dua studi kasus juga akan memperkuat hasil yang
disimpulkan oleh para peneliti dengan mereplikasi studi oleh karena itu
akan meningkatkan kepercayaan diri terhadap hasil penelitian ini.
Sistem informal dalam implementasi pengelolaan dana dalam penelitian
ini mengacu pada pengelolaan dana yang sangat terpusat untuk para
profesional serta budaya seperti norma dan hukum di mana keduanya
mengatur perilaku orang [13]. Penerapan pendekatan informal dalam
mengatur organisasi baik nirlaba maupun organisasi nirlaba di negara
berkembang khususnya di Indonesia mudah ditemukan [14].

Tujuan dari makalah ini adalah untuk berkontribusi pada pengembangan


literatur tentang pengelolaan dana di rumah ibadah terutama di negara
berkembang. Secara teoritis, ini makalah menggambarkan peran
budaya, Kitab Suci, pemimpin rumah ibadah dan jemaah dalam
menjelaskan tentang sistem pengelolaan dana di negara berkembang.
Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi rumah ibadah lainnya di
Indonesia dan negara berkembang lainnya. Hasil penelitian ini juga
dapat digunakan oleh rumah ibadah lainnya di indonesia sebagai data
komparatif untuk mengembangkan sistem pengelolaan dana. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada para
pemimpin rumah ibadah tentang apa yang mereka alami dan akan
mendorong mereka untuk mengembangkan sistem pengelolaan dana
yang lebih baik di rumah ibadah yang mereka memimpin.
Makalah ini diorganisir sebagai berikut: bagian berikutnya adalah
deskripsi metodologi penelitian. Kemudian Diikuti oleh penelitian dan
diskusi. Bagian berikutnya akan mempresentasikan kesimpulan dari
penelitian ini.
. METODOLOGI PENELITIAN
Para peneliti menggunakan penelitian lapangan untuk melakukan
eksplorasi studi untuk mendapatkan deskripsi detail tentang sistem
pengelolaan dana dari subjek penelitian. Penelitian ini menerapkan
eksplorasi karena tidak banyak informasi yang tersedia tentang
bagaimana implementasi sistem pengelolaan dana baik secara formal
maupun secara informal di dalam rumah ibadah di Indonesia. Eksplorasi
studi perlu dilakukan untuk mendapatkan kepastian tentang masalah
yang diteliti dan untuk memahami apa yang terjadi [15].
Penelitian ini menggunakan data kualitatif di mana data diperoleh
dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur, pengamatan, dan
analisis data yang didokumentasikan. Penggunaan data triangulasi yang
diperoleh melalui semi terstruktur wawancara, pengamatan pribadi, dan
analisis memperkuat proses validasi dan pengecekan silang pada
data yang dikumpulkan untuk dianalisis. Sebagai metode eksplorasi,
penelitian ini tidak memerlukan hipotesis apa pun. Wawancara dan
pengamatan dalam penelitian ini dilakukan oleh dua peneliti yang
merupakan anggota jemaat di kedua rumah ibadah tersebut. Kedua
peneliti memiliki pengalaman dan kesempatan untuk pengamatan
langsung untuk mengumpulkan informasi terkait dengan topik penelitian
ini. Wawancara dilakukan melalui kueri para pemimpin dan anggota
jemaat tentang pelaksanaan pengelolaan dana. Wawancara dan diskusi
dengan responden sekitar 2 jam. Wawancara difokuskan pada
membahas isu-isu terkait penerimaan dana dan dana pencairan secara
formal dan informal serta peran budaya, Kitab Suci, anggota jemaat,
pengasuh dan pejabat kedua rumah ibadah.
HASIL DAN DISKUSI
A. Sistem Penerimaan Dana Formal dan Informal Masjid dan Gereja
sebagai subjek penelitian baik penerimaan dana melalui saluran informal
di mana kedua rumah ibadah tidak memiliki peraturan yang mengikat
tentang jumlah dana yang diberikan oleh anggota jemaah. Dana yang
diberikan oleh anggota jemaah biasanya diberikan selama kegiatan
keagmaan meskipun beberapa orang lain dapat memberikan dana
secara langsung kepada pejabat di luar kegiatan keagamaan.
Pemberian dana dari anggota jemaah kepada Masjid yang dianggap
informal di alam berasal dari bentuk penawaran dana melalui kotak amal
atau penawaran selama sholat wajib atau shalat Jumat, biaya parkir, dan
penghasilan dari penyimpanan alas kaki. Penerimaan dana Gereja yang
termasuk persembahan yang diberikan selama misa biasa atau Gereja
layanan (massa anak-anak, massa pemuda, dll.), selama misa tertentu
atau pelayanan Gereja seperti ibadah malam Natal, layanan hari,
layanan Paskah, dll., serta diberikan melalui transfer ke rekening bank
Gereja. Kedua rumah ibadah memiliki proses serupa dalam dana
informal Tanda terima. Masjid dan Gereja tidak mengatur jumlah
dana yang disumbangkan oleh anggota jemaat dan juga tidak
mengeluarkan tanda terima apa pun kepada mereka yang berkontribusi.
pejabat kedua rumah ibadah akan menghitung dana yang terkumpul.
Dana yang terkumpul di Masjid akan dihitung di hadapan bendahara
atau wakil bendahara dan 1 saksi. Total jumlah yang dikumpulkan akan
dicatat dalam formulir yang ditandatangani oleh pejabat,
Bendahara/Wakil Bendahara dan saksi. formulir yang ditandatangani
akan diserahkan kembali kepada Bendahara untuk dimasukkan laporan
keuangan yang akan dilaporkan kepada Kepala Masjid. Bendahara
kemudian akan bank dalam dana yang terkumpul ke Rekening bank
masjid. Bendahara melaporkan laporan keuangan kepada anggota
jemaat seminggu sekali selama Jumat doa dan juga memposting laporan
di papa pengumuman Masjid .

