Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 22 (KEDOKTERAN TROPIS)

Skenario 1

Tutor : dr. Mambodyanto SP., S.H., M.Kes. (MMR)

Disusun Oleh:
Ketua : M. Dinung Adi Y 1613010047
Sekretaris : Risda Yuniarti 1613010019
Anggota : Gilang Indra Oktaviana 1613010015
Nida Rizqi Amalia 1613010020
Dela Putri Salsabila 1613010023
Arifia Prima Putri K 1613010024
Miftahul Jannah 1613010036
Raden Muhammad Agung S 1613010042
Winda Nur Himawati 1613010043
Dita juantika 1613010044

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

PROGRAM SARJANA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2019
SKENARIO 1

An 11-year-old boy was brought to a hospital complained of high fever, malaise, loss of
appetite and headache. The following day he refused to drink with his medicine, and became
more anxious. That might he began to hallucinate. He also was salivating and had difficulty
breathing. Two days later, he had experienced two episodes of general seizure.
BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1. Demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal
sehari–hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hipotalamus (Dinarello, 2005).
Demam tinggi atau Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan
suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah
tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf
pusat (Dinarello, 2005)
2. Malaise
perasaan tidak enak karena kondisi yang kurang sehat. Biasanya terkait
dengan berbagai kondisi medis yang berbeda dan sering menjadi tanda
pertama penyakit yang berbeda seperti infeksi virus (Dorland, 2008).
3. Nyeri kepala
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan di seluruh
daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala
(Sjahrir, 2008)
4. Salivating
Hipersalivasi adalah suatu gejala terjadinya produksi saliva yang
berlebihan (Triakoso, 2008).
5. Kejang
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara
sebagai mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan
pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz, 2002).

6. Anxious (cemas)
Respon terhadap situasi yang mengancam, dan merupakan hal normal
yang terjadi menyertai pekembangan, perubahan, pengalaman baru atau
yang belum pernah dilakukan
(Kaplan, Saddock., 2007)
BAB 2

IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Mengapa pasien mengeluh demam tinggi, malaise, penurunan nafsu makan dan
sakit kepala?
2.2 Mengapa pasien mejadi halusinasi?
2.3 Mengapa pasien menjadi kejang ?
2.4 Mengapa pasien hiper saliva ?
2.5 Mengapa pasien kehilangan nafsu makan ?

BAB 3
ANALISA MASALAH

3.1 Mengapa pasien mengeluh demam tinggi, malaise, penurunan nafsu


makan dan sakit kepala?
A. Demam

Definisi
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal
sehari–hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu
di hipotalamus. Suhu normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat
suhu yang dapat dikatakan demam pada temperatur rectal adalah
≥38,0°C, sedangkan dikatakan demam pada temperatur oral adalah
≥37,5°C dan pada temperatur axilla adalah ≥37,2°C (Kaneshiro,
2010).
Pengaturan Suhu Tubuh Secara Normal
Secara normal, proses pengaturan suhu tubuh diatur oleh suatu
mekanisme yang meliputi susunan saraf, biokimia, dan hormonal.
Suhu adalah hasil produksi metabolisme tubuh yang diperlukan untuk
kelancaran aliran darah dan menjaga agar reaksi kimia tubuh dapat
berjalan baik (enzim hanya bekerja pada suhu tertentu). Proses
pelepasan panas ini diatur di hipothalamus.
Hipotalamus menerima informasi suhu tubuh dari bagian dalam
dan bagian luar. Dari bagian dalam, hipothalamus mendapatkan
informasi dari suhu darah yang masuk ke otak sedangkan informasi
suhu luar tubuh didapatkan dari reseptor panas dikulit, kemudian
suhu dipertahankan untuk menjaga pembentukan atau pelepasan
panas.
Hipotalamus posterior merupakan pusat pengatur yang bertugas
meningkatkan produksi panas dan mengurangi pengeluaran panas
bila suhu luar lebih rendah. Hipotalamus anterior merupakan pusat
pengatur pengeluaran panas bila suhu di luar tubuh lebih tinggi.
Proses terjadinya demam
Demam terjadi berkaitan dengan rantaian infeksi. Rantai infeksi
tersebut adalah agen (mikroorganisme), resevoir, port de entry, cara
penularan, port de exit, host/pejamu dan kembali lagi ke agen. Proses
infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahananm
hospes. Pertahanan hospes yang lemah akan mengakibatkan
timbulnya suatu penyakit. Namun tidak semua penyakit akan
menimbulkan demam.
Demam akan muncul ketika hipothalamus mempresepsikan
tubuh dalam keadaan dingin sehingga meningkatkan suhu tubuh
padahal, suhu tubuh normal. Hal ini terjadi karena adanya proses
reaksi pirogen endogen dan eksogen.

Diawali dari pirogen eksogen yang masuk ketubuh (agen


infeksius), tubuh akan merespon dengan melepaskan sel-sel darah
putih tertentu yang digunakan untuk melawan pirogen eksogen
terebut. Sel darah putih akan mengeluarkan zat kimia yang berguna
untuk melawan infeksi tersebut, zat ini disebut dengan pirogen
endogen. Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello
& Gelfand, 2005).

Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan


patokan termostat dipusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus
akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang
baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk
meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan
mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi
peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang
pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang
baru tersebut (Sherwood, 2001).

Penyebab Terjadinya Demam

Demam bukan merupakan suatu penyakit, melainkan merupakan


gejala dari suatu penyakit. Demam adalah respon normal tubuh
terhadap beberapa faktor, yaitu faktor infeksi dan non infeksi.

1) Faktor Infeksi

a) Bakteri

Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Bakteri


bisa masuk melalui udara, air, tanah, makanan, cairan dan
jaringan tubuh dan benda mati lainnya.

Penyakit yang diakibatkan bakteri:

1. TBC

Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan


Mycobacterium bovis

2. Difteri

Disebabkan oleh Corynobacterium diphteriae

3. Pertusis

Disebabkan oleh Bordetella pertussis

4. Tetanus

Disebabkan oleh Clostridium tetani

5. Tifoid

Disebabkan oleh Salmonella typhi


6. Kusta

Disebabkan oleh Mycobacterium leprae


7. PES

Disebabkan oleh Yersinia pestis


8. Antraks
Disebabkan oleh Bacillus anthracis
9. Leptospirosis

Disebabkan oleh Leptospira interrogans


b) Virus

Untuk menyebabkan penyakit virus harus memasuki inang,


mengadakan kontak dengan sel yang rentan, bereplikasi, dan
menyebabkan kerusakan sel.
Penyakit yang disebabkan oleh virus:
1. DBD
Disebabkan oleh virus Arbovirus. Ditularkan melalui
vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
2. Campak
Disebabkan oleh virus morbilivirus. Ditularkan
melalui droplet udara penderita.
3. Rabies
Disebabkan oleh virus Rhabdovirus. Ditularkan
melalui hewan anjing, kucing, monyet
4. HIV/AIDS
Disebabkan oleh virus HIV. Ditularkan melalui
cairan tubuh, darah, ASI, dll.
5. Varicela
Disebabkan oleh virus Herpesvirus varicellae.
Ditularkan melalui kontak langsung dan droplet
dengan penderita.
6. Flu Burung
Disebabkan oleh virus AI (Orthomyxoviridae).
Ditularkan melalui unggas.
7. SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)
Disebabkan oleh Paramyxovirus. Ditularkan melalui
droplet.
8. Polio
Disebabkan oleh Enterovirus. Ditularkan melalui
oro-fekal, sekret faring.
c) Fungi
Berbagai jamur menyerang kulit. Biasanya jamur hidup di
lapisan keratin bagian atas dan menyebar ke luar pada cincin
dermatitis eritematosa bersisik yang sering disebut ringworm.
Penyakit yang disebabkan oleh fungi, adalah:
1. Dermatofitosis
1) Tinea Kapitis
Disebabkan oleh genus Mycosporum
2) Tinea Barbae
Disebabkan oleh genus Mycosporum dan
Tricophyton
3) Tinea Cruris
Disebabkan oleh genus Tricophyton,
Epidermophyton
4) Tinea Corporis
Disebabkan oleh Tricophyton, Mycosporum
5) Tinea Pedis
Disebabkan oleh Tricophyton, Epidermophyton
6) Tinea Manus
Disebabkan oleh Tricophyton, Epidermophyton
2. Ptiriasis Versikolor
Disebabkan oleh Pityrosporum orbiculare, dulu disebut
Malasaezia furfur.
3. Candidiasis
Disebabkan oleh Candida

d) Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk
kelompok parasit adalah protozoa, cacing dan arthropoda.
Penyakit yang disebabkan oleh parasit:
1. Malaria disebabkan oleh Plasmodium melalui nyamuk
anopheles betina
2. Pediculosis disebabkan oleh kutu penghisap
darah,serangga dan parasit lainnya
3. Schistosomoasis disebabkan oleh parasit Trematoda
4. Amebiasis disebabkan oleh Amoeba
5. Ascariasis disebabkan oleh parasit Ascaris Lumbricoides
6. Anchilostomiasis disebabkan oleh parasit Ancylostoma
Duodenale
7. Enterobiasis disebabkan oleh parasit Enterobius
Vermicularis
8. Trichuriasis disebabkan oleh parasit Trichuris Trichuira
9. Taeniasis disebabkan oleh parasit Taenia Solium
10. Strongiloiddiasis disebabkan oleh parasit strongiloides
stercoralis
11. Trichinosis disebabkan oleh parasit trichinella spiralis
12. Filariasis disebabkan oleh parasit Brugia Malayi
2) Faktor Non Infeksi (Kaneshiro, 2010)

a) Faktor lingkungan (overheat)

b) Penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus,


vaskulitis, dll)

c) Keganasan (penyakit hodgkin, limfoma nonhodgkin,


leukemia, dll)

d) Pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan


antihistamin)

e) Efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari

f) Gangguan sistem saraf pusat

B. Malaise

Mekanisme Kelemahan Otot


Konsep kelemahan merupakan reaksi fungsional dari pusat
kesadaran yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh dua sistem
penghambat (inhibisi dan sistem penggerak/aktivasi). Sampai saat ini
masih berlaku dua teori tentang kelelahan otot, yaitu teori kimia dan
teori syaraf pusat (Tarwaka, 2004).
1) Teori kimia

Secara teori kimia bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat


berkurangnya cadangan energi dan meningkatnya sistem
metabolisme sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot,
sedangkan perubahan arus listrik pada otot dan syaraf adalah
penyebab sekunder.
2) Teori syaraf pusat

Bahwa perubahan kimia hanya penunjang proses, yang


mengakibatkan dihantarkannya rangsangan syaraf oleh syaraf
sensosrik ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot.
Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam
mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial gerakan
pada sel syaraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi ini
akan menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan
gerakan atas perintah kemauan menjadi lambat.
Kelelahan diatur oleh sentral dari otak. Pada susunan syaraf
pusat, terdapat sistem aktivasi dan inhibisi. Kedua sistem ini
saling mengimbangi tetapi kadangkadang salah satu daripadanya
lebih dominan sesuai dengan kebutuhan. Sistem aktivasi bersifat
simpatis, sedang inhibisi adalah parasimpatis.
Kesimpulannya Kelemahan otot yang terjadi pada skenario
dimungkinkan karena proses demam yang terjadi akan
meningkatkan metabolisme tubuh, sehingga energi dalam sel
berkurang dan menurunkan menurunkan arus listrik yang
disampaikan otak. Berkurangnya frekuensi ini akan menurunkan
kecepatan kontraksi, sehingga menjadi lambat dan lelah. Selain
itu, asam laktat yang dihasilkan dari metabolisme sel juga akan
menambah keadaan tubuh menjadi lelah.
C. Sakit Kepala

Sakit kepala dapat dihubungkan dengan terjadinya demam, saat


demam, tubuh melepaskan sitokin, seperti sitokin (interleukin-1, IL-6,
TNF-g, NGF). Sel mast melepaskan histamin, prostaglandin,
serotonin, ekspresi enzim cyclooxigenase yang merangsang
prostaglandin. Terjadi pelepasan reseptor vanilloid-1, neurokinin A,
substansi P, calcitonin generelated peptide (CGRP).
Semua substansi ini akan merangsang nosiseptor sehingga terjadi
proses sensitisasi sentral, lalu timbullah persepsi nyeri kepala.

Kesimpulannya, demam, malaise, penurunan nafsu makan dan sakit


kepala saling berkaitan. Mekanismenya diawali dari adanya pirogen eksogen
yang akan berikatan dengan sel darah putih, sehingga mengeluarkan pirogen
endogen, dimana pirogen endogen dan eksogen ini akan merangsang untuk
menaikkan set poin di hipothalamus. Hipothalamus akan menganggap suhu
sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas. Selain itu, pirogen
endogen lainnya akan berkaitan dengan terjadinya malaise, penurunan nafsu
makan dan sakit kepala.
3.2 Mengapa pasien menjadi halusinasi ?
Halusinasi terjadi ketika terjadi kelainan otak yang mengenai daerah
temporal, frontalis dan daerah limbik pada otak. Selain itu, disregulasi dari
system neurotransmitter pada daerah – daerah tersebut juga berpengaruh
terhadap terjadinya halusinasi.
Neurotransmitter yang berperan antara lain, dopamine dan GABA.
Ketidakseimbangan dopamin pada jalur mesolimbik berkontribusi terhadap
terjadinya halusinasi. Selain itu Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik
secara teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noradrenergik (Stuart & Laraia, 2005).
3.3 Mengapa pasien menjadi kejang?
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara
sebagai mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan
pelepasan listrik serebral yang berlebihan.(Betz, 2002). Untuk
mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan glukosa.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air.
Dalam keadaan normal membrane sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (NA+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam
sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan yang disebut potensial
membrane dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane
ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada
permukaan sel.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya
lepas muatan listrik. Lepas muatan ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas keseluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang.
3.4 Mengapa pasien hipersaliva?
Medulla merupakan pusat saliva. Pusat saliva mengontrol derajat
pengeluaran saliva melalui saraf otonom yang mensarafi kelenjar saliva.
Stimulasi simpatis dan parasimpatis meningkatkan sekresi saliva tetapi
jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Rangsangan
parasimpatis berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan
pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim
(Sherwood,2001).
Stimulasi simpatis menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit
dengan konsistensi kental dan kaya mukus. Karena rangsangan simpatis
menyebabkan sekresi saliva dalam jumlah sedikit, mulut terasa lebih kering
daripada biasanya saat sistem simpatis dominan, misalnya pada keadaan stres
(Sherwood,2001).
Jadi, berliur dapat disebabkan oleh terangsanya saraf parasimpatis.
Apabila saliva tidak terkontrol, dapat disebabkan oleh adanya kelainan pada
saraf parasimpatis tersebut
3.5 Mengapa pasien kehilangan nafsu makan ?
Penurunan nafsu makan dapat diakbitkan oleh terjadinya demam, dimana
saat demam akan terdapat sitokin salah satunya interleukiin, dimana IL-1
berhubungan dengan timbulnya gejala antara lain seperti timbulnya rasa
kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis albumin serta
transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1 dan
TNF-α. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa.
Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke
hipothalamus ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan.
Anak Laki – Laki 11
tahun

Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan


Fisik Penunjang

-Temperatur:
RPS:
40,80C
Demam Tinggi
-Hiper reflex
Malaise
plantar Pemeriksaan Darah Lengkap
Penurunan Nafsu
-Tonus WBC:15.300
Makan
meningkat di ke Limfosit: 99%
Sakit Kepala
empat Monosit: 1%
Tidak mau minum
ekstremitas Lumbal Punction
Gelisah
Halusinasi CSF: 72 mg/dL
Hypersaliva Protein: 140 mg/dL
Sulit Bernapas RBC: 3 sel/ ml3
Kejang WBC: 38 sel/ ml3
CT- Scan
BAB 4 Non-Enchanting Simetrical
hypodensitas di kedua ganglia
SISTEMATIKA MASALAH basalis
RPD:
Antibodi
Digigit anjing enam
IgG: 1 : 2048
bulan yang lalu
IgM: 1: 2512
RFFIT: 0,44

Diagnosis:
Rabies

Definisi Etiologi Patofisiologi Manifestasi Penatalaksanaan


Klinis dan dan Pencegahan
inkubasi
BAB 5

LEARNING OBJECTIVE

5.1 Jelaskan tantang rabies !


BAB 6
BELAJAR MANDIRI
BAB 7

BERBAGI INFORMASI

7.1 Jelaskan tentang rabies !


Definisi
Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf pusat
manusia dan mamalia (Tanzil, 2014).

Epidemiologi
Hewan-hewan utama yang menularkan rabies (HPR = Hewan Penular
Rabies) pada umumnya berbeda setiap benua.
a. Eropa : rubah dan kelelawar;
b. Timur tengah : serigala dan anjing;
c. Afrika : anjing dan antelop;
d. Asia : anjing;
e. Amerika utara : rubah, rakun;
f. Amerika selatan : anjing dan kelelawar;
(Pusdatin, 2016)
Kasus rabies di Indonesia pada manusia mengalami penurunan dari
tahun 2010 yaitu 206 kasus menjadi 98 kasus pada tahun 2014 dan
meningkat kembali pada tahun 2015. Salah satu penyebab peningkatan
tahun 2015 adalah kenaikan kasus rabies di Provinsi Bali, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Tengah (Pusdatin, 2016).
Etiologi
Virus rabies merupakan propotipe dari genus Lyssa-virus dari family
Rhabdoviridae. Virus rabies adalah single stranded RNA, berbentuk
seperti peluru berukuran 180 x 75 µm. genotip 1 merupakan penyebab
rabies yang paling banyak di dunia.
Gambar
Rhabdoviridae
Virus ini bersifat labil dan tidak viable bila berada diluar inang. Virus
menjadi tidak aktif bila terpapar sinar matahari,sinar ultraviolet,
pemanasan 1 jam selama 50 menit, pengeringan, dan sangat peka
terhadap pelarut alkalis seperti sabun, desinfektan, serta alkohol 70%.
Reservoir utama rabies adalah anjing domestik. (Jawetz,2010).
Faktor Risiko

a. Kontak dengan hewan liar (terutama anjing, kucing, kera)


b. Orang-orang yang bepergian ke daerah endemis, terutama lebih
dari 1 bulan, sebaiknya mendapat vaksinasi rabies
c. orang-orang yang bekerja di laboratorium, karantina hewan, dan
yang pekerjaannya berhubungan dengan anjing dan hewan yang
dapat menjadi penular rabies
d. Pemeliharaan hewan piaraan/hobi dilaksanakan penuh rasa
tanggung jawab dan memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan
diliarkan atau diumbar keluar pekarangan rumah tanpa
pengawasan dan kendali ikatan.
(kemenkes,2011)

Patofisiologi

Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui


jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing,
kera, musang, serigala, raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit
yang terluka atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut,
anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea. Infeksi melalui inhalasi
virus sangat jarang ditemukan.
Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, virus kemudian
menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara
sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf
sensorik tipe cepat. Setelah melewati medulla spinalis, virus bereplikasi
pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak.
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar
luas dalam semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel
sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri
dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam
serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom.
Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan
didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar
ludah, ginjal, dan sebagainya (Triakoso, N. 2008).
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi
antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun.

A. Gejala Klinis Pada Hewan

1) Stadium Prodromal

Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat


berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya
perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai
mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek
kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh
terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut
dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini
perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2) Stadium Eksitasi

Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal,


bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang,
menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan
hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi
murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan.
Hewan mengalami fotophobia atau takut melihat sinar sehingga
bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak
ketakutan.
3) Stadium Paralisis

Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga


sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung
berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan,
suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
B. Gejala Klinis pada Manusia

Manifestasi klinis rabies pada manusia dapat dibagi menjadi 4


stadium: prodromal non spesifik, ensefalitis akut yang mirip dengan
ensefalitis virus lain. disfungsi pusat batang otak yang mendalam
yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan koma
rabies yang mendalam.
Periode prodromal
Biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan
demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah
(fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan
batuk yang tidak produktif.
Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan
parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus
dan mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion
dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini
terdapat pada 50 sampai 80% pasien.
Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian
penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat
berupa furious atau paralitik.
Fase ensefalitis
Biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan,
rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi,
combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot,
meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis fokal. Yang
khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode
lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid
menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma.
Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya
terang, suara keras, sentuhan, bahkan rangsangan oleh udara sering
terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC.
abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang
ireguler, lakrimasi meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga
terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan,
meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris.
Paralisis pita suara biasa terjadi.
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase
ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan
kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan
kesulitan menelan menimbulkan gambaran tradisional “foaming at
the mouth”. Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien
menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang
akan menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang
otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya. Daya
tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan
maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.

