PENDIDIKAN
4
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta,
Kalam Mulia, 2015), hal 55.
5
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta,
Kalam Mulia, 2015), hal 55.
6
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta,
Kalam Mulia, 2015), hal 55.
7
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta,
Kalam Mulia, 2015), hal 56.
8
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta,
Kalam Mulia, 2015), hal 56.
Pengaruh politik terhadap pendidikan adalah adanya kebijakan
pemerintahan suatu negara yang memberikan perhatian serta dukungan, baik
moral maupun materil, untuk terlaksananya pendidikan, di negara tersebut. Juga
mempengaruhi lajunya perkembangan politik yang ada serta melahirkan generasi
yang berkualitas, karena pendidikan yang berkualitas akan mempengaruhi
peradaban suatu bangsa (Kartini Kartono, 1991: 2). Keadaan seperti ini akan
memberikan pengaruh yang sangat besar untuk keberhasilan pendidikan. Apabila
suatu negara mengalami keguncangan politiknya, atau dipimpin oleh orang yang
tidak peduli terhadap pendidikan akan mampu menjalankan perannya secara baik
dan dapat mempengaruhi sistem ekonomi yang baik.10
Dilihat dari sejarah perkembangan pendidikan agama di Indonesia yang
mengalami pasang surut seirama dengan perkembangan politik di Indonesia.
Seperti pada zaman kolonial Belanda, pendidikan agama tidak diberikan
disekolah. Selanjutnya atas desakan tokoh-tokoh Islam, pendidikan agama
akhirnya diberikan di luar jam pelajaran resmi dan guru agama tidak mendapatkan
gaji dari pemerintah. Dan pada zaman Jepang, pelaksanaan pendidikan agama
relatif lebih baik dimana pelaksanaan pendidikan agama mendapat persetujuan
dari kantor Agama Pusat dan guru agama digaji oleh pemerintah daerah
setempat.11
Pada masa kemerdekaan, keadaan pendidikan agama lebih baik terutama
setelah dibentuknya Departemen Agama sebagai hasil bargaining (tawar-
menawar). Departemen Agama mengusulkan tiga hal: (1) memberikan pengajaran
agama di sekolah negeri dan partikulir, (2) memberi pengetahuan umum di
madrasah, (3) mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan
Hakim Agama Islam Negeri (PHIN). Dalam Undang-Undang Pendidikan
Nasional No.4 Tahun 1950 jo UUPN no. 12 Tahun 1954 ditetapkan bahwa di
sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama dengan catatan orang tua
9
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta,
Kalam Mulia, 2015), hal 57.
10
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2015), hal 58.
11
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2015), hal 58-59.
murid yang menetapkan keikutsertaan anaknya. Dengan demikian, secara dejure
posisi pendidikan agama relatif kuat atau minimal memiliki kekuatan hukum.12
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sistem politik yang berlaku
pada suatu negara cukup besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan sistem
pendidikan Islam, baik terhadap kurikulum, materi pelajaran dan pengadaan guru
maupun kebijakan lain yang menyangkut identitas sebuah lembaga pendidikan
Islam.13
3. Sistem Sosial Budaya
Sistem budaya merupakan rangkaian hubungan komponen-komponen
budaya sebagai ungkapan perilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sebagai
makhluk budaya. Namun demikian, dalam mekanisme budaya tersebut, tidak
terpisahkan dari hubungan antara individu dengan individu, individu dengan
masyarakat.14 Dan terbentuk suatu tatanan yang bila dikonsepkan sebagai sistem
sosial. Sistem sosial merupakan sistem tindakan-tindakan yang terbentuk dari
interaksi sosial yang tumbuh dan berkembang secara tidak kebetulan, apa yang
kita kenal sebagai norma-norma sosial. Dalam sistem budaya inilah manusia
belajar, berkreasi, berinovasi, berilmu, dalam suatu tatanan kehidupan yang
disebut kehidupan berbudaya.15
Dalam perkembangan masyarakat terdapat tiga tipe masyarakat, yaitu :16
a. Masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah masyarakat dengan
kelompok-kelompok terisolasi dari dunia luar dan jumlahnya relatif kecil
dengan pola hidup mereka yang masih sangat sederhana dan status
kehidupan yang bergantung pada alam.
12
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2015), hal 59.
13
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2015), hal 60.
14
Teguh Triwiyanto, Pengantar Pendidikan (Jakarta, Bumi Aksara, 2014), hal 81.
15
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2015), hal 60-61.
16
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2015), hal 61.
b. Masyarakat feodal berkembang. Masyarakat yang sebagian besar dari
mereka terdiri atas masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, dan
menggunakan teknologi rendah, ditambah beberapa tenaga terampil.
c. Masyarakat modern. Masyarakat dengan bercirikan egalitarianisme dan
tingkat mobilitas tinggi.
Dari ketiga karakteristik sistem sosial budaya masyarakat dapat dipahami
bahwa tipe tersebut lebih cenderung kepada pola pikir dan bertindak akan
berimplikasi terhadap sistem pendidikan Islam.17
Dengan demikian hubungan masyarakat dengan pendidikan sangat
bersifat korelatif seperti bambu dengan tebing masyarakat akan maju karena
pendidikan dan pendidikan akan maju sangat ditentukan oleh masyarakat.18
17
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2015), hal 62.
18
Prof. DR. H. Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2015), hal 63