Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI-PATOFISIOLOGI

MEKANISME SISTEM RESPIRASI

Kelompok CD-1
Anggota:
Fitriah Salsabila 051911133013
Anisa Amelia Amin 051911133020
Tarissa Sekar Ayunda 051911133040
Anisa Cendekia Muslimah 051911133050
Tika Yuranti 051911133065
Nawal Ariqoh Rif’at 051911133089
Nabila Balqish 051911133109
Nafa Nazilatul Fatihah 051911133129
Wynne Tara Elvira 051911133153
Raden Roro Maurien A. 051911133163
Arina Inas Maheswari 051911133179
Aulia Firda Salsabila 051911133187
Andika Fajar Fortuna D.K. 051911133196
Alya Saraswati 051911133209
Deapriska Tampake 051911133222
Anggara Satria Putra 051911133226
Nabilah Apsari Devitri 051911133244

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Paru-paru merupakan salah satu organ dalam tubuh yang ikut membantu dalam
proses respirasi. Proses tersebut bertujuan untuk menyediakan suplai oksigen ke seluruh
tubuh. Paru-paru terdapat pada rongga toraks dan memiliki volume. Karena bertugas
menyediakan suplai oksigen, paru-paru memiliki volume udara yang menempati
ruangan udara dalam paru. Pengukuran volume paru-paru dapat digunakan untuk
mengetahui kemampuan paru untuk mengembang dan mengempis. Selanjutnya, kita
dapat mengetahui apabila terdapat obstruksi maupun restriksi pada paru-paru. Volume
paru yang diukur adalah volume paru statik dan volume paru dinamis. Volume paru
statik adalah volume paru yang diukur tanpa adanya kekutan paksa, sedangkan volume
paru dinamik adalah volume paru yang diukur pada orang yang mengikuti instruktur
untuk bernapas aktif dengan kekuatan penuh. Volume paru statik digunakan untuk
menentukan adanya restruksi pada jalan napas karena jaringan peribronchial diganti
dengan jaringan ikat sehingga mengganggu proses pengembangan saluran nafas.
Macam-macam volume paru statik adalah sebagai berikut.
1. Tidal Volume (TV), adalah volume udara yang keluar masuk paru saat pernapasan
biasa, pada orang dewasa yang muda besarnya sekitar 500 ml.
2. Inspiratory Reserve Volume (IRV) atau Volume Cadangan Inspirasi, adalah
volume udara yang masih dapat dihirup maksimal setelah inspirasi biasa, besarnya
sekitar 2500- 3000 ml.
3. Expiratory Reserve Volume (ERV) atau Volume Cadangan Ekspirasi, adalah
volume udara yang dapat dihembuskan maksimal setelah ekspirasi biasa, besarnya
sekitar 1100 ml.
4. Kapasitas Paru, dibagi menjadi beberapa yaitu :
a. Inspiratory Capacity (IC) atau Kapasitas Inspirasi, merupakan gabungan TV
dan IRV.
b. Vital Capacity (VC) atau Kapasitas Vital, dapat diukur dengan 2 metode, yaitu
KV dua tahap (VC two stage) dan KV satu tahap (VC one stage). KV dua tahap
diperoleh dengan menjumlah IC (tahap inspirasi) dan ERV (tahap ekspirasi).
KV satu tahap (VC one stage) diperoleh dengan menghirup udara maksimal
yang diikuti ekspirasi maksimal (udara yang diukur ialah udara yang
dikeluarkan) sehingga VC one stage ini diberi nama VC one stage expiration
(VC ose). Pada KV satu tahap. terdapat cara lain dengan mengeluarkan udara
semaksimal mungkin diikuti inspirasi maksimal (udara yang diukur adalah
udara yang diisap) sehingga diberi nama VC one stage inspiration (VC osi).
Diantara keduanya, KV satu tahap paling sering digunakan.
Volume paru dinamik digunakan dalam penentuan obstruksi paru yang disebabkan
terdapat benda asing atau tonjolan dinding saluran nafas ke arah lumen yang
mengakibatkan berkurangnya kecepatan aliran udara pernafasan. Salah satu volume
paru dinamik yang sering digunakan adalah FEV1 (Forced Expiratory Volume One
Second). FEV1 merupakan volume udara yang dikeluarkan maksimal selama detik
pertama ekspirasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat diketahui rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa saya yang mempengaruh volume pernapasan dan kapasitas paru-paru saat
respirasi?
2. Bagaimana pengaruh adanya surfaktan dan tekanan intra pleural pada proses
respirasi?
3. Bagaimana perbedaan spirometri pada keadaan tertentu?

C. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.
1. Mengukur volume pernapasan dan menghitung kapasitas paru-paru saat respirasi.
2. Mengetahui pengaruh surfaktan dan tekanan intrapleural pada respirasi.
3. Mengetahui perbedaan spirometri pada beberapa keadaan tertentu.

II. METODE
A. Alat
1. PhysioEx 9 : Laboratory Simulations in Physiology (Exercise 7; Activity 1-3) via
Zoom.
2. Perangkat laptop.