Kitab Suci yang notabene firman Allah. Kami memandang Kudus


Tulisan suci sebagai aturan yang lebih formal daripada yang diciptakan
oleh manusia".

B. Sistem Pencairan Dana Formal dan Informal


Kedua rumah ibadah yang diteliti memiliki 2 jenis pengeluaran:
pengeluaran umum dan pengeluaran ad-hoc. Biaya Umum di Masjid
terdiri dari pembayaran honorarium, beban operasional (biaya bahan
bakar, tol dan parkir), bangunan biaya perawatan, biaya perawatan
kendaraan dan pemeliharaan biaya untuk aset Masjid lainnya. Di sisi lain,
Biaya Umum di Gereja terdiri dari pembayaran honorarium, bangunan
biaya pemeliharaan dan operasional untuk mengatur Layanan Gereja .
Masjid dan Gereja memiliki biaya ad-hoc yang serupa. Sementara Masjid
memiliki tunjangan untuk dana kematian, Gereja juga telah dana
kematian, dana induk asuh, dan dana untuk Miskin.
Secara formal, Masjid memiliki aturan yang mengatur kewenangan
Petugas masjid dalam mencairkan uang untuk kegiatan operasional rutin
dan non rutin. Wakil Sekretaris berwenang untuk dana yang disalurkan
hingga Rp 750.000.000,00, sedangkan Sekretaris diotorisasi untuk
dicairkan antara Rp 751.000.000,00 hingga Rp 1.000.0000.000,00. Wakil
Bendahara berwenang untuk mencairkan antara Rp 1.000.1000.000,00
hingga Rp 2.000.0000.000,00. Bendahara memiliki wewenang untuk
mencairkan dana antara Rp 2.000.1000.000,00 hingga Rp
3.000.0000.000,00, sementara kewenangan Kepala Bagian Keuangan
adalah antara Rp 3.000.1000.000,00 hingga Rp 5.000.0000.000,00.
Menggunakan di atas Rp 5.000.0000.000,00 hanya dapat dilakukan oleh
Kepala Masjid. Transaksi investasi dengan nilai di atas IDR
100.000.000,00 harus diotorisasi oleh Kepala, Sekretaris dan Bendahara.
Dalam proses pengambilan keputusan tentang pencairan Dana masjid,
Kepala Masjid memainkan peran sentral dan dianggap sebagai pusat
kekuasaan. Meskipun Masjid memiliki tingkat otorisasi dalam pencairan
dana sebagaimana dijelaskan di atas, dalam realitas para pejabat tidak
akan membuat keputusan segera untuk mencairkan dana sendiri.
Mereka pertama-tama akan mengadakan pertemuan dengan Kepala
Masjid untuk membahas dan meminta Persetujuan.
Hal serupa juga terjadi di tempat lain. Meskipun Gereja telah memiliki
aturan formal tentang pencairan dana untuk tujuan ad-hoc, aturan
dibuat oleh Kepala Pendeta. Aturan formal mengatur bahwa pencairan
dana tersebut harus disetujui oleh Kepala Imam. Seperti yang ditemukan
di Masjid, Kepala Pendeta juga memainkan peran sentral dan dianggap
sebagai pusat kekuasaan di rumah ibadah. Meskipun kegiatan
pengelolaan dana di kedua rumah ibadah banyak terpusat dan semua
keputusan yang terlibat Kepala Masjid dan Kepala Imam, pejabat dan
anggota jemaah menghormati hal ini dan mereka juga menerima posisi
di rumah ibadah.
Untuk menjelaskan hal ini, salah satu pejabat mengatakan bahwa "dia
tidak akan membuat keputusan sesuai dengan apa yang dia inginkan jika
tidak disetujui oleh Kepala Masjid". Pejabat lain mengomentari peran
Kepala Masjid, mengatakan bahwa dengan adanya sistem tersebut
"Kepala Masjid dianggap sebagai penatua yang dihormati yang memiliki
Pengetahuan. Itulah alasan bahwa kita menghormatinya dan merasa
(Yaitu orang-orang yang enggan terhadapnya) dalam hal tersebut
("Sesungguhnya Di sisi lain, seorang imam juga menjelaskan tentang
alasannya untuk mematuhi kepala imam - mengatakan bahwa "Di Gereja
kita, Kepala Pendeta adalah pemimpin tertinggi dan kita berkewajiban
untuk percaya, menghormati dan mendukungnya dengan ketulusan.
Oleh karena itu, Kepala Imam memiliki pengaruh yang kuat tentang cara
menggunakan dana Gereja".
Fenomena ini telah didukung oleh argumen Appelbaum yang
dibandingkan dengan sistem bisnis barat, Asia, termasuk Bahasa
Indonesia, sistem bisnis mencerminkan komitmen terhadap hubungan
