Anda di halaman 1dari 58

FAKULTAS KEDOKTERAN Makassar, 04 November 2020

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK TROPIS

LAPORAN TUTORIAL MODUL DEMAM


BLOK TROPIS
“SKENARIO 3”

TUTOR: dr. Zulfitriani Murfat

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 11 PBL
MIFTAHUL JANNAH (11020160032)
AMAR MA’RUF (11020180033)
SITI ZULFA ANGRAINI (11020180034)

NURUL AZIZAH SUWARSA (11020180066)


MUHAMMAD ARDIANSYAH P (11020180067)
AGUNG MUHAJIR (11020180068)
MEDHY UGI PRATIWI (11020180099)
A.RIDHAH NURMY ATTAHMID (11020180100)

A.KARINA ISNAINY N. (11020180101)


NOER FITRI ZHACRANI (11020180114)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020

Skenario 3 :
Seorang anak perempuan berumur 15 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan
demam sejak 4 hari yang lalu, tidak terus menerus disertai nyeri menelan,dan batuk. Pasien
juga merasa agak sesak, lemas dan lesu. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan
darah : 110/80 mm Hg, nadi : 100x/menit, reguler, frekuensi nafas : 28x/menit, suhu :
37,60 C (axilla). Pada pemeriksaan fisik didapatkan selaput putih di tonsil yang mudah
berdarah dan pembesaran kelenjar di leher kanan.

KATA/ PROBLEM KUNCI


1. Perempuan usia 15 tahun
2. Demam sejak 4 hari tidak terus menerus disertai nyeri menelan dan batuk
3. Pasien merasa agak sesak,lemah dan lesuh
4. Ttv: 110/80 mmhg , nadi 100x/mnt reguler, pernapasan 28x/menit, suhu axilla
37,60 C
5. Pemfis didapatkan selaput putih pd tonsil sudah berdarah dan pembesaran leher
kanan.

PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING
1. Jelaskan Etiologi dan klasifikasi demam
2. Patomekanisme gejala pada skenario (demam, nyeri menelan,batuk,lemah,lesu)?
3. Jelaskan langkah-langkah diagnosis!
4. Bagaimana penatalaksanaan awal terkait skenario?
5. Penyakit Apa saja terkait pada skenario?
6. Bagaimana pencegahan terkait skenario?
7. Apa perspektif islam terkait skenario?
JAWABAN:

1. Jelaskan etiologi dan klasifikasi demam!

DEFINISI
International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal
Physiology mendefinisikan demam/ febris sebagai suatu keadaan peningkatan
suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan bagian dari respons
pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau
benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-
kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara
patofisiologis demam adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat
hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis
demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata
suhu normal di tempat pencatatan.  Sebagai respons terhadap perubahan set
pointini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai
secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi panas.
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal).
Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 – 06.00 dan tertinggi pada awal
malam hari pukul 16.00 – 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola
diurnal ini.1,2 Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan,
meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena
itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran
suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).
Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda

Tempat Rentang; rerata  Demam


Jenis termometer
pengukuran suhu normal (oC) (oC)
Aksila Air raksa, elektronik 34,7 – 37,3; 36,4 37,4
Sublingual Air raksa, elektronik 35,5 – 37,5; 36,6 37,6
Rektal Air raksa, elektronik 36,6 – 37,9; 37 38
Telinga Emisi infra merah 35,7 – 37,5; 36,6 37,6

Suhu rektal normal 0,27o – 0,38oC (0,5o – 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral.
Suhu aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral. Untuk
kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai
38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai
37,6oC. Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu
tubuh melampaui 41,1oC (106oF).

ETIOLOGI

1. Virus
1. Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam
genus flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4 x 106. Dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam. Limfadenopati, trombositopenia dan diathesis
hemoragik. Pada DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit) atau penumpukan cairan dirongga
tubuh.

2. Yellow Fever
suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus yellow fever yang
pennyebarannya melalui nyamuk Aedes aegypti. Termasuk penyakit bifasik, ada
tiga stadium, yaitu
1. Infeksi : setelah masa inkubasi selama 3-6 hari
 Timbul demam mendadak disertai menggigil
 Sakit kepala, punggung hingga myalgia
 Nausea
 Muntah
 Kadang ditemukan muka dan konjungtifa merah, tanda faget dan
bradikardi relative
2. Remisi, kemudian 3-4 hari gejala dan demam menghilang selama beberapa
jam sampai satu atau 2 hari dan hanya timbul kembali jika pasien yang
berkembang menjadi intoksikasi fulminant
3. Intoksikasi
 Badan menjadi kuning
 Disfungsi renal
 Perdarahan hingga menyebabkan hipotensi (mukosa, perifer,
gastrointestinal)
 Kerusakan hati hingga dapat menjadi sindrom hepatorenal
 Oliguria
 Azotemia
3. Influenza
Suatu penyakit infeksi saluran nafas tersering pada manusia, gejalanya
ditandai dengan demam, sakit kepala, batuk, hidung tersumbat dan nyeri
tenggorok. Morbiditas dan Mortalitas penyakit ini pada anak masih cukup tinggi
dengan manifestasi klinis yang sangat luas. Infeksi ini disebabkan oleh virus
family Orthomyxoviridae, virus ini dapat mengembangkan variasi komposisi
antigenic permukaan dan memnuculkan strain atau subtype baru sehingga
keberadaan virus ini sulit dimusnahkan.

4. Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan
mamalia yang berakibat fatal. Penyakit in ditandai dengan disfungsi hebat
susunan saraf dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Penyakit rabies
disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus , famili
Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada
gigitan binatang.
5. Demam Chikungunya
Suatu penyakit infeksi virus akut yang ditandai dengan sekumpulan gejala
yang mirip dengan gejala infeksi virus dengue, yaitu : demam mendadak,
artralgia, ruam maculopapular dan leukopeni. Istilah lain untuk demam ini adalah
Knokket, koorts, dan demam tiga hari.Penyakit ini disebabkan oleh virus
chikungunya ( CHIKV ), suatu arthropoda borne virus dari genus alphaviruses
family Togaviridae, yang ada pada umumnya disebarluaskan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus.

2. Parasit
1. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit yang ditandai oleh dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam
darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan
splenomegali. Dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung
tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria
berat.
Parasit malaria yang terdapat di Indonesia
Plasmodium yang sering dijumpai ialah;
- Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana (Benign Malaria)
- Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika (Malignan
Malaria)
- Plasmodium malariae pernah juga dijumpai pada kasus kami tetapi sangat
jarang.
- Plasmodium ovale pernah dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor,
Pulau Owi (Utara Irian Jaya)

3. Bakteri
1. Difteri
Suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada mukosa atau kulit, yang
disebabkan oleh basil Gram positif Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacterium
ulcerans yang ditandai oleh terbentuknya eksudat berbentuk membrane pada tempat
infeksi dan diikuti gejala umum yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh basil
ini.
2. Demam Tifoid
Suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpa
keterlibatan struktur endotel atau endocardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa,kelenjar limfe usus. Penyebab demam
tifoid adalah Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri gram-negatif, tidak berkapsul,
mempunyai flagella, dan tidak membentuk spora. Bakteri ini akan mati pada pemanasan
57° selama beberapa menit.
3. Leptospirosis
Penyakit demam akut dengan gambaran klinis yang luas disebabkan oleh
leptospira, suatu jenis bakteri golongan Spirochaeta. Bentuk dan beratnya dikenal sebagai
weil’s disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever,
swamp fever, autumnal fever dan lain-lain.
Referensi :
1. Soedarmo, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S., & Satari, H. I. (2008). Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: CV. Sagung Seto.

2. Sudoyo Aru. W. dkk, 2014. Buku Ajar – Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi


VI . Jakarta: Interna Publishing
POLADEMAM
sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat yang
berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis
untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna
(Tabel 2.).Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah
mendapat antipiretik

Tabel 2. Pola demam  yang ditemukan pada penyakit pediatrik


Pola demam Penyakit
Kontinyu Demam tifoid, malaria falciparum malignan
Remitten Sebagian besar penyakit virus dan bakteri
Intermiten Malaria, limfoma, endokarditis
Hektik atau septik Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik
Quotidian Malaria karena P.vivax
Double quotidian Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid
arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)
Relapsing atau periodik Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis
Demam rekuren Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat
suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons
terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:

Demam Kontinyu
Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan
suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4 oC selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.
Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi
relatif)

Demam Remiten
Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai
normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang
paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu
(Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh
proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

Demam Intermiten
Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi
hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam
terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.
Gambar 3. Demam intermiten

Demam Septik/ Hektik


Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar. 
Demam Quotidian
Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam
yang terjadi setiap hari.

Demam Quotidian Ganda 
Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam).
Gambar 4. Demam quotidian
Undulant Fever 
Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap
tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.
Prolonged Fever
Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama
demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya lebih dari 10 hari untuk
infeksi saluran nafas atas.
Demam Rekuren
Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular
pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau
sistem organ multipel.
Demam Bifasik 
Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang
berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan
contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis,
demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum
minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa).

Relapsing Fever dan Demam Periodik


 Demam Periodik
Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular
atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau
beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana
digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-
4) (Gambar 5.)dan  brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria

 Relapsing Fever
Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam  rekuren yang
disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu (louse-
borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba
berlangsung selama 3 – 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang
hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6 oC pada tick-borne fever dan 39,5oC
pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan
perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer
reaction (JHR) selama beberapa jam (6 – 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan
antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan
oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi
ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis.

Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown.
Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan
Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu sebelum awitan gejala
merupakan petunjuk diagnosis. Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel
dan Ebstein pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH).
Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada,
sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 – 10
hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini
mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia
hemolitik. 

Gambar 7.  Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

KLASIFIKASI DEMAM
Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis
masalah. Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau
kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs. Tabel 3.  dan Tabel 4. memperlihatkan
tiga kelompok utama demam   yang ditemukan di praktek pediatrik beserta definisi istilah
yang digunakan.

Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik
Lama demam
Klasifikasi Penyebab tersering
pada umumnya
Demam dengan localizing
Infeksi saluran nafas atas <1 minggu
signs
Demam tanpa localizing Infeksi virus, infeksi saluran
<1minggu
signs kemih
Infeksi, juvenile idiopathic
Fever of unknown origin >1 minggu
arthritis

Tabel 4. Definisi istilah yang digunakan


Istilah Definisi
Demam Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang dapat
dengan localization didiagnosis setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik
Demam tanpa localization Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang jelas
setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik
Letargi Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi
dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik dengan
sekitarnya
Toxic appearance Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi
buruk, cyanosis, hipo atau hiperventilasi
Infeksi bakteri serius Menandakan penyakit yang serius, yang dapat
mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis, sepsis,
infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi saluran kemih,
pneumonia
Bakteremia dan septikemia Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam darah,
dibuktikan dengan biakan darah yang positif, septikemia
menunjukkan adanya invasi bakteri ke jaringan,
menyebabkan hipoperfusi jaringan dan disfungsi organ

Demam dengan Localizing Signs


Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada
pada kategori ini (Tabel 5.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda
secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis
dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan
pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada.
Tabel 5. Penyebab utama demam karena penyakit localized signs
Kelompok Penyakit
Infeksi saluran nafas ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis
atas herpetika
Pulmonal Bronkiolitis, pneumonia
Gastrointestinal Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis
Sistem saraf pusat Meningitis, encephalitis
Eksantem Campak, cacar air
Kolagen Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki
Neoplasma Leukemia, lymphoma
Tropis Kala azar, cickle cell anemia

Demam Tanpa Localizing Signs


Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak
ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi virus,
terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini harus
dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia. Tabel
6.menunjukan penyebab paling sering kelompok ini. Demam tanpa localizing
signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1 minggu, dan merupakan
sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam merawat anak
berusia kurang dari 36 bulan.

Tabel 6. Penyebab umum demam tanpa localizing signs


Penyebab Contoh Petunjuk diagnosis
Infeksi Bakteremia/sepsis Tampak sakit, CRP tinggi, leukositosis

Sebagian besar virus Tampak baik, CRP normal, leukosit


(HH-6) normal

Infeksi saluran kemih Dipstik urine

Malaria Di daerah malaria


PUO (persistent Juvenile idiopathic Pre-articular, ruam,
pyrexia of arthritis splenomegali, antinuclear factor tinggi,
unknown origin) CRP tinggi
atau FUO
Pasca vaksinasi Vaksinasi triple, campak Waktu demam terjadi berhubungan
dengan waktu vaksinasi
Drug fever Sebagian besar obat Riwayat minum obat, diagnosis
eksklusi

Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)


Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama
1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal
mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal
sebagai fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam yang
berlangsung selama minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian diagnosis setelah
investigasi 1 minggu di rumah sakit.

REFERENSI:
1. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam:  El-Radhi SA, Carroll J,
Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-
Verlag; 2009.h.1-24.
2. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG,
penyunting. Moffet’s Pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach. Edisi
ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005.h.318-73.
3. El-Radhi AS, Barry W. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child
2006;91:351-6.
4. Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13.
5. Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting.
Clinical methods: The history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3.
:Butterworths;1990.h.990-3.
6. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2007.h.
7. Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am
1996;10:33-44
8. Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA,
penyunting. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott-Raven;1997.h.215-3
9. Soedarmo, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S., & Satari, H. I. (2008). Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: CV. Sagung Seto
10. Sudoyo Aru. W. dkk, 2014. Buku Ajar – Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi
VI . Jakarta: Interna Publishing

2. Patomekanisme gejala pada skenario (demam, nyeri


menelan,batuk,lemah,lesu)?

 Patomekanisme demam
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh.
Zat pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan
endogen. Pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh
seperti mikroorganisme dan toksin. Sedangkan pirogen endogen
merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh meliputi interleukin-1
(IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing factor-alfa (TNF-A).
Sumber utama dari zat pirogen endogen adalah monosit, limfosit dan
neutrophil.Seluruh substansi di atas menyebabkan selsel fagosit
mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer) membuat 10
sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang
mirip interleukin, yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel
yang penting. Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun
local dan berhasil memasuki sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6, tumor
nekrosis factor α dan interferon α, interferon β serta interferon γ
merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya demam.
Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf
Pusat (SSP) dan kemudian bekerja pada daerah preoptik hipotalamus
anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam arakidonat dari membrane
fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat
selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim
siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan menyebabkan
demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus . Enzim
sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu
siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2).

Kedua isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki


fungsi regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang
mengkatalis pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan,
terutama pada selaput lender traktus gastrointestinal, ginjal, platelet dan
epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-2 tidak konstitutif tetapi
dapat diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang, mitogenesis atau
onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid yang
merupakan mediator nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah kepada,
11  bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang
bertanggung  jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis,
sedangkan COX-2 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang
menyebabkan.
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang
menyebabkan demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron
termosensitif. Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang
berperan sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen
meningkatkan konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua
monoamina ini akan meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP)
dan prostaglandin di susunan saraf pusat sehingga suhu thermostat
meningkat dan tubuh menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu
thermostat.
Referensi:
- Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher
RG, Boyce TG,  penyunting. Moffet’s Pediatric infectious diseases:
A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott
William & Wilkins; 2005.h.318-73.

 Patomekanisme Nyeri menelan


Corynebacterium difteri , terutama bila terdapat koinfeksi dengan bakteri
pembentuk membran semu lainnya seperti spesies Staphylococcus dan spesies
Streptococcus . Tahap awal, ditandai dengan edema dan hiperemia pada
permukaan epitel yang terkena, yang diikuti oleh nekrosis dan pembentukan
eksudat supuratif fibrinous. Eksudat ini kemudian menggumpal, menciptakan
penampilan membran semu berwarna abu-abu keabu-abuan yang khas di atas area
yang terkena.
Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler .
Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor,
sedangkan protein pada beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme
sehingga menyebabkan peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri
dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan
merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat
menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga
mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan
terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka
akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler dan H
+ yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor.
Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal,
tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila
nosiseptor terangsang maka mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan
kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi
dan juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga
bertanggung jawab untuk serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah yang
menyebabkan nyeri.
Referensi :
- Zasada AA. Corynebacterium diphtheriae infections currently and in the past.
Przegl Epidemiol. 2015;69(3):439-44, 569-74.
- Mochammad bahrudin, 2017. Patofisiologi nyeri (pain). Malang. FKUM
 Patomekanisme pembesaran kelenjar di leher
Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram
positif fakultatif anaerob. Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran
tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan
karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat
menyebabkan bull neck. sakit tenggorokan dan limfadenopati serviks terjadi
karena pembesaran kelenjar getah bening yang mengering sehingga tampak
seperti leher banteng. terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila
limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas
timbul bullneck.

referensi
 Zasada AA. Corynebacterium diphtheriae infections currently and in the
past. Przegl Epidemiol. 2015;69(3):439-44, 569-74.
 HARTOYO, Edi. Difteri pada anak. Sari Pediatri, 2018, 19.5: 301-306.
 Mochammad bahrudin, 2017. Patofisiologi nyeri (pain). Malang. FKUM
 MEKANISME BATUK

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase
kompresi dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis
akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan
glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat
ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya,
berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan
jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada
dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan
memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih
kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga
pengeluaran sekret akan lebih mudah.
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama
0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50 – 100 mmHg.
Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa
lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup
adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga
dapat terjadi tanpa penutupan glotis.
Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan
keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara
batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 30–50 detik
setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap' Kecepatan udara yang
dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai
pengurangan diameter trakea sampai 80%.
Referensi:

1. Farsan S.A concise handbook of respiratory disease.Virginia Reston Publ Co 1978:45.


2. Crofton J, Douglas A. Respiratory disease. Oxford: Blackwell Scient Publ 1989: 101 – 2.
3. Hadiarto Mangunnegoro, Tjandra Yoga Aditama. Patofisiologi batuk. Dalam Batuk kronik.
Jakarta, FKUI 1985: 1 – 6.
4. McCool FD, Leith DE. Padaophysiology of cough. Clinical Chest Medicine 1987; 8: 189 –
96.
 PATOMEKANISME LEMAH, LESUH

Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih
rendah daripada nilai normal untuk kelompok yang menurut umur dan jenis kelamin. Anemia
terjadi ketika jumlah sel darah merah atau hemoglobin dalam tubuh tidak adekuat sehingga
tidak dapat berfungsi dengan baik di dalam tubuh.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya anemia pada usia remaja adalah adanya
penyakit infeksi yang kronis, menstruasi yang berlebihan pada remaja putri, perdarahan
mendadak seperti kecelakaan, dan jumlah makanan atau penyerapan diet yang buruk dari zat
besi, vitamin B12, vitamin B6, vitamin C, serta tembaga.
Awalnya penderita anemia karena defisiensi zat besi akan mengeluhkan rasa mudah
lelah dan mengantuk. Kadang kala antara kadar hemoglobin dan gejala anemia terdapat
korelasi buruk. Semakin meningkatnya intensitas defisiensi zat besi, penderita anemia
defisiensi zat besi akan memperlihatkan gejala pucat pada konjungtiva, lidah, dasar kuku, dan
palatum molle.
Gejala anemia secara umum adalah cepat lelah, pucat (kuku, bibir, gusi, mata, kulit
kuku, dan telapak tangan), jantung berdenyut kencang saat melakukan aktivitas ringan,
nyeridada, pusing, mata berkunang, cepat marah (mudah rewel pada anak), dan tangan serta
kaki dingin atau mati rasa.
Remaja putri lebih mudah mengalami anemia disebabkan pertama, umumnya lebih
banyak mengonsumsi makanan nabati yang kandungan zat besinya sedikit dibandingkan
dengan makanan hewani sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan zat besi dalam tubuh.
Kedua, remaja putri biasanya ingin tampil langsing sehingga membatasi asupan makan.
Ketiga, setiap hari manusia kehilangan zat besi 0,6 mg yang dieksresi, khususnya melalui
feces. Keempat, setiap bulan remaja putri mengalamai haid, dimana kehilangan zat besi ± 1,3
mg perhari sehingga zat besi lebih banyak daripada laki-laki

Ref: Siahaan, YS. 2018. Pengaruh Penggunaan Media Video dalam Penyuluhan tentang
Anemia pada Remaja Putri Usia 15-18 Tahun. Poltekkes Kemenkes, Yogyakarta
3. Bagaimana langkah-langkah diagnosis pada skenario tersebut ?