Tabel
Perjalanan Penyakit Penderita Rabies
Lamanya (%
Stadium kasus) Manifestasi klinis

Inkubasi  < 30 hari Tidak ada


(25%)
 30-90 hari
(50%)
 90 hari – 1
tahun (20%)
 >1 tahun (5%)
2-10 hari

Prodromal Parestesi, nyeri pada luka


gigitan, demam, malaise,
anoreksia, mual &
muntah, nyeri kepala,
lethargi, agitasi, anxietas,
depresi

2-7 hari Halusinasi, bingung,


delirium, tingkah laku
aneh, agitasi, menggigit,
Neurologik hidropobia, hipersalivasi,
akut disfagia, afasia,
inkoordinasi, hiperaktif,
 Furio spasme faring, aerofobia,
us (80%) hiperventilasi, disfungsi
saraf otonom, sindroma
abnormalitas ADH

Paralisis flaksid

Autonomic instability,
hipoventilasi, apnea, henti
2-7 hari nafas,
hipotermia/hipertermia,
 Parali
hipotensi, disfungsi
tik
pituitari, rhabdomiolisis,
0-14 hari
aritmia dan henti jantung
 Koma

Penegakan Diagnosis (Soedarto, 2012)


Anamnesis
- Demam
- Mual
- Fotofobia &amp; Hidrofobia
- Bagian yang tergigit terasa gatal, sakit dan panas
- Liur yang berlebih
- Rasa Nyeri di tenggorokan sehingga pasien takut minum
Pemeriksaan Fisik

- Hiperreflek
- Sesak Nafas yang diakibatkan spasme laring

Pemeriksaan Penunjang

- LCS: ditemukan virus rabies dengan mikroskop elektron, protein dan


sel-sel meningkat jumlahnya

- Pemeriksaan serologi

- Uji fluoresensi

- Pemeriksaan darah: eosinofilia dan hiperglikemia

- Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak


spesifik.

- Seperti temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan


serebrospinal:

 Pleositosis dengan limfositosis

 Protein dapat sedikit meningkat

 Glukosa umumnya normal.

- Diagnosis rabies antemortem: deteksi antibodi spesifik virus rabies,


isolasi virus, dan protein virus atau RNA.
- Spesimen yang digunakan: cairan serebrospinal, serum, saliva, dan
Biopsi kulit

- Terdapat Badan Negri (Kunadi, 2014).

Badan negri adalah badan inklusi sitoplasma berbentuk oval atau


bulat, merupakan gumpalan nukleokapsid virus.

Gambar Badan Negri

Penatalaksanaan
Bagan

Flow chart penatalaksanaan kasus gigitan hewan tersangka/rabies

(Kemenkes RI, 2011)

1. PEP (Post Exposure Prophylaxis)


a. Perawatan luka,
membersihkan luka dari saliva yang mengandung virus rabies. Luka
segera dibersihkan dengan cara disikat dengan sabun dan air
(sebaiknya air mengalir) selama 10-15 menit. kemudian dikeringkan
dan diberi antiseptik (merkurokrom, alkohol 70%, povidon-iodine, 1-
4% benzalkonium klorida atau 1% centrimonium bromida).
Luka sebisa mungkin tidak dijahit. Jika memang perlu sekali, maka
dilakukan jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara
infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikkan
secara intramuskuler ditempat yang jauh dari tempat inokulasi
vaksin.
Perlu dipertimbangkan: pemberian serum/vaksin antitetanus,
antibiotik untuk mencegah infeksi, dan pemberian analgetik.
b. Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak:
Kategori 1:
Menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit
yang intak karena tidak terpapar, maka tidak perlu profilaksis, apabila
anamnesis dapat dipercaya.
Kategori 2:
Termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan,
badan, dan kaki. Merupakan luka resiko rendah, maka diberi VAR
saja.
Kategori 3:
Jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/kaki, genitalia, luka yang
lebar/dalam dan luka yang banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan
kelelawar, maka gunakan VAR dan SAR.
c. Vaksin Anti Rabies (VAR) Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada
semua orang dengan riwayat kontak dengan hewan pengidap rabies.
Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture vaccine, suatu
inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti: human
diploid cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964, purified
vero cell rabies vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985,
purified chick embryo cell vaccine (PCEC) yang mulai dipasarkan
tahun 1985.
1) Vaksin PVRV (Purified Vero Rabies Vaccine)
Terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml
dalam syringe.

Vaksin I II
PVRV

Waktu sesudah digigit pemberian


pemberian VAR
bersamaan
dengan SAR
sesudah
digigit

Cara dan disuntikkan secara Sama dg cara


Lokasi intramuskular (im) di I
pemberian daerah deltoideus/ lengan
atas kanan dan kiri atau di
anterolateral paha (pada
anak yang lebih kecil).

Dosis anak dan dewasa sama: Sama dg


pemberian dosis I,
0,5 ml, 4 kali pemberian
ditambah:
hari ke 0 (dua kali
Ulangan 0,5
pemberian sekaligus),
ml sama pada
hari ke 7 satu kali
anak dan
pemberian
dewasa pada
hari ke 21 satu kali
hari ke 90.
pemberian.

Vaksin tidak boleh diberikan di area gluteal karena buruknya


respons antibodi yang didapat. Pada daerah dengan keterbatasan
vaksin dan biaya, vaksin dapat diberikan secara intradermal.
Dengan cara ini, volume dan biaya vaksin dapat dikurangi 60-
80%.

2) Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)


Mempunyai kemasan yang terdiri dari dos berisi 7 vial @1 dosis
dan 7 ampul pelarut @2 ml dan Dos berisi 5 ampul @1 dosis intra
kutan dan 5 ampul pelarut @0,4 ml.
Suckling I II
Mice
Brain
Vaccine
(SMBV)

Waktu sesudah digigit bersamaan dengan


pemberia SAR sesudah
n digigit

Cara vaksinasi dasar: Sama dengan cara I


Lokasi subcutan (sc) disekitar
pemberia pusar
n
vaksinasi ulang:
intracutan (ic) dibagian
fleksor lengan bawah.