pribadi dan kepercayaan, bukan kewenangan rasional formal-hukum
[16]. Peran sentral dan kekuasaan yang terpusat di Kepala
Masjid dan Kepala Imam juga didukung oleh
Al-Qur'ân yang diturunkan kepadamu ini, merupakan kisah yang benar
dalam al-Qur'ân, yang membenarkan apa yang ada di dalamnya tentang
Muhammad dan Hal ini ditulis dalam
Annisa huruf ayat 59, halaman 58 yang bertuliskan O anda yang memiliki
(Yaitu orang-orang yang beriman) menjadi 'hal' atau kata'kata', artinya
yang telah ditaati dan yang menjadi tempat kembali bagimu di dalam
menyampaikan agama yang kamu datang
di antara kalian ada yang kami hingga waktu yang telah Aku amu Dan
jika Anda tidak setuju atas apa pun, rujuk
(Yaitu kepada Allah dan Rasul-Nya) tentang apa yang aku datangkan
kepada kalian (jika kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
dan Hari Terakhir. Ini adalah [cara] terbaik dan hasil terbaik.
Demikian pula dalam Alkitab - Thessalonians 5: 12-13 mengatakan Dan
kita
(Untuk) maksudnya, sedilah (kalian) lafal Ayyin ini berkedilu kepada lafal
Ayyin, yakni anak saudara laki-laki mereka, anak saudara laki-laki
mereka,
(Dan hanya kepada Rabbmulah) bukan kepada lain-Nya (orang-orang
beriman itu harus berbakt).
mereka sangat mencintai demi pekerjaan mereka. Berdamailah
di antara kalian.
Temuan ini konsisten dengan pandangan Hofstede bahwa
Indonesia adalah masyarakat kolektivitist dan kekuasaan terpusat. Tje
karakteristik utama masyarakat kolektif di Indonesia adalah
proses pengambilan keputusan kolektif (musyawarah),
keputusan bulat (mufakat), kooperatif (gotong
royong) dan loyalitas (mathew). Di Indonesia, bawahan
berharap untuk diberitahu apa yang harus dilakukan dan kapan. Ini
berarti bahwa
Bawahan Indonesia diharapkan untuk diarahkan dengan jelas oleh
pemimpin. Menyebutnya sebagai jenis Guru-Siswa klasik
yang berlaku untuk Indonesia [17].
Penelitian ini juga mendukung studi yang dilakukan oleh Mulder
yang menyimpulkan bahwa dalam masyarakat Indonesia, pemimpin
dipandang sebagai penatua yang dihormati atau figur ayah yang
membuat semua
keputusan penting dan semua di bawahnya harus mematuhi
rekomendasi [18]. Temuan yang sama juga ditemukan di
yang dilakukan oleh Withfield yang mengatakan dalam budaya
Indonesia, ketika
ada Manajer, Manajer akan membuat keputusan.
Peringkat yang lebih tinggi memiliki status lebih tinggi [19]. Dengan
keadaan seperti itu, mengimplementasikan sistem di rumah yang
dipelajari
ibadah kurang relevan.
Temuan ini mirip dengan temuan dari Tsamenyi dkk.
dan Ansari & Bell [13, 20]. Mereka berpendapat bahwa sistem
formal
dalam suatu organisasi hanya diperlukan untuk mendapatkan
pihak eksternal seperti: penyedia dana, regulator (seperti
sebagai: pemerintah), anggota jemaah dan sebagainya. Ini
pernyataan didukung oleh DiMaggio dan Powell yang mengatakan
bahwa
organisasi dapat menerapkan pendekatan tertentu sehingga
sesuai dengan harapan pihak eksternal dengan
tujuan mendapatkan legalisasi [21]. Mereka juga menambahkan bahwa
aturan formal digunakan dengan cara seremonial - dalam penelitian
yang
kami telah melakukan, ini terbukti melalui eksekusi
pencairan dana oleh rumah ibadah. Meskipun pejabat di Masjid atau
Gereja memiliki wewenang untuk mencairkan
jumlah dana tetapi pada kenyataannya, mereka akan terlebih dahulu
berkonsultasi dan bertanya
persetujuan dari Kepala Masjid atau Kepala Imam.
Temuan ini konsisten dengan temuan yang dicapai oleh
Adnan yang semakin mesjid di Jogjakarta-Indonesia
pembukuan dan pelaporan keuangan yang disiapkan, ada kebutuhan
untuk meninjau format dan konten laporan
konsep penting dalam akuntansi umumnya [2]. Di sisi lain
tangan, Masrek dkk. datang dengan temuan yang berbeda bahwa
pelaksanaan otorisasi dalam pengendalian keuangan internal di
Masjid yang terletak di Central Region, Malaysia berjalan dengan baik
[5]