A. Anamnesis

NO Kegiatan yang dilakukan


.

Persiapan pasien
1 Persilahkanlah pasien masuk ke dalam ruangan.
2 Sapalah pasien dan keluarganya dengan penuh keakraban.
3 Perkenalkanlah diri sambil menjabat tangan pasien.
4 Persilahkanlah pasien dan keluarganya untuk duduk.
5 Tunjukkanlah sikap empati pada pasien.
6 Berikan informasi umum pada pasien atau keluarganya tentang anamnesis yang akan

anda lakukan, tujuan dan manfaat anamnesis tersebut untuk keadaan pasien.
7 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan semua
informasi yang didapatkan pada anamnesis tersebut.
8 Jelaskan tentang hak-hak pasien pada pasien atau keluarganya, misalnya tentang
hak untuk menolak menjawab pertanyaan yang dianggapnya tidak perlu
dijawabnya.

Anamnesis umum
9 Tanyakanlah data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
10 Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter (keluhan utama).
Untuk heteroanamnesis tanyakan hubungan pasien dengan pengantar.

Anamnesis terpimpin
11 Galilah riwayat penyakit yang diderita sekarang. Tanyakan tentang hal-hal
berikut :
 Onset dan durasi demam : timbul mendadak, kapan dan sudah
berapa lama demam
 Sifat demam : subfebris, tinggi, terus menerus, intermitten, lebih
tinggi pada sore dan malam hari, bersifat serangan dengan interval tertentu.
12 Tanyakanlah tentang gejala lain yang menyertai:
 anoreksia, disfagia, malaise, sakit kepala, artralgia, mialgia, sukar
membuka mulut.
 manifestasi perdarahan: peteki, ekimosis, epistaksis,hematemesis,
melena
 menggigil
 kejang
 gangguan sistem respirasi : batuk, sesak
 gangguan gastrointestinal: mual, muntah, nyari abdomen, diare
dengan/tanpa lendir/darah, konstipasi, gangguan sistem urogenitalia: warna
urin, oliguria, disuria
 ruam kulit: kapan timbulnya, lokasi, penyebaran.
13 Tanyakanlah adanya riwayat peyakit yang sama dalam keluarga atau lingkungan
sekitar tempat tinggal.
14 Tanyakanlah tentang riwayat imunisasi (terutama pasien anak)
15 Tanyakanlah riwayat bepergian atau pernah tinggal di daerah endemik penyakit
tertentu seperti malaria, filaria, dan lain lain.
16 Tanyakanlah jenis pekerjaan pasien yang mungkin mengarah kepada infeksi
tertentu misalnya antrakosis, flu burung.
17 Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan gejala
demam.
18 Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan hewan, terutama golongan avian.
19 Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima.

Mengakhiri anamnesis
20 Jelaskanlah pada pasien bahwa fase ini hanyalah fase awal dari serangkaian
pemeriksaan untuk dapat mengetahui penyakit yang diderita pasien: dan masih
diperlukan pemeriksaan fisis untuk mempertajam diagnosis.

Membuat resume dari hasil anamnesis


21 Kelompokkan semua hasil yang didapatkan dalam suatu tabulasi
22 Membuat satu diagnosis utama dan diagnosis banding dari hasil anamnesis

B. Pemeriksaan Fisik

No Kegiatan yang dilakukan

Persiapan pasien
1 Menjelaskan mengenai pemeriksaan fisis yang akan dilakukan, tujuan dan
manfaatnya (informed consent)
2 Mempersilahkan pasien berbaring dan memastikan pasien mendapat pencahayaan
yang baik selama pemeriksaan fisis
3 Melakukan cuci tangan rutin
4 Berdiri disebelah kanan pasien

Penilaian status pasien secara umum dan tanda vital


5 Tentukan keadaan umum pasien: sakit ringan, sakit sedang atau sakit berat
6 Nilailah kesadaran berdasarkan Glasgow Coma Scale
7 Tentukanlah status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh
8 Ukurlah tanda vital pasien: tekanan darah, denyut nadi dan pernapasan dan suhu
9 Ukurlah suhu tubuh pasien dengan termometer pada fossa aksillaris atau per
rektal bila dicurigai suatu kondisi akut abdomen
10 Perhatikanlah adanya tanda renjatan, tanda dehidrasi.
Pemeriksaan fisis head to toe
11 Perhatikan dan nilailah ada tidaknya rhisus sardonikus sebagai tanda tetanus
12 Periksalah untuk menilai adanya anemia, ikterus, edema
13 Perhatikanlah adanya status tifosa: kesadaran menurun, rambut kering, bibir
kering/terbelah-belah/terkupas, lidah kotor, pucat.
14 Periksalah adanya manifestasi perdarahan spontan (peteki, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis, dan melena).
15 Lakukan uji turniket
16 Perhatikan ada tidaknya effloresensi kulit. Bila ada, nilailah tipe dan lokasi
effloresensi kulit: makula, papula, vesikel, krusta, polimorf.
17 Periksalah mulut dan rongga mulut : perhatikan adanya koplik spot, membrane
putih kelabu pada tonsil, kemerahan pada farings, atau larings, perdarahan gusi,
trismus
18 Lakukanlah pemeriksaan fisik leher : Inspeksi dan palpasi untuk menilai adanya
pembesaran kelenjar, massa tumor, nyeri tekan dan deviasi trakea
18 Lakukanlah pemeriksaan fisiktoraks: inspeksi, palpasi dan auskultasi
19 Lakukanlah pemeriksaan abdomen: nilailah adanya hepatomegali, splenomegali,
asites, hipertoni otot abdomen.
20 Nilailah adanya opistotonus: pasien dalam posisi supine, masukkanlah lengan
anda di bawah punggung pasien, bila lengan dapat masuk, opistotonus (+).
21 Periksalah sistem muskuloskeletal untuk menilai adanya spasme anggota gerak,
hiperrefleksia (lihat skills lab sistem neuropsikiatri) dan nyeri tekan otot.
Menginformasikan hasil yang ditemukan, pemeriksaan penunjang dan
rencana pengobatan
22 Jelaskan pada pasien keluarga pasien tentang hasil pemeriksaan yang ditemukan
danjelaskan bahwa untuk diagnosis pasti diperlukan beberapa pemeriksaan
penunjang.
23 Jelaskan tentang diagnosis penyakitnya, rencana pengobatan dan prognosis.

24 Akhiri pemeriksaan dengan mengucapkan salam dan harapan semoga cepat


sembuh
Membuat resume untuk arsip pasien

25 Tulislah resume secara keseluruhan (hasil anamnesis, hasil pemeriksaan fisis,


pengobatan sementara yang diberikan dan pemeriksaan penunjang yang diminta)
sebagai arsip pasien.

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Spesimen usap tenggorok
• Tujuan: Mendapatkan spesimen usap tenggorok yang memenuhi persyaratan untuk
pemeriksaan bakteri Corynebacterium diphtheriae.
• Prosedur pengambilan:
1) Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas penderita yang akan diambil
spesimen (nama, umur, jenis kelamin, tanggal dan jam pengambilan).
2) Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita.
3) Penderita dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan kepala penderita. -
Jika penderita di tempat tidur maka penderita diminta terlentang - Penderita diminta
membuka mulut dan mengatakan “AAA” - Buka swab dari pembungkusnya, dengan
spatula tekan pangkal lidah, kemudian usapkan swab pada daerah faring dan tonsil kanan
kiri. Apabila terdapat membran putih keabuan usap disekitar daerah tersebut dengan
menekan agak kuat (bisa sampai berdarah).
4) Buka tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus terendam media) tutup
rapat.
5) Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera ke Laboratorium
Pemeriksa disertai form list kasus difteri individu dan Form Laboratorium.
b. Spesimen usap hidung
• Tujuan: Mendapatkan spesimen usap hidung yang memenuhi persyaratan untuk
pemeriksaan bakteri Corynebacterium diphtheriae.
• Prosedur pengambilan:
1) Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas penderita yang akan diambil
spesimen (Nama, Umur, Jenis Kelamin, Tanggal dan Jam Pengambilan).
2) Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita.
3) Penderita dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan kepala penderita. 4)
Jika penderita di tempat tidur maka penderita diminta terlentang.
5) Buka swab dari pembungkusnya, masukkan swab pada lubang hidung sejajar palatum,
biarkan beberapa detik sambil diputar pelan dan ditekan (dilakukan untuk hidung kanan
dan kiri).

6) Buka tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus terendam media) tutup
rapat.
7) Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera ke laboratorim
Laboratorium Pemeriksa disertai Form Laboratorium.

Prinsip Pengumpulan Spesimen.


• Prinsip keberhasilan pemeriksaan bakteriologi sangat ditentukan dari teknik Pengambilan,
penggunaan media transport, penyimpanan dan pengiriman spesimen.
• Idealnya pengambilan spesimen dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
• Jenis sampel spesimen difteri berupa swab tenggorok dan swab hidung dengan metode
pemeriksaan difteri berupa kultur bakteri dan isolasi, uji biokimia, uji toksigenitas dengan
metode PCR atau Elek test.
Referensi :
1. Lestari,Indah,Mangarengi,Yusriani. 2020. Manual Keterampilan Klinik dan
Laboratorium Blok Kedokteran Tropis. Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia. Makassar
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Surveilans dan Karantina
Kesehatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pedoman Pencegahan
dan Pengendalian Difteri. 2017.
4. Penatalaksanaan awal dari kasus pada skenario

Penatalaksanaan awal
Menurut Kania dalam Wardiyah, (2016) penanganan terhadap demam dapat
dilakukan dengan tindakan farmakologis, tindakan non farmakologis maupun
kombinasi keduanya. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani
demam pada anak :
a. Tindakan farmakologis
Tindakan farmakologis yang dapat dilakukan yaitu memberikan antipiretik berupa:
1) Paracetamol
Paracetamol atau acetaminophen merupakan obat pilihan pertama untuk
menurunkan suhu tubuh. Dosis yang diberikan antara 10-15 mg/Kg BB akan
menurunkan demam dalam waktu 30 menit dengan puncak pada 2 jam setelah
pemberian. Demam dapat muncul kembali dalam waktu 3-4 jam.
Paracetamol dapat diberikan kembali dengan jarak 4-6 jam dari dosis
sebelumnya. Penurunan suhu yang diharapkan 1,2 – 1,4 oC, sehingga jelas bahwa
pemberian obat paracetamol bukan untuk menormalkan suhu namun untuk
menurunkan suhu tubuh. Paracetamol tidak dianjurkan diberikan pada bayi < 2 bualn
karena alasan kenyamanan. Bayi baru lahir umumnya belum memiliki fungsi hati
yang sempurna, sementara efek samping paracetamol adalah hepatotoksik atau
gangguan hati. Selain itu, peningkatan suhu pada bayibaru lahir yang bugar (sehat)
tanpa resiko infeksi umumnya diakibatkan oleh factor lingkungan atau kurang cairan.
Efek samping parasetamol antara lain : muntah, nyeri perut, reaksi, alergi
berupa urtikaria (biduran), purpura (bintik kemerahan di kulit karena perdarahan
bawah kulit), bronkospasme (penyempitan saluran napas), hepatotoksik dan dapat
meningkatkan waktu perkembangan virus seperti pada cacar air (memperpanjang
masa sakit).

2) Ibuprofen
Ibuprofen merupakan obat penurun demam yang juga memiliki efek
antiperadangan. Ibuprofen merupakan pilihan kedua pada demam, bila alergi terhadap
parasetamol. Ibuprofen dapat diberikan ulang dengan jarak antara 6-8 jam dari dosis
sebelumnya. Untuk penurun panas dapat dicapai dengan dosis 5mg/Kg BB.
Ibuprofen bekerja maksimal dalam waktu 1jam dan berlangsung 3-4 jam. Efek
penurun demam lebih cepat dari parasetamol. Ibuprofen memiliki efek samping yaitu
mual, muntah, nyeri perut, diare, perdarahan saluran cerna, rewel, sakit kepala, gaduh,
dan gelisah. Pada dosis berlebih dapat menyebabkan kejang bahkan koma serta gagal
ginjal.

b. Tindakan non farmakologis


Tindakan non farmakologis terhadap penurunan panas yang dapat dilakukan seperti
(Nurarif, 2015):
1) Memberikan minuman yang banyak
2) Tempatkan dalam ruangan bersuhu normal
3) Menggunakan pakaian yang tidak tebal
4) Memberikan kompres.
Kompres adalah metode pemeliharaan suhu tubuh dengan menggunakan
cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat atau dingin pada bagian tubuh yang
memerlukan. Kompres meupakan metode untuk menurunkan suhu tubuh (Ayu, 2015).
Ada 2 jenis kompres yaitu kompres hangat dan kompres dingin. Pada penelitian ini
Peneliti menerapkan penggunaan kompres hangat.
Kompres hangat adalah tindakan dengan menggunakan kain atau handuk yang
telah dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada bagian tubuh tertentu
sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan menurunkan suhu tubuh (Maharani
dalam Wardiyah 2016).

Kompres hangat yang diletakkan pada lipatan tubuh dapat membantu proses
evaporasi atau penguapan panas tubuh (Dewi, 2016). Penggunaan Kompres hangat di
lipatan ketiak dan lipatan selangkangan selama 10 – 15 menit dengan temperature air
30-32oC, akan membantu menurunkan panas dengan cara panas keluar lewat pori-
pori kulit melalui proses penguapan.

Pemberian kompres hangat pada daerah aksila lebih efektif karena pada daerah
tersebut lebih banyak terdapat pembuluh darah yang besar dan banyak terdapat
kelenjar keringat apokrin yang mempunyai banyak vaskuler sehingga akan
memperluas daerah yang mengalami vasodilatasi yang akan memungkinkan
percepatan perpindahan panas dari tubuh ke kulit hingga delapan kali lipat lebih
banyak.
Referensi:
Poltekes Jogja. Penatalaksanaan Awal Demam.
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1413/4/4.%20BAB%202.pdf. Available: [2 November
2020]
6. Penyakit Apa saja terkait pada skenario?

A. DIFTERI

Gambar : Difteri

Definisi
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, suatu
bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Strain nontoksigenik juga dapat menyebabkan
penyakit,tetapi tidak seberat akibat strain toksigenik. Difteri menjadi salah satu penyakit
infeksi yang paling ditakuti karena dapat menjadi epidemik dengan case fatality rate
(CFR) tinggi,terutama pada anak-anak
Epidemiologi
Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara tropis dengan
penduduk padat dan cakupan imunisasi rendah. Penularan melalui kontak dengan karier
atau individu terinfeksi. Bakteri ditularkan melalui kontak droplet seperti batuk, bersin,
ataupun kontak langsung saat berbicara. Manusia merupakan karier asimptomatik dan
berperan sebagai reservoir C. diphteriae. Transmisi melalui kontak dengan lesi kulit
individu terinfeksi jarang terjadi.
Etiologi
Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil gram positif anaerob. Produksi
toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi (mengalami lisogenisasi) oleh virus spesifik
(bakteriofage) yang membawa informasi genetik untuk toksin (gen tox). Hanya strain
toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-
5 hari (1-10 hari). C. diphteriae dapat diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu
intermedius, gravis, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini telah ditemukan dalam bentuk
toksigenik.

Faktor Resiko
 Difteri umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
 Imunisasi tidak lengkap / tidak melakukan imunisasi
 Berasal dari daerah endemik

Patomekanisme
Difteri diawali oleh masuknya C. diphtheria ke dalam hidung atau mulut dan
terlokalisasi pada permukaan mukosa saluran pernapasan atas (mata dan genitalia juga
dapat menjadi tempat lokalisasi bakteri). Setelah periode inkubasi 2-4 hari, strain difteri
yang terinfeksi (mengalami lisogenisasi) dapat menghasilkan toksin. Toksin awalnya
diserap ke dalam membran sel target melalui ikatan reseptor pada permukaan sel dan
mengalami endositosis. Toksin ini terdiri atas 2 komponen, yaitu subunit A dan subunit B.
Subunit B berperan dalam pengikatan reseptor sedangkan subunit A merupakan komponen
toksin yang enzimatik aktif. Setelah mengalami endositosis, subunit A akan menghambat
sintesis protein sel. Selain itu, dengan adanya kalsium dan magnesium, toksin difteri dapat
menyebabkan fragmentasi DNA melalui mekanisme nuclease-like activity. Akibatnya,
terjadi sitolisis
Nekrosis luas terjadi pada jaringan tempat kolonisasi kuman difteri dan akan
memicu respons inflamasi lokal. Respons inflamasi bersama jaringan nekrosis membentuk
eksudat pseudomembran. Eksudat ini awalnya dapat diangkat, tetapi seiring berjalannya
infeksi, terjadi peningkatan produksi toksin sehingga terbentuk eksudat dengan komponen
fibrin. Pseudomembran awalnya berwarna putih, akan menjadi abu-abu gelap disertai
bintik hijau atau hitam yang menunjukkan area nekrosis. Perdarahan hebat dapat terjadi
jika pseudomembran berusaha diangkat. Jaringan edema dan pseudomembran difteri dapat
menutup saluran napas. Pseudomembran ini akan meluruh spontan selama masa
penyembuhan
Toksin yang dihasilkan di lokasi pseudomembran akan didistribusikan ke seluruh
tubuh melalui aliran darah dan limfatik. Distribusi dimulai saat faring dan tonsil tertutup
pseudomembran difteri. Organ dan jaringan di seluruh tubuh dapat mengalami kerusakan
akibat toksin ini. Lesi sistem saraf, jantung, serta ginjal merupakan komplikasi berat;
manifestasi klinis miokarditis tampak setelah periode laten 10-14 hari, sistem saraf,
misalnya neuritis perifer, terjadi pada 3-7 minggu.1 Strain non-toksigenik juga dapat
menyebabkan faringitis ringan hingga sedang, tetapi tidak terbentuk pseudomembran.

Gejala Klinik
Infeksi difteri dapat melibatkan berbagai lokasi membran mukosa. Untuk kepentingan
klinis, difteri dapat diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit, yaitu
Difteri saluran napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian hidung
dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret
serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal
dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan
pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh
pasien memiliki gejala demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak,
malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran
tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis
yang dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area
glotis.
Difteri hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus
dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat
lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
Difteri tonsil dan faring
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri
menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah perdarah, melekat,
berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis
servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari
derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1
minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-
10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria
laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga
gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar
dibedakan dengan gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran
yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,
membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi
sebagai perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan campuran
gejala obstruksi dan toksemia
Difteri kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus
superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit
dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya
bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada banyak kasus infeksi, difteri merupakan
infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo.
Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau
kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada
sebagian kecil penderita difteria kulit.
Difteri pada tempat lain
C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain,
seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan
traktus genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi,
pembentukan membran dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan
difteria dari penyebab bakteri lain dan virus.Difteria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada
telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis (latar belakang ekonomi, epidemiologi, terutama
riwayat imunisasi) dan penemuan klinis. Penundaan terapi akan meningkatkan risiko
komplikasi. Konfirmasi diagnosis dapat dengan kultur; oleh karena itu, penting
mendapatkan apusan faring, khususnya dari area perubahan warna, ulkus, dan kripta tonsil.
Jika basil difteri dapat diisolasi, sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan toksigenitas
(pemeriksaan Elek)
Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara langsung kurang dapat
dipercaya.Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody
technique, tetapi untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C.
diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler atau dengan media baru Amies dan
Stewart dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes
Elek)
Kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laryngitis, nasofaringitis atau
tonsillitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan mudah
berdarah di faring, laring, tonsil.
Kasus probable difteri adalah suspek difteri ditambah salah satu dari:
a) pernah kontak dengan kasus < 2 minggu
b) Berasal dari daerah endemis
c) Stridor, Bullneck, perdarahan submukosa peteki pada kulit
d) Gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan kelumpuhan motorik 1 s/d 6
minggu setelah awitan,
e) kematian.
Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi ternyata positif
C.difteriae toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus kulit, jaringan, konjungtiva,
telinga, vagina) atau serum antitoksin meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua
sampel serum diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin). Sementara
kasus karier adalah orang yang tidak menunjukan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukan positif C. diphtariae.

Tatalaksana
Tatalaksana difteri bertujuan untuk menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.
diphteriae menggunakan antibiotik.1 Setelah diagnosis klinis, harus diambil spesimen
untuk kultur dan pasien diisolasi ketat. Pasien yang dicurigai difteri harus diberi antitoksin
dan antibiotik dengan dosis adekuat. Tatalaksana suportif pernapasan dan jalan napas
harusdiberikan jika dibutuhkan.
1. Serum Antitoksin Difteri (ADS)
Pemberian antitoksin sebaiknya didasarkan pada lokasi dan ukuran membran,
derajat toksisitas, dan durasi penyakit (Tabel).8 Tatalaksana segera penting untuk
membatasi kerusakan jaringan. Dosis antitoksin adekuat harus diberikan secara intravena
sesegera mungkin untuk menetralisir toksin bebas.1 Uji sensitivitas serum kuda (antitoksin
difteri) harus dilakukan sebelum pemberian; secara intradermal 0,02-0,1 mL serum
antitoksin diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:100. Hasil positif bila dalam 10-30 menit
terjadi pembengkakan. Apabila tidak terjadi reaksi, serum antitoksin dapat diberikan
sekaligus secara intravena.8 Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau
100 mL glukosa 5% dalam 1-2 jam. Kemungkinan efek samping obat/reaksi diamati
selama pemberian antitoksin dan 2 jam berikutnya. Juga perlu dipantau terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan tetap akan diberikan.
Apabila harus tetap diberikan, dapat digunakan cara desensitisasi; sediakan epinefrin
1:1000 siap pakai di dalam semprit untuk antisipasi reaksi anafilaksis

2. Antibiotik
Penisilin G prokain diberikan secara IM sekali sehari (300.000 Unit/hari untuk
berat badan <10 kg dan 600.000 Unit/hari untuk berat badan >10 kg) selama 14 hari
atau eritromisin oral atau injeksi (40 mg/kg/hari dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV,
maksimum 2 gram/ hari) selama 14 hari.
Penyakit ini biasanya tidak menular 48 jam setelah pemberian antibiotik.
Eliminasi kuman dibuktikan dengan dua kali kultur dengan hasil negatif 24 jam
setelah terapi antibiotic selesai dan keadaan memungkinkan
3. Tatalaksana Suportif
Pasien harus tirah baring total dan makanan disesuaikan keadaan pasien.
Evaluasi terutama status respiratorik sedikitnya setiap 3 jam oleh perawat dan 2
kali/hari oleh dokter. Pasien harus ditempatkan dekat perawat, agar obstruksi jalan
napas dapat dideteksi sesegera mungkin. Intubasi atau trakeostomi dilakukan jika
terjadi tanda obstruksi jalan napas disertai gelisah.
Alternatif lain adalah intubasi orotrakeal, tetapi bisa menyebabkan terlepasnya
membran, sehingga gagal mengurangi obstruksi. Pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG) serial sebaiknya 2 atau 3 kali seminggu selama 4-6 minggu untuk deteksi
miokarditis sedini mungkin. Pada penyakit berat, dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kg/hari selama 2 minggu untuk mencegah miokarditis. Status hidrasi harus dijaga
dan berikan diet lunak atau cair tinggi kalori. Sekret harus dibersihkan dengan cara
pengisapan untuk mencegah aspirasi. Pemeriksaan kualitas suara dan refleks batuk
harus dilakukan berkala untuk mengetahui progresivitas penyakit. Difteri laring
mungkin membutuhkan trakeostomi untuk mengatasi obstruksi.
Komplikasi
obstruksi jalan napas, miokarditis, paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat
menyebar ke paru-paru menyebabkan pneumonia.
Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di imunisasi, masih dijumpai
kasus difteria berat dengan prognosis buruk.

Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara
khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier.
Referensi :
Ricky Saunders, I Kadek Suarca. 2019. Diagnosis dan Tatalaksana Difteri. SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Wangaya, Denpasar, Bali. CDK-273/ vol. 46 no. 2 th..
Edi Hartoyo. 2018. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Lambungmangkurat/RSUD Ulin. Banjarmasin Sari Pediatri, Vol. 19, No. 5, Februari 2018

B. TONSILOFARINGITIS
A. Definisi
Tonsilofaringitis adalah peradangan pada jaringan tonsil dan mukosa faring disertai
peradangan peradangan jaringan limfoid lain.
B. Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak berusia ≤
3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus, rhinovirus, dan virus
parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah
bakteri terbanyak penyebab penyakit faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut
mencakup 15-30% pada anak sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.
Mikroorganisme seperti klamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan infeksi,
tetapi sangat jarang terjadi.1 Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa
radang kronik di faring, seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum
alcohol, inhalasi uap dan debu, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yang tidak adekuat.
C. Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan
mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi,
serta melalui makanan merupakan cara penularan yang kurang berperan. Penyebaran SBGA
memerlukan penjamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat.

Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang
kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar peradangan melibatkan
nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen
infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan eritem
faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptococcus 1 ditandai dengan invasi lokal serta
penglepasan toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus dan SBHGA lebih banyak
terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan kontak oral.
Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam.
D. Manifestasi Klinik
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokan
dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh
anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga
didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok. Gejala seperti rhinorrea, suara serak, batuk,
konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rhinitis dapat
ditemukan pada anamnesa. Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut
streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem pada tonsil dan faring
yang disertai pembesaran tonsil. Faringitis streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala
seperti awitan akut disertai mual muntah, faring hiperemis, demam, nyeri tenggorokan, tonsil
bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri, uvula
bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai impetigo sekunder, ruam skarlatina, petekie
palatum mole.
Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Pada faringitis akibat virus dapat ditemukan ulkus di palatum
mole, dan didnding faring serta eksudat di palatum dan tonsil. Gejala yang timbul dapat
menghilang dalam 24 jam berlangsung 4-10 hari dengan prognosis baik.1
E. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui
pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pada saat ini terdapat metode cepat mendeteksi
antigen streptococcus grup A dengan sensitivitas dan spesivitas yang cukup tinggi.

F. Tatalaksana
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah
terjadinya komplikasi. Faringitis streptococcus grup A merupakan faringitis yang memiliki
indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik.
Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang
dapat diberikan. Pemberian obat kumur dan obat hisap pada anak cukup besar dapat
mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri berlebih atau demam dapat
diberikan paracetamol atau ibuprofen.
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah penisislin V
oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis
tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti
pilihan pengganti penisislin pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama
amoksisilin memiliki rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2
selama 6 hari. Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30 mg/kgBB/hari, atau
sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat digunakan untuk pengobatan faringitis
streptococcus pada penderita yang alergi terhadap penisilin.
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk mengurangi
frekuensi tonsillitis rekuren. Indikator klinis yang digunakan adalah Children’s Hospital of
Pittsburgh Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi
antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih episode infeksi
tenggorok yang diterapi dengan antibiotik selama 3 tahun sebelumnya. Adenoidektomi sering
direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis media kronis dan berulang. Indikasi
tonsiloadenektomi yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apneu akibat pembesaran
adenotonsil.
G. Komplikasi Kejadian
Komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi biasanya menggambarkan
perluasan infeksi streptococcus dari nasofaring. Beberapa kasus dapat berlanjut menjadi otitis media
purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang luas.
Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat
perluasan langsung dapat terjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses
retrofaringeal atau faringeal, atau pneumonia. Penyebaran hematogen SBHGA dapat mengakibatkan
meningitis, osteomielitis, atau arthritis septic, sedangkan komplikasi non supuratif berupa demam
reumatik dan gromerulonefritis.
Referensi :
Purniti Siadi Putu. 2016. Tatalaksana terkini infeksi respiratorik akut. Fakultas kedokteran Universitas
Udayana
Prijayanti Eka P. 2010. Tonsilofaringitis Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah

C. Parotitis
Definisi
Parotitis adalah suatu penyakit virus dengan tanda membesarnya kelenjar ludah dan
terasa nyeri. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang akut (Yvonne,2013). Pada
saluran kelenjar ludah, terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan
penyumbatan saluran. Parotitis yang juga dikenal sebagai penyakit gondong ini adalah
penyakit yang biasanya menyerang anak-anak berusia 2-12 tahun. Jika seseorang pernah
menderita penyakit ini, maka orang itu akan memiliki kekebalan seumur hidupnya.
Vaksinasi parotitis merupakan bagian imunisasi rutin pada masa kanak-kanak yang
biasanya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan campak dan rubella.
Ada dua macam klasifikasi dari parotitis, yaitu sebagai berikut :
a. Parotitis kambuhan
Maksud kambuhan di sini adalah, apabila pasien yang sebelumnya telah terinfeksi,
kemudian kambuh kembali. Anak-anak yang biasanya terkena parotitis tipe ini
adalah ketika sampai pada usia antara 1 bulan hingga akhir usia kanak-kanak
(sampai 12 tahun).
b. Parotitis akut
Tanda yang nampak dari parotitis akut ini adalah rasa sakit yang tiba-tiba,
kemerahan dan pembengkakan pada daerah parotis. Tanda-tanda parotitis akut ini
dapat timbul sebagai akibat pasca-bedah yang dilakukan pada penderita terbelakang
mental dan penderita usia lanjut. Hal menegnai pasca-bedah ini khususnya apabila
penggunaan anastesi umum lama dan ada gangguan hidrasi.

