Kelompok 2
Ketua : Miftahul Jannah (1613010036)
Sekretaris : Nida Rizqi Amalia (1613010020)
Anggota : Gilang Indra O (1613010015)
Risda Yuniarti (1613010019)
Dela Putri Salsabila (1613010023)
Arifia Prima Putri (1613010024)
Raden Muhammad (1613010042)
Winda Nur Himawati (1613010043)
Dita Juantika (1613010044)
Mohammad Dinung Adi (1613010047)
HALAMAN JUDUL
SKENARIO 2 ................................................................................................. 1
i
SKENARIO 2
25-year-old man was admitted to hospital with 3 days of general malaise, fever of
102.2°F (39°C), headache, retro-orbital pain, arthralgia, and myalgia. Muscle aches were
localised to the calves. He denied recent travel or contact with animals. He works harvesting
fruit on a local farm. The patient stated that, during the preceding 14 days, he was working
after heavy rainfall on the farm.
2
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH
1.1 Myalgia
Nyeri otot (Myalgia) adalah suatu istilah umum untuk suatu gejala yang
disebabkan berbagai kelainan dan kondisi medis. Penyebab yang paling sering
disebabkan oleh ketegangan (kontraksi) yang berlebihan, saat latihan atau bekerja berat
(Dorland, 2008).
1.2 Arthralgia
Nyeri pada satu atau lebih sendi, disebabkan oleh berbagai jenis cedera atau
kondisi yang tidak diketahui penyebabnya, dan bisa mengganggu (Muttaqin, 2008).
3
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
BAB III
CURAH PENDAPAT
4
Hipotalamus akan dippengaruhi oleh IL , IL 6 dan TNF sehingga terjadi metabolisme
asam arakhidonat yang akan mengaktivkan mediator prostaglandin E2 sehingga tubuh
akan meningkatkan suhu sebagai responnya. Peningkatan suhu tersebut akan
menyebabkan peningkatan pada metabolisme tubuh itu sendiri sehingga menyebabkan
tubuh mengalami kelelahan. Histamin akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah. Vasodilatasi pembuluh darah tersebut akan menyebabkan gangguan
pada tekanan intrakranial sehingga akan berakibat sakit kepala. Sakit kepala merupakan
nyeri alih yang dapat beralih ke otot dan orbital, dimana bila otot dan orbital mengalami
kontraksi akan menyebabkan nyeri pada retro orbital (Sherwood, 2009).
Nyeri pada betis pasien bisa disebabkan oleh karena kerusakan mikro yang
terjadi di dalam sel-sel otot tersebut. Hal ini terjadi ketika melakukan
beberapa aktivitas dimana otot sebelumnya jarang digunakan tiba-tiba harus
melakukan kerja yang jauh lebih berat daripada biasanya. Pasien di skenario
ini kemungkinan merasakan nyeri betis juga karena adanya kerusakan mikro
yang diakibatkan penumpukan asam laktat karena bekerja berat sehingga
terjadi metabolisme anaerob. Asam laktat sangat penting karena
memungkinkan tubuh untuk mengubah glikogen menjadi energi tanpa perlu
kehadiran oksigen, seperti glikolisis aerobik normal (proses dimana tubuh
menggunakan glikogen untuk energi). Dengan mengubahnya menjadi asam
laktat dan bukannya ATP seperti biasa, ketika tidak ada oksigen yang
banyak tersedia, memungkinkan proses glikolisis untuk berlangsung selama
beberapa menit, bukan hanya beberapa detik. Setelah tubuh memiliki cukup
cadangan oksigen, glikogen dapat kembali dikonversi ke ATP dan asam
laktat dapat dikonversi kembali menjadi glukosa oleh hati dan jaringan lain
yang akan digunakan kemudian. Hal ini membuat penggunaan glikogen
jauh lebih efisien ketika tubuh kekurangan pasokan oksigen (Price dan
Wilson, 2013).
5
Nyeri otot juga disebabkan oleh gangguan ultrastruktural dari
myofilaments, terutama karena kerusakan jaringan ikat otot itu sendiri.
Biopsi otot yang diambil sehari setelah latihan keras sering menunjukkan
perdarahan dari filamen yang mengikat serat otot tersebut. Rasa sakit
kemudian dianggap sebagian besar karena kerusakan pada jaringan ikat,
yang pada gilirannya meningkatkan sensitivitas nociceptors otot tersebut
(reseptor nyeri), hal ini kemudian menyebabkan rasa sakit pada saat otot-
otot tersebut sedang digunakan (Price dan Wilson, 2013).
Ujung saraf nociceptive pada otot dan jaringan lain dilengkapi dengan
banyak reseptor endogen nyeri. Salah satunya adalah purinergic reseptor
yang diaktivasi oleh ATP dan vaniloid reseptor yang sensitif terhadap
penurunan pH. Reseptor purinergic di aktivasi oleh kerusakan jaringan yang
disebabkan nekrosis sel yang diikuti pelepasan ATP. pH yang rendah
terdapat pada banyak kondisi patologis seperti iskemia dan inflamasi. Pada
6
9
1
e) Terpapar atau bersentuhan dengan bangkai hewan, cairan
infeksius hewan seperti cairan kemih, placenta, cairan amnion,
dan lain-lain;
f) Memegang atau menangani spesimen hewan/manusia yang
diduga terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau
tempat lainnya;
g) Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang berisiko kontak dengan
sumber infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim
penyelamat atau SAR, tentara, pemburu, dan para pekerja di
rumah potong hewan, toko hewan peliharaan, perkebunan,
pertanian, tambang, serta pendaki gunung, dan lain-lain.
(Kemenkes RI, 2017)
Perilaku manusia yang menyebabkan penularan leptospirosis, yaitu:
tidak mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
bekerja di sawah, tidak menggunakan sepatu bot dan sarung tangan saat
bekerja (petani, tukang kebersihan, pedagang di pasar tradisional, pembantu
rumah tangga), tidak melakukan vaksinisasi terhadap hewan-hewan
peliharaan dan hewan ternak dengan vaksin strain lokal (Riyaningsih, 2012).
3.4 Apa hubungan antara riwayat bepergian dan kontak hewan dengan
keluhan pasien?
Salah satu cara penularan penyakit ini dapat terjadi melalui vektor.
Saat ini banyak penyakit zoonosis pada manusia yang merupakan Kejadian
Luar Biasa (KLB) muncul karenan peranan vektor yang tak terkendali.
Agen penyakit ditularkan dari individu yang terinfeksi kepada individu lain
oleh vektor arthropoda dan siput sebagai induk semang antara. Penularan
dapat terjadi bila ada agen penyakit seperti virus, bakteri, protozoa atau
cacing, vektor seperti caplak atau nyamuk, dan manusia. Secara definisi
vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai
penular penyakit baik pada manusia maupun hewan (Beriajaya, 2014).
2
Pasien datang dengan keluhan malaise, deman 39°C, sakit kepala, nyeri
retro orbital, arthralgia, myalgia, nyeri otot terpusat pada betis. Dari hasil
ke daerah tertentu. Pasien bekerja sebagai petani dan selama 14 hari bekerja
1. Leptospirosis
dengan gejala demam, sakit kepala dan nyeri otot (mialgia). Sisanya 10%
2. PES
dikenal dengan black death karena menyebabkan tiga jenis wabah, yaitu
3
tubuh, menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening, panas tinggi, sakit
kematian datang dengan cepat dan tingkat kematian bervariasi dari 30-
75% bagi bubonik, 90-95% bagi pneumonik dan 100% bagi septikemik.
Bubonik adalah jenis penyakit pes yang memiliki gejala antara lain demam
tinggi, detak jantung menjadi cepat dan tekanan darah turun, terjadi
dalam tubuh) pada paru-paru. Gejalanya antara lain batuk dengan dahak
Lesu
(IDAI, 2017)
4
5
BAB IV
ANALISIS MASALAH
5
BAB V
SASARAN PEMBELAJARAN
6
BAB VI
BELAJAR MANDIRI
7
BAB VII
HASIL BELAJAR
7.1 Leptospirosis
1) Definisi
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang
manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan
digolongkan sebagai zoonosis (Zein, 2010).