IV. KESIMPULAN
Meskipun ada aturan formal di Masjid dan Gereja
dipelajari, kewenangan dalam pelaksanaan
sistem manajemen di kedua rumah ibadah terpusat di
Kepala Masjid dan Kepala Imam yang tertinggi
pemimpin di Masjid dan Gereja. Para pejabat yang memiliki
otoritas untuk mencairkan dana hanya akan melakukannya setelah
persetujuan dari pimpinan masing-masing. Meskipun itu adalah banyak
sistem terpusat dan semua keputusan yang melibatkan pemimpin
rumah ibadah, pejabat kedua rumah ibadah menghormati
dan menerima sistem.
Tidak seperti di sektor komersial, penelitian ini menemukan bahwa dana
diberikan oleh anggota jemaah ke rumah ibadah
tidak disertai dengan penerbitan tanda terima pembayaran. Ini
dapat terjadi karena hal ini sesuai dengan
budaya di Indonesia serta pengajaran
Tulisan suci dari kedua agama. Selain itu, penelitian ini membuktikan
bahwa faktor budaya, Kitab Suci dan individu tertentu
dapat membantu peneliti untuk memahami pelaksanaan dana
pengelolaan dalam rumah ibadah di Indonesia.
Temuan yang disimpulkan dari penelitian ini didasarkan pada kasus
studi penelitian dengan fokus hanya untuk dua organisasi.
Oleh karena itu, temuan penelitian ini tidak akan dimu umumkan untuk
rumah ibadah lainnya. Generalisasi temuan ini tidak
tujuan utama penelitian ini. Penelitian studi kasus digunakan dalam
penelitian ini karena penelitian studi kasus konsisten dengan
tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi, menggambarkan, dan
menjelaskan
alasan di balik pelaksanaan pengelolaan dana
sistem di rumah ibadah.
Pada akhirnya, temuan penelitian ini dapat
literatur tentang perbandingan formal dan
sistem pengelolaan dana informal di Masjid dan Gereja
negara berkembang khususnya di Indonesia di mana terdapat
subjek kurang dieksplorasi oleh peneliti lain.
Namun, sejak awal penelitian ini,
bahwa pelaksanaan otorisasi dalam keuangan internal
masjid yang terletak di Central Region, Malaysia
berjalan dengan baik. Berdasarkan hal ini, ada kesempatan untuk belajar
lebih lanjut tentang rumah ibadah antarnegara dengan
studi banding antara rumah ibadah di Indonesia dan
negara lain seperti Malaysia. Studi komparatif antara
rumah ibadah di Indonesia dan negara-negara lain akan
kesempatan bagi rumah ibadah untuk belajar satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai