Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Salah satu ciri makhluk hidup adalah bergerak. Untuk bergerak makhluk
hidup membutuhkan otot. Otot merupakan jaringan yang selain untuk membuat
gerakan juga untuk memberikan masa pada tubuh. Otot bisa bergerak karena
merupakan ‘sasaran’ dari eferen yang dikirimkan dari cerebrum, untuk gerak
sadar, atau dari medulla spinalis, untuk gerak tak sadar.
Otot dapat berkontraksi. Kontraksi otot ddisebabkan karena adanya kadar
kalsium dalam darah. Saat ada impuls dalam bentuk asetilkolin (ACh) dari akson,
dikirim ke Motor end plate dengan bantuan neurotransmitter junction. Kemudian
asetilkolin berada di T-Tubule yang menyebabkan action potential yang
merangsang pelepasan kalsium dari sarcoplasmic reticulum. Lepasnya kalsium
ditangkap oleh troponin pada aktin. Hal ini menyebabkan membukanya
tropomyosin yang membentuk adanya binding site, yaitu tempat dimana kepala
myosin akan menempel. Hal ini disebut crossing Kepala myosin telah memiliki
ADP + Pi, yang akan membawa kepala myosin pada binding site. Hal ini yang
disebut dengan kontraksi otot. Menempelnya kepala myosin berfungsi agar pita
aktin bergeran mendekati M line. Hal ini disebut dengan peristiwa kontraksi otot.
Kemudian dengan ATP, kepala myosin akan terlepas dari binding site. Hal ini
yang disebut dengan relaksi otot.
Dengan melakukan kontraksi, anggota gerak makhluk hidup bisa
bergerak. Apabila tidak, maka otot akan tidak berfungsi dan bahkan bisa mengecil
atau dapat disebut dengan atropi.

1.2 Tujuan Praktikum.


1.2.1 Kegiatan I : Kedutan Otot dan Periode Laten.

1
1. Mahasiswa memahami istilah coupling eksitasi-kontraksi, stimulus
elektrik, kedutan otot, periode laten, fase kontraksi, dan fase
relaksasi.
2. Mengamati kedutan otot dengan intensitas stimulus elektrik yang
berbeda.
3. Mengamati dan mengukur durasi periode laten.

1.2.2 Kegiatan II : Pengaruh Stimulus Tegangan pada Kontraksi Otot


Rangka.
1. Mahasiswa memahami istilah motor neuron, motor unit, recruitment,
tegangan stimulus, stimulus ambang, dan stimulus maksimal.
2. Mahasiswa memahami bagaimana motor unit recruitment dapat
meningkatkan tegangan otot.
3. Mengamati pengaruh peningkatan besarnya kekuatan stimulus pada
otot.
4. Memahami bagaimana meningkatkan besarnya kekuatan stimulus
pada otot yang disolasi dalam percobaan motor unit recruitment.

1.2.3 Kegiatan III : Tetanus pada Otot Rangka yang Diisolasi.


1. Mahasiswa memahami istilah stimulus frequency, unfused
tetanus, dan maximal tetanic tension.
2. Mengamati pengaruh peningkatan frekuensi stimulus pada otot
rangka.
3. Memahami bagaimana peningkatan frekuensi stimulus pada otot
rangka yang mengakibatkan unfused atau fused tetanus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Otot adalah salah satu jaringan yang dimiliki makhluk hidup. Untuk
melakukan gerakan, makhluk hidup memerlukan otot. Otot ada 3 macam yaitu
1. Otot lurik / Skeletal muscle.
Otot yang menempel pada rangka. Disebut lurik karena berlurik-lurik
(garis-garis hitam putih) inti terletak di tengah. Otot lurik bekerja
secara volunteer (dapat dikendalikan).
2. Otot polos.
Otot yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan. Berbentuk
gelondong dan intinya ada ditepi. Otot polos bekerja involunter.
3. Otot jantung.
Otot yang terdapat pada jantung. Memiliki ciri-ciri seperti otot lurik
yaitu memiliki garis-garis gelap terang dan inti ditengah, namun otot
jantung memiliki cabang. Otot jantung memiliki ritme dan bekerja
secara involunter.
Kontraksi pada otot dibagi menjadi 3 macam yaitu kontraksi isomeric dan
isotonic. Isomerik adalah kontraksi yang menyebabkan tegangan namun
panjang otot tetap. Sedangkan isotonic, tegangann otot tidak berubah namun
panjang yang berbubah. Seseorang dapat bergerak apabila otot berkontraksi
atau dikenal dengan istilah coupling eksitasi-kontraksi. Kontraksi terjadi
ketika adanya impuls dari akson yang disampaikan ke motor end plate dalam
bentuk asetilkolin dengan perantaraan neuromuscular junction. Hal ini
menimbulkan adanya action potential pada T-tubule yang merangsang
lepasnya kalsium dari sarcoplasmic reticulum. Lepasnya kalsium ditangkap
oleh troponin, kemudian tropomyosin terbuka dan terbentuklah binding site.
Kemudian kepala myosin yang memiliki ADP + Pi, mengangkat kepala
myosin dan menempel pada binding site. Hal ini disebut crossing bridge. Hal
ini yang dimaksud dengan fase kontraksi. Kemudian dengan adanya ATP

3
yang terbentuk dalam tubuh membuat kepala myosin terlepas dari binding
site, hal inilah yang disebut dengan fase relaksasi.
ATP yang digunakan untuk berelaksasi dapat diperoleh melalui beberapa
cara yaitu :
1. Glikolisis yaitu proses pemecahan glukosa menjadi molekul yang lebih
kecil. Glikolisis dibagi menjadi 2 yaitu Aerob dan Anaerob.
a. Aerob.
Glikolisis aerob adalah glikolisis yang membutuhkan oksigen.
Terjadi di mitokondria. Glukosa dipecah menjadi 2 Asam piruvat.
Karena menggunakan oksigen, maka proses berlanjut pad
afosforilasi oksidatif, siklus krebs, dan transport elektron.
Sehingga pada akhrinya dihasilkan 36 ATP. Hasil ATP banyak,
namun prosesnya lama.
b. Anaerob
Glikolisis anaerob adalah glikolisis yang tidak membutuhkan
oksigen. Terjadi di matriks. Glukosa dipecah menjadi 2 asam
piruvat, kemudian menjadi ATP dengan hasil samping yaitu asam
laktat. Asam laktat inilah yang mengakibatkan rasa lelah. Selain
itu asam laktat yang masuk dalam peredaran darah menyebabkan
adanya asidosis yaitu penurunan Ph darah.
2. Fosforilasi oksidatif.
Proses ini berlaku di mitokondria, saat tersedia cukup oksigen. Oksigen
dibutuhkan untuk menunjang proses pembentukan ATP hingga transport
elektron yang secara efisien menunjang pengambilan energi dari nutrient-
nutrien yang ada. Molekul yang digunakan biasanya adalah glukosa dan
asam lemak.
3. Kreatin fosfat
Kreatin fosfat adalah sumber ATP yang digunakan ketika awal
melakukan aktifitas berat. Biasanyas hanya berlaku untuk 15 detik pertama
kemudian ATP dari keratin fosfat akan habis. Ketika ATP berkurang, terjadi

4
pemindahan gugus fosfat berenergi tinggi dari keratin fosfat simpanan untuk
membentuk lebih banyak ATP. Proses pembentukan ATP melalui keratin
fosfat ini berjalan cepat karena hanya menggunakan 1 jenis enzim. Namun
hasilnya hanya sedikit ATP saja yaitu enzim keratin kinase.
Otot dapat berkontraksi karena memiliki kalsium. Kalsium haruslah
dalam jumlah yang pas sehingga otot mampu melakukan kontraksi dengan baik
lalu dengan ATP melakukan relaksasi yang baik pula. Kalsium terletak pada
intrasel. Apabila jumlahnya banyak maka akan mengakibatkan hiperkalsemia.
Hiperkalsemia muncul akibat konsumsi terlalu banyak vitamin D, akibat
penggunaan kalsium yang berlebihan sehingga meningkatkan kadar kalsium
darah dari batas normal, juga karena dehidrasi, cairan dalam darah akan
berkurang lalu konsentrasi kalsium akan meningkat. Saat kadar kalsium dalam
darah menurun, maka tubuh akan memproduksi hormone paratiroid yang lebih
banyak. Sebaliknya saat kadar kalsium dalam darah meingkat, tubuh akan
menghasilkan hormone yang lebih sedikit. Saat kalsium dalam darah meningkat
maka kelenjar tiroid akan menghasilkan kalsitonin (hormone yang menghambat
pelepasan kalsium dari tulang). Hal inilah yang menyebabkan hiperkalsemia dan
tubuh tidak dapat mengatasi pengaruh dari terlalu banyaknya kalsium.