Dosis vaksinasi dasar: vaksinasi dasar:


pemberia
• anak :1 ml,a. anak 1 ml, dewasa
n
dewasa 2 ml 2 ml
• diberikan 7 kalib. diberikan 7 kali
pemberian setiap hari, pemberian setiap
Vaskinasi ulang hari,
Vaskinasi ulang
• anak 0,1 ml dan
dewasa 0,25 ml 1. anak 0,1 ml dan
• diberikan pada dewasa 0,25 ml
hari ke 11,15,30 dan2. diberikan pada hari
hari ke 90. ke 11,15,25,35 dan
hari ke 90.

d. Serum Anti Rabies (SAR)


SAR I II

Jenis Serum heterolog Serum


(Kuda),mempunyai kemasan homolog,
bentuk vial 20 ml (1 ml = mempunyai
100 IU) kemasan
bentuk vial 2
ml ( 1 ml =
150 IU).

Cara dan• infiltrasi disekitar Sama dengan


Lokasi luka sebanyak mungkin, cara I
pemberia sisanya disuntikkan
intramuskular.
n
• dengan melakukan
skin test terlebih dahulu.
Dosis 40 Iu/KgBB diberikan 20 Iu/ kgBB
pemberia bersamaan dengan diberikan
n pemberian VAR hari ke 0 bersamaan
dengan
pemberian
VAR hari ke 0

e. Dosis dan Cara Pemberian VAR untuk Pengebalan Sebelum Digigit


(Pre Exposure Immunization)

Khusus untuk mereka yang berisiko tinggi mendapat paparan virus


rabies, seperti staf laboratorium, dokter hewan, dan petugas yang
menangani hewan liar.
1) Vaksin PVRV (Purified Vero Rabies Vaccine)

terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml
dalam syringe.
Vaksin I II
PVRV

Cara dan intramuskular (im) di intra kutan


Lokasi daerah deltoideus (dibagian
pemberia fleksor lengan
n bawah)

Dosis Vaksinasi dasar: dua dosis: Vaksinasi


pemberia dasar
masing-masing 0,5 ml
n
pemberian pada hari 0 dan 0,1 ml
hari ke 28 pemberian hari
ke 0, 7, 28
Vaksinasi ulang:
Vaksinasi
• pada 1 tahun setelah
ulang
pemberian I dengan dosis
0,5 ml 0,1 ml tiap 6
• ulangan selanjutnya bulan-1 tahun
0,5 ml tiap tiga tahun.

2) Vaksin SMBV (Suckling Mice Brain Vaccine)

Terdiri dari dus yang berisi:


7 vial @1 dosis dan 7 ampul pelarut @2 ml

dus berisi 5 ampul @1 dosis intrakutan


5 ampul pelarut @0,4 ml.

Suckling Mice
Brain Vaccine
(SMBV)
Cara dan intrakutan dibagian fleksor lengan
Lokasi bawah.
pemberian

Dosis vaksinasi dasar:


pemberian
• 0,1 ml untuk anak dan 0,25 ml
untuk dewasa,
• Diberikan pada hari 0, hari 21
dan hari 42.
Vaksinasi ulang

0,1 ml untuk anak dan 0,25 untuk


dewasa setiap tahun

Komplikasi

Vaksin rabies yang dibuat dari jaringan syaraf binatang dapat


menimbulkan komplikasi neurologik yaitu ensefalopathi Post VAR
(EPVAR). Insiden EPVAR berkisar antara 1/33 sampai 1/20.000
diantara mereka yang divaksin dan lebih sering timbul pada orang
dewasa serta jarang pada anak-anak. Case fatility rate (CFR) dari
EPVAR berkisar antara 10% sampai 57%. Angka-angka ini tergantung
dari:

– banyaknya bahan jaringan syaraf kering yang mengandung mielin di


dalam vaksin
– bentuk klinik dari komplikasi pada susunan syaraf pusat tipe “cerebal”
atau dorsolumbar
– Vaksinasi Suckling Mouse Brain komplikasi ensefalomielitis post-
vaksinasi dan reaksi anafilaksis insiden: 1/20.000 Amerika latin
dengan angka kematian 22%. Baksin Human Diploid Cell, tidak ada
komplikasi neurologik atau sistemik yang berat, kecuali reaksi lokal
dan sistemik yang ringan. Komplikasi lainnya yaitu cacat seumur
hidup dan mempunyai angka kematian tinggi (Lestari, 2010)
Prognosis

Sangat buruk (malam). Karena Jika telah timbul gejala rabies,


pengobatan umumnya sudah tidak dapat lagi menyembuhkan penyakit
penderita. Menyebabkan encephalitis. Paralisis otot pernapasan.
Gangguan fungsi jantung. Kematian

Prognosa dari rabies klinis adalah kematian, akan tetapi pernah


dilaporkan 10 kasus yang sembuh sejak 1875 yaitu antara lain 2 kasus di
USA tahun 1970 dan 2 kasus di Argentina tahun 1972. Perlawanan
kekebalan akan terlambat bila dalam waktu 10 hari, sehingga disarankan
untuk kombinasi SAR dan VAR.

