Anda di halaman 1dari 11

 Home

 Profile
o Visi dan Misi
 Gallery
 Bulletin
o AKPRO Center
o [Pesan Cinta]
 Contact
Konsep Tuhan Dalam Islam
By ReNyul!!

On October 19, 2013

In Uncategorized

Oleh : Muhammad Adiguna Bimasakti

Islam merupakan satu-satunya agama yang mengajarkan sebuah konsep Ketuhanan berupa
pengesaan Tuhan, dalam rangka memurnikan keagungan-Nya selaku Pencipta tunggal,
Pembina tunggal (dari alam semesta), serta Illah (sesembahan) tunggal.  Dalam penjabaran
Al-Quran, dapat terlihat sebuah penekanan bahwa Allah adalah Dzat Yang Tunggal :

“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-
Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada sesuatupun
yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas (112) : 1-4).

Allah itu Esa, bukan 1 dari 3, atau 3 yang 1. Allah tidak punya anak, Allah itu tunggal.
Perbedaan mendasar inilah yang membedakan konsep tauhid Islam dengan konsep ketuhanan
yang lain. Seperti misalnya Trinitas Kristiani. Menurut iman kristiani, tuhan sebagai
oknum/pribadi memiliki dalam diri-Nya 3 (tiga) kodrat kuasa-Nya atau kodrat Ketuhanan-
Nya, yaitu:

1. Mencipta: Kuasa Mencipta ini dalam Perjanjian baru disebut dengan predikat BAPA


(Father) (Matius 11:25, lukas 10:21)
2. Berfirman: Kuasa berfirman (dan bertindak) ini dalam Perjanjian
baru disebut dengan predikat ANAK  (Son) (Yohanes 1:14, Yohanes 1:18, Matius
16:16)
3. Roh Allah: Roh Allah yang berkuasa memelihara, mengayomi, membimbing dan
menolong ini dalam Perjanjian baru disebut dengan Roh Kudus (Holy Ghost/Spirit)
(Yohanes 14:16-17, Yohanes 14:26, 15:26)

Dalam ajaran Islam, satu-satunya yang berhak menginterpretasikan (menta’wil) pemaknaan


diri Tuhan, adalah diriNya sendiri, karena logika dan rasio manusia sangatlah terbatas. Hal ini
dijelaskan secara langsung oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 7 :

”Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat (ayat-ayat hukum yang gamblang maknanya), itulah pokok-pokok isi
Al-Quran, dan (sedangkan) yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat (Samar-samar maknanya).
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya (penjelasannya), padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran (3) : 7)

Yang dimaksud ayat-ayat mutasyabihaat dalam ayat tersebut menurut sepakat ahli tafsir
adalah ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib, misalnya ayat-ayat yang mengenai sifat-sifat Allah.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Dzat Tuhan hanya Dia sendiri yang mengetahui
(hakikatnya), sedangkan makhlukNya hanya (cukup) tahu sedikit saja (karena logika dan
rasio manusia terbatas).

       I.            Lalu Tuhan (Allah) itu Dekat, atau nun-jauh disana?

Pertanyaan inilah yang menjadi focus utama dari orang-orang yang mencoba mengingkari
eksistensi Tuhan, dan berpegang pada anggapan bahwa: “Ide tentang tuhan hanyalah ilusi,
namun begitu, (tuhan) mulai dibutuhkan manusia seperti seorang anak yang membutuhkan
seorang bapak yang melindunginya… Selayaknya manusia modern saat ini mencari apa yang
terdapat dalam dirinya (eksistensi diri sebagai sebuah hal yang mutlak, bukannya tuhan),
bukan malah mencari apa yang berada jauh diluar sana (maksudnya adalah tuhan).” (kutipan
dari tulisan seorang psiko-analitis ateis bernama Sigmund Freud). Bahkan, mereka (yang
merasa dijauhi Tuhan), malah cenderung mengarahkan pemikirannya kepada ateisme.
Diantaranya seperti, Rene Descartes yang terkenal dengan “Cogito Ergo Sum” – nya “Aku
berfikir, maka aku ada” – hal ini berarti bahwa eksistensi manusia adalah kehendaknya
sendiri dan bukan kehendak tuhan sama sekali. Yang ada manusia adalah tuhan bagi dirinya
sendiri (walaupun kebanyakan orang beranggapan bahwa pendapatnya didasari iman katholik
dan sains, namun justru terlihat bahwa pendapatnya lebih mengacu kepada ateisme). Ludwig
Feuerbach yang beranggapan : “Tuhan (dalam agama) hanya
sebagai proyeksi dari kehendak manusia saja” – bisa juga berarti tuhan adalah karangan nabi
dan orang-orang zaman dahulu. Karl Marx yang beranggapan bahwa “agama
adalah candu masyarakat, karena agama (yang dimaksud adalah Kristen), masyarakat
menjadi tidak maju dan tidak bisa bersikap rasional.” Sangat wajar apabila mereka
mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang mentah tentang hakikat tuhan, karena
sesungguhnya dasar dari pemikiran mereka adalah sebuah skeptisme dan The Methode of
Doubt (seperti yang digunakan oleh Descartes dalam mencari eksistensi tuhan). Jadi seolah-
olah tuhan itu berada dalam sebuah sisi keraguan (abu-abu) dan manusia dapat secara bebas
menginterpretasikannya. Hal inilah yang sudah diperingatkan Allah SWT secara langsung
seperti yang sudah dijabarkan diatas (QS. Ali Imraan (3) : 7).