Epidemiologi
Parotitis merupakan penyakit infeksi yang pada 30-40 % kasusnya merupakan infeksi
asimptomatik. Infeksi ini disebabkan oleh virus RNA untai tunggal negative sense
berukuran 100-600 nm, dengan panjang 15000 nukleotida termasuk dalam genus
Rubulavirus subfamily Paramyxsovirinae dan family Paramyxoviridae (Sumarmo,2008).
Penyebaran virus terjadi dengan kontak langsung, percikan ludah, bahan mentah mungkin
dengan urin. Sekarang penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa muda sehingga
menimbulkan epidemi secara umum.
Berdasarkan data dari The National Notifable Disease Survillance System, dilaporkan
pada tahun 1990 di Amerika Serikat terdapat 5.292 kasus mumps, tahun 1968 terdapat
159.209 kasus dan pada tahun 2000 terdapat 338 kasus. Wabah juga telah dilaporkan di
Jerman, Inggris, Kanada. Namun, dibandingkan dengan Negara-negara lain, angka
kejadian di AS sebenarnya masih relative kecil, meskipun tumbuh pada tingkat yang
mengkhawatirkan. Di Inggris, pada tahun 2004-2006 dilaporkan wabah penyakit mumps
sebanyak lebih dari 70.000 kasus (Dayan Gustavo,2006). Dari data yang dilaporkan dapat
disimpulkan bahwa terjadi penurunan kasus mumps yang signifikan dari tahun 1990
sampai tahun 2000. Penggunaan vaksin dan imunisasi mumps untuk mencegah penularan
telah diberlakukan di beberapa Negara di dunia membuat jumlah kasus mumps
mengalami penurunan. Sedangkan jumlah kasus parotitis akut di Indonesia khususnya di
kota Ambon belum dapat diketahui secara pasti karena minimnya penelitian mengenai
penyakit ini.
Parotitis dapat menimbulkan komplikasi walaupun jarang terjadi. Insidensi parototis
dengan ketulian adalah 1 : 15.000. Parotitis yang tidak ditangani dengan tepat dan segera
dapat menimbulkan berbagai komplikasi serius yang akan menambah resiko terjadinya
kematian. Maka disebabkan hal tersebut, melalui makalah ini kami memberikan solusi
dapat memberikan pengetahuan dan tata cara pencegahan dari penyakit parotitis sehingga
skala kejadian penyakit tersebut dapat menurun dan bermanfaat pula bagi perawat yakni
mampu melaksanakan asuhan keperawatan atas pasien dengan Parotitis dengan tepat dan
benar.

Etiologi
Agen infeksius pada parotitis adalah paramyxovirus dengan cara melalui
kontak langsung dan droplet. Sejak tahun 2003, telah mucul penyakit gondok di
Inggris, khususnya di kalangan remaja dan dewasa muda (Donaghy et al., 2006).
Insiden gondok di rentan pada kelompok usia yang mungkin akan terus tinggi di masa
mendatang. Diagnosis laboratorium biasanya diminta dari pasien dengan gejala,
sehingga diperlukan diagnosis yang cepat pada sampel akut. Secara tradisional
gondok telah didiagnosis oleh isolasi virus dalam kultur sel atau pelengkap pengujian
fiksasi (CFT) dari titer antibodi pada dipasangkan sera. Yang terakhir ini sebagian
besar telah digantikan dengan tes anti -IgM, yang tidak selalu terdeteksi dalam 10 hari
pertama gejala. Beberapa faktor dapat berpengaruh pada munculnya wabah gondok:
intense exposures, overwhelming the pro-tection offered by the vaccine, combined
with non-optimal vaccinecoverage, low immunogenicity and waning immunity. Perlu
digaris bawahi wabah gondok ini sulit untuk dilakukan uji biologis, pada tes serologi
pemberian vaksinasi secara global harus dikaji dengan hati-hati. Deteksi gondok
dengan menggunakan RNA virus dalam air liur merupakan tes yang paling cocok
dalam hal ini.
Patofisiologi
Pada umumnya penyebaran paramyxovirus sebagai agent penyebab parotitis
(terinfeksinya kelenjar parotis) antara lain akibat Percikan ludah, kontak langsung dengan
penderita parotitis lain, muntahan, dan urine. Virus tersebut masuk tubuh bisa melalui
hidung atau mulut. Biasanya kelenjar yang terkena adalah kelenjar parotis, infeksi akut
oleh virus mumps pada kelenjar parotis terkadang dikaitkan dengan komplikasi seperti
meningitis, pankreatitis atau orchitis. Untuk mengetahui infeksi mumps dibuktikan
dengan adanya kenaikan titer IgM dan IgG secara bermakna dari serum akut dan serum
konvalesens, dikatakan negatif jika <0.100, positif jika> 0.200 atau samar-samar jika
0.100 ≥ A ≤0.200. Semakin banyak penumpukan virus di dalam tubuh sehingga terjadi
proliferasi di parotis/epitel traktus respiratorius kemudian terjadi viremia (masuknya virus
ke dalam aliran darah) dan selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar/saraf yang
kemudian akan menginfeksi glandula parotid. Keadaan ini disebut parotitis.

Akibat terinfeksinya kelenjar parotis maka dalam 1-2 hari akan terjadi demam,
anoreksia, sakit kepala dan nyeri otot.  Kemudian dalam 3 hari terjadilah pembengkakan
kelenjar parotis yang mula-mula unilateral kemudian bilateral, disertai nyeri rahang
spontan dan sulit menelan. Pada manusia selama fase akut, virus mumps dapat diisoler
dari saliva, darah, air seni dan liquor. Pada pankreas kadang-kadang terdapat degenerasi
dan nekrosis jaringan.
Manifestasi Klinis
Sekitar 30-40% penderita yang terinfeksi oleh virus Paramyxovirus tidak
menunjukkan tanda-tanda sakit. Namun, ada penderita lainnya yang mengalami keluhan.
Masa tunas (masa inkubasi) penyakit Gondong sekitar 12-24 hari dengan rata-rata 17-18
hari. Adapun tanda dan gejala yang timbul setelah terinfeksi dan berkembangnya masa
tunas dapat digambarkan sebagai berikut :
Pada tahap awal (1-2 hari) penderita Gondong mengalami gejala: demam (suhu badan
38,5 – 40 derajat celcius), sakit kepala, nyeri otot, kehilangan nafsu makan, nyeri rahang
bagian belakang saat mengunyah dan adakalanya disertai kaku rahang (sulit membuka
mulut). Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar di bawah telinga (parotis) yang
diawali dengan pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian kedua kelenjar
mengalami pembengkakan. Pembengkakan biasanya berlangsung sekitar 3 hari kemudian
berangsur mengempis. Kadang terjadi pembengkakan pada kelenjar di bawah rahang
(submandibula) dan kelenjar di bawah lidah (sublingual). Pada pria dewasa dengan
parotitis yang berkelanjutan mengalami nyeri kelenjar parotid dan demam persisten
(38,3°C-40°C). Pemeriksaan menunjukkan pansitopenia berat, disfungsi hati,
hyperferritinemia, fibrinopenia, ditinggikan lactalase dehydrase, peradangan paru
bilateral dan efusi pleura, abdominal lymphadenopathy, dan splenomegali. Pasien itu
sesuai diduga memiliki hemophagocytic syndrome (HPS) terkait gondok. Pada pria
dewasa juga bisa terjadi pembengkakan buah zakar (testis) karena penyebaran melalui
aliran darah.

Pemeriksaan Diagnostik

a.  Darah rutin

Tidak spesifik, gambarannya seperti infeksi virus lain, biasanya leukopenia ringan
yakni kadar leukosit dalam satu liter darah menurun. Normalnya leukosit dalam darah
adalah 4 x 109 /L darah .dengan limfositosis relatif, namun komplikasi sering
menimbulkan leukositosis polimorfonuklear tingkat sedang.

b.  Amilase serum

Biasanya ada kenaikan amilase serum, kenaikan cenderung dengan pembengkakan


parotis dan kemudian kembali normal dalam kurang lebih 2 minggu. Kadar amylase
normal dalam darah adalah 0-137 U/L darah.

c.  Pemeriksaan serologis


Ada tiga pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan untuk menunjukan adanya
infeksi virus (Nelson, 2000), yaitu:

1. Hemaglutination inhibition (HI) test

Uji ini menerlukan dua spesimen serum, satu serum dengan onset cepat dan serum
yang satunya di ambil pada hari ketiga.  Jika perbedaan titer spesimen 4 kali
selama infeksi akut, maka kemungkinannya  parotitis.

2.  Neutralization (NT) test

Dengan cara mencampur serum penderita dengan medium untuk biakan fibroblas
embrio anak ayam dan kemudian diuji apakah terjadi hemadsorpsi. Pengenceran
serum yang mencegah terjadinya hemadsorpsi dinyatakan oleh titer antibodi
parotitis epidemika.  Uji netralisasi asam serum adalah metode yang paling dapat
dipercaya untuk menemukan imunitas tetapi tidak praktis dan tidak mahal.