B. Bahan
Percobaan dilakukan secara dry lab sehingga tidak membutuhkan bahan.

C. Cara Kerja
1. Memilih Home Menu Exercise 7: Respiratory System Mecanics.
2. Memilih Activity 1 : Measuring Respiratory Volumes and Calculating Capacities.
3. Membaca dan mencermati Overview, Objectives, dan Introduction sebagai bahan
untuk mengerjakan Pre-lab Quiz.
4. Menjawab Pre-lab Quiz.
5. Memilih Experiment. Pada layar akan tampak petunjuk pengerjaan, peralatan yang
digunakan, dan pertanyaan.
6. Mengikuti petunjuk yang tampak pada sisi kiri tampilan dan menjawab pertanyaan
yang diberikan.
7. Menjawab Post-lab Quiz seusai melakukan seluruh Experiment.
8. Melewati pengerjaan Review Quiz. Namun, tetap dikerjakan pada laporan
praktikum.
9. Menyimpan Lab Report pada laptop.
10. Mengulangi langkah 3-9 untuk Activity 2: Comperative Spirometry dan Activity 3:
Effect of Surfactant and Intrapleural Pressure on Respiration.

III. HASIL
A. Hasil dan Diskusi Activity 1: Measuring Respiratory Volumes and Calculating
Capacities

Flow Breath
Radius TV ERV IRV RV VC FEV1 TLC
(L/min) Rate
5.00 7485 499 --- --- --- --- --- --- 15
5.00 7500 500 1200 3091 1200 4791 3541 5991 15
4.50 4920 328 787 2028 1613 3143 2303 4756 15
4.00 3075 205 492 1266 1908 1962 1422 3871 15
3.50 1800 120 288 742 2112 1150 822 3262 15
3.00 975 65 156 401 2244 621 436 2865 15
Volume dan kapasitas paru-paru merupakan contoh hipotesis spirogram pada pria
dewasa muda yang sehat. Umumnya, nilainya lebih rendah untuk wanita. Dengan
mengetahui besarnya volume dan kapasitas pernapasan, dapat diketahui besarnya
kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan ventilasi pada seseorang. Volume paru
terdiri dari volume paru statis dan dinamik. Volume statis menggambarkan kemampuan
kerja pernapasan dalam mengatasi resistensi elastik, sedangkan volume dinamik
mengukur kecepatan aliran udara dalam saluran pernapasan dibandingkan dengan
fungsi waktu yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja pernapasan mengatasi
resistensi nonelastik. Keduanya dapat diukur dengan alat spirometer.
Volume dan kapasitas paru dalam keadaan statis terdiri dari:
1) Volume Tidal atau Tidal Volume (TV) merupakan volume udara yang masuk dan
keluar paru-paru pada keadaan istirahat atau pernapasan biasa (0,5 L).
2) Volume Cadangan Inspirasi atau Inspiratory Reserve Volume (IRV) merupakan
jumlah udara yang masih dapat dihirup ke dalam paru secara maksimal setelah
inspirasi biasa (3,3 L).
3) Volume Cadangan Ekspirasi atau Expiratory Reserve Volume (ERV) merupakan
jumlah udara yang masih dapat dihembuskan keluar dari paru setelah ekspirasi
biasa (1 L).
4) Volume Residual atau Residual Volume (RV) merupakan jumlah udara yang masih
tertinggal di dalam paru setelah ekspirasi maksimal. Volume residu ini
mengakibatkan paru akan mengapung bila dimasukkan ke dalam air. Udara sisa ini
berperan sebagai udara cadangan serta mencegah terjadinya perubahan kondisi
udara alveoli secara ekstrem. Apabila telah diketahui niai FRC, maka RV dapat
diperoleh dengan persamaan: RV = FRC - ERV (1,2 L).
5) Kapasitas Inspirasi atau Inspiratory Capacity (IC) adalah jumlah udara yang bisa
dihirup maksimal yang merupakan hasil penjumlahan dari TV dan IRV (3,8 L).
6) Kapasitas Residu Fungsional atau Functional Residual Capacity (FRC) merupakan
jumlah udara yang terdapat dalam paru pada akhir ekspirasi biasa, yaitu hasil
penjumlahan dari ERV dan RV (2,2 L).
7) Kapasitas Vital atau Vital Capacity (VC) merupakan jumlah udara yang bisa
dikeluarkan maksimal setelah inspirasi maksimal, yaitu hasil penjumlahan dari
IRV, TV, dan ERV (4,8 L).
8) Kapasitas Vital Paksa atau Forced Vital Capacity (FVC)
adalah kapasitas vital paksa sama dengan kapasitas vital tetapi dilakukan secara
cepat dan paksa dengan ekspirasi dalam dan kuat.
9) Kapasitas Paru Total atau Total Lung Capacity (TLC) merupakan jumlah udara
total yang ada di dalam paru pada akhir inspirasi maksimal, yakni hasil
penjumlahan dari IRV, TV, dan FRC (6 L).
10) Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik (FEV1) adalah volume udara yang dapat
dikeluarkan selama detik pertama ekspirasi dalam penentuan VC. Umumnya,
FEV1 adalah sekitar 80% dari VC. Sejumlah 80% udara yang dapat dihembuskan
secara paksa dari paru-paru yang menggembung secara maksimal bisa keluar
dalam waktu 1 detik.
Pada Activity 1, dilakukan percobaan untuk mengukur volume pernapasan dan
menghitung kapasitas pernapasan. Percobaan ini dilakukan dalam pola pernapasan
normal dengan variabel radius aliran udara dibuat 5.00 mm dan variabel breath rate
sebanyak 15 breaths/min. sehingga didapatkan volume tidal sebanyak 499 mL/breath.
Dan jika dihitung variabel MVE (Minute Ventilation) adalah 7485 mL/min.