5
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan.


1. Komputer / laptop.
2. Software PhysioEx 9.0 : Laboratory Stimulations in
Physiology.

3.2 Prosedur kerja.


3.2.1 Kegiatan 1 : Kedutan otot dan periode laten.
1. Bukalah software PhysioEx dan klik Exercise 2 :
Skeletal Muscle Physiology.
2. Klik activity 1 : The Muscle Twitch and The Latent
Period.
3. Klik Introduction kemudian jawablah pre-lab quiz.
4. Klik experiment dan mulailah melakukan percobaan.
5. Ikuti instruksi percobaan dalam software, catatlah hasil
percobaan yang dilaukan dan isilah tabel 1 dibawah.

TABEL 1 : HASIL PERIODE LATEN

Tegangan (V) Active Force (g) Periode Laten (msec)

6. Dari hasil pengamatan, perhatikan apakah perubahan


besarnya kekuatan stimulus mengubah periode laten?
Mengapa?

6
7. Gambarlah grafik yang menggambarkan kedutan otot
tunggal, dengan waktu pada sumbu X dan active force
yang dilakukan pada sumbu Y. Jelaskan apa yang
terjadi pada otot pada masing-masing fase!
8. Selama periode laten sampai kedutan otot, tak tampak
aktivitas otot berkurang. Jelaskan perubahan elektrikal
dan kimia yang terjadi pada otot selama periode
tersebut!

3.2.2 Kegiatan 2 : Pengaruh stimulus tegangan pada kontraksi


otot rangka.
1. Bukalah software PhysioEx dan klik Exercise 2 :
Skeletal Muscle Physiology.
2. Klik Activity 2 : The Effect of Stimulus Voltage on
Skeletal Muscle Countraction.
3. Klik Introduction kemudian jawablah pre-quiz.
4. Klik tab Experiment dan mulailah melakukan
percobaan.
5. Ikuti instruksi percobaan dalam software, catatlah hasil
percobaan yang dilakukan dan isilah tabel 2 dibawah.

TABEL 2 : PENGARUH TEGANGAN STIMULUS PADA KONTRAKSI OTOT

Voltage (V) Active Force (g)

7
6. Ketika tegangan stimulus ditingkatkan dari 1.0 volt
menjadi 10 volt, apa yang akan terjadi pada masing-
masing stimulus?
7. Pada kedutan otot tunggal, jelaskan pengaruh
peningkatan tegangan stimulus.
8. Bagaiamana efek peningkatan tegangan otot dicapai
secara in vivo?

3.2.3 Kegiatan 3 : Tetanus pada otot rangka yang di isolasi.


1. Bukalah software PhysioEx dan klik Exercise 2 :
Skeletal Muscle Physiology.
2. Klik activity 4 : Tetanus in Isolated Skeletal Muscle.
3. Klik introduction dan jawablah pre-lab quiz.
4. Klik tab Experiment dan mulailah melakukan
percobaan.
5. Ikuti instruksi percobaan dalam software, catatlah hasil
percobaan yang dilakukan dan isilah tabel 3 dibawah.

TABEL 3 ; TETANUS PADA OTOT RANGKA

Stimuli (second) Active Force (g)

6. Ketika frekuensi stimulus ditingkatkan, apa yang akan


terjadi pada tegangan dan kedutan otot pada stimulus
yang berturut-turut? Adakah batas respon otot terhadap
stimulus ini?

8
9
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Hasil Pengamatan.