3. Complement – Fixation (CF) test

Tes fiksasi komplement dapat digunakan untuk menentukan jumlah respon antibodi
terhadap komponen antigen S dan V bagi diagnosa infeksi parotitis epidemika akut.
Antibodi terhadap antigen V mencapai titer puncak dalam 1 bulan dan menetap
selama 6 bulan berikutnya dan kemudian  menurun secara lambat 2 tahun sampai
suatu jumlah yang rendah dan tetap ada.  Peningkatan 4 kali lipat dalam titer dengan
analisis standar apapun menunjukan infeksi yang baru terjadi.  Antibodi terhadap
antigen S timbul cepat, sering mencapai maksimum dalam satu minggu setelah
timbul gejala, hilang dalam 6 sampai 12 minggu.

d. Pemeriksaan Virologi

Isolasi virus jarang sekali digunakan untuk diagnosis. Isolasi virus  dilakukan dengan
biakan virus yang terdapat dalam saliva, urin, likuor serebrospinal atau darah. Biakan
dinyatakan positif jika terdapat hemardsorpsi dalam biakan yang diberi cairan fosfat-
NaCl dan tidak ada pada biakan yang diberi serum hiperimun.
Penatalaksanaan
Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh/hilang sendiri) yang
berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus
“Mumps” oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif.
Pasien dengan parotitis harus ditangani dengan kompres hangat, sialagog (perangsang
keluarnya ludah/saliva) seperti tetesan lemon, dan pijatan parotis eksterna. Cairan
intravena mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi karena terbatasnya asupan oral.
Jika respons suboptimal atau pasien sakit dan mengalami dehidrasi, maka antibiotik
intravena mungkin lebih sesuai.
1. Umum:
a) Isolasi untuk mencegah penularan
b) Diet bergizi tinggi (tinggi kalori dan protein)
c) Bila demam tinggi kompres dengan air hangat
d) Peralatan makanan dan minuman harus dipisah untuk mencegah penularan
e) Memberikan informasi selengkapnya kepada pasien/orangtua dan keluarga
mengenai penyakit parotitis
f) Menjaga kebersihan gigi dan mulut sangat efektif untuk mencegah parotitis yang
disebabkan oleh bakteri dan virus
2. Farmakologis
a) Tatalaksana simptomatis sesuai gejala yang dirasakan. Biasanya antipiretik
(parasetamol atau ibuprofen)
b) Antibiotic: antibiotic spectrum luas dapat diberikan pada kasus parotitis bakteri
akut yang disebabkan oleh bakteri
c) Analgetik-antipiretik bila perlu
- metampiron : anak > 6 bulan 250 – 500 mg/hari maksimum 2 g/hari
- parasetamol : 7,5 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
- hindari pemberian aspirin pada anak karena pemberian aspirin berisiko
menimbulkan Sindrom Reye yaitu sebuah penyakit langka namun mematikan.
Obat-obatan anak yang terdapat di apotik belum tentu bebas dari aspirin. Aspirin
seringkali disebut juga sebagai “salicylate“ atau “acetylsalicylic acid“.
d) IVFD D5 ½ NS
Pada pasien dengan kesulitan makan, terapi cairan yang digunakan adalah cairan
yang mengandung glukosa 5%, sehingga pada pasien ini diberikan D5 ½ NS. Maka
pemberian cairannya adalah:
100 cc x 10 kg : 1000 cc
50 cc x 4 kg : 200
1200 ml (24 jam)
50 ml (jam)  12 tpm (makro)
e) Parasetamol sirup 3 x 1 ½ cth (jika demam)
Obat ini mempunyai nama generic acetaminophen. Paracetamol adalah drivat
aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesic. Paracetamol utamanya
digunakan untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi
atau sebab lainnya. Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk
meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang.
Dosis: 10-15 mg/kgBB/kali
10 mg x 14 kg = 140 mg
15 mg x 14 kg = 210 mg
140-210 mg/kali
Sediaan: 125 mg/5ml x 187,5 ml jadi dapat diberikan 1 ½ cth
f) Diazepam 5 mg (pulv) 3 x 1 pada saat demam > 38o C.
Indikasi
Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul seperti
gelisah berlebihan.
Kontraindikasi
1) Hipersensitifitas
2) Sensitivitas silang dengan benzodiazepine lain
3) Pasien koma
4) Depresi SSP yang sudah ada sebelumnya
5) Nyeri berat tak terkendali
6) Glaucoma sudut sempit
7) Kehamilan atau laktasi
8) Diketahui intoleran terhadap alcohol atau golongan propilena (hanya injeksi)
Efek samping
Efek samping yang sering terjadi : pusing, mengantuk
Dosis
0,3 – 0,5 mg/kgBB/kali
0,3 x 14 : 4,2 mg
0,5 x 14 : 7
Sediaan tab 5 mg  diberikan 1 tab (pulv)
Komplikasi
Parotitis / mumps yang merupakan agen pencetusnya adalah Paramyxovirus yang
bersumber dari infeksi kelenjar saliva, infeksi ini bisa terjadi secara langsung atau tertular
dari orang yang dropletnya terinfeksi. Period penularan penyakit yang paling banyak
ditularkan sebelum dan sesudah terbentuk pembengkakan. Penderita mumps dapat
menimbulkan komplikasi, dimana virus dapat menyerang organ selain kelenjar liur. Hal
tersebut mungkin terjadi terutama jika infeksi terjadi setelah masa pubertas. Dibawah ini
komplikasi yang dapat terjadi akibat penanganan atau pengobatan yang  kurang dini :
a) Meningoensepalitis. Penderita mula-mula menunjukan gejala nyeri kepala ringan,
yang kemudian disusul oleh muntah-muntah, gelisah dan suhu tubuh yang tinggi
(hiperpireksia). Komplikasi ini merupakan komplikasi yang sering pada anak-anak.
b) Ketulian. Tuli saraf dapat terjadi unilateral, jarang bilateral walaupun insidensinya
rendah (1:15.000), parotitis adalah penyebab utama tuli saraf unilateral, kehilangan
pendengaran mungkin sementara atau permanen.
c) Orkitis. Peradangan pada salah satu atau kedua testis. Setelah sembuh, testis yang
terkena mungkin akan menciut. Jarang terjadi kerusakan testis yang permanen
Sehingga kemandulan dapat terjadi pada masa setelah puber dengan gejala demam
tinggi mendadak, menggigil mual, nyeri perut bagian bawah, gejala sistemik, dan
sakit pada testis. 
d) Ensefalitis atau Meningitis. Peradangan otak atau selaput otak. Gejalanya berupa
sakit kepala, kaku kuduk, mengantuk, koma atau kejang. 5-10% penderita mengalami
meningitis dan kebanyakan akan sembuh total. 1 diantara 400-6.000 penderita yang
mengalami ensefalitis cenderung mengalami kerusakan otak atau saraf yang
permanen, seperti ketulian atau kelumpuhan otot wajah.
e) Ooforitis. Timbulnya nyeri dibagian pelvis ditemukan pada sekitar 7% pada penderita
wanita pasca pubertas.
f) Pankreatitis. Peradangan pankreas, bisa terjadi pada akhir minggu pertama. Penderita
merasakan mual dan muntah disertai nyeri perut. Gejala ini akan menghilang dalam
waktu 1 minggu dan penderita akan sembuh total.
g) Nefritis. Kadang-kadang kelainan fungsi ginjal terjadi pada setiap penderita dan
viruria terdeteksi pada 75%.  Frekuensi keterlibatan ginjal pada anak-anak belum
diketahui.  Nefritis yang mematikan, terjadi 10-14 hari sesudah parotitis. Nefritis
ringan dapat terjadi namun jarang. Dapat sembuh sempurna  tanpa meninggalkan
kelainan pada ginjal.
h)  Miokarditis. Manifestasi jantung yang serius sangat jarang terjadi, tetapi infeksi
ringan miokardium mungkin lebih sering daripada yang diketahui. Miokarditis ringan
dapat terjadi dan muncul 5–10hari pada parotitis. Gambaran elektrokardiografi dari
miokarditis  seperti depresi segmen S-T, flattening atau inversi gelombang T. Dapat
disetai dengan takikardi, pembesaran jantung dan bising sistolik.
i) Artritis. Jarang ditemukan pada anak-anak. Atralgia yang disertai dengan
pembengkakan dan kemerahan sendi biasanya penyembuhannya sempurna.
Manifestasi lain yang jarang tapi menarik pada parotitis adalah poliarteritis yang
sering kali berpindah-pindah. Gejala sendi mulai 1-2minggu setelah berkurangnya
parotitis. Biasanya yang terkena adalah sendi besar khususnya paha atau lutut.
Penyakit ini berakhir 1-12 minggu dan sembuh sempurna.

2.9 Prognosis
Prognosis pasien parotitis hidup karena gejala ringan dan tidak ditemukan
keterlibatan infeksi susunan saraf pusat. Parotitis bersifat self-limiting dan hanya
memerlukan pengobatan suportif. Prognosis fungsi karena walaupun pasien sudah
memasuki usia pubertas, orkitis terjadi unilateral. Sehingga kecil kemungkinan terjadi
atrofi testis kecil. Infeksi virus parotitis epidemika memberikan imunitas jangka
panjang, dan tidak menyebabkan kekambuhan pada pasien sehingga prognosis ad
sanationam baik. (Pudjiadi & Hadinegoro, 2009)
Secara umum prognosis parotitis baik, kecuali pada keadaan tertentu yang
menyebabkan terjadinya ketulian, sterilitas karena atrofi testis dan sekuele karena
meningoensefalitis. Dapat disimpulakan bahwa gangguan parotitis dapat sembuh dengan
baik. Penjelasan diatas “ad sanationam” merupakan bagian dari prognosis yang artinya
penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan beberapa penanganan yang tepat.
Refrensi:
 Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 2 Jilid 2. Jakarta: Media
 Soemarmo.2008.Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi 2.Jakarta:Penerbit IDAI
 Isselbacher, Harrison, dkk. (1992). Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
ECG.
 Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 2 Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapicus Penerbit FK UI.
 Dayan, H, Gustavo. 2008. Recant Resurgence of Mumps United States. The New
England Journal of Medicine: England
 M. Maillet et al. / Journal of Clinical Virology 62 (2015)

D. TOXOPLASMA

1. Definisi
Toksoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii yang merupakan golongan protozoa yang sifatnya parasite obligat
intraseluler. Penemu dari Toxoplasma gondii yang pertama kali adalah Nicole dan
Splendore pada tahun 1908 pada hewan pengerat (tenodactylus gundii) pada bagian
limfa dan hati di Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di Brazil dan disebut sebagai
Toxoplasma gondii.

