Anda di halaman 1dari 23

TUGAS REVIEW THESIS

“Accountability and Accounting In a Religious Organisation: An Interpretative


Ethnographic Study of the Pentecostal Church of Indonesia”

Dosen Pengampu:
Prof David Paul Elia Saerang SE,M.Com(Hons), Ph.D

Disusun Oleh:
Taufan Ilham Syarif
NIM : 210611040090

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2023
BAB I
Perkenalan
Aspek yang paling sedikit diteliti dalam kehidupan modern adalah urusan keuangan keuangan
lembaga-lembaga keagamaan; namun, organisasi keagamaan adalah salah satu lembaga lembaga
tertua di dunia. Selain itu, organisasi keagamaan pada umumnya memiliki usia yang jauh lebih
panjang daripada perusahaan bisnis dan memiliki banyak data historis. Berkenaan dengan sumber
daya manusia, Nelson (1993) berpendapat bahwa "gereja adalah bisnis besar, salah satu yang
terbesar, jika kita mempertimbangkan jumlah karyawan dan anggota organisasi keagamaan"
(hal.655).

BAB II
Rasionalisasi Penelitian
Pengenalan
Meskipun organisasi keagamaan, khususnya gereja, dianggap sebagai salah satu organisasi tertua
yang memiliki peran penting dalam masyarakat, penelitian tentang akuntansi di organisasi
keagamaan masih relatif jarang dilakukan. Kurangnya penelitian ini bertentangan dengan fakta
bahwa organisasi keagamaan adalah organisasi yang signifikan, dengan alasan bahwa mereka
memiliki besar dari populasi sebagai anggotanya dan mereka adalah saluran untuk sejumlah besar
keuangan dan sumber daya lainnya. Dari studi yang ada tentang akuntansi di gereja, Booth (1995)
berpendapat bahwa hanya sedikit sekali yang menganalisis secara kritis gagasan tentang
"akuntansi dalam tindakan" dalam sebuah organisasi. Penelitian ini merupakan upaya untuk
menambah penelitian tentang akuntansi dalam organisasi keagamaan. Untuk tujuan penelitian ini,
definisi operasional akuntansi yang diusulkan oleh Laughlin (1984). Menurut Laughlin, akuntansi
organisasi adalah sistem formal yang secara fundamental menyatakan dalam istilah-istilah
numerik masa lalu, masa kini masa lalu, sekarang, dan tindakan keuangan di masa depan dari
perusahaan tersebut (1984, hal. 8).
Organisasi Subjek
Organisasi yang dipilih untuk menjadi subjek penelitian ini adalah Gereja Pantekosta Indonesia,
yang selanjutnya disebut PCI. Gereja ini merupakan organisasi ini telah diklaim sebagai salah satu
yang terbesar di antara denominasi Pentakosta terbesar di Indonesia (Mandey, 1998). Secara
historis, organisasi gereja memulai misinya lebih dari 80 tahun yang lalu diprakarsai oleh dua
misionaris dari Amerika Serikat. Yang pertama kegiatan misionaris pertama terjadi berlangsung
di Bali dan secara bertahap menyebar ke seluruh negeri. Ini diklaim sebagai Gerakan Pentakosta
pertama di Indonesia (Sumual 1981 dan Van den End dan Weitjens 1999). Sehubungan dengan
kegiatan akuntansi dan dibandingkan dengan organisasi bisnis, tampaknya Gereja Pantekosta di
Indonesia memiliki sistem yang relatif buruk untuk administrasi sebagian besar dana dan di
sebagian besar unit organisasi. Sistem kepercayaan gereja tampaknya memainkan peran yang
sangat penting dalam proses administrasi dana gereja, khususnya di tingkat Gereja Lokal.
Kultur Indonesia
Menurut Anonim (2003), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2001 adalah 228.437.870 jiwa
yang tersebar di 6000 pulau yang berpenghuni. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara
terpadat keempat di dunia. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah keturunan Melayu atau
Polinesia, meskipun sejarah negara ini telah menghasilkan penduduk dari India, Cina, Arab, dan
Persia, serta berbagai negara Eropa termasuk Portugal, Belanda, Spanyol, dan Inggris.
Penduduknya terbagi dalam berbagai kelompok etnis dan minoritas. Dari kelompok-kelompok
etnis ini, suku Jawa merupakan kelompok terbesar dengan 45 persen dari populasi, diikuti oleh
suku Sunda, 14 persen, suku Madura, 7,5 persen, dan suku Melayu Pesisir, 7,5 persen. Sisanya, 26
persen, terdiri dari kelompok minoritas. Dengan adanya hal ini, dapat dirasakan bahwa identitas
seseorang sebagai orang Indonesia sangat terkait dengan keluarga, daerah, dan etnisnya, daerah,
dan etnisitas seseorang. warisan keluarga, daerah, dan etnisnya.
Pemilihan Lokasi
Telah diakui dengan jelas bahwa peneliti telah, dan masih menjadi bagian dari organisasi yang
diteliti. Di Gereja Bahu, misalnya, peneliti menjadi ketua pelayanan pemuda dan juga wakil
pendeta selama beberapa tahun. Keterlibatan yang sama juga terjadi di Dewan Pengurus Wilayah
Sulawesi Utara (NSRB) ketika peneliti ditunjuk untuk menjadi sekretaris jenderal dewan
pelayanan pemuda dewan tersebut.
Metodologi Penelitian
Karena pemilihan metodologi penelitian tidak dapat dipisahkan dari apa yang yang diyakini oleh
peneliti sebagai realitas atau dari "asumsi ontologis" (Creswell asumsi ontologis" (Creswell,
(Creswell, 1998, h. 75) yang dipegang oleh peneliti, maka penting bagi setiap penting bagi setiap
peneliti untuk terlebih dahulu menetapkan keyakinan ini pada realitas, karena asumsi filosofis akan
memiliki implikasi pada praktik penelitian. Sifat subjektif dari realitas akuntansi, seperti yang
didalilkan dalam penelitian ini, mengarahkan peneliti untuk menolak penggunaan apa yang disebut
“paradigma ilmiah” untuk penelitian ini. Hal ini disebabkan karena penggunaan paradigma atau
metodologi keilmuan tidak sesuai dengan hakikat pengetahuan atau kenyataan yang diyakini
peneliti.
Metode Penelitian
Karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari penjelasan tentang bagaimana sistem
kepercayaan dan aspek organisasi dan sosial lainnya dari suatu gereja mempengaruhi praktik
akuntansi di gereja tersebut, maka penggunaan metode etnografi lebih disukai. Pilihan metode
etnografi dibenarkan dengan alasan bahwa metode ini cocok untuk penelitian yang menyelidiki
interaksi antara akuntansi dan praktik akuntabilitas serta budaya yang dianut oleh anggota
sekelompok orang atau organisasi. Pilihan ini juga konsisten dengan metodologi yang digunakan
untuk penelitian ini.
Pengumpulan data
Untuk mendukung proses analisis, data dikumpulkan selama periode waktu penelitian lapangan.
Karena peneliti telah menjadi anggota seumur hidup dalam organisasi subjek, proses pengenalan
dengan organisasi tersebut tidak menjadi perhatian besar. Artinya, proses observasi tersebut
dilakukan secara tidak sadar dalam jangka waktu yang lama sebelum penelitian lapangan benar-
benar dimulai. Perhatian utama dalam proses pengumpulan data ini adalah memfokuskan kegiatan
penelitian pada isu akuntansi berdasarkan sistem kepercayaan gereja. Dalam melakukan hal
tersebut, observasi, wawancara, pengumpulan dokumen resmi, dan lain-lain merupakan cara yang
digunakan untuk mengumpulkan data tersebut.
Kontribusi Penelitian
Penelitian ini bertujuan memberikan kontribusi pada penelitian akuntansi di organisasi
keagamaan, khususnya gereja non-mainstream dan non-barat, seperti gereja Pantekosta di
Indonesia. Fokus pada denominasi Pantekosta, yang dianggap sebagai gereja non-mainstream,
menyoroti keunikannya sebagai gerakan 'injil penuh' yang memiliki teologi sistem kepercayaan
berbeda. PCI, sebagai organisasi gereja non-barat, berlokasi di Indonesia, menambahkan dimensi
unik pada kurangnya penelitian akuntansi di lingkungan gereja tersebut.