Selanjutnya, pola pernapasannya diubah menjadi ekspirasi paksa (dengan memilih
mode ERV) dan inspirasi maksimal setelah itu melakukan ekspirasi penuh (dengan
mengganti mode menjadi FVC). Percobaan dilakukan dengan mengubah radius aliran
udara.
Pada saat radius saluran udara diatur 5.00 mm, didapatkan data sebagai berikut:
normal TV sebesar 500 mL, ERV sebesar 1200 mL, IRV sebesar 3091 mL, RV sebesar
1200 mL, VC sebesar 4791 mL, TLC sebesar 5991 mL, frekuensi nafas 15 kali/menit.
Ventilasi menit pada radius saluran udara 5.00 mm sebesar 7500 mL/menit. Pada
praktikum ini, FVC sebanding dengan VC. FEV1% pada radius 5.00 mm adalah 74%.
Pada kondisi 3, radius saluran udara dikurangi menjadi 4.50 mm dan variabel
breath rate tetap 15 breaths/min. Selanjutnya, dilakukan ERV pada detik ke-10 dan
FVC pada detik ke-20. Efek yang terjadi adalah berkurangnya aliran udara, TV, ERV,
IRV, VC, FEV1 dan TLC. Sebaliknya, RV mengalami peningkatan, yaitu menjadi 1613
mL. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan udara yang terperangkap pada paru-
paru saat akhir ekspirasi.
Pada kondisi 4, radius saluran udara dikurangi menjadi 4.00 mm. Setelah
melakukan pernapasan normal, dilakukan ERV pada detik ke-10 dan FVC pada detik
ke-20. Efek yang terjadi adalah menurunnya aliran udara, TV, ERV, IRV, VC, FEV1,
dan TLC. Sebaliknya, RV mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kondisi 2
dan 3, yaitu sebesar 1908 mL.
Pada kondisi 5, radius saluran udara dikurangi menjadi 3.50 mm. Setelah
melakukan pernapasan normal, dilakukan ERV pada detik ke-10 dan FVC pada detik
ke-20. Efek yang terjadi adalah semakin menurunnya aliran udara, TV, ERV, IRV, VC,
FEV1, dan TLC. Sedangkan, RV mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan
kondisi-kondisi sebelumnya, yaitu sebesar 2112 mL.
Pada kondisi 6, radius saluran udara dikurangi menjadi 3.00 mm. Setelah
melakukan pernapasan normal, dilakukan ERV pada detik ke-10 dan FVC pada detik
ke-20. Efek yang terjadi adalah semakin menurunnya aliran udara, TV, ERV, IRV, VC,
FEV1, dan TLC. Sedangkan, RV mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya, yaitu sebesar 2244 mL.
Penurunan radius aliran udara menyebabkan penurunan laju aliran udara dalam
paru-paru. Penurunan aliran udara terlihat sangat signifikan karena dipengaruhi oleh
tekanan udara dalam paru-paru yang semakin besar dibandingkan normal. Sisi yang
menyempit merupakan analogi dari penurunan radius dari ukuran normal pada penyakit
paru obstruktif. Dengan adanya penurunan aliran udara maka memengaruhi jumlah
udara yang masuk ke dalam paru-paru dan menurunkan volume tidal paru-paru. Akibat
berkurangnya udara dalam satu kali napas, nilai udara tambahan yang dapat dihirup dan
dikeluarkan (ERV dan IRV) berkurang secara otomatis.
Pada orang sehat, resistensi saluran napas selalu sedemikian rendah sehingga
variasi kecil antara inspirasi dan ekspirasi tidak terasa. Namun, jika resistensi saluran
napas meningkat secara bermakna, seperti ketika serangan asma, perbedaan ini menjadi
cukup terasa. Oleh karena itu, orang yang menderita asma lebih sulit untuk
menghembuskan dibandingkan menghirup udara, menimbulkan "mengi" khas ketika
udara dipaksa keluar melalui saluran napas yang sempit.
Saat radius besar dan lumen saluran pernapasan diperkecil, maka aliran gas yang
masuk dan keluar dari paru - paru berkurang. Dampak dari pengecilan nilai radius, yaitu
ukuran dari volume paru - paru seperti TV, IRV, dan ERV ikut berkurang. Kapasitas
vital (VC) yang merupakan penjumlahan TV, IRV, dan ERV tentunya juga berkurang.
FEV1 yang merupakan gas ekspirasi yang dikeluarkan pada detik pertama dengan cara
dipaksakan pada tabel juga ikut menurun. Pengurangan besar radius ini diibaratkan
sebagai obstruksi atau pembuntuan saluran pernapasan. Jika ada penurunan radius,
maka dapat berdampak pada inspirasi dan ekspirasi. Hal itu terlihat pada penurunan
TV, IRV, dan ERV pada tabel. Sebaliknya, pada kolom RV (hasil perhitungan TLC
dikurangi VC), semakin berkurangnya radius, justru nilai RV meningkat karena
penurunan VC terlihat lebih signifikan dibanding penurunan nilai TLC. Dari data
tersebut, diperoleh hasil bahwa obstruksi menyebabkan gas pernapasan hanya mengisi
sedikit ruang di dalam paru, tetapi menyisakan volume residu yang banyak.

B. Hasil dan Diskusi Activity 2: Comparative Spirometry


Pada Acitivity 2 ini, dilakukan percobaan untuk mengobservasi dan membandingkan
volume udara di paru paru pada pasien normal, pasien mengalami emfisema, pasien
mengalami serangan asma, pasien yang telah menggunakan inhaler setalah terkena
serangan asma, pasien yang melakukan olahraga biasa, dan pasien yang melakukan
olahraga berat.

Dari percobaan tersebut didapatkan volume udara tidal (TV), volume cadangan
inspirasi (IRV), volume cadangan ekspirasi (ERV), volume residu (RV), kapasitas vital
paksa (FVC), kapasitas paru total (TLC), volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1),
FEV1 pembandingan dengan kapasitas paru total dalam bentuk persen pada berbegai
tipe pasien seperti pada tabel di atas.

Emfisema paru menjadi bagian dari keadaan patologis pada penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) yang ditandai dengan kerusakan parenkim paru. Klasifikasi morfologi
emfisema telah dibuat berdasarkan struktur jaringan patologi. Diketahui ada beberapa
penyebab terjadinya emfisema. Kerusakan pada paru-paru menyebabkan gangguan
fungsi paru berupa perlambatan aliran udara ekspirasi (obstruksi). Mekanisme utama
yang terjadi adalah penurunan rekoil elastik paru yang menjadi penyebab air trapping,
peningkatan volume dan keteregangan paru serta saluran napas menjadi rentan kolaps.
Hiperinflasi pada emfisema berdampak negatif dapat memperberat inspirasi dan
menimbulkan rasa sesak. Hal ini dapat dilihat dalam spirogram pada penderita
emfisema volume cadangan respirasi, volume cadangan inspirasi mengalami penurunan
yang berefek pada turunnya kapsitas vital paksa dan FEV1. Sedangkan, pada volume
residu megalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan pasien normal
karena banyaknya alveoli yang mengalami kerusakan sehingga terjadi kolaps.

Pada pasien serangan asma, asma yang merupakan peradangan kronis yang umum
terjadi pada bronkus yang ditandai dengan gejala yang bervariasi dan berulang,
penyumbatan saluran napas yang bersifat reversibel dan spasme bronkus. Asma
diperkirakan disebabkan oleh kombinasi faktor genetika dan lingkungan. Gejala umum
meliputi mengi, batuk, dada terasa berat, ekspirasi memanjang, dan sesak napas. Hal
ini dapat dilihat pada grafik spirometri bahwa pada volume tidal, volume cadangan
ekspirasi, volume cadangan inspirasi, mengalami penurunan penurunan yang berefek
pada turunnya kapsitas vital paksa dan FEV1. Sedangkan, pada volume residu
megalami peningkatan karena bronkus mengalami konstraksi sehingga udara tidak
bertukar secara lancar.
Pada pasien asma yang telah menggunakan inhaler, bahan aktif yang ada pada
inhaler telah disemprotkan ke saluran pernapasan dan mencapai bronkus sehingga
kontraksi pada bronkus dapat diredakan. Hal ini akan mengurangi gejala sesak pada
pasien. Dapar dilihat dari grafik spirometer, pada volume tidal dan volume cadangan
ekspirasi telah kembali seperti normal, sedangkan volume cadangan inspirasi masih
mengalami sedikit penurunan yang berefek pada sedikit turunnya kapsitas vital paksa
dan FEV1. Sedangkan, pada volume residu megalami sedikit peningkatan karena
masih ada beberapa bronkus mengalami konstraksi karena obat belum mencapai
keseluruhan paru paru.

Pada pasien yang melakukan olahraga biasa, didapatkan volume udara tidal
meningkat sangat banyak. Hal ini dikarenakan meningkatnya permintaan suplai oksigen
untuk otot menghasilkan ATP (sumber energi) lebih banyak karena melakukan kerja
lebih dari biasanya. Volume cadangan ekspirasi dan volume cadangan inspirasi
mengalami penurunan karena pernapasan lebih dimaksimalkan pada volume tidal.
Kapasitas vital paksa (FVC) dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) tidak
terdapat data yang ditemukan.
Pada pasien yang melakukan olahraga berat, didapatkan volume udara tidal jauh
meningkat dibandingkan pada pasien yang melakukan olahraga biasa. Hal ini
dikarenakan meningkatnya permintaan suplai oksigen untuk otot menghasilkan ATP
(sumber energi) juga jauh lebih banyak dibandingkan olahraga biasa karena melakukan
kerja yang dilakukan berat, otot yang bekerja pun banyak dan berulang-ulang. Pada
volume cadangan ekspirasi (ERV) dan volume cadangan inspirasi (IRV) mengalami
penurunan cukup banyak karena pernapasan lebih dimaksimalkan pada volume tidal
agar efisien. Kapasitas vital paksa (FVC) dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(FEV1) tidak terdapat data yang ditemukan.