2. Epidemiologi

Toxoplasma gondii diperkirakan menginfeksi 30-50% penduduk dunia. Prevalensi


antibodi terhadap T. gondii pada manusia dan hewan di negara-negara Asia Tenggara
berkisar 2-75%. Seroprevalensi ini dijumpai lebih tinggi pada populasi yang
mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau setengah matang
Seroprevalensi toxoplasmosis pada darah donor di Bali adalah 35,9%, sedangkan pada
wanita adalah 63,9%.

3. Etiologic

Toxoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang merupakan protozoa


intraseluler yang tergolong Apicomplexa sama seperti Plasmodium penyebab malaria.
Nama Toxoplasma berasal dari kata toxon (Bahasa Yunani) yang berarti busur yang
mengacu pada bentuk sabit dari takizoit. Adapu. Gondii berasal dari kata
Ctenodactylus gondii, seekor rodensi dari Afrika Utara dimana parasite tersebut
pertama kali ditemukan pada tahun 1908.

4. Patomekanisme

Penularan toxoplasmosis umumnya terjadi melalui rute oral yaitu secara tidak
sengaja menelan ookista dari tanah yang terkontaminasi misalnya melalui sayur atau
buah-buahan yang tidak dicuci, sumber air minum yg terkontaminasi ookista, susu
yang tidak dipasteurisasi, tidak mencuci tangan setelah kegiatan berkebun. Selain
melalui ookista, manusia juga dapat terinfeksi melalui kista jaringan pada daging yang
tidak dimasak dengan baik.

Toxoplasma ditemukan dalam intermediate host dalam 2 bentuk yaitu: bradizoit


dan takizoit. Bradizoit merupakan bentuk dormant, pertumbuhan lambat, dapat
ditularkan, berupa kista. Pada saat manusia memakan daging setengah matang berisi
kista yang mengandung bradizoit, dinding kista akan pecah di dalam lambung host
dan bradizoit yang tahan terhadap peptidase lambung dilepaskan dan menginvasi usus
halus. Bradizoit akan mengalami transformasi menjadi takizoit, bentuk yang
membelah dengan cepat, menyebabkan penyakit karena dapat merusak semua sel
berinti, bereplikasi di dalam vakuola parasitophorus, menghancurkan sel (egress) dan
menginfeksi sel tetangga yang sehat.

Penularan toxoplasma dapat terjadi secara langsung melalui transfusi darah atau
transplantasi organ, karena takizoit maupun bradizoit dapat dikultur dari darah yang
diletakkan pada pendingin atau dibekukan, hal ini merupakan sumber infeksi bagi
individu yang mendapat transfusi darah. Infeksi toxoplasma juga pernah dilaporkan
terjadi pada penerima transplantasi ginjal dan jantung yang sebelumnya tidak
terinfeksi. Toxoplasma gondii juga dapat ditularkan secara transplasental dari ibu
hamil kepada janin yang kandungnya.

5. Manifestasi klinis

Gejala klinis toxoplasmosis pada manusia bersifat non spesifik atay sering kali
tidak menimbulkan manifestasi klinis yang jelas, masa inkubasi toxoplasmosis sekitar
2-3 minggu. Gejala yang muncul merupakan gejala umum biasa, antara lain demam,
pembesaran kelenjar limfe di leher bagian belakang. Apabiula infeksi mengenai
susunan system saraf pusat, maka akan memnyebabkan encephalitis. Parasite yang
masuk ke dalam otot jantung mengakibatkan terjadinya peradangan. Adapun lesi pada
mata akan mengenai khorion dan retina sehingga menimbulkan irridosklitis dan
khorioditis. Bayi dengan toxoplasmosis kongenital akan lahir sehat tetapi dapat pula
timbul gambaran eritoblastosis foetalis dan hidrop foetalis.

6. Penatalaksanaan

Obat toxoplasmosis yang dilaporkan cukup efektif adalah kombinasi


pyrimethamine dengan trisulfapyrimidine yang mampu menghambat siklus p-amino
asam benzoate dan siklus asam foist. Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine
ialah 25-50 mg oer hari selama sebulan. Namjun demikian, obat ini mempunyai efek
samping leukopenia dan tromositopenia, maka doanjurkan untuk menambahkan asam
fi=olat dan yeast selama pengobatan.

Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi efek
sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang dibagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi
yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.

Referensi:

1. Dubey, JP. The history of Toxoplasma gondii--the first 100 years. J Eukaryot
Microbiol. 2008;55(6):467-75.

2. Robert-Gangneux F, Darde ML. 2012. Epidemiology of and diagnostic strategis for


toxoplasmosis. Clin Microbiol Reviews, American Society for Microbiology (ASM)
Journals (serial on the internet).
3. Iskandar, T. 2009. Pengaruh Pemberian Alantoin Dengan Pirimetamin- Sulfadoksin
Terhadap gambaran Leukosit Dan Jumlah Takizoit Pada Mencit Yang Diinfeksi
Dengan Toxoplasma gondii. Balai Besar Penelitian Veteriner.
4. Subekti, D. (2008). Tinjauan terhadap Toksoplasmosis. dan Risikonya. pada

Manusia. Bogor: KIVNAS.

6. Pencegahan terkait skenario

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan


tentang bahaya difteria bagi anak. Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi
Lengkap, dengan jadwal pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin
dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit Difteri ada 3 macam,
yaitu:

1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B


dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae
tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).

Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:


1. Imunisasi dasar:
Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1
bulan.
2. Imunisasi Lanjutan:
a. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
b. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS).
c. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
d. Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.

Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai dengan


cakupan imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan merata.
Cakupan harus mencapai minimal 95%, merata di setiap kabupaten/kota, dan tetap
dipertahankan.

Selain cakupan yang harus diperhatikan adalah menjaga kualitas vaksin sejak
pengiriman, penyimpanan sampai ke sasaran.Vaksin difteri merupakan vaksin yang
sensitif terhadap suhu beku sehingga dalam pengiriman maupun penyimpanan harus
tetap berada pada suhu 2 - 8° C. Setiap daerah menyediakan biaya operasional untuk
imunisasi rutin dan imunisasi dalam penanggulangan KLB (ORI)

Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap


penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang
anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin
difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau
menderita difteri ringan.

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya


dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua
preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5
Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih
dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D)
digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan
yang lebih tua, Tidak dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dan karena semakin kadar toksoid difteri makin
tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Outbreak Response Immunization

Selama tahun 2017, KLB difteri terjadi di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi,
sebanyak 954 kasus, dengan kematian 44 kasus. Pada tahun 2018 (hingga 9 Januari 2018),
terdapat 14 laporan kasus dari 11 kab/kota di 4 provinsi (DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat,
dan Lampung).

Outbreak Response Immnunization (ORI) adalah imunisasi yang dilaksanakan untuk


menekan transmisi suatu penyakit yang sedang mewabah. ORI dilakukan di sarana kesehatan
pemerintah (posyandu, puskesmas, dan rumah sakit pemerintah) dan sekolah. Sarana
kesehatan non-pemerintah dapat melakukan ORI berkoordinasi dengan dinas kesehatan
setempat. ORI difteri perlu dilakukan tiga kali untuk membentuk kekebalan tubuh dari
bakteri C. diphteriae (anak usia 1 tahun hingga <19 tahun tanpa memandang
riwayatimunisasi). Skema ORI dilakukan pada bulan ke-0, 1, dan 6 (dosis 0,5 mL
intramuskular diarea deltoid). Berikut adalah jenis vaksin yang diberikan:

 „ Imunisasi DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun


 „ Imunisasi DT untuk anak usia 5-7 tahun
 „ Imunisasi Td untuk anak usia >7 tahun

Refrensi:
 Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Difteri Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tahun 2017
 Pemerintah optimis KLB difteri bisa teratasi. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia [Internet]. 2018

7. Perspektif islam terkait scenario

ُّ ‫سيِّئَاتِ ِه َك َما ت َُح‬


‫ط الش ََّج َرةُ َو َرقَ َها‬ َ ‫س َواهُ إِاَّل َحطَّ هَّللا ُ بِ ِه‬ ٍ ‫صيبُهُ أَ ًذى ِمنْ َم َر‬
ِ ‫ض فَ َما‬ ِ ُ‫سلِ ٍم ي‬
ْ ‫َما ِمنْ ُم‬

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan
mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-
daunnya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

ً‫صيْبُ ْال ُم ْؤ ِمنَ ِم ْن َشوْ َك ٍة فَ َما فَوْ قَهَا إِاَّل َرفَ َعهُ هَّللا ُ بِهَا د ََر َجةً أَوْ َحطَّ َع ْنهُ بِهَا خَ ِط ْيئَة‬
ِ ُ‫َما ي‬

"Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim berupa duri atau yang
semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus
kesalahannya." (HR. Muslim)

Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha
Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha mulia yang menyukai kemuliaan,
Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-
tempatmu” (HR Tirmidzi) 

Intisari :

Dari H.R. Tirmidzi ini dapat di simpulkan bahwa Allah menyarankan kita sebagai
manusia untuk dapat hidup dalam keindahan, kemuliaan dan kebersihan. Hal ini akan sangat
membantu kita untuk dapat terhindar dari berbagai macam penyakit, khususnya penyakit
infeksi, karena banyak parasit, bakteri dan virus yang sangat menyulai tempt kotor.

Anda mungkin juga menyukai