BAB III
Tinjauan studi organisasi dalam organisasi keagamaan
Pengenalan
Bab ini bermaksud untuk meninjau sejumlah studi tentang praktik organisasi, khususnya praktik
akuntansi, dalam organisasi keagamaan Ini diikuti oleh tinjauan literatur mengenai dimensi
organisasi organisasi keagamaan. Terakhir, studi tentang aspek keuangan dan akuntansi organisasi
gereja akan dibahas. Kemudian akan diberikan ringkasan untuk menyimpulkan diskusi.
Karakteristik Organisasi Keagamaan
Organisasi keagamaan, menurut Jeavons (1993), mencakup rentang yang luas, mulai dari jemaat
kecil hingga rumah sakit bernilai jutaan dolar, sekolah persiapan elit, hingga tempat penampungan
bagi tunawisma. Meskipun ciri umumnya adalah identifikasi sebagai organisasi keagamaan,
definisi ini dapat menyebabkan kesalahpahaman, kebingungan, atau bahkan penipuan, karena
identifikasi tersebut mungkin kurang bermakna dalam konteks definisi formal organisasi
keagamaan. Mengenai identitas organisasi, Jeavons (1993) kemudian mengemukakan bahwa
alasan utama keberadaan organisasi keagamaan adalah untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat, khususnya anggotanya, untuk beribadah kepada Tuhan. Kegiatan lainnya dapat
berupa penyebaran agama dan pendidikan agama tertentu.
Penelitian dalam Organisasi Keagamaan
Sebagian besar penelitian tentang organisasi keagamaan dalam beberapa dekade terakhir
difokuskan pada studi tentang aspek-aspek organisasi dari lembaga-lembaga tersebut. Sebagian
besar penelitian ini, terutama yang diterbitkan di jurnal-jurnal barat, membahas tentang realitas
organisasi dari organisasi Kristen seperti gereja dan lembaga amal. Penelitian semacam itu sering
diberi label sebagai penelitian dalam organisasi sukarela atau normatif (misalnya Handy, 1988;
Leat, 1988; Poulton, 1988; Booth, 1995; dan Harris, 1969). Hanya sedikit penelitian yang
mengeksplorasi isu-isu dalam organisasi keagamaan lainnya. (misalnya Karim, 1990;
Cunningham, 1994; Abdul-Rahman dan (Goddard, 1998).
Penelitian Aspek Keuangan dan Akuntansi Organisasi Keagamaan Organisasi
Berdasarkan penelitiannya yang intensif terhadap organisasi gereja, Booth (1993) menemukan
bahwa literatur akuntansi yang berkaitan dengan gereja-gereja secara khusus telah memperhatikan
praktik-praktik akuntansi di gereja-gereja arus utama di Barat. Dia juga berpendapat bahwa alih-
alih mencoba menjelaskan praktik akuntansi yang digunakan, sebagian besar penelitian telah
difokuskan pada "meresepkan praktik akuntansi yang baik" berdasarkan kriteria praktik akuntansi
dalam organisasi komersial, Pada bagian terakhir dari studinya, Booth mengembangkan kerangka
ide untuk penelitian lebih lanjut tentang akuntansi di gereja. Mengenai cara-cara di mana praktik
akuntansi di gereja-gereja telah diselidiki, Booth (1993) mengklasifikasikannya ke dalam tiga
kategori, yaitu; survei, analisis historis, dan studi kasus yang terperinci. Survei dilakukan pada
domain praktik tertentu. Analisis historis dilakukan sehubungan dengan praktik-praktik akuntansi
dalam organisasi tertentu. Studi kasus yang rinci tentang praktik akuntansi dalam satu gereja juga
telah dilakukan (misalnya Laughlin, 1984: dan Booth, 1991).
Gereja dan Sumber Daya Organisasi
Booth (1993) menyatakan bahwa studi tentang praktik akuntansi di gereja adalah tergantung pada
sejumlah faktor, termasuk sumber daya organisasi gereja. Dua dari sumber daya organisasi yang
dapat mempengaruhi dinamika ini adalah "ukuran keanggotaan" dan "sumber daya keuangan"
(Booth, 1993, h.55). Sebagai organisasi keagamaan, gereja telah dianggap sebagai organisasi yang
signifikan dalam hal sumber daya yang mereka miliki. Pentingnya sumber daya organisasi,
terutama jumlah anggota, dalam konteks sebuah organisasi gereja menjadi krusial karena
berpengaruh pada cara organisasi diorganisir. Faktor jumlah keanggotaan membawa implikasi
langsung terhadap sumber daya lain, seperti fasilitas dan keuangan, yang diperlukan oleh gereja.
Penelitian-penelitian seperti Hinings dan Foster (1973), Hinings dan Bryman (1974), serta Hinings
(1979) menyoroti dampak pentingnya jumlah anggota terhadap struktur organisasi dan menyajikan
implikasi yang dapat muncul ketika terjadi masalah dalam pengukuran keanggotaan dan struktur
organisasi yang terkait dengannya.

BAB IV
Landasan Metodologis
Pengenalan
Bab ini bertujuan untuk mendapatkan wawasan tentang berbagai metodologi yang digunakan
dalam penelitian, terutama dalam konteks penelitian akuntansi. Fokus utamanya adalah
menentukan dan mengembangkan metodologi yang paling sesuai untuk penelitian ini.
Pembahasan dimulai dengan mengeksplorasi keragaman paradigma yang dapat diterapkan dalam
suatu penelitian akuntansi.
Kesadaran akan Perbedaan Paradigma
Paradigma, menurut Gioia dan Pitre (1990), merujuk pada perspektif umum atau cara berpikir
yang mencerminkan keyakinan dan asumsi mendasar tentang sifat suatu bidang penyelidikan (hal.
585). Burrell dan Morgan (1979) mengartikan paradigma sebagai asumsi meta-teoritis yang sangat
mendasar, yang menjadi landasan kerangka acuan, cara berteori, dan modus operandi para ahli
teori sosial di dalamnya. Dalam konteks paradigma yang bersaing dalam penelitian kualitatif,
Guba dan Lincoln (1994) mendefinisikan paradigma sebagai sistem kepercayaan dasar atau
pandangan dunia yang memandu peneliti, tidak hanya dalam pemilihan metode, tetapi juga dalam
aspek ontologis dan epistemologis yang mendasarinya (h. 105). Guba dan Lincoln (1981)
mengidentifikasi tujuh paradigma berbeda dalam berbagai bidang penyelidikan, termasuk
paradigma logis, ilmiah, naturalistik, menghakimi, permusuhan, modus operandi, dan demografis.
Mereka mengklasifikasikan paradigma-paradigma ini berdasarkan tiga dimensi utama: kesesuaian
disiplin ilmu, teknik fundamental, dan pandangan tentang kebenaran. Kehadiran multi-paradigma
dalam pelaksanaan penelitian dianggap memiliki konsekuensi logis pada struktur teori. Giaio dan
Pitre (1990) menjelaskan bahwa karena paradigma yang berbeda didasarkan pada asumsi yang
secara mendasar berbeda, hal ini mengakibatkan pendekatan yang sangat berbeda terhadap
pembangunan teori.
Rasionalisme versus Empirisme
Rasionalisme menekankan kekuatan logika dan matematika dalam menentukan kebenaran dari
argumen teoritis yang bersaing dan menegaskan bahwa kebenaran nyata tentang dunia tidak dapat
dilihat dengan observasi saja tetapi dengan akal. Di sisi lain Empirisme mengembangkan idenya
dari gagasan bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh melalui pengamatan dan
bahwa satu-satunya jalan menuju pengetahuan adalah melalui pengalaman melalui persepsi.
Idealisme versus Positivisme
Argumen inti dari idealisme adalah bahwa tidak ada realitas yang berdiri sendiri. Kant, menurut
Laughlin (1995), mengkritik "rasionalis" dan "empiris" dengan alasan bahwa yang pertama
menghasilkan bentuk tanpa isi, sementara yang kedua memperoleh isi tanpa bentuk. yang
disebutnya "positivism bukanlah pengabaian terhadap subjektivisme, melainkan penggabungan
yang seimbang antara rasionalisme dan empirisme ke dalam sebuah metode baru yang
memungkinkan deskripsi absolut tentang dunia empiris dibuat berbeda dari bias pengamat
manapun dan secara jelas terpisah dari sikap apapun mengenai perlunya perubahan dalam referen
yang dapat diamati.
Keragaman Paradigma dalam Akuntansi
Penggunaan berbagai paradigma atau pendekatan dalam penelitian akuntansi diperlukan karena
dapat memperkaya pemahaman akuntansi dalam konteks yang lebih luas. Alasan lain yang
mendukung penggunaan multi paradigma dalam domain akuntansi adalah keyakinan bahwa tidak
ada satu teori universal yang dapat secara efektif menjelaskan dan memprediksi "semua perbedaan
sosial, budaya, dan etika yang teramati di dunia alamiah dan dunia buatan manusia" (Baker dan
Bettner, 1997, p. 305).
Paradigma Arus Utama
Pendekatan arus utama dalam akuntansi dijelaskan oleh Chua (1986a) sebagai pendekatan yang
beranggapan bahwa "ada dunia observasi yang terpisah dari dunia teori, dan yang pertama dapat
digunakan untuk membuktikan keabsahan ilmiah dari yang terakhir" (hal. 107).
Paradigma Kritis
Salah satu konsensus utama dari pendekatan kritis adalah "kebutuhan untuk mengembangkan
pendekatan yang lebih reflektif dan kontekstual. Tampaknya pergerakan menuju perspektif
alternatif, khususnya pendekatan kritis, dalam akuntansi dipicu oleh meningkatnya kesadaran akan
betapa sedikitnya yang kita ketahui tentang fungsi aktual sistem akuntansi dalam organisasi.
Paradigma Interpretif
Perspektif interpretatif dalam akuntansi muncul seiring dengan dorongan yang serupa dengan
perspektif kritis. Kedua perspektif ini mengadvokasi pandangan subjektif terhadap pengetahuan
akuntansi. Dibandingkan dengan paradigma arus utama, perspektif interpretif memungkinkan
peneliti untuk mengevaluasi aspek metaforis akuntansi, suatu fenomena yang sering diabaikan
oleh penelitian akuntansi arus utama, seperti yang dicontohkan oleh Hopwood (1987) dan Power
serta Laughlin (1992).
Penelitian Kuantitatif versus Kualitatif
Penelitian akuntansi telah menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, yang dipandang sebagai
konsekuensi dari pilihan asumsi epistemologis dan ontologis. Meskipun tidak tepat untuk
menyamakan penelitian kuantitatif dengan paradigma ilmiah atau positivistik, serta penelitian
kualitatif dengan paradigma interpretif dan kritis, dalam praktiknya, terdapat indikasi kuat bahwa
penelitian kuantitatif lebih sering bersandar pada metode kuantitatif, sementara penelitian
kualitatif lebih sering menggunakan metode kualitatif. Penelitian kuantitatif dalam akuntansi
didasarkan pada masalah penelitian atau pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian ini kemudian
dijawab dengan pengujian hipotesis statistik atau serangkaian hipotesis. Berlawanan dengan
penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif tidak memiliki struktur atau cara tunggal yang diterima
secara universal dalam melakukan penelitian, meskipun dalam banyak hal formatnya mengikuti
pendekatan penelitian tradisional. Namun, hal ini tidak berarti bahwa keduanya berbeda dalam hal
derajat, kematangan, atau kondisi perkembangannya.
Sifat Studi dan Pilihan Metodologi
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyelidiki praktik-praktik akuntansi di Gereja
Pantekosta di Indonesia (PC) dan memahami kaitannya dengan sistem kepercayaan yang dianut
oleh gereja, serta aspek-aspek kemasyarakatan dan organisasi gereja. Sistem kepercayaan tersebut
merujuk pada Alkitab sebagai sumber inspirasi, pemikiran, konsep, nilai, dan perilaku anggota
gereja. Praktik akuntansi di gereja dianggap tidak 'bebas nilai' karena mencerminkan konsep dan
nilai yang berlaku di gereja, yang didorong oleh sistem kepercayaan agama gereja. Pada saat yang
sama, "kekuatan pendorong" yang sama juga mempengaruhi praktik-praktik organisasi dan
perilaku sosial di gereja. Secara ringkas, sistem kepercayaan agama gereja menjadi dasar dari
budaya gereja. Penelitian ini memilih metode kualitatif karena pertanyaan penelitian berkaitan
dengan "bagaimana" akuntansi dipraktekkan. Pertanyaan yang dimulai dengan 'bagaimana' atau
'apa' dianggap sesuai dengan pendekatan penelitian kualitatif (Creswell, 1998). Selain itu,
penelitian ini perlu memberikan pandangan yang rinci dan mendalam tentang topik, karena
pandangan yang lebih luas tidak akan mencukupi untuk menjawab permasalahan yang diajukan.
Metode kualitatif juga mendukung pengamatan individu dalam konteks alamiahnya, dan peneliti
akan mengambil peran aktif sebagai pembelajar aktif yang akan menceritakan kisah dari sudut
pandang partisipan.