Pencegahan

Masa inkubasi penyakit: diberikan serum imun dan vaksinasi

a. Daerah endemik :

- hindari kontak dengan hewan liar (terutama anjing, kucing, kera)

- Setiap gigitan hewan liar, luka gigitan segera dibersihkan dan diberi
obat luar anti infeksi

- Penderita diberi imunoglobulin yang spesifik segera setelah digigit


hewan liar, yaitu Duck Embryo Vaccine (DEV) sebanyak 23 dosis
dan Human Diploid Cell Rabies Vaccine (HDCV) sebanyak 5 dosis.

b. Orang-orang yang bepergian ke daerah endemis, terutama lebih dari


1 bulan, sebaiknya mendapat vaksinasi rabies
c. Vaksinasi terhadap orang-orang yang bekerja di laboratorium,
karantina hewan, dan yang pekerjaannya berhubungan dengan anjing
dan hewan yang dapat menjadi penular rabies

d. Vaksinasi segera terhadap orang yang digigit oleh hwan yang


mungkin terinfeksi rabies

e. Pemeliharaan hewan piaraan/hobi dilaksanakan penuh rasa tanggung


jawab dan memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan diliarkan
atau diumbar keluar pekarangan rumah tanpa pengawasan dan
kendali ikatan.

f. Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan peliharaan secara berkala di


Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan), dinas kesehatan hewan atau
dinas peternakan, atau ke dokter hewan.

g. Segara melapor ke puskesmas/rumah sakit terdekat apabila digigit


oleh hewan tersangka rabies untuk mendapatkan vaksin anti rabies
(VAR) sesuai indikasi.

h. Apabila melihat binatang dengan gejala rabies, segera laporkan ke


Puskeswan, dinas peternakan/yang membawahi bidang peternakan
atau dinas kesehatan hewan. (Kemenkes RI, 2014)

Upaya Pengendalian Rabies


Pemerintah berkomitmen dalam pengendalian zoonosis, yaitu rabies, flu
burung, leptospirosis, antraks, pes, dan brusellosis seiring
dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 30 tahun 2011 tentang
pengendalian zoonosis dan dibentuknya Komnas Pengendalian Zoonosis
di pusat dan di provinsi dan kabupaten/kota. Komnas dan komda
bertugas mewadahi koordinasi lintas sektor seluruh pemangku
kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
serta perumusan kebijakan pengendalian zoonosis terpadu sesuai dengan
pendektan satu kesehatan (one health) dalam pengendalian zoonosis.
Khusus untuk pengendalian rabies, Pemerintah Indonesia sebagai
anggota ASEAN bersama 9 negara ASEAN lainnya telah
menandatangani deklarasi ASEAN Bebas Rabies pada tahun 2020, pada
Peraturan Menteri Pertanian dan Kehutanan AEAN ke-34 pada
September 2012 di Vientiane, Laos PDR.

Sasaran Pengendalian Rabies 2020 pada manusia: Cakupan profilaksis


Pra Pajanan / P PraP (Pre Exposure Prophylaxis) pada kelompok risiko
tinggi: 100%. Cakupan profilaksis Paska Paparan / P PasP (Post
Exposure Prophylaxis): 100% kasus gigitan terindikasi yang dilaporkan.

Tujuan Eliminasi Rabies 2020


Tujuan pengendalian rabies di Indonesia yaitu:
- Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020
- Mencegah kematian dan menurunkan kejadian pada manusia akibat
gigitan dan atau pajanan hewan penular rabies selama proses
menuju bebas rabies
- Mempertahankan daerah bebas rabies berkelanjutan agar tetap
bebas rabies
Strategi Eliminasi Rabies 2020

Untuk mencapai tujuan percepatan Indonesia Eliminasi Rabies Tahun


2020, diterapkan strategi terpadu dengan pendekatan prinsip “Satu
Kesehatan” (One Health) sebagai berikut:
- Advokasi dan sosialisasi
- Penguatan peraturan perundangan dan kebijakan
- Komunikasi risiko
- Peningkatan kapasitas
- Imunisasi massal pada GHPR anjing (Kementerian Pertanian)
- Manajemen populasi GHPR anjing (Kementerian Pertanian)
- Profilaksis pra dan paska pajanan/gigitan dengan VAR dan
tatalaksana kasus pada manusia
- Penguatan surveilans dan respon terpadu
- Penelitian operasional
- Kemitraan (pelibatan dukungan masyarakat, LSM, tokoh agama,
peusahaan, dan internasional).
Dari 10 strategi menuju Eliminasi Rabies 2020 ini, masing-masing
dirinci dalam pelaksanaan kegiatan Eliminasi Rabies 2020 terdiir atas 2
tahap, yaitu: Tahap I : tahun 2014-2017, merupakan tahap
operasional. Tahap II : tahun 2018-2020, yaitu kegitan terkait dengan
2 tahun terakhir tereliminasinya kasus rabes tak adanya kasus rabies
pada hewan dan manusia dengan sistem surveilans berjalan dengan baik
sesuai dengan standar sebagai persyaratan eliminasi rabies 2020.

(Kemenkes RI, 2014)


PENUTUP

8.1 Kesimpulan

Penyakit tropis merupakan penyakit yang berada didaerah tropis.