Voltage Length Active Passive Total Latent
Force Force Force Period
0.0 75 0.0 0.0 0.0 ----
4.0 75 1.32 0.0 1.32 2.80
2.0 75 0.66 0.0 0.66 2.80
6.0 75 1.65 0.0 1.65 2.80
8.0 75 1.81 0.0 1.81 2.80
10.0 75 1.82 0.0 1.82 2.80
4.1.1 Kegiatan 2 : Pengaruh stimulus tegangan pada kontraksi otot
rangka.
Voltage Length Active Passive Force Total Force
Force

0.0 75 0.0 0.0 0.0


0.2 75 0.0 0.0 0.0
0.3 75 0.0 0.0 0.0
0.8 75 0.02 0.0 0.02
0.7 75 0.0 0.0 0.0
1.0 75 0.15 0.0 0.15
1.5 75 0.43 0.0 0.10
1.5 75 0.66 0.0 0.02
2.5 75 0.87 0.0 0.87
3.0 75 1.04 0.0 1.04
4.0 75 1.32 0.0 1.32
4.5 75 1.42 0.0 1.42
5.0 75 1.51 0.0 1.51
5.5 75 1.59 0.0 1.59
6.0 75 1.65 0.0 1.65
7.0 75 1.74 0.0 1.74
8.0 75 1.81 0.0 1.81
9.0 75 1.82 0.0 1.82
9.5 75 1.82 0.0 1.82
10.0 75 1.82 0.0 1.82

10
4.1.2 Kegiatan 3 : Tetanus pada otot rangka yang di isolasi.
Voltage Length Stimuli/sec Active Force Passive Total Force
Force
8.5 75 50 5.12 0.0 5.12
8.5 75 64 5.42 0.0 5.42
8.5 75 50 5.12 0.0 5.12
8.5 75 140 5.91 0.0 5.91
8.5 75 150 5.95 0.0 5.95
8.5 75 146 5.95 0.0 5.95
8.5 75 130 5.88 0.0 5.88

4.2 Pembahasan.
4.2.1 Kegiatan 1 : Kedutan otot dan periode laten.
Melalui percobaan dapat diketahui bahwa ketika diberikan tegangan
0.0 volt, active force yang muncul adalah 0.0 g juga dengan tidak
adanya periode laten. Saat tegangan 2.0 V, active force mencapai 0.66
g dengan periode laten sebesar 2.80 msec. Percobaan berikutna dengan
4.0 V menghasilkan active force sebesar 1.32 g dan periode laten tetap
sama yaitu 2.80. untuk tegangan 6.0 V menghasilkan active force
sebesar 1.65 , untuk tegangan 8.0 V menghasilkan 1.81 g , dan 10 V
menghasilkan 1.82 g menghasilkan periode laten yang sama yaitu 2.80
msec.
 Yang menyebabkan perubahan pada periode laten adalah besar
kecilnya tegangan yang diberikan dan ukuran dari otot itu
sendiri.
 Periode laten adalah periode dimana belum terjadi rangsangan
hingga awal muncul kontraksi.

4.2.2 Kegiatan 2 : Pengaruh stimulus tegangan pada kontraksi otot


rangka.
Dari percobaan dapat diketahui bahwa perubahan tegangan
mempengaruhi besar active force. Tegangan saat 0.0 V hingga 0.7 V
tidak menghasilkan active force. Saat tegangan 0.8 V active force

11
sebesar 0.02 g. Untuk tegangan 1.0 V, active force sebesar 0.15 g.
untuk tegangan 2.0 V, active force sebesar 0.66 g. Untuk tegangan
sebesar 2.5 V, menghasilkan active force sebesar 0.87 g. Untuk 3.0 V
menghasilkan 1.04 g. Tegangan 3.5 V menghasilkan 1.19 g. Tegangan
sebesar 4.0 V menghasilkan 1.32 g. Untuk 4.5 V menghasilkan 1.442
g. Untuk tegangan 5.0 V menghasilkan active force sebesar 1.51 g.
Untuk 5.5 V menghasilkan 1.59 g. Tegangan sebesar 6.0 V,
menghasilkan 1.65 g. Tegangan sebesar 6.5 V, menghasilkan 1.70 g.
Untuk 7.0 V, menghasilkan 1.74 g. Untuk 7.5 V, menghasilkan active
force sebesar 1.78 V. Untuk 8.0 V menghasikan1.81 g. Untuk 8.5 V,
9.0 V, dan 10 V menghasilkan 1.82 g.
 Semakin tinggi stimulus yang diberikan maka semakin besar active
force, namun terdapat batasan sehingga pada saat stimulus mencapai
8.0 v.
 Ketika tegangan dinaikkan dari 1.0 V hingga 10 V, active force juga
meningkat seiring ditingkatkannya tegangan tersebut.
 Ketika otot diberi stimulus, maka setiap serabut otot dalam otot akan
mematuhi semua hukum all-or-none tetapi serabut yang berbeda
memiliki ambang yang berbeda pula.