BAB V
Metode Penelitian
Pengenalan
Penelitian ini mengadopsi pendekatan etnografi untuk pengumpulan data. Pemilihan 'etnografi'
dibandingkan metode penelitian lainnya, seperti studi kasus, interaksionisme simbolik, dan
antropologi kognitif (seperti yang diuraikan oleh Jacob, 1987), beralasan karena sifat penelitian
ini bertujuan mengeksplorasi isu dalam konteks budaya sebuah organisasi keagamaan.
Sebagaimana telah ditekankan sebelumnya, substansi dari penelitian ini adalah memberikan
interpretasi terhadap sistem kepercayaan gereja terkait dengan dampaknya pada praktik
akuntabilitas dan akuntansi di gereja. Pendekatan etnografi dipandang sesuai karena tujuan utama
etnografi adalah "menemukan dan menggambarkan budaya suatu masyarakat atau organisasi"
(Dobbert, 1982, 39). Konsep budaya menjadi inti dari penelitian etnografi (Wilis dan Trondman,
2000), dan definisi etnografi selalu terkait dengan konsep budaya (Goetz dan Hansen, 1974;
Wolcott, 1975).
Asal Usul dan Makna Etnografi
Sebagian besar peneliti yang menggunakan pendekatan etnografi dalam penelitian sepakat bahwa
metode ini awalnya dikembangkan dan digunakan terutama oleh antropolog dan sosiolog (Agar,
1980; Goetz dan LeCompte, 1984; Jacob, 1987; Willis dan Trondman, 2000). Etnografi juga telah
menjadi metode yang umum dalam penelitian pendidikan (misalnya, Comitas dan Dolgin, 1978;
Gearing dan Tindall, 1973; Hansen, 1979). Menurut Willis dan Trondman (2000, 3), metode ini
cocok untuk ilmu-ilmu sosial dan humaniora, termasuk sosiologi, antropologi, sejarah dan geografi
manusia, linguistik, pendidikan, seni, studi kesehatan, media, dan studi budaya. Etnografi juga
telah diadopsi dalam penelitian akuntansi belakangan ini (Kaidonis, 1996; Mir, 1998). Konsep
etnografi berkembang dari penelitian Franz Boas di Amerika Serikat dan Bronislaw Malinowski
di Inggris (Jacob, 1987), namun, asal-usul metode ini dapat ditelusuri kembali ke sejarah kuno,
ketika penyair, sejarawan, pengembara, dan kemudian misionaris, menulis pengamatan rinci
tentang kebiasaan dan perilaku masyarakat yang terlihat aneh dan berada jauh dari perbatasan
negara mereka sendiri (lihat Dobbert, 1982; Hodgen, 1964). Etnografi menciptakan kembali
kepercayaan, praktik, artefak, pengetahuan rakyat, dan perilaku dari beberapa kelompok
masyarakat bagi pembaca. Oleh karena itu, peneliti etnografi memulai dengan memeriksa
kelompok atau proses yang sangat umum seolah-olah luar biasa dan unik; pendekatan ini
memungkinkan para peneliti untuk melihat rincian dan keumuman yang diperlukan untuk
deskripsi yang kredibel (h.2).
Karakteristik Etnografi
Sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh etnografi disoroti oleh Willis dan Trondman (2000)
dalam karya mereka. Mereka mengenali empat karakteristik utama etnografi, yaitu: pengakuan
terhadap peran teori; sentralitas budaya; fokus kritis dalam penelitian dan penulisan; dan
ketertarikan terhadap kebijakan budaya dan politik budaya (Willis dan Trondman, 2000, h. 3-7).
Etnografi sebagai Produk dan Proses
Etnografi dapat dilihat sebagai sebuah produk dan proses dari sebuah penelitian. Produk dari
sebuah penelitian etnografi adalah "biasanya sebuah buku" (Agar, 1980, h.1). Namun, buku ini
bukan hanya sebuah buku. Buku semacam itu hampir selalu berfokus pada suatu kelompok sosial,
meskipun sejumlah teori dan metode dapat menjadi panduannya. Kualitas produk atau buku ini
dievaluasi dari sejauh mana ia dapat menggambarkan adegan budaya yang diteliti sehingga
pembaca dapat membayangkan adegan yang sama seperti yang disaksikan oleh peneliti (Wolcott,
1975 dan Goetz dan LeCompte, 1984). Dengan kata lain, Dobbert (1982) menjelaskan bahwa
"sebuah etnografi yang baik, kemudian, menyampaikan pandangan yang menyeluruh dari dalam
.... (p. 7).
Prinsip-prinsip Metodologis Metode Etnografi
Jacob {1987) menyoroti sejumlah prinsip metodologis yang dimiliki oleh metode etnografi
berdasarkan karya Malinowski (1961). Empat prinsip dasar dari metode etnografi adalah sebagai
berikut:
a) sangat penting bagi para peneliti untuk mengumpulkan bukti empiris secara langsung melalui
penelitian lapangan dalam budaya yang mereka pelajari;
(b) etnografer harus mendokumentasikan sudut pandang penduduk asli - "visinya tentang
dunianya";
(c) penting untuk mendapatkan pernyataan verbatim dari penduduk asli untuk mendapatkan
pandangan mereka tentang dunianya: dan
(d) etnografer harus mengumpulkan berbagai macam data dengan menggunakan berbagai macam
metode
Techniques for Data Collection
Goetz dan LeCompte (1984) mengidentifikasi apa yang mereka sebut sebagai "kategori strategi
pengumpulan data yang paling umum" yang digunakan oleh para peneliti etnografi dalam
penelitian mereka. "Strategi" atau teknik-teknik tersebut adalah "observasi, wawancara, instrumen
yang dirancang oleh peneliti, dan analisis isi dari artefak manusia" (hal. 107). Masing-masing
teknik ini memiliki kelebihan dan sifatnya saling melengkapi.
Observasi Partisipan
Goetz dan LeCompte mendeskripsikan teknik observasi partisipan sebagai berikut... peneliti atau
penyelidik sedapat mungkin hidup bersama dan dengan cara yang sama dengan individu yang
diselidiki. Peneliti mengambil bagian dalam kegiatan sehari-hari orang-orang, merekonstruksi
interaksi dan aktivitas mereka dalam catatan lapangan yang dibuat di tempat atau sesegera
mungkin setelah kejadian. Termasuk dalam catatan lapangan adalah komentar interpretatif
berdasarkan persepsi peneliti; hal ini dipengaruhi oleh peran sosial yang diambil oleh peneliti di
dalam kelompok dan cara orang bereaksi sebagai konsekuensi dari peran tersebut (1984, h. 109).
Wawancara
Teknik kedua untuk pengumpulan data dalam penelitian etnografi adalah wawancara. Pada
dasarnya, wawancara itu sendiri dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis. Denzin (1978)
mengklasifikasikan wawancara ke dalam tiga kategori: wawancara terstandardisasi terjadwal,
wawancara terstandardisasi tak terjadwal, dan wawancara tak terstandardisasi.
Instrumen atau Survei yang Dirancang Berdasarkan Penelitian
Dalam penelitian etnografi, survei didasarkan pada informasi yang pertama kali dikumpulkan
melalui metode tidak terstruktur yang kurang formal dan lebih bersifat informal. Setelah pekerjaan
latar belakang ini dilakukan, konstruksi instrumen survei dapat dimulai. Instrumen-instrumen ini
dapat berupa salah satu dari tiga bentuk: "instrumen konfirmasi, instrumen yang disusun oleh
peserta, dan perangkat proyektif" (Goetz dan LeCompte, 1984, 121).
Analisis Konten Artefak Manusia
Kebutuhan akan teknik pengumpulan artefak dalam penelitian etnografi didasarkan pada
pemikiran bahwa selain apa yang orang katakan dan bagaimana mereka berperilaku, manusia juga
membuat dan menggunakan sesuatu. Dengan kata lain, aktivitas manusia menghasilkan artefak
yang merupakan "data yang dapat mengindikasikan sensasi, pengalaman, dan pengetahuan mereka
dan yang berkonotasi dengan opini, nilai, dan perasaan. Artefak semacam itu memberikan bukti
untuk topik dan pertanyaan yang dibahas oleh para ahli etnografi karena merupakan manifestasi
material dari kepercayaan dan perilaku yang membentuk sebuah budaya" (Goetz dan LeCompte,
1984, h. 153).
Sampling
Dalam etnografi, pengambilan sampel berkaitan dengan peristiwa, waktu, dan orang (Agar, 1980,
h. 125-126 dan Whiting dan Whiting, 1973). Dalam observasi partisipan dan teknik wawancara,
misalnya, etnografer selalu menggunakan metode non probability sampling (sampel pertimbangan
atau sampel oportunistik) untuk mengambil sampel orang (Honigmann, 1973).
Keandalan dan Validitas
Sebagaimana metode penelitian lainnya, metode penelitian etnografi juga melibatkan
pertimbangan reliabilitas dan validitas, kedua aspek ini berperan sebagai penilaian kredibilitas
suatu penelitian. Reliabilitas, terkait dengan kemampuan untuk direplikasi hasil penelitian, dan
validitas, yang berkaitan dengan akurasi hasil penelitian, menjadi ukuran penting. Secara spesifik,
reliabilitas dapat dibagi menjadi reliabilitas eksternal dan reliabilitas internal, sementara validitas
konstruk dapat dibagi menjadi validitas internal dan validitas eksternal.