C. Hasil dan Diskusi Activity 3: Effect of Surfactant and Intrapleural Pressure


Pada percobaan Activity 3, dilakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh dari
surfaktan dan tekanan intrapeleura terhadap proses respirasi. Percobaan dilakukan
dengan melakukan penambahan surfaktan kemudian mengamati pengaruhnya terhadap
aliran udara yang masuk pada paru kanan dan paru kiri pada radius yang sama. Dari
hasil percobaan ini, diperoleh data yang menunjukan adanya perbedaan jumlah aliran
udara yang masuk ke dalam paru kanan dan paru kiri dengan perlakuan penambahan
surfaktan. Tanpa penambahan surfaktan, total jumlah aliran udara yang mengalir pada
paru adalah 99,38. Dengan penambahan 2 surfaktan, total jumlah aliran udara yang
mengalir pada paru adalah 139,13. Dengan penambahan 4 surfaktan, total jumlah aliran
udara yang mengalir pada paru adalah 178,88.
Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa aliran udara yang masuk pada
paru dipengaruhi oleh perlakuan penambahan surfaktan. Aliran udara yang masuk pada
paru kanan dan paru kiri dengan perlakuan penambahan surfaktan relatif lebih besar
dibandingkan dengan aliran udara tanpa pemberian surfaktan. Penambahan surfaktan
dengan jumlah yang lebih besar mengakibatkan aliran udara yang semakin besar. Hal
ini terjadi karena surfaktan berperan dalam menurunkan tegangan permukaan alveolus
dan mencegah alveolus agar tidak kolaps untuk memelihara stabilitas paru. Surfaktan
merupakan suatu senyawa yang melapisi dinding bagian dalam alveolus. Fungsi utama
dari lapisan surfaktan adalah menurunkan tegangan permukaan pada antar-muka air
udara lapisan cairan alveoli, sehingga mekanisme normal pernapasan dapat terus
berlangsung. Surfaktan bekerja dengan cara memengaruhi tekanan alveolus sehingga
menyebabkan tekanan kempis alveoli kecil menjadi sebanding dengan alveoli yang
lebih besar dan meminimalkan kecenderungan alveoli kecil untuk kolaps serta
mengosongkan isinya ke dalam alveoli yang lebih besar. Dengan menurunkan tegangan
permukaan alveolar, surfaktan paru akan meningkatkan kepatuhan paru, mengurangi
kerja pengembangan paru-paru, dan mengurangi kecenderungan paru-paru untuk
mengempis sehingga tidak mudah kolaps.
Percobaan untuk mengetahui pengaruh tekanan intrapleura terhadap proses
respirasi dilakukan dengan perlakuan mengubah tekanan pada intrapleura. Pada saat
tekanan intrapleura paru kanan dan paru kiri sebesar -4, jumlah aliran udara total
sebesar 99,38. Selanjutnya, dilakukan perlakuan membuka katup sehingga tekanan
pada paru kiri menjadi 0 sedangkan tekanan pada paru kanan tetap. Akibatnya, total
aliran udara hanya 49,69 karena paru kiri kolaps sehingga tidak ada udara yang masuk.
Setelah itu, dilakukan penutupan katup kembali, dan tekanan pada paru kiri tetap 0
sehingga total aliran udaranya adalah 49,69. Selanjutnya dilakukan reset sehingga nilai
tekanan paru kiri kembali menjadi -4 dan nilai aliran udara adalah 99,38.

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa tekanan intrapleura


memengaruhi proses respirasi dengan mengubah jumlah aliran udara yang masuk ke paru.
Tekanan intrapleura adalah tekanan di dalam kantong pleura. Tekanan ini, yang juga dikenal
sebagai tekanan intratoraks, adalah tekanan yang ditimbulkan di luar paru di dalam rongga
toraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah daripada tekanan atmosfer, rerata 756 mm
Hg saat istirahat. Seperti tekanan darah yang dicatat dengan menggunakan tekanan atmosfer
sebagai titik referensi (yaitu, tekanan darah sistolik 120 mm Hg adalah 120 mm Hg lebih besar
daripada tekanan atmosfir 760 mm Hg atau, dalam kenyataan, 880 mm Hg), 756 mm Hg
kadang-kadang disebut sebagai tekanan —4 mm Hg. Tekanan intrapleura tidak
menyeimbangkan diri dengan tekanan atmosfer (tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di
atmosfer pada benda di permukaan bumi) atau intra-alveolus (tekanan di dalam alveolus)
karena kantong pleura merupakan kantong tertutup tanpa pembukaan sehingga udara tidak
dapat masuk atau keluar meskipun terdapat gradient tekanan berapapun atara rongga pleura dan
atmosfer atau paru. tekanan intra-alveolus harus lebih kecil dari tekanan atmosfer sehingga
udara dapat mengalir masuk sewaktu inspirasi. Sebaliknya saat ekspirasi, tekanan intraalveolus
harus lebih besar dari tekanan atmosfer agar udara dapat mengalir keluar. Tekanan intra-
alveolus, yang menyeimbangkan diri dengan tekanan atmosfer pada 760 mm Hg, lebih besar
daripada tekanan intrapleura yang 756 mm Hg, sehingga tekanan yang menekan keluar dinding
paru lebih besar daripada tekanan yang mendorong ke dalam. Perbedaan neto tekanan ke arah
luar ini disebut gradien tekanan transmural, yaitu yang mendorong paru keluar, meregangkan,
atau menyebabkan distensi paru. Paru teregang dan toraks tertekan oleh gradien tekanan
transmural yang terbentuk di dinding mereka karena adanya tekanan intrapleura subatmosfer.
Tekanan intrapleura menjadi bersifat subatmosferik karena paru yang teregang dan toraks yang
tertekan cenderung menjauh satu sama lain, sedikit mengembangkan rongga pleura dan
menurunkan tekanan intrapleura di bawah tekanan atmosfer. Pada percobaan tersebut, ketika
udara masuk ke rongga pleura, paru-paru di sisi yang terkena akan kolaps karena elastisitasnya.
Tekanan intrapleural di sisi yang terkena sekarang sama dengan tekanan atmosfer. Jika lubang
antara rongga pleura dan eksterior tetap terbuka, lebih banyak udara masuk dan keluar ruang
pleura setiap kali pasien bernapas. Jika lubangnya besar, hambatan aliran udara ke dalam
rongga pleura lebih kecil daripada hambatan aliran udara ke paru-paru utuh, dan sedikit udara
yang masuk ke paru-paru. Stimulus hipoksia pada pernapasan menyebabkan upaya inspirasi
yang lebih dalam, yang selanjutnya meningkatkan tekanan di rongga pleura, menekuk vena
besar dan menyebabkan hipoksia dan syok lebih lanjut. Tekanan intrapleural dalam kasus
seperti itu dapat meningkat hingga 20-30 mmHg. Jika lubang di mana udara memasuki ruang
pleura ditutup, paru akan tetap kolaps sehingga udara harus dikeluarkan sehingga tekanan
intrapleura kembali menjadi negatif.