4.2.3 Kegiatan 3 : Tetanus pada otot rangka yang di isolasi.


Dari percobaan didapatkan hasil saat diberi stimulus 50 second
menghasilkan active force 5.12 g. Untuk 64 second, 5.42 g. Untuk 130
second menghasilkan 5.88 g. Untuk 140 V, menghasilkan active force
sebesar 5.91 g. Untuk 146 second menghasilkan 5.95 g. Sedangkan
stimuli 150 second, menghasilkan active force sebesar 5.95 g.

12
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN.
5.1.1 Kegiatan I : Kedutan Otot dan Periode Laten.
Melalui percobaan dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tegangan
yang diberikan maka active force juga akan meningkat. Namun meskipun
tegangan diberi berbeda-beda, periode laten akan tetap sama yaitu 2.80
msec.

5.1.2 Kegiatan 2 : Pengaruh stimulus tegangan pada kontraksi otot


rangka.
Melalui percobaan ini dapat disimpulkan bahwa tegangan sangan
berpengaruh terhadap active force. Semakin tinggi tegangan yang
diberikan maka active force juga akan semakin meningkat. Namun pada
titik tertentu, active force akan tetap dan tidak mengalami peningkatan.

5.1.3 Kegiatan 3 : Tetanus pada otot rangka yang di isolasi.


Melalui percobaan ini dapat disimpulkan bahwa stimuli yang diberikan
pada otot memberikan pengaruh terhadap active force. Semakin tinggi
stimuli yang diberikan maka semakin tinggi pula active force yang
terjadi. Namun juga tidak akan terus menerus bertambah, pada saaat
stimuli tertentu, active force akan sama. Hal ini disebabkan karena telah
mencapai maximal tetani tension.

5.2 SARAN.
1. Penggunaan aplikasi yang maksimal, sehingga dapat mengetahui gerak active
force dengan baik dan akurat.
2. Menghitung periode laten dengan cermat sehingga hasil pengamatan tidak
salah.

13
3. Lebih banyak variasi data, sehingga dapat membandingkan satu dengan yang
lain.
4. Tidak lupa menghapus grafik data sebelumnya, sehingga ketika akan melihat
grafik dengan data baru, akan lebih jelas.

14
DAFTAR PUSTAKA

Sherwood, L. (2007). Fisiologi Otot. In Human physiology: From cells to systems


(6th ed.). Thomson/Brooks/Cole.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2006). Kontraksi otot rangka. In Textbook of medical
physiology (11th ed.). Elsevier Saunders.

15
LAMPIRAN

Kegiatan 1 : Kedutan otot dan periode laten.


1. Define the terms skeletal muscle fiber, motor unit, skeletal muscle twitch,
electrical stimulus, and latent period.
 Skeletal muscle fiber : 1 sel otot rangka dan merupakan unit terkecil otot.
 Motor unit : terdiri atas motor neuron dan muscle fiber yang terinervasi.
 Skeletal muscle twitch : Respon mekanik dari sebuah potensial aksi.
 Electrical stimulus : Impuls.
 Latent Period : periode ketika belum mendapat rangsangan hingga awal
munculnya kontraksi.

2. What is the role of acetylcholine in a skeletal muscle contraction?


Mentransmisikan impuls dari akson ke motor end plate dan memicu adanya
action potential di T-tubule.

3. Describe the process of excitation-contraction coupling in skeletal muscle


fibers.
Adanya asetilkolin dari akson berpindah ke motor end plate dan menyebabkan
adanya action potential di T-Tubule. Potential action ini menyebabkan lepasnya
kalsium dari sarcoplasmic reticulum. Kalsium menempel pada troponin.
Kemudian terbuka binding site . kepala myosin memiliki ADP + Pi yang
kemudian menempel pada binding site membentuk crossing bridge. Kemudian
dengan adanya ATP, kepala myosin jadi lepas dari troponin dan kembali ke
posisi semula, ATP terhidrolisis kembali menjadi ADP + Pi.