BAB VI
Model Teoritis Dari Hubungan Akuntabilitas
Pengenalan
Bab ini akan membahas berbagai aspek dari konsep akuntabilitas, karena dianggap bahwa
mekanisme akuntabilitas dalam gereja menjadi faktor utama yang memengaruhi hubungan antara
praktik akuntansi dengan aspek-aspek religius dan institusional gereja lainnya. Pemahaman yang
komprehensif tentang konsep akuntabilitas dianggap sebagai prasyarat untuk melakukan analisis
lebih lanjut. Tujuan dari bab ini adalah menemukan model akuntabilitas yang paling sesuai, yang
akan menjadi kerangka teori untuk analisis penelitian ini.
Arti dan Definisi
Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, akuntabilitas dapat memiliki arti yang berbeda untuk
orang yang berbeda tergantung pada konteksnya. Kompleksitas ini menyebabkan kesulitan dalam
mendefinisikan akuntabilitas itu sendiri. Munro dan Mouritsen (1996) menyatakan bahwa
akuntabilitas telah merasuk ke dalam seluruh aspek kehidupan kita dan, oleh karena itu, berbagai
bentuk akuntabilitas merasuk ke dalam hubungan-hubungan kita. Untuk memahami berbagai
bentuk akuntabilitas yang dihasilkan dari kehadiran teknologi baru dan lama dalam mengelola,
Munro dan Mouritsen (1996) mengeksplorasi masalah ini dengan membaginya ke dalam beberapa
topik seperti diri sendiri, jaringan, komunitas lokal, dan organisasi besar atau kecil. Pandangan
yang luas tentang akuntabilitas ini juga dimiliki oleh Willimott (1996) yang mencatat bahwa
Akuntabilitas adalah fenomena luas yang terjadi di mana pun orang berusaha untuk
mempertanggungjawabkan pengalaman mereka di dunia. Akuntabilitas muncul dalam kaitannya
dengan wacana yang beragam, termasuk yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin, etnis, dan
pekerjaan. Akuntabilitas ini beroperasi untuk memposisikan kita sebagai, misalnya, usia paruh
baya, laki-laki, kulit putih, dan pengangguran. (p. 24).
Penatalayanan
Penatalayanan merupakan inti dari hubungan akuntabilitas (Gray dan Jenkins, 1993). Pernyataan
ini mengindikasikan bahwa setiap diskusi mengenai konsep akuntabilitas tidak dapat mengabaikan
pentingnya unsur penatalayanan. Ketika hubungan sosial menjadi lebih kompleks, konsep
penatalayanan berkembang dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perkembangan tersebut, dua jenis
tanggung jawab penatalayanan muncul - tanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan sosial atau
tanggung jawab sosial dan tanggung jawab untuk mengejar kepentingan pemilik langsung. Yang
pertama dianggap sebagai 'penatalayanan primer' dan yang kedua sebagai 'sekunder' (Chen, 1975).
Cakupan Akun
Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, ruang lingkup akuntabilitas agen
ditentukan oleh kode akuntabilitas. Sejalan dengan hal ini, Stewart (1984) menunjukkan bahwa
tujuan dari laporan dan karenanya dasar-dasar akuntabilitas dapat bervariasi di antara setiap
aktivitas. Dalam aliran yang sama, Degeling et al (1996) berpendapat bahwa "ruang lingkup
laporan yang harus disediakan oleh agen bervariasi" (hal. 32). Demikian pula, Paton (1992)
percaya bahwa sifat hubungan antara akuntan dan akuntan dapat diharapkan untuk mempengaruhi
informasi yang diminta atau diberikan dan hasil pengejaran akuntabilitas untuk hal-hal yang
berbeda dapat mengarah pada preferensi untuk berbagai jenis informasi yang disajikan dalam
akun. Singkatnya, kode akuntabilitas menentukan hasil yang disediakan dalam suatu akun.
Model Teoritis Hubungan Akuntabilitas
Sebuah model akuntabilitas yang sederhana telah diusulkan oleh Gray dkk. (1996). Model yang
hampir serupa juga diusulkan oleh Williams dan Funnell (1996). Yang mana dapat digeneralisasi
untuk diterapkan pada semua hubungan dan hak atas informasi meskipun model tersebut
merupakan model yang sederhana. Mereka percaya bahwa model yang disederhanakan ini dapat
digunakan untuk mengeksplorasi sebagian besar situasi yang kompleks. Oleh karena itu, mereka
menyebutnya sebagai "model akuntabilitas yang digeneralisasikan" (Gray et. al., 1996, h. 39).
Model akuntabilitas ini mengasumsikan hubungan dua arah yang sederhana antara dua pihak yang
dikenal sebagai akuntan atau prinsipal dan akuntan atau agen.
Konflik Kepercayaan dan Nilai dalam Hubungan Akuntabilitas
Laughlin (1996) dan Broadbent dkk., (1996) memperkenalkan masalah benturan nilai atau konflik
nilai antara harapan prinsipal dan agen dalam konteks akuntabilitas. Mereka berpendapat bahwa,
dalam hubungan akuntabilitas, konsep benturan nilai lebih bermakna daripada asumsi sebelumnya
tentang "perilaku mencari keuntungan pribadi" dari agen, seperti yang umumnya diasumsikan
dalam teori PA. Analisis dapat dilakukan dengan mempertimbangkan unsur kunci dalam hubungan
akuntabilitas, yaitu "kepercayaan".
Kepercayaan
Kepercayaan diyakini mampu membentuk sikap positif agen terhadap kepentingan prinsipal.
Signifikansinya dalam hubungan akuntabilitas tercermin dalam kemampuan agen untuk
merespons secara spontan sesuai dengan kepentingan prinsipal, melampaui sekadar merespons
kewajiban kontrak dan insentif. Masalah kepercayaan dalam konteks kontraktual telah menjadi
fokus literatur selama lebih dari dua dekade (seperti yang diakui oleh Arrow, 1974; Fox, 1974;
Armstrong, 1991; Laughlin, 1996; Broadbent et al., 1996). Fox (1974), misalnya,
mempertimbangkan konsep "kepercayaan rendah" dan "kepercayaan tinggi" di antara pihak-pihak
yang terlibat. Dalam konteks sistem kontrol, diasumsikan bahwa ketika tingkat kepercayaan
rendah, prinsipal lebih cenderung melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap perilaku agen.
Nilai Konflik Antara Agen dan Prinsipal
Gagasan tentang konflik nilai telah muncul sebelumnya dalam diskusi. Hal ini menunjukkan
bahwa "kepercayaan" bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan potensi konflik nilai dalam
hubungan akuntabilitas. Sebenarnya, literatur mengakui beberapa faktor lain. Untuk menjelaskan
alasan di balik munculnya konflik nilai, Broadbent dkk., (1996) mengidentifikasi setidaknya tiga
faktor, yaitu 'otonomi profesional', 'alasan ekonomi', dan 'proses skularisasi'.
Profesi yang Peduli dan Kepala Sekolah yang Lebih Tinggi
Istilah "profesi kepedulian," yang diperkenalkan oleh Gorz (1989) dan dikutip oleh Broadbent
dkk., (1996) dan Laughlin (1996), merujuk pada individu yang mendedikasikan diri pada "kegiatan
kepedulian" seperti dokter, guru, perawat, dan profesional di bidang layanan kepedulian lainnya.
Profesi-profesi ini dibedakan dari yang lain terutama dalam konteks gagasan efisiensi. Gorz
berpendapat bahwa "efisiensi kegiatan tersebut tidak mungkin diukur... Ada kemungkinan bahwa
efisiensi pengasuh berbanding terbalik dengan apa yang terlihat output yang dapat diukur" (1989,
143). Hal ini disebabkan layanan yang mereka berikan "tidak dapat didefinisikan secara
independen dari kebutuhan individual orang yang dilayani... dengan kata lain, layanan ini
bergantung pada hubungan antar individu, bukan pada pelaksanaan tindakan yang telah ditentukan
dan dapat diukur" (Gorz, 1989, h. 143).

BAB VII
Perkembangan Sejarah Gereja Pantekosta Di Indonesia
Pengenalan
Bab ini akan membahas sejarah perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia (PCI), organisasi
yang menjadi subjek penelitian. Sejarah gereja akan diuraikan mulai dari awal berdirinya hingga
saat ini. Pembahasan akan mencakup tiga aspek utama, pertama, sejarah gereja sebagai organisasi
nasional. Kedua, akan diulas perkembangan dewan pusat, dewan regional, dan gereja-gereja lokal.
Setelah mengulas sejarah gereja secara menyeluruh, penekanan akan diberikan pada pentingnya
sistem kepercayaan dalam membimbing ideologi dan praktik gereja. Karena praktik akuntabilitas
dan akuntansi merupakan bagian dari praktik organisasi gereja, maka signifikansi sistem
kepercayaan agama gereja mungkin tercermin dalam praktik-praktik ini.
PCI dan Gerakan Pantekosta Internasional
Sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia (PCI), menurut Sumual (1981), tidak dapat dipisahkan dari
kelahiran kembali gerakan Pentakosta dalam tradisi Kristen pada abad ke-20 di Amerika Serikat.
Gerakan ini menekankan pengalaman spiritual yang mendalam setelah pertobatan (Ferguson &
Wright, 1996). Pentakosta pertama dalam konteks modern muncul pada tahun 1901 di Topeka,
Kansas, di sebuah sekolah Alkitab yang dipimpin oleh Charles Fox Parham, seorang guru
kekudusan dan mantan pendeta Metodis. Synan (1997) menyatakan bahwa pada tahun 1906,
Pentakosta mendapatkan perhatian global melalui kebangunan rohani di Azusa Street, Los
Angeles, yang dipimpin oleh pengkhotbah Afro-Amerika, William Joseph Seymour. Parham dan
Seymour kemudian diakui sebagai "pendiri" Pentakosta secara global.
PCI: Benih dari Kuil Bethel
Menurut Sumual (1981), gerakan Pantekosta di Indonesia, khususnya Gereja Pantekosta di
Indonesia (PCI), dapat ditarik akarnya dari Jemaat Pantekosta "Bethel Temple" di Seattle, Amerika
Serikat. Tahun 1919 dianggap sebagai tahun bersejarah bagi ratusan jemaat Pentakosta di "Bethel
Temple" ketika mereka memprakarsai penyebaran ajaran Pentakosta di luar kota Green Lake,
Seattle, Amerika Serikat (Sumual, 1981).
Sumual menyatakan bahwa keluarga Groesbeek dan keluarga Van Klaveren, anggota jemaat
Bethel Temple, memutuskan untuk membawa ajaran Pentakosta ke Indonesia. Untuk
merealisasikan komitmen ini, pada tanggal 4 Januari 1921, mereka meninggalkan Seattle menuju
Jakarta menggunakan kapal Jepang bernama "Suwamaru". Setelah tiba di Jakarta (atau lebih
tepatnya Batavia, sebagaimana disebut oleh Belanda saat itu), pada awal Maret 1921, mereka
melanjutkan perjalanan ke Bali melalui Banyuwangi. Beberapa hari kemudian, mereka tiba di
Denpasar, ibu kota Bali, di mana mereka mulai memperkenalkan ajaran Pentakosta kepada
masyarakat Indonesia. PCI mengklaim bahwa ini merupakan awal berdirinya PCI di Indonesia.
Pertumbuhan
Mandey (1998) mencatat bahwa pada pertemuan nasional pemimpin PCI tahun 1996 di Jakarta,
diputuskan bahwa tahun 1921 diakui sebagai tahun resmi kelahiran PCI. Alasan utama penetapan
ini adalah karena pada tahun tersebut dimulai usaha penyebaran ajaran Pentakosta di Indonesia
yang diprakarsai oleh Van Klaveren dan Grosbeek.
Dewan Pengurus Pusat
Pengurus pusat pertama PCI dibentuk pada tahun 1923. Para anggota dewan adalah Weenink van
Loon sebagai ketua, Paulus sebagai sekretaris, Zuster Annie Leeflang sebagai bendahara, dan Van
Gessel sebagai komisaris (Sumual, 1981). Pengurus pusat Gereja Pantekosta menunjukkan bahwa
tiga dari empat anggota pengurus adalah orang Belanda. Selain itu, nama organisasi gereja ini
menggunakan bahasa Belanda dan disahkan di bawah hukum Nederlandsch Indie yang disahkan
oleh pemerintah Belanda. Nama organisasi ini kemudian diubah menjadi Gereja Pantekosta di
Indonesia (GPI) pada awal tahun 1940-an setelah Belanda tidak lagi memiliki banyak pengaruh.
Pembentukan Dewan Pengurus Pusat
Menurut konstitusi Gereja Pantekosta di Indonesia (PCI), anggota dewan pusat diangkat untuk
masa jabatan empat tahun pada 'konferensi nasional' PCI, dan jumlah anggota dewan yang
menjabat tidak boleh lebih dari dua puluh empat orang. Konstitusi mensyaratkan bahwa tiga
anggota dewan dipilih sementara yang lainnya ditunjuk. Ketua dewan dipilih secara otomatis dari
kandidat yang mendapatkan suara terbanyak. Banyak personel yang ditunjuk bertanggung jawab
atas departemen yang dibentuk sesuai kebutuhan dewan regional. Selain itu, dewan penasihat juga
dibentuk, dengan anggotanya biasanya dipilih dari para pendeta senior dan dihormati di PCI. Tugas
utama dewan penasehat adalah memberikan nasihat kepada pengurus pusat yang sedang menjabat
jika diperlukan. Pada konferensi nasional terakhir PCI di Jakarta pada Februari 2000, dilakukan
pemilihan pengurus pusat untuk periode 2000-2004.
Hak dan Kewajiban Pengurus Pusat
Hak dan tanggung jawab Dewan Pengurus Pusat telah ditentukan oleh konstitusi gereja di bagian
10:16.1 sebagai berikut:
1. Mewakili PCI untuk semua urusan luar negeri.
2. Mendiskusikan, mengesahkan, dan mempertahankan kemurnian dan standar doktrin PCT serta
untuk menjaga persatuan dan ketertiban di PCI.
3. Melaksanakan semua keputusan yang dibuat dalam konferensi nasional gereja.
4, Untuk memecahkan masalah yang dihadapi dewan regional.
5. Memperkuat persekutuan dan mengkonsolidasikan organisasi.
6. Mengeluarkan atau menarik keputusan pengangkatan dan mengaktifkan atau membekukan
dewan di dalam PCI.
7. Menetapkan tanggal dan memimpin konferensi besar.
8. Menjadwal ulang konferensi besar atau konferensi nasional jika diperlukan.
9. Menyelenggarakan rapat pleno sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun.
10. Menahbiskan para pendeta pada konferensi besar atau konferensi nasional.
Kegiatan Pendidikan
Dewan Pimpinan Pusat PCI menjaga keseragaman doktrin dengan mendirikan Sekolah Tinggi
Alkitab di seluruh negeri. Beberapa sekolah menawarkan program sembilan bulan untuk
memberikan pengetahuan dasar tentang doktrin gereja. Ada pula yang menyelenggarakan program
tiga tahun, di mana siswa melanjutkan ke tingkat tahun kedua dan ketiga setelah bertindak sebagai
"pelayan" atau pendeta terlatih selama setahun di gereja lokal. Proses ini dianggap sebagai 'tempat
latihan' bagi calon pendeta. Sekolah lain, dengan program tiga hingga empat tahun, memberikan
pengetahuan lebih luas, termasuk pengetahuan umum, selain doktrin gereja. Sekolah-sekolah yang
menawarkan pengetahuan dasar tentang doktrin gereja umumnya disebut Sekolah Tinggi Alkitab,
sedangkan yang menawarkan pengetahuan lebih luas disebut Institut Teologi.
Status Pelayanan
Menurut konstitusi gereja, status pelayanan di PCI bukanlah profesi, melainkan panggilan. Istilah
"Panggilan," dalam pandangan PCI, merujuk pada keyakinan bahwa para pendeta menerima
panggilan ilahi dari Tuhan untuk memasuki pelayanan. Gagasan ini menciptakan gambaran bahwa
status seorang pendeta di PCI dianggap luar biasa. Karena mereka merasa dipanggil oleh Allah
untuk melakukan pekerjaan pendeta, mereka menganggap bahwa mereka bekerja untuk Allah,
bukan untuk majelis manusia. Ini memengaruhi motivasi, semangat, dan disiplin mereka dalam
melaksanakan tugas. Imannya diyakini memainkan peran penting dalam proses ini.
Dewan Pengurus Daerah
Menurut wawancara dengan pemimpin gereja, PCI memiliki dua puluh dua dewan regional.
Sejarahnya, pendirian dewan regional dipacu oleh pertumbuhan jumlah gereja lokal di suatu
wilayah. Karena Indonesia memiliki 27 provinsi, PCI menentukan wilayah dewan regional
berdasarkan provinsi. Namun, basis provinsi ini hanya berlaku untuk wilayah dengan banyak
gereja lokal terkonsentrasi. Di wilayah-wilayah dengan sedikit gereja lokal, PCI menggunakan
pendekatan penggabungan basis provinsi, baik di antara provinsi-provinsi yang berdekatan atau di
antara provinsi yang berbeda. Dari dua puluh dua dewan regional, delapan belas dikembangkan
dengan pendekatan berbasis provinsi, sementara empat dibentuk dengan menggabungkan basis
provinsi.
Pengembangan Gereja-gereja Lokal
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pengembangan gereja-gereja lokal di PCI mengikuti tiga
pola utama. Pertama, pola perintisan jemaat, merupakan pendekatan umum yang dilakukan oleh
mayoritas pendiri gereja lokal di PCI. Kedua, pola pemisahan, telah terjadi dalam dua dekade
terakhir sebagai konsekuensi dari pertumbuhan anggota jemaat yang pesat di sebuah gereja lokal.
Ketiga, pola pemisahan yang dipaksakan, meskipun tidak populer, juga merupakan salah satu pola
pengembangan gereja lokal. Sebagian besar gereja lokal di Gereja Pantekosta di Indonesia
didirikan dengan menggunakan pola perintisan jemaat. Menurut pola ini, seorang pendeta yang
terlatih harus secara sukarela memulai pengembangan sebuah gereja lokal yang baru. Upaya ini
harus dilakukan terlepas dari ketersediaan dukungan keuangan dari pihak manapun, termasuk PCI.

BAB VIII
Sistem Kepercayaan Agama dan Pengaturan Keuangan Dari Gereja
Pengenalan
Pada bab ini, akan dibahas aspek-aspek yang terkait dengan pengaturan keuangan dan sistem
kepercayaan gereja. Pembahasan didasarkan pada data dari berbagai sumber, termasuk wawancara
mendalam, observasi partisipan, serta dokumen dan notulen. Tujuannya adalah memberikan dasar
analisis pada bab-bab selanjutnya. Pembahasan akan difokuskan pada tiga tingkat utama organisasi
gereja, mulai dari interaksi antara pengaturan keuangan dan sistem kepercayaan di Gereja Lokal
Bahu, kemudian membahas hal yang sama di Dewan Daerah Sulawesi Utara dan Dewan Pimpinan
Pusat PCI. Bab ini akan ditutup dengan kesimpulan.
Hubungan antara Pengaturan Keuangan dan Sistem Kepercayaan
A. Gereja Lokal Bahu
Gereja Bahu, salah satu dari empat puluh gereja lokal PCI di Manado, Sulawesi Utara, berdiri
di pinggiran kota yang juga bernama Bahu. Manado, sebagai ibu kota provinsi dengan
mayoritas penduduk Kristen, memiliki lebih dari seratus gereja dari berbagai denominasi. PCI,
di antara denominasi Kristen lainnya, tercatat sebagai salah satu yang paling pesat berkembang
di wilayah tersebut, terlihat dari peningkatan jumlah gereja lokalnya selama tiga dekade
terakhir. Pada awal tahun enam puluhan, termasuk gereja Bahu, hanya ada sembilan gereja PCI
di kota ini. Namun, sejak saat itu, lebih dari tiga puluh gereja lokal PCI baru telah didirikan,
mencerminkan pertumbuhan yang signifikan dalam denominasi tersebut.
- Struktur Organisasi Gereja Lokal Bahu
Pdt. Paultje Kawatu, sebagai gembala sidang di Gereja Lokal PCI, memiliki otoritas
tertinggi, yang dipandang berasal tidak hanya dari organisasi gereja tetapi juga dari Tuhan
sebagai Kepala Gereja. Otoritasnya, yang terdiri dari aspek formal dari organisasi dan aspek
ilahi dari Tuhan, dianggap penting dalam pandangan jemaat. Otoritas ilahi diyakini
didelegasikan oleh Allah pada hari pelantikan, dan dalam konteks pelayanan gereja,
dianggap lebih signifikan daripada otoritas formal. Keberadaan otoritas ilahi dianggap
esensial, karena memiliki otoritas formal saja dianggap kurang bermanfaat dalam pelayanan
gereja. Oleh karena itu, jemaat mencari pendeta yang diurapi oleh Roh Kudus, menyoroti
pentingnya dimensi ilahi dalam kepemimpinan gereja daripada kemampuan kepemimpinan
yang semata-mata bersifat organisasional.
- Sumber-sumber Keuangan Gereja Lokal Bahu
Gereja Bahu membutuhkan dana untuk membiayai operasionalnya dan juga untuk
mendukung kebutuhan sehari-hari pendeta. Dana di Gereja Bahu berasal dari tiga sistem
utama yang melibatkan anggota Gereja Lokal, yaitu 'dana persepuluhan', 'dana
persembahan', dan 'dana cadangan gereja'. Meskipun ada dorongan untuk memberikan jenis
pemberian lain seperti 'persembahan kasih dan persembahan ucapan syukur', tiga jenis
pemberian utama tersebut menjadi mayoritas sumber keuangan gereja. Selain itu, terdapat
sistem dana khusus yang disebut 'dana belasungkawa' yang diciptakan untuk mendukung
duka anggota gereja dalam situasi tertentu.
- Pengaturan Keuangan di Gereja Lokal Bahu
Dana Gereja Lokal diperoleh melalui tiga cara utama: persepuluhan, persembahan, dan
cadangan gereja. Setiap dewan pelayanan di dalam gereja memiliki dana sendiri yang
diperoleh dari anggotanya, digunakan khusus untuk membiayai program-programnya.
Selain itu, terdapat komite yang disebut 'Dana Duka Cita' yang mengumpulkan dan
mengelola dana untuk memberikan bantuan keuangan kepada keluarga yang berduka akibat
kematian seorang anggota keluarga. Dengan adanya struktur keuangan dan sistem akuntansi
ini, Gereja Lokal memiliki pengaturan yang jelas untuk pengelolaan dana dan dukungan
keuangan bagi anggota yang membutuhkan.
B. The North Sulawesi Regional Board (NSRB)
NSRB, satu dari dua puluh dua Dewan Regional PCI, dibentuk berdasarkan wilayah provinsi,
khususnya mengikuti wilayah Sulawesi Utara. Sebanyak 1203 gereja lokal PCI di Sulawesi
Utara berada di bawah kendali NSRB, dengan keyakinan sebagai gereja misioner bahwa jumlah
gereja lokal akan terus bertambah di wilayah ini.
- Struktur Organisasi NSRB
Konstitusi gereja memperbolehkan hingga dua belas anggota NSRB, tetapi pada konferensi
tahun 1999, disetujui oleh Dewan Pusat, jumlah anggota Dewan Regional ditingkatkan
menjadi enam belas orang untuk mengakomodasi kebutuhan organisasi. Penambahan empat
anggota ini tidak sesuai dengan konstitusi, tetapi para anggota Dewan Pengurus Pusat
merencanakan untuk membawa dan menyahkan perubahan ini dalam konferensi nasional
tahun 2000 di Jakarta. Sebagai hasilnya, keempat petahana tambahan sementara disebut
'koordinator' bukan 'burkel'.
- Uraian Tugas Anggota NSRB
Tugas setiap anggota NSRB melibatkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan tugas yang diberikan. Contohnya, pejabat yang mengurus biro belas kasih harus
merencanakan pengumpulan dana dan distribusinya kepada para pendeta yang
membutuhkan di wilayah tersebut. Dalam melaksanakan tugas, prinsip bahwa semua
pekerjaan harus didedikasikan kepada Tuhan mengurangi ambiguitas deskripsi pekerjaan.
Mereka berkomitmen untuk bekerja sebagai tim yang harmonis, didorong oleh motivasi dan
disiplin yang baik, dengan keyakinan bahwa kerja sama tim yang baik memiliki nilai
tertinggi.
- Sumber dan Penggunaan Dana NSRB
Dewan Regional memperoleh sumber dana melalui dua cara utama: persepuluhan yang
dibayarkan oleh para pemangku jabatan di wilayah tersebut dan sumber-sumber lain yang
sesuai dengan perintah Alkitab. NSRB mendapatkan dana melalui persepuluhan yang
dibayarkan oleh pendeta dan pekerja gereja di wilayah tersebut, serta sumbangan dari
anggota PCI. NSRB menerima 90% dari persepuluhan para gembala sidang gereja-gereja
lokal di wilayahnya, yang sebenarnya dikumpulkan oleh Dewan Sub-Regional. Kebijakan
NSRB menetapkan bahwa persepuluhan dari para pendeta diserahkan kepada Dewan Sub-
Regional, yang kemudian menyimpan 10% untuk cadangan operasional dan menyerahkan
90% sisanya kepada Dewan Regional. Hal ini dijelaskan dalam laporan keuangan NSRB
tahun 1998-1999 (Lapian, 1999).
- Dewan Sub-Regional dan Dewan Regional
Untuk mengatasi tantangan mengatur banyak gereja lokal di wilayah yang luas, NSRB
memilih kebijakan desentralisasi dengan membentuk Dewan Sub-Regional sesuai dengan
klausul konstitusi gereja ayat 8.3.4. Kebijakan ini diterapkan untuk meningkatkan
efektivitas pengelolaan gereja lokal dengan mempertimbangkan kebutuhan Dewan
Regional. Jumlah anggota Dewan Sub-Regional bervariasi sesuai dengan jumlah gereja
lokal di suatu sub-wilayah, dengan pejabat lama diangkat dalam rapat pleno Dewan
Regional untuk masa jabatan empat tahun. Konstitusi gereja, dalam pasal 8.3.b, menetapkan
jumlah minimum petahana dalam Dewan Sub-Regional adalah tiga orang (ketua, sekretaris,
dan bendahara), meskipun sebagian besar sub-regional dikelola oleh lebih dari tiga
petahana. Jumlah gereja lokal di setiap Dewan Sub-Regional berkisar antara tujuh hingga
empat puluh, dan ukuran Dewan Sub-Regional dipengaruhi oleh jumlah gereja lokal, sesuai
dengan kebijakan untuk Dewan Regional.
- Akuntabilitas Keuangan Dewan Pengurus Daerah
Bendahara Pengurus Daerah Sulawesi Utara mengakui bahwa laporan keuangan pengurus
disampaikan secara rutin, namun, ia menekankan bahwa laporan tersebut tidak
mencerminkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Laporan hanya berupa
laporan arus kas sederhana tanpa memperhitungkan laba rugi. Bendahara mengungkapkan
kebingungan terkait dengan surplus signifikan, menekankan bahwa sebagai tubuh Kristus,
itu seharusnya digunakan untuk perluasan Kerajaan Allah, bukan menjadi kebanggaan
organisasi. Meskipun mungkin sulit dipahami bagi seorang ahli akuntansi, hal ini dianggap
sebagai suatu realitas.
C. Dewan Pimpinan Pusat Gereja Pentakosta di Indonesia
- Uraian Tugas Dewan Pengurus Pusat
Dalam ayat 13:19 dari konstitusi gereja, disebutkan bahwa sumber dana untuk Dewan Pusat
dapat berasal dari empat cara yakni:
1. Kontribusi dari 25 persen pendapatan Dewan Pengurus Daerah;
2. Donasi dari anggota PCI dalam bentuk persembahan ekstra yang dikumpulkan di semua
gereja lokal setahun sekali;
3. Sumbangan dan hibah dari para donor;
4. Dana yang diterima dari perusahaan lain sebagai tar selama tidak bertentangan dengan
perintah Alkitab.
- Dewan Audit Keuangan
Amandemen konstitusi ini diatur dalam ayat 13:22 1-2 yang menyebutkan bahwa:
1. Dewan Pimpinan Pusat membentuk badan pemeriksa keuangan untuk Gereja
Pentakosta di Indonesia,
2. Badan Pemeriksa Keuangan, dalam melaksanakan tugasnya, harus mengikuti arahan
dari Dewan Komisaris Pusat dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris.
Setelah pembentukan Dewan Audit Keuangan, beberapa orang ditunjuk sebagai anggota,
dengan komposisi terlihat pada Tabel 8.11 di lampiran. Dari lima anggota, hanya dua orang
yang memiliki latar belakang profesional di bidang akuntansi dan audit, sementara tiga
lainnya adalah pendeta dan guru-guru Alkitab di PCI.
- Akuntabilitas Keuangan Dewan Pengurus Pusat
Dewan Pengurus Pusat, seperti Dewan Pengurus Daerah, wajib mempertanggungjawabkan
pengelolaan dananya kepada penyedia dana, khususnya Dewan Regional, sesuai konstitusi
gereja. Konstitusi menegaskan dalam ayat 13.21.2 bahwa "bendahara Dewan Pengurus
Pusat harus memberikan laporan keuangan secara teratur kepada Dewan Pengurus Wilayah,
setidaknya sekali dalam enam bulan".
BAB IX
Analisis Praktik Akuntansi di PCI Dengan Menggunakan Model
Akuntabilitas
Pengenalan
Bab ini menganalisis pengaruh sistem kepercayaan agama dan aspek kelembagaan terhadap
praktik akuntansi di Gereja Pantekosta di Indonesia. Mengacu pada keterkaitan yang jelas antara
akuntansi dan akuntabilitas, penelitian ini menggunakan teori atau model akuntabilitas untuk
mengevaluasi bagaimana sistem kepercayaan religius dan faktor-faktor institusional gereja
memengaruhi praktik akuntansi. Penggunaan teori akuntabilitas diilhami oleh temuan Laughlin