Leptospirosis adalah penyakit bakterial penyebab morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia. Meskipun penyakit ini endemik di banyak
komunitas kumuh di kota ataupun desa serta dapat menyebabkan epidemi
sporadik, beban sebenarnya penyakit ini hanya sedikit diketahui. Penyakit ini
sering tidak terdiagnosis karena tanda dan gejalanya sulit dibedakan dari
penyakit endemis lain serta kurang tersedia laboratorium diagnostik (Watt,
2013).
2) Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari
famili Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Pewarnaan untuk kuman ini
ialah impregnasi perak. Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di
suhu 28°C-30°C. 6 Genus Leptospira terdiri dari dua spesies yaitu L.
interrogans (bersifat patogen) dan L. biflexa (bersifat saprofit/non-
patogen). Leptospira patogen terpelihara dalam tubulus ginjal hewan
tertentu. Leptospira saprofit ditemukan di lingkungan basah atau
lembab mulai dari air permukaan, tanah lembab, serta air keran (Gracia
LS, 2010).
Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang
terbagi lagi menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi
antigennya. Beberapa serovar L. interrogans yang patogen pada
manusia antara lain L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L.
bataviae, dan L. hardjo. Berbagai spesies hewan, terutama mamalia,
dapat bertindak sebagai sumber infeksi manusia, diantaranya ialah
(Garcia LS, 2010) :
8
1. Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing,
landak
2. Hewan domestik (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau)
3. Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran
4. Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira .
3) Faktor risiko
Menurut Jawetz E. (2010) terdapat beberapa faktor resiko leptospirosis,
diantaranya :
a) kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospira atau urine
tikus saat terjadi banjir;
b) kontak dengan sungai ataudanau dalam aktifitas mandi, mencuci atau
bekerja di tempat tersebut;
c) kontak dengan persawahan ataupun perkebunan (berkaitan dengan
pekerjaan) yangtidak menggunakan alas kaki;
d) kontak erat dengan binatang, seperti babi, sapi, kambing, anjing yang
dinyatakan terinfeksi Leptospira;
e) Terpapar atau bersentuhan dengan bangkai hewan, cairan infeksius
hewan seperti cairan kemih, placenta, cairan amnion, dan lain-lain;
f) memegang atau menangani spesimenhewan/manusia yang diduga
terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat
lainnya;
g) Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang berisiko kontakdengan
sumber infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim penyelamat
atau SAR, tentara, pemburu, dan para pekerja di rumah potong
hewan, toko hewan peliharaan, perkebunan, pertanian, tambang, serta
pendaki gunung, dan lain-lain.
4) Epidemiologi
Diperkirakan 0,1 hingga 1 per 100.000 orang yang tinggal di daerah
subtropis per tahun menderita leptospirosis, meningkat hingga 10 atau lebih
per 100.000 orang di daerah tropis. Jika epidemi, insidensnya dapat
9
meningkat hingga 100 atau lebih per 100.000 orang.Data dari Filipina
melaporkan prevalensi 10/100.000, rata-rata terdapat 680 kasus leptospirosis
dengan 40 kematian setiap tahunnya. Di Indonesia pada tahun 2012
dilaporkan terdapat 239 kasus leptospirosis dengan 29 kasus kematian (case
fatality rate 12,13%) (Watt, 2013).
Pada iklim sedang infeksi leptospira didapatkan terutama melalui paparan
rekreasional (mengendarai kano, berlayar, ski air) atau pekerjaan, atau hidup
di daerah kumuh. Di daerah tropik, paparan terutama melalui aktivitas
pekerjaan seperti bersawah. Infeksi jarang dari kontak langsung dengan
darah, urin, atau jaringan hewan terinfeksi. Terdapat sekitar 160 spesies
hewan yang menjadi tempat perlindungan bakteri tersebut, reservoir yang
paling penting adalah tikus. Yang ada di mana-mana adalah
icterohaemorrhagiae dengan spesies tikus Rattus, hardjo dengan sapi,
canicola dengan anjing, dan pomona dengan babi dan sapi.1,5 Klasifikasi
serovar bermanfaat untuk tujuan epidemiologis dengan melihat banyaknya
hubungan reservoir-serovar yang tersebar secara geografis (Day et al, 2010).