Lalu dengan demikian, apakah Tuhan itu dekat dengan makhlukNya, atau malah jauh dari
makhlukNya?? Mari simak Firman Allah SWT berikut ini :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaf (50) : 16).

Maksud dari ayat ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan
oleh manusia tidak akan terlepas dari pengawasanNya. Namun demikian, kata-kata yang
ditegaskan dalam ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Tuhan sebenarnya
merupakan Dzat yang menjadikan eksistensi makhlukNya sebagai tanda-tanda dari eksistensi
diriNya sendiri (tetapi bukan berarti Dzat Allah menyatu dengan Dzat MakhlukNya). Al-
Quran memberikan citra monis (Tauhid/ke-Esa-an) Tuhan dengan menjelaskan realitas-Nya
sebagai medan semua yang ada, dengan Tuhan menjadi sebuah konsep tunggal yang akan
menjelaskan asal-muasal semua hal yang ada:

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Akhir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Al-Hadid (57):3)

    II.            Dia Dekat, tetapi Tidak Terlihat. Lalu, Bagaimana Dapat Mengenali-Nya?

Sesungguhnya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan, selayaknya berkacalah pada proses alam
(Cara ini juga sangat dianjurkan oleh Al-Quran. Namun cara ini juga yang dilakukan oleh
para ateis.  Bedanya, para ateis berkesimpulan bahwa tuhan itu palsu/tidak ada, karena
mereka terlalu mentah dalam berkesimpulan). Logika sederhananya adalah : misalnya
setumpuk besi tidak akan bisa merakit dirinya sendiri menjadi sebuah pesawat terbang, maka
begitu pula dengan alam semesta. Sedangkan metode yang dilakukan oleh para ateis adalah
sistem penalaran logika terbalik. Misalnya : Bumi berputar karena adanya efek gravitasi dari
Matahari dan perputarannya mengelilingi matahari, maka begitu pula keseluruhan alam
semesta (semua ini ada karena adanya kesetimbangan yang ada dengan sendirinya, tanpa
campur tangan siapapun. Alam punya sistem sendiri, termasuk sistem restorasi, oleh
karenanya alam semesta tidak akan hancur – hukum kausalitas alam-). Penalaran logika
semacam ini sesungguhnya merupakan sebuah penyimpangan dari sifat logika itu sendiri
yang sesungguhnya merupakan media yang akan membawa kepada suatu kesimpulan yang
tunggal. Kalaulah mereka beranggapan bahwa alam memiliki sistem kausalitas sendiri,
selayaknya mereka berfikir juga tentang diri mereka, bagaimana mereka dapat bergerak tanpa
adanya sistem syaraf selaku sistem koordinasi dalam tubuh? Maka seharusnya kesimpulan
yang dapat diambil adalah sistem kausalitas tersebut merupakan bagian dari sebuah sistem
koordinasi diluar kuasa alam semesta itu sendiri.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda(kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal.” (Ali Imran (3) :
190)

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala


wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?” (Fushilat (41) : 53)

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi (baca :
alam semesta) itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan
antara keduanya (*teori big bang : dahulu, kurang lebih 15 milyar tahun lalu, semua materi
alam semesta adalah suatu gumpalan dengan volume hampir nol. Lalu gumpalan itu meledak
dengan ledakan yang dahsyat membentuk struktur alam semesta seperti sekarang, melalui
proses yang sangat panjang). Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (Fakta
biologis : 70% materi makhluk hidup adalah air). Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (Al-Anbiya (21) : 30)

Tanda-tanda tersebut adalah untuk mengenalNya sebagai :

1. Sebagai Rabb (Pembimbing dan Pengatur) dari alam semesta : Al-Fatihah (1) : 2
2. Sebagai Malik (Raja) dari alam semesta : Al-A’raf (7) : 54
3. Sebagai Illah (Sesembahan yang patut disembah) satu-satunya di alam semesta : An-
Naas (114) : 3

1. III.            Masih tidak cukup? Atau masih ragu?

Memang Allah tidak memaksa manusia menyembahnya, tapi harus diingat, bahwa segala
keputusan ada konsekuensinya. Misal : ketika seseorang merasa lapar, pilihannya adalah
makan atau tidak makan. Ketika ia memilih makan, maka kebutuhannya akan tuntas dan rasa
lapar akan hilang. Namun ketika ia memilih tidak akan makan, niscaya ia akan kelaparan
bahkan (dalam jangka waktu beberapa hari) dapat menyebabkan kematian.

“Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (semua yang disembah
selain Allah, termasuk logika dan eksistensi diri) dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada utas tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Al-Baqarah (2) : 256
“Hai manusia ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, adakah sesuatu pencipta selain
Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan
selain Dia, maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)??” Faathir (35) : 3

“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu- raguan terhadap Al
Quran, hingga datang kepada mereka saat (kematian) nya dengan tiba-tiba atau datang
kepada mereka azab hari kiamat.” Al-Hajj (22) : 55

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Ar-Rahman (55) : 13

Referensi

Qaradhawy, Yusuf. Hakikat Tuhid dan Fenomena Kemusyrikan, Robbani Press.

Collins, Francis, The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief, Free Press
2006

Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007

Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius,


1977

Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield
Publisher, Inc, 2008

________.The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982

Skirry, Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008

K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer – Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001

Previous

Teras Gazetti 3

Next

FHUI Muslimah Fest 2013

4 Comments
Add Comment →
1.

Leo

Siapa “Kami” yg tertulis dlm kutipan ayat2 yg anda cantumkan (ex “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami…”Fushilat (41) : 53)

April 15, 2014

Reply

Bima

“Kami” dalam bhs arab itu nahnu. merupakan bentuk jamak. nah pengertian
jamak, terdapat dua hal: 1. jamak= banyak,; 2. jamak= penghormatan. nah
disini arti kata “kami” yang berupa penghormatan, misal: “kami, presiden
Republik Indonesia selaku mandataris MPR…” nah loh? kok Kami presiden
Indonesia?? kan presiden cuma satu?? nah itu yang namanya jamak berupa
penghormatan.. sama seperti “kalian” (bhs arabnya antum). antum a’lamu wa
nahnu laa ta’lamuun (terjemah harafiahnya “kalian mengetahui dan kamu
tidak mengetahui”), tapi kalau terjemah yang kontekstual jadi: “kamu (kalian
– antum) mengetahui, sedangkan aku (nahnu – kami) tidak mengetahui).
begitu saudara leo

May 2, 2014

Reply
2.

Bima

“Kami” dalam bhs arab itu nahnu. merupakan bentuk jamak. nah pengertian jamak,
terdapat dua hal: 1. jamak= banyak,; 2. jamak= penghormatan. nah disini arti kata
“kami” yang berupa penghormatan, misal: “kami, presiden Republik Indonesia selaku
mandataris MPR…” nah loh? kok Kami presiden Indonesia?? kan presiden cuma
satu?? nah itu yang namanya jamak berupa penghormatan.. sama seperti “kalian” (bhs
arabnya antum). nahnu na’lamu wa antum laa ta’lamuun (terjemah harafiahnya
“kalian mengetahui dan kamu tidak mengetahui”), tapi kalau terjemah yang
kontekstual jadi: “kamu (kalian – antum) mengetahui, sedangkan aku (nahnu – kami)
tidak mengetahui). begitu saudara leo

May 2, 2014

Reply

3.

Bima

“Kami” dalam bhs arab itu nahnu. merupakan bentuk jamak. nah pengertian jamak,
terdapat dua hal: 1. jamak= banyak,; 2. jamak= penghormatan. nah disini arti kata
“kami” yang berupa penghormatan, misal: “kami, presiden Republik Indonesia selaku
mandataris MPR…” nah loh? kok Kami presiden Indonesia?? kan presiden cuma
satu?? nah itu yang namanya jamak berupa penghormatan.. sama seperti “kalian” (bhs
arabnya antum). nahnu na’lamu wa antum laa ta’lamuun.” terjemah harafiahnya
“kami mengetahui dan kalian tidak mengetahui”, tapi kalau terjemah yang kontekstual
jadi: “kami (nahnu) mengetahui, sedangkan kamu (kalian – antum) tidak mengetahui.
Begitu saudara leo

May 2, 2014
Reply

Leave a Reply

Name*

Email*

Website

Comment*

Recent Posts

[Pesan Cinta]

June 29, 2016


LENSA

June 3, 2016

Muslimah Corner

June 3, 2016

AKPRO Center

February 29, 2016


[Pesan Cinta]

September 11, 2015

Categories

 AKPRO Centre (1)


 Artikel (1)
 LENSA (1)
 MuslimahCorner (1)
 PesanCinta (2)
 Slide Index (2)
 Uncategorized (8)

Archives

 June 2016 (3)
 February 2016 (1)
 September 2015 (2)
 April 2015 (4)
 October 2013 (2)
 July 2013 (1)
 March 2013 (1)
 February 2013 (2)

Powered by WordPress & Theme by Anders Norén

Anda mungkin juga menyukai