(1984) yang menunjukkan rendahnya tingkat akuntabilitas sebagai faktor utama yang
berkontribusi pada kurangnya praktik akuntansi di gereja di Inggris.
Hubungan Akuntabilitas di Unit Organisasi yang Diteliti
Di gereja lokal, seperti Gereja Bahu yang dibahas dalam bab delapan, terdapat empat sistem dana:
persepuluhan, persembahan, cadangan gereja, dan dana belasungkawa. Pertanggungjawaban
keuangan diadministrasikan melalui tiga hubungan yang jelas. Anggota jemaat memberikan dana
persepuluhan dan persembahan kepada pendeta dengan harapan mendukung kepemimpinan dan
pengarahan rohani. Untuk dana cadangan gereja, anggota jemaat sebagai penyedia dana memiliki
harapan bahwa bendahara gereja lokal akan memperhatikan kualitas bangunan dan agenda non-
spiritual gereja. Pada dana dukacita, anggota dana belasungkawa mentransfer sumber daya
keuangan kepada komite dengan keyakinan bahwa dana akan diatur untuk manfaat maksimal
anggota yang berduka. Di tingkat NSRB, Delapan puluh empat Dewan Sub-Regional di wilayah
Sulawesi Utara menyediakan sumber daya keuangan, mentransfer 90% dari pendapatan sesuai
kebijakan keuangan Dewan Regional. Dewan Sub-Regional III, yang mengelola gereja Bahu,
berfungsi sebagai perantara dalam hubungan pertanggungjawaban antara NSRB dan gereja Bahu,
meminta penggunaan dana untuk kegiatan pelayanan, perbaikan fisik, dan pembangunan gereja-
gereja lokal di wilayah Sulawesi Utara.
Akuntabilitas dan Praktik Akuntansi di Gereja Bahu
A. Akuntabilitas dan Akuntansi untuk Dana Persepuluhan
Dana persepuluhan merupakan bagian terbesar dari dana gereja lokal yang dikumpulkan dari
anggota jemaat, dan jika dibayarkan secara efektif oleh semua anggota, akan mewakili
sepersepuluh dari pendapatan seluruh jemaat. Oleh karena itu, administrasi dana ini harus
tepat dan transparan, setidaknya seharusnya lebih baik atau lebih dapat
dipertanggungjawabkan dibandingkan dengan sistem atau dana lainnya di gereja lokal.
B. Akuntabilitas dan Akuntansi untuk Dana Penawaran
Kurangnya akuntabilitas keuangan dari dana persembahan di gereja lokal serupa dengan dana
persepuluhan dan dapat ditelusuri pada sistem kepercayaan gereja. Prinsip utama gereja dalam
pengumpulan dana persembahan adalah agar jemaat diberkati oleh Tuhan, dengan keyakinan
bahwa semakin banyak memberikan, semakin banyak pula berkat yang diterima. Seperti
persepuluhan, persembahan juga dianggap sebagai pemberian kepada Tuhan melalui pendeta.
Meskipun persepuluhan bersifat wajib dan persembahan bersifat sukarela, dianggap bahwa
pemberian jemaat yang sesungguhnya kepada Tuhan terwujud dalam bentuk persembahan.
Prinsip administrasi persepuluhan juga berlaku untuk dana persembahan karena persembahan
dianggap sebagai pemberian kepada Allah melalui gembala jemaat setempat.
C. Akuntabilitas dan Akuntansi Dana Cadangan Gereja
Dana cadangan gereja di gereja Bahu adalah bentuk dana persembahan, bertujuan khusus
untuk pemeliharaan gedung dan fasilitas gereja. Perbedaan utama antara dana cadangan gereja
dan dana persembahan terletak pada sejarah pembentukan dan lokus kendali. Dana
persembahan terbentuk pada awal gereja sebagai respons kebutuhan keuangan pendeta,
sementara dana cadangan gereja baru terbentuk untuk menggantikan dana pembangunan dan
memenuhi kebutuhan pemeliharaan bangunan serta kebutuhan fisik gereja. Kontrol dana
persembahan dipegang oleh gembala sidang, sedangkan dana cadangan gereja dikelola oleh
bendahara gereja lokal. Sifat religius dari dana cadangan gereja berkontribusi pada pentingnya
proses pelaporan untuk dana ini. Kesederhanaan dalam penyediaan laporan keuangan
dianggap wajar oleh bendahara dan anggota jemaat, menghindari kesan bahwa dana cadangan
gereja tidak alkitabiah. Prinsip memberi dan memberkati yang melekat dalam pemberian
kepada dana persembahan juga terdapat dalam pemberian kepada dana cadangan gereja.
Pertanggungjawaban untuk dana ini diperlukan karena tujuan utamanya adalah kesejahteraan
gereja lokal, bukan untuk mata pencaharian pendeta, dan dikelola oleh bendahara gereja
setempat, bukan gembala sidang gereja lokal.
D. Akuntabilitas dan Akuntansi untuk Dana Duka Cita
Dana belasungkawa di gereja Bahu memiliki karakteristik unik dan merupakan sistem dana
terakhir yang dibentuk pada awal tahun 1994. Pembentukan dana ini didasari oleh kepedulian
jemaat terhadap pentingnya belas kasih, meskipun tidak memiliki referensi khusus terhadap
sistem kepercayaan gereja. Manajemen dana ini dilakukan melalui komite yang ditunjuk oleh
pendeta, dan anggota gereja lokal harus memenuhi persyaratan untuk dapat menerima manfaat
dari dana belasungkawa.
Akuntabilitas dan Praktik Akuntansi di Regional Board (NSRB) Sulawesi Utara
Dana NSRB sebagian besar berasal dari transfer dana yang mewakili sembilan puluh persen dari
pendapatan Dewan Sub-Regional. Kebijakan ini dianggap sebagai persepuluhan Dewan Sub-
Regional kepada NSRB. Meskipun sumber utama pendapatan Dewan Sub-Regional II berasal dari
transfer persepuluhan gereja-gereja lokal, hubungan keuangan antara NSRB dan gereja-gereja
lokal tidak bersifat langsung, melainkan melalui Dewan Sub-Regional sesuai dengan kebijakan
administrasi keuangan.
Dana NSRB, yang sebagian besar berasal dari Dewan Sub-Regional, memiliki tujuan utama untuk
membiayai kegiatan-kegiatan NSRB. Menurut konstitusi gereja, dua puluh lima persen dari dana
tersebut harus ditransfer ke Dewan Pusat sebagai persepuluhan NSRB, sementara tujuh puluh lima
persen dapat digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan NSRB. Beberapa kegiatan yang
paling banyak dibiayai oleh NSRB termasuk belas kasih, biaya transportasi dan akomodasi
anggota dewan, serta kegiatan lainnya seperti seminar, konferensi, dan publikasi. Meskipun
demikian, laporan keuangan NSRB selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa NSRB
konsisten kurang membayar kewajiban dua puluh lima persennya kepada Dewan Pusat, dengan
transfer yang hanya mencapai sepuluh hingga dua puluh persen dari pendapatan tahunan.
Konstitusi gereja mengharuskan setiap Dewan Wilayah untuk memberikan laporan keuangan
kepada para gembala gereja-gereja lokal di wilayah tersebut setidaknya sekali setiap empat bulan.
Meskipun NSRB mematuhi persyaratan ini dengan menyediakan laporan keuangan, laporan
tersebut hanya diberikan setiap tahun. Sejak pembentukan Dewan Sub-Regional, laporan
keuangan tidak lagi diserahkan langsung kepada para pendeta gereja-gereja lokal sesuai konstitusi,
melainkan kepada Dewan Sub-Regional, yang kemudian meneruskannya kepada para gembala
gereja-gereja lokal.
Akuntabilitas dan Praktik Akuntansi di Dewan Pengurus Pusat PCI
Pendapatan Dewan Pusat digunakan untuk membiayai program-programnya, sesuai dengan
persyaratan konstitusi gereja. Meskipun konstitusi mensyaratkan penyusunan anggaran
pendapatan dan pengeluaran tahunan, dalam prakteknya, Dewan Pusat tidak pernah menyusun
anggaran tersebut. Sebaliknya, Dewan Pimpinan Pusat menyiapkan "Panduan Nasional Program
Gereja Menuju Tahun 2000" (NGCP 2000) pada tahun 1995, yang diimplementasikan mulai awal
tahun 1996. Panduan ini, diasumsikan mencakup anggaran dan program-program Dewan
Pimpinan Pusat antara tahun 1996 dan 2000, dirancang sesuai dengan kegiatan Dewan Pengurus
Pusat dan bersifat kualitatif dan naratif.
Meskipun konstitusi gereja mensyaratkan Dewan Pusat untuk memberikan laporan keuangan
kepada semua Dewan Regional setidaknya sekali dalam setiap enam bulan, dalam prakteknya,
laporan tersebut diberikan setiap tahun. Meskipun demikian, laporan-laporan ini memberikan
rincian transaksi selama periode pelaporan, memastikan bahwa semua Pengurus Daerah memiliki
informasi yang memadai tentang administrasi.
Aspek Otonomi Profesional, Alasan Ekonomi dan Proses Sekularisasi dalam Hubungan
Akuntabilitas
Tingkat kepercayaan bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi konflik nilai dalam hubungan
akuntabilitas. Ketakutan akan proses sekularisasi, dihasilkan dari interaksi antara alasan ekonomi
pemberi dana dan otonomi profesional penerima dana, juga menjadi elemen relevan dalam diskusi
hubungan akuntabilitas di organisasi kepedulian dan keagamaan. Jika ekspektasi ekonomi pemberi
dana bertentangan dengan nilai sakral penerima dana, muncul masalah proses sekularisasi.
Dalam pertanggungjawaban dana cadangan gereja, anggota jemaat dan bendahara gereja lokal,
yang juga anggota jemaat, berperan. Meskipun memiliki ciri dana persembahan sampai batas
tertentu, tujuan pengumpulannya bukan untuk mata pencaharian pendeta, melainkan terutama
untuk kemajuan gereja lokal. Pengelolaan dana ini dilakukan oleh bendahara gereja lokal, yang
merupakan anggota dewan gereja lokal.
Penjelasan Teoritis tentang Pertanggungjawaban dan Akuntansi dalam Gereja
Dari analisis yang dilakukan pada bagian sebelumnya, telah diidentifikasi bahwa signifikansi
praktik akuntansi berbeda dari satu dana ke dana lainnya tergantung pada sejumlah faktor. Faktor-
faktor tersebut diidentifikasi sebagai:
- sebagai acuan pembentukan dana;
- keterlibatan Tuhan;
- alasan untuk mengumpulkan dana;
- tujuan penggunaan dana; dan
- administrator dana tersebut.
Dalam konteks dana di PCI, pembentukan dana dapat dibagi menjadi dua sumber utama:
Alkitabiah atau non-Alkitabiah. Untuk dana yang bersumber dari Alkitab, pertanggungjawaban
dan administrasinya bersifat eksklusif, di mana administrator dana, yang secara resmi adalah
pendeta gereja lokal, menghindari pertanggungjawabannya kepada jemaat dengan alasan bukan
sebagai pegawai jemaat. Penghindaran ini didasarkan pada pemahaman bahwa dana tersebut
adalah ungkapan ketaatan jemaat kepada Tuhan dan hanya digunakan untuk mendukung
kehidupan pendeta. Dalam hubungan ini, praktik akuntansi tidak berperan, dan administrator
mengklaim bertanggung jawab kepada 'prinsipal yang lebih tinggi,' yaitu Tuhan, yang mahatahu.
Sebagai hasilnya, informasi akuntansi tidak memiliki ruang dalam administrasi dana ini.