4. Describe the three phases of a skeletal muscle twitch.


1. Latent period : periode ketika otot belum mendapatkan rangsangan hingga
awal mulai berkontraksi.
2. Contraction phase : dimulai saat berakhirnya periode laten.
3. Relaxation phase : dimulai saat peak tension hingga berakhirnya kontraksi
otot.

4. Does the duration of the latent period change with different stimulus
voltages? How well did the results compare with your prediction?
Periode laten tidak berubah meskipun mendapatkan tegangan dan gaya yang
berbeda.

16
Voltage Length Active Passive Total Latent
Force Force Force Period
0.0 75 0.0 0.0 0.0 ----
4.0 75 1.32 0.0 1.32 2.80
2.0 75 0.66 0.0 0.66 2.80
6.0 75 1.65 0.0 1.65 2.80
8.0 75 1.81 0.0 1.81 2.80
10.0 75 1.82 0.0 1.82 2.80

5. At the threshold stimulus, do sodium ions start to move into or out of the cell
to bring about the membrane depolarization?
Ya untuk menjadikan membrane depolarization.

Kegiatan 2 : Pengaruh stimulus tegangan pada kontraksi otot rangka.


1. Describe the effect of increasing stimulus voltage on isolated skeletal muscle.
Specifically, what happened to the muscle force generated with stronger
electrical stimulations and why did this change occur? How well did the
results compare with your prediction?
Semakin tinggi tegangan stimulus yang diberikan maka active force semakin
tinggi juga hingga pada titik tertentu active force tidak bisa bertambah lagi.
Voltage Length Active Passive Force Total Force
Force

0.0 75 0.0 0.0 0.0


0.2 75 0.0 0.0 0.0
0.3 75 0.0 0.0 0.0
0.8 75 0.02 0.0 0.02
0.7 75 0.0 0.0 0.0
1.0 75 0.15 0.0 0.15
1.5 75 0.43 0.0 0.10
1.5 75 0.66 0.0 0.02
2.5 75 0.87 0.0 0.87
3.0 75 1.04 0.0 1.04
4.0 75 1.32 0.0 1.32
4.5 75 1.42 0.0 1.42
5.0 75 1.51 0.0 1.51
5.5 75 1.59 0.0 1.59
6.0 75 1.65 0.0 1.65
7.0 75 1.74 0.0 1.74
8.0 75 1.81 0.0 1.81
9.0 75 1.82 0.0 1.82
9.5 75 1.82 0.0 1.82
10.0 75 1.82 0.0 1.82

17
2. How is this change in whole-muscle force achieved in vivo?
Semakin banyak muscle fiber maka active force akan mencapai in vivo.

3. What happened in the isolated skeletal muscle when the maximal voltage
was applied?
Adanya keterlibatan semua muscle fiber sehingga dapat mencapai active force
yang maksimal.
Kegiatan 3 : Tetanus pada otot rangka yang di isolasi.
1. Describe how increasing the stimulus frequency affected the force developed
by the isolated whole skeletal muscle in this activity. How well did the results
compare with your prediction?
Semakin tinggi stimuli yang diberikan maka semakin tinggi pula active force
yang dihasilkan. Namun saat mencapai stimuli tertentu, active force tidak
bertambah lagi.

2. Indicate what type of force was developed by the isolated skeletal muscle in
this activity at the following stimulus frequencies: at 50 stimuli/sec, at 140
stimuli/sec, and above 146 stimuli/sec.
50 stimuli/sec: 5.12g
140 stimuli/sec: 5.91g
146 stimuli dan diatas 146 stimuli : 5.95g

3. Beyond what stimulus frequency is there no further increase in the peak


force? What is the muscle tension called at this frequency?
Setelah 146 stimuli tidak ada penambahan active force lagi. Hal ini disebut
dengan Maximal Tetanic Tension.

18
Kegiatan 1 : Kedutan otot dan periode laten.

19
20
Kegiatan 2 : Pengaruh stimulus tegangan pada kontraksi otot rangka.

21
22
Kegiatan 3 : Tetanus pada otot rangka yang di isolasi.

23

Anda mungkin juga menyukai