IV. PEMBAHASAN
A. Activity 1: Measuring Respiratory Volumes and Calculating Capacities
1. What would be an example of an everyday respiratory event the ERV
simulates?
Jawaban:
ERV (Expiratory Reserve Volume) atau VCE (Volume Cadangan Ekspirasi) adalah
volume udara tambahan yang dapat secara aktif dikeluarkan dengan
mengontraksikan secara maksimal otot-otot ekspirasi melebihi udara yang secara
normal dihembuskan secara pasif pada akhir volume tidal istirahat. Normalnya
berkapasitas 1000 mL. Udara ini dihembuskan secara maksimal setelah pernapasan
biasa. Misalnya setelah menarik dan membuang napas secara normal, lalu
menghembuskan napas lagi hingga maksimal atau tidak ada udara yang mampu
dikeluarkan lagi. Contohnya adalah batuk, bersin, dan meniup balon.

2. What additional skeletal muscles are utilized in an ERV activity?


Jawaban:
 Abdominal muscles (external oblique, rectus abdominis, internal oblique,
and transverse abdominis) digunakan pada saat aktivitas ERV/VCE.
 Internal intercostal muscles
3. What was the FEV1 (%) at the initial radius of 5.00 mm?
Jawaban:
Diketahui:
FEV1 (saat radius 5.00 mm) = 3541
VC (saat radius 5.00 mm) = 4791

𝐹𝐸𝑉1
FEV1 (%) = X 100%
𝐹𝑉𝐶
3541
= 4791 X 100%
= 73,91%

4. What happened to the FEV1 (%) as the radius of the airways decreased? How
well did the results compare with your prediction?
Jawaban:
Prediction: In obstructive diseases such as chronic bronchitis and asthma, airway
radius is decreased. Thus, FEV1 will decreased proportionately.

Hasil praktikum meununjukan bahwa setelah radius saluran udara diperkecil, nilai
FEV1 (Forced Expiratory Volume) juga ikut mengecil. Hasil tersebut sama dengan
prediksi kami saat melakukan praktikum, yaitu pada penyakit obstruksi seperti
bronchitis kronis dan asma, saluran udara akan mengecil dan nilai FEV1 juga akan
ikut mengecil.

5. Explain why the results from the experiment suggest that there is an
obstructive, rather than a restrictive, pulmonary problem.
Jawaban:
Cause the FEV1 is decreased, so then we can conclude that the measurement of
respiration duct is smaller than normal. It means the patient was suffering the
obstructive type of disease.

B. Activity 2: Comparative Spirometry


1. What lung values changed (from those of the normal patient) in the spirogram
when the patient with emphysema was selected? Why did these values change
as they did? How well did the results compare with your prediction?
Jawaban:
The lung values of emphysema’s patient changes almost at all, specifically ERV,
IRV, RV, FVC, FEV1, and FEV1 (%). This occurrence happens absolutely the same
with what we predicted. The decreased of ERV and IRV value causing the RV
increased. And it comes to the decreased of FVC and FEV’s value also, because of
the amount of the exhaled air with maximal capacity slightly down. The increased
of RV’s value shown that there was a hiperventilation tissues of pulmonary system.
It happens because of the elasticity of pulmonary’s tissue decreased so that the
lungs tend too submissive and easy expanded. Rather than it, the patient needs a
hard efforts while taking an expiration. And this occasions’s did very well based
on our prediction.

2. Which of these two parameters changed more for the patient with
emphysema, the FVC or the FEV1?
Jawaban:
FEV

3. What lung values changed (from those of the normal patient) in the spirogram
when the patient experiencing an acute asthma attack was selected? Why did
these values change as they did? How well did the results compare with your
prediction?
Jawaban:
TV, ERV, IRV, RV, FVC, FEV (mL), dan FEV% berubah karena asma adalah
penyakit obstruksi yang ditandai dengan adanya tonjolan pada dinding saluran
napas sehingga menyebabkan penghambatan pada jalan napas dan itu akan
berpengaruh pada volume tidal (TV), volume cadangan inspirasi (IRV), volume
cadangan ekspirasi (ERV), volume residu (RV), volume kapasitas vital (FVC),
volume ekspirasi paksa dalam ml (FEV), dan persentase volume ekspirasi paksa
(FEV%). Volume yang berubah tersebut sesuai dengan prediksi kelompok kami,
kecuali volume tidal (TV).

4. How is having an acute asthma attack similar to having emphysema? How is


it different?
Jawaban:
 Asma kondisi di mana jalur udara membatasi pergerakan udara sehingga
menyebabkan batuk dan mengeluarkan bunyi saat menghembuskan napas.
Serangan asma dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk alergi, genetik,
polutan udara, stres, dan sebagainya.
 Emfisema penyakit paru-paru yang di dalamnya alveoli terus melebar secara
permanen dan dinding alveolar memburuk, menyebabkan paru-paru kurang
elastis. Gejala emfisema yaitu mengalami sesak napas, batuk, dan kamampuan
penderita untuk aktif sangat terbatas. Penyebab paling umum emfisema adalah
merokok.
5. Describe the effect that the inhaler medication had on the asthmatic patient.
Did all spirogram values return to "normal"? Why do you think some values
did not return all the way to normal? How well did the results compare with
your prediction?
Jawaban:
Ketika serangan asma akut terjadi, banyak orang mencoba mengurangi gejala
mereka dengan inhaler. Inhaler diberikan melauli saluran nafas hidung atau mulut,
dengan cara ini obat dapat langsung masuk ke paru-paru sehingga dapat bekerja
lebih cepat untuk mengatasi serangan asma dan efek sampingnya lebih minimal.

Penggunaan inhalasi dapat mengurangi resistensi saluran pernapasan.Berdasarkan


Grafik hasil praktikum di atas, penderita serangan asma akut yang menggunakan
inhaler memiliki bentuk grafik yang mirip dengan orang yang bernapas normal.
Hanya saja ada beberapa perbedaan. Hal itu terjadi karena inhaler dapat
mengembalikan volume pernapasan bagi penderita serangan asma akut, walaupun
belum kembali normal sepenuhnya. Penderita hanya memerlukan waktu sedikit
lebih lama untuk bernapas normal kembali.

6. How much of an increase in FEV1 do you think is required for it to be


considered significantly improved by the medication?
Jawaban:
Setidaknya paling sedikit lebih dari 40 % untuk mencapai medikasi.

7. With moderate aerobic exercise, which changed more from normal breathing,
the ERV or the IRV? How well did the results compare with your prediction?
Jawaban:
Dengan latihan aerobik yang sedang, volume cadangan inspirasi (IRV) lebih
banyak berubah daripada volume cadangan ekspirasi (ERV). Prediksi kelompok
kami sesuai dengan file hasil praktikum.

8. Compare the breathing rates during normal breathing, moderate exercise,


and heavy exercise.
Jawaban:
Tingkat pernapasan pada orang yang melakukan olahraga sedang dan olahraga
berat lebih tinggi daripada pernapasan normal. Orang yang paling banyak bernapas
terdapat pada orang yang melakukan olahraga berat. Perubahan ini terlihat sangat
signifikan yang terletak pada nilai volume tidal (TV) yang kemudian diikuti oleh
volume cadangan inspirasi (IRV) dan volume cadangan ekspirasi (ERV). Hal ini
dapat terjadi karena olahraga yang dilakukan secara rutin akan meningkatkan kerja
otot secara teratur, sehingga otot menjadi lebih kuat termasuk otot pernapasan.

C. Activity 3: Effect of Surfactant and Intrapleural Pressure


1. What effect does the addition of surfactant have on the airflow? How well did
the results compare with your prediction?
Jawaban:
Penambahan surfaktan pada aliran udara akan mengakibatkan aliran udara
meningkat drastis. Hal ini sesuai dengan manfaat utama surfaktan yaitu sebagai
bahan untuk dapat meningkatkan compliance paru, mengurangi kerja untuk
mengembangkan paru, dan memperkecil kecendrungan paru untuk recoil sehingga
paru tidak mudah kolaps. Hasil yang didapat pada praktium sesuai dengan prediksi.

2. Why does surfactant affect airflow in this manner?


Jawaban:
Surfaktan mempengaruhi aliran udara dengan menurunkan tegangan permukaan di
alveoli sehingga memudahkan alveoli meningkatkan luas permukaan untuk
pertukaran gas dan menyebabkan aliran udara akan meningkat.

3. What effect did opening the valve have on the left lung? Why does this
happen?
Jawaban:
Paru-paru kiri kolaps atau tidak dapat bekerja karena tekanan intrapleural dan
intrapulmoner sama atau sama dengan tekanan atmosfer sehingga udara tidak bisa
masuk ke paru-paru.

4. What effect on the collapsed lung in the left side of the glass bell jar did you
observe when you closed the valve? How well did the results compare with
your prediction?
Jawaban:
Tidak memiliki perbedaan dengan sebelumnya (tetap kolaps) seperti yang
diperkirakan kelompok kami karena tidak ada perbedaan tekanan ruang
intrapleural dan paru-paru.
5. What emergency medical condition does opening the left valve simulate?
Jawaban:
Kondisi ketika paru-paru mengalami kolaps atau pneumothorax dan akan berlanjut
menjadi atelectasis.

6. In the last part of this activity, you clicked the Reset button to draw the air
out of the intrapleural space and return the lung to its normal resting
condition. What emergency procedure would be used to achieve this result if
these were the lungs in a living person?
Jawaban:
Tindakan medis yang dilakukan adalah mengeluarkan udara dari ruang intrapleural
untuk mengembalikan tekanan menjadi negatif. Pertolongan pertama yang biasa
dilakukan adalah dengan melakukan needle thoracocentesis atau menusukkan
jarum bernomor besar ke bagian dada. Pengobatan utama untuk pneumothorax
adalah dengan melakukan pemasangan WSD (water sealed drainage).

7. What do you think would happen when the valve is opened if the two lungs
were in a single large cavity rather than separate cavities?
Jawaban:
Keseluruhan paru-paru akan mengalami kolaps karena paru-paru hanya memiliki
satu rongga besar dengan katup yang terbuka. Katup terbuka tersebut dapat
menyebabkan tekanan intrapleura lebih rendah dibandingkan tekanan
intrapulmonal sehingga udara masuk ke dalam rongga pleura. Hal itu dapat
menyebabkan paru-paru tidak dapat mengembang sehingga dapat memicu
terjadinya kolaps.