5) Penegakan diagnosis
Kriteria Diagnosis Leptospirosis
Ada (3) kriteria yang ditetapkan dalam mendiagnosis kasus Leptosprosis yaitu:
a. Kasus suspek
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala disertai:
1) Nyeri otot;
2) Lemah (malaise) dengan atau tanpa;
3) Conjungtival suffusion (mata merah tanpa eksudat);
4) Ada riwayat terpapar lingkungan yang terkontaminasi dalam 2 minggu
sebelumnya:
a) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/urin tikus
saat terjadi banjir;
b) Kontak dengan sungai, danau dalam aktifitas mencuci, mandi
berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit bambu dll;
c) Kontak dipersawahan atau perkebunan berkaitan dengan pekerjaan
10
sebagai petani/pekerja perkebunan yang tidak menggunakan alas kaki;
d) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing, anjing yang
dinyatakan secara laboratorium terinfeksi Leptospira;
e) Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan cairan
infeksius saat hewan berkemih, menyentuh bahan lain seperti plasenta,
cairan amnion, menangani ternak seperti memerah susu, menolong
hewan melahirkan dll;
f) Memegang atau menangani spesimen hewan/manusia yang diduga
terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat
lainnya;
g) Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan sumber infeksi
seperti dokter hewan, dokter perawat, pekerja potong hewan, petani,
pekerja perkebunan, petugas kebersihan dirumah sakit, pembersih
sekolahan, pekerja tambang, pekerja tambak udang/ikan air tawar,
tentara, pemburu;
h) Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan hobby dan
olah raga seperti pendaki gunung, memancing, berenang, arung
jeram, trilomba juang (triathlon), dll.
b. Kasus Probable
1) Kasus suspek dengan minimal 2 gejala/tanda klinis dibawah ini:
a) Nyeri betis;
b) Ikterus;
c) Oliguria/anuria;
d) Manifestasi perdarahan;
e) Sesak nafas;
f) Aritmia jantung;
g) Batuk dengan atau tanpa hemoptisis;
h) Ruam kulit.
2) Kasus suspek dengan RDT (untuk mendeteksi lgM anti Leptospira)
positif, atau;
3) Kasus suspek dengan 3 dari gambaran laboratorium dibawah ini;
11
a) Trombositopenia <100 000 sel/mm;
b) Lekositosis dengan neutropilia> 80%;
c) Kenaikan bilirubin total >2gr% atau amilaseatau CPK;
d) Pemeriksaan urin proteinuria dan/atau hematuria.
c. Kasus konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probabeldisertai salah satu dari berikut ini:
1) Isolasi bakteri Leptospiradari spesimen klinik;
2) PCR positif;
3) Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya kenaikan
titer 4x dari pemeriksaan awal;
4) Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel.
(Kemenkes RI, 2017)
6) Tatalaksana
Pengobatan dengan antibiotika yang sesuai dilakukan sejak kasus suspek
ditegakkan secara klinis.
a. Terapi untuk khusus Leptospirosis ringan:
1) Pilihan: Doksisiklin 2X100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada
anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
2) Alternatif ( Bila tidak dapat diberikan doksisiklin)
Amoksisilin 3X500mg/hari pada orang dewasa;
Atau 10-20mg/kgBB per 8 jam pada anak selama 7 hari;
Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid.
12
(Kemenkes RI, 2017)
Kemenkes RI, 2017. Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
7) Komplikasi
a) Meningitis
b) Gagal ginjal akut :
- Invasi/ nefrotoksis leptospira : menyebabkan kerusakan tubulus dan
glomerulus oleh karena leptospira menyebar secara hamtogen
- Reaksi imunologi
c) Gagal hati akut
Menurunnya ekskresi bilirubin sehingga kadar bilirubin darah meningkat.
d) Gangguan respirasi
Batuk, dispnea, dan hemoptosis. Perdarahan paru terjadi karena masuknya
endotoksin secara langsung sehingga menyebabkan kerusakan kapiler dan
terjadi perdarahan.
e) Gangguan Kardiovaskular
f) Pankreatitis akut
Oleh karena nekrosis sel-sel pankreas akibat infeksi bakteri Leptospira
8) Prognosis
Prognosis pasien yang terkena Leptospirosis tergantung pada keadaan
umum dari pasien tersebut. Prognosis leptospirosis juga dipengaruhi oleh
virulensi, jumlah paparan mikroorganismenya, luas luka, dan daya tubuh dari
pasien tersebut. Umumnya prognosis Leptospirosis adalah baik, pasien dapat
kembali normal meskipun terjadi disfungsi berat (Soedarma SP, 2008).