BAB X
Kesimpulan
Pengenalan
Bab ini menguraikan temuan utama penelitian, diikuti oleh pembahasan implikasi temuan tersebut
terhadap praktik akuntabilitas dan akuntansi di unit-unit yang diteliti. Serta, disertai dengan
pembahasan keterbatasan penelitian, kemungkinan penelitian di masa depan, dan kesimpulan
utama dari penelitian ini.
Temuan Studi
Pertama, Unit-unit yang diteliti, termasuk Dewan Pengurus Pusat, NSRB, dan Gereja Lokal Bahu,
memiliki total enam sistem keuangan, dengan empat di antaranya ada di Gereja Lokal Bahu.
Dewan Pengurus Pusat dan NSRB memiliki satu sistem keuangan masing-masing. Gereja Lokal
Bahu memiliki empat sistem keuangan: dana persepuluhan, dana persembahan, dana cadangan
gereja, dan dana belasungkawa. Sementara Dewan Pengurus Pusat menyebut sistem keuangan
mereka sebagai dana Dewan Pengurus Pusat, dan NSRB menyebutnya sebagai dana Dewan
Pengurus Wilayah Sulawesi Utara.
Kedua, Gereja Lokal Bahu, sebagai sumber pendapatan utama untuk Dewan Pusat dan NSRB,
mencerminkan sistem pengumpulan dana sesuai konstitusi PCI. Para pendeta gereja lokal
diwajibkan menyerahkan sepuluh persen dari pendapatannya ke dewan regional, yang kemudian
menyumbangkan dua puluh lima persen dari pendapatannya ke Dewan Pusat. Meskipun konstitusi
menetapkan sepuluh persen dari persepuluhan dan persembahan dari gereja-gereja lokal untuk
NSRB, kebijakan keuangan NSRB memediasi jumlah tersebut melalui Dewan Sub-Regional,
dengan hanya menerima 90% dari total. Pemberian jemaat di Gereja Lokal Bahu terbagi menjadi
tiga kategori utama: persepuluhan, persembahan, dan dana cadangan gereja. Dana duka cita juga
dikumpulkan dari para anggota yang menyumbangkan dana tersebut.
Ketiga, Dana Dewan Pusat dan NSRB digunakan untuk membiayai dua program utama, yaitu
program dan non-program, yang mencakup biaya operasional, pendidikan, sumbangan, dan lain-
lain. Pengeluaran Dewan Pengurus Pusat terkategorikan dalam empat bidang utama, termasuk
biaya operasional, pendidikan, sumbangan, dan lain-lain seperti konferensi dan publikasi. NSRB
juga memiliki kategorisasi serupa, kecuali biaya pendidikan. NSRB juga berkewajiban
memberikan sumbangan sebesar lima persen dari pendapatannya kepada Pusat.
Keempat, Empat jenis dana di Gereja Lokal Bahu memiliki tujuan yang berbeda. Persepuluhan,
sebagai bagian terbesar dari pendapatan gereja, dikumpulkan untuk memenuhi perintah agama
gereja. Pembayaran persepuluhan dianggap sebagai pelaksanaan perintah keuangan dalam teologi
PCI, di mana membayar persepuluhan dianggap sebagai kewajiban bagi anggota gereja. Tujuannya
adalah untuk mendukung kehidupan gembala sidang Gereja Lokal, yang memiliki otoritas untuk
menggunakan dana tersebut tanpa kewajiban kepada jemaat atau pihak lain.
Terakhir, Dana duka cita di Gereja Lokal Bahu dibentuk atas kepedulian anggota terhadap peran
gereja dalam menangani masalah sosial. Tujuannya adalah menyediakan dukungan finansial bagi
mereka yang berduka atas kematian anggota keluarga. Anggota jemaat harus mengajukan
permohonan untuk menjadi bagian dari dana ini, yang dikelola melalui komite dana dukacita.
Komite ini bertanggung jawab secara formal dan profesional kepada anggota dana dan jemaat atas
administrasi dana kebajikan ini.
Implikasi Temuan terhadap Praktik Akuntansi di Gereja
Pertama, Dewan Pengurus Pusat adalah penerima dana dari NSRB, dan Dewan Pengurus Daerah
adalah penyedia dana utama. Keberlanjutan operasional Dewan Pengurus Pusat sangat tergantung
pada dukungan keuangan dari Dewan Pengurus Daerah. Mekanisme pertanggungjawaban
keuangan diatur oleh konstitusi, di mana bendahara Dewan Pengurus Pusat berkewajiban
memberikan laporan keuangan secara teratur, setidaknya sekali dalam enam bulan, kepada Dewan
Pengurus Regional, termasuk NSRB sebagai penyedia dana.
Kedua, NSRB berfungsi sebagai agen dalam hubungan pertanggungjawaban kepada Dewan Sub-
Regional, yang berperan sebagai prinsipal dengan menyediakan sebagian besar pendapatan NSRB.
Ketergantungan NSRB pada transfer keuangan dari Dewan Sub-Regional menekankan pentingnya
hubungan ini. Konstitusi gereja mewajibkan Dewan Sub-Regional memberikan laporan keuangan
secara teratur kepada Gereja Lokal, yang menciptakan tanggung jawab NSRB untuk
mempertanggungjawabkan administrasi dana kepada Dewan Sub-Regional. Selain itu, NSRB juga
diwajibkan untuk menyusun anggaran pemasukan dan pengeluaran tahunan sesuai dengan
konstitusi gereja.
Ketiga, alasan utama yang mendasari pembentukan dana persepuluhan di Gereja Lokal pada
dasarnya bersifat religius dan Alkitabiah.
Keterbatasan dan Arah Penelitian di Masa Depan
Keterbatasan penelitian ini terletak pada sifat interpretatifnya, yang dapat menyebabkan hasil yang
berbeda jika digunakan oleh peneliti independen dengan konstruk dan data yang sama.
Subjektivitas dalam interpretasi dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, pendidikan, budaya, dan
pengetahuan peneliti terhadap isu-isu yang diteliti. Oleh karena itu, replikasi atau reliabilitas, baik
secara internal maupun eksternal, menjadi keterbatasan yang perlu diperhatikan.
Penelitian di masa depan pada Dewan Pengurus Daerah dan Dewan Pengurus Pusat PCI dapat
berfokus pada dua isu utama. Pertama, menggali peran akuntansi dalam proses penganggaran
untuk meningkatkan transparansi, akurasi, dan akuntabilitas. Kedua, mengevaluasi efektivitas
sistem akuntansi terintegrasi yang diusulkan oleh badan pemeriksa keuangan di lembaga-lembaga
terkait di pusat dan daerah, dengan tujuan mencapai pengawasan dan pengelolaan keuangan yang
efisien.
Catatan Penutup Utama
Dinamika akuntabilitas keuangan di unit-unit yang diteliti di PCI dipengaruhi oleh prinsip
organisasi dan sistem kepercayaan gereja. Pengaruh budaya tidak dapat disimpulkan karena
ketiadaan budaya nasional yang terpadu di Indonesia. Dengan demikian, dinamika ini
memengaruhi peran dan praktik akuntansi dalam organisasi.
Tugas!
1. Masalah
2. Metode yang digunakan
3. Objek
4. Bagaimana analisisnya
Jawaban:
1. Tujuan penelitian ini, digunakan definisi operasional akuntansi yang diusulkan oleh Laughlin
(1984). Menurut Laughlin, akuntansi organisasi
- Bagaimana dana di unit-unit gereja yang diteliti dikelola?
- Bagaimana sistem kepercayaan dan konstitusi gereja membentuk administrasi keuangan dana
gereja?
- Bagaimana dinamika akuntabilitas keuangan gereja mempengaruhi peran dan praktik
akuntansi di unit-unit gereja yang diteliti?
2. Metode etnografi
3. Organisasi yang dipilih untuk menjadi subjek penelitian ini adalah Gereja Pantekosta Indonesia,
yang selanjutnya disebut PCI. Sedangkan Pengamatan dilakukan di tiga lokasi organisasi
gereja: Gereja Lokal Bahu, kantor Dewan Pimpinan Wilayah Sulawesi Utara, dan kantor pusat
dari Dewan Pimpinan Pusat PCI.
4. Untuk mendukung proses analisis, data dikumpulkan selama periode penelitian lapangan.
Dalam melakukan hal tersebut dilakukan observasi, wawancara, pengumpulan dokumen resmi,
dan lain-lain merupakan cara yang digunakan untuk mengumpulkan data tersebut.

Anda mungkin juga menyukai