Penyakit tropis yang paling mendekati pada sekenario adalah rabies. Rabies
adalah penyakit infeksi virus yang berlangsung akut dan menyerang susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh rabiesvirus yang berasal dari family
Rhabdovirus. Penyebaran bisa terjadi kebanyakan dari hewan anjing melalui
gigitan hewan penderita tersebut atau kontak langsung dengan air liur dari
hewan yang menderita rabies. Gejala yang akan timbul pada manusia adalah
sensasi dingin atau kesemutan di tempat gigitan, tidak enak badan, sakit
kepala, anoreksia, mual, sakit tenggorokan, rasa gugup/keresahan,
hiperestesia, fotofobia, takut terhadap air dan sensitive terhadap suara keras.
8.2 Saran

1. Mahasiswa berusaha lebih kritis lagi dalam kegiatan tutorial dan


mengemukakan hasil belajarnya dari sumber yang valid.

2. Mahasiswa dapat lebih menguasai materi dan dapat menyampaikan materi


dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA

Anies. 2005. Mewaspadai penyakit Lingkungan. Jakarta : Gramedia

Betz, L.C. & Sowden, A.L. 2002. Keperawatan Pediatric: alih bahasa, Yan Tambayong;
editor edisi bahasa Indonesia, Sari Kurnia Ningsih. Monica Este, Jakarta: EGC

Dewi, Elmerillia Farah. 2008. Hubungan antara cakupan imunisasi campak dengan kejadian

campak. Skripsi terpublikasi. FKM. Universitas Indonesia. http://lib.ui.ac.id/ fi le?fi

le=digital/125942-S-5525-Hubungan%20 cakupan-Pendahuluan.pdf (sitasi pada tanggal

29 Oktober 2017)

Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A., 2005. Fever and Hyperthermia. In: Kasper, D.L., et. al.,
ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Singapore: The McGraw-Hill
Company

Dorland, W. N. 2008. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 28 Ed Jakarta: Elsevier.

Habif, Thomas P., 2004. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infections. In: Clinical
Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th Edition. Philadelphia,
Pennsylvania: Mosby.381-389.

Handoko, Ronny P., 2010. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M.,

Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 380-382.

Hunter, John, Savin, John, Dahl, Mark, 2003.Infections. In:Clinical Dermatology.


3rdedition.Massachusetts, USA: Blackwell Science. 208-209.

Halim, R.G. (2016) Campak pada Anak. Cdk-238. 43 (3), 186–189.

Kaneshiro, N.K., and Zieve, D. 2010. Fever. University of Washington. Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. 2007. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Penerjemah (W.M.
Roan). Jakarta: Widya Medika.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Flow Chart Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan
Tersangka/ Rabies. Jakarta: Subdit Pengendalian Zoonosis, DIT PPBB, DITJEN
PP &amp; PL.. Available at
pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Flow_Chart_Rabies.pdf. Diakses pada 29
November 2019.

Kementerian Kesehatan (2014) InfoDATIN: Situasi dan Analisi Hepatitis. Pusat Data dan

Informasi.p.8.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Flow Chart Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan
Tersangka/ Rabies. Jakarta: Subdit Pengendalian Zoonosis, DIT PPBB, DITJEN PP &
PL.. Available at pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Flow_Chart_Rabies.pdf. Diakses
pada 02 November 2016.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Infodatin: Situasi dan Analisis Rabies. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kemenkes RI.

Available at www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-rabies.pdf.
Diakses pada 02 November 2016.

Kunadi, Tanzil. 2014. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal WIDYA


Kesehatan dan Lingkungan Volume 1 (1): 63-66. Available at
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=250181&val=6686&title=PENYAKIT%20RABIES%20DAN
%20PENATALAKSANAANNYA .Diakses pada 02 November 2016.

Lestari, Ida., dan Dewa Made Ngurah Dharma. 2010. Lokakarya Nasional Penyakit
Zoonosis: Review Rabies. Jakarta: Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat
Hewan. Available at http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lkzo05-
20.pdf. Diakses pada 02 November 2016.
Nugroho. D. K, Pudjiatmoko, Diarmitha. I. K, Tum. S., Schoonman. S. 2013. Analisa Data
Surveilans Rabies (2008-2011) di Propinsi Bali. OSIR,Volume 6, Issue 2, hal 8-12

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016. Jangan Ada Lagi Kematian Akibat

Rabies. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Triakoso, N. 2008. Bahan Ajar Ilmu Penyakit Bahan Ajar Ilmu Penyakit dalam
Penyakit Sistem Penyakit Sistem Digesti Veteriner Ii. Bagian Klinik Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlanggasurabaya: FKH airlangga

Tanzil, K. 2014. Penyakit Rabies Dan Penatalaksanaannya. Bagian Mikrobiologi Universitas


Katolik Indonesia Atma Jaya. E-Journal WIDYA. ISSN 2338-7793 Kesehatan Dan
Lingkungan Volume 1 Nomor 1; 61-67

Toit DR, Ward KN, Brown DWG, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as exanthema

subitum (roseola infantum) Br Med J, 1996 ; 312 : 101-2.

Price, A. S., Wilson M. L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC

Sjahrir H. 2008. Patofisiologi nyeri kepala. In: Nyeri kepala dan vertigo. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press; 2008.

Soedarto. 2012. Penyakit Zoonosis Manusia Ditularkan oleh Hewan. Jakarta: Sagung Seto.

Tarwaka. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Manajemen dan implementasi K3 di


tempat kerja. Surakarta: Harapan Press.

Triakoso, N. 2008. Bahan Ajar Ilmu Penyakit Bahan Ajar Ilmu Penyakit dalam Penyakit
Sistem Penyakit Sistem Digesti Veteriner Ii. Bagian Klinik Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlanggasurabaya: FKH airlangga

Anda mungkin juga menyukai