Pada beberapa pasien, pemulihan dapat berlang-sung berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Pada anak angka kematian lebih rendah
dibandingkan dewasa. Gejala sisa mungkin terjadi, termasuk kelelahan kronis
dan gejala neuropsikiatri lainnya seperti sakit kepala, paresis, kelumpuhan,
perubahan suasana hati, dan depresi (Soedarma SP, 2008)
Sekitar sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik dapat
mengalami nyeri kepala periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis
13
leptospirosis mengalami kehilangan ketajaman penglihatan dan pandangan
yang kabur. Leptospirosis selama kehamilan dapat menyebabkan kematian
janin, aborsi, atau lahir mati (Soedarma SP, 2008).
9) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan
tikus atau lingkungan yang tercemari urin tikus terinfeksi, maka orang
terdiagnosis leptospirosis
14
terinfeksi dari binatang ternak, binatang rumah, maupun binatang liar.
15
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
Penanganan awal pada leptospirosis dengan melakukan pengawasan
untuk terjadinya dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal yang
dapat terjadi pada kasus leptospirosis, kemudian pemberian antibiotik harus
segera diberikan secepat mungkin untuk membunuh mikroorganisme
Leptospira merupakan penyebab utama leptospirosis.
Pencegahan dapat dilakukan baik dari segi manusia, lingkungan
maupun hewannya. Salah satunya adalah mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan atau sebelum melakukan aktivitas lain yang memerlukan
higeinitas yang baik, menyimpan piring, gelas atau tempat makanan dan
minuman jauh dari jangkauan tikus yang merupakan pembawa utama
penyakit leptospirosis pada manusia serta menggunakan alat pelindung diri
ketika melakukan aktivitas berkebun ataupun ke tempat-tempat yang kurang
terjaga kebersihannya, sehingga diharapkan tidak terkontak dengan
mikroorganisme leptospira interogans.
Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan setempat dan setelah
melakukan diagnosis dan terapi awal pasien dengan leptospirosis harus
segera dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam untuk dilakukan
penanganan lebih lanjut.
8.2 Saran
Pada tutorial kali ini mahasiswa dapat membahas dengan baik skenario
yang disajikan. Diharapkan mahasiswa lebih aktif serta mendalam saat
berlangsungnya tutorial.
16
DAFTAR PUSTAKA
kesehatan-anak/himbauan-idai-tentang-peningkatan-kewaspadaan-
terhadap-kasus-difteri
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Medical Microbiology (25th ed). New York:
Mc Graw Hill, 2010; p. 483-7.
Kemenkes RI, 2017. Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis.
Jakarta. Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan
tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2012
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Leptospirosis. Diakses dari
https://www.depkes.go.id/pdf.php?id=15022400002
Kementrian Kesehatan RI. 2017. PETUNJUK TEKNIS PENGENDALIAN
LEPTOSPIROSIS. Jakarta
17
Lingkungan Kejadian Leptospirosis di Jawa Tengah (Studi Kasus di Kota
Semarang, Kabupaten Demak dan Pati). Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia. Vol. 11 No. 1.
Sherwood, L., 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi VI. Jakarta :
EGC
Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH. 2008 Leptospirosis. In:
Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH, editors. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed). Jakarta: IDAI,
Watt G. Leptospirosis. In: Magill AJ, Hill DR, Solomon T, Ryan ET, editors.
Hunter’s tropical medicine and emerging infectious diseases. 9th ed.
London: Saunders Elsevier; 2013. p. 597-601
Zein U.Leptospirosis. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Vol 3.5 th ed.
Jakarta: Interna Publishing
18