V. KESIMPULAN
A. Activity 1: Measuring Respiratory Volumes and Calculating Capacities
Penyempitan atau pembuntuan saluran nafas disebut dengan gangguan obstruksi.
Contoh gangguan obstruksi yaitu pada penyakit asma. Gangguan obstruksi paru
menyebabkan:
a. Penurunan volume ekspirasi paksa (FEV1)
Kemampuan ekspirasi terganggu akibat adanya pengaruh gangguan obstuksi.
b. Peningkatan volume residu (RV)
Karena kemampuan ekspirasi terganggu, udara yang masuk ke paru-paru
menjadi terperangkap sehingga tidak seluruhnya dapat efektif dikeluarkan
kembali.
c. Gangguan inspirasi
Karena semakin besar volume residu (RV) maka tahanan inspirasinya juga
semakin besar dan meningkatkan dead space.
d. Penurunan flow (aliran/pertukaran udara yang keluar-masuk)
Akibat gangguan ekspirasi dan inspirasi
e. Penurunan kapasitas paru total (TLC), kapasitas vital (VC) dan volume
pernapasan lain yang menjadi komponennya yaitu volume tidal (TV), volume
cadangan inspirasi (IRV) dan volume cadangan ekspirasi (ERV).

B. Activity 2: Comparative Spirometry


Pada keadaan normal, pernapasan berjalan dengan lancar tanpa terjadi
sumbatan atau penyempitan yang menyebabkan volume paru-paru berkurang
ataupun mengakibatkan kesulitan bernapas. Hal tersebut berbeda dengan keadaan
penderita emfisema. Emfisema merupakan kelainan yang terjadi akibat kerusakan
dinding alveolus yang menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Dikarenakan fungsi jaringan paru-paru berkurang untuk melakukan pertukaran O2
dan CO2, maka kerja napas penderita emfisema meningkat. Selain itu, penderita
emfisema mengalami kesulitan saat ekspirasi dikarenakan adanya destruksi
dinding (septum) diantara alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan hilangnya
elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada penderita emfisema terjadi penurunan
pada ERV, IRV, FVC, FEV1, FEV1(%), dan peningkatan pada RV. Perubahan ini
disebabkan karena menurunnya elastisitas alveolus.
Pada penderita acute astma attack terjadi penyempitan bronkus dan menutup
sebelum ekspirasi selesai yang dapat menyebabkan kesulitan ekspirasi serta
inspirasi. Terjadinya penurunan pada TV, ERV, IRV, FVC, FEV1, FEV1(%), dan
peningkatan pada RV yang disebabkan karena adanya peningkatan udara yang
terperangkap pada paru-paru saat akhir ekspirasi. Inhaler merupakan bronkodilator
yang berfungsi untuk melebarkan bronkus sehingga proses ekspirasi dan inspirasi
dapat kembali berjalan normal. Pada saat olahraga sedang, volume udara
maksimal yang dihirup (inspirasi) sekuat-kuatnya dalam keadaan normal (IRV)
lebih besar daripada volume udara maksimal ynng dapat dihembuskan (ekspirasi)
sekuat-kuatnya dalam keadaan normal (ERV). Kerja napas dapat meningkat dari
keadaan normal di saat melakukan aktivitas atau olahraga. Hal tersebut terjadi
karena tubuh memerlukan peningkatan ventilasi. Sedangkan pada saat olahraga
berat, volume udara maksimal yang dihembuskan (ekspirasi) sekuat-kuatnya
dalam keadaan normal (ERV) lebih besar daripada volume udara maksimal yang
dapat dihirup (inspirasi) sekuat-kuatnya dalam keadaan normal (IRV). Hal tersebut
dikarenakan ekspirasi menjadi aktif untuk mengosongkan paru-paru secara lebih
cepat daripada yang dicapai selama pernapasan tenang. Selama olahraga berat,
jumlah energi yang dibutuhkan untuk menjalankan ventilasi paru meningkat hinga
25 kali lipat.

C. Activity 3: Effect of Surfactant and Intrapleural Pressure


Peran surfaktan paru dalam menurunkan kecenderungan alveolus untuk
menciut, sehingga mencegah alveolus kolaps, penting untuk memelihara stabilitas
paru. Penambahan surfaktan ke bagian dalam paru untuk meningkatkan aliran
udara. Penambahan surfaktan pada aliran udara mempengaruhi aliran udara akan
meningkat karena hambatannya berkurang. Surfaktan meningkatan aliran udara
karena menurunkan tegangan permukaan alveoli. Tekanan intrapleura selalu lebih
kecil dibandingkan tekanan intraalveolar. Masuknya udara ke dalam pleura, akan
meningkatkan tekanan intrapleura sehingga tekanan intapleura sama dengan
tekanan atmosfer, sehingga paru kolaps karena tekanan alveoli lebih rendah
dibanding dengan tekanan intrapleura. Jika tekanan intrapleura lebih besar
dibanding tekanan intaalveolar maka akan terjadi pneumotoraks dan akan berlanjut
menjadi atelektasis.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Bakhtiar, A. dan Amran, W. S. 2016. Faal Paru Statis. Jurnal Respirasi. 2(3).
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. (http://dx.doi.org/10.20473/jr.v2-
i.3.2016.91-98, diakses pada 28 November 2020).

Martinez FD (2007). "Genes, environments, development and asthma: a reappraisal".


Eur Respir J. 29 (1): 179–84. Diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Asma pada 28 November 2020.

NHLBI, Guideline for the Diagnosis and Management of Asthma (EPR-3) 2007, hlm.
11–12. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Asma pada 28 November
2020.

Sherwood, L. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems 7th ed. Brooks/Cole:
Belmont.

Steven, J., et al. (2019). Jurnal Respirasi Indonesia Vol. 39 No. 1. Jakarta Timur.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Anda mungkin